Konflik Sumber Daya Ekonomi
4.6. Konflik Sumber Daya Ekonomi
kasus perebutan pengusaan lahan terminal antara mantan GAM dengan kelompo k PETA 1 yang terjadi pada tahun 2008. Kasus ini
menimbulkan aksi kekerasan dan perkelahian diantara kelompok pendukung baik dari kelompok eks- GAM m aupun dari kelomp ok PETA.
1 PETA singkat an dari Pem bela Tanah Air. PETA adalah salah sat u organisasi sipil yang berdir i saat t erjadi konflik di Aceh, dimana organisasi ini umum nya m erupakan masyar akat et nis
pendat ang (um um nya et nis Jaw a). Pada saat konflik, anggot a PETA dilat ih dan dilindungi oleh TNI/ Polri dan mem bant u upaya TNI/ Polri dalam penegakan keamanan dan ket ert iban di daerah ini. Kelompok ini j uga diklaim sebagai milisi yang dibent uk oleh TNI/ Polri saat konflik Aceh berlangsung, meskipun kem udian TNI/ Polri mem bant ah bahw a mer eka sebagai milisi yang membant u operasi-operasi TNI/ Polri. Namun kenyat aannya kelom pok PETA ini t er dapat ham pir diseluruh kabupat en/ kot a di provinsi Aceh, dan di kabupat en Aceh Tengah sebagai salah sat u yang t er besar dan t erbanyak anggot anya.
Salah satu motif terjadinya perselisihan ini yaitu masing- masing kelompok meng- klaim sebag ai “penguasa” diterminal terseb ut, dan mereka berhak untuk mengambil “upeti” (iuran/ ”pajak nanggroe”), baik dari p enjualan tiket penumpang, perparkiran maupun dari kios- kio s yang menjual di dalam terminal.
Dampak dari konflik diantara kelompok ini, menyebabkan sejumlah ang gota eks- GAM terbunuh, dalam penyerangan yang dilakukan oleh ang gota PETA di Atu Lintang, dimana sebanyak 6 anggota eks- GAM terbunuh, dan kantornya di bakar.
M unculnya konflik antara kelompok PETA dengan mantan kombatan GAM juga dipengaruhi oleh fakto r lainnya, seperti pelibatan dalam pengelolaan bantuan untuk korban konflik di bawah Badan Re- Integrasi Aceh (BRA). Badan ed-ho c yang dib entuk berdasarkan Pergub No . 330/ 032/ 2006 menimbulkan kecemburuan diantara pihak-p ihak yang terlibat dalam konflik Aceh masa lalu.
Konflik ini didasari pada tidak adanya keterlibatan anggota PETA dalam pengelolaan bantuan korban tersebut, sebaliknya, bantuan perumahan dan ekonomi untuk korban konflik, lebih do minan dikelola oleh mantan kombatan GAM . Sementara itu, kelompok PETA juga menyatakan menjadi bagian d ari korb an sekaligus pelaku yang terlibat dalam konflik Aceh, yang semestinya juga dilibatkan dalam struktur BRA atau terlibat dalam pengelolaan dana bantuan tersebut.
Selain itu, konflik yang terkait d eng an sumber daya ekonomi yang muncul dalam dua tahun belakangan yaitu terkait dengan alokasi dana pembangunan rumah korban gempa yang terjadi pada 2 Juli 2013 lalu. Bencana gempa ini menyebabkan 39 o rang mening al dunia, melukai lebih dari 400 orang, dan lebih dari 4000 rumah hancur/ rusak berat serta melumpuhkan perekonomian warga ko rban gempa.
Pemerintah kemud ian mengeluarkan kebijakan pembangunan kembali perumahan yang hancur dan rusak akib at bencana tersebut. Adapun sumber dana untuk pembangunan berasal dari APBN, ABPA dan APBK. Pemb ang unan ini d iko ordinir oleh BNPB serta BPBD kabupaten Aceh Tengah serta dinas lainnya yang terkait seperi Dinas So sial, Bappada, M uspika, dan pihak lainnya.
Konflik sumber d aya ekono mi terkait dengan pembangunan pasca gempa ini bermula dari mekanisme pemb ang unan yang dirancang oleh pemerintah,
dan pendekatan pembangunan cukup baik, yaitu dengan pendekatan partisipatif. Pendekatan partisipatif ini melalui satu kebijakan d imana pemerintah memb entuk kelompok-kelompok yang mengelola secara mandiri pembangunannya, dimana setiap d esa mempunyai sejumlah
dimana
pada
dasarnya
konsep konsep
1 orang ketua, 1 orang sekretaris d an 1 orang b endahara. Setiap kelompok harus membuka rekening d i Bank yang telah ditentukan, dan uang pembangunan di transfer ke dalam rekening tersebut secara bertahap. M asing- masing
mengajukan proposal pembangunan rumahnya beserta dengan RAB (rencana anggaran belanja). Selain itu, setiap warga yang mengajukan prop osal pembangunan perumahan ko rban gempa, juga harus memenuhi 18 syarat kelayakan yang ditentukan oleh BNPB, salah satunya yaitu reko mendasi d ari kepala desa. Sebaliknya, jika syarat ini tidak d ipenuhi, maka proposal keluarga korb an tidak dapat diterima.
keluarga
korb an
harus
Dalam realisasinya, mekanisme ini menimbulkan berbagai persoalan, salah satunya ketidakmampuan keluarga korban untuk membuat proposal dan RAB. Kondisi ini melahirkan sejumlah makelar yang membuat proposal dan RAB dengan kompensasi sejumlah uang (persentase) dari total yang dibayar. Disamping itu, proses pembayaran juga dilakukan secara bertahap, sampai kemudian keluarg a korban melaporkan prog ress dari pembangunannya, seb aliknya jika tidak melaporkan p rogress dan peng gunaan anggaran, maka ia tidak dapat mengambil uang pad a tahap berikutnya (pemberian dana pembangunan dalam tiga tahap).
Disamp ing itu, pemerintaha melalui BNPB yang merupakan lembaga leading dalam pembangunan kembali rumah korban gempa tidak membuat sebuah kateg ori klasifikasi kerusakan rumah. Artinya, tidak ada sebuah kriteria khusus bagaimana yang dikatakan rumah hancur total, rusak berat, rusak sedang dan rusak ringan. Sebaliknya, alokasi dana untuk masing- masing katego ri berbeda satu sama lain. Satu- satunya lembaga yang berwenang untuk menentukan klasifikasi itu adalah kepala desa (raje), sehingga kepada desa menjad i objek kemarahan dari korb an ketika klasifikasi rumahnya masuk katego ri yang berbeda dengan yang sebenarnya, ataupun mereka menuntut agar masuk kategori berat, pad ahal menurut penilaian kepala desa kategori ringan.
Persoalan lainnya yaitu sumber dana yang berbeda, dan tidak alo kasikan secara b ersamaan, misalnya d ari APBN sudah direalisasikan, sebaliknya dari APBA dan APBK belum direalisasikan. Kondisi ini menyebabkan masyarakat tidak dapat melanjutkan tahap penyelesaian pembangunan rumahnya, karena ketersediaan dana yang belum direalisasikan. Akhirnya masyarakat melakukan aksi d emo ntrasi ke pemerintahan kabupaten Aceh Tengah menuntut dana pembangunan rumah gemp a segera dicairkan.