Analisis Pengaruh Aspek Fiskal dan Moneter Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

(1)

ANALISIS PENGARUH ASPEK FISKAL DAN

MONETER TERHADAP PERTUMBUHAN

EKONOMI INDONESIA

TESIS

Oleh

ANGANDROWA GULO 047018025/EP

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2008


(2)

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains Dalam Program Studi Ilmu Ekonomi Pembangunan Pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

ANGANDROWA GULO 047018025/EP

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2008


(3)

Judul Tesis : ANALISIS PENGARUH ASPEK FISKAL DAN MONETER TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA

Nama Mahasiswa : ANGANDROWA GULO Nomor Pokok : 047018025

Program Studi : Ekonomi Pembangunan (EP)

Menyetujui Komisi Pembimbing:

(Dr. Murni Daulay, S.E, MSi) (Drs. Iskandar Syarief, MA)

Ketua Anggota

Ketua Program Studi Direktur,

(Dr. Murni Daulay, S.E, M.Si) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc)


(4)

PANITIA PENGUJI TESIS :

KETUA : Dr. Murni Daulay, M.Si. ANGGOTA : 1. Drs. Iskandar Syarief, MA.

2. Drs. Samad Zaino, MSi. 3. Drs. Rujiman, MA.


(5)

ABSTRAK

Penelitian ini didasarkan pada besarnya pengaruh aspek fiskal dan moneter, yaitu pengeluaran pemerintah (rutin dan pembangunan), jumlah uang beredar dan penerimaan pajak tahun sebelumnya terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh aspek fiskal dan moneter (pengeluaran pemerintah, jumlah uang beredar dan pajak) serta kondisi perekonomian terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Metode analisis yang digunakan adalah Ordinary Least Square (OLS). Untuk tujuan

analisis digunakan data sekunder berupa data time series, 1988 – 2007, yaitu data pengeluaran pemerintah untuk dana rutin dan pembangunan, jumlah uang beredar, penerimaan pajak dan PDB Indonesia. Data tersebut diperoleh dari Departemen Keuangan, BPS dan sumber-sumber lainnya yaitu jurnal-jurnal dan hasil penelitian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa aspek fiskal dan moneter berpengaruh signifikan

terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tingkat kepercayaan 99 persen atau g=1 %,

dengan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 99,54 persen. Secara parsial, hasil analisis menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah (baik rutin dan pembangunan) berpengaruh positif tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, sedangkan jumlah uang beredar dan penerimaan pajak tahun sebelumnya berpengaruh positif dan signifikan terhadap

pertumbuhan ekonomi Indonesia masing-masing pada g=1 % dan g=10 %. Hal ini berarti

bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia akan semakin meningkat dengan meningkatnya pengeluaran pemerintah, jumlah uang beredar, dan penerimaan pajak tahun sebelumnya. Berdasarkan hasil estimasi model diketahui bahwa kondisi perekonomian sesudah krisis ekonomi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hal ini berarti bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia semakin buruk setelah terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997.

Kata kunci: pertumbuhan ekonomi, pengeluaran pemerintah, jumlah uang beredar, pajak.


(6)

This research based on the level of influence of monetary and fiscal aspect, that is governmental expenditure (routine and development), money supply and previous year of tax to economic growth of Indonesia. This research has a purpose to analyse the monetary and fiscal aspect influence (governmental expenditure, money supply and tax) and also economics condition to economic growth of Indonesia

The analysis uses Ordinary Least Square (OLS) method. For this analysis aim, use a secondary database in time series form, 1988 – 2007, that is data of governmental expenditure (routine and development), money supply, acceptance of tax and PDB of Indonesia. The Data obtained from Treasury Department, Central Bureau of Statistics, and other sources that is research result and journals.

Result of research indicate that the monetary and fiscal aspect had a significantly effect to economic growth of Indonesia, with a determination coefficient value (R2), in the amount of 99,54 percents. Partially, this analysis result showed that the governmental expenditure (routine or development) had a non significant and positively effect to economic growth of Indonesia, while money supply and acceptance of year tax previously had a significantly and positive effect to economic growth of Indonesia each at α=1 % and 10 %. This means that economic growth of Indonesia will progressively with increasing the governmental expenditure, money supply, and tax acceptance of year previously. Pursuant to result estimation model known that the economics condition hereafter economic crisis had a significantly and negativ effect to economic growth of Indonesia. This means that economic growth of Indonesia had an ugly progressively after economic crisis in 1997.


(7)

KATA PENGANTAR

Penelitian yang dituangkan dalam bentuk tesis ini merupakan tugas akhir yang harus disajikan dalam rangka menyelesaikan studi di Sekolah Pascasarjana pada Program Studi Magister Ekonomi Pembangunan Universitas Sumatera Utara

(USU) Medan. Dengan mengambil judul “Analisis Pengaruh Aspek Fsikal dan

Moneter terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia”.

Penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan penulisan tesis ini dalam waktu yang telah ditetapkan berkat bimbingan dan arahan dari Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Ekonomi Pembangunan khususnya Dosen Pembimbing dan Dosen Penguji dengan kesabarannya telah meluangkan waktu dan pikiran dalam memberikan petunjuk dan arahan.

Dalam penyelesaian penulisan tesis ini, penulis banyak dibantu oleh berbagai pihak, baik dalam bentuk moril, bimbingan maupun arahan, sehingga sesuai dengan syarat dan tatacara yang telah ditentukan. Untuk itu penulis dalam kesempatan ini, dengan kerendahan hati dengan rasa hormat menyampaikan terima kasih yang tulus kepada :

1. Ibu Prof.Dr.Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc., Direktur Sekolah Pascasarjana


(8)

Pembimbing atas arahan dan bimbingannya selama masa perkuliahan dan pengerjaan tesis ini.

3. Bapak Drs. Iskandar Syarief, MA. sebagai Anggota Pembimbing yang telah

banyak meluangkan waktu dan arahan dalam penyusunan tesis ini

4. Bapak Drs. Samad Zaino, MSi, Drs. Rujiman, MA, dan Irsyad Lubis, SE,

M.Soc.Sc, Ph.D. sebagai Pembanding yang telah banyak memberikan saran-saran perbaikan dalam penyusunan tesis ini.

5. Bapak, Ibu Dosen Program Studi Magister Ekonomi Pembangunan Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak dan Ibu Staf Administrasi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera

Utara.

7. Kepada orang-orang tercinta penulis dan seluruh keluarga besar yang telah

memberikan perhatian, motivasi, semangat, saran dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

8. Rekan-Rekan Mahasiswa Program Studi Magister Ekonomi Pembangunan

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara khususnya Ahmad Basaruddin, Yedi Suhaedi, Zulfan, Tasbih Panjaitan, serta Rekan-Rekan Angkatan VIII yang lainnya, kiranya persahabatan ini menjadi kenangan yang


(9)

indah dan tak terlupakan serta menjadi ikatan persaudaran yang erat diantara kita..

