Tinjauan Hukum terhadap Pembatalan Paten bagi Pemegang Lisensi menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001

(1)

Tinjauan Hukum terhadap Pembatalan Paten bagi Pemegang Lisensi menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dalam memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh gelar sarjana hukum

Oleh

Helentina Grace K I Nim: 070200115

Departemen Hukum Perdata Program Kekhususan Hukum Perdata BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

Tinjauan Hukum terhadap Pembatalan Paten bagi Pemegang Lisensi menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dalam memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh gelar sarjana hukum

Oleh

Helentina Grace K I Nim: 070200115

Departemen Hukum Perdata Program Kekhususan Hukum Perdata BW

Ketua departemen Hukum Perdata

(Dr. Hasim Purba, SH., M.Hum.) NIP. 196603031985081001

Pembimbing I Pembimbing II

(Prof. Dr. H. Tan Kamello, SH, MS.) (Syamsul Rizal, SH., M.Hum.) NIP: 196204211988031004 NIP: 196402161989111001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... i

ABSTRAKSI... iii

KATA PENGANTAR... iv

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 7

E. Tinjauan Kepustakaan ... 8

F. Metode Penelitian ... 11

G. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II. PEMBAHASAN UMUM TENTANG HAK PATEN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2001 ... 16

A. Paten sebagai HaKI ... 16

B. Sejarah dan Pengertian Hak Paten ... 18

C. Subjek dan Objek Paten ... 25

D. Proses pendaftaran Paten ... 31

E. Hak dan Kewajiban Pemegang Paten ... 37

F. Pengalihan dan Jangka Waktu ... 40

BAB III. LISENSI PATEN... 49

A. Pengertian Lisensi Paten ... 49

B. Jenis-Jenis Lisensi Paten ... 55

C. Lisensi Wajib Paten ... 62

BAB IV. PEMBATALAN PATEN SERTA AKIBAT HUKUM TERHADAP PEMEGANG LISENSI PATEN... 72

A. Pembatalan Paten ... 72


(4)

C. Perlindungan Hukum terhadap Pemegang Lisensi Akibat Pembatalan

Paten ... 78

Analisa Kasus ... 85

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 98

A. Kesimpulan... 98

B. Saran... 100

DAFTAR PUSTAKA ... 102 LAMPIRAN


(5)

ABSTRAKSI

Paten ialah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil Invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya. Pembatalan Paten adalah pembatalan terhadap hak eksklusif tersebut. Pembatalan tersebut dapat dilakukan dengan alasan-alasan sebagai berikut : pembatalan demi hukum, pembatalan paten atas permintaan pemegang paten, pembatalan paten karena gugatan. Yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah faktor penyebab terjadi pembatalan paten, akibat pembatalan paten dan perlindungan hukum terhadap pemegang lisensi paten yang lisensinya telah dibatalkan.

Metode penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian kepustakaan dan studi kasus. Metode penelitian kepustakaan, penulis mengumpulkan data berdasarkan sumber-sumber kepustakaan, pendapat sarjana, dan Peraturan Perundang-undangan. Metode studi kasus, penulis melakukan analisa terhadap Perkara Nomor 65/HKI-PATEN/2004/PN.Niaga.Jkt.Pst.

Kesimpulan yang diperoleh bahwa, pembatalan paten dapat dilakukan dengan alasan-alasan sebagai berikut : pembatalan demi hukum, pembatalan paten atas permintaan pemegang paten, pembatalan paten karena gugatan. Pembatalan peten menghapuskan segala akibat hukum yang berkaitan dengan paten dan hal-hal lain yang berasal dari paten tersebut. Bentuk perlindungan yang diberikan undang-undang kepada pemegang lisensi adalah Pemegang/Penerima Lisensi tidak wajib meneruskan pembayaran royalti yang seharusnya masih wajib dilakukan kepada pemegang paten yang patennya dibatalkan, tetapi mengalihkan pembayaran royalti untuk sisa jangka waktu lisensi yang dimilikinya kepada pemegang paten yang berhak.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur selalu kepada Tuhan Yang Maha Baik pemilik langit dan bumi yang senantiasa memberikan kasih karunia dan anugerah selama penulis hidup. Atas perkenan-Nya juga penulis dapat mengecap studi di kampus serta menyelesaikan pembuatan skripsi ini.

Adalah sebuah sukacita besar dan kesempatan yang luar biasa manakala penulis dapat merampungkan pembuatan skripsi ini. Seperti kita ketahui bahwa skripsi merupakan merupakan salah satu syarat bagi Mahasiswa/i pada umumnya dan Mahasiswa/i Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara pada khususnya guna melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat guna mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa. Dimana skripsi ini diberi judul Tinjauan Hukum terhadap Pembatalan Paten bagi Pemegang Lisensi menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 untuk dituangkan dalam tulisan skripsi ini.

Tak ada gading yang tak retak. Kira-kira pepatah demikianlah yang sangat cocok untuk mendeskripsikan keadaan skripsi ini yang masih sangat jauh dari kata sempurna. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat kekurangan disana-sini dalam isi maupun bagian skripsi ini. Namun atas dasar sifat manusiawi yang bisa dan sering melakukan kesalahan, dengan segala hormat penulis meminta maaf. Oleh karenanya tak pelak bahwa saran, kritik, dan ide-ide baru yang konstruktif mengomentari bagian skripsi ini sangat penulis butuhkan dan karenanya akan diterima dengan senang hati serta penuh bijaksana. Di atas


(7)

semuanya, perkenankanlah dengan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof.Dr.Runtung,SH,M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof.Dr.Budiman Ginting,SH,MHum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan,SH,MH,DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Muhammad Husni,SH,M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr.Hasim Purba, SH.,M.Hum. selaku Ketua Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Syamsul Rizal, SH.,M.Hum. selaku Ketua Jurusan Program Kekhususan Hukum Perdata BW Hukum Universitas Sumatera Utara. 7. Bapak Prof. Dr. H. Tan Kamello, SH, MS. selaku dosen pembimbing I

yang dengan penuh kesabaran menghadapi penulis selama menulis skripsi. 8. Bapak Syamsul Rizal, SH.,M.Hum. selaku dosen pembimbing II yang

banyak menuntun penulis dari awal sampai akhir pembuatan skripsi. 9. Seluruh staff pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang

telah banyak memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis ketika duduk di bangku perkuliahan.

10.Seluruh Pegawai Administrasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(8)

Akhir kata semoga penulisan skripsi ini dapat menambah pengetahuan dan membuka sebuah cakrawala berpikir yang baru bagi kita semua yang membacanya.

Medan, Mei 2011 Penulis


(9)

ABSTRAKSI

Paten ialah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil Invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya. Pembatalan Paten adalah pembatalan terhadap hak eksklusif tersebut. Pembatalan tersebut dapat dilakukan dengan alasan-alasan sebagai berikut : pembatalan demi hukum, pembatalan paten atas permintaan pemegang paten, pembatalan paten karena gugatan. Yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah faktor penyebab terjadi pembatalan paten, akibat pembatalan paten dan perlindungan hukum terhadap pemegang lisensi paten yang lisensinya telah dibatalkan.

Metode penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian kepustakaan dan studi kasus. Metode penelitian kepustakaan, penulis mengumpulkan data berdasarkan sumber-sumber kepustakaan, pendapat sarjana, dan Peraturan Perundang-undangan. Metode studi kasus, penulis melakukan analisa terhadap Perkara Nomor 65/HKI-PATEN/2004/PN.Niaga.Jkt.Pst.

Kesimpulan yang diperoleh bahwa, pembatalan paten dapat dilakukan dengan alasan-alasan sebagai berikut : pembatalan demi hukum, pembatalan paten atas permintaan pemegang paten, pembatalan paten karena gugatan. Pembatalan peten menghapuskan segala akibat hukum yang berkaitan dengan paten dan hal-hal lain yang berasal dari paten tersebut. Bentuk perlindungan yang diberikan undang-undang kepada pemegang lisensi adalah Pemegang/Penerima Lisensi tidak wajib meneruskan pembayaran royalti yang seharusnya masih wajib dilakukan kepada pemegang paten yang patennya dibatalkan, tetapi mengalihkan pembayaran royalti untuk sisa jangka waktu lisensi yang dimilikinya kepada pemegang paten yang berhak.


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Di era globalisasi dewasa ini, teknologi sebagai ilmu pengetahuan yang diterapkan dalam kegiatan industri hadir dalam kehidupan manusia dalam bentuk hasil penemuan. HaKI dapat diartikan sebagai hak atas kepemilikan terhadap karya-karya yang timbul atau lahir karena adanya kemampuan intelektualitas manusia dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Karya-karya tersebut merupakan kebendaan tidak berwujud yang merupakan hasil kemampuan intelektualitas seseorang atau manusia dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi melalui daya cipta, rasa, karsa dan karyanya yang termasuk dalam lingkup HaKI.

Hak atas Kekayaan Intelektual itu adalah hak kebendaan, Hak atas sesuatu benda yang bersumber dari hasil kerja otak,1 hasil kerja rasio.2

1

Otak yang dimaksudkan bukanlah otak yang tidak kita lihat seperti tumpukan daging enak dimakan, yang beratnya 2% dari total tubuh, tetapi otak yang berperan sebagai pusat pengaturan segala kegiatan fisik dan psikologis, yang terbagi menjadi dua belahan ; kiri dan kanan.

2

Saidin. 1995. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Right). Jakarta : PT.Rajagrafindo Persada, hal 9

Jika ditelusuri lebih jauh, Hak atas Kekayaan Intelektual sebenarnya merupakan bagian dari benda, yaitu benda tidak berwujud (benda immaterial). Benda dalam kerangka hukum perdata dapat diklasifikasikan ke dalam berbagai kategori. Salah satu dalam kategori itu adalah penggolongan ke dalam benda berwujud dan benda tidak berwujud. Ditinjau dari cara perwujudannya, HaKI sebenarnya berbeda dari objek yang berwujud lainnya. Pada dasarnya yang termasuk dalam lingkup HaKI


(11)

adalah segala karya dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang dihasilkan melalui akal atau daya pikir seseorang atau manusia. Hal inilah yang membedakan HaKI dengan hak-hak milik lainnya yang diperoleh dari alam.

Karya-karya intelaktual tersebut, apakah di bidang ilmu pengetahuan, ataukah seni, sastra, atau teknologi, dilahirkan dengan pengorbanan tenaga, waktu dan bahkan biaya. Adanya pengorbanan tersebut menjadikan karya yang dihasilkan menjadi memiliki nilai. Apabila ditambah dengan manfaat ekonomi yang dapat dinikmati, nilai ekonomi yang melekat menumbuhkan konsepsi property terhadap karya-karya intelektual tadi. Di samping itu, karya-karya intelektualitas dari seseorang atau manusia tidak hanya sekadar memiliki arti sebagai hasil akhir, tetapi juga sekaligus merupakan kebutuhan yang bersifat lahiriah dan batiniah, baik bagi pencipta atau penemunya maupun orang lain yang memerlukan karya-karya intelektualitas tersebut.

