Landasan Teori 1Definisi Cinta

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1Definisi Cinta Cinta adalah sebuah perasaan ingin membagi secara bersama-sama atau sebuah perasaan afeksi terhadap seseorang. Pendapat lainnya, cinta adalah sebuah aksi atau kegiatan aktif yang dilakukan manusia terhadap objek lain baik berupa pengorbanan diri, empati, perhatian, memberikan kasih sayang, membantu, menuruti perkataan, mengikuti, patuh, dan mau melakukan apa saja yang diinginkan objek tersebut. Menurut Sujadi 1984: 40 tentang kehidupan manusia, khususnya mengenai cinta menggolongkan kedalam empat macam : 1. Cinta Agape, yakni cinta manusia kepada Tuhan 2. Cinta Philia, yakni cinta kepada kedua orang tua dan saudaranya. 3. Cinta Eros dan Amor, yakni cinta antara pria dan wanita 4. Cinta sesama, yakni perpaduan antara Agape dan Philia lebih dikenal sebagai rasa belas kasih. Artikel M Anis Matta, “Pekerjaan Orang Kuat”, telah banyak dikutip di internet. Mengingat bagusnya isi di dalamnya, aku turut senang atas tersebarnya tausiyah tersebut. Hanya saja, aku agak kecewa ketika mendapati kutipan yang tidak lengkap, sehingga maknanya menjadi menyimpang. Diantaranya, ada kutipan: “Cinta dan perasaan dalam mencintai hanya akan melahirkan para pembual yang menguasai hanya satu keterampilan: menebar janji.” Padahal, yang lengkap: “Cinta dan kepribadian adalah dua kata yang tumbuh bersama dan sejajar. Makin kuat kepribadian kita, makin mampu kita mencintai dengan kuat. Mengandalkan perasaan saja dalam mencintai hanya akan melahirkan para pembual yang menguasai hanya satu keterampilan: menebar janji.” Nah, perhatikanlah perbedaannya. Sungguhpun demikian, aku tidak hendak memperpanjang masalah tidak lengkapnya kutipan itu. Di sini aku hendak mengajakmu untuk memperhatikan betapa selarasnya tausiyah Anis Matta tersebut 2004 dengan filsafat cintanya M Scott Peck dalam buku The Road Less Traveled 1985. Anis Matta ialah seorang muslim Indonesia, politisi muda, lebih muda setahun dariku. Sedangkan M Scott Peck itu nonmuslim dari Amerika Serikat, seorang psikiater kawakan. Anis Matta menulis: ”Cinta adalah kata yang mewakili seperangkat kepribadian yang utuh: gagasan, emosi, dan tindakan. Gagasannya adalah tentang bagaimana membuat orang yang kita cintai tumbuh dan berkembang menjadi lebih baik dan berbahagia karenanya. Ia juga emosi yang penuh kehangatan dan gelora karena seluruh isinya adalah semata-mata keinginan baik. Tapi ia harus mengejawantah dalam tindakan nyata. Sebab gagasan dan emosi tidak merubah apa pun dalam kehidupan kita kecuali setelah ia menjelma jadi aksi.” http:muhshodiq.wordpress.com20090121cinta-sejati-ala-anis-matta-dan-m- scott-peck Pengertian cinta dalam kamus Funk dan Wagnalis,yaitu: ”Cinta adalah suatu emosi atau perasaan yang kompleks dan kuat yang dibangkitkan oleh sesuatu, seseorang atau suatu kausalitas yang menyebabkan seseorang menghargai, senang serta mengharapkan kehadiran si objek dan menyenangkan atau meningkatkan kesejahteraan objek tersebut, kerinduan atau keramahan jiwa terhadap sesuatu yang dipahami dan dipandang baik atau sempurna dari berbagai sudut pandang yang dalam bermacam hubungan, perasaan sayang atau kasih sayang yang kuat yang dicurahkan terhadap seseorang.” Issac dalam Ridho, 2000:20,Lukita, 16.87