Penulis menyadari tesis ini masih jauh dari sempurna, namun harapan penulis semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Mohon maaf atas segala kesalahan dan kesilapan penulis selama ini. Semoga Allah Bapa Yang Maha Pengasih memberikan berkat-Nya kepada kita. Aminn...

Medan, Juli 2008 Penulis,


(10)

1. Nama : Angandrowa Gulo

2. Tempat/ Tanggal Lahir : Gunung Sitoli, 17 Agustus 1960

3. Pekerjaan : Swasta

4. Agama : Kristen

5. Nama Istri : Dameria Pardede, SPd.

6. Anak : 1. Esther Crisewita Gulo

2. Fischer I. Gulo

3. Vuty Hatima Margareth Gulo 4. Andre Gemuruh Gulo

7. Nama Orang Tua :

Ayah : Alm. F. Gulo

Ibu : Alm. Amine Zebua

8. Nama Mertua :

Ayah : Alm. St. W. Pardede

Ibu : J. br. Gultom

9. Pendidikan :

a. SD Negeri Lasarabagawu Nias : Lulus Tahun 1972

b. SMP Negeri Sirombu Nias : Lulus Tahun 1975

c. STM Bangunan Gedung, Nias : Lulus Tahun 1979

d. Sarjana Muda Teknologi Kimia Tekstil Medan : Lulus Tahun 1985

e. Sarjana Teknik Industri UMA Medan : Lulus Tahun 1988

f. Sekolah Pascasarjana USU : Lulus Tahun 2008

10.Pekerjaan : Tahun 1990 – sekarang, Direktur CV. Ergonomi System Medan

Tahun 2006 – sekarang, Direktur Akademi Teknik Deli Serdang.


(11)

DAFTAR ISI

ABSTRAK... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP... vi

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR TABEL... ix

DAFTAR GAMBAR... x

DAFTAR LAMPIRAN... xi

DAFTAR SINGKATAN... xii

BAB I. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian... 5

1.4. Manfaat Penelitian ... 6

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA... 7

2.1. Pertumbuhan Ekonomi... 7

2.2. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia ... 10

2.3. Kebijakan Fiskal dan Moneter ... 16

2.4. Jumlah Uang Beredar ... 21

2.5. Pajak ... 25

2.6. Pengeluaran Pemerintah dan Pembangunan Ekonomi... 27

2.7. Penelitian Sebelumnya ... 29

2.8. Hipotesis Penelitian... 32

2.9. Kerangka Pemikiran... 33

BAB III. METODE PENELITIAN... 34

3.1. Ruang Lingkup Penelitian... 34


(12)

3.7. Uji Penyimpangan Asumsi Klasik ... 37

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 40

4.1. Perkembangan Ekonomi Indonesia... 40

4.2. Kebijakan Fiskal dan Moneter ... 44

4.2.1. Pengeluaran Pemerintah ... 44

4.2.2. Jumlah Uang Beredar ... 47

4.2.3. Penerimaan Pajak ... 49

4.3. Analisis Estimasi ... 51

4.3.1. Uji Kesesuaian ... 51

4.3.2. Uji Asumsi Klasik ... 57

4.4. Pembahasan ... 60

4.4.1. Pengeluaran Pemerintah untuk Dana Rutin... 60

4.4.2. Pengeluaran Pemerintah untuk Pembangunan ... 61

4.4.3. Jumlah Uang Beredar ... 62

4.4.4. Penerimaan Pajak ... 64

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 66

5.1. Kesimpulan... 66

5.2. Saran... 67


(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1.1 Perkembangan Pengeluaran Pemerintah, Jumlah Uang Beredar

dan Pajak Tahun 2001 – 2006 (Milyar Rupiah) ... 4

4.1. Perkembangan PDB Indonesia atas Dasar Konstan, Tahun 1988 –

2007 ... 41

4.2. Perkembangan Pengeluaran Pemerintah Tahun 1988 – 2007 ... 45

4.3. Perkembangan Jumlah Uang Beredar, Tahun 1988 – 2007 ... 48

4.4. Perkembangan Penerimaan Pajak Tahun 1988 – 2007 ... 50

4.5. Hasil Estimasi Pengaruh Aspek Fiskal dan Moneter terhadap

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia... 52

4.6. Hasil Estimasi Uji Multikolinieritas... 58

4.7. Hasil Estimasi Uji Autokorelasi dengan LM Test... 59


(14)

2.1. Kerangka Pemikiran Analisis Pengaruh Aspek Fiskal dan Meneter

terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia... 33

4.1. Perkembangan PDB Indonesia, Tahun 1988 – 2007 ... 42

4.2. Perkembangan Pengeluaran Pemerintah, Tahun 1988 – 2007... 46

4.3. Perkembangan Jumlah Uang Beredar, Tahun 1988 – 2007 ... 49


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Data PDB, Pengeluaran Pemerintah, Jumlah Uang Beredar, dan

Penerimaan Pajak, Dalam Milyar Rp... 71

2. Data Analisis ... 72

3. Hasil Analisis Regresi ... 72


(16)

APBN = Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

APBD = Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BPS = Badan Pusat Statistik

BUMN = Badan Usaha Milik Negara

PDB = Produk Domestik Bruto

IMF = International Monetary Fund

ADB = Asian Development Bank

GNP = Gross National Product

GDP = Gross Domestic Product

OLS = Ordinary Least Square

PDRB = Produk Domestik Regional Bruto

PAD = Pendapatan Asli Daerah

BBM = Bahan Bakar Minyak

KLBI = Kredit Likuiditas Bank Indonesia

DJP = Direktorat Jenderal Pajak

IHSG = Indeks Harga Saham Gabungan

SUN = Surat Utang Negara

ORI = Obligasi Republik Indonesia

LDR = Loan-To-Deposit Ratio


(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pemerataan pembangunan ekonomi bagi bangsa Indonesia sudah lama dinantikan serta diinginkan oleh rakyat Indonesia. Harapan dan cita-cita yang ingin dijadikan kenyataan tersebut dapat diimplementasikan melalui pembangunan ekonomi untuk dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Oleh karena itu dalam Pembangunan Nasional intinya adalah untuk kesejahteraan dan kemakmuran yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Sampai sekarang pembangunan ekonomi belum banyak tersentuh dalam pembangunan, sehingga perlu untuk ditingkatkan.

Pembangunan nasional yang sedang dilaksanakan bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Menurut Kadin (2008), pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2007 diperkirakan mencapai atau setidaknya mendekati target yang ditetapkan pemerintah di dalam APBN 2007. Momentum percepatan pertumbuhan sudah kembali hadir, sebagaimana ditandai oleh pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) yang praktis selama enam triwulan berturut-turut menunjukkan peningkatan terus menerus. Pada tahun 2007 pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar 6,2 persen.