Salah satu jenis dari penggolongan HaKI adalah paten. Paten merupakan salah satu jenis hak kekayaan intelektual yang merupakan basis industri modern. Dikatakan basis karena paten menjadi dasar pertumbuhan industri secara modern yang bersumber pada penemuan baru, teknologi canggih, kualitas tinggi, dan standar mutu. Paten diberikan untuk melindungi Invensi3 dibidang teknologi. Paten diberikan untuk jangka waktu yang terbatas, dan tujuannya adalah mencegah pihak lain, termasuk para Inventor4

3

Invensi adalah ide Inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi dapat berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses.

4

Inventor adalah seorang yang secara sendiri atau beberapa orang yang secara bersama-sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang menghasilkan Invensi.

independen dari teknologi yang sama, menggunakan Invensi tersebut selama jangka waktu perlindungan paten, supaya Inventor atau pemegang paten mendapat manfaat ekonomi yang layak atas


(12)

Invensinya. Sebagai gantinya, pemegang paten harus mempublikasikan semua rincian Invensinya supaya pada saat berakhirnya perlindungan paten, informasi berkaitan dengan Invensi tersebut tersedia secara bebas bagi khalayak. Kebanyakan paten mendapat perlindungan selama 16-20 tahun.

Industri modern mampu berkembang, mampu menembus segala jenis pasar, produk yang dihasilkan bernilai tinggi, dan dapat menghasilkan keuntungan besar. Hal ini berlawanan dengan industri tradisional yang bersumber pada penemuan tradisional, teknologi sederhana, kualitas rendah, tidak ada standar mutu. Industri tradisional sulit berkembang dan hanya dapat menembus pasar tradisional (lokal), tetapi sulit menembus pasar modern karena produk yang dihasilkan tidak mempunyai mutu standar. Dengan demikian makin tinggi kemampuan penguasaan ilmu dan teknologi, akan makin maju perkembangan industri suatu negara.

Namun demikian tidak setiap negara mempunyai sendiri teknologi yang dibutuhkan untuk mengembangkan industri di negaranya. Oleh karena itu biasanya negara tersebut akan mengimpor teknologi dari negara yang telah mempunyai teknologi yang dibutuhkannya. Di lain pihak bagi negara yang mempunyai teknologi yang sudah maju, biasanya mempunyai keinginan untuk mengembangkan pasar yang dimilikinya ke manca negara. Sebagai solusi bagi kedua belah pihak, maka ada lisensi.5

5

Lisensi adalah izin yang diberikan oleh Pemegang Paten kepada pihak lain berdasarkan perjanjian pemberian hak untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu Paten yang diberi perlindungan dalam jangka waktu dan syarat tertentu.

Melalui lisensi paten, sebuah teknologi dapat berkembang di dalam negeri dan ke manca negara. Berdasarkan lisensi paten, sebuah Invensi dapat menjadi sumber kekayaan material bagi inventor dan pemegang hak paten dalam bentuk imbalan royalti. Sedangkan bagi pemegang


(13)

lisensi paten, Invensi merupakan sumber keuntungan ekonomi karena ikut memproduksi dan/atau memasarkan produk kepada konsumen.

Agar sebuah paten dapat benar-benar berkembang di dalam negeri dan ke manca negara dibutuhkan perlindungan hukum terhadap Invensi tersebut. Inilah yang disebut dengan aspek hukum paten. Latar belakang perlunya aspek hukum paten bermula dari pertimbangan bahwa sebuah Invensi merupakan hasil kemampuan berpikir (daya kreasi) seorang Inventor. Hasil kemampuan berpikir tersebut hanya dimiliki oleh Inventor secara khusus (exclusive) yang kemudian diwujudkan dalam bentuk Invensi. Invensi adalah hak milik material (berwujud), di atas hak milik material tersebut melekat hak milik immaterial (tidak berwujud) yang berasal dari akal (intelek) Inventornya, sehingga disebut Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI).

Pengaturan mengenai paten di Indonesia baru pertama kali pada tahun 1989, yakni dengan disahkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten (Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3389, selanjutnya disebut UUP), yang mulai efektif berlaku pada tanggal 1 Agustus 1991. Setelah berlaku beberapa waktu, kemudian Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1989 ini direvisi untuk pertama kali dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang paten yang mulai berlaku pada tanggal 7 Mei 1997. Setelah mengalami beberapa kali perubahan, sekarang peraturan yang mengatur tentang paten adalah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten.

Salah satu permasalahan di bidang paten yang dilindungi oleh Undang-Undang adalah masalah pembatalan paten yang telah dilisensikan. Masalah


(14)

pembatalan paten ini diatur dalam Pasal 88 sampai dengan Pasal 98 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten. Akibat dari adanya pembatalan paten seperti ini tentu saja sangat merugikan inventor maupun pemegang hak paten. Untuk itu penegakan atau perlindungan hukum terhadap pembatalan paten yang terjadi ini harus didukung oleh Pemerintah dan juga masyarakat itu sendiri.

Adanya sistem perlindungan yang baik terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual akan menciptakan iklim atau suasana yang mampu merangsang semangat untuk melaksanakan kegiatan penelitian yang menghasilkan teknologi dan atau pengembangannya.

B. Perumusan Masalah

Permasalahan merupakan acuan untuk melakukan penelitian dan juga menentukan bahasan selanjutnya sehingga sasaran dapat tercapai. Dapat juga dikatakan secara singkat bahwa “tiada suatu penelitian tanpa adanya masalah”. Selain itu, pokok materi pembahasan dan tujuan dari penelitian ini tergambar dari permasalahan yang dikemukakan oleh penulis.

Untuk mendapatkan dan mendekati nilai objek penelitian, maka penulis membatasi masalah yang menyangkut Tinjauan Hukum terhadap Pembatalan Paten bagi Pemegang Lisensi menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001, yaitu sebagai berikut :

1. Bagaimana terjadinya pembatalan paten?

2. Bagaimanakah akibat hukum yang timbul kepada pemegang lisensi atas pembatalan paten?


(15)

3. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap pemegang lisensi atas pembatalan paten yang telah dilisensikan?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan utama dari penulisan ini secara umum adalah guna melengkapi dan memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan disamping untuk membiasakan penulis dalam menyusun suatu karya ilmiah. Di samping itu tulisan ini ditujukan untuk mengetahui kesenjangan (gap) antara das sollen dan das sein atau perbedaan antara yang seharusnya dengan kenyataan yang terjadi di lapangan khususnya dalam bidang pembatalan paten.

Beberapa tujuan khusus yang ingin penulis sampaikan dalam skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui terjadinya pembatalan paten.

2. Untuk mengetahui akibat hukum apa yang timbul kepada pemegang lisensi atas pembatalan paten.

3. Untuk mengetahui perlindungan hukum apa yang diberikan terhadap pemegang lisensi atas pembatalan paten yang telah dilisensikan

Sedangkan manfaat dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Secara teoretis, penulisan ini dapat dijadikan bahan kajian ataupun masukan dalam mengetahui faktor penyebab, akibat hukum, dan perlindungan hukum terhadap pembatalan paten yang telah dilisensikan.


(16)

2. Secara praktis, penulisan ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan ataupun sumbangan untuk kepentingan ilmu pengetahuan, dalam pembinaan dan pengembangan hukum khususnya bagi penegak hukum dalam memberikan perlindungan hukum kepada pemegang lisensi atas pembatalan paten dan juga memberikan manfaat bagi dunia Perguruan Tinggi dan masyarakat pada umumnya. Selain itu, diharapkan agar tulisan ini dapat berguna sebagai bahan referensi bagi perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.

D. Keaslian Penulisan

Dalam hal penulisan skripsi ini, penulis mencoba menyajikan sesuai dengan fakta-fakta yang akurat dan sumber yang terpercaya sehingga skripsi ini tidak jauh dari kebenarannya. Penulisan skripsi ini sendiri adalah berdasarkan hasil pemikiran penulis sendiri, yang mana setelah penulis membaca dan melihat bahwa pada saat sekarang ini banyak terjadi pembatalan paten terhadap paten yang telah dilisensikan, maka penulis merasa tertarik untuk membahasnya lebih lanjut menjadi sebuah skripsi.

Kemudian setelah penulis memeriksa judul-judul skripsi yang ada di Fakultas Hukum, maka judul mengenai Tinjauan Hukum terhadap Pembatalan Hak Paten bagi Pemegang Lisensi menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001, belum ada yang mengangkatnya. Atas dasar itu penulis dapat mempertanggungjawabkan keaslian skripsi ini secara ilmiah. Bila dikemudian hari terdapat permasalahan dan pembahasan yang sama sebelum skripsi ini dibuat, saya dapat mempertanggungjawabkannya.


(17)

Untuk menghasilkan tulisan yang maksimal, penulis menggunakan tata bahasa sesuai dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar serta bahasa Inggris yakni dengan menggunakan kamus bahasa Indonesia dan kamus bahasa Inggris yang telah diakui di Indonesia.

E. Tinjauan Kepustakaan

Paten adalah hak yang diberikan Pemerintah kepada seseorang atas suatu penemuan untuk digunakan sendiri dan melindunginya dari peniruan (pembajakan). Mematenkan adalah mendaftarkan temuan sehingga menjadi paten.6

Hak Paten adalah hak yang diberikan oleh Pemerintah kepada seseorang atau perusahaan atas permohonannya untuk menikmati sendiri temuannya serta perlindungan terhadap kemungkinan peniruan oleh pihak lain atas ciptaan atau temuannya itu.7

Lisensi adalah surat ijin untuk mengangkut barang dagangan, usaha, dsb; pajak yang harus dibayarkan untuk memperoleh surat ijin, terutama tentang

Menurut Ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Paten Nomor 14 Tahun 2001, Hak Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil Invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya.

6

Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka) hal 836

7


(18)

ekspor dan impor; ijin menggunakan oktroi pihak lain di hukum tentang milik industri, dapat diberikan oleh si pemegang oktroi atau berdasarkan ketetapan Dewan Oktroi.8

F. Metode Penelitian

Menurut Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Paten Nomor 14 Tahun 2001, Lisensi adalah ijin yang diberikan oleh Pemegang Paten kepada pihak lain berdasarkan perjanjian pemberian hak untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu paten yang diberi perlindungan dalam jangka waktu dan syarat tertentu.

Pembatalan paten dapat terjadi karena beberapa faktor yaitu pembatalan paten demi hukum, pembatalan paten atas dasar permohonan pemegang paten, dan pembatalan paten karena gugatan. Paten yang sudah terdaftar dapat dibatalkan sebelum jangka waktu perlindungan hukumnya berakhir. Dengan dilakukannya pembatalan paten, dikapuskanlah segala akibat hukum yang berkaitan dengan paten dan hal-hal yang berasal dari paten.

Pemegang/Penerima lisensi paten yang dibatalkan tetap berhak melaksanakan lisensi yang dimilikinya sampai dengan berakhirnya jangka waktu perjanjian lisensi.

Metode dapat diartikan sebagai suatu cara untuk memperoleh sesuatu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia metode diartikan sebagai cara yang telah teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai sesuatu maksud, cara menyelidiki.

