Pembahasan HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dari hasil analisis deskriptif didapatkan hasil bahwa perilaku tantrum anak dari orangtua yang menikah muda memiliki intensitas yang lebih tinggi
dibandingkan dengan perilaku tantrum anak dari orangtua yang menikah pada usia dewasa. Hal ini dapat dilihat dari rata-ratamean dalam skor skala
tantrum. Mean dari orangtua yang menikah muda 75,59, sedangkan mean dari orangtua yang menikah pada usia dewasa 64,73. Jadi perilaku tantrum anak
dari orangtua yang menikah muda memiliki skor 10,86 lebih tinggi dari orangtua yang menikah pada usia dewasa.
Perilaku tantrum anak dari orangtua yang menikah muda memiliki intensitas yang lebih tinggi. Tingginya intensitas perilaku tantrum anak
tersebut dipengaruhi oleh usia orangtua yang lebih muda. Sebagaimana diungkapkan Tandry 2011 bahwa kemarahan sering terjadi jika anak-anak
memiiki ibu yang lebih muda, sedangkan ia adalah anak pertama. Hal ini terjadi karena orangtua muda belum memiliki kematangan emosi, sehingga
berpengaruh ketika menghadapi berbagai persoalan dalam keluarga salah satunya adalah perilaku tantrum anak. Reaksi orangtua ketika menghadapi
tantrum anak merupakan salah satu hal yang sangat berpengaruh terhadap kecenderungan anak untuk mengulangi perilaku tersebut.
Adhim 2002 menyebutkan bahwa kematangan emosi merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam menjaga kelangsungan pernikahan di
usia muda. Individu yang memiliki kematangan emosi ketika memasuki pernikahan lebih mampu mengelola perbedaan yang ada sehingga lebih siap
menghadapi perbedaan yang ada dalam rumah tangga. Selain itu kematangan emosi juga sangat dibutuhkan dalam mendidik anak.
Dalam mendidik anak, orangtua adalah model atau contoh yang kuat dan sangat berpengaruh bagi anak. Ketika orangtua belum bisa mengendalikan
amarahnya dan sering menunjukkan kemarahan yang tidak terkontrol dihadapan anak, maka anak juga akan meniru perilaku tersebut karena
menganggap perilaku tersebut adalah hal yang wajar karena orangtuanya dirumah sering melakukan hal tersebut. Orangtua seharusnya memiliki
kematangan emosi seperti yang dikemukakan oleh Hurlock 1980 bahwa petunjuk kematangan emosi pada diri individu adalah kemampuan untuk
menilai situasi secara kritis terlebih dahulu sebelum bereaksi secara emosional, tidak lagi bereaksi tanpa berpikir sebelumnya seperti anak-anak
atau orang yang tidak matang sehingga akan menimbulkan reaksi emosional yang stabil dan tidak berubah-ubah.
Orangtua yang berusia lebih muda apalagi masih berusia remaja cenderung terpancing emosinya ketika anak melakukan tantrum. Hal ini
karena secara tradisional masa remaja dianggap sebagai periode badai dan tekanan dimana ketegangan emosi meninggi akibat dari perubahan fisik dan
kelenjar. Sehingga reaksi yang muncul dari orangtua muda ketika anak melakukan tantrum justru kemarahan bahkan hukuman fisik seperti memukul
atau mencubit anak. Padahal membalas perilaku tantrum anak dengan kemarahan akan membuat tantrum anak semakin menjadi dan semakin lama.
Sedangkan memberikan hukuman fisik kepada anak justru menunjukkan
bahwa orangtua kehilangan kontrol diri ketika marah, hal ini akan menjadi contoh yang buruk bagi anak.
Orangtua yang sudah kehilangan kesabaran ketika menghadapi tantrum anak akan segera memberikan apa yang diinginkan anak. Ketika anak
menginginkan sesuatu dan menunjukkan perilaku tantrum, orangtua langsung memberikan apa yang diminta oleh anak. Hal ini dilakukan agar tantrum
segera berhenti. Cara ini dapat menghilangkan tantrum pada saat itu, namun justru akan menguatkan perilaku tantrum anak. Anak mengganggap tantrum
merupakan senjata untuk memenuhi keinginannya. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Achroni 2012 bahwa cara terbaik untuk menangani anak
tantrum bukan dengan memenuhi segala keinginannya, namun dengan menghilangkan perilaku ini perlahan-lahan.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Khairani dan Putri 2008 tentang kematangan emosi pada pria dan wanita yang menikah muda,
menunjukkan bahwa data demografis yang berkaitan dengan usia menunjukkan bahwa kematangan emosi tertinggi pada wanita berusia 24
tahun. Sedangkan pada subjek pria, kematangan emosi tertinggi dimiliki oleh pria berusia 23 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pasangan yang menikah
muda di usia belasan tahun masih harus belajar mengendalikan emosinya dalam menghadapi semua tanggung jawab dan permasalahan dalam keluarga.
Selain dari segi kematangan emosi orangtua, hal lain yang juga berpengaruh terhadap tingginya intensitas perilaku tantrum anak dari orangtua
yang menikah muda adalah pola asuh. Hasan 2011 menyebutkan bahwa pola
asuh orangtua juga berperan untuk menyebabkan tantrum. Anak yang terlalu dimanjakan dan selalu mendapatkan apa yang diinginkan, dapat tantrum
ketika permintaannya ditolak. Anak yang terlalu dilindungi dan didominasi oleh orangtua, sesekali dapat bereaksi menentang dominasi orangtua dengan
perilaku tantrum. Orangtua yang mengasuh secara tidak konsisten juga dapat menyebabkan tantrum anak.