(18)

Kestabilan makro ekonomi cukup terjaga dengan kecenderungan membaik. Hal ini antara lain tercermin dari nilai tukar Rupiah yang relatif tak bergejolak, kecenderungan penurunan suku bunga, dan laju inflasi yang jauh lebih rendah dari tahun 2006. Kinerja neraca pembayaran (balance of payments) juga membaik di segala lini: akun perdagangan barang (trade account), akun semasa (current account), maupun akun modal (capital account). Perbaikan kinerja neraca pembayaran bermuara pada peningkatan cadangan devisa yang cukup signifikan. Posisi cadangan devisa per 30 November 2007 tercatat sebesar US$54,9 miliar, suatu peningkatan tajam dibandingkan posisi akhir tahun 2006 sebesar US$34,7 miliar.

Sementara itu, di pasar modal diwarnai oleh rekor-rekor baru IHSG (indeks harga saham gabungan), SUN (Surat Utang Negara) yang terus diminati oleh investor domestik maupun asing, serta ORI (Obligasi Republik Indonesia) yang selalu terserap oleh investor perseorangan dengan nilai yang melebihi target. Dilihat dari komposisi SUN yang dipegang oleh investor asing terlihat bahwa yang jatuh tempo di atas 10 tahun menduduki porsi terbesar. Ini menandakan bahwa di mata investor institusional asing, prospek ekonomi Indonesia dalam jangka panjang cukup menjanjikan.

Sejak semester kedua 2007 ekspansi kredit perbankan meningkat relatif tajam, dan lebih tinggi ketimbang peningkatan dana pihak ketiga. Sehingga, LDR (loan-to-deposit ratio) juga naik mendekati 70 persen. Dari gambaran tersebut,


(19)

3

bahwa secara umum dan agregat, kinerja perekonomian Indonesia selama tahun 2007 menunjukkan kemajuan yang cukup baik. Namun, jika kita telaah lebih mendalam dan rinci, gambarannya tak sebaik tampak luar. Paling tidak, pola dan arah perkembangan ekonomi menunjukkan mixed signals. Seandainya signals yang terhadirkan lebih konsisten, niscaya perkembangan ekonomi Indonesia akan jauh lebih baik dan sekaligus lebih tangguh dalam menghadapi goncangan eksternal dan menjawab persoalan-persoalan sosial di dalam negeri.

Perkembangan perekonomian Indonesia akan dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah, khususnya kebijakan dibidang fiskal dan moneter, yaitu menyangkut pengeluaran pemerintah (pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan), jumlah uang beredar dan juga kebijakan tentang pajak. Dalam kenyataannya kebijakan pemerintah dalam bidang fiskal dan moneter juga tergantung pada kondisi perekonomian, dimana kebijakan fiskal dan moneter berbeda pada saat kondisi sebelum krisis ekonomi terjadi dan kebijakan setelah krisis ekonomi terjadi. Perkembangan pengeluaran pemerintah, jumlah uang beredar dan penerimaan pajak di Indonesia tahun 2001 – 2006 adalah sebagaimana disajikan pada tabel berikut:


(20)

Tabel 1.1. Perkembangan Pengeluaran Pemerintah, Jumlah Uang Beredar dan Pajak Tahun 2001 – 2006 (Milyar Rupiah)

Pengeluaran Pemerintah (G) Tahun

Rutin Pembangunan

Jumlah Uang Beredar (M)

Pajak (T)

2001 190.092 125.664 844.053 179.892 2002 198.741 145.268 883.908 219.627 2003 208.584 162.008 955.692 254.147 2004 155.438 218.913 1.033.527 272.175 2005 117.817 279.952 1.203.215 297.844 2006 311.157 336.511 1.382.074 416.313 Sumber: BPS Indonesia, 2007.

Data Tabel 1.1. menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah, jumlah uang beredar maupun penerimaan pajak di Indonesia terus menunjukkan peningkatan setiap tahun. Dengan meningkatnya pengeluaran tersebut diharapkan juga akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, yang dapat dilihat dari PDB yang semakin meningkat. Karena tujuan pengeluaran pemerintah baik rutin maupun pembangunan adalah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang semakin baik dan stabil sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena besarnya peranan kebijakan pemerintah di bidang fiskal dan moneter baik pada kondisi sebelum krisis maupun setelah terjadinya krisis ekonomi, perlu dilakukan suatu penelitian bagaimana pengaruh kebijakan pemerintah di bidang fiskal dan moneter terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dalam hal ini kebijakan pemerintah di bidang fiskal dan


(21)

5

moneter yang dianalisis adalah pengeluaran pemerintah (rutin dan pembangunan), jumlah uang beredar dan pajak.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana pengaruh pengeluaran pemerintah untuk pembiayaan rutin terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia ?

2. Bagaimana pengaruh pengeluaran pemerintah untuk pembangunan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia ?

3. Bagaimana pengaruh jumlah uang beredar terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia ?

4. Bagaimana pengaruh penerimaan pajak terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia ?

5. Bagaimana pengaruh kondisi perekonomian terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia ?

1.3. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk:


(22)

2. Mengetahui perkembangan pertumbuhan ekonomi Indonesia.

3. Menganalisis pengaruh aspek fiskal dan moneter (pengeluaran pemerintah, jumlah uang beredar dan pajak) serta kondisi perekonomian terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.

1.4. Manfaat Penelitian

Dengan penelitian yang dilakukan ini, mampu memberikan manfaat yang antara lain adalah :

1. Menambah khasanah ilmu pengetahuan, khususnya mengenai pengaruh kebijakan fiskal dan moneter terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.

2. Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah dalam meningkatkan kebijakan fiskal dan moneter.

3. Sebagai referensi bagi peneliti lainnya yang berminat untuk mengkaji dalam bidang yang sama dengan pendekatan dan ruang lingkup yang berbeda


(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan prosesnya yang berkelanjutan merupakan kondisi utama bagi kelangsungan pembangunan ekonomi. Karena jumlah penduduk bertambah terus dan berarti kebutuhan ekonomi juga bertambah terus, maka dibutuhkan penambahan pendapatan setiap tahun. Hal ini hanya bisa diperoleh melalui peningkatan output agregat (barang dan jasa) atau produk domestic bruto (PDB) setiap tahun. Dengan demikian dalam pengertian ekonomi makro, pertumbuhan ekonomi adalah penambahan PDB yang berarti juga penambahan pendapatan nasional (Tambunan, 2001a).

Pertumbuhan ekonomi bisa dilihat dalam nilai absolut dan nilai relatif (persentase). Pertumbuhan dalam nilai absolut dinyatakan dalam rupiah, misalnya PDB tahun 2000 tumbuh Rp. 2 triliun dibandingkan PDB tahun 1999. Sedangkan pertumbuhan dalam persentase dapat dihitung dengan cara sederhana, sebagai berikut (Tambunan, 2001b).

