USAHA-USAHA GAY DALAM MENGHADAPI KEKERASAN

B. USAHA-USAHA GAY DALAM MENGHADAPI KEKERASAN

benar merupakan penyimpangan yang akan selalu timbul dalam masyarakat. Masalahnya, sampai sejauh mana masyarakat dapat memberikan toleransi terhadap penyimpangan tersebut. Lagipula, tolak ukur toleransi itupun tidak statis, senantiasa bergerak. Misalnya dahulu di Amerika Serikat, gay sama sekali tidak diterima di muka umum. Oleh karena itu, mereka melakukan kegiatan-kegiatannya secara sembunyi-sembunyi untuk menghindarkan diri dari kritik yang pedas. Salah satu akibatnya adalah mereka menjadi agresif karena mereka beranggapan bahwa penyaluran dorongan seksual dan tingkah lakunya merupakan salah satu hak asasi manusia. Dengan timbulnya gejala tersebut, masyarakat luas secara perlahan lebih bersikap lunak terhadap mereka, serta mana yang diperbolehkan dan mana yang dilarang (Soekanto, 1982:336).

Sebagaimana temuan penelitian yang dihimpun dari keterangan keterangan informan dan korban dilapangan, selama ini usaha-usaha yang dilakukan Gay untuk menghadapi kekerasan itu sendiri adalah lebih kepada tindakan preventif saja. Para informan lebih memilih mencegah terjadinya kekerasan, yaitu dengan membawa senjata-senjata Sebagaimana temuan penelitian yang dihimpun dari keterangan keterangan informan dan korban dilapangan, selama ini usaha-usaha yang dilakukan Gay untuk menghadapi kekerasan itu sendiri adalah lebih kepada tindakan preventif saja. Para informan lebih memilih mencegah terjadinya kekerasan, yaitu dengan membawa senjata-senjata

Berdasarkan in form asi yang diperoleh di lapan gan, bahwa sesungguhnya banyak kasus kekerasan pada kaum gay yang tidak dilaporkan atau tidak dicatat. Biasanya hanya dalam kondisi yang "relatif terpaksa" atau dalam keadaan "sangat gawat" kaum gay korban kekerasan melapor atau minta tolong kepada otoritas negara (misalnya, RT/RW atau pihak kecamatan, atau ke pihak kepolisian) dan ada juga yang minta pertolongan kepada pusat krisis yang disediakan oleh lembaga-lembaga peduli k a u m g a y seperti : LBH Pro Justitia, H A M dan LSM. Hal ini dikuatkan dengan paparan informan seperti di bawah ini :

-temen gay yang mengalami kekerasan baik fisik, psikis, seksual, maupun ekonomi, tapi banyak diantara mereka yang nggak mau melaporkan kasus itu ke polisi. Padahal jelas-jelas mereka mengalami kerugian yang terkadang tidak sedikit jumlahnya. Meskipun saya atau temen-temen dari GESSANG seringkali menguatkan para korban untuk melaporkan kasusnya ke polisi, tapi tetep saja mereka nggak mau. Alasannya adalah mereka tidak berani untuk sekedar melapor saja, takutnya justru mereka (gay) yang akan disalahkan bahkan jadi korban untuk yang ke-2 kalinya, yakni dikenakan denda oleh pihak -temen gay yang mengalami kekerasan baik fisik, psikis, seksual, maupun ekonomi, tapi banyak diantara mereka yang nggak mau melaporkan kasus itu ke polisi. Padahal jelas-jelas mereka mengalami kerugian yang terkadang tidak sedikit jumlahnya. Meskipun saya atau temen-temen dari GESSANG seringkali menguatkan para korban untuk melaporkan kasusnya ke polisi, tapi tetep saja mereka nggak mau. Alasannya adalah mereka tidak berani untuk sekedar melapor saja, takutnya justru mereka (gay) yang akan disalahkan bahkan jadi korban untuk yang ke-2 kalinya, yakni dikenakan denda oleh pihak

