Ketentuan dan Jenis Pidana Paten

BAB III TIDAK PIDANA PATEN MENURUT UNDANG-UNDANG NO.14 TAHUN 2001

A. Ketentuan dan Jenis Pidana Paten

Sanksi pidana pada umumnya dirumuskan dalam perumusan delik, walaupun ada yang dirumuskan terpisah dalam pasal ketentuan khusus lainnya. Sebagai bagian dari perumusan delik, maka perumusan sanksi pidana juga merupakan sub-sistem yang tidak berdiri sendiri. Artinya, untuk dapat diterapkan dioperasionalkandifungsikan, perumusan saksi pidana itu masih harus ditunjang oleh sub-sub sistem lainnya, yaitu sub sistem aturanpedoman dan asas-asas pemidanaan yang ada di dalam aturan umum KUHP atau aturan khusus dalam undang-undang khusus yang bersangkutan. Oleh karena itu, agar perumusan saksi pidana dapat operasional harus memperhatikan aturan umum yang ada di dalam KUHP, antara lain sebagai berikut: 1. Dilihat dari sudut “strafsoort” jenis-jenis sanksi pidana Semua aturan pemidanaan di dalam KUHP berorientasi pada “strafsoort” yang adadisebut dalam KUHP, baik berupa pidana pokok maupun pidana tambahan. Oleh karena itu, apabila undang-undang khusus menyebut jenis-jenis pidanatindak lain yang tidak ada dalam KUHP misalnya “pidana pengawasan” seperti disebut dalam Undang- Undang No.3 tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak; pidana Universitas Sumatera Utara pembayaran ganti rugi atau uang pengganti, maka undang-undang khusus itu harus membuat aturan pemidanaan khusus utuk jenis sanksi pidana itu. 2. Menurut pola KUHP Menurut pola KUHP, jenis pidana yang dirumuskandiancamkan dalam perumusan delik hanya pidana pokok danatau pidana tambahannya, pidana “kurungan pengganti” tidak dirumuskan dalam perumusan delik aturan khusus, tetapi dimasukkan dalam aturan umum mengenai pelaksanaan pidana “strafmodus”. Oleh karena itu undang-undang khusus tidak perlu memasukkan kurungan pengganti sebagai jenis pidana yang diancamkan dalam perumusan delik. Terlebih apabila jumlah lamanya kurungan pengganti itu tidak menyimpang dari aturan umum KUHP. Kalaupun menyimpang, perumusannya tidak dimasukkan sebagai “strafsoort” dalam perumusan delik, tetapi diatur sendiri dalam aturan tentang pelaksanaan pidana straafmodestraafmodus. 3. Dilihat dari sudut “strafmaat” ukuran jumlah lamanya pidana Aturan pemidanaan dalam KUHP berorientasi pada sistem minimal umum dan maksimal khusus, tidak berorientasi pada sistem minimal khusus. Artinya, di dalam KUHP tidak ada aturan pemidanaan untuk ancaman pidana minimal khusus, maka harus disertai juga dengan aturanpedoman penerapannya. Dalam undang-undang khusus selama ini, kebanyakan masalah ini tidak diatur, kecuali dalam undang-undang terorisme dan undang-undang korupsi, walaupun pengaturannya masih Universitas Sumatera Utara sangat sumir dan lebih tertuju pada batas-batas berlakunya pidana minimal itu. 4. Aturan pemidanaan umum dalam KUHP berorientasi pada “orang” natural person, tidak ditjukan pada “korporasi”. Oleh karena itu apabila undang-undang khusus menyebutkan adanya sanksi pidana untuk korporasi, maka harus disertai juga dengan aturan khusus pemidanaan untuk korporasi, misalnya mengenai aturan pertanggungjawaban korporasi dan aturan pelaksanaan pidana denda untuk korporasi. Subjek tindak pidana dalam KUHP hanya “orang”, sehingga semua aturan pemidanaan dalam KUHP diorientasikan pada “orang”. Begitu juga dalam Undang-Undang No.14 Tahun 2001 Tentang Paten, disebutkan bahwa subjeknya adalah orang atau yang lebih sering disebut dengan inventor