2.1.2. Lirik Lagu

Lirik lagu di era sekarang merupakan sebuah kunci utama, meski tidak dipungkiri sentuhan musik tidak kalah pentingnya untuk menghidupkan lagu tersebut secara keseluruhan. Link merupakan sebuah energi yang mampu mengungkapkan banyak hal. Hampir sebagian besar lirik lagu-lagu Indonesia memuat berbagai peristiwa atau perasaan emosi yang dilihat, didengar dan dirasakan oleh si pencipta lagu. Ada yang menyuarakan perasaan cinta yang mengharu biru, ada pula menuangkan protes dan kontrol sosial. Apapun jenis musiknya, lirik lagu cinta tetap dominandari waktu ke waktu. Para pencipta lagu pun lebih memprioritaskan lagu-lagu bertema cinta. Para pencipta lagu pun berpendapat bahwa tema cinta adalah universal, bisa diterima siapa saja, tidak heran apabila banyak grup musik atau penyanyi yang memakai konsep pembuatan lirik semacam itu. www.media-indonesia.comresensidetail.asp?id=420 . Perkembangan lirik lagu di Indonesia sudah mulai muncul sejak setelah merebut kemerdekaan. Pada paruhan pertama dasawarsa 1950-an. Pada waktu masih dilakukan yang dinamakan ”musikalisasi syair” yaitu menggarap komposisi-komposisi lagu terhadap puisi-puisi yang terlebih dahulu dicitpakan oleh penyair terpandang Rachmawati,2000:42.

2.1.3 Musik

Sistem tanda musik adalah oditif, namun untuk mencapai pendengarnya, penggubah musik dalam mempersembahkan kreasinya dengan perantara pemain musik dalam bentuk sistem tanda perantara tertulis. Bagi semiotikus musik, adanya tanda-tanda perantara, yakni musik yang dicatat dalam partitur orkestra. Hal ini sangat memudahkan dalam menganalisis karya musik sebagai teks. Itukah sebabnya mengapa penelitian musik terarah pada sintaksis. Meski demikian, tidak ada semiotika tanpa semantik. Jadi, juga tidak ada semiotik musik tanpa semantik musik. Semantik musik, bisa dikatakan harus senantiasa membuktikan hak kehadirannya Van Zoest, 1993: 120- 121.

2.1.4 Definisi perselingkuhan

Perselingkuhan adalah hubungan pribadi di luar nikah, yang melibatkan sekurangnya satu orang yang berstatus nikah, dan didasari oleh tiga unsur: 1 saling ketertarikan 2 saling ketergantungan 3 saling memenuhi secara emosional dan seksual. Perselingkuhan tidak selalu berarti hubungan yang melibatkan kontak seksual. Sekalipun tidak ada kontak seksual, tetapi kalau sudah ada saling ketertarikan, saling ketergantungan, dan saling memenuhi di luar pernikahan, hubungan semacam itu sudah bisa kita kategorikan sebagai perselingkuhan. Ada beberapa tahapan perselingkuhan, yaitu : Tahapan ketertarikan, yang terdiri dari ketertarikan secara fisik atau pun emosional. Karena tertarik pada seseorang, mulailah kita bercakap- cakap dan menjalin hubungan dengannya. Setelah itu, kita mulai merasa tergantung dengannya. Kita merasa membutuhkan dia. Saat dia tidak hadir, kita merasa tidak nyaman, sehingga kita mulai menanti-nantikan dia. Setelah rasa ketergantungan, mulailah proses saling memenuhi. Kita dengan dia merasa saling memenuhi kebutuhan emosional masing-masing. Misalnya, yang satu punya problem dengan keluarganya, lalu diceritakan kepada rekan yang dapat memenuhi kebutuhan emosionalnya, dan terus berlanjut. Biasanya, kalau ada unsur-unsur ini, hanya tinggal masalah waktu untuk terjadinya hubungan seksual antara kedua orang tersebut. Perselingkuhan secara garis besar ada 2 macam. Pertama, yang terjadi secara temporer, yaitu yang disebut orang Jakarta sebagai jajan atau main-main perempuan. Perselingkuhan jenis ini tidak melibatkan unsur- unsur di atas. Kedua, yang lebih umum, yaitu perselingkuhan yang terjadi secara permanen, dalam pengertian sudah ada jalinan atau kontak batin, ada saling bagi emosi satu sama lain. Perselingkuhan jenis ini tidak mudah diputuskan, karena pasangan selingkuh tersebut dicintai. Mereka benar-benar sudah menjalin hubungan yang intim dan akrab, sehingga untuk memutuskannya terasa sangat sulit sekali.

2.1.4.1 Macam Perselingkuhan

Pertama, yang terjadi secara temporer, yaitu yang disebut orang sebagai jajan atau main-main perempuan main-main lelaki.Perselingkuhan jenis ini tidak melalui tahapan perselingkuhan. Kedua, yaitu perselingkuhan yang terjadi secara permanen, dalam pengertian sudah ada jalinan atau kontak batin, ada saling bagi emosi satu sama lain. Perselingkuhan jenis ini tidak mudah diputuskan, karena pasangan selingkuh tersebut dicintai. Mereka benar-benar sudah menjalin hubungan yang intim dan akrab, sehingga untuk memutuskannya terasa sangat sulit sekali.