Ariyanto dan Rido Triawan (2008:37) mengatakan bahwa pemerintah sepertinya kurang bersemangat mengeluarkan kelompok LGBTI (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender interseksual) ini dari penderitaan mereka. Kubangan diskriminasi dan intoleransi masih terus menjadi konstruksi sosial dan pandangan dominan masyarakat terhadap kelompok LGBTI. Pemerintah mungkin khawatir akan berhadapan dengan konstruksi sosial pandangan heteroseksual yang mendominasi pola pikir masyarakat. Biasanya, masyarakat melakukan stigmatisasi terhadap mereka dengan menggunakan justifikasi doktrin dan teks-teks suci keagamaan. Oleh tafsir agama koservatif, kelompok lesbian, gay, biseksual, transgender, interseksual (LGBTI) dianggap sampah masyarakat, menyebarkan penyakit menular, tidak normal, tidak alamiah, sumber datangnya malapetaka,dan penyandang cacat mental. Parahnya lagi, pemerintah turut melegitimasi hal itu dengan mengeluarkan beberapa kebijakan yang diskriminatif terhadap kelompok marginal tersebut.

Secara fisik seorang gay adalah laki tetapi secara orientasi seksual menyukai sesama laki-laki. Gay memiliki perasaan yang sama sensitifnya seperti layaknya seorang perempuan, kadang cara mereka berbicara dan bersikap hampir mirip seperti seorang perempuan juga. Menurut Oetomo (2001: 93) cinta sesama jenis sebagai gejala alami, secara umumnya disebut homofilia yang artinya sebagai gejala dan perilaku yang ditandai oleh ketertarikan secara emosi dan seks pada seseorang terhadap orang lain yang sama jenis kelaminnya. Begitu banyak sosok gay yang hadir di tengah-tengah masyarakat yang keberadaannya tidak dapat dipungkiri lagi, terkadang mereka berusaha menikah dengan seorang perempuan tetapi pada akhirnya mereka tetap kembali pada orientasi seksualnya sebagai seorang gay. Lelaki heteroseksualpun ternyata juga banyak yang mau berhubungan seks dengan seorang gay bahkan mereka mencari keberadaan para gay demi memuaskan kebutuhan seksualnya padahal mereka sudah mempunyai istri dan anak.

Beberapa orang mencibir dan menganggap gay adalah anomali, sebuah kelainan jiwa dan suatu tindakan yang benar-benar menyimpang, mereka dianggap sampah masyarakat. Beberapa orang justru merasa iba dan kasihan terhadap mereka sehingga berusaha untuk menolong mereka agar bisa kembali normal lagi.

Menurut Oetomo (2001: 27) bahwa seksualitas seseorang pada dasarnya terdiri dari : Menurut Oetomo (2001: 27) bahwa seksualitas seseorang pada dasarnya terdiri dari :

2. Perilaku (peran) gendernya (baik sebagaimana ditentukan oleh budayanya ataupun berupa pilihannya sendiri yang bertentangan dengan budayanya itu).

3. Khusus pada masyarakat-masyarakat modern, orientasi (preferensi) seksualnya (baik itu sesuai dengan ketentuan dari budayanya maupun meyimpang dari ketentuan itu).

Berdasarkan teori kekerasan yang diutarakan oleh Galtung, fenomena kekerasan yang terjadi di komunitas gay di Surakarta adalah kekerasan lagsung dan kekerasan budaya. Kekerasan langsung (direct violence ) dapat dilihat pada kasus-kasus pemukulan seseorang terhadap orang lainnya dan menyebabkan luka-luka pada tubuh. Suatu kerusuhan yang menyebabkan orang atau komunitas mengalami luka-luka atau kematian dari serbuan kelompok lainnya juga merupakan kekerasan langsung. Ancaman atau teror dari suatu kelompok yang menyebabkan katakutan dan trauma psikis juga merupakan bentuk kekerasan langsung.

Selain kekerasan langsung, fenomena kekerasan budaya yang diutarakan oleh Galtung itupun ternyata juga terjadi di kalangan Gay di Kota Surakarta. Kekerasan budaya (cultural violence) dilihat sebagai sumber lain dari tipe-tipe konflik melalui produksi kebencian, ketakutan dan kecurigaan (Jeong, dalam Susan, 2009: 114). Sumber kekerasan budaya ini bisa berangkat dari etnisitas, agama maupun ideologi. Galtung Selain kekerasan langsung, fenomena kekerasan budaya yang diutarakan oleh Galtung itupun ternyata juga terjadi di kalangan Gay di Kota Surakarta. Kekerasan budaya (cultural violence) dilihat sebagai sumber lain dari tipe-tipe konflik melalui produksi kebencian, ketakutan dan kecurigaan (Jeong, dalam Susan, 2009: 114). Sumber kekerasan budaya ini bisa berangkat dari etnisitas, agama maupun ideologi. Galtung