8


(19)

Soerjono Soekanto berpendapat menurut kebiasaan, metode dirumuskan dengan dengan kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut:

1. Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian; 2. Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan;

3. Cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur.9

Penelitian itu sendiri berasal dari bahasa Inggris “research” yang berasal dari kata re yang artinya kembali dan to search yang berarti mencari. Dengan demikian secara harfiah kata research berarti mencari kembali. Menurut H.L. Manheim, research (penelitian) tidak lain dari suatu metode studi yang dilakukan seseorang melalui penyelidikan yang hati-hati dan sempurna terhadap suatu masalah, sehingga diperoleh pemecahan yang tepat terhadap masalah-masalah tersebut.10

Jadi, tujuan dari diadakannya penelitian oleh penulis adalah untuk menjawab setiap permasalahan yang telah dikemukakan sebelumnya. Agar diperoleh data yang akurat, penulis menggunakan bentuk atau model Penelitian

Penelitian juga bertujuan untuk mengubah kesimpulan-kesimpulan yang telah diterima, ataupun mengubah dalil-dalil tersebut. Dari itu penelitian dapat diartikan sebagai pencarian pengetahuan dan pemberian arti yang terus menerus terhadap sesuatu. Penelitian juga merupakan percobaan yang hati-hati dan kritis untuk menemukan sesuatu yang baru.

9

Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI Press, hal 44

10


(20)

Kepustakaan (library research). Di dalam penelitian kepustakaan terdapat 3 (tiga) jenis bahan hukum yang dapat digunakan, yaitu:

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, dan terdiri dari:

a. Norma atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945; b. Peraturan Dasar, yaitu:

1) batang tubuh UUD 1945; 2) ketetapan-ketetapan MPR(S); c. Peraturan Perundang-undangan:

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang; 3) Peraturan Pemerintah;

4) Peraturan Presiden; 5) Peraturan Daerah.

d. Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, misalnya hukum adat; e. Yurisprudensi;

f. Traktat;

g. Bahan hukum dari zaman penjajajahan yang hingga kini masih berlaku, misalnya KUHP dan KUHPerdata;

2. Bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, misalnya Rancangan Undang-Undang (RUU), Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP), hasil penelitian (hukum), hasil karya (ilmiah) dari kalangan hukum, dan sebagainya.


(21)

3. Bahan hukum tertier, yakni bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, misalnya: kamus-kamus (hukum), ensiklopedia, indeks kumulatif, dan sebagainya. Agar diperoleh informasi yang terbaru dan berkaitan erat dengan permasalahannya, maka kepustakaan yang dicari dan dipilih harus relevan dan mutakhir.11

Di samping itu, penulis juga memanfaatkan artikel, koran dan majalah serta media elektronik untuk mendukung keakuratan data yang disampaikan. Semuanya itu dimaksudkan untuk memperoleh data atau bahan yang bersifat teoretis yang berfungsi sebagai bahan dasar untuk melengkapi data dan bahan-bahan yang diperoleh melalui penelitian lapangan.

G. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan sistematika yang secara garis besar terdiri dari 5 bab dan sejumlah sub bab. Dengan harapan agar mudah dalam penyusunan dan pemahaman isi serta pesan yang ingin disampaikan maka penulis menguraikan secara ringkas pembahasan dalam skripsi ini.

Secara sistematis penulis membagi skripsi ini kedalam beberapa bab, dimana setiap bab terdiri dari sub bab, antara lain :

BAB I : PENDAHULUAN, dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang pemikiran penulis sehingga mengangkat permasalahan tersebut,

11

Bambang Sunggono, 2005. Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, hlm. 113


(22)

perumusan masalah, tujuan dan manfaat yang ingin dicapai melalui penulisan skripsi ini, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian yang dipakai serta sistematika penulisan.

BAB II : PEMBAHASAN UMUM TENTANG HAK PATEN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2001, pada bab ini penulis akan membahas tentang Paten sebagai HaKI, sejarah dan pengertian Hak Paten, subjek dan objek paten, proses pendaftaran paten, hak dan kewajiban pemegang paten, pengalihan serta jangka waktu paten.

BAB III : LISENSI PATEN, bab ini membahas mengenai apa itu lisensi paten serta jenis-jenis lisensi paten yang ada di Indonesia.

BAB IV : PEMBATALAN PATEN SERTA AKIBAT HUKUM TERHADAP PEMEGANG LISENSI PATEN, bab ini secara khusus membahas tentang pembatalan paten, akibat hukum terhadap pembatalan paten, serta perlindungan hukum yang diberikan kepada pemegang lisensi atas pembatalan paten yang telah dilisensikan serta upaya penegakan hukum sebagai perlindungan hukum bagi pemegang lisensi tersebut.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN, bab ini merupakan bagian terakhir yang memuat kesimpulan dan saran atas setiap permasalahan yang telah dikemukakan.


(23)

BAB II

PEMBAHASAN UMUM TENTANG HAK PATEN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2001

A. Paten sebagai bagian HaKI

Paten adalah bagian dari Hak Kekayaan Intelektual, yang dalam kerangka ini termasuk dalam kategori hak kekayaan perindustrian (Industrial Property Right). Hak Kekayaan Intelektual itu sendiri merupakan bagian dari benda yaitu benda tidak berwujud (benda immateril). Pengertian benda secara yuridis adalah segala sesuatu yang dapat menjadi objek hak. Sedangkan yang dapat menjadi objek hak itu tidah hanya benda berwujud tetapi juga benda tidak berwujud.

Paten merupakan suatu hak khusus berdasarkan Undang-Undang diberikan kepada si pendapat/si penemu (uitvinder) atau menurut hukum pihak yang berhak memperolehnya,12

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa paten diberikan bagi ide dalam bidang teknologi dan teknologi pada dasarnya adalah berupa ide (immateril) yang dapat diterapkan dalam proses industri. Teknologi pada dasarnya lahir dari karsa intelektual, sebagai karya intelektual manusia. Karena kelahirannya telah melibatkan tenaga, waktu, dan biaya (berapapun besarnya misalnya dalam atas permintaannya yang diajukannya kepada pihak penguasa, bagi temuan baru di bidang teknologi, perbaikan atas temuan yang sudah ada, cara kerja baru, atau menemukan suatu perbaikan baru dalam cara kerja, untuk selama jangka waktu tertentu yang dapat diterapkan dalam bidang industri.

12

UU Paten Indonesia menyebutnya dengan istilah Inventor dan istilah temuan disebut sebagai Invensi


(24)

kegiatan penelitian), maka teknologi memiliki nilai atau sesuatu yang bernilai ekonomi, yang dapat menjadi objek harta kekayaan (property). Dalam ilmu hukum, yang secara luas dianut oleh bangsa-bangsa lain, hak atas daya pikir intelektual dalam bidang teknologi tersebut diakui sebagai hak kekayaan yang sifatnya tidak berwujud. Hak seperti inilah yang dikenal sebagai “Paten”.

Menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001, terdapat 2 jenis paten yaitu paten biasa dan paten sederhana. Paten biasa adalah paten yang melalui penelitian atau pengembangan yang mendalam dengan lebih dari satu klaim. Paten sederhana adalah paten yang tidak membutuhkan penelitian atau pengembangan yang mendalam dan hanya memuat satu klaim. Namun, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 secara tersirat mengenalkan jenis-jenis paten yang lain, yaitu paten proses dan paten produk. Paten proses adalah paten yang diberikan terhadap proses, sedangkan paten produk adalah paten yang diberikan terhadap produk.

Menurut literature, masih ada jenis-jenis paten yang lain saat ini, antara lain :

a. Paten yang Berdiri Sendiri (Independent Patent)

Paten yang berdiri sendiri tidak bergantung pada paten lain. b. Paten yang Terkait dengan Paten Lainnya (Dependent Patent)

Keterkaitan antar paten dapat terjadi jika ada hubungan antara lisensi biasa maupun lisensi wajib dengan paten yang lainnya dan kedua paten itu dalam bidang yang berkaitan. Bila kedua paten itu dalam bidang yang sama, penyelesaiannya diusahakan dengan saling memberikan lisensi atau lisensi timbal balik (cross license).


(25)

c. Paten Tambahan (Patent of Addition) atau Paten Perbaikan (Patent of Improvement)

Paten ini merupakan perbaikan, penambahan atau tambahan dari temuan yang asli. Bila dilihat dari segi paten pokoknya, kedua jenis paten ini hanya merupakan pelengkap sehingga disebut pula paten pelengkap (patent of accessory). Di Indonesia tidak dikenal paten pelengkap.

d. Paten Impor (Patent of Importation), Paten Konfirmasi atau Paten Revalidasi (Patent of Revalidation)

Paten ini bersifat khusus karena telah dikenal diluar negeri dan negara yang memberikan paten lagi hanya mengonfirmasi, memperkuatnya, atau mengesahkannya lagi supaya berlaku di wilayah negara yang memberikan paten lagi (revalidasi).13

B. Sejarah dan Pengertian Hak Paten

Akar sejarah paten sudah cukup tua. Pada awalnya memang sekedar perlindungan yang bersifat monopolistik di Eropa dan memperoleh wujud yang jelas pada abad ke-14. Perlindungan tersebut pada awalnya diberikan sebagai hak istimewa kepada mereka yang mendirikan usaha industri baru dengan teknologi yang diimpor. Dengan perlindungan tersebut, pengusaha industri yang bersangkutan diberi hak untuk dalam jangka waktu tertentu menggunakan teknologi yang diimpornya. Hak tersebut diberi dalam bentuk Surat Paten.

13

Djumhana dan R Djubaedillah. 2003. Hak Kekayaan Intelektual Sejarah, Teori, dan


(26)

Tujuannya adalah memberikan kesempatan kepada pengusaha pengimpor teknologi yang baru, agar benar-benar dapat terlebih dahulu menguasai seluk-beluk dan cara penggunaan teknologi yang bersangkutan. Dengan demikian, tujuan pemberian paten tersebut pada awalnya memang bukan pemberian perlindungan kepada penemu, tetapi lebih pada rangsangan untuk pendirian industri baru dan pengalihan teknologi.14

Kalau dilihat dari perkembangan peraturan perundang-undangan paten, Inggris mempunyai pengaruh yang besar terhadap pembentukan undang-undang paten di banyak negara di dunia. Sebab di negara Inggris pertumbuhan paten

Dilihat dari sejarahnya, paten bukanlah hal baru untuk orang Indonesia. Sampai tahun 1945 tidak kurang dari 18.000 paten telah diberikan di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Kolonial Belanda, Octroiiwet 1910.

Setelah kemerdekaan, pemberian paten tidaklah sebanyak seperti tahun-tahun sebelumnya. Baru pada tahun-tahun 70-an dengan semakin meningkatnya pembangunan ekonomi, tumbuh kesadaran baru di kalangan pemerintah untuk memperbaharui dan melengkapi keseluruhan peraturan di bidang HaKI termasuk paten. Alasan diadakannya pembaharuan adalah karena semakin menungkatnya investasi yang dilakukan oleh Negara-negara maju di Indonesia. Tidak dapat disangkal lagi, ada hubungan yang sangat erat antara tersedianya perangkat peraturan di bidang HaKI dengan masuknya investor asing ke sebuah negara. Jika perlindungan HaKI sangat baik yang ditandai dengan tersedianya perangkat peraturan yang lengkap di bidang HaKI serta penegakan hukum yang memuaskan, para investor pun akan tertarik untuk menanamkan modalnya di Indonesia.

14

Bambang Kesowo. 1995. Pengantar Umum Mengenai Hak Atas Kekayaan Intelektual


(27)

sangat baik. Kemungkinan pengaruh ini sebagai akibat kedudukan negara Inggris sebagai negara induk penjajah, yang sampai pertengahan abad ke-20 dan satu dua abad sebelumnya, mempunyai banyak wilayah jajahan yang membawa pengaruh hukum pula ke wilayah koloninya tersebut.