2.1.5 Semiotika dan Semiologi Komunikasi

Kata ’semiotika’ itu sendiri berasal dari bahasa Yunani, semeion yang berarti ’tanda’ atau ’seme’ yang berarti ’penafsir tanda’. Semiotika sendiri berakar dari studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika dan poetika. Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji suatu tanda. Tanda adalah perangkat-perangkat yang kita pakai dalam upaya mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah masyarakat dan hidup bersama manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan humanity memaknai hal-hal things. Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal nama objek itu hendak berkomunikasi , tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda Kurniawan dalam Sobur, 2004: 15 Bagi seseorang yang tertarik dengan semiotik, maka tugas utamanya adalah mengamati observasi terhadap fenomena-gejala di sekelilingnya melalui berbagai tanda yang dilihatnya. Tanda sebenarnya representasi dari gejala yang memiliki sejumlah kriteria seperti : nama sebutan, peran, fungsi, tujuan, keinginan. Menurut Littejohn 1996:64 dalam Sobur 2001:15 tanda-tanda signs adalah basis dari seluruh komunikasi dengan sesamanya. Tanda- tanda adalah perangkat yang dipakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, ditengah-tengah manusia dan bersama manusia. Semiotika seperti kata Lechte 2001:191 adalah teori tentang tanda dan penandaan. Lebih jelasnya lagi, semiotika adalah suatu disiplin yang menyelidiki semua bentuk komunikasi yang terjadi dengan sarana signs “tanda-tanda” dan berdasarkan pada sign system code Segers, 2000:4. Hjelmslev dalam Chistomy, 2001:7 mendefinisikan tanda sebagai “suatu keterhubungan antara wahana ekspresi expression plan dan wahana isi content plant. Charles Morris menyebutkan semiosis sebagai suatu “proses tandanya”, yaitu proses ketika sesuatu merupakan tanda bagi beberapa organisme. Dari beberapa definisi di atas maka semiotika atau semiosis adalah ilmu atau proses yang berhubungan dengan tanda. Pada dasarnya semiosis dapat dipandang sebagai suatu proses tanda yang dapat diberikan dalam istilah semiotika sebagai suatu hubungan antara lima istilah: S s, i, e, r, c S adalah untuk semiotic relation hubungan semiotik; s untuk sign tanda; i adalah interpreter penafsir; e untuk effect atau pengaruh ; r untuk reference rujukan; c untuk conteks konteks atau conditions kondisi.

