30
arab dan rasm usmani. Pembagian ini sama dengan mutawatir, namun dibagi lagi menjadai dua bagian, yaitu: 1. bahwa penukilan dan talaqinya diterima oleh para
imam, sebagaimana pada istilah bacaan mad panjang yang terdapat pada kitab-kitab yang dijadikan rujukan utama oleh para imam, atau periwayatannya sendirian. 2.ada
beberapa qiraat yang tidak dapat diterima oleh para ulama dan belum begitu manggaung diantara mereka dan banyak diantara mereka membolehkan dipakai dalam
solat. Bagian kedua ini sebagaimana diungkap oleh Abu ‘Amr Ibnu Salah: bahwasanya qiraat yang selain imam ‘asyrah tidak boleh dibaca, dan pelarangan ini
adalah pelarangan haram bukan makruh.
37
C. Posisi Qirâ’ât Dalam Tafsir
Para ulama sepakat bahwa qiraat mempunyai peran penting dalam penafsiran al quran. Sebagaimana telah diungkapkan oleh Al-Suyuti
38
bahwa seorang mufasir harus mempelajari ilmu qiraat, karena dengan ilmu tersebut akan mengetahui cara
pengucapan al quran, juga dengan qiraat akan dapat menyingkap makna-makna al quran yang tidak dapat diketahui dengan satu qiraat atau bacaan, dan dengan qiraat
akan dapat mentarjih makna-makna yang sesuai dari berbagai bentuk bacaannya. Hal ini dapat kita fahami bahwa dalam menafsiri al quran harus benar-benar
pakar dan mengerti dengan nash-nash al quran dan harus faham dalam berinstinbat pada hukum-
hukum syar’i. Dr. Al Zahabi mengatakan “qiraat mempunyai peran penting dalam penafsiran
alquran yaitu sebagi referensi utama dalam tafsir al quran dengan al quran, sebagaimana diriwayatkan dari Mujahid: “Kalau saya membaca qiraat Ibnu Mas’ud
sebelum bertanya Ibnu Abas saya tidak perlu banyak menanyainya tentang apa yang saya pertanyakan kepadanya.”
39
Hal ini sebagai bukti bahwa qiraat sebagai referensi penting dalam penafsiran al quran dengan al quran dan qiraat Ibnu Mas’ud bukan termasuk qiraat yang
mutawatir, akan tetapi termasuk tafsir atau boleh dipakai sebagai penafsir al quran.
37
Ibn Jazarî, Taqrîb al-Nasyr fî al-Qirâ ’at al ‘Asyr Cairo: Dâr al-Hadits, 2004, h. 28.
38
Al-Suyutî, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân Beirut: Dâr al-Kutûb al-’Ilmiah, tth, juz 2, h. 398-
399.
39
Al-Zahabî, Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz 1, h. 42.
31
D. Pro dan Kontra Ragam Qirâ’ât dalam Tafsir
1. Tokoh Pendukung Qirâ’ât dalam Tafsir
- Al Tabari
Al Tabari adalah salah satu mufasir klasik yang mempunyai banyak perhatian terhadap qiraat. Mengenai perhatiaannya terhadap qiraat ia tidak terbatas pada qiraat
yang mutawatir saja, banyak ditemui qiraat-qiraat syazzah yang ia pakai daam tafsirnya. Bahkan, terdapat juga qiraat yang mutawatir dihukumi syazah setelah
melihat dari pengungkapan makna-makna yang terkandung didalamnya. -
Zamakhsyari Zamakhsyari juga termasuk mufasir klasik yang mempunyai perhatian
terhadap qiraat. Karakteristik tafsirnya yang banyak mengandung tafsir balaghi atau bahasa, tentu tidak dapat terlepas dari qiraat yang ada hubungan erat dengan kaedah
bahasa arab. -
Ali al Sabuni Dalam salah satu karya Ali al Sabuni “tafsir ayat al Ahkam” mempunyai
perhatian khusus terhadap qiraat. Berbeda dengan salah satu karyanya juga “Shafwah al Tafasir’’ kurang berperhatian terhadap qiraat. Hal ini sebagai bukti bahwa ia
memakai qiraat yang berimplikasi terhadap ayat-ayat ahkam, sehingga lebih fokus
dalam pembahasan karya tafsirnya.
32
BAB III RAGAM