Di Indonesia DPR mengesahkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten pada tahun 1989. Indang-Undang ini kemudian mengalami perubahan sehingga menjadi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1997. Pada tahun 2001, pemerintah kembali memperbaharui Undang-Undang Paten dengan mengesahkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001. Tujuan diadakannya perubahan-perubahan tersebut adalah untuk menyesuaikan perlindungan HaKI di Indonesia dengan standar internasional yang terdapat dalam Perjanjian TRIP’s.

Mengenai pengertian dari paten menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001, ialah :

“Paten ialah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil Invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya”.

Ada beberapa unsur penting yang dapat disimpulkan dari defenisi tersebut, yaitu :

1. Hak eksklusif

Hak eksklusif berarti bahwa hak yang bersifat khusus. Kekhususannya terletak pada control hak yang hanya ada di tangan pemegang paten. Konsekuensinya, pihak yang tidak berhak tidak boleh menjalankan hak eksklusif tersebut. Hak eksklusif yang melekat pada pemegang


(28)

paten diatur di dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 yang meliputi hak-hak sebagai berikut :

a. Paten produk :

Membuat, menggunakan, menjual, mengimpor, menyewakan, menyerahkan, atau menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan produk yang diberi paten.

b. Paten proses :

Menggunakan proses produksi yang diberi paten untuk membuat barang dan tindakan lainnya sebagaimana dimaksudkan dalam huruf a.

Paten produk adalah paten yang berkaitan dengan alat, mesin, komposisi, formula, product by process, sistem, dan lain-lain. Sedangkan paten proses mencakup proses, metode atau penggunaan. 2. Negara

Negara adalah satu-satunya pihak yang berhak memberikan paten kepada para Inventor. Biasanya tugas ini didelegasikan kepada sebuah kantor khusus yang menangani permohonan pendaftaran, pengumuman, pemeriksaan dan pemberian sertifikat paten. Di Indonesia, tugas ini ditangani oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual yang berada di bawah Departemen Kehakiman dan HAM. 3. Invensi di bidang teknologi

Paten adalah cabang Hak Kekayaan Intelektual yang khusus melindungi Invensi di bidang teknologi. Contoh-contoh teknologi yang


(29)

dapat dilindungi paten adalah : teknologi mesin, listrik, obat-obatan, dan lain-lain.

4. Selama jangka waktu tertentu

Paten diberikan tidak untuk selamanya dan hanya berlaku dalam jangka waktu yang terbatas. Oleh karena itu, hak eksklusif yang diberikan kepada pemegang paten hanya bersifat terbatas. Setelah paten tersebut habis masa perlindungannya, statusnya berubah menjadi public domain atau menjadi milik umum. Setiap orang dapat memproduksi atau membuat Invensi yang telah berakhir perlindungan patennya.

5. Invensi harus dilaksanakan

Invensi di bidang teknologi yang telah dilindungi oleh paten harus dilaksanakan. Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 mengatur bahwa baik paten produk maupun paten proses wajib dilaksanakan di wilayah Indonesia. Tujuan ketentuan ini adalah untuk menunjang alih teknologi, penyerapan investasi dan penyediaan lapangan pekerjaan. Pengecualian diberikan terhadap Invensi di bidang tertentu yang memerlukan modal dan investasi yang besar untuk melaksanakan paten seperti yang dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) tersebut. Jika Invensi sulit dilaksanakan, pemegang paten dapat mengajukan kelonggaran kepada instansi terkait yang berwenang. Untuk itu, pemegang paten harus mengajukan alasan yang kuat dengan disertai bukti bahwa Invensinya sulit dilaksanakan di Indonesia. Salah satu contoh Invensi yang termasuk dalam kategori tersebut adalah


(30)

Invensi di bidang farmasi. Ijin untuk mendapatkan kelonggaran dalam melaksanakan paten dapat diajukan kepada Departemen Kesehatan (Penjelasan Pasal 17 ayat (2)).

6. Invensi dapat dilaksanakan oleh pihak lain dengan persetujuan pemegang paten

Selain dilaksanakan sendiri oleh pemegang paten, sebuah Invensi yang telah dilindungi paten dapat dilaksanakan oleh orang lain melalui perjanjian lisensi. Kecuali diperjanjikan lain, selama perjanjian lisensi pemegang paten dapat tetap melaksanakan paten tersebut (Pasal 69 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001).

Pengertian paten menurut Octroiiwet 1910 adalah :

“Paten ialah hak khusus yang diberi kepada seseorang atas permohonannya kepada orang itu yang menciptakan sebuah produk baru cara kerja baru atau perbaikan baru dari produk atau dari cara kerja”.15

15

Art.1.Octroiiwet 1910, Nederland, S.1910-313.

WIPO memberikan pengertian paten sebagai berikut :

“A Patent is legally enforceable rights granted by virtue of a law to a person to exclude, for a limited time, others from certain acts in relation to describe new invention; the privilege is granted by a government authority as a matter of rights to the person who is entitled to apply for it and who fulfils the prescribed condition.”


(31)

Dari pengertian tersebut dapat dilihat unsur penting paten, yakni bahwa paten adalah hak yang diberikan pemerintah dan bersifat eksklusif. Perbuatan-perbuatan yang merupakan hak eksklusif pemegang hak paten adalah produksi (manufacturing), penggunaan (using), penjualan (selling) barang yang dipatenkan, dan perbuatan yang berkaitan dengan penjualan barang itu seperti mengimpor, dan menyimpan (stocking).16

1. Deskripsi atau uraian penemuan adalah penjelasan tertulis megenai cara melaksanakan suatu penemuan sehingga dapat dimengerti oleh seseorang yang ahli di bidang penemuan tersebut.

Berdasarkan PP Nomor 34 Tahun 1991 tanggal 11 Juni 1991, sebagai penjabaran Undang-Undang Paten, ada 4 pengertian yang perlu diketahui dalam kaitannya dengan paten, yaitu :

2. Abstraksi adalah uraian singkat mengenai suatu penemuan yang merupakan ringkasan dari pokok – pokok penjelasan deksripsi, klaim, ataupun gambar.

3. Klaim adalah uraian tertulis mengenai inti penemuan atau bagian – bagian tertentu dari suatu penemuan yang memuat tanda – tanda, symbol – symbol, angka, bagan, atau diagram yang menjelaskan bagian – bagian dari penemuan.

4. Invensi adalah ide inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesiifik di bidang teknologi, dapat berupa produk atau proses penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses. Sedangkan inventor adalah seorang ang secara sendiri atau

16

Djumhana dan R Djubaedillah. 200. Hak Kekayaan Intelektual Sejarah, Teori, dan


(32)

beberapa orang yang secara bersama – sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang menghasilkan invensi.

Sementara itu, menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia yang ditulis oleh W.J.S Poerwadarminta pengertian paten adalah :

“Kata Paten berasal dari bahasa Eropa (paten/octroi) yang mempunyai arti suatu perniagaan atau ijin dari pemerintah yang menyatakan bahwa orang atau perusahaan boleh membuat barang pendapatannya sendiri (orang lain tidak boleh membuatnya)”.17

C. Subjek dan Objek Paten

Dari pengertian menurut Undang-Undang dan pengertian-pengertian lainnya diatas, dapat disimpulkan bahwa paten adalah merupakan hak bagi seseorang yang telah mendapatkan penemuan baru atau cara kerja baru dan perbaikannya yang kesemua istilah itu tercakup dalam satu kata “invensi” dalam bidang teknologi yang diberikan oleh pemerintah, dan kepada pemegang haknya diperkenankan untuk menggunakannya sendiri atau atas ijinnya mengalihkan penggunaan hak itu kepada orang lain.

Subjek paten menurut Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001, yaitu :

“Inventor adalah seorang yang secara sendiri atau beberapa orang yang secara bersama-sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang menghasilkan Invensi”.

17

W.J.S. Poerwadarminta. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : PN. Balai Pustaka, hal 1012.


(33)

Mengenai subjek paten, Pasal 10 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 menyebutkan :

1. Yang berhak memperoleh paten adalah inventor atau yang menerima lebih lanjut hak inventor yang bersangkutan

2. Jika suatu invensi dihasilkan oleh beberapa orang secara bersama-sama, hak atas invensi tersebut dimiliki secara bersama-sama oleh para inventor yang bersangkutan

Kedudukan Inventor adalah sama dengan pemegang paten. Namun hal tersebut tidaklah selalu terjadi di dalam praktik. Ada kalanya Inventor dan pemegang paten tidak berada dalam tangan yang sama. Inventor tidak selalu memiliki kemampuan untuk memproduksi Invensi seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 di Indonesia. Oleh karena itu, Inventor biasanya menjual Invensinya tersebut (assignment) kepada pihak investor yang selanjutnya menjadi pemegang paten. Nama Inventor sebagai pihak yang menghasilkan Invensi itu tetaplah dicantumkan dalam sertifikat paten. Pencantuman nama tersebut merupakan perwujudan dari hak moral, yaitu hak yang melekat dalam diri si Inventor walaupun kepemilikan atas Invesinya telah beralih kepada pihak lain. Dalam kasus penjualan hak paten (assignment), pelaksanaan hak eksklusif seperti tercantum di dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 yang dilaksanakan oleh pemegang paten, bukan Inventor.

Yang berhak memperoleh paten adalah Inventor atau yang menerima lebih lanjut hak Inventor tersebut. Ketentuan ini memberi penegasan bahwa hanya penemu atau yang berhak menerima lebih lanjut hak penemu, misalnya karena pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian, atau sebab-sebab lain, yang berhak memperoleh paten atas penemuan yang bersangkutan. Yang dianggap sebagai penemu adalah mereka yang untuk pertama kali mengajukan permintaan paten,


(34)

kecuali terbukti sebaliknya. Artinya undang-undang memakai titik tolak bahwa orang atau badan yang pertama kali mengajukan permintaan paten dianggap sebagai penemunya. Tetapi apabila di kemudian hari terbukti sebaliknya dengan bukti kuat dan meyakinkan, maka status sebagai penemu dapat berubah.

Selanjutnya dalam Undang-Undang Paten Nomor 14 Tahun 2001 Pasal 12 disebutkan :

1. Pihak yang berhak memperoleh paten atas suatu invensi yang dihasilkan dalam suatu hubungan kerja adalah pihak yang memberikan pekerjaan tersebut kecuali diperjanjikan lain;

2. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) juga berlaku terhadap invensi yang dihasilkan baik oleh karyawan maupun pekerja yang menggunakan data dan/atau sarana yang tersedia dalam pekerjaannya sekalipun perjanjian tersebut tidak mengharuskannya untuk menghasilkan invensi;

3. Inventor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berhak mendapatkan imbalan yang layak dengan memperhatikan manfaat ekonomi yang diperoleh dari Invensi tersebut;

4. Imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dibayarkan: a. Dakam jumlah tertentu dan sekaligus;

b. Persentase;

c. Gabungan antara jumlah tertentu dan sekaligus dengan hadiah atau bonus;

d. Gabungan antara persentase dan hadiah atau bonus; atau e. Bentuk lain yang disepakati para pihak;

5. Dalam hal tidak terdapat kesesuaian mengenai cara perhitungan dan penetapan besarnya imbalan, keputusan untuk itu diberikan oleh Pengadilan Niaga;

6. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) sama sekali tidak menghapuskan hak Inventor untuk tetap dicantumkan namanya dalam Sertifikat Paten.

