Pembahasan HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 3. Perhitungan ekonomi produksi benih ikan betok Anabas testudineus per akuarium selama 1 tahun Parameter Perlakuanpadat tebar 10 larvaL 20 larvaL 30 larvaL Penerimaan Rp 1. ukuran 2-3 cm 82.000 106.000 71.000 2. ukuran 3-5cm 25.200 22.200 25.200 Total penerimaan Rp 107.200 128.200 96.200 Pengeluaran 1. Biaya variabel 51.856 103.712 155.568 2. Biaya tetap 25.292 25.292 25.292 Total pengeluaran Rp 77.148 129.004 180.860 Laba Rp 30.052 -804 -84.660 HPP Rp 189,01 267,31 553,48 RC 1,39 0,99 0,53 PP tahun 3,96 5,88 -1,45 BEP Rp 49.539,79 -1.162.335,71 -60.149,20 BEP ekor 208,08 106,54 -217,16

3.2. Pembahasan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diperoleh data mengenai derajat kelangsungan hidup SR, panjang total, koefisien keragaman panjang, pertumbuhan panjang mutlak, bobot rata-rata akhir ikan, dan data kualitas air media pemeliharaan. Derajat kelangsungan hidup dapat digunakan sebagai salah satu indikator keberhasilan suatu kegiatan budidaya ikan. Jika diperoleh nilai SR yang tinggi pada suatu kegiatan budidaya, maka dapat dikatakan bahwa kegiatan budidaya yang dilakukan telah berhasil. Nilai SR yang diperoleh pada penelitian ini semakin rendah seiring semakin tinggi perlakuan padat penebaran Gambar 1. Nilai SR tertinggi diperoleh pada perlakuan padat penebaran 10 larvaL, yaitu 51,50±5,57. Nilai tersebut lebih besar dibandingkan nilai SR pada literatur, yaitu berkisar antara 4,90 sampai dengan 16,5 Trieu and Long, 2001. Jumlah kematian yang menyebabkan nilai SR rendah pada perlakuan 20 larvaL dan 30 larvaL diduga karena pengaruh perlakuan padat penebaran. Menurut Hepher dan Pruginin 1981 peningkatan padat tebar menyebabkan ruang gerak bagi ikan menjadi sempit yang pada akhirnya menimbulkan stres. Hal tersebut selanjutnya dapat menyebabkan kematian pada ikan. Selain itu, diduga kematian ikan juga disebabkan oleh kanibalisme pada saat larva. Menurut Morioka et al. 2008 meskipun kematian karena kanibalisme tidak diamati, SR yang rendah pada hari ke-35 dalam penelitiannya kemungkinan disebabkan oleh kanibalisme seperti yang tercatat pada spesies lain seperti Clarias gariepinus dari genus Clariidae dan Scomberomorus niphoniius dari genus Scombridae. Perkembangan gigi dan kemampuan renang yang semakin baik merupakan faktor penting yang menyebabkan kanibalisme pada ikan betok seperti terjadi setelah atau selama perkembangan morfologinya. Ruang gerak yang sempit memperbesar kemungkinan terjadinya kanibalisme. Kanibalisme tersebut dapat terjadi karena ketidakseragaman ukuran sehingga larva yang berukuran lebih besar dapat memakan larva lain yang lebih kecil dibandingkan bukaan mulutnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Wedemeyer 1996, bahwa peningkatan padat penebaran akan mengganggu tingkah laku ikan terhadap ruang gerak yang pada akhirnya dapat menurunkan kelangsungan hidup. Hal tersebut juga sesuai dengan pendapat Giles et al. 1986 dalam Morioka et al. 2008 bahwa faktor-faktor yang menyebabkan kanibalisme antara lain padat penebaran yang tinggi, keragaman ukuran yang tinggi dan ketersediaan tempat berlindung dan pencahayaan. Menurut Hepher dan Pruginin 1981, pertumbuhan ikan bergantung pada beberapa faktor yaitu jenis ikan, sifat genetis, kemampuan memanfaatkan makanan, ketahanan terhadap penyakit serta didukung oleh faktor lingkungan