Uji Aktivitas Dari Estrak Etanol Daun Pala (Myristica fragrans) Asal Pulau Tomia Kab WAKATOBI Dengan Metode KLT-Bioautografi. By SRI ARISTA

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pala(Myristica fragransHoutt.). 1. Klasifikasi(Heyne, 1987)

Kerajaan : Plantae

Divisi : Spermatophya

Sub-Divisi : Coniferophytina

Kelas : Magnoliopsida

Sub Kelas : Magnolianae

Ordo : Magnoliales

Famili : Myristicaceae

Genus :Myristica

Spesies :Myristica fragransHoutt. 2. Morfologi

Pala (Myristica fragrans Houtt.) merupakan jenis tanaman yang dapat tumbuh baik didaerah tropis. Tanaman ini termasuk dalam Familia Myristicaceae, yang mempunnyai sekitar 200 spesies. Tanaman ini jika pertumbuhannya baik dan tumbuh di lingkungan terbuka, tajuknya akan rindang dan ketinggiannya dapat mencapai 15 -18 meter. Tajuk pohon ini bentuknya meruncing ke atas dan puncak tajuknya tumpul (Sunanto, 1993).

Daun pala berbentuk bulat telur, pangkal dan pucuknya meruncing. Warna bagian bawah hijau kebiru-biruan muda. Bagian atasnya hijau


(2)

tua. Jangka waktu pertumbuhan buah dari mulai persarian hingga masa petik tidak boleh lebih dari 9 bulan. Buah berbentuk bulat, lebar, ujungnya meruncing. Kulitnya licin, berwarna kuning, berdaging, dan cukup banyak mengandung air. Bijinya tunggal, berkeping dua, dilindungi oleh tempurung, walaupun tidak tebal namun cukup keras. Bentuk bijinya bulat telur lonjong, bila sudah tua warnanya coklat tua (Rismunandar, 1992).

Sifat-sifat biji pala antara lain (Rismunandar, 1992).

 Biji pala yang masih belum cukup tua bila dikeringkan akan menghasilkan daging biji yang agak rapuh, dan mudah menjadi sasaran serangga gudang.

 Biji pala yang sudah cukup tua bila dikeringkan mengahsilkan biji yang cukup keras, dan jika diparut akan menghasilkan parutan yang berbentuk bubuk.

Tempurung biji di selubungi oleh selubung biji yang berbentuk jala, berwarna merah terang. Selebung biji ini disebut fuli atau bunga pala. Seluruh bagian pala yang terdiri dari daging, fuli dan bijinya memiliki banyak manfaat (Rismunandar, 1992).

3. Nama tanaman

Pala dikenal dengan nama yang berlainan ditiap daerah, seperti palo (Nusa Tenggara), kala pelang (Sumatera Barat), kuhipun (Maluku), atau gosora (Ternate) (Kurniawati, 2010).


(3)

4. Kandungan kimia

Informasi tentang kandungan kimia yang terdapat dalam jaringan atau organ dari jenis-jenis tumbuhan pada marga Myristica belum banyak dipublikasikan. Buah palanya, mengandung 9% air, 27% karbohidrat, 6,5% protein, minyak campuran 33%, minyak essensial 4,5%. Selubung biji juga mengandung 22,5% minyak campuran dan lebih dari 10% minyak essensial. Biji mengandung 23-30% mentega dan jika dipisahkan terdiri dari 73% trimyristin dan 13% minyak essensial. Bagian tumbuhan pala tidak hanya pada buahnya, tetapi juga pada biji dan daunnya yang mengandung polifenol. Biji dan buahnya juga mengandung saponin, dan daunnya mengandung flavonoid (Arrijani, 2005).

Daun pala juga mengandung minyak atsiri tetapi tidak begitu banyak (Drazat, 2007).

5. Khasiat

Menurut Kurniawati, (2010) daun pala berkhasiat sebagai obat sakit gigi.

Daun tanaman pala juga mengandung minyak atsiri dan senyawa fenolik lain yang dapat disuling untuk memperoleh minyak atsiri. Minyak atsiri tersebut digunakan sebagai bahan pengobatan tradisional dan dapat diekspor untuk tujuan sebagai bahan baku pembuatan kosmetika, sabun, parfum dan lain-lain (Arrijani, 2005).


(4)

B. Uraian Mikroba Uji 1. Bakteri uji

1. Escherichia coli(Garrity, 2004; Pelczar, 1988) a. Klasifikasi

Domain : Bacteria

Divisio : Proteobacteria

Class : Gammproteobacteria Ordo : Enterobacteriales Familia : Enterobacteriaceae

Genus : Eschericia

Spesies :Eschericia coli b. Sifat dan morfologi

Eschericia coli merupakan bakteri gram negatif berbentuk batang lurus, 1,1-1,5 μ m x 2,0-6,0 μ m, motil dengan flagellum peritrikus atau non motil. Tumbuh dengan mudah pada sebagian besar jalur dengan produksi asam dan gas.

2. Staphylococcus aureus (Garrity, 2004; Pelczar, 1988) a. Klasifikasi

Domain : Bacteria Divisio : Fimicutes Class : Fimibacteria


(5)

Familia : Microcococaceae Genus : Staphylococcus

Spesies :Staphylococcus aureus b. Sifat dan morfologi

Staphylococcus aureus adalah bakteri Gram positif berbentuk kokus,berdiameter 0,5-1,5 μ m, biasanya tersusun dalam rangkaian tak beraturan sepertianggur. Bakteri ini termasuk mesofil dengan suhu pertumbuhan berkisar antara 37-48 oC, dan suhu optimum 35-40 oC. nilai pH optimum adalah 6-7, pH minimum 4 dan pH maksimum 9,8-10. Bakteri ini memproduksi enterotoksin, serta toleran terhadap garam dan aktivitas air rendah. Habitat bakteri ini dikulit dan alat pernafasaan dan umumnya ditemukan pada 20-50 % manusia sehat,

3. Pseudomonas aeruginosa (Garrity, 2004; Pelczar, 1988) a. Klasifikasi

Domain : Bacteria

Divisio : Proteobacteria

Class : Gammproteobacteria

Ordo : Pseudomonadales

Familia : Pseudomonadaceae

Genus : Pseudomonas


(6)

b. Sifat dan morfologi

Pseudomonas aeruginosa merupakan batamg Gram negative dengan bentuk sel tunggal, batang lurus atau melengkung, namun tidak berbentuk heliks. Pada umumnya berukuran 0,5-1,0 μ m. Motil dengan flagellum polar, monotrikus atau multitrikus. Tidak menghasilkan selongsong prosteka. Metabolism dengan respirasi, beberapa merupakan kemolitotrof fakultatif, dapat menggunakan H2 atau CO2

sebagai sumber energy. Oksigen molekuler merupakan penerima electron universal, dapat melakukan denitrifikasi dengan menggunakan nitratsebagai penerima pilihan.