atau yang menerima lebih lanjut hak inventor yang bersangkutan. Pembuktian merupakan suatu tindakan untuk menyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam surat persengketaan. Menurut Van Bummelen, membuktikan adalah kepastian yang layak menurut akal redelijk tentang: apakah hak tertentu itu sungguh-sungguh terjadi dan apa sebabnya. Di dalam hukum acara pidana mengandung hukum pembuktian, sehingga hukum pembuktian merupakan sebagian dari hukum acara pidana, maka sumber hukum adalah Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana yang dicantumkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209. Universitas Sumatera Utara Apabila dalam suatu kegiatan proses hukum atau praktik menemui kesulitan dalam penerapan, maka dipakai yurispudensi-yurispudensi atau doktrin. Dengan demikian sumber hukum pembuktian adalah undang-undang, yurispudensi, dan doktrin atau ajaran. 16 1. Negatief Wettelijk Bewijsleer Hukum pembuktian dalam hukum acara adalah merupakan suatu hal yang sangat penting, yang menentukan tentang adanya suatu kebenaran. Dalam menentukan kebenaran dicari bukti-bukti untuk memberikan keyakinan pada hakim. Untuk memperoleh kebenaran, maka dalam hukum pembuktian mengenal beberapa teori pembuktian. Menurut Prof.Satoehid Kartanegara, dikenal empat sistem pembuktian, yaitu: Negatief Wettelijk Bewijsleer atau pembuktian negatif, dalam sistem pembuktian ini alat-alat bukti yang diatur dalam undang-undang saja belum cukup, masih dibutuhkan keyakinan hakim sehingga harus ada cukup alat-alat bukti yang diakui undang-undang, dan ditambah keyakinan hakim. Sehingga walaupun cukup pembuktian yang didasarkan kepada alat-alat pembuktian yang diakui undang-undang, tetapi jika hakim tidak yakin, maka terdakwa harus bebas. 2. Positief Wettelijk Bewijsleer “Positief” dengan perkataan lain tidak dibuktikan alat-alat bukti lain, dalam hal ini keyakinan hakim. Cara pembuktian banyak diserahkan 16 TB.Irham , Hukum Pembuktian, CV.Ayyccs Grup, Jakarta, 2005, hal. 120. Universitas Sumatera Utara pada alat-alat bukti yang diakui dalam undang-undang. Dalam hal ini yang dicari adalah alat-alat bukti yang tanpa dipengaruhi oleh nurani, sehingga benar-benar objektif yaitu menurut cara-cara dan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang. 3. Conviction In Time Bloof Gemoedelijkke Overtuiging Sistem pembuktian ini adalah ajaran pembuktian yang semata-mata pada keyakinan hakim dengan tidak terikat dengan alat-alat bukti yang ada. Sehingga pembuktian ini sangat subjektif, seseorang bisa dinyatakan bersalah tanpa bukti apa-apa yang mendukungnya, sebaliknya pembukt ian sistem ini bisa membebaskan seseorang dari pembuktian yang dilakukannya. 4. Conviction In Raissonce Beredeneerde Overtuiging Sistem ini menerapkan bahwa pembuktian didasarkan pada keyakinan hakim dan alasan-alasannya yang menyebabkan keyakinan-keyakinan tersebut. Dalam pembuktian ini tidak terikat alat-alat pembuktian yang sah diakui undang-undang saja, melainkan dapat mempergunakan alat- alat pembuktian yang lain yang ada di luar undang-undang sebagai alasan yang menguatkan hakim. Dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia, sistem pembuktian yang dipergunakan adalah system negatief wettelijk bewijsleer, atau pembuktian dengan mempergunakan dua alat bukti yang sah oleh undang-undang dan ditambah dengan keyakinan hakim. Dalam Undang-Undang Paten, sistem pembuktiannya adalah sistem pembuktian terbalik. Pembuktian terbalik diterapkan mengingat sulitnya Universitas Sumatera Utara penanganan sengketa paten untuk proses. 