seperti kualitas air, pakan, dan ruang gerak atau padat penebaran. Pertumbuhan yang diamati dalam penelitian ini mencakup pengamatan terhadap panjang total, dan pertambahan panjang mutlak, koefisien keragaman panjang, dan bobot rata- rata akhir pemeliharaanpanen. Koefisien keragaman panjang merupakan perbandingan antara simpangan baku dengan rata-rata contoh Steel dan Torrie, 1991. Nilai tersebut menunjukkan besar variasi ukuran panjang ikan yang diperoleh berdasarkan hasil penelitian. Semakin kecil nilai koefisien keragaman panjang, maka ukuran panjang antar individu dalam populasi tersebut semakin seragam. Semakin seragam ikan yang dihasilkan, semakin baik kegiatan budidaya yang dilakukan. Hal ini dikarenakan populasi ikan yang seragam akan memperkecil kompetisi dalam populasi tersebut. Selain itu, produk yang seragam memiliki harga jual lebih tinggi daripada yang ukurannya tidak seragam sehingga penerimaan yang diperoleh lebih besar. Berdasarkan hasil analisis ragam, perlakuan padat penebaran yang diberikan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap koefisien keragaman panjang. Koefisien keragaman panjang dalam penelitian ini masih dibawah 20 Gambar 3 sehingga dapat dikatakan bahwa benih ikan yang dihasilkan seragam. Hal ini sesuai dengan Mattjik dan Sumertajaya 2002 yang menyatakan bahwa nilai koefisien keragaman yang nilainya di bawah kisaran 20 dianggap homogen atau seragam. Pertambahan panjang mutlak merupakan panjang rata-rata individu pada tiap perlakuan dari awal hingga akhir pemeliharaan Effendi, 1979. Nilai panjang mutlak identik dengan nilai panjang total, dalam artian jika nilai panjang total tinggi maka nilai panjang mutlak juga tinggi dan begitu pula sebaliknya. Berdasarkan hasil yang diperoleh, nilai pertambahan panjang mutlak antar perlakuan tidak berbeda nyata. Hal ini diduga karena terjadi kematian pada awal pemeliharaan terutama pada padat penebaran awal yang lebih tinggi. Kematian pada awal pemeliharaan tersebut diduga menyebabkan populasi antar perlakuan menjadi tidak berbeda nyata sehingga pertumbuhannya pun tidak berbeda. Perlakuan padat penebaran awal yang lebih tinggi seharusnya menghasilkan benih ikan yang lebih kecil karena terjadi kompetisi dalam memperoleh makanan. Namun pada penelitian ini berdasarkan analisis ragam, bobot tubuh benih ikan antar perlakuan tidak berbeda nyata. Hal tersebut diduga juga disebabkan terjadi kematian ikan pada awal pemeliharaan. Pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup ikan juga dipengaruhi oleh kualitas air. Kualitas air yang diamati dalam penelitian ini adalah konsentrasi oksigen terlarut, suhu, pH, amonia, kesadahan dan alkalinitas. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kisaran kualitas air yang diperoleh masih sesuai dengan batas toleransi ikan betok Tabel 1. Konsentrasi oksigen terlarut DO selama penelitian berkisar antara 4,55- 6,45 mgL. Nilai oksigen terlarut mulai awal hingga akhir pemeliharaan mengalami penurunan. Hal tersebut dikarenakan adanya respirasi dari organisme dan perombakan sisa metabolisme dalam media pemeliharaan. Nilai DO terendah pada akhir pemeliharan terdapat pada perlakuan 30 larvaL sedangkan yang tertinggi terdapat pada perlakuan 10 larvaL. Hal ini diduga terkait dengan padat penebaran awal pada perlakuan 30 larvaL adalah yang tertinggi dan pada perlakuan 10 larvaliter adalah yang terendah. Jumlah