ΔPDB(t) = [PDB(t) – PDB(t-1) / PDB(t-1)] x 100 %

dimana ΔPDB(t) = pertumbuhan ekonomi tahun (t) tertentu dalam nilai absolut, t-1 = tahun sebelumnya. Untuk mendapatkan laju pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun, menggunakan rumus sebagai berikut:


(24)

r = 1 x 100% 0 t tn 1 n ⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ − ⎟⎟⎠ ⎞ ⎜⎜⎝ ⎛

atau dengan compounding factor : tn = t0(1 + r)n-1

dimana r = laju pertumbuhan PDB rata-rata per tahun, n = jumlah tahun (misalnya untuk periode 1990-an, n = 10), tn = tahun akhir periode, t0 = tahun awal periode,

(1 + r)n-1 menggambarkan compound factor.

Pertumbuhan ekonomi dalam nilai absolut selanjutnya dapat dinyatakan dalam nilai nominal berdasarkan harga berlaku dan nilai riil (nyata) berdasarkan harga konstan (Tambunan, 2001b).

Pembangunan ekonomi suatu negara pada dasarnya bertujuan untuk mencapai kemakmuran masyarakat melalui pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan distribusi pendapatan yang merata. Kemakmuran dan pertumbuhan ekonomi tersebut dapat tercipta melalui bekerjanya pasar secara efisien. Mekanisme pasar akan bekerja secara efisien apabila tersedia tata aturan dan hukum-hukum pasar yang dilaksanakan dengan baik. Ketersediaan tata aturan dan hukum tersebut mengundang peran para pembuat undang-undang (parlemen) dan pelaksana undang-undang (pemerintah). Selain itu, Pemerintah termasuk bank sentral menyusun kebijakan-kebijakan yang disesuaikan dengan perkembangan untuk lebih cepat merealisasikan tujuan-tujuan yang diinginkan dalam koridor undang-undang/peraturan yang sudah dijalankan. Atas dasar itu, Pemerintah melalui


(25)

9

kebijakan makroekonomi, investasi, perdagangan, pelaksanaan hukum serta perundang-undangan mempunyai peranan penting dalam menciptakan iklim yang kondusif bagi bekerjanya pasar secara optimal. Demikian pula halnya bank sentral yang menetapkan kebijakan moneter, sebagai salah satu elemen kebijakan makroekonomi mempunyai peranan penting dalam penciptaan kondisi bagi bekerjanya mekanisme pasar yang efisien (Abdullah, 2003).

Implikasi dari kebijakan fiskal pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi masih banyak diperdebatkan baik dari sisi teori maupun studi empirisnya yang juga masih terus berkembang. Pada awalnya yang lebih diperhatikan adalah kuantitas pengeluaran pemerintah, namun pada tahap selanjutnya aspek-aspek lain dari kebijakan fiskal pemerintah tersebut dirasa perlu pula untuk diamati. Selain efektifitas atau efisiensi dari pengeluaran pemerintah baik besarannya (size) dan alokasi sektoralnya, dampak dari cara pemerintah dalam membiayai pengeluarannya terhadap pertumbuhan ekonomi juga merupakan area studi yang menarik (Brata, 2004).

Brata dan Arifin (2003) juga telah mencoba menganalisis aspek fiskal pemerintah daerah terhadap pertumbuhan ekonomi propinsi di Indonesia. Sebelum diberlakukannya kebijakan otonomi daerah tahun 1999, pemerintah daerah baik tingkat propinsi (Dati I) maupun kabupaten/kota (Dati II) lebih banyak tergantung pada pemerintah pusat (Kuncoro, 1995). Dalam hal ini, andil subsidi dari pemerintah pusat dalam struktur penerimaan pemerintah daerah sangat tinggi,


(26)

jauh melebihi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pembangunan ekonomi hanya dapat terlaksana jika tersedia sejumlah dana. Dana yang dibutuhkan oleh pemerintah daerah dalam pelaksanaan pembangunan di daerah berasal dari berbagai sumber, yang disebut sebagai penerimaan daerah.

2.2. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Hampir enam puluh (60) tahun bangsa Indonesia melakukan pembangunan ekonomi, selama itu pula pertumbuhan ekonomi mengalami pasang surut. Fluktuasi pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat terkait dengan fluktuasi stabilitas sosial, politik dan keamanan. Pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari nilai absolut maupun relatif. Secara absolut berarti dilihat dari perubahan PDB tahun lalu dengan tahun sekarang. Misalnya PDB tahun 2004 tumbuh Rp 3 triliun dari tahun 2003. Untuk mempermudah penggambaran, masa pertumbuhan ekonomi dipilah menjadi tiga (3), yaitu masa orde lama, orde baru dan masa reformasi.

Masa Orde Lama

Setelah kemerdekaan hingga tahun 1965, perekonomoian Indonesia memasuki era yang sangat sulit, karena bangsa Indonesia menghadapi gejolak sosial, politik dan keamanan yang sangat dahsyat, sehingga pertumbuhan ekonomi kurang diperhatikan. Kegiatan ekonomi masyarakat sangat minim, perusahaan-perusahaan besar saat itu merupakan perusahaan-perusahaan peninggalan penjajah yang


(27)

11

mayoritas milik orang asing, dimana produk berorientasi pada ekspor. Kondisi stabilitas sosial- politik dan keamanan yang kurang stabil membuat perusahaan-perusahaan tersebut stagnan.

Pada periode tahun 1950-an Indonesia menerapkan model guidance development dalam pengelolaan ekonomi, dengan pola dasar Growth with Distribution of Wealth di mana peran pemerintah pusat sangat dominan dalam mengatur pertumbuhan ekonomi (pembangunan semesta berencana). Model ini tidak berhasil, karena begitu kompleknya permasalahan ekonomi, sosial, politik dan keamanan yang dihadapi pemerintah dan ingin diselesaikan secara bersama-sama dan simultan. Puncak kegagalan pembangunan ekonomi orde lama adalah terjadi hiper inflasi yang mencapai lebih 500% pada akhir tahun 1965 (Tambunan: 2001).

Masa Orde Baru

Belajar dari kegagalan Orde Lama, Orde Baru sejak awal tahun 1970 menerapkan planned economy dengan pola Growth First then Distribution of Wealth. Planned economy yang dianut Indonesia merujuk pada pertumbuhan perekonomian dengan pola kemajuan perekonomian suatu masyarakat melalui beberapa tahapan, sehingga pada masa itu pemerintah mengenalkan adanya Pembangunan Jangka Panjang Tahap I (PJPT I), dan PJPT II. Pembangunan jangka panjang juga dimasyarakatkan dengan nama Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun), program ini menunjukkan keberhasilan, terutama


(28)

dilihat dari indikator makro ekonomi, yaitu tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pertumbuhan pendapatan yang tinggi, tingkat inflasi yang rendah, kestabilan nilai tukar rupiah, rendahnya tingkat pengangguran dan perbaikan sarana perekonomian. Tahapan model pembangunan Rostow tampak jelas pada tahapan-tahapan pelita di Indonesia selama PJPT I.