2.1.6 Semiologi Roland Barthes

Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang getol mempraktikan model linguistik dan semiologi Saussurean. Ia juga intelektual dan kritikus sastra Perancis yang ternama, ekspones penerapan strukturalisme dan semiotika pada studi sastra. Barthes 2001:208 menyebutnya sebagai tokoh yang memainkan peranan central dalam strukturalisme tahun 1960-an dan 70-an. Barthes berpendapat bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Ia mengajukan pendapat ini dalam Writing Degree Zero 1953; terj. Inggris 1977 dan Critical Essays 1964; terj. Inggris 1972 Sobur, 2004:63. Sedangkan pendekatan karya strukturalis memberikan perhatian terhadap kode-kode yang digunakan untuk menyusun makna. Strukturalisme merupakan suatu pendekatan yang secara khusus memperhatikan struktur karya atau seni. Fenomena kesastraan dan estetika didekati sebagai sistem tanda-tanda Budiman, 2003:11. Linguistik merupakan ilmu tentang bahasa yang sangat berkembang menyediakan metode dan peristilahan dasar yang dipakai oleh seseorang semiotikus dalam. mempelajari semua sistem-sistem sosial lainnya. Semiologi adalah ilmu tentang bentuk, sebab ia mempelajari pemaknaan secara terpisah dari kandungannya Kurniawan, 2001:156. Di dalam semiologi, seseorang diberikan kebebasan di dalam memaknai sebuah tanda. Dalam pengkajian tekstual, Barthes menggunakan analisis naratif struktural yang dikembangkannya. Analisis naratif struktural secara metodologis berasal dari perkembangan awal atas apa yang disebut linguistik struktural sebagaimana perkembangan akhirnya dikenal sebagai semiologi teks atau semiotika. Jadi secara sederhana analisis naratif struktural dapat disebut juga sebagai semiologi teks karena memfokuskan diri pada naskah. Intinya sama yakni mencoba memahami makna suatu karya dengan menyusun kembali makna-makna yang tersebar dengan suatu cara tertentu Kurniawan, 2001:89. Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar berfungsi. Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan tataran kedua yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya Sobur, 2004:68-69. Sastra merupakan contoh paling jelas sistem pemaknaan tataran kedua yang dibangun di atas bahasa sebagai sistem yang pertama. Sistem kedua ini oleh Barthes disebut konotatif, yang dalam Mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama Barthes menggambarkannya dalam sebuah peta tanda: Gambar 2.1 Peta Tanda Roland Barthes 1. Signifier penanda 2. Signified petanda 3. Denotative tanda denotative 4. Connotative Signifier petanda konotatif 5. Connotative signified Petanda Konotatif 6. Connotative sign tanda konotatif Sumber: Paul Cobley Litza Jansa, 1999 dalam Alex Sobur, 2004:69 Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotative 3 terdiri atas penanda l dan petanda 2. Akan tetapi, pada saat bersamaan tanda denotative adalah juga petanda konotatif 4. Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsure material: hanya jika Anda mengenal tanda “singa”, barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin Cobley Janz, 1999:51 dalam Sobur, 2004:69. Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak hanya sekedar memiliki makna tambahan. Namun, juga mengandung makna kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan semiologi Sasurre, yang hanya berhenti pada tatanan denotatif. Pada dasarnya, ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi yang dimengerti oleh Barthes. Dalam pengertian umum, denotasi biasanya dimengerti sebagai makna harfiah, makna yang “sesungguhnya”, bahkan kadang kala juga dirancukan dengan referensi atau acuan. Proses signifikasi yang secara tradisional disebut sebagai denotasi ini biasanya mengacu pada penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa yang terucap. Akan tetapi, di dalam semiologi Roland Barthes dan para pengikutnya, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama sementara, sementara konotasi merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih diasosiasikan dengan keterutupan makna dan dengan demikian, sensor atau represi politis. Sebagai reaksi yang paling ekstrim melawan keharfiahan denotasi yang bersifat opresif ini, Barthes mencoba menyingkirkan dan menolaknya. Baginya, yang ada hanyalah konotasi semata-mata. Penolakan ini mungkin terasa berlebihan, namun ia tetap berguna bagi sebuah koreksi atas kepercayaan bahwa makna “harfiah” merupakan sesuatu yang bersifat alamiah Budiman, 1999:22 dalam Sobur, 2004:0-71. Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebut sebagai “mitos”, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Budiman, 2001:28 dalam Sobur, 2004:1. Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda. Namun, sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan tataran kedua. Di dalam mitos pula petanda dapat memiliki beberapa penanda, sehingga dalam praktiknya terjadilah pemunculan sebuah konsep secara berulang-ulang dalam bentuk-bentuk yang berbeda. Mitologi mempelajari bentuk-bentuk tersebut Sobur, 2004:71. Menurut Bertens 2001 tanda adalah suatu kesatuan dari suatu bentuk penanda atau petanda. Penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Jadi penanda adalah aspek material dari bahasa; apa yang dikatakan, apa yang didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran atau konsep. Jadi Petanda adalah aspek mental dari bahasa. Yang harus diperhatikan adalah bahwa dalam tanda bahasa yang konkret kedua unsur tersebut tidak dapat dilepaskan. Tanda bahasa selalu mempunyai dua segi signifier penanda dan signified petanda. Suatu penanda tanpa petanda tidak berarti apa-apa dan karena itu tidak merupakan tanda. Sebaliknya suatu petanda, tidak mungkin disampaikan atau ditangkap lepas dari penanda, petanda atau yang ditandakan itu termasuk tanda sendiri dan dengan demikian merupakan suatu faktor linguistik. “Penanda dan Petanda merupakan, seperti dua sisi dari sehelai kertas” Sobur, 2004:46. Setiap tanda