1. Pelaksanaan pemberian otonomi kepada daerah harus menunjang aspirasi
perjuangan rakyat, yakni memperkokoh Negara Kesatuan dan mempertinggi tingkat kesejahteraan rakyat indonesia seluruhnya.
2. Pemberian otonomi kepada daerah harus merupakan otonomi yang nyata dan
bertanggung jawab. 3.
Azas Desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan Azas Dekonsentrasi, dengan memberikan kemungkinan bagi pelaksanaan azas tugas pembantuan
medebewid. 4.
Pemberian otonomi kepada daerah mengutamakan aspek keserasian dengan tujuan di samping aspek pendemokrasian.
5. Tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk meningkatkan daya
guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah di daerah, terutama dalam pelaksanaan pembangunan dan dan pelayanan terhadap masyarakat serta
untuk meningkatkan pembinaan kestabilan politik dan kesatuan bangsa.
2.2 Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal
Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal bukan konsep baru di Indonesia, sudah diatur dalam UU RI No. 5 tahun 1975 tentang pokok-pokok pemerintahan di
daerah. Dalam prakteknya kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal selama pemerintahan orde baru belum dapat mengurangi ketimpangan vertikal dan
horisontal, yang ditunjukkan dengan tingginya derajat sentralisasi fiskal dan besarnya ketimpangan antardaerah dan wilayah Uppal dan Suparmoko, 1986; Sjahfrizal,
Universitas Sumatera Utara
1997. Praktek internasional desentralisasi fiskal baru dijalankan pada 1 Januari 2001 berdasarkan UU RI No. 25 tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU RI No. 33
tahun 2000 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Prinsip dasar pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia ialah “Money
Follows Functions”, yaitu fungsi pokok pelayanan publik didaerahkan, dengan dukungan pembiayaan pusat melalui penyerahan sumber-sumber penerimaan kepada
daerah. Berdasarkan pasal 5 UU No. 33 tahun 2000 sumber-sumber penerimaan
daerah adalah pendapatan daerah dan pembiayaan. Pendapatan daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah PAD, dana perimbangan dan lain-lain pendapatan. Dana
Perimbangan keuangan Pusat-Daerah PKPD merupakan mekanisme transfer pemerintah pusat-daerah terdiri dari Dana Bagi Hasil Pajak dan Sumber Daya Alam
DBHP dan SDA, Dana Alokasi Umum DAU, dan Dana Alokasi Khusus DAK. Dana pembiayaan daerah berasal dari Sisa Lebih Anggaran daerah SAL, pinjaman
daerah, dana cadangan daerah dan privatisasi kekayaan daerah yang dipisahkan. Besarnya PAD dan pembiayaan daerah dapat diklasifikasikan sebagai dana non
PKPD, karena berasal dari pengelolaan fiskal daerah. Khusus pinjaman daerah pemerintah pusat masih khawatir dengan kondisi utang negara, sehingga belum
mengijinkan penerbitan utang daerah. Idealnya semua pengeluaran pemerintah daerah dapat dicukupi dengan
menggunakan PAD-nya, sehingga daerah menjadi benar-benar otonom. Selama tahun 2001 – 2003 peranan PAD terhadap pengeluaran rutin dan total pengeluaran APBD
Universitas Sumatera Utara
semakin menurun. Menurunnya peranan PAD terhadap pengeluaran rutin dan pengeluaran total dalam APBD mengindikasikan bahwa terjadi peningkatan peranan
mekanisme transfer dari pemerintah pusat melalui dana perimbangan Mahi, 2005. Tujuan utama pemberian dana perimbangan dalam kerangka otonomi daerah untuk
pemerataan kemampuan fiskal pada tiap daerah equalizing transfer Ehtisham, 2002. Secara umum dana PKPD terdiri dari bantuan umum block grant dan
bantuan khusus spesific grant Davey, 1998. Penggunaan DAU, DBHP dan DBH SDA block grants diserahkan pada kebijakan masing-masing daerah. Pada awal
penerapannya DAU banyak dimanfaatkan untuk membiayai pengeluaran rutin terutama untuk belanja pegawai sebagai dampak pengalihan status pegawai pusat
menjadi pegawai pemda Isdijoso, dan Wibowo, 2002. Sedangkan penggunaan DAK spesific grants telah ditentukan oleh pemerintah pusat dengan kewajiban daerah
penerima harus menyediakan 10 dana pendamping. Kebijakan Dana Alokasi Umum DAU mempunyai tujuan utama untuk
memperkuat kondisi fiskal daerah dan mengurangi ketimpangan antar daerah horizontal imbalance. Melalui kebijakan bagi hasil SDA diharapkan masyarakat
daerah dapat merasakan hasil dari sumber daya alam yang dimilikinya. Hal ini karena selama pemerintahan orde baru hasil SDA lebih banyak dinikmati oleh pemerintah
pusat Devas, 1989. Mekanisme bagi hasil SDA dan pajak bertujuan untuk mengurangi ketimpangan vertikal vertical imbalance pusat-daerah. Walaupun
Indonesia terkenal sebagai daerah yang kaya akan SDA tetapi persebarannya tidak merata di seluruh daerah. Daerah kaya SDA misalnya Riau, Kalimantan Timur, Aceh,
Universitas Sumatera Utara
dan Irian Jaya akan mendapatkan dana bagi hasil yang relatif lebih besar jika dibandingkan dengan daerah lain yang miskin sumber daya alam. Pada sisi yang lain
Jakarta dan kota besar lainnya akan memperoleh dana bagi hasil pajak PBB, BPHTB, dan PPh yang cukup besar, sebagai konsekuensi terkonsentrasinya pusat
bisnis di kota metropolitan. Phenomena seperti ini akan berdampak terhadap meningkatnya ketimpangan fiskal antar daerah, yang pada akhirnya melalui kebijakan
ekspansi pengeluaran pemerintah daerah dapat meningkatkan ketimpangan pendapatan antardaerah dan wilayah.