17 1 Dalam hal pemeriksaan gugatan terhadap paten–proses, kewajiban pembuktian bahwa sutu produk tidak dihasilkan dengan menggunakan paten-proses sebagaiman dimaksud dalam Pasal 16 ayat 1 huruf b dibebankan kepada pihak tergugat apabila: Sekalipun demikian, untuk menjaga keseimbangan pengetahuan kepentingan yang wajar diantara para pihak, hakim tetap diberi kewenangan memerintahkan kepada pemilik paten untuk terlebih dahulu menyampaikan bukti salinan sertfikat paten bagi proses yang bersangkutan serta bukti awal yang memperkuat dugaan itu. Selain itu, hakim juga wajib mempertimbangkan kepentingan pihak tergugat untuk memperoleh perlindungan terhadap kerahasiaan proses yang telah diuraikannya dalam rangka pembuktian yang harus dilakukannya di persidangan. Dalam Pasal 119 Undang- Undang No.14 Tahun 2001 Tentang Paten, dinyatakan: a. Produk yang dihasilkan melalui paten-proses tersebut merupakan produk baru. b. Produk tersebut diduga merupakan hasil dari paten-proses dan sekalipun telah dilakukan upaya pembuktian yang cukup untuk itu, pemegang paten tetap tidak dapat menentukan proses apa yang digunakan untuk menghasilkan produk tersebut. 2 Untuk kepentingan pemeriksaan gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 , pengadilan berwenang: a. Memerintahkan kepada pemegang paten untuk terlebih dahulu menyampaikan salinan sertifikat paten bagi proses yang bersangkutan dan bukti awal yang menjadi dasar gugatannya;dan b. Memerintahkan kepada pihak tergugat untuk membuktikan bahwa produk yang dihasilkannya tidak menggunakan paten-proses tersebut. 3 Dalam pemeriksaan gugatan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat 1 dan ayat 2, pengadilan wajib mempertimbangkan kepentingan tergugat untuk memperoleh perlindungan terhadap rahasia proses yang telah diuraikannya dalam rangka pembuktian di persidangan. 17 Rachmad Usman, Op.Cit., hal.292 Universitas Sumatera Utara KUHP membedakan dua macam hukuman yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Dalam Pasal 10 disebutkan hukuman-hukuman ialah: a. Hukuman-hukuman pokok: 1e. hukuman mati; 2e. hukuman penjara; 3e. hukuman kurungan; 4e. hukuman denda; b. Hukuman-hukuman tambahan: 1e. pencabutan beberapa hak tertentu; 2e. perampasan barang-barang tertentu; 3e. pengumuman keputusan hakim. Hukuman adalah suatu perasaan tidak enak sengsara yang dijatuhkan oleh hakim dengan ponis kepada orang yang telah melanggar suatu perbuatan yang telah dilarang dalam suatu undang-undang. Bagi suatu kejahatan atau pelanggaran hanya boleh dijatuhkan satu hukuman pokok. Lebih dari satu hukuman pokok tidak diperkenankan. Akan tetapi, dalam beberapa undang-undang di luar KUHP, sudah banyak memuat ketentuan “cumulatie” atau menjatuhkan dua pidana pokok sekaligus. Dalam Undang-Undang No.14 Tahun 2001 Tentang Paten, mengenai ketentuan dan jenis pidana diatur dalam BAB XV yang terdiri dari enam pasal yaitu Pasal 130, 131, 132, 133, 134, 135 Undang-Undang Paten No. 14 Tahun 2001. Khusus mengenai pengaturan jenis pidana diatur dala Pasal 130, 131, dan 132. Universitas Sumatera Utara Seperti yang dinyatakan dalam Pasal 130 yaitu: “barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar hak pemegang paten dengan melakukan salah satu tindakan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 16 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 empat tahun