Dengan demikian, berdasarkan ketentuan Pasal 12 ini hak ekonomis atas suatu paten dapat dialihkan atau beralih kepada orang lain, karena Inventor terikat dalam hubungan kerja atau Inventor menggunakan data dan/atau sarana yang tersedia dalam pekerjaannya. Kecuali diperjanjkan lain, pihak yang berhak memperoleh patennya adalah pihak yang memberikan pekerjaan atau atasannya. Sebagai gantinya, Inventornya berhak mendapatkan imbalan yang layak dengan


(35)

memperhatikan manfaat ekonomis yang diperoleh dari Invesi tersebut. Imbalannya tersebut dapat dibayarkan dalam jumlah tertentu, dan sekaligus persentase, gabungan antara jumlah tertentu dan sekaligus dengan hadiah atau bonus, gabungan antara persentase dan hadiah atau bonus; atau bentuk lain yang disepakati para pihak yang besarnya ditetapkan oleh kedua belah pihak atau oleh Pengadilan Niaga jika terdapat ketidaksesuaian cara perhitungan dan penetapan besarnya imbalan. Pengalihan paten tersebut ternyata tidak mengalihkan hak moral (moral right) yang dimiliki Inventor dan pada dasarnya nama Inventornya tetap dicantumkan dalam Sertifikat Paten.

Selain Inventor atau mereka yang menerima lebih lanjut hak dari Inventor yang bersangkutan, yang dikenal pula pemakai terdahulu, yang juga mendapatkan perlindungan hukum. Menurut Pasal 14 Undang-Undang Paten Nomor 14 Tahun 2001, perlindungan hukum terhadap pemakai terdahulu tersebut tidak berlaku apabila pihak yang melaksanakan Invensi sebagai pemakai terdahulu melakukannya dengan menggunakan pengetahuan tentang Invensi tersebut dari uraian, gambar, atau keterangan lainnya dari Invensi yang dimohonkan paten.

Menurut Pasal 1 angka (8) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001, pemegang paten tidak harus Inventor sebagai pemilik paten, melainkan bisa pihak yang menerima hak tersebut dari pemilik paten atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak tersebut, yang terdaftar dalam Daftar Umum Paten.

Dari pengertian paten yang dirumuskan dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001, dapat diketahui bahwa objek paten itu adalah hasil penemuan, yang diistilahkan Invensi. Invensi adalah ide Inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang


(36)

teknologi dapat berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses. Undang-Undang Paten menggunakan terminologi Invensi untuk penemuan, dengan alasan istilah Invensi berasal dari kata Invention yang secara khusus dipergunakan dalam kaitannya dengan paten.

Dalam Persetujuan Strasbourg tahun 1971 telah diklasifikasikan secara Internasional objek paten, yang dibagi dalam 8 seksi, dan 7 seksi di antaraya masih terbagi dalam subseksi sebagai berikut :

Seksi A : Kebutuhan manusia (human necessities) Subseksi :

a. agraria (agriculture);

b. Bahan-bahan makanan dan tembakau (foodstuff and tobacco);

c. Barang-barang perseorangan dan rrumah tangga (personal and domestic articles);

d. Kesehatan dan hiburan (health and amusement);

Seksi B : Melaksanakan karya (performing operations) Subseksi :

a. Memisahkan dan mencampurkan (separating and mixing); b. Pembentukan (shaping);

c. Pencetakan (printing);

d. Pengangkutan (transporting);

Seksi C : Kimia dan perlogaman (chemistry and metallurgy); Subseksi :


(37)

a. Kimia (chemistry); b. Perlogaman (metallurgy);

Seksi D : Pertekstilan dan perkertasan (textiles and paper) Subseksi :

a. Pertekstilan dan bahan-bahan yang mudah melentur dan sejenis (textiles and flexible materials and other-wise provided for);

b. Perkertasan (paper);

Seksi E : Konstruksi tetap (fixed construction) Subseksi :

a. Pembangunan gedung (building); b. Pertambangan (mining);

Seksi F : Permesinan (mechanical engineering) Subseksi :

a. Mesin-mesin dan pompa-pompa (engins and pumps); b. Pembuatan mesin pada umumnya (engineering in general); c. Penerangan dan pemanasan (lighting and heating);

Seksi G : Fisika (physics) Subseksi :

a. Instrumentalia (instruments); b. Kenukliran (nucleonics);


(38)

Seksi H : Perlistrikan (electricity)18

D. Proses Pendaftaran Paten

Berdasarkan kutipan di atas nampak jelas bahwa cakupan paten itu begitu luas, sejalan dengan luasnya cakrawala daya pikir manusia. Kreasi apa saja yang dilahirkan dari cakrawala daya piker manusia dapat menjadi objek paten, sepanjang hal itu temuan dalam bidang teknologi dan dapat diterapkan dalam bidang industri termasuk pengembangannya. Dengan demikian pula tidak tertutup kemungkinan objek paten ini akan berkembang sejalan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi dan kemampuan intelektual manusia.

Proses pendaftaran paten ini dimulai dengan mengajukan permohonan paten. Pasal 20 Undang-Undang Paten Nomor 14 Tahun 2001 menyatakan bahwa paten diberikan atas dasar permohonan dan Pasal 21 Undang-Undang Paten Nomor 14 Tahun 2001 menyatakan bahwa setiap permohonan hanya dapat diajukan untuk satu Invensi atau beberapa Invensi yang merupakan satu kesatuan Invensi.

Dari ketentuan Pasal 20 dan 21 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 ini, jelas ditentukan bahwa pemberian paten didasarkan pada permohonan yang diajukan oleh Inventor atau kuasanya. Artinya, tanpa adanya permohonan seseorang paten tidak akan diberikan. Permohonan paten dimaksud hanya dapat diajukan baik untuk satu Invensi atau beberapa Invensi yang merupakan satu kesatuan dan saling berkaitan erat.

18

R.M. Suryodiningrat. 1981. Aneka hak Milik Perindustrian, Bandung : Tarsito, hal 49-50. Klasifikasi objek-objek paten tersebut di atas sampai saat ini menjadi acuan di berbagai negara, walaupun disana-sini telah berubah sejalan dengan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan.


(39)

Pada dasarnya, permohonan paten harus diajukan oleh Inventor dan disertai dengan membayar biaya permohonan kepada Direktorat Jenderal HaKI. Dalam hal permohonan tidak diajukan oleh Inventor atau diajukan oleh pemohon yang bukan Inventor, menurut Pasal 23 Undang-Undang Paten Nomor 14 Tahun 2001 permohonan tersebut harus disertai pernyataan yang dilengkapi bukti yang cukup bahwa ia berhak atas Invensi yang bersangkutan dan Inventor dapat meneliti surat permohonan dimaksud dan atas biayanya sendiri dapat meminta salinan dokumen permohonan tersebut.

Ada dua sistem pendaftaran paten yang dikenal di dunia, yaitu : sistem registrasi dan sistem ujian.

Menurut sistem registrasi setiap permohonan pendaftaran paten diberi paten oleh kantor paten secara otomis. Spesifikasi dari permohonan tersebut hanya memuat uraian dan monopoli yang diminta dan tidak diberi penjelasan secara rinci. Karenanya batas-batas monopoli tidak dapat diketahui sampai pada saat timbul sengketa yang dikemukakan di sidang pengadilan yang untuk pertama kali akan menetapkan luasnya monopoli yang diperbolehkan. Itu pula sebabnya paten-paten yang terdaftar menurut sistem registrasi tanpa penyelidikan dan pemeriksaan lebih dahulu dianggap bernilai rendah atau paten-paten yang memiliki status lemah.

Jumlah negara yang menganut sistem registrasi sedikit sekali, antara lain Belgia, Afrika Selatan, dan Prancis. Pada awalnya, sistem pendaftaran paten yang banyak dipakai adalah sistem registrasi. Namun karena jumlah permohonan makin lama semakin bertambah, beberapa sistem registrasi lambat laun diubah menjadi sistem ujian dengan pertimbangan bahwa paten seharusnya lebih jelas menyatakan


(40)

monopoli yang dituntut dan selayaknya sejauh mungkin monopoli-monopoli yang tidak dapat dipertanggungjawabkan tidak akan diberi paten. Sebuah syarat telah ditetapkan bahwa semua spesifikasi paten harus meliputi klaim-klaim yang dengan jelas menerangkan monopoli yang akan dipertahankan sehingga pihak lain secara mudah dapat mengetahui yang mana yang dilarang oleh monopoli dan yang mana yang tidak dilarang.

Dengan sistem ujian, seluruh instansi terkait diwajibkan untuk menguji setiap permohonan pendaftaran dan bila perlu mendesak pemohon agar mengadakan perubahan (amandement) sebelum hak atas paten tersebut diberikan. Pada umumnya ada tiga unsur (kriteria) pokok yang diuji :

a. Invensi harus memenuhi syarat-syarat untuk diberi hak atas paten menurut Undang-Undang Paten

b. Invensi baru harus mengandung sifat kebaruan

c. Invensi harus mengandung unsur menemukan sesuatu yang bersifat kemajuan (invention step) dari apa yang telah diketahui

Di Indonesia sendiri ketentuan tentang sistem pendaftaran paten semula merujuk pada Pengumuman Menteri Kehakiman tanggal 12 Agustus 1853 No. J.S.5/41/4 (Berita Negara No. 53-69) tentang Permohonan Sementara Pendaftaran Paten. Adapun syarat-syarat permohonan pendaftaran menurut Pengumuman Menteri Kehakiman tersebut adalah :

a. Permohonan pendaftaran paten harus disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa si pemohon dengan disertai terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Surat permohonan harus ditandatangani oleh si pemohon sendiri dan harus disebut dalam surat itu nama, alamat dan kebangsaan


(41)

pemohon. Syarat demikian harus dipenuhi pula apabila permohonan diajukan oleh seseorang yang bertindak bagi dan atas nama pemohon selaku kuasanya;

b. Surat permohonan harus disertai :

1. Sebuah uraian dari ciptaan baru (maksudnya temuan baru dari penulis yang dimintakan rangkap tiga (3);

2. Jika perlu sebuah gambar atau lebih dan setiap gambar harus dibuat rangkap dua (2);

3. Surat kuasa, apabila permohonan diajukan oleh seorang kuasa;

4. Surat pengangkatan seorang kuasa yang bertempat tinggal di Indonesia;

c. Biaya-biaya yang ditentukan;

d. Keterangan tentang belum atau sudah dimintakannya hak paten di luar negeri atas permohonan yang diajukan itu dan kalau sudah dimintakannya, apakah sudah diberi hak paten di luar negeri negeri tersebut

Namun kemudian setelah keluar Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1989, yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1997, ketentuan ini disempurnakan lagi melalui Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001, prosedur permohonan paten sudah disebut secara rinci dan menyamai prosedur permohonan paten di negara-negara lain di seluruh dunia.

Pemeriksaan paten adalah tahapan yang menentukan keputusan dapat atau tidaknya diberikan paten oleh Direktorat Jenderal. Hal-hal dan langkah-langkah pemeriksaan telah ditetapkan dalam peraturan-peraturan paten, sedangkan pelaksanaannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal.