4. Staphylococcus epidermidis (Holt, 2000; Garrity, 2004) a. Klasifikasi

Domain : Bacteria Divisio : Protophyta

Class : Schyzomycetes

Ordo : Eubacteriales

Familia : Micrococcaceae Genus : Staphylococcus

Spesies : Staphylococcus epidermidis b. Sifat dan morfologi

Bulat dengan diameter 0,1-0,5 μ m, terdapat bentuk tunggal, berpasangan, dan terdapat dalam lebih dari satu


(7)

bentuk sampai membentuk kelompok yang tidak beraturan. Koloni bulat, cembung dengan pemukaan licin atau sedikit kasar dan tepi seluruhnya atau sebagian tidak beraturan. Biasanya berwarna putih atau kuning, ada kalanya orange jarang ungu. Bersifat fakultatif anaerob, tumbuh pada suhu 45oC diisolasi dari bisul bernanah, luka jahitan kecil dan luka lainnya pada kulit dan mukosa hewan berdarah panas, bersifat komensal dan parasit.

5. Vibrio cholerae (Garrity, 2004; Pelczar, 1988) a. Klasifikasi

Domain : Bacteria

Divisio : Proteobacteria

Class : Gammaprotebacteria

Ordo : Vibrionales

Familia : Vibrionaceae

Genus : Vibrio

Spesies : Vibrio cholera b. Sifat dan morfologi

Vibrio cholera adalah bakteri Gram negative berbentuk batang pendek, tidak membentuk spora, sumbunya melegkung atau lurus 0,5 μ m, terdapat tunggal atau kadang-kadang bersatu dalam bentuk S atau spiral. Motil dengan satu flagellum dalam satu berkas polar.


(8)

Mempunyai steroplas, biasanya dibentuk dalam keadaan lingkungan yang kurang menguntungkan, tidak tahan asam, dan tidak membentuk kapsul. Tumbuh baik dan cepat pada medium nutrient baku. Metabolisme dengan respirasi dan fermentative. Suhu optimum berkisar dari 18oC sampai 37oC. 6. Bacillus subtilis (Garrity, 2004; Pelczar, 1988)

a. Klasifikasi

Domain : Bacteria Divisio : Firmicutes

Class : Bacilli

Ordo : Bacillales

Familia : Bacillaceae

Genus : Bacillus

Spesies :Bacillus subtilis b. Sifat dan morfologi

Bacillus subtilis memiliki sel berbentuk batang 0,3-2,2T μ m x 1,27-7,0 μ m, sebagian besar motil, flagellum khas lateral. Membentuk endospora, tidak lebih satu sel sporangium. Termasuk bakteri Gram positif, bersifat kemoorganotrof. Metabolism dengan respirasi sejati, fermentasi sejati, atau kedua-duanya, yaitu respirasi dan fermentasi. Aerobik sejati atau anaerobic fakultatif.


(9)

7. Steptococcus mutans (Garrity, 2004; Pelczar, 1988) a. Klasifikasi

Domain : Bacteria Divisio : Firmicutes

Class : Bacilli

Ordo : Lactobacillales Familia : Streptococcaceae Genus : Streptococcus

Spesies :Streptococcus mutans b. Sifat dan morfologi

Streptococcus mutans berbentuk bulat, termasuk bakteri Gram positif dan biasanya tidak berpigmen. Berdiameter 0,5-1,5 μ m, koloni bulat cembung dengan permukaan licin atau sedikit kasar dan tepi seluruhnya atau sebagian tidak beraturan. Koloni buran berwarna biru terang, bersifat fakultatif aerob, dapat tumbuh pada suhu 45 oC dan suhu optimumnya. Dinding sel terdiri dari 4 komponen antigen yaitu peptidoglikan, polisakarida, protein dan asam lipokoat.


(10)

8. Shigella disentry (Garrity, 2004; Irianto, 2006) a. Klasifikasi

Domain : Bacteria

Phylum : Proteobacteria

Class : Gammaproteobacteria Ordo : Enterobacteriales Familia : Enterbacteriaceae Genus : Shigella

Spesies :Shigella dysenteriae b. Sifat dan morfologi.

Shigella dysenteriae sel-selnya berbentuk basil, bergerak dengan flagel yang peritrika atau tidak bergerak, termasuk dalam bakteri Gram negatif, menguraikan glukosa dengan menghasilkan gas. Menyebabkan penyakit disenteri. 9. Salmonella typhi (Garrity, 2004; Pelczar, 1988)

a. Klasifikasi

Domain : Bacteria

Divisio : Proteobacteria

Class : Bacilli

Ordo : Bacillales

Familia : Salmonellaceae

Genus : Salmonella


(11)

b. Sifat dan morfologi

Salmonella typhi adalah bakteri Gram negative berbentuk batang lurus dengan ukuran 0,7-1,5 μ m x 1-5 μ m, biasanya tunggal dan kadang-kadang membentuk rantai pendek, jenis yang bergerak berflagela peritrik, hidup secara aerobic atau anaerobic fakultatif, meragikan glukosa dengan menghasilkan asam kadang-kadang gas. Tumbuh optimal pada 37 oC dan berkembangbiak pada suhu kamar, bakteri ini dapat ditemukan disaluran pencernaan manusia dan hewan. Bakteri ini merupakan penyebab demam tifoid karena adanya infeksi akut pada usus halus manusia dan hewan.

2. Jamur(Jawetet all, 1995)

Jamur adalah organism heterotrofik. Jamur dapat berupa khamir yang tumbuh sebagai uniseluler atau berupa kapang yang tumbuh berupa filament-filamen. Komponen penyusun dinding sel berupa kitin, selulosa atau glukan.

a. KlasifikasiCandida albicans Divisi : Ascomycota Kelas : Saccharomycetes Bangsa : Saccharomycetales Suku : Saccharomycetaceae Marga : Candida


(12)

Spesies :Candida albicans b. UraianCandida albicans

Candida spp dikenal sebagai fungi dimorfik yang secara normal ada pada saluran pencernaan, saluran pernafasan bagian atas dan mukosa genital pada mamalia. Tetapi populasi yang meningkat dapat menimbulkan masalah. Beberapa spesies Candida yang dikenal banyak menimbulkan penyakit baik pada manusia maupun hewan adalahCandida albicans.