danatau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 lima ratus juta rupiah”. Mengamati keenam pasal ini, khususnya Pasal 130, 131, 132, dapat diklasifikasikan jenis pidana atau jenis hukuman dalam undang-undang ini ada dua yaitu: 1. Pidana penjara; 2. Pidana denda Pidana penjara merupakan bentuk pidana berupa kehilangan kemerdekaan. Pidana kehiangan kemerdekaan bukan hanya dalam bentuk pidana penjara, tetapi juga berupa pengasingan. Ini biasanya diberlakukan di negara Rusia. Pidana penjara bervariasi, yaitu mulai dari penjara sementara minimal satu hari sampai pidana penjara seumur hidup. Pidana penjara seumur hiduphanya tercantum dimana ada ancaman pidana mati pidana mati atau seumur hidup atau pidana penjara seumur hidup. Jadi, pada umumnya pidana penjara maksimum ialah lima belas tahun. Pidana penjara disebut pidana kehilangan kemerdekaan, bukan saja dalam arti sempit bahwa ia tidak merdeka berpergian, tetapi juga narapidana tersebut kehilangan hak tertentu, seperti: 1. Hak untuk memilih dan dipilih; 2. Hak untuk memangku jabatan publik; 3. Hak untuk bekerja pada perusahaan-perusahaan; Universitas Sumatera Utara 4. Hak untuk mendapat perizinan-perizinan tertentu, misalnya izin usaha, izin praktek seperti dokter, advokat, notaris; 5. Hak untuk mengadakan asuransi hidup; 6. Hak untuk tetap dalam ikatan perkawinan. Pemenjaraan meruakan salah satu alas an untuk minta perceraian menurut hukum perdata; 7. Hak untuk kawin. Meskipun adakalanya seseorang kawin sementara menjalani pidana penjara, namun itu merupakan keadaan luar biasa dan hanya bersifat formalitas belaka. 8. Beberapa hak sipil yang lain. Dalam Undang-Undang Paten No.14 Tahun 2001 Tentang Paten, seperti misalnya dalam Pasal 130, khusus mengenai pelanggaran terhadap pemegang paten seperti menjual, mengimpor, menyewa, menyerahkan, atau menyediakan untuk dijual atau disewakan invensi yang telah diberi paten, maka dipenjara paling lamamaksimal empat tahun. Ini berarti pelaku akan kehilangan kemerdekaannya maksimal empat tahun apabila hakim memutuskan demikian. Hukuman denda pada umumnya terhadap hampir semua pelanggaran dari Buku III KUHP. Pidana denda ini sering kali merupakan alternative untuk hukuman kurungan, terhadap segala kejahatan ringan, alternative dengan hukuman penjara dan hukuman kurungan. Pidana denda jarang dijatuhkan terhadap kejahatan yang lain. Dalam Undang-Undang Paten No.14 Tahun 2001, mengenai jangka waktu pembayaran denda tidak ditentukan atau tidak dirumuskan secara jelas apakah pembayaran dilakukan secara sekaligus atau apakah pembayaran biasa dilakukan Universitas Sumatera Utara secara bertahap untuk jangka waktu tertentu. Akan tetapi dalam perkara pidana, pada umumnya jangka waktu untuk membayar denda ditentukan oleh jaksa yang mengeksekusi, dimulai dengan waktu dua bulan dan dapat diperpanjang menjadi satu tahun. Tindak pidana dalam paten ini merupakan delik aduan Pasal 133 Undang- Undang No.14 Tahun 2001. Dengan demikian, tidak ada perkara pidana paten apabila tidak ada pengaduan, artinya pada saat seseorang membuat pengaduan pidana paten maka: 1. Harus ada undang-undang yang dilanggar; 2. Harus ada saksi pelapor dan memiliki hak yang sah menurut hukum untuk melakukan pengaduan; 3. Harus ada bukti awal yang terlampir pada pengaduan yang disampaikan, yang sesuai dengan hak yang dimiliki bahwa yang diadukan telah melakukan perbuatan melanggar hak dari si pengadu; 4. Harus ada tempat kejadian dimana telah dilakukan