-aspek dari kebudayaan, ruang simbolis dari keberadaan masyarakat manusia -dicontohkan oleh agama dan ideologi, bahasa dan seni, ilmu pengetahuan empiris dan formal (logis, matematis)- yang bisa digunakan untuk menjustifikasi atau melegitimasi

Kekerasan budaya yang terjadi pada komunitas Gay di Kota Surakarta ini lebih dikarenakan leh aspek agama atau kelompok agama. Dari uraian di atas, kekerasan yang terjadi pada komunitas gay oleh kelompok agama itu seringkali di dasarkan pada kaidah-kaidah agama yang dianut oleh kelompok agama terntentu itu mengenai keberadaan komunitas Gay yang tidak sesuai dengan kodratnya manusia. Mereka menganggap bahwa gay itu melanggar ajaran agama dan gay itu adalah dosa. Kelompok-kelompok agama tertentu tersebut menganggap bahwa keberadaan gay di masyarakat itu bisa merusak moral dan akhlak generasi penerus bangsa. Sehingga inilah yang seolah-olah menjadi pembenar mereka melakukan tindakan apapun terhadap komunitas gay ini, bahkan kekerasanpun seolah-olah syah untuk mereka lakukan.

Budaya masyarakat Indonesia yang notabene adalah budayanya orang timur, keberadaan komunitas ini juga dianggap telah melanggar budaya yang selama ini dianut oleh masyarakat. Hal-hal yang tidak lazim Budaya masyarakat Indonesia yang notabene adalah budayanya orang timur, keberadaan komunitas ini juga dianggap telah melanggar budaya yang selama ini dianut oleh masyarakat. Hal-hal yang tidak lazim

Dalam bukunya Oetomo (2001: 220-221) berpendapat bahwa sudah saatnya kita semua yang hidup dalam keluarga belajar mengenai keanekaragaman kehidupan manusia, belajar untuk tidak begitu saja menghakimi anggota keluarga kita yang berbeda dari diri kita dan menciptakan suasana keluarga yang menunjang berbagai ekspresi perbedaan.

Pembahasan diatas menjelaskan bahwa, keluarga sangat berperan penting dalam proses kehidupan anak, khususnya proses sosialisasi anak diluar rumah. Apa yang ia peroleh di dalam rumah, kemudian diin- terpretasikan melalui tindakan saat berada diluar rumah. Hal ini menjadi pemicu terjadinya kegiatan-kegiatan yang dapat memicu terjadinya kenakalan, khusunya dalam proses bergaul gay yang berasal dari keluarga yang kurang harmonis, sebab mendapat kasih sayang yang terbatas. Salah satu temuan utama para sosiolog Melvin Kohn dalam Pembahasan diatas menjelaskan bahwa, keluarga sangat berperan penting dalam proses kehidupan anak, khususnya proses sosialisasi anak diluar rumah. Apa yang ia peroleh di dalam rumah, kemudian diin- terpretasikan melalui tindakan saat berada diluar rumah. Hal ini menjadi pemicu terjadinya kegiatan-kegiatan yang dapat memicu terjadinya kenakalan, khusunya dalam proses bergaul gay yang berasal dari keluarga yang kurang harmonis, sebab mendapat kasih sayang yang terbatas. Salah satu temuan utama para sosiolog Melvin Kohn dalam

Pengaruh keluarga dalam proses tumbuh kembang anggotanya, merupakan hal yang sangat penting. Sebab keluarga merupakan institusi yang paling penting pengaruhnya terhadap proses sosialisasi. Hal ini dimungkinkan sebab berbagai kondisi keluarga; Pertama. Keluarga merupakan kelompok primer yang selalu bertatap muka di antara anggotanya, sehingga dapat selalu mengikuti perkembangan anggota- anggotanya. Kedua, orang tua memiliki kondisi yang tinggi untuk mendidik anak-anaknya, sehingga menimbulkan hubungan emosional yang hubungan ini sangat memerlukan proses sosialisasi. Ketiga, adanya hubungan sosial yang tetap, maka dengan sendirinya orang tua memiliki peranan yang penting terhadap proses sosialisasi (M Elly dan Usman, 2011:177).