Candida albicans merupakan fungi oportunistik penyebab sariawan, lesi pada kulit, vulvavaginistis, candida pada urin, gastrointestinal candidiasis yang dapat menyebabkan gastric ulceratau bahkan dapat menjadi komplikasi kanker.

Candida albicans merupakan suatu jamur lonjong yang berkembangbiak dengan bertunas yang menghasilkan pseudomiselium baik dalam biakan maupun dalam jaringan dan eksudat. Candida adalahflora normal selaput lender saluran pernafasan, saluran pencernaan dan genitalia wanita. Pada tempat-tempat tersebut jamur ini dapat menjadi dominasi dan dihubungkan dengan keadaan pathogen. Kadang-kadang jamur ini menyebabkan panyakit sistemik progresif pada penderita yang lemah atau kekebalannya tertekan. Candida dapat menimbulkan invasi dalam aliran darah, tromboflebitis, endokarditis atau infeksi pada mata atau organ-organ lain.


(13)

C. Mekanisme Kerja Antimikroba

Antimikroba (AM) ialah obat pembasmi mikroba, khusunya mikroba yang merugikan manusia. Berdasarkan sifat toksisitas selektif, ada antimikroba yang bersifat menghambat pertumbuhan mikroba, dikenal sebagai aktivitas bakteriostatik; dan ada yang diperlukan untuk membunuh mikroba, dikenal sebagai aktivitas bakterisid. Kadar minimal yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan mikroba atau membunuhnya, masing-masing dikenal sebagai kadar hambat minimal (KHM) dan kadar bunuh minimal (KBM). Antimikroba tertentu aktivitasnya dapat meningkat dari bakteriostatik menjadi bakterisid bila kadar anti mikrobanya ditingkatkan melebihi KHM (Ganiswara, 1995).

Ada beberapa sifat antimikroba yang diinginkan anatara lain sangat toksik untuk mikroba, tetapi relative tidak toksik untuk hospes; mempunyai spectrum yang luas; tidak cepat menimbulkan resistensi; efektivitas antimikroba hendaknya tidak berkurang dengan adanya cairan tubuh, protein plasma dan enzim jaringan; sifat adsorpsi, distribudi, metabolisme, dan eliminasi (ADME) harus sedemikian rupa sehingga kadar dalam darah dapat dicapai dengan cepat dan dapat dipertahankan dalam jangka waktu lama; eksresi dalam ginjal tidak menyebabkan kerusakan ginjal (Ganiswara, 1995; Mycek, 2001).


(14)

Mekanisme kerja utama antimikroba (Ganiswara, 1995; Katzung, 2004) :

1. Penghambatan metabolisme sel mikroba

Mikroba membutuhkan asam folat untuk kelangsungan hidupnya, dimana bakteri patogen harus mensintesis sendiri asam folat dari asam para amino benzoate (PABA). Apabila suatu zat antimikroba menang bersaing dengan asam para amino benzoate (PABA) untuk diikutsertakan dalam pembentukan asam folat maka terbentuk analog asam folat yang non fungsional.

2. Penghambatan sintesis dinding sel

Dinding sel mikroba secara kimia adalah peptidoglikan yaitu suatu kompleks polimer mukopeptida, struktur dinding sel dapat dirusak dengan cara menghambat reaksi pembentukannya atau mengubahnya setelah dinding sel tersebut dibentuk. Antimikroba ini dapat menghambat sintesis atau menghambat aktivitas enzim seperti enzim transpeptidase yang dapat menimbulkan kerusakan dinding sel yang berakibat sel mengalami lisis. Contohnya: Basitrasin, Sefalosporin, Sikloserin, Penisilin, dan Vankomisin.

3. Penghambatan fungsi membran sel

Membran sitoplasma mempertahankan bahan-bahan tertentu didalam sel dan mengatur aliran keluar masuknya


(15)

bahan-bahan tertentu. Membrane sel memelihara integritas komponen-komponen seluler, kerusakan pada membrane ini akan mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan sel atau matinya sel, akibatnya mikroba akan mati. Jika fungsi integritas membrane sitoplasma dirusak, makromolekul dan ion keluar dari sel, kemudian sel akan rusak. Dalam hal ini antimikroba dapat berinteraksi dengan sterol sitoplasma pada jamur, dan merusak membrane sel bakteri Gram negative. Membrane sel bakteri dan fungi dapat dirusak oleh beberapa bahan tertentu tanpa merusak sel inang. Obat yang termasuk dalam kelompok ini adalah polimixin, amfoterisin, kolistin, imidazol dan golongan polien serta berbagai antimikroba kemoterapeutik.

4. Penghambatan sintesis protein

Hidup suatu sel tergantung pada terpeliharanya molekul-molekul dalam keadaan alamiah. Suatu kondisi atau substansi mengubah kondisi ini yaitumendenaturasikan protein dengan merusak sel tanpa dapat diperbaiki kembali. Beberapa antibiotic menghambat sintesi protein pada bakteri sebagai contoh adalah aminoglikosida, linkomisin, kloramfenikol, tetrasiklin, erythromycin. Untuk kehidupannya, sel mikroba perlu mensintesis berbagai protein. Sintesis protein berlangsung di ribosom, dengan bantuan m-RNA dan t-RNA. Pada bakteri,


(16)

ribosom terdiri atas dua sub unit yang berdasarkan konstanta sedimentasi dinyatakan sebagai ribosom 30S dan 50S.

5. Penghambatan sintesis asam nukleat

DNA dan RNA memegang peranan penting dalam proses kehidupan normal sel. Hal ini berarti bahwa gangguan apapun yang terjadi pada pembentukan atau pada fungsi zat-zat tersebut dapat menyebabkan kerusakan total pada sel. Dalam hal ini mempengaruhi metabolism asam nukleat, seperti berikatan dengan enzim DNA-dependen, RNA-polymerase bakteri dan memlokir helix DNA.

Mekanisme kerja antibiotik kloramfenikol adalah dengan menghambat biosintesa protein pada siklus perpanjangan rantai asam amino, yaitu dengan menghambat pembentukan ikatan peptide. Setelah menembus sel bakteri, kloramfenikol mengikat sub unit ribosom 50S secara terpulihkan, menghambat enzim petidil transferase, sehingga mencegah penambahan asam amino pada rantai peptide. Akibatnya terjadi hambatan pembentukan ikatan peptide dan biosintesa protein, dan hal ini terjadi selama antibiotika tetap terikat oleh ribosom. Dengan kata lain kloramfenikol menghambat perpanjangan rantai peptide dan pergerakan ribosom sepanjang m-RNA. Penghambatan ini bersifat stereospesifik, hanaya isomer D-(-) treo yang aktif. Turunan amfenikol juga menghambat sintesis


(17)

protein mitokondria mamalia, oleh karena itu ada persamaan antara ribosom 70S bakteri dan mamalia (Rogers, 1988).