Dana Alokasi Khusus DAK bertujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Di
samping itu tujuan pemberian DAK adalah untuk mengurangi inter-jurisdictional spillovers, dan meningkatkan penyediaan barang publik di daerah Mahi, 2002 c.
Dalam perspektif peningkatan pemerataan pendapatan maka peranan DAK sangat penting untuk mempercepat konvergensi antar daerah, karena dana diberikan sesuai
dengan prioritas nasional, misalnya DAK untuk bantuan keluarga miskin. Dalam jangka panjang dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan yang merupakan
bagian dari anggaran kementerian negaralembaga yang digunakan untuk melaksanakan urusan yang menurut peraturan perundang-undangan menjadi urusan
daerah akan dialihkan menjadi DAK Pasal 107 UU No. 33 tahun 2000. Meningkatnya penerimaan daerah melalui pemberian dana PKPD dan
pengumpulan dana non PKPD pada satu sisi akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tetapi pada sisi yang lain dapat memperburuk ketimpangan antardaerah.
Universitas Sumatera Utara
Peningkatan penerimaan daerah akan memberikan keleluasaan untuk mendesain kebijakan yang dapat memberikan stimulus pada pertumbuhan ekonomi. Alokasi
anggaran daerah untuk investasi akan meningkatkan kapital stok daerah dan memperluas kesempatan kerja, sehingga akan meningkatkan kapasitas ekonomi
daerah yang pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Peningkatan pertumbuhan ekonomi berdampak terhadap konsumsi dan tabungan investasi
masyarakat sehingga akan memperbesar basis pajak daerah. Dampak selanjutnya yaitu terjadi peningkatan penerimaan pajak dan retribusi daerah, sehingga penerimaan
daerah akan meningkat. Pada sisi yang lain kondisi endowment factors setiap daerah yang berbeda berdampak terhadap akselerasi pertumbuhan ekonomi daerah, dan
berpotensi memperparah ketimpangan antardaerah dan wilayah. Terjadinya migrasi tenaga kerja dan pergerakan modal ke daerah core, serta tidak berjalannya
mekanisme trickle down effect akan berdampak meningkatkan ketimpangan antardaerah Myrdal, 1957, dan Hirchman, 1958. Hubungan antara pertumbuhan
ekonomi, ketimpangan pendapatan, investasi, konsumsi, dan mekanisme transfer dana PKPD dan non PKPD terjadi dalam hubungan simultan Dartanto, dan
Brodjonegoro, 2005. Permasalahan ini merupakan topik utama yang akan di bahas dalam penelitian ini.
Desentralisasi fiskal terdiri dari kata desentralisasi dan fiskal. Pengertian desentralisasi menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 adalah penyerahan wewenang
pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
Desentralisasi fiskal menurut Linvack dan Seddon dalam Prawirosetoto 2002 adalah pendelegasian tanggung jawab dan pembagian kekuasaan dan
kewenangan untuk pengambilan keputusan di bidang fiskal yang meliputi aspek penerimaan tax assignment maupun aspek pengeluaran expenditure assignment.
Selanjutnya menurut Bastian 2001 menyatakan kebijakan fiskal adalah kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah dalam rangka untuk membelanjakan uangnya guna
mencapai tujuan negara dan upaya yang ditempuh oleh pemerintah dalam mendapatkan dana yang dibutuhkan untuk membiayai pembelanjaan pemerintah.
Sidik 2002 mengemukakan desentralisasi fiskal merupakan salah satu komponen utama dari desentralisasi. Pemerintah daerah melaksanakan fungsinya
secara efektif dan diberikan kebebasan dalam pengambilan keputusan penyediaan pelayanan di sektor publik, maka daerah harus didukung sumber-sumber keuangan
yang memadai baik yang berasal dari pendapatan asli daerah PAD termasuk sucharge of taxes, bagi hasil pajak dan bukan pajak, pinjaman maupun
subsidibantuan dari pemerintah pusat.
2.3 Kapasitas Fiskal