Tahap pertama adalah mengubah pola ekonomi traditional yang berbasis pertanian tradisional, dimana penguasaan teknologi masyarakat sangat rendah, sehingga mayoritas produksi adalah barang-barang pertanian dan bahan mentah menuju pola ekonomi industri (industrial economy), di mana kegiatan ekonomi bertumpu pada industri. Ciri utama pada tahap ini adalah, pertama struktur masyarakat berjenjang, penguasaan teknologi sangat terbatas, penguasaan sumberdaya yang dipengaruhi oleh hubungan darah/keluarga dan produk utama adalah pertanian.

Tahap kedua adalah precondition untuk take-off (tinggal landas), mempunyai beberapa indikator. Sektor pertanian masih merupakan sektor yang dominan dan penting, kegiatan perekonomian mulai bergerak dinamis, sektor industri, jasa dan lembaga keuangan mulai berkembang. Tahap kedua ini tahap yang sangat krusial, karena menyiapkan prasarat untuk tinggal landas. Prasarat yang harus disiapkan untuk lepas landas meliputi: Pertama, perbaikan infrastruktur, terutama jalan raya, pelabuhan, rel kereta api, lapangan terbang. Pada tahap ini pertumbuhan pendapatan tinggi dan diikuti dengan menurunnya


(29)

13

tingkat pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi meningkat tajam, capital-labor ratio semakin meningkat, share industri dalam pertumbuhan ekonomi semakin besar (bahkan mulai menggeser peranan sektor pertanian).

Tahap ketiga adalah initiating take-off, di mana dalam tahap ini peran pemerintah mulai berkurang. Porsi pembangunan mulai diserahkan kepada swasta. Pemerintah lebih bersifat pendorong, melalui peraturan dan kestabilan politik. Beberapa indikator utama dalam tahap ini adalah pertama, terjadinya perubahan teknologi dalam pengelolaan baik sektor industri maupun pertanian. Ratio capital to labor semakin meningkat. Kedua, peran penanaman modal asing dalam pembangunan ekonomi semakin tinggi, bahkan jauh lebih tinggi dari peran swasta domestik maupun negara. Selanjutnya, growth model bertumpu pada akumulasi kapital melalui pasar modal. Ini berarti peran rakyat dalam pembangunan mulai diaktifkan, terutama dalam akumulasi modal melalui transaksi di pasar modal.

Tahap keempat adalah take-off. Tahap tinggal landas merupakan tahap yang paling menentukan dalam proses pembangunan ekonomi. Tinggal landas menurut Kuncoro (2000) diartikan sebagai tiga (3) kondisi yang saling terkait, yaitu: (1) Kenaikan laju investasi produktif antara 5 – 10 persen dari pendapatan nasional, (2) Perkembangan salah satu atau beberapa sektor manufaktur penting dengan laju pertumbuhan tinggi (3) Adanya kerangka politik, sosial dan institusional yang jelas, yang dapat mendorong ekspansi di sektor modern. Ciri


(30)

lain pada tahap ini terletak pada peran pemerintah dalam pembangunan ekonomi hanyalah sebagai fasilitator, bukan lagi inisiator. Peran swasta sangat tinggi dalam pembangunan, mekanisme pasar mulai diperkenalkan dan local currency memasuki perdagangan internasional.

Tahap kelima adalah tahap konsumsi tinggi. Pada tahap akhir perkembangan perekonomian Rostow ini akan ditandai adanya migrasi besar-besaran penduduk kota ke daerah pinggiran kota. Masyarakat mulai timbul kesadaran bahwa kesejahteraan bukan masalah individu, yang hanya dipecahkan dengan konsumsi individu, namun kesejahteraan merupakan kebutuhan bersama. Meskipun pertumbuhan ekonomi masa orde baru cukup tinggi, dimana pertumbuhan ekonomi tertinggi pernah mencapai 8 persen (Tambunan: 2001) dan pendapatan perkapita mencapai US$ 3.450 (Mankiw: 2003), namun angka kemiskinan di Indonesia masih tetap tinggi. Pertumbuhan ekonomi yang dicerminkan pada pertumbuhan pendapatan nasional, ternyata hanya dinikmati golongan masarakat tertentu saja. Pembangunan ekonomi model Growth First then Distribution of Wealth ternyata menimbulkan kesenjangan sosial ekonomi pada masyarakat. Dengan berakhirnya PJPT I diharapkan Indonesia sudah mencapai tahap take-off, namun kondisi empirik menunjukkan hasil yang berbeda. Hasil pembangunan ekonomi tidak dirasakan secara merata oleh masyarakat, sehingga perekonomian menjadi rapuh. Puncak kegagalan pembangunan ekonomi orde baru adalah terjadi krisis ekonomi pada tahun 1997-1998.


(31)

15

Masa Reformasi

Pada masa reformasi perekonomian Indonesia memasuki masa sulit, bahkan sampai saat ini kegiatan perekonomian belum tumbuh normal seperti masa sebelum krisis. Krisis ekonomi yang diawali tahun 1997 telah berdampak luas pada semua aspek kehidupan masyarakat, sehingga memicu instabilitas pada bidang sosial, politik dan keamanan. Kondisi ini memicu timbulnya kekacauan dalam kegiatan perekonomian dan laju inflasi yang semakin tinggi. Begitu beratnya kondisi perekonomoian Indonesia sehingga terpuruk di mata Internasional.

Pertumbuhan ekonomi menjadi negatif, pendapatan perkapita sebelum krisis mencapai US$ 3.450 pada tahun 1999 merosot menjadi US$ 580. Demikian juga dengan nilai kurs rupiah yang sempat menyentuh nilai tertinggi Rp 17.500 per US$ 1. Kondisi ini diperparah dengan rendahnya kepercayaan masyarakat nasional maupun internasional terhadap perekonomian Indonesia, sehingga aktivitas di pasar modal didominasi oleh aktivitas jual, bukan pembelian. Setelah tahun 2000 perekomian mulai recovery sehingga pertumbuhan ekonomi Indonesia mulai positif, sektor-sektor perekonomian yang sebelumnya tumbuh negatif, sudah berkembang menjadi positif. Diperkirakan pertumbuhan ekonomi berkisar antara 3 sampai 4 persen.


(32)

2.3. Kebijakan Fiskal dan Moneter

Kebijakan Fiskal pada dasarnya merupakan kebijakan yang mengatur tentang penerimaan dan pengeluaran negara. Penerimaan negara bersumber dari pajak, penerimaan bukan pajak dan bahkan penerimaan yang berasal dari pinjaman/bantuan dari luar negeri sebelum masa reformasi dikategorikan sebagai penerimaan negara. Pinjaman luar negeri dimasukkan dalam APBN sifatnya hanya in and out, artinya penerimaan dari sumber ini akan tercantum sebagai penerimaan negara dalam tahun anggaran yang sama, merupakan sumber pengeluaran pembangunan untuk membiayai berbagai proyek pembangunan dalam jumlah yang sama. Dengan demikian, kebijakan fiskal sebenarnya merupakan kebijakan pengelolaan keuangan negara dan terbatas pada sumber-sumber penerimaan dan alokasi pengeluaran negara yang tercantum dalam APBN.