individu yang banyak menyebabkan penurunan DO semakin cepat karena konsumsi oksigen lebih banyak baik untuk respirasi maupun untuk perombakan sisa metabolisme. Hal ini sesuai dengan pendapat Hepher 1981 menyatakan bahwa dalam budidaya intensif, oksigen terlarut dan akumulasi hasil metabolisme menjadi faktor pembatas karena pada kepadatan yang tinggi menyebabkan menurunnya konsentrasi oksigen terlarut dan meningkatnya akumulasi hasil metabolisme. Meskipun demikian, kandungan DO tersebut masih dapat ditoleransi oleh ikan betok karena ikan betok memiliki alat pernapasan tambahan yang dapat membantu pernapasan pada media dengan konsentrasi oksigen terlarut yang rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat Sayer 2005 dalam Morioka et al. 2008 bahwa karena Anabas testudineus termasuk dalam kelompok ikan dengan alat pernapasan tambahan, ikan tersebut dapat tahan pada lingkungan dengan konsentrasi oksigen terlarut yang rendah. Sifat tersebut menunjukkan potensi untuk dikembangkan dengan kepadatan yang tinggi walupun harus dilakukan suatu perlakuan untuk menanggulangi kanibalisme. Derajat keasaman pH merupakan faktor penting yang berpengaruh terhadap kehidupan ikan. Menurut Boyd 1990, kisaran pH bagi kehidupan ikan dan proses laju nitrifikasi oleh bakteri Nitrosomonas sp. dan Nitrobacter sp. adalah sebesar 7-8,5. Nilai pH yang diperoleh selama penelitian berkisar antara 5,00-7,25. Nilai tersebut masih dapat ditoleransi oleh ikan betok karena ikan betok dapat hidup dalam air yang bersifat asam pH7. Hal ini sesuai dengan pendapat Widodo et al. 2007 yang menyatakan bahwa ikan betok dapat tumbuh normal pada perairan dengan kisaran pH antara 4-8. Suhu merupakan salah satu faktor penting dalam kegiatan budidaya ikan. Hal ini terkait dengan sifat ikan yang merupakan hewan berdarah dingin yaitu suhu tubuhnya dipengaruhi oleh suhu lingkungan. Pada saat suhu lingkungan tinggi suhu tubuh ikan juga tinggi sehingga metabolisme tubuh ikan cepat dan sebaliknya pada suhu rendah metabolisme ikan pun rendah. Hal tersebut berpengaruh terhadap nafsu makan ikan yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ikan dan pada akhirnya mempengaruhi produksi. Nilai suhu yang diperoleh selama penelitian ini adalah 27 C. Suhu tersebut masih sesuai untuk kehidupan ikan termasuk ikan betok. Kisaran suhu optimum bagi kehidupan ikan adalah 25-32 o C Kordi, 2004. Suhu air yang baik untuk pertumbuhan ikan betok berkisar antara 25-30 C Widodo et al., 2007. Amoniak dalam media budidaya berbahaya bagi ikan jika terdapat dalam konsentrasi yang tinggi. Amoniak dalam media pemeliharaan berasal dari ekskresi ikan melalui insang, perombakan sisa metabolisme, serta dari perombakan sisa pakan dalam media pemeliharaan. Nilai amoniak yang dihasilkan selama penelitian berfluktuasi dan berada pada kisaran 0,001-0,043 mgL. Nilai tersebut masih dapat ditoleransi oleh ikan. Menurut Boyd 1990, kisaran konsentrasi amoniak dalam pemeliharaan ikan adalah kurang dari 0,1 mgL. Kesadahan adalah gambaran kation logam divalen dan dalam perairan tawar ditentukan oleh jumlah kalsium dan magnesium. Nilai kesadahan yang diperoleh selama penelitian berkisar 23,06-40,36 mgL CaCO 3 . Nilai tersebut menunjukkan bahwa media pemeliharaan tergolong perairan lunak soft karena memiliki nilai kesadahan 0-75 mgL Sawyer dan Mc Carty 1967 dalam Boyd 1990. Alkalinitas merupakan gambaran kapasitas