(42)

Dalam berbagai literatur ditemukan istilah-istilah yang digunakan mengenai sistem pendaftaran paten antara lain : sistem konstitutif yang disebut juga sistem ujian (examination system). Dalam sistem konstitutif ini dikenal dua jenis sistem pemeriksaan, yaitu pemeriksaan langsung (prompt examination system) dan pemeriksaan yang ditunda (defered examination system).19

1. Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Direktorat Jenderal;

Kemudian sistem deklaratif yang dalam pendaftaran hanya memberi dugaan saja menurut undang-undang bahwa orang yang mendaftarkan patennya itu adalah orang yang berhak dari paten yang didaftarkan.

Undang-Undang Paten Nomor 14 Tahun 2001 menggunakan sistem pemeriksaan yang ditunda. Hal ini dapat dilihat dari tahap-tahap pemeriksaan, yaitu pemeriksaan substansi dilakukan setelah dipenuhi syarat-syarat administratif. Adapun syarat-syarat administratif yang harus dipenuhi untuk mengajukan permintaan paten dapat dilihat dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 yang berbunyi sebagai berikut :

2. Permohonan harus memuat :

a. Tanggal, bulan, dan tahun permohonan; b. Alamat lengkap dan alamat jelas pemohon; c. Nama lengkap dan kewarganegaraan Inventor;

d. Nama dan alamat lengkap kuasa apabila permohonan diajukan melalui kuasa;

e. Surat kuasa khusus, dalam hal permohonan diajukan oleh kuasa; f. Pernyataan permohonan untuk dapat diberi paten;

g. Judul Invensi;

h. Klaim yang terkandung dalam Invensi;

i. Deskripsi tentang Invensi yang secara lengkap memuat keterangan tentang cara melaksanakan Invensi;

j. Gambar yang disebutkan dalam deskripsi yang diperlukan untuk memperjelas Invensi; dan

k. Abstraksi Invensi;

19

Adisumarto Harsono. 1985. Hak Milik Intelektual Khususnya Paten dan Merek, Hak


(43)

3. Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pengajuan permohonan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Setelah melalui tahapan pemeriksaan, Direktorat Jenderal berkewajiban memberikan keputusan untuk menyetujui permintaan paten dan dengan demikian memberi paten atau menolaknya. Apabila berdasarkan pemeriksaan dihasilkan kesimpulan bahwa penemuan yang dimintakan paten dapat diberi paten, Direktorat Jenderal memberikan Surat Paten kepada orang yang mengajukan permintaan paten. Begitu pula sebaliknya bila kesimpulannya tidak memenuhi syarat, maka permintaan ditolak.

Penolakan harus dilakukan secara tertulis. Surat pemberitahuan yang berisikan penolakan permintaan paten harus dengan jelas mencantumkan pula alasan dan pertimbangan yang menjadi dasar penolakan. Direktorat Jenderal memberikan secara resmi Surat Paten untuk penemuan yang permintaannya diterima kepada orang yang mengajukan permintaan paten atau kuasanya. Paten yang telah diberikan dicatat dalam Daftar Umum Paten dan diumumkan dalam Berita Resmi Paten. Begitu pula surat yang berisikan penolakan permintaan paten, dicatat dalam Buku Resmi Paten yang mencatat paten yang bersangkutan. Atas keputusan penolakan dapat dilakukan banding, yang diajukan kepada Komisi Banding Paten dengan tembusan kepada Direktorat Jenderal.

Selain syarat administrasi yang harus dipenuhi, terdapat juga beberapa syarat yang diatur dalam Pasal 2, 3 dan 5 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten. Setelah syarat-syarat dalam Pasal 2, 3 dan 5 tersebut terpenuhi, Kantor Paten memberikan secara resmi surat paten untuk Invensi yang bersangkutan kepada orang yang mengajukan permintaan paten (Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001).


(44)

E. Hak dan Kewajiban Pemegang Paten

Pemegang paten memiliki hak khusus untuk melaksanakan secara perusahaan atas patennya baik secara sendiri maupun dengan memberikan persetujuan kepada orang lain, yaitu :

a. Membuat, menjual, menyewakan, menyerahkan, memakai, menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan hasil produksi yang diberi paten;

b. Menggunakan proses produksi yang diberi paten untuk membuat barang dan tindakan lainnya sebagaimana dimaksud dalam huruf a.

Mengenai Hak Pemegang paten diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 yang menyatakan :

(1) Pemegang Paten memiliki hak eksklusif untuk melaksanakan Paten yang dimilikinya dan melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya: a. dalam hal Paten-produk: membuat, menggunakan, menjual,

mengimpor, menyewakan, menyerahkan, atau menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan produk yang diberi Paten; b. dalam hal Paten-proses: menggunakan proses produksi yang diberi

Paten untuk membuat barang dan tindakan lainnya sebagaimana dimaksud dalam huruf a.

(2) Dalam hal Paten-proses, larangan terhadap pihak lain yang tanpa persetujuannya melakukan impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku terhadap impor produk yang semata-mata dihasilkan dari penggunaan Paten-proses yang dimilikinya.

(3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) apabila pemakaian Paten tersebut untuk kepentingan pendidikan, penelitian, percobaan, atau analisis sepanjang tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pemegang Paten.

Dari ketentuan Pasal 16 Undang-Undang Paten Tahun 2001, dapat diketahui pula bahwa hak eksklusif pemegang paten dikecualikan jika pemakaian patennya dimaksudkan untuk kepentingan pendidikan, penelitian, percobaan, atau analisis dengan syarat hal itu tidak merugikan kepentingan yang wajar dari


(45)

pemegang paten. Artinya, pelaksanaan atau penggunaan Invensi yang dikecualikan tadi tidak digunakan untuk kepentingan yang mengarah kepada eksploitasi untuk kepentingan komersial, sehingga dapat merugikan bahkan dapat menjadi kompetitor bagi pemegang paten. Pengecualian ini sebenarnya dimaksudkan untuk memberikan kesempatan bagi pihak yang betul-betul memerlukan penggunaan Invensi semata-mata untuk penelitian dan pendidikan, yang mencakup pula kegiatan untuk keperluan uji bioekivalensi atau bentuk pengujian lainnya.

Mengenai kewajiban pemegang paten disebutkan dalam Pasal 17 dan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001, dengan tidak mengurangi ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1), pemegang paten wajib membuat produk atau menggunakan proses yang diberi paten di Indonesia. Dengan kewajiban ini, berarti setiap pemegang paten diharuskan untuk melaksanakan patennya yang diberi di Indonesia melalui pembuatan produk atau menggunakan proses yang dipatenkan tersebut, dengan harapan dapat menunjang adanya alih teknologi, penyerapan investasi, dan penyediaan lapangan kerja.

Kewajiban melaksanakan paten yang diberi di Indonesia akan dikecualikan, jika pembuatan produk atau penggunaan proses tersebut hanya layak dilakukan secara regional. Hal ini dicantumkan dalam Pasal 17 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Paten Tahun 2001, yang menyatakan :

Pasal 2, yaitu :

(2) Dikecualikan dari kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila pembuatan produk atau penggunaan proses tersebut hanya layak dilakukan secara regional.


(46)

Pasal 3, yaitu :

(3) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat disetujui oleh Direktorat Jenderal apabila Pemegang Paten telah mengajukan permohonan tertulis dengan disertai alasan dan bukti yang diberikan oleh instansi yang berwenang.

Rasionalitas pengecualian kewajiban melaksanakan paten ini dijelaskan lebih lanjut antara lain dalam Penjelasan Pasal 17 ayat (2) tersebut, sebagai berikut :

Ketentuan pada ayat (2) ini dimaksudkan untuk mengakomodasi rasionalitas ekonomi dari pelaksanaan Paten sebab tidak semua jenis Invensi yang diberi Paten dapat secara ekonomi menguntungkan apabila skala pasar bagi produk yang bersangkutan tidak seimbang dengan investasi yang dilakukan. Beberapa cabang industri menghadapi persoalan ini, misalnya industri di bidang farmasi. Di cabang industri seperti itu skala kelayakan ekonomi seringkali meliputi pasar yang berskala regional misalnya kawasan Asia Tenggara. Untuk itu, kelonggaran diberikan atas dasar penilaian objektif.

Namun harus diingat bahwa pengecualian kewajiban melaksanakan paten di Indonesia harus pula ditujukan dalam rangka menunjang alih teknologi yang efektif dan dapat meningkatkan devisa bagi negara kita.

Kewajiban lainnya disebutkan dalam Pasal 18 Undang-Undang Paten Tahun 2001, bahwa pemegang paten atau penerima lisensi suatu paten diwajibkan untuk membayar biaya tahunan untuk pengelolaan kelangsungan berlakunya paten dan pencatatan lisensi.


(47)

F. Pengalihan dan Jangka Waktu

Sebagaimana halnya dengan hak atas kepemilikan intelektual yang lain seperti hak cipta dan merek, paten pada dasarnya hak milik perseorangan yang immateril yang timbul karena kemampuan intelektual manusia. Sebagai hak milik, paten juga dapat dialihkan atau diserahkan oleh Inventornya atau oleh yang berhak atas Invensi itu kepada perseorangan atau badan hukum.

Prinsip ideal perlindungan paten sama dengan perlindungan HaKI lainnya sepanjang kesemuanya bermaksud untuk melindungi seseorang yang menemukan hal sesuatu agar buah pikiran dan pekerjaannya tidak dipergunakan begitu saja oleh orang lain dan menikmati hasilnya dengan melupakan jerih payah mereka yang telah bekerja keras, berpikir dan mengeluarkan biaya untuk mendapatkannya. Jika dibandingkan antara hak cipta dengan paten, maka perbedaan antara keduanya adalah wujud hak cipta oleh hukum dalam prinsipnya diakui sejak saat semula, dan hukum hanya mengatur dalam perlindungannya. Sedangkan paten adalah hak yang diberikan oleh negara kepada seseorang yang menemukan sesuatu hal (invensi) dalam bidang teknologi yang dapat diterapkan dalam bidang industri, terhadap satu-satunya orang (eksklusif) yang menemukannya melalui buah pikiran atau buah pekerjaan, dan orang lain dilarang mempergunakannya, kecuali atas ijinnya.

Oleh karena itu, lahirnya paten tergantung dari pemberian negara. Dalam hal ini Wirjono Projodikoro menulis :


(48)

“Perkataan Oktroi atau paten berarti juga suatu privilege, suatu pemberian istimewa, seolah-olah hak yang diberikan itu bukan hak asasi, sedangkan sebetulnya hak ini adalah hak asasi, tidak berbeda dari hak cipta.”20

Selain itu ada aturan lain, bahwa pemegang paten dapat memberi lisensi atas perijinan kepada orang lain untuk memakai buah pikiran yang tertuang ke dalam paten itu, seluruhnya atau sebagian.”

Selanjutnya Wirjono Projodikoro mengatakan pula :

“Hak cipta dapat diserahkan kepada orang lain, hak paten pun dapat diserahkan kepada orang lain.

21

Menurut Hukum Perdata, yang dimaksud dengan penyerahan itu adalah, “penyerahan suatu benda oleh pemilik atau atas namanya kepada orang lain sehingga orang lain tersebut memperoleh milik atas benda tersebut.”

