Analisa Potensi Konflik dan Pembangunan Perdamaian
5.3. Analisa Potensi Konflik dan Pembangunan Perdamaian
Salah satu potensi konflik yang tetap muncul d i kabupaten Aceh Tengah yaitu potensi konflik yang terkait dengan politik; baik dalam konteks pemilu maupun dalam konteks politik hukum dan pembangunan. Potensi konflik dalam konteks pemilu karena pendidikan politik warga masih rendah, patron- klien terhadap tokoh masih kuat serta isu SARA yang dijadikan sebagai modal untuk mobilisasi massa juga masih “seksi” untuk digunakan oleh p ara politisi.
Isu SARA ini khususnya terkait d eng an isu etnis, adat dan ras. Dimana suku, etnis dan ras Gayo akan mud ah dijadikan seb agai “alat” Isu SARA ini khususnya terkait d eng an isu etnis, adat dan ras. Dimana suku, etnis dan ras Gayo akan mud ah dijadikan seb agai “alat”
Disisi lain, kelompok-kelompok PETA yang umumnya berasal dari entis Jawa juga menjadi bag ian dari potensi konflik dimasa yang akan datang. Hal ini tidak terlepas dari aksi- aksi PETA yang selama ini masih mengalami post- trautic syndro me, yaitu kondisi yang menganggap bahwa Aceh masih seperti ko nflik dulu. Kond isi ini tercermin dari masih terpeliharanya sikap- sikap eksklusifisme, premanisme serta sikap- sikap nasio nalisme sempit yang diperlihatkan o leh b eberapa to koh dari PETA. Disamp ing itu juga sikap resistensi kelompo k ini terhadap isu- isu bendera Aceh dan Wali Nanggroe yang merupakan bag ian dari ko nsesi perdamaian Aceh.
Kasus Atu Lintang pada tahun 2008 silam juga menunjukkan bahwa kelompok ini masih memiliki sejumlah senjata api, yang pad a masa konflik memang dipersenjatai oleh TNI/ Po lri sebagai bag ian dari upaya melawan kelompok pemberontak GAM . M ereka p ada saat konflik sering disebut sebagai kelompo k milisi atau pam swakarsa, d imana beberapa elit warga direkrut untuk membantu operasi- operasi anti- saparatisme GAM . Kelompok ini p asca M o U Helsinki tetap mempunyai hubungan dekat dengan TNI/ Polri, dan saat ini terdaftar sebagai organisasi masyarakat di kesb angpol dan Linmas kabupaten Aceh Tengah.
M erujuk pada kond isi demikian, d imana potensi konflik “laten” tetap akan terjad i di kabupaten Aceh Tengah, maka diperlukan upaya pembangunan yang b erkelanjutan. Upaya pembangunan ini tidak saja menjadi tugas pemerintah daerah kabupaten Aceh Tengah, melainkan juga pemerintah pro vinsi dan pusat serta seluruh stakeholders termasuk instansi TNI/ Po lri, dan lainnya.
Salah satu upaya pembangunan perdamaian yang dilakukan selama ini di kabupaten Aceh Teng ah menunjukkan b ahwa peran semua stakeholders telah berjalan dengan baik. Dalam beberap kasus misalnya, seperti kasus tawuran antara kelompok PETA dengan kelompok massa PA, pemerintah daerah bersama dengan TNI/ Po lri serta tokoh masyarakat mengajak semua pihak dan elit yang terlibat dalam kasus tawuran politik tersebut untuk d uduk bermusyawarah, berd amai sesuai dengan kebijaksanaan lo kal. Pola ini kemudian mewujudkan perdamaian dan semua p ihak dapat menahan diri serta tid ak melakukan berbagai kerusuhan lagi. Akan tetapi, pihak kepolisian sebagai penegak hukum tetap memp roses pelaku d ikemudian hari yang terlib at d ari aksi Salah satu upaya pembangunan perdamaian yang dilakukan selama ini di kabupaten Aceh Teng ah menunjukkan b ahwa peran semua stakeholders telah berjalan dengan baik. Dalam beberap kasus misalnya, seperti kasus tawuran antara kelompok PETA dengan kelompok massa PA, pemerintah daerah bersama dengan TNI/ Po lri serta tokoh masyarakat mengajak semua pihak dan elit yang terlibat dalam kasus tawuran politik tersebut untuk d uduk bermusyawarah, berd amai sesuai dengan kebijaksanaan lo kal. Pola ini kemudian mewujudkan perdamaian dan semua p ihak dapat menahan diri serta tid ak melakukan berbagai kerusuhan lagi. Akan tetapi, pihak kepolisian sebagai penegak hukum tetap memp roses pelaku d ikemudian hari yang terlib at d ari aksi
Pun begitu dalam ko nteks konflik agama khususnya terkait dengan intimidasi dan pelemparan b atu oleh warga di kecamatan Lut Tawar terhadap
melakukan ajaran tariqat Nahsyabandiah d iselesaikan melalui musyawarah dan mufakat. Semua pihak menyadari bahwa ada kesalahan dan kekhilafan yang dilakukan oleh masing- masing dan saling meminta maaf.