Kebijakan ini mencakup besarnya target penerimaan pajak langsung dan tidak langsung, target penerimaan bukan pajak termasuk dividen yang berasal dari BUMN serta besarnya rencana penerimaan dari luar negeri, baik dari pinjaman maupun dari hibah. Pada sisi pengeluaran pada dasarnya dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu untuk pengeluaran yang bersifat rutin, misalnya untuk pembayaran gaji dan belanja barang, serta pengeluaran yang bersifat pembangunan yang bersumber dari pinjaman dan hibah luar negeri serta tabungan pemerintah (public saving). Tabungan pemerintah berasal dari penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin sebagaimana tercantum dalam APBN setiap


(33)

17

tahun yang menggunakan prinsip anggaran berimbang atau balanced budget yang diterapkan sebelum masa reformasi.

Pada dasarnya kebijakan fiskal yang diterapkan selama tahun fiskal 1993-1998 tetap melanjutkan kebijakan fiskal yang dijalankan sebelumnya, yaitu suatu kebijakan fiskal yang hati-hati (prudent). Implikasinya adalah pada setiap tahun anggaran harus diupayakan adanya surplus anggaran. Selain itu, kebijakan fiskal tidak boleh menjadi alat pemicu terjadinya inflasi yang tidak terkendali. Demikian pula, kebijakan fiskal yang diterapkan harus dapat berfungsi sebagai instrumen untuk penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang berkesinambungan (sustainable). Jadi sampai batas-batas tertentu kebijakan fiskal juga berfungsi sebagai alat stimulus ekonomi, meskipun perkembangan sektor riil dan pertumbuhan PDB yang rata-rata mencapai 7% setiap tahun, terutama diandalkan dari pertumbuhan investasi baik domestik maupun dari luar negeri.

Pengaruh Globalisasi Terhadap Perekonomian Indonesia Sistem perekonomian terbuka yang dianut oleh Indonesia, menyebabkan prekonomian Indonesia tidak dapat menghindar dari setiap perkembangan perekonomian dunia, dan membawa konsekuensi adanya keterkaitan yang erat, baik melalui arus barang, jasa maupun arus modal.

Krisis ekonomi yang melanda kawasan Asia, juga sangat berpengaruh pada kondisi perekonomian Indonesia. Berbagai kajian dan studi empiris yang dikeluarkan oleh berbagai lembaga termasuk dari lembaga-lembaga seperti IMF,


(34)

Bank Dunia dan ADB, tidak satupun yang menyimpulkan bahwa krisis yang dialami oleh negara-negara di Asia Tenggara yang dimulai pertengahan 1997 di Thailand kemudian merebak ke negara-negara lain, termasuk Indonesia bersumber dari kebijakan fiskal yang salah.

Berbagai indikator fundamental ekonomi pada masa itu, yang merata di negara-negara Asia Tenggara menunjukkan bahwa keadaan fundamental ekonomi, pada dasarnya masih dapat dikategorikan dalam keadaan sehat atau terkendali (manageable), meskipun terdapat indikator yang agak merisaukan yaitu membesarnya defisit transaksi berjalan pada neraca pembayaran. Gejala meningkatnya defisit transaksi berjalan secara nyata dan relatif tingginya inflasi yang dialami perekonomian Indonesia menunjukan perekonomian Indonesia masih mengalami pemanasan atau overheating.

Pemanasan ekonomi bersumber dari naiknya permintaan agregat secara kurang proposional dengan penawaran agregat, oleh karena itu pengendalian pemanasan ekonomi dilakukan dengan pengendalian permintaan agregat. Dalam jangka pendek permintaan agregat dapat naik dengan cepat sedangkan penawaran agregat relatif tetap karena menyangkut kapasitas produksi.

Permintaan agregat yang naik sebagian dipenuhi dengan barang domestik dan sebagian lagi dengan barang impor, yang dapat memperburuk defisit transaksi berjalan. Unsur permintaan agregat bersumber dari permintaan masyarakat dan pemerintah. Secara garis besar konsumsi masyarakat dapat dikendalikan dengan


(35)

19

kebijakan moneter sedangkan belanja pemerintah dapat dikendalikan dengan kebijakan fiskal terutama yang menyangkut pengeluaran negara.

Kebijakan moneter sebagai salah satu kebijakan ekonomi berperan penting dalam suatu perekonomian. Peranan tersebut tercermin pada kemampuannya mempengaruhi stabilitas harga, pertumbuhan ekonomi, perluasan kesempatan kerja, dan keseimbangan neraca pembayaran. Oleh karena itu, seringkali hal-hal ini menjadi sasaran akhir dari kebijakan moneter.

Secara ideal, semua sasaran akhir tersebut di atas dapat dicapai secara bersamaan. Namun seringkali pencapaian sasaran-sasaran akhir tersebut mengandung unsur-unsur yang kontradiktif (Ascarya, 2002). Misalnya, usaha untuk mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi dan memperluas kesempatan kerja pada umumnya dapat berdampak negatif terhadap kestabilan harga dan keseimbangan neraca pembayaran. Sementara itu, dalam jangka panjang kebijakan moneter bersifat netral dan hanya dapat mempengaruhi harga. Oleh karena itu dalam undang-undang bank sentral ada kecenderungan bahwa sasaran akhir dari kebijakan moneter adalah stabilisasi harga

Kebijakan moneter yang terutama dilakukan dengan pengendalian jumlah uang beredar yang bertujuan mendorong pertumbuhan ekonomi dengan tetap mengendalikan inflasi, serta pengendalian kestabilan neraca pembayaran. Pertumbuhan jumlah uang yang beredar yang terlalu rendah walaupun akan menurunkan inflasi dan defisit transaksi berjalan secara signifikan, akan tetapi hal


(36)

ini dapat menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang agak rendah. Sebaliknya, pertumbuhan jumlah uang beredar yang terlalu tinggi dapat mendorong perekonomian tinggi, tetapi akan menghasilkan inflasi dan defisit transasksi berjalan yang juga meningkat. Dalam kaitan ini dalam tahun anggaran 1996/1997, dengan pertumbuhan ekonomi 7,98 persen, pertumbuhan jumlah uang beredar (M1) dan likuiditas perekonomian (M2) dapat dikendalikan masing-masing tingkat 19,6 persen dan 26,7 persen.