Dengan adanya pengalihan atau penyerahan paten kepada orang lain, beralih atau diserahkan pula kekuasaan atas paten tersebut. Disini yang beralih atau diserahkan hanyalah hak ekonomisnya saja, sedangkan hak moralnya tidak ikut serta beralih atau diserahkan, karena tetap melekat pada diri Inventornya.

Paten sebagai suatu hak yang diberikan kepada seseorang atas suatu penemuan yang megandung langkah inveritif (keharusan) dapat dialihkan kepada orang lain. Pengertian pengalihan hak adalah penyerahan kekuatan/kekuasaan (atas sesuatu benda) kepada badan hukum, orang, negara (pihak lain).

20

Wirjono Projodikoro. Hukum Perdata tentang Hak-Hak atas Benda, Jakarta : PT. Pembimbing Masa, hal 212

21


(49)

Penyerahan itu dapat dibedakan lagi atas “penyerahan secara nyata dan penyerahan secara yuridis”. Penyerahan secara nyata adalah mengalihkan kekuasaan atas suatu kebendaan secara nyata, sedangkan penyerahan secara juridis adalah perbuatan hukum pada mana atau karena mana hak milik (atau hak kebendaan lainnya) dialihkan.22

Perbedaan keduanya tampak jelas pada penyerahan benda-benda tak bergerak dan benda-benda bergerak. Pada pendaftaran benda tak bergerak penyerahannya harus melalui pendaftaran pada suatu akta di dalam daftar umum, sebaliknya penyerahan benda-benda bergerak bentuk penyerahan itu dilakukan sekaligus, artinya penyerahan secara nyata dan penyerahan secara juridis dilakukan secara bersama-sama.23

(1) Paten dapat beralih atau dialihkan baik seluruhnya maupun sebagian karena:

Paten atau pemilikan paten dapat beralih atau dialihkan baik seluruhnya maupun sebagian. Hal ini dapat jelas terlihat dari bunyi pasal berikut :

Pasal 66

a. pewarisan; b. hibah; c. wasiat;

d. perjanjian tertulis; atau

e. sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. (2) Pengalihan Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf

b, dan huruf c, harus disertai dokumen asli Paten berikut hak lain yang berkaitan dengan Paten itu.

(3) Segala bentuk pengalihan Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicatat dan diumumkan dengan dikenai biaya.

22

Vollmar, Terjemahan IS. Adiwimarta, hal 230

23

Mariam Darus Badrulzaman. 1983. Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Bandung : Alumni, hal 37-41


(50)

(4) Pengalihan Paten yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal ini tidak sah dan batal demi hukum.

(5) Syarat dan tata cara pencatatan pengalihan Paten diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.

Dari ketentuan Pasal 66 ini, jelaslah bahwa pengalihan paten tidak dapat serta merta oleh Inventornya kepada orang lain atau badan hukum, melainkan harus dilakukan menurut syarat dan tata cara tertentu yang diatur dalam Undang-Undang Paten dan peraturan pelaksanaannya. Apabila pengalihan paten tersebut dilakukan tidak sesuai atau tidak memenuhi syarat dan tata cara yang telah ditentukan, pengalihan paten dimaksud diancam dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum. Pengalihan paten tersebut, bisa seluruhnya maupun sebagian saja, sebab pengalihan paten tersebut bisa disebabkan oleh pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian tertulis, atau sebab yang lain yang dibenarkan oleh peraturan undangan. Sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan misalnya pemilikan paten karena pembubaran badan hukum yang semula merupakan pemegang paten.

Pasal 69 Undang-Undang Paten menyebutkan :

(1) Pemegang Paten berhak memberikan Lisensi kepada pihak lain berdasarkan perjanjian Lisensi untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16.

(2) Kecuali jika diperjanjikan lain, lingkup Lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi semua perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 berlangsung selama jangka waktu Lisensi diberikan dan berlaku untuk seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.

Kutipan pasal diatas dapat diberi penjelasan bahwa berbeda dengan pengalihan paten dimana pemilikan juga beralih, maka perlisensian melalui suatu perjanjian pada dasarnya hanya bersifat pemberian hak untuk menikmati manfaat ekonomi dari paten, dalam jangka waktu tertentu dan syarat tertentu pula.


(51)

Dalam Pasal 70 disebutkan :

“Kecuali diperjanjikan lain, Pemegang Paten tetap boleh melaksanakan sendiri atau memberi lisensi kepada pihak ketiga lainnya untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16.”

Dari pasal tersebut dapat dijelaskan bahwa kadang-kadang perjanjian lisensi dibuat khusus, artinya lisensi hanya diberikan kepada pemegangnya. Jika dimaksud demikian maka hal itu harus secara tegas dinyatakan dalam perjanjian lisensi. Apabila tidak, maka perjanjian lisensi paten dianggap tidak memakai syarat seperti itu, undang-undang ini menganut paham yang demikian. Oleh karenanya pemegang paten pada dasarnya masih boleh melaksanakan sendiri paten yang dilisensikannya, atau memberi lisensi yang sama kepada pihak ketiga lainnya. Ketentuan ini dengan demikian dimaksudkan untuk mencegah berlangsungnya keadaan yang menempatkan perjanjian lisensi kemudian selalu dianggap bersifat eksklusif.

Perkembangan mengenai paten dewasa ini, menunjukkan bahwa masalah paten tidak lagi merupakan sistem perlindungan hak individu terhadap penemuan baru dalam bidang teknologi, tetapi semakin maju dan meluas ke percaturan politik dan ekonomi antar negara-negara berkembang dengan negara-negara maju dengan segala kaitan dan akibatnya. Berkenaan dengan rasa keadilan dan jerih payah tersebutlah maka negara-negara di dunia memberikan penghargaan yang wajar bagi sesuatu temuan baru tersebut.

Perlindungan hukum terhadap Invensi yang dipatenkan diberikan untuk masa jangka waktu tertentu. Selama masa jangka waktu tertentu, penemunya


(52)

dapat melaksanakan sendiri Invensinya atau menyerahkan kepada orang lain untuk melaksanakan. Baru setelah itu Invensi yang di patenkan tersebut berubah menjadi milik umum atau berfungsi sosial. Masa jangka waktu perlindungan hukum terhadap paten ini dicantumkan dalam Pasal 8 ayat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 yang menyatakan bahwa :

(1) Paten diberikan untuk jangka waktu selama 20 (dua puluh) tahun terhitung sejak Tanggal Penerimaan dan jangka waktu itu tidak dapat diperpanjang.

(2) Tanggal mulai dan berakhirnya jangka waktu Paten dicatat dan diumumkan.

Berbeda dengan ketentuan yang masa jangka waktu perlindungan hukum paten selama 14 (empat belas) tahun, terhitung sejak penerimaan permintaan paten dan dapat diperpanjang lagi satu kali untuk masa jangka waktu selama 2 tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 9 dan Pasal 43 Undang-Undang Paten Tahun 1989.

Perhitungan masa jangka waktu perlindungan hukum terhadap paten tersebut, dimulai sejak tanggal penerimaan. Sejak tanggal penerimaan paten inilah dilakukan perhitungan perlindungan hukum paten yang diberikan selama 20 tahun. Dan tanggal mulai dan berakhirnya jangka waktu perlindungan paten tersebut harus dicatat dalam Daftar Umum Paten dan diumumkan dalam Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001. Kemudian penjelasan pasal tersebut menyatakan : yang dimaksud dengan dicatat dan diumumkan pada ayat ini dan dalam ketentuan-ketentuan selanjutnya dalam Undang-Undang ini adalah dicatat dalam Daftar Umum Paten dan diumumkan dalam Berita Resmi Paten.

Paten biasa berlaku selama 20 tahun terhitung sejak tanggal penerimaan paten. Jangka waktu 20 tahun ini sesuai dengan tuntutan Perjanjian TRIPs. Selain


(53)

paten biasa, di Indonesia dikenal pula jenis paten lain yang disebut paten sederhana. Jangka waktu perlindungan paten sederhana adalah 10 tahun terhitung sejak tahun penerimaan.

Untuk menjamin kelangsungan paten itu dari tahun ke tahun, pemegang paten harus membayar biaya. Pasal 115 menetapkan bahwa paten dinyatakan batal demi hukum jika kewajiban membayar biaya tahunan tidak dipenuhi selama tiga tahun berturut-turut.


(54)

BAB III

LISENSI PATEN

A. Pengertian Lisensi Paten

Lisensi berasal dari kata “licentia” yang berarti kebebasan atau ijin. Apabila seseorang memberikan suatu paten, maka hal itu berarti ia memberikan kebebasan atau persetujuannya kepada orang lain untuk dipergunakannya sesuatu yang semula tidak diperkenankan : yakni untuk memakai paten yang dilindungi hak-haknya. Tanpa persetujuan tersebut, maka orang lain itu tidak bebas menggunakan paten karena hak khusus atas paten berada ditangan orang yang memilikinya.

Menurut Sarjana Gunawan Widjaja, yang dimaksud dengan Lisensi adalah:

“Lisensi adalah suatu bentuk hak untuk melakukan satu atau serangkaian atau perbuatan, yang diberikan oleh mereka yang berwenang dalam bentuk ijin. Tanpa adanya ijin tersebut, maka perbuatan atau tindakan tersebut merupakan suatu tindakan yang terlarang, yang tidak sah, yang merupakan perbuatan melawan hukum”.24

Pemegang paten berhak memberikan Lisensi kepada pihak lain berdasarkan Perjanjian Lisensi untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001. Berbeda dari pengalihan paten yang pemilikan haknya juga beralih, Lisensi melalui suaru perjanjian pada dasarnya hanya bersifat pemberian hak untuk menukmati manfaat

24


(55)

ekonomi dari paten dalam jangka waktu dan syarat-syarat tertentu pula. Kecuali jika diperjanjikan lain, lingkup lisensi paten meliputi semua perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 serta berlangsung selama jangka waktu Lisensi dan berlaku untuk seluruh wilayah negara Republik Indonesia.

Kecuali diperjanjikan lain, pemegang paten tetap boleh melaksanakan sendiri atau memberikan Lisensi kepada pihak ketiga lainnya untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001. Perjanjian Lisensi tidak boleh memuat ketentuan, baik langsung maupun tidak langsung, yang dapat merugikan perekonomian Indonesia, atau memuat pembatasan yang menghambat kemampuan bangsa Indonesia dalam menguasai dan mengembangkan teknologi. Perjanjian Lisensi harus dicatat dan diumumkan oleh Dirjen HaKI dengan dikenakan biaya. Jika Perjanjian Lisensi tidak dicatat Dirjen HaKI, maka Perjanjian Lisensi tersebut tidak mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga.