Kloramfenikol merupakan antibiotic spectrum luas yang bersifat bakteriostatik, pada konsentrasi tinggi kloramfenikol kadang-kadang bersifat bakterisid terhadap kuman-kuman tertentu dan merupakan derivate nitrobenzene sederhana (Rogers, 1988).

D. Metode Ekstraksi 1. Defenisi ekstraksi(Ansel, 1989)

Ekstraksi adalah penarikan zat pokok yang diinginkan dari bahan mentah obat dengan menggunakan pelarut yang dipilih dimana zat yang diinginkan larut. Biasanya metode ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa faktor seperti sifat dari bahan mentah obat dan daya penyesuaian dengan tiap macam metode ekstraksi dan kepentingan dalam memperoleh ekstrak yang sempurna atau mendekati sempurna dari obat. Sifat dari bahan mentah obat merupakan faktor utama yang harus dipertimbangkan dalam memilih metode ekstraksi.

2. Mekanisme ekstraksi(Ditjen POM,1986; Tobo, 2001)

Pada umumnya zat aktif yang dikandung oleh tanaman maupun hewan lebih larut dalam pelarut organik. Proses terekstraksinya zat aktif dalam tanaman adalah pelarut organik akan menembus dinding sel dan masuk dalam rongga sel tanaman


(18)

atau hewan yang mengandung zat aktif. Zat aktif tersebut akan terlarut sehingga akan terjadi perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif yang ada didalam sel dengan pelarut organik diluar sel, maka larutan terpekat akan berdifusi keluar dan proses ini terus berulang sampai terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dan diluar sel.

3. Jenis ekstraksi(Ditjen POM,1986; Tobo, 2001) a. Ekstraksi secara dingin

Metode ekstraksi secara dingin adalah ekstraksi yang di dalam proses kerjanya tidak memerlukan pemanasan. Metode ini diperuntukan untuk simplisia yang mengandung komponen kimia yang tidak tahan terhadap pemasan dan simplisia yang memmpunyai tekstur yang lunak atau tipis. Yang termasuk metode secara dingin adalah metode maserasi, perkolasi, dan soxhletasi.

b. Ekstraksi secara panas

Metode ekstraksi secara panas adalah metode ekstraksi yang di dalam prosesnya dibantu dengan pemanasan. Pemanasan dapat mempercepat terjadinya proses ekstraksi karena cairan penyari akan lebih mudah menembus rongga-rongga sel empiris dan melarutkan zat aktif yang ada dalam sel simplisia tersebut. Metode ini diperuntukan untuk simplisia yang mengandung zat aktif yang tahan terhadap pemanasan dan simplisia yang


(19)

mempunyai tekstur keras seperti kulit, biji, dan kayu. Yang termaksud metode ekstraksi secara panas adalah refluks dan destilasi uap air.

E. Identifikasi Dengan Metode KLT

Kromatografi Lapis Tipis ialah metode pemisahan fisikokimia. Lapisan yang memisahkan, yang terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam), ditempatkan pada penyangga berupa pelat gelas, logam, atau lapisan yang cocok. Campuran yang akan dipisah, berupa larutan, ditotolkan berupa bercak atau pita. Setelah pelat atau lapisan ditaruh di dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak), pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan). Selanjutnya, senyawa yang tidak berwarna harus ditampakkan (dideteksi) (Stahl, 1985).

Kromatografi lapis tipis digunakan untuk memisahkan senyawa-senyawa yang sifatnya hidrofob seperti lipida-lipida dan hidrokarbon. Sebagai fase diam digunakan senyawa yang tak bereaksi seperti silica gel atau alumina. Silica gel biasa diberi pengikat yang dimaksudkan untuk memberikan kekuatan pada lapisan dan menambah adhesi pada gelas penyokong. Pengikat yang biasa digunakan adalah kalsium sulfat (Sastrohamidjojo, 1991).

Pada kromatografi lapis tipis, fase diam berupa lapisan tipis yang terdiri atas bahan padat yang dilapiskan pada permukaan penyangga datar. Lapisan melekat pada permuakaan dengan bantuan bahan


(20)

pengikat. Dua sifat yang penting dari fase diam adalah ukuran partikel dan homogenitasnya, karena gaya adhesi pada penyokong sangat tergantung pada kedua sifat trsebut. Partikel dengan bituran yang kasar tidak akan memberikan hasil yang memuaskan. Salah satu cara untuk memperbaiki hasil pemisahan adalah dengan menggunakan fase diam yang butirannya halus. Penyerap yang banyak dipakai untuk kromatografi lapis tipis adalah silika gel, alumunium oksida, kieselgur, selulosa dan poliamida (Sastrohamidjojo, 1991; Stahl, 1985).

Fase gerak ialah medium angkut dan terdiri atas satu atau beberapa pelarut. Ia bergerak didalam fase diam yaitu suatu lapisan berpori, karena ada gaya kapiler. Pemilihan sistem pelarut yang dipakai didarkan atas prinsip like dissolves like yaitu untuk memisahkan sampel yang bersifa non polar digunakan sistem pelarut yang bersifat non polar dan untuk memisahkan sampel yang bersifat polar digunakan sistem pelarut yang bersifat polar (Stahl, 1985).

Jarak pengembangan suatu senyawa pada kromatogram dinyatakan dengan angka Rf (Stahl, 1985).

Faktor – faktor yang mempengaruhi harga Rf adalah Struktur kimia dari senyawa yang dipisahkan, Sifat penyerap, Tebal dan kerataan dari lapisan penyerap, Jenis pelarut dan derajat kemurnian pelarut, Jumlah cuplikan dan suhu (Sastrohamidjojo, 1991).


(21)

F. Metode Pengujian Antimikroba 1. Metode dilusi (Turbudimetri)

Prinsip pengujian potensi antibiotika dengan metode ini adalah membandingkan derajat hambatan pertumbuhan mikroorganisme uji oleh dosis antibiotika yang diuji terhadap hambatan yang sama oleh dosis antibiotika baku pembanding dalam media cair (Djide, 2008).