kebahasaan, menurut Saussure pada dasarnya menyatukan sebuah konsep dan suatu citra suara sound image, bukan menyatakan sesuatu sebagai nama. Suara yang muncul dari sebuah kata yang diucapkan merupakan penanda signifier, sedang konsepnya adalah petanda signified. Dua unsur ini tidak dapat dipisahkan, memisahkannya hanya akan menghancurkan “kata” tersebut Sobur, 2004:47. Semiologi Roland Barthes tersusun atas tingkatan-tingkatan sistem bahasa. Umumnya Barthes membuatnya dalam dua tingkatan bahasa, bahasa pada tingkat pertama adalah sebagai objek dan bahasa tingkat kedua yang disebut sebagai metabahasa. Bahasa ini merupakan suatu sistem tanda yang memuat penanda dan petanda tingkat pertama sebagai petanda baru nada taraf yang lebih tinggi. Sistem tanda pertama kadang disebutnya sebagai konotasi atau sistem retoris atau mitologi. Fokus kajian Barthes terletak pada sistem tanda tingkat kedua atau metabahasa Kurniawan, 2001:115. Tatanan penandaan pertama adalah landasan kerja Saussure. Tatanan ini menggambarkan relasi antara penanda dan petanda di dalam tanda, dan antara tanda dengan referennya dalam realitas eksternal. Barthes menyebut tatanan ini sebagai denotasi. Hal ini mengacu pada anggapan umum, maka jelaslah tentang tanda. Sebuah contoh foto tentang keadaan jalan mendenotasi jalan tertentu; kata jalan mendenotasi jalan tertentu; kata jalan mendenotasi jalan pertokoan yang membentang diantara bangunan Fiske, 2006:118. Denotasi menurut Barthes merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, dan lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna Sobur, 2004:70. Konotasi dan Metabahasa adalah cerminan yang berlawanan satu sama lain. Metabahasa adalah operasi yang membentuk mayoritas bahasa- bahasa ilmiah yang berperan sistem riil, dan dipahami sebagai petanda di luar kesatuan penanda-penanda asli, diluar alam deskriptif. Sedangkan konotasi meliputi bahasa-bahasa yang sifat utamanya sosial dalam hal pesan literatur memberi dukungan bagi makna kedua dari sebuah tatanan artifisila atau ideologis secara umum Kuniawan, 2001:68. Mengenai bekerjanya tanda dalam tatanan kedua adalah melalui mitos. Mitos biasanya mengacu pada pikiran bahwa mitos itu keliru, namun pemakaian yang biasa itu adalah bagi penggunaan oleh orang yang tak percaya. Barthes menggunakan mitos sebagai seorang yang percaya dalam artiannya orisinal. Mitos adalah cerita yang digunakan suatu kebudayaan untuk menjelaskan atau memahami beberapa aspek dari realitas suatu alam. Mitos primitive berkenaan dengan hidup dan mati, manusia dan dewa, baik dan buruk. Mitos kita yang lebih bertaktik-taktik adalah tentang maskulinitas dan feminitas, tentang keluarga, tentang keberhasilan atau tentang ilmu. Bagi Barthes, mitos merupakan cara berfikir dari suatu kebudayaan tentang sesuatu, cara untuk mengkonseptualisasikan atau memahami sesuatu. Barthes memikirkan mitos sebagai mata rantai dari konsep-konsep terkait. Bila konotasi merupakan pemaknaan tatanan kedua dari petanda, maka mitos pemaknaan tatanan kedua dari petanda Fiske, 2006:121. Gambar 2.2 Dua Tatanan Petandaan Barthes sumber: Fiske, 2006 121- 123 Pada tatanan kedua, sistem tanda dari tatanan pertama disisipkan ke dalam sistem nilai budaya. Denotasi Penanda Konotasi Mitos bentuk isi Barthes menegaskan bahwa cara kerja pokok mitos adalah untuk menaturalisasikan sejarah. Ini menunjukkan kenyataan bahwa mitos sebenarnya merupakan produk kelas sosial yang mencapai dominasi melalui sejarah tertentu. Mitos menunjukkan maknanya sebagai alami, dan bukan bersifat historis atau sosial. Mitos memistifikasi atau mengaburkan asal- usulnya sehingga memiliki dimensi, sambil menguniversalisasikannya dan membuat mitos tersebut tidak bisa diubah, tapi juga cukup adil Fiske, 2006:123. Untuk membuat ruang atensi yang lebih lapang bagi deseminasi makna dan pluralitas teks, maka Barthes mencoba memilah-milah penanda- penanda pada wacana naratif ke dalam serangkaian fragmen ringkas dan berutun yang disebutnya sebagai leksi-leksia lexias, yaitu satuan-satuan pembacaan unit of reading dengan panjang pendek yang bervariasi. Sepotong bagian teks yang apabila dibandingkan dengan teks lain disekitarnya adalah sebuah leksia. Akan tetapi sebuah leksia sesungguhnya bisa berupa apa saja, kadang hanya berupa satu-dua patah kata kadang kelompok kata, kadang beberapa kalimat, bahkan sebuah paragraph, tergantung pada ke”gampang”annya convenience saja. Dimensinya tergantung kepada kepekatan dari konotasi-konotasinya yang bervariasi sesuai dengan momen-momen teks. Dalam proses pembacaan teks, leksia- leksia tersebut dapat ditemukan baik pada tataran kontak pertama diantara pembaca dan teks maupun pada saat satuan-satuan itu dipilah-pilah sedemikian rupa sehingga diperoleh aneka fungsi pada tatanan-tatanan pengorganisasian yang lebih tinggi Budiman, 2003:54. Dalam memaknai sebuah “teks” kita akan dihadapkan pada pilihan- pilihan pisau analisis mana yang bisa kita pakai dari sekian jumlah, pendekatan yang begitu melimpah. Ketika kita sampai pada pilihan tertentu semestinya “setia” dengan satu pilihan, namun bisa juga mencampuradukkan dengan beberapa pilihan tersebut, tergantung kepentingan dari tujuan “pembaca” dalam membeda pembacaannya. Bisa pula benar-benar hanya memfokuskan pada teks dan “melupakan” sang pengarang, “pembaca” kemudian dapat melakukan interpretasi terhadap suatu karya. Dalam hal ini “pembacalah” yang memberikan makna dan penafsiran. “Pembaca” mempunyai kekuasaan absolut untuk memaknai sebuah hasil karya lirik lagu yang dilihatnya, bahkan tidak harus sama dengan maksud pengarang. Semakin cerdas pembaca itu menafsirkan, semakin cerdas pula karya lirik dalam lagu itu memberikan maknanya. Wilayah kajian “teks” yang dimaksud Barthes memang sangat luas, mulai bahasa verbal seperti karya sastra hingga fashion atau cara berpakaian. Barthes melihat seluruh produk budaya merupakan teks yang bisa dibaca secara otonom dari pada penulisnya.