Sedangkan sikap kaum gay ketika menghadapi kekerasan itu sendiri adalah lebih pada tindakan preventif untuk diri mereka masing- masing, yakni mereka memilih mencegah terjadinya kekerasan itu sendiri. Hal ini terlihat pada paparan dari informan IPM mengenai usaha-usaha yang dilakukan dalam menghadapi kekerasan di bawah ini : Sedangkan sikap kaum gay ketika menghadapi kekerasan itu sendiri adalah lebih pada tindakan preventif untuk diri mereka masing- masing, yakni mereka memilih mencegah terjadinya kekerasan itu sendiri. Hal ini terlihat pada paparan dari informan IPM mengenai usaha-usaha yang dilakukan dalam menghadapi kekerasan di bawah ini :

Kemudian tindakan preventif lainnya juga dilakukan oleh informan WHY dan NK berikut ini : -sekarang saya milih nyari aman sajalah, kalau pas

ada keriburan-keributan di tempat nongkrong entah itu sama FPI ataupun sesame gay, saya milih diam atau kabur ajalah. Karena kadang kalau saya bantuin temen, takutnya malah saya yang kena lagi. Dan saya sekarang juga berjaga-jaga aja kalau pas mau nongkrong kemana gitu, saya kadang bawa pisau atau senjata tajam buat jaga-jaga aja (WHY). Kalau saya lebih selektif aja kalau memilih pasangan ngesek, jadi jangan asal-asalan dan sebelum ngesek saya harus lebih tegas dengan pasangan saya, kalau saya nggak suka dengan gaya ini atau gaya itu, ya saya nggak mau melakukan, dan saya juga nggak mau dipaksa, jadi harus disepakati

Dari uraian di atas, kekerasan yang terjadi pada komunitas gay oleh kelompok agama itu seringkali di dasarkan pada kaidah-kaidah agama yang dianut oleh kelompok agama tertentu itu mengenai keberadaan komunitas Gay yang tidak sesuai dengan kodratnya manusia. Mereka menganggap bahwa gay itu melanggar ajaran agama dan gay itu adalah dosa. Kelompok-kelompok agama tertentu tersebut menganggap bahwa keberadaan gay di masyarakat itu bisa merusak moral dan akhlak generasi penerus bangsa. Sehingga inilah yang seolah-olah menjadi pembenar mereka melakukan tindakan apapun terhadap komunitas gay ini, bahkan kekerasan pun seolah-olah syah untuk mereka lakukan.

orang timur, keberadaan komunitas ini juga dianggap telah melanggar budaya yang selama ini dianut oleh masyarakat. Hal-hal yang tidak lazim mereka temui di masyarakat termasuk hubungan seks dengan sejenis seperti yang dilakukan oleh komunitas gay di Kota Surakarta ini jelas tidak bisa diterima oleh sebagian besar masyarakat. Tak terkecuali oleh elemen masyarakat terkecil yakni keluarga. Banyak kaum gay yang tidak diterima oleh keluarga mereka sendiri, maka akhirnya mereka memilih keluar dari rumah dan hidup di luar kota bahkan ada juga yang lebih memilih tinggal di luar negeri bersama pasangannya untuk sekedar mendapatkan legalitas atau sebuah pengakuan.

Dalam bukunya Oetomo (2001: 220-221) berpendapat bahwa sudah saatnya kita semua yang hidup dalam keluarga belajar mengenai keanekaragaman kehidupan manusia, belajar untuk tidak begitu saja menghakimi anggota keluarga kita yang berbeda dari diri kita dan menciptakan suasana keluarga yang menunjang berbagai ekspresi perbedaan.

Pembahasan diatas menjelaskan bahwa, keluarga sangat berperan penting dalam proses kehidupan anak, khusunya proses sosialisasi anak diluar rumah. Apa yang ia peroleh di dalam rumah, kemudian diin- terpretasikan melalui tindakan saat berada diluar rumah. Hal ini menjadi pemicu terjadinya kegiatan-kegiatan yang dapat memicu terjadinya Pembahasan diatas menjelaskan bahwa, keluarga sangat berperan penting dalam proses kehidupan anak, khusunya proses sosialisasi anak diluar rumah. Apa yang ia peroleh di dalam rumah, kemudian diin- terpretasikan melalui tindakan saat berada diluar rumah. Hal ini menjadi pemicu terjadinya kegiatan-kegiatan yang dapat memicu terjadinya