Dalam metode ini, koefisien difusi antibiotika tidak lagi berperan dalam hambatan pertumbuhan mikroorganisme uji yang digunakan. Yang mempengaruhi keberhasilan uji potensi dengan metode ini adalah lama waktu inkubasi dan keseragaman suhu selama waktu inkubasi (Djide, 2008).

2. Metode difusi

Metode ini menggunakan media padat, yang pada permukaannya telah diinokulasikan mikroorganisme uji yang sensitif terhadap antibiotika yang secara merata. Pencadang atau reservior diletakkan pada permukaan media tersebut dan selanjutnya dipipet senyawa antibiotika yang akan di uji kedalam pendang dengan volume tertentu. Selanjutnya diinkubasikan pada suhu dan waktu tertentu. Selama masa inkubasi akan terjadi proses difusi antibiotika kedalam gel agar dan membentuk daerah hambatan (zone). Zone yang terbentuk inilah yang digunakan


(22)

sebagai dasar kuantitatif untuk membendingkan potensi antibiotika baku (Djide, 2008).

3. KLT-Bioautografi

KLT-Bioautografi adalah metode pendeteksian untuk menetukan senyawa antimikroba yang belum teridentifikasi dengan melokalisir aktivitas antimikroba pada efek biologi (antibakteri, antiprotozoa, antitumor) dan substansi yang diteliti (Sastroamidjojo, 1985).

Uji Bioautografi merupakan metode spesifik untuk mendeteksi bercak pada kromatogram hasil KLT (Kromatografi Lapis Tipis) yang memiliki aktivitas antibakteri, antifungi, dan anti virus sehingga mendekatkan metode separasi dengan uji biologis (Pratiwi, 2008).

Ciri khas dari prosedur KLT-Bioautografi adalah didasarkan atas tehnik difusi agar, dimana senyawa antimikrobanya dipisahkan dari lapisan KLT-ke medium agar yang telah diinokulasikan bakteri dengan merata . Dari hasil inkubasi pada suhu dan waktu tertentu akan terlihat zona hambatan ditampakkan oleh aktivitas senyawa aktif terdapat dalam bahan yang diperiksa terhadap pertumbuhan mikroorganisme uji (Djide, 2005).


(23)

Bioautografi dibagi dalam tiga kelompok yaitu (Djide, 2008) : a. KLT-Bioautografi langsung

Dimana mikroorganisme tumbuh secara langsung di atas lempeng kromatografi lapis tipis.

b. KLT-Bioautografi kontak

Dimana senyawa antimikroba dipindahkan dari lempeng KLT kemedium agar yang telah diinokulasi melalui kontak langsung.

c. KLT-Bioautografi pencelup

Dimana medium agar yang telah diinokulasikan dengan suspense bakteri dituang diatas lempeng kromatografi yang telah dielusi diletakkan dalam cawan petri sehingga permukaan ditutupi oleh medium agar yang berfungsi sebagai based layer. Setelah medium agar memadat dengan mikroorganisme yang berfungsi sebagai seed layer dan diinkubasi pada suhu dan waktu yang sesuai.

Keuntungan metode ini adalah sifatnya yang efisien untuk mendeteksi adanya senyawa antimikroba karena letak bercak dapat ditentukan walaupun berada dalam campuran yang kompleks sehingga memungkinkan untuk mengisolasi senyawa aktif tersebut, kerugianya metode ini tidak dapat menentukan KHM dan KBM (Pratiwi, 2008).


(24)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini direncanakan akan dilakukan pada bulan Desember 2016 sampai selesai. Dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Farmasi Universitas Muslim Indonesia Makassar.

B. Populasi dan Sampel

Pada penelitian ini populasi yang digunakan adalah daun pala (Myristica fragrans Houtt.) yang diperoleh langsung dari Pulau Tomia Kab. Wakatobi. Sampel yang digunakan adalah ekstrak etanol daun pala (Myristica fragransHoutt.).

C. Metode Kerja

Metode kerja yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode KLT-Bioautografi, dimana metode ini merupakan metode sederhana yang digunakan untuk menunjukkan adanya aktivitas antimikroba. Metode ini menggabungkan penggunaan teknik kromatografi lapis tipis dengan respon dari mikroorganisme yang diuji berdasarkan aktivitas biologi dari suatu analit yang dapat berupa antimikroba baru.

D. Alat dan Bahan Penelitian 1. Alat yang digunakan

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah autoklaf (Smic Model YX-280B), api bunsen, bejana maserasi, cawan petri, chamber (camag), gelas ukur, incubator (Memmert), erlenmeyer, hair


(25)

dryer, jarum ose, Laminar Air Flow (LAF), lampu UV 254 nm dan 366 nm, oven (Memmert), pinset, spektrofotometer UV (Genesis), spoit, tabung reaksi, timbangan analitik, timbangan kasar, pipa kapiler dan vial.

2. Bahan yang digunakan

Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah air suling steril, ekstrak etanol daun pala (Myristica fragrans Houtt.), dimetil sulfoksida (DMSO), etanol 96%, lempeng KLT, medium (Nutrien Agar (NA) dan Potato Dextrose Agar (PDA), mikroba biakan uji (Escherichia coli, Pseudomonas aeroginosa, Salmonella typhi, Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Streptococcus mutans, Vibrio cholerea, Shigella dysentriae, Bacillus subtilis dan Candida albicans),n-heksan:etil asetat (4:1), dan NaCl 0,9%.

E. Prosedur Penelitian 1. Penyiapan alat dan bahan

Alat dan bahan disiapkan sesuai dengan yang akan dibutuhkan. 2. Penyiapan sampel

a. Pengambilan sampel

Sampel daun pala (Myristica fragrans Houtt.) di ambil dari pohonnya di Pulau Tomia Kabupaten Wakatobi diambil sekitar jam 10.30 wita.


(26)

b. Pengolahan sampel

Sampel daun pala (Myristica fragrans Houtt.) yang telah dipetik kemudian dikumpulkan, dicuci bersih dengan menggunakan air mengalir, ditiriskan. Daun pala kemudian dikeringkan dengan cara diangin-anginkan. Daun yang sudah kering kemudian diserbuk menggunakan blender.

3. Pembuatan ekstraksi etanol daun pala

Sebanyak 600 gram serbuk daun pala dimaserasi menggunakan etanol 96% selama 5x24 jam, ditutup dan dibiarkan terlindung dari cahaya sambil berulang-ulang diaduk. Setelah lima hari sari disaring, ampas diperas kemudian ditambah etanol 96%, diaduk dan disaring kembali. Hasil penyarian yang diperoleh disatukan dalam wadah kemudian diuapkan menggunakan hairdryer sehingga diperoleh ekstrak etanol kental (Depkes RI, 1986).