2.1.6.1 Kode Pembacaan

Segala sesuatu yang bermakna tergantung pada kode. Menurut Roland Barthes di dalam teks setidaknya beroperasi lima kode pokok yang di dalamnya semua penanda tekstual baca: leksia dapat dikelompokkan. Setiap atau masing-masing leksia dapat dimasukkan ke dalam salah satu dari lima buah kode ini. Kode-kode ini menciptakan sejenis jaringan. Adapun kode-kode pokok tersebut yang dengannya seluruh aspek tekstual yang signifikasi dapat dipahami, meliputi aspek sintagmatik dan semantik sekaligus, yaitu menyangkut bagaimana bagian- bagiannya berkaitan satu sama lain dan terhubung dengan dunia luar teks. Lima kode yang ditinjau oleh Barthes adalah kode herneutika kode teka-teki, kode proretik, kode budaya, kode semik, dan kode simbolik. Kurniawan, 200l:69. 1. Kode Hermeneutika atau kode teka-teki berkisar pada harapan untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode teka-teki merupakan unsur terstruktur yang utama dalam narasi tradisional. Di dalam narasi ada suatu kesinambungan antara permunculan suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaian di dalam cerita. Sobur, 2004:65. 2. Kode Proaetik atau kode tindakanlakuan dianggapnya sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang; artinya, antara lain, semua teks yang bersifat naratif Sobur, 2004:66. 3. Kode Gnomik atau kode cultural budaya banyak jumlahnya. Kode ini merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan di kodifikasi oleh budaya. Menurut Barthes, realisme tradisional didefinisi oleh acuan kea pa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau sub budaya adalah hal- hal kecil yang telah dikodifikasikan Sobur, 2004:66. 4. Kode semik atau konotatif banyak menawarkan banyak sisi. Dalam proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi kata atau frase yang mirip. Jika melihat kumpulan satuan konotasi melekat, kita menemukan suatu tema di dalam cerita. Perlu dicatat bahwa Barthes menganggap bahwa denotasi sebagai konotasi yang paling kuat dan paling “akhir” Sobur, 2004: 65-66. 5. Kode simbolik tema merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat struktural, atau tepatnya menurut konsep Barthes, pascastruktural. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa makna berasal dari beberapa oposisi biner atau pembedaan baik dalam taraf bunyi menjadi fonem dalam proses produksi wicara, maupun taraf oposisi psikoseksual yang melalui proses Sobur, 2004:66.

2.2 Kerangka Berfikir