air untuk menetralkan asam dan basa. Kisaran alkalinitas media pemeliharaan selama penelitian adalah 24-32 mgL CaCO 3. Nilai alkalinitas tersebut masih layak untuk menunjuang kehidupan ikan karena relatif stabil dalam menjaga perubahan pH. Menurut Boyd 1990, perairan yang mengandung alkalinitas ≥20 mgL CaCO 3 relatif stabil terhadap perubahan asam dan basa sehingga kapasitas bufer lebih stabil. Perlakuan padat penebaran 10, 20, dan 30 larvaL menghasilkan benih dengan ukuran yang beragam. Ukuran benih yang dihasilkan dapat dikelompokkan dalam dua kelompok ukuran, yaitu benih berukuran 2-3 cm dan 3- 5 cm. Presentase ukuran yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 2. Persentase ukuran 2-3 cm pada perlakuan 10 larvaL, 20 larvaL, 30 larvaL masing-masing adalah 78,33, 84,17, dan 70,83. Persentase ukuran 3-5 cm 10 larvaL, 20 larvaL, 30 larvaL masing-masing adalah 21,67, 15,83, dan 26,67 Berdasarkan analisis ragam, baik pada ukuran 2-3 cm maupun ukuran 3-5 cm nilai persentase ukuran tersebut tidak berbeda nyata Tabel 2. Ukuran ikan menentukan harga jual ikan tersebut sehingga jika yang dihasilkan lebih banyak ikan berukuran kecil, maka dalam jumlah yang sama penerimaan yang diperoleh menjadi lebih kecil. Berdasarkan Tabel 3, penerimaan paling besar diperoleh pada perlakuan 10 larvaliter yaitu Rp 107.200,00 sedangkan yang paling kecil terdapat pada perlakuan perlakuan 30 larvaliter sebesar Rp 96.200,00. Peneriman juga dipengaruhi oleh harga pokok produksi HPP. Nilai HPP terendah terdapat pada perlakuan 10 larvaL sedang yang tertinggi terdapat pada perlakuan 30 larvaL. Hal ini dikarenakan total biaya yang dikeluarkan pada perlakuan 30 larvaL paling besar dibandingkan perlakuan lain. Berdasarkan analisis RC ratio dapat disimpulkan bahwa hanya perlakuan 10 larvaliter yang masih layak dijalankan sebagai sebuah usaha karena nilai RC ratio lebih dari 1 Nurmalina et al., 2009. Hal ini dikarenakan pada perlakuan 10 larvaL total penerimaan yang diperoleh lebih besar dibandingkan total biaya yang dikeluarkan sedangkan pada perlakuan yang lain total penerimaan yang diperoleh lebih kecil dibandingkan total biaya yang dikeluarkan akibat SR yang rendah pada kedua perlakuan tersebut. Payback periode PP sebagai kriteria investasi menunjukkan waktu yang diperlukan untuk pengembalian modal. Nilai PP terkecil terdapat pada perlakuan 10 larvaliter yaitu 3,96 tahun artinya investasi untuk usaha yang dilakukan sesuai dengan perlakuan tersebut akan kembali dalam waktu 3,96 tahun. Nilai break even point BEP menunjukkan titik impas suatu usaha. Berdasarkan Tabel 3, nilai BEP tertinggi terdapat pada perlakuan sebesar 208 ekor artinya untuk mencapai titik impas, pada usaha yang dilakukan dengan perlakuan 10 ekor harus menghasilkan benih 208 ekor.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Pemeliharaan ikan betok Anabas testudineus dengan padat penebaran 10 larvaliter paling optimal karena memiliki nilai derajat kelangsungan hidup 51,50±5,57 dan laba yang tertinggi sedangkan pertumbuhan sama dengan perlakuan lainnya.

4.2 Saran

Penelitian lanjutan dapat dilakukan terutama untuk menanggulangi kanibalisme pada saat larva misalnya dengan pelindung shelter serta manajemen pakan dan lingkungan yang lebih baik. Selain itu, dapat juga dilakukan penelitian untuk mengevaluasi produksi benih ikan betok setelah pemeliharaan 30 hari pemeliharaan.