4. Sterilisasi alat dan bahan

Seluruh alat yang akan digunakan dicuci bersih dan dikeringkan. Erlenmeyer ditutup mulutnya dengan kapas kemudian dibungkus plastik tahan panas dan disterilkan di autoklaf pada suhu 1210C selama 15 menit. Vial dan tabung, cawan petri dibungkus dengan kertas dan kemudian disterilkan dalam oven pada suhu 1800C selama 2 jam. Pinset dan jarum ose disterilkan dengan cara dipijarkan pada api bunsen.


(27)

Seluruh media pembenihan (Nutrien Agar dan Potato Dextrose Agar) disterilkan dengan autoklaf pada suhu 1210C selama 15 menit (Pertiwi, 2010).

5. Penyiapan mikroba uji a. Peremajaan bakteri uji

Bakteri uji diremajakan dengan menggoreskan bakteri menggunakan jarum ose pada media agar miring Nutrien Agar dan diinkubasi pada suhu 370C selama 1x24 jam (Nurcahyanti, Dewi & Timotius, 2011).

b. Peremajaan jamur uji

Jamur uji diremajakan dengan menggoreskan jamur menggunakan jarum ose pada media agar miring Potato Dextrose Agar dan diinkubasi pada suhu ruang selama 3x24 jam (Rathi, Bhaskar & Patel, 2010).

c. Pembuatan suspensi mikroba uji

Mikroba uji hasil peremajaan masing-masing disuspensikan dengan larutan NaCl fisiologis 0,9% steril dan dimasukkan kedalam kuvet. Diukur transmitan suspensi biakan itu dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 580 nm dengan transmittan 25% T untuk bakteri dan transmittan 75% T untuk jamur. Sebagai blanko digunakan NaCl fisiologis 0,9% steril (Kuete et al,2011).


(28)

6. Uji skrining antimikroba

Ekstrak daun pala (Myristica fragrans Houtt.) ditimbang sebanyak 10 mg lalu dilarutkan dengan DMSO sebanyak 200 μ L (0,2 mL). Eskstrak ditambahkan medium 9,8 mL sehingga diperoleh konsentrasi 1 mg/mL. Campuran tersebut dituang kedalam cawan petri lalu dihomogenkan dan dibiarkan memadat. Suspensi bakteri digoreskan diatas medium yang telah memadat dengan menggunakan ose bulat kemudian diinkubasi pada suhu 370C selama 1 x 24 jam untuk bakteri dan 3 x 24 jam untuk jamur. Diamati aktivitas antimikrobanya yang ditandai dengan ada atau tidaknya pertumbuhan bakteri dan jamur.

7. Pemisahan senyawa secara Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Ekstrak etanol daun pala (Myristica fragrans Houtt.) dilarutkan dalam cairan pengelusi yang sesuai. Ditotolkan pada lempeng KLT dengan ukuran 7 x 1 cm menggunakan pipa kapiler. Lempeng KLT sebelum digunakan perlu diaktifkan dahulu dengan cara dipanaskan dalam oven. Ekstrak dan pembanding ditotolkan kira-kira 1 cm dari tepi bawah lempeng, Biarkan beberapa saat sampai kering. Lempeng dimasukkan ke dalam bejana kromatografi yang berisi cairan pengelusi (n-heksan : etil asetat (4:1)) yang telah dijenuhkan. Lempeng dibiarkan terelusi sampai batas 0,5 cm dari tepi atas lempeng. Lempeng dikeluarkan dari bejana dan diangin-anginkan sampai cairan pengelusinya menguap. Kromatogram yang dihasilkan diamati


(29)

nodanya dibawah sinar UV pada panjang gelombang 254 nm dan 366 nm. Noda-noda yang memberikan flouresensi ditandai pada lempeng (Djide, 2008).

8. Pengujian secara KLT-Bioautografi

Medium Nutrien Agar (NA) steril yang telah didinginkan sebanyak 10 mL diinokulasikan dengan bakteri 1 ose dan dituang ke dalam cawan petri steril dan dilakukan secara aseptis. Lempeng KLT yang telah dielusi diletakkan diatas permukaan medium agar yang sudah memadat. Lempeng dibiarkan 30 menit dan dipisahkan dari medium. Media diinkubasi pada suhu 370C selama 1x24 jam. Zona hambatan akan terlihat pada medium agar, dan dibandingkan dengan kromatogram hasil pengujian KLT (Djide, 2008).

9. Identifikasi komponen kimia

Kromatogram disemprot dengan menggunakan pereaksi semprot untuk masing-masing komponen kimia berikut (Ditjen POM, 1987):

1. Pereaksi flavonoid

Aluminium klorida (AlCl3); setelah disemprot tampak bercak

berpendar dalam sinar UV 366 nm. 2. Pereaksi fenolik

Pereaksi FeCl3; dipanaskan kromatogram pada suhu 100OC

selama 5-10 menit. Diamati noda pada lempeng maka yang akan tampak warna hijau kebiruan atau biru.


(30)

3. Pereaksi minyak atsiri

Pereaksi toluena:etil asetat; setelah disemprot tampak bercak berpendar dalam sinar UV 366 nm.

4. Pereaksi terpenoid

Pereaksi H2SO4; setelah disemprot kemudian diamati noda pada


(31)

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil yang diperoleh pada penelitian dapat disimpulkan bahwa;

1. Ekstrak etanol daun pala (Myristica fragrans Houtt.) secara KLT-Bioautografi dapat menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans (Rf 0,34 dan 0,20) Staphylococcus aureus (Rf 0,92, 0,52, dan 0,29) dan Staphylococcus epidermidis (Rf 0,60, 0,40 dan 0,20).

2. Komponen kimia yang aktif pada ekstrak etanol daun pala (Myristica fragrans Houtt.) yaitu fenolik dengan nilai Rf 0,92, 0,83, 0,54 dan 0,32 sedangkan minyak atsiri memiliki nilai Rf 0,80.

B. Saran

Perlu dilakukan uji aktivitas ekstrak etanol daun pala (Myristica fragransHoutt.)dengan menggunakan metode difusi agar.


(32)

DAFTAR PUSTAKA

Ansel, H.C., 1989, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Edisi 4, diterjemahkan dari Bahasa Inggris oleh Farida Ibrahim, Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Arrijani, 2005, Biology and Conservation of Genus Myristica in Indonesia, Biodiversitas6:147-151.