pelanggaran; 5. Harus ada tersangka yang melakukan tindakan pelanggaran. Ketentuan pidana dalam undang-undang hak paten harus dianggap sebagai lex specialis, karena secara khusus mengatur hak paten lex specialis derogate lex generalis. Namun demikian, kecenderungan adalah hanya memfokuskan perhatian terhadap Undang-Undang Paten, tanpa menyentuh substansi ketentuan pidana dalam KUHP. Hal ini dapat dimengerti, dengan membaca dan membandingkan sanksi pidana yang diancam oleh baik KUHP maupun Undang- Undang Paten. Universitas Sumatera Utara Bila ditilik dari kesalahan pelaku, Undang-Undang Paten 2001 merumuskan tindak pidana hak paten atas tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja dan tanpa hak, yang ancaman hukumannya dibawah lima tahun. Karena itu, pelaku tidak dapat dikenai tahanan. Ancaman hukuman pidana yang diberikan bersifat kumulatif dan alternative sekaligus antara pidana penjara dan pidana denda. Dengan demikian, hakim dapat menjatuhkan pidana penjara atau pidana denda saja, atau sekaligus menjatuhkan pidana penjara atau pidana denda. 18 Ada dua hal yang dianggap sebagai pengecualian dari ketentuan pidana dalam Undang-Undang No.14 Tahun 2001, yaitu: 19 1. Mengimpor suatu produk farmasi Dalam istilah perdagangan, pengimporan terhadap produk yang telah dimasukkan ke pasar di suatu negara oleh pemegangnya yang sah disebut dengan impor paralel. Dilihat dari tujuannya impor paralel sangat bermanfaat untuk menghindari penyalahgunaan hak monopoli yang dimiliki inventor atau pemegang paten yang memperoleh haknya melalui perjanjian lisensi. Dengan adanya impor paralel, diharapkan ketersediaan barang dengan harga yang wajar dan memenuhi rasa keadilan dapat terjamin. Untuk melindungi hak-hak pemegang paten dan pihak ketiga dari dampak negatif akibat peraturan impor paralel, pemerintah menetapkan bahwa impor paralel dapat digunakan terhadap produk farmasi di Indonesia yang harganya sangat mahal dibandingkan dengan harga yang beredar secara sah di pasar internasional. Dengan 18 Ibid, hal.299 19 Tim Lindsey, Op.Cit., hal.210 Universitas Sumatera Utara kata lain penggunaan impor paralel sifatnya terbatas dan tidak diberlakukan terhadap semua jenis produk farmasi. 2. Memproduksi produk farmasi sebelum berakhirnya jangka waktu perlindungan paten. Undang-Undang Paten di Indonesia menentukan bahwa produksi produk farmasi tersebut dapat dilakukan dalam jangka waktu dua tahun sebelum perlindungan tersebut berakhir. Istilah untuk ketentuan seperti ini disebut “bolar provision”. Tujuan dari ketentuan di atas adalah untuk mencegah terhentinya produksi produk farmasi setelah perlindungan paten itu berakhir. Paling tidak dibutukkan waktu yang cukup lama untuk mempersiapkan produksi produk farmasi termasuk pengurusan izin edar dan izin produksi. Jika tidak ada ketentuan bolar provision, dapat dipastikan setelah perlindungan paten berakhir akan ada kevakuman selama beberapa tahun terhadap produksi obat tersebut di negara tempat produk tersebut dipasarkan. Dasar hukum yang dipakai untuk membuat bolar provision adalah Pasal 30 TRIPs yang mengizinkan setiap negara anggota membuat pengecualian di dalam Undang-Undang Paten mereka dengan syarat pengecualian tersebut tidak boleh merugikan pemilik paten yang bersangkutan atau pengeksploitasian yang wajar dari paten tersebut dengan memperhatikan kepentingan yang wajar dari pihak ketiga. Universitas Sumatera Utara

B. Penyebab Permasalahan Hukum di Bidang Paten