Menurut Latiana 2010: 32 karakteristik yang dimiliki orangtua seperti umur saat pernikahan juga merupakan faktor penting yang dapat menentukan
kualitas pengasuhan kepada anak. Pasangan yang menikah muda, relatif rentan terhadap adanya badai dan tantangan kehidupan keluarga. Hal ini
berhubungan dengan kestabilan emosi dan kemampuan pengendalian emosi diri. Individu yang relatif muda umumnya belum memiliki kematangan untuk
mengendalikan emosi sehingga menyulitkan untuk menyesuaikann diri dengan pasangan hidupnya.
Berdasarkan hasil wawancara terhadap 17 responden orangtua yang menikah muda, didapatkan hasil bahwa 11 orangtua 65 menitipkan
anaknya kepada orangtua kakek- neneknya dalam hal pengasuhan. Hal ini karena orangtua baik ayah maupun ibu sama- sama bekerja untuk memenuhi
kebutuhan ekonomi keluarga. Secara umum pengasuhan yang diberikan oleh kakek nenek cenderung memanjakan anak atau permisif. Mereka akan
memberikan apa saja yang diinginkan anak asal anak tidak rewel. Hal ini tentunya memberi kebiasaan yang buruk bagi anak, anak akan melakukan apa
saja agar keinginannya tersebut dipenuhi termasuk melakukan tantrum.
Sedangkan sisanya sebanyak 6 orangtua muda 35 mengasuh anaknya sendiri. Dalam hal pengasuhan para orangtua ini cenderung otoriter
atau mendominasi anak agar menurut dengan segala aturan orangtua namun tidak memberi kesempatan kepada anak untuk menyampaikan argumen.
Orangtua juga sering marah-marah ketika anaknya rewel saat menginginkan sesuatu bahkan tidak segan memukul atau mencubit anak. Hal tersebut
membuat anak semakin tantrum dan orangtua sering terpancing lalu memberikan apa yang diingikan anak setelah anak tantrum. Padahal menurut
Hurlock 1978, keberhasilan emosi yang memenuhi kebutuhan anak mempengaruhi variasi pola emosi. Jika ledakan amarah berhasil memenuhi
kebutuhan anak akan perhatian dan memberikan apa yang mereka inginkan, mereka tidak hanya akan terus menggunakan perilaku tersebut untuk mencapai
tujuan, tetapi juga akan menambah intensitas ledakan amarah, sehingga penilaian mereka terhadap ledakan amarah akan meningkat sebagai cara untuk
mencapai tujuan yang diinginkan. Usia orangtua yang masih muda dan belum memiliki kemampuan untuk
mengendalikan emosi akan berdampak pada kualitas pengasuhan. Hal ini juga sejalan dengan hasil penelitian Alfianti 2010 yang menyebutkan bahwa
pasangan yang menikah usia muda masih kurang dalam kematangan psikologis ataupun materi sehingga masih membutuhkan bantuan dari
keluarga besarnya. Keadaan ekonomi keluarga yang belum stabil juga sering membuat orangtua dari pasangan suami istri ikut campur dalam urusan
memenuhi kebutuhan keluarga. Orangtua menganggap anaknya belum mampu
mandiri dalam menjalani kehidupaan rumah tangganya. Selain dari segi ekonomi orangtua juga ikut menjadi pengasuh cucunya karena orangtua sibuk
bekerja, dan hal ini tentunya berpengaruh terhadap kualitas pengasuhan yang diberikan kepada anak. Sehingga lingkungan keluarga besar memberikan
pengaruh terhadap tingginya intensitas tantrum anak. Hal ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Lestariningsih
2013 yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh pola asuh ibu yang menikah muda terhadap perkembangan sosial emosional anak. Hasil
penelitannya menunjukkan bahwa 76,6 perkembangan sosial emosional anak dipengaruhi oleh pola asuh ibu yang menikah usia muda.
Sedangkan anak dari orangtua yang menikah pada usia dewasa memiliki intensitas tantrum pada kategori sedang. Hal ini karena orangtua
dengan usia yang lebih dewasa memiliki kematangan emosi sehingga lebih siap dalam menghadapi peran sebagai orangtua. Hurlock 1978:68 juga
mengatakan bahwa secara umum orangtua yang lebih berumur menerima perannya sepenuh hati daripada mereka yang lebih muda. Dengan kesiapan
tersebut orangtua lebih mampu mengasuh anak dengan penuh kasih sayang serta kesabaran ketika mengahadapi berbagai perilaku anak yang terkadang
menyulitkan orangtua. Pada umumnya semua orangtua baik muda maupun dewasa sama-sama
memberikan pengaruh terhadap munculnya perilaku tantrum anak, akan tetapi ada beberapa faktor yang membuat intensitas tantrum pada anak berbeda.
Faktor-faktor tersebut antara lain kematangan emosi orangtua, pola asuh yang
diterapkan, serta lingkungan tumbuh kembang anak mengingat keluarga merupakan lembaga sosialisasi anak yang pertama dan menentukan tumbuh
kembang anak. Jika keluarga memberikan pengaruh yang baik, maka akan berdampak baik pula bagi perkembangan dan pertumbuhan anak, begitupun
sebaliknya. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, ada dua hal yang
menjadi penyebab adanya perbedaan perilaku tantrum anak usia 5-6 tahun ditinjau dari usia menikah orangtua yakni: kematangan emosi dan pola asuh
yang diterapkan dalam keluarga. Hal ini karena kedua hal tersebut sama-sama penting dalam merawat dan mengasuh anak. Hasil penelitian menunjukkan
adanya kesesuaian antara hasil yang diperoleh dengan teori yang dikemukakan dalam kajian teori dan penelitian terdahulu, bahwa terdapat perbedaan
perilaku tantrum anak usia 5-6 tahun ditinjau dari usia menikah orangtua.