Perjanjian Lisensi Paten adalah suatu ijin yang diberikan oleh pemegang paten kepada pihak lain melalui suatu perjanjian pemberian hak untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu paten yang diberikan perlindungan dalam jangka waktu tertentu dan syarat tertentu. Perjanjian Lisensi Paten memuat informasi tentang :

1) Tanggal, bulan dan tahun tempat dibuatnya Perjanjian Lisensi;

2) Nama dan alamat lengkap serta tanda tangan para pihak yang mengadakan Perjanjian Lisensi;


(56)

4) Jangka waktu Perjanjian Lisensi;

5) Dapat tidaknya jangka waktu Perjanjian Lisensi diperpanjang;

6) Pelaksanaan paten untuk seluruh atau sebagian dari paten yang diberikan Lisensi;

7) Jumlah royalti dan pembayarannya;

8) Dapat tidaknya Penerima Lisensi memberikan Lisensi lebih lanjut kepada pihak ketiga;

9) Batas wilayah berlakunya Perjanjian Lisensi, apabila diperjanjikan;

10)Dapat tidaknya Pemberi Lisensi melaksanakan sendiri paten yang telah dilisensikan kepada penerima Paten;

11)Perjanjian Lisensi dibuat secara tertulis dan harus ditandatangani kedua belah pihak.25

Dalam praktik di Indonesia secara kuantitatif permohonan paten hanya sedikit yang berasal dari dalam negeri, selainnya jumlah terbesar berasal dari luar negeri. Ini menunjukkan bahwa kemampuan orang untuk menghasilkan Invensi baru yang dapat memperoleh hak paten belum memperlihatkan angka yang menggembirakan. Dalam keadan seperti ini, untuk menunjang dan mempercepat laju industrialisasi, perjanjian lisensi sangat penting artinya. Masuknya paten dan lahirnya berbagai perjanjian lisensi merupakan konsekuensi logis dari diundangkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001. Lebih dari itu, hal ini merupakan bagian dari globalisasi perekonomian dunia. Negara Indonesia yang

25

A. Zen Umar Purba, 2001. “Hak Kekayaan Intelektual dan Perjanjian Lisensi”, Makalah Seminar Kontrak-Kontrak Komersil di Indonesia yang diselenggarakan oleh Sigma Confrence, Jakarta. 21 November 2001, hal. 3, diakses dari situs Ditjen HKI (www.dgip.go.id).


(57)

telah mencanangkan dirinya untuk menjadi negara industri sudah seharusnya melakukan perjanjian lisensi semaksimal mungkin.26

1. Transfer material

Pada dasarnya, perjanjian lisensi ini dimaksudkan sebagai salah satu sarana proses alih teknologi. Dengan adanya perjanjian lisensi, diharapkan negara-negara berkembang seperti Indonesia juga dapat menikmati kemajuan. Bahkan dapat menguasai teknologi yang sama yang berkembang di negara maju. Karena itu sudah seyogyanya dalam perjanjian lisensi dicantumkan pula klausula yang mewajibkan pemberi lisensi untuk melakukan alih teknologi kepada penerima lisensi.

Paten diberikan untuk Invensi-invensi dalam bidang teknologi. Negara kita saat ini baru pada tahap pemanfaatan teknologi, belum pada tahap Invensi teknologi. Karena itu, salah satu carauntuk dapat menguasai teknologi adalah dengan melakukan proses alih teknologi.

Ada tiga fase alih teknologi, yaitu :

Dalam fase ini, alih teknologi seperti ilmu pengetahuan tidak dilakukan tetapi hanya hasil-hasil alih teknologi, misalnya mesin-mesin, bahan-bahan, alat-alat, yang terkait dengan mesin-mesin dan bahan-bahan itu;

2. Transfer rancang bangun

26

Saidin. 1995. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Right). Jakarta : PT.Rajagrafindo Persada, hal 192


(58)

Dalam fase ini, alih teknologi dilakukan dengan unsure-unsur rancang bangun, misalnya cetak biru (blue prints), desain, formula, dan lain-lain. Bahkan jika penerima transfer dapat membuat barang-barang sesuai dengan rancang bangun ia masih harus mengimpor mesin-mesin, bahan-bahan, dan lain-lain dari pemberi transfer dan kebergantungan kepada pemberi transfer masih kuat;

3. Alih kemampuan

Dalam fase ini, alih teknologi dilakukan melalui pengalihan ilmu pengetahuan, keahlian, ketrampilan, dan juga para pakar. Dengan fase ini, penerima transfer dapat membuat tidak hanya berdasar rancang bangun, formula, dan lain-lain, tetapi juga perbaikan dan diversifikasi produk;27

1) Komersialisasi secara langsung;

Perjanjian Lisensi adalah salah satu cara untuk mengoptimalkan keuntungan yang diperoleh dari hak paten. Selain lisensi, beberapa cara lainnya yang lazim digunakan oleh pemegang paten untuk mengkomersialkan hak eksklusifnya diantaranya adalah :

2) Menjual paten kepada pihak lain;

3) Membangun usaha patungan dengan pihak lain.28

Sebelum melakukan Perjanjian Lisensi, pemegang hak sebaiknya melakukan penghitungan terhadap nilai ekonomi dari paten yang dimilikinya (patent valuation). Ada beberapa metode yang dikenal dalam patent valuation :

27

Insan Budi Maulana. 1996, hal 81

28


(1)

Oleh karena permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi ditolak maka Pemohon Kasasi dihukum untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini;

Diktum Putusan Mahkamah Agung

1. Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi yaitu PT. ENOMOTO SRIKANDI INDUSTRIES

2. Karena Pemohon Kasasi berada di pihak yang kalah, maka dihukum untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi sebesar Rp. 5000.000,- (lima juta rupiah).


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Dari seluruh uraian di atas dapat dilihat bahwa apabila paten tidak

memenuhi ketentuan yang ditetapkan undang-undang, maka paten tersebut batal atau dapat dibatalkan. Pembatalan tersebut dapat dilakukan dengan alasan-alasan sebagai berikut :

1. Pembatalan demi hukum

2. Pembatalan paten atas permintaan pemegang paten 3. Pembatalan paten karena gugatan

Di dalam Undang-Undang disebutkan secara tersirat atau dapat kita lihat dalam Pasal 7 dan Pasal 88 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001, dimana didalamnya tidak disebutkan secara keseluruhan tentang diberikannya pembatalan paten. Di dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 disebutkan bahwa paten tidak diberikan untuk Invensi tentang :

a) proses atau produk yang pengumuman dan penggunaan atau

pelaksanaannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, ketertiban umum, atau kesusilaan;

b) metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan dan/atau

pembedahan yang diterapkan terhadap manusia dan/atau hewan;

c) teori dan metode di bidang ilmu pengetahuan dan matematika; atau

d) i. semua makhluk hidup, kecuali jasad renik;

ii. proses biologis yang esensial untuk memproduksi tanaman atau hewan, kecuali proses non-biologis atau proses mikrobiologis.


(3)

Sedangkan dalam Pasal 88 disebutkan bahwa paten dapat dibatalkan apabila pemegang paten tidak memenuhi kewajiban membayar biaya tahunan dalam jangka waktu yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001.

2. Pembatalan paten menghapuskan segala akibat hukum yang berkaitan

dengan paten dan hal-hal lain yang berasal dari paten tersebut (Pasal 95 Undang-Undang Nomor 14 tahun 2001). Kecuali jika ditentukan lain dalam Putusan Pengadilan Niaga, Paten batal untuk seluruh atau sebagian sejak tanggal putusan pembatalan tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap (Pasal 96 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001).

3. Bentuk perlindungan yang diberikan undang-undang kepada pemegang

lisensi adalah Pemegang/ Penerima lisensi tidak wajib meneruskan pembayaran royalti yang seharusnya masih wajib dilakukan kepada pemegang Paten yang patennya dibatalkan, tetapi mengalihkan pembayaran royalti untuk sisa jangka waktu lisensi yang dimilikinya kepada Pemegang Paten yang berhak. Dalam hal pemegang paten sudah menerima sekaligus royalti dari Pemegang/ Penerima Lisensi. Pemegang paten tersebut wajib megembalikan jumlah royalti yang sesuai dengan sisa jangka waktu penggunaan lisensi kepada Pemegang paten yang berhak.

B. Saran

Berkaitan dengan pembahasan bab-bab sebelumnya, Penulis mencoba memberikan saran, antara lain:


(4)

1. Sebagai salah satu dari Hak Kekayaan Intelektual yang dilindungi oleh Negara, hendaknya setiap Inventor atau Pemegang paten mendaftarkan Invensi atau temuannya kepada Direktorat jenderal HaKI karena perlindungan terhadap hak paten didapatkan apabila Inventor atau Pemegang paten mendaftarkan temuannya. Menurut Ketentuan undang-undang, setiap HaKI wajib didaftarkan. Pendaftaran yang memenuhi persyaratan undang-undang merupakan pengakuan dan pembenaran atas HaKI seseorang yang dibuktikan dengan sertifikat pendaftaran, sehingga memperoleh perlindungan hukum. Perlindungan hukum HaKI karena adanya keharusan pendaftaran disebut dengan sistem konstitutif (first to file system). Menurut sistem konstitutif, HaKI seseorang hanya dapat diakui dan dilindungi oleh undang-undang apabila didaftarkan. Tidak didaftarkan berarti tidak ada perlindungan dan tidak ada pengakuan. Sistem konstitutif antara lain dianut oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001.

2. Kepada para pihak yang ingin menciptakan suatu ide atau temuan

hendaknya membuat ide atau temuan yang asli atau orisinil sehingga tidak akan menimbulkan kerugian bagi pihak lain yang seharusnya merupakan pemilik asli dari penemuan-penemuan tersebut.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku

Anwar, Chairul. 1992. Hukum Paten dan Perundang-undangan Paten Indonesia. Jakarta : Percetakan Ikrar Mandiriabadi.

Darus, Mariam. 1983. Mencari sistem Hukum Benda Nasional. Bandung : Alumni Departemen Pendidikan Nasional, 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:

Balai Pustaka.

Djamal. 2009. Hukum Acara Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia. Bandung: Pustaka Reka Cipta.

Djumhana, Muhammad dan R. Djubaedillah. 2003. Hak Kekayaan Intelektual, Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia. Bandung : Citra Aditya Bakti.

Hariyani, Iswi. 2010. Prosedur Mengurus HAKI (Hak atas Kekayaan Intelektual) yang Benar. Yogyakarta: Pustaka Yustisia.

Harsono, Adisumarto. 1985. Hak Milik Intelektual Khususnya Paten dan Merek, Hak Milik Perindustrian (Industrial Property). Jakarta : Akademika Pressindo.

Kesowo, Bambang. 1995. Pengantar Umum Mengenai Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) di Indonesia. Yogyakarta : Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

Lindsey, Tim, Eddy Damian, Simon Butt, dan Tomi Suryo Utomo. 2006. Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar. Bandung : PT. Alumni.

Muhammad, Abdulkadir. 2000. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: Pt. Citra Aditya Bakti.

Prodjodikoro, Wirjono. Hukum Perdata tentang Hak-hak atas Benda. Jakarta : PT. Pembimbing Masa.

Riswandi, Budi Agus dan M. Syamsudin. 2004. Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Saidin, OK. 1995. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Inteleectual Property Rights). Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.


(6)

Sudaryat, Sudjana, Rika Ratna Permata. 2010. Hak Kekayaan Intelektual. Bandung: Oase Media.

Sunggono, Bambang. 2005. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Suryodiningrat, R. M. 1981. Aneka Hak Milik Perindustrian. Bandung : Tarsito Usman, Rachmadi. 2003. Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual. Bandung: PT.

Alumni.

Utomo, Tomi Suryo. 2010. Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Era Global, Sebuah Kajian Kontemporer. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Widjaja, Gunawan. 2001. Seri Hukum Bisnis Lisensi. Jakarta : RAJAGRAFINDO PERSADA

B. Peraturan Perundang-undangan