Selain kebijakan moneter, pemerintah mengendalikan perekonomian nasional melalui kebijakan fiskal. Kebijakan belanja rutin didasarkan atas prinsip efesiensi tanpa mengurangi kualitas pelayanan kepada masyarakat, sedangkan kebijakan belanja pembangunan didasarkan atas prinsip lebih mengutamakan belanja pembangunan untuk sektor-setor strategis dan mempunyai dampak pengganda yang besar bagi perekonomian nasional. Dalam kaitan ini dalam tahun anggaran 1996/1997, pertumbuhan belanja rutin telah diupayakan menurun dari 19,2 persen dalam tahun anggaran sebelumnya menjadi 17,2 persen atau dari Rp16.568,00 miliar, sedangkan pertumbuhan belanja pembangunan naik dari 6,2 persen dalam tahun anggaran sebelumnya menjadi 16,2 persen atau menjadi Rp 33.454,35 miliar.

Sementara itu, berbagai kebijakan deregulasi di sektor riil terus dilakukan. Beberapa kebijakan penting tersebut antara lain adalah Paket deregulasi 27 Juni 1994, Paket Deregulasi 23 Mei 1995, Paket Deregulasi 26 Januari 1996, Paket


(37)

21

Deregulasi 4 Juni 1994, serta Paket Deregulasi Juli 1997. Paket-paket deregulasi ini, antara lain berisi penurunan tarif, penyederhanaan prosedur, penanaman modal, dan kebijaksanaan perkreditan. Salah satu tujuan dari keseluruhan paket tersebut adalah untuk memperlancar distribusi dan penyediaan berbagai barang dan jasa kebutuhan rakyat serta untuk meningkatkan daya saing ekonomi Indonesia dalam menghadapi persaingan global (Muhammad, 2007).

2.4. Jumlah Uang Beredar

Dalam perkembangan sejarah peradaban manusia, peranan uang dirasakan sangat penting. Hampir tidak ada satupun kehidupan ekonomi manusia yang tidak berhubungan dengan uang. Pengalaman menunjukkan bahwa jumlah uang beredar diluar kendali dapat menimbulkan konsekwensi atau pengaruh buruk terhadap perkembangan variabel-variabel ekonomi utama, yaitu tingkat produksi dan tingkat harga.

Pada awalnya, yang digolongkan dalam definisi uang hanyalah uang kartal (yang terdiri dari uang koin dan kertas) yang beredar di masyarakat. Kemudian dengan berkembangnya peranan bank, yang termasuk sebagai uang adalah uang kartal dan uang giral (demand deposit). Pekembangan jenis-jenis uang ini mengikuti perkembangan kebutuhan sarana pembayaran dan transaksi dalam perekonomian. Pada dasarnya, penggolongan berbagai jenis uang ini berdasarkan pada sifat likuid tidaknya jenis uang tersebut. Uang tergolong dalam aktiva yang


(38)

memiliki sifat likuid yang sangat tinggi. Jenis uang yang tidak dapat dipakai sebagai alat tukar/transaksi secara seketika disebut sebagai dana terbatas.

Di Amerika Serikat, terdapat empat agregat moneter utama, yaitu: uang kartal, M1, M2, M3 dan L (Dornbusch, Fischer dan Startz, 2004).

a. M1 terdiri dari aset-aset yang digunakan secara langsung, instan dan tanpa hambatan dalam melakukan pembayaran. Aset ini bersifat likuid. M1 berhubungan dengan kebanyakan definisi tradisional mengenai uang sebagai alat pembayaran.

b. M2, terdiri dari M1 ditambah aset yang tidak likuid secara instan, penarikan deposito berjangka misalnya memerlukan pemberitahuan kepada institusi penyimpanan; dana mutual pasar uang menentukan nilai minimum yang dapat diambil.

c. M3, terdiri dari M2 ditambah item yang tidak pernah dilihat kebanyakan orang, yang disebut large negotiable deposits dan repurchase agreements. Sebagian dimiliki perusahaan, tetapi sebagian juga dimiliki individu.

d. L, terdiri dari M3 ditambah beberapa aset likuid yang bersubstitusi dekat dengan uang, namun bukan uang itu sendiri.

Dalam melaksanakan kewajibannya, otoritas moneter memiliki kewajiban sistem moneter yang terdiri atas mengeluarkan uang kartal (Currency), yakni uang kertas dan uang logam yang diedarkan oleh Bank Indonesia, ditambah dengan uang giral (demand deposit) yaitu sipanan giro masyarakat, pengertian tersebut


(39)

23

disebut juga dengan uang beredar dalam arti sempit (M1). Kewajiban yang

meliputi M1 plus uang kuasi (quasy money) yang terdiri dari deposito berjangka

dan tabungan yang dimiliki oleh sektor swasta domestik pada bank-bank umum disebut uang beredar dalam arti luas (M2 ) atau likuiditas perekonomian (Pratomo,

2003)

Peningkatan uang beredar yang berlebihan dapat mendorong peningkatan harga melebihi tingkat yang diharapkan sehingga dalam jangka penjang dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, apabila peningkatan uang beredar sangat rendah, maka kelesuan ekonomi akan terjadi. Menurut Suseno (2002) apabila hal ini terus menerus terjadi, kemakmuran masyarakat secara keseluruhan pada gilirannya akan mengalami penurunan. Kondisi tersebut antara lain melatar belakangi upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas moneter suatu negara dalam mengendalikan jumlah uang beredar.

Dalam literatur dikenal dua jenis kebijakan moneter, yaitu kebijakan moneter ekspansif dan kebijakan moneter kontraktif. Kebijakan moneter ekspansif adalah kebijakan moneter yang ditujukan untuk mendorong kegiatan ekonomi, yang antara lain dilakukan melalui peningkatan uang beredar. Sebaliknya, kebijakan moneter kontraktif adalah kebijakan moneter yang ditujukan untuk memperlambat kegiatan ekonomi, yang antara lain dilakukan melalui penurunan uang beredar.


(40)

Untuk menjaga kestabilan nilai mata uang, Bank sentral sebagai pemegang otoritas moneter diberikan beberapa wewenang dalam melakukan tugasnya. Pertama adalah tugas dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter untuk mengendalikan uang beredar dan suku bunga dalam perekonomian agar dapat mendukung pencapaian tujuan kestabilan nilai uang. Pengendalian ini tidak boleh dilakukan secara ketat dan berlebihan karena akan mempersulit dan menyebabkan aktivitas ekonomi menjadi terkendala dan lesu. Sebaliknya, pengendalian uang beredar dan suku bunga tidak boleh terlalu longgar karena akan menyebabkan tidak terpeliharanya kestabilan nilai uang yang akan mendorong merosotnya kepercayaan masyarakat dan mempersulit perencanaan bisnis para pengusaha. Hasil analisa dan pemantauan yang dilakukan oleh bank sentral kemudian akan digunakan dalam melaksanakan kebijakan moneternya, melalui pengendalian jumlah uang beredar dan suku bunga.