Sementara dalam kasus konflik lahan terutama terkait dengan pembangunan PLTA di kecamatan Silih Nara, juga diselesaikan melalui non- judicial yaitu melalui musyawarah. Pihak PLTA berjanji akan membayar ganti rugi terhadap kerugian yang dialami oleh warga karena dampak dari pembangunan PLTA, namun proses pembayaran ganti rugi dilakukan dengan kegiatan CSR, tidak dilakukan langsung per- individu. Hal ini diseb abkan bahwa kerugian yang dialami o leh warga juga tidak lang sung, karena faktor lainnya seperti genangan air yang menyebab kan warga tidak dap at berco co k tanam.
Sedangkan dalam kasus pembunuhan di Atu Lintang yang terjadi pad a tahun 2008, para pelaku d iproses sesuai dengan hukum yang berlaku, yaitu sesuai dengan KUHP. M ereka ditangkap dan diputuskan bersalah oleh pengadilan, karena meng hilangkan nyawa orang lain.
Grafik 4: Kasus/ peristiwa yang terjadi berdasarkan informasi media
Sumber: www.lintasgayo.co m
Berdasarkan informasi yang bersumber d ari media online www.lintasgayo.com menunjukkan bahwa beberapa kasus tersebar di beberap a kecamatan dalam wilayah kebupaten Aceh Tengah. Dari kategori beberap a kasus/ konflik; baik terkait isu politik, so sial, sumber ekonomi, Berdasarkan informasi yang bersumber d ari media online www.lintasgayo.com menunjukkan bahwa beberapa kasus tersebar di beberap a kecamatan dalam wilayah kebupaten Aceh Tengah. Dari kategori beberap a kasus/ konflik; baik terkait isu politik, so sial, sumber ekonomi,
Gambar 2: Pola Penyelesaian Kasus/ Peristiwa
Data ini menunjukkan bahwa beberapa pola penyelesaian kasus/ p eristiwa yang terdap at di kabup aten Aceh Umum mayoritas diselesaikan melalui mekanisme hukum (pidana), khususnya yang terkait dengan kriminal yaitu mencapai 41%. Hal menarik, juga terd apat 41% lainnya tidak ada penyelesaian, khususnya dalam berbagai peristiwa so sial (kebakaran), atau kegiatan demontrasi. Hanya 5% yang d iselesaikan melalui mekanisme musyawarah, dan 13% lainnya terkait dengan persolan administrasi, seperti dalam kasus PAW dewan dan juga dalam beberapa kasus pelaporan kecurangan pilkada/ pileg.
Terakhir, kabupaten Aceh Tengah tetap menjad i kabupaten yang mempunyai kebijaksanaan lokal, adat- istiadat yang selalu menjadi kohesi dan harmoni warga dan alam sekitar. Kepentingan politik yang kemud ian menyebabkan kab upaten dingin ini tetap hangat, dan bahkan cenderung panas, khususnya d itahun- tahun politik dan pesta demokrasi. Semoga
dinamikanya, dan keanekaragaman etnis diharapkan akan menjadi bagian dari upaya memperkuat struktur sosial, budaya, dan masyarakat d isana.
saja, Aceh
Teng ah
tetap