Ditjen POM., 1986, Sediaan Galenik, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Ditjen POM., 1987,Farmakope Indonesia Edisi III, Departemen Kesehatan RI, Jakarta

Djide, N. dan Sartini, 2003, Mikrobiologi Farmasi Dasar, Universitas Hasanudin, Makassar, Indonesia.

Djide, N. dan Sartini, 2005, Analisis Mikrobiologi Farmasi, Laboratorium Mikrobiologi Farmasi dan Bioteknologi Farmasi, Jurusan Farmasi Fakultas MIPA, Universitas Hasanuddin, Makassar.

Djide, N. dan Sartini, 2008, Analisis MIkrobiologi Farmasi, Universitas Hasanuddin, Makassar.

Drazat, 2007, Meraup Laba dari Pala, PT Agromedia Pustaka, Bogor, Indonesia.

Garrity, M.G., 2004, Taxonomic Outline of the Prolcargotes Bergeys Marvel of Systemic Bacteriology, Second Edition, New York, Amerika Serikat.

Ganiswarna, S.G., 1995, Farmakologi dan Terapi, edisi ke 4, UI Press, Jakarta.

Gupta, A,D., Vipin, K,B., Vikash, B., dan Nishi, M., 2013, Chemistry, antioxidant and antimicrobial potential of nutmeg (Myristica fragrans Houtt),Journal of Genetic Engineering and Biotechnology.

Hayne, K., 1987, Tumbuhan Berguna Indonesia II, Badan Litbang Departemen Kehutanan, Jakarta.

Holt, J,G., 2000, Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology, 10th Edition, The Williams & Wilkins Company, Baltimore, Maryland 21202 United Statesof Amerika.


(33)

Irianto, K., 2006, Menguak dunia mikroorganisme, Yrama Widya, Bandung.

Jawetz, E., Melnick, J.L., Adelberg, E.A., Brooks, J.S., Butel, J.S., dan Ornston, L.N., 1995, Mikrobiologi untuk Profesi Kesehatan, Edisi 16, Alih Bahasa oleh Dr. H. Tonang, EGC, Jakarta.

Katzung, B., 2004, Farmakologi Dasar dan Klinik, terjemahan Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Salemba Medika, Surabaya.

Kuete, V., Ango, P.Y., Fotso, G.W., Kapche G.D.W.F., Djoyem, J.P., and Wouking, A.G., 2011, Antimicrobial Activities of the Methanol Extract and Compounds from Artocarpus communis (Moraceae), BMC Complementary and Alternative Medicine. <(http://www.biomedcentral.com/1472-6882/11/42)>

Kurniawati, N., 2010, Sehat dan cantik alami berkat khasiat bumbu dapur, Cetakan I, Bandung.

Milles, D,H., 1994, A Guide to Biologically Active Plant Constituent, Departement of Chemistry, University of Flourida, USA

Mycek, M,J., 2001, Farmakologi Ulasan Bergambar, Cetakan 1, terjemahan Azwar Agoes, Widya Medika, Jakarta.

Nurcahyanti, Agustina D,R., Dewi, L., dan Timotius, K,H., 2011. Aktivitas Antioksidan dan Antibakteri Ekstrak Polar dan Non polar Biji Selasih (Ocimum Sanctum Linn), Jurnal Teknologi dan Industri Pangan, XXII:1.

Pelczar, M.J. & Chan, E.C.S., 1988, Dasar-dasar mikrobiologi, edisi ke 1, Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Pertiwi, N., 2010, ‘Uji Aktivitas Antibakteri dan Mekanisme Penghambatan Ekstrak Air Campuran Daun (Piper betle L.) dan Kaput Sirih (Ca(OH)2 terhadap beberapa Bakteri uji’, Skripsi, S.farm., Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Piaru, S,P., Roziahanim, M., Amin M,S., Abdul, M., Zeyad, D., and Mahmoud, N., 2012, Antioxidant and antiangiogenic activities of the essential oils of Myristica fragrans and Morinda citrifolia, Asian Pacific Journal of Tropical Medicine: 294-298


(34)

Preedy, V,R., Ronald, R,W., and Vinood, B,P., 2011, Nuts and Seeds in Health and Disease Prevention, academic press is an imprint of Elsevier.

Ramaswamy, V., Varghese, N., and Simon, A., 2011, An Investigation on Cytotoxic and Antioxidant Properties of Clitoria Ternatea L., International Journal of Drug Discovery,3: 74-77

Rismunandar, 1992, Budidaya dan Tataniaga Pala, Penerbit Swadaya, Jakarta, Indonesia.

Rogers, H. dan Spector, R., 1988, Praktis dalam Farmakologi, Binarupa aksara, Jakarta.

Sahib, M,I., 2014, ‘Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Pala (Myristica fragrans) dengan KLT-Bioautografi’, Skripsi, S.Farm., Fakultas Farmasi, Universitas Muslim Indonesia, Makassar.

Sastroamidjojo, H., 1985, Kromatografi, Edisi II, Liberti, Yogyakarta. Sastroamidjojo, H., 1991,Kromatografi, edisi 2, Yogyakarta, Indonesia. Stahl, E., 1985, Analisis Obat Secara kromatografi dan Mikroskopi,

diterjemahkan dari Bahasa Inggris oleh Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro, ITB Press, Bandung.

Sunanto, H., 1993, Budidaya Pala Komoditas Ekspor, Kanisius, Yogyakarta.

Tobo, F., Mufidah, T., dan Mahmud, I., 2001. Buku Pegangan Laboratorium Fitokimia I, Laboratorium Fitokimia Jurusan Farmasi FMIPA, Universitas Hasanudin, Makassar.


(35)

Lampiran 1. Skema Kerja

maserasi dengan etanol 96 %

diuapkan

Gambar 1. Skema kerja uji aktivitas antimikroba ekstrak etanol daun pala(Myristica fragransHoutt.)

Daun pala (Myristica fragransHoutt.)

Ekstrak etanol

Residu

Ekstrak etanol kental

Uji KLT-Bioautografi Uji skrining aktivitas

antimikroba

kesimpulan Ekstrak aktif

Pemisahan senyawa secara KLT

pembahasan

Pengamatan Identifikasi komponen


(36)

Homogenkan dan biarkan memadat

Gambar 2. Skema kerja uji skrining aktivitas antimikroba 10 mg ekstrak daun pala

(Myristica fragransHoutt.)

Dilarutkan dengan 0,2 mL DMSO

+ 9,8 mL medium

Tuang dalam cawan petri

Suspensi digoreskan pada medium

Inkubasi

Diamati


(37)

Ditotolkan pada lempeng KLT

n-heksan : etil asetat (4:1)

Secara aseptis ditempelkan lempeng KLT selama 30 menit diatas medium

Diinkubator (1 x 24 jam) Dienkas (3 x 24 jam)

Diamati dan diukur

Gambar 3. Skema kerja pengujian secara KLT-Bioautografi (Myristica fragransHoutt.)

Diamati pada lampu UV 254 nm dan 366 nm

Dielusi

Medium NA + Suspensi bakteri

Medium PDA + Suspensi jamur

Data Zona hambat

Bandingkan dengan kromatogram hasil pengujian

KLT


(38)

Gambar 4. Skema kerja identifikasi komponen kimia Lempeng KLT

H2SO4

Toluena:etil asetat FeCl3

AlCl3

Disemprot

Amati

Pembahasan


(39)

Lampiran 2. Hasil Pengujian Skrining

Gambar 5. Foto hasil pengujian skrining ekstrak etanol daun pala (Myristica fragransHoutt.) pada mikroba uji


(40)

Lampiran 3. Profil Kromatogram

Gambar 6. Foto profil kromatogram ekstrak etanol daun pala (Myristica fragransHoutt.)

Keterangan :

1 = Kromatogram yang nampak UV 254 nm 2 = Kromatogram yang nampak UV 366 nm A = Lempeng A

B = Lempeng B C = Lempeng C

Eluen = n-heksan:etil asetat (4:1)

A B C

1 2 1 2 1 2

0,70 0,65 0,34

0,20

0,76 0,60 0,40 0,20

0,92 0,80 0,52 0,29


(41)

Lampiran 4. Hasil Pengujian KLT-Bioautografi

Gambar 7. Foto hasil pengujian KLT-Bioutografi ekstrak etanol daun pala (Myristica fragrans Houtt.) terhadap bakteri Streptococcus mutans

Keterangan:

A : Cawan petri berisi bakteriStreptococcus mutans B : Kromatogram yang nampak pada UV 366 nm C : Kromatogram yang nampak pada UV 254 nm

A


(42)

Gambar 8. Foto hasil pengujian KLT-Bioutografi ekstrak etanol daun pala (Myristica fragrans Houtt.) terhadap bakteri Staphylococcus epidermidis

Keterangan:

A : Cawan petri berisi bakteriStaphylococcus epidermidis B : Kromatogram yang nampak pada UV 366 nm

C : Kromatogram yang nampak pada UV 254 nm A


(43)

Gambar 9. Foto hasil pengujian KLT-Bioutografi ekstrak etanol daun pala (Myristica fragrans Houtt.) terhadap bakteri Staphylococcus aureus

Keterangan:

A : Cawan petri berisi bakteriStaphylococcus aureus B : Kromatogram yang nampak pada UV 366 nm C : Kromatogram yang nampak pada UV 254 nm Eluen : n-heksan:etil asetat (4:1)

A


(44)

Lampiran 5. Hasil Identifikasi Komponen Kimia

Gambar 10. Foto hasil identifikasi komponen kimia dari kromatogram ekstrak etanol daun pala (Myristica fragransHoutt.).

Keterangan :

A : Kromatogram dengan penampak bercak AlCl3(Flavonoid)

B : Kromatogram dengan penampak bercak FeCl3(Fenolik/tanin)

C : Kromatogram dengan penampak bercak Toluena (Minyak atsiri) D : Kromatogram dengan penampak bercak H2SO4(Terpenoid)

Eluen : n-heksan:etil asetat (4:1)

A A A

B A A

C D

A A


(45)

Lampiran 6. Foto Tumbuhan Pala

Gambar 11. Foto tumbuhan pala(Myristica fragransHoutt.)


(1)

SRI ARISTA 150 2012 0368 Lampiran 3. Profil Kromatogram

Gambar 6. Foto profil kromatogram ekstrak etanol daun pala (Myristica fragransHoutt.)

Keterangan :

1 = Kromatogram yang nampak UV 254 nm 2 = Kromatogram yang nampak UV 366 nm

A = Lempeng A

B = Lempeng B

C = Lempeng C

Eluen = n-heksan:etil asetat (4:1)

A B C

1 2 1 2 1 2

0,70 0,65 0,34 0,20 0,76 0,60 0,40 0,20 0,92 0,80 0,52 0,29


(2)

SRI ARISTA 150 2012 0368 Lampiran 4. Hasil Pengujian KLT-Bioautografi

Gambar 7. Foto hasil pengujian KLT-Bioutografi ekstrak etanol daun pala (Myristica fragrans Houtt.) terhadap bakteri Streptococcus mutans

Keterangan:

A : Cawan petri berisi bakteriStreptococcus mutans

B : Kromatogram yang nampak pada UV 366 nm

C : Kromatogram yang nampak pada UV 254 nm

A


(3)

SRI ARISTA 150 2012 0368 Gambar 8. Foto hasil pengujian KLT-Bioutografi ekstrak etanol daun pala (Myristica fragrans Houtt.) terhadap bakteri Staphylococcus epidermidis

Keterangan:

A : Cawan petri berisi bakteriStaphylococcus epidermidis

B : Kromatogram yang nampak pada UV 366 nm C : Kromatogram yang nampak pada UV 254 nm

A


(4)

SRI ARISTA 150 2012 0368 Gambar 9. Foto hasil pengujian KLT-Bioutografi ekstrak etanol daun pala (Myristica fragrans Houtt.) terhadap bakteri Staphylococcus aureus

Keterangan:

A : Cawan petri berisi bakteriStaphylococcus aureus

B : Kromatogram yang nampak pada UV 366 nm

C : Kromatogram yang nampak pada UV 254 nm

Eluen : n-heksan:etil asetat (4:1)

A


(5)

SRI ARISTA 150 2012 0368 Lampiran 5. Hasil Identifikasi Komponen Kimia

Gambar 10. Foto hasil identifikasi komponen kimia dari kromatogram ekstrak etanol daun pala (Myristica fragransHoutt.).

Keterangan :

A : Kromatogram dengan penampak bercak AlCl3(Flavonoid) B : Kromatogram dengan penampak bercak FeCl3(Fenolik/tanin) C : Kromatogram dengan penampak bercak Toluena (Minyak atsiri) D : Kromatogram dengan penampak bercak H2SO4(Terpenoid) Eluen : n-heksan:etil asetat (4:1)

A A A

B A A

C D

A A


(6)

SRI ARISTA 150 2012 0368 Lampiran 6. Foto Tumbuhan Pala

Gambar 11. Foto tumbuhan pala(Myristica fragransHoutt.)