Pengendalian terhadap jumlah uang beredar akan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara. Menurut Samuelson dan Nordhaus (2003), pengurangan jumlah uang beredar akan cenderung meningkatkan tingkat suku bunga dan memperketat syarat-syarat kredit. Dengan suku bunga yang lebih tinggi dan kekayaan yang lebih rendah, maka pengeluaran yang sensitif terhadap suku bunga, khususnya investasi, akan cenderung turun. Pada akhirnya, tekanan uang ketat, dengan pengurangan permintaan agregat, akan menurunkan pendapatan, output dan kesempatan kerja. Hal ini sesuai dengan pendapat


(41)

25

Dornbusch, Fischer dan Startz (2004), bahwa permintaan keseimbangan uang riil berespon negatif terhadap tingkat suku bunga. Kenaikan suku bunga akan menurunkan permintaan uang.

Menurut Mankiw (2003), jumlah uang beredar tergantung pada basis moneter, rasio deposito-cadangan, dan rasio deposito-uang kartal. Kenaikan basis moneter menyebabkan kenaikan yang proporsional jumlah uang beredar. Penurunan rasio deposito-cadangan atau rasio deposito-uang kartal meningkatkan pengganda uang dan jumlah uang beredar.

2.5. Pajak

Pajak merupakan pungutan yang dilakukan pemerintah terhadap wajib pajak tertentu berdasarkan undang-undang yang ada tanpa harus memberikan imbalan langsung. Lembaga Pemerintah yang mengelola perpajakan negara di Indonesia adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang merupakan salah satu direktorat jenderal di bawah naungan Departemen Keuangan Republik Indonesia.

Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan.

Menurut Ana (2003), persoalan dari beberapa negara, termasuk Pilipina, adalah bahkan pada saat pertumbuhan, pungutan pajak berada di bawah prestasi.


(42)

Dimana ketika terjadi pemulihan atau pertumbuhan ekonomi, pungutan pajak sebagai proporsi GNP tetap suram. Hal ini menantang teori konvensional bahwa hasil pungutan pajak meningkat pada saat pertumbuhan. Pertumbuhan bukan merupakan satu-satunya faktor penentu dari penerimaan pajak. Variabel lain yang penting termasuk efisiensi administrasi pajak, luasnya dan tingkat usaha menghindari pajak, kepercayaan pada pemerintahan, dan kualitas pertumbuhan itu sendiri. Sedangkan di Korea Selatan, dalam hal perekonomian dengan tingkat pertumbuhan tinggi di mana tabungan nasional bersama-sama dengan pungutan pajak secara relatif adalah tinggi.

Menurut Purnama (2006), pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan meningkatkan penerimaan pemerintah dari pajak dan menambah lapangan kerja. Pertumbuhan industri di sektor riil akan meningkatkan penerimaan pemerintah dari pajak (PPn dan PPh) serta memberikan lapangan kerja dan perolehan/ penghematan devisa.

Menurut Djohanputro (2006), terdapat hubungan antara inflasi dengan beban pajak riil. Semakin tinggi inflasi, maka semakin tinggi beban pajak secara riil. Inflasi menyebabkan nilai riil menurun, namun pemotongan pajak tetap berdasarkan persentase, sehingga dengan peningkatan inflasi, beban pajak riil justru meningkat. Meningkatnya beban pajak riil sedangkan nilai riil uang semakin menurun cenderung akan meningkatkan tunggakan pajak.


(43)

27

Menurut Samuelson dan Nordhaus (2003) pajak cenderung menurunkan permintaan agregat dan GNP. Kenaikan pajak akan berarti bahwa kita memiliki pendapatan disposable yang lebih rendah; dan pendapatan disposable yang lebih rendah berarti kita harus mengurangi pengeluaran konsumsi. Jika pengeluaran investasi dan pemerintah tetap pada jumlah yang sama, maka pengurangan jumlah konsumsi berikutnya akan menurun dan akan menurunkan kesempatan kerja. Dengan demikian, dalam model pengganda pajak yang lebih tinggi tanpa peningkatan pengeluaran pemerintah, akan cenderung untuk mengurangi GNP riil. Sehingga dengan model pengganda pajak akan sangat mudah dilihat bahwa pajak akan menurunkan output.

2.6. Pengeluaran Pemerintah dengan Pembangunan Ekonomi

Menurut Sukirno (2000) pengeluaran pemerintah dapat dipandang sebagai perbelanjaan otonomi karena pendapatan nasional bukanlah merupakan faktor penting yang akan mempengaruhi keputusan pemerintah untuk menentukan anggaran belanja. Pada dasarnya ada tiga faktor penting yang akan menentukan pengeluaran pemerintah pada suatu tahun tertentu, yaitu (1) pajak yang diharapkan akan diterima, (2) pertimbangan-pertimbangan politik, dan (3) persoalan-persoalan ekonomi yang dihadapi.

Menurut Samuelson dan Nordhaus (2004), pemerintah harus mengelola pendapatan untuk membiayai barang-barang publiknya dan untuk


(44)

program-program redistribusi pendapatannya. Pendapatan seperti itu berasal dari pajak-pajak yang dikenakan atas pendapatan pribadi dan pendapatan perusahaan, atas upah, atas penjualan barang-barang konsumen, dan atas hal-hal lain. Seluruh tingkatan pemerintahan mengumpulkan pajak-pajak untuk membiayai pengeluarannya.

Sementara Wijaya (2000) mengatakan bahwa pengeluaran pemerintah mempunyai efek pengganda (multiplier effect) dan merangsang kenaikan pendapatan nasional yang lebih besar daripada pembayaran dalam jumlah yang sama. Pengeluaran pemerintah akan menaikkan pendapatan serta produksi secara berganda sepanjang perekonomian belum mencapai tingkat kesempatan kerja penuh (full employment) karena ia menaikkan permintaan aggregatif didasarkan pada anggapan bahwa pengeluaran pemerintah tidaklah pada proyek-proyek yang menghalangi atau menggantikan investasi sektor swasta.

Teori mengenai perkembangan persentase pengeluaran pemerintah yang semakin besar terhadap GNP juga dijelaskan oleh hukum Wagner, dimana dinyatakan dalam suatu perekonomian apabila pendapatan per kapita meningkat, secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat (Mangkoesoebroto, 2000).

Pengeluaran pemerintah merupakan komponen dari permintaan agregat dalam pasar barang, sebagaimana ditunjukkan dengan persamaan berikut (Mankiw, 2003):


(45)

29

Y = C (Y – T) + I (r*) + G + NX(e)

Persamaan ini menyatakan bahwa permintaan agregat Y adalah jumlah konsumsi C, investasi I, belanja pemerintah G, dan ekspor neto NX. Konsumsi bergantung secara positif pada disposable income Y – T. Investasi berhubungan secara negatif dengan tingkat bunga, yang sama dengan tingkat bunga dunia r*. Ekspor neto berhubungan secara negatif dengan kurs e.

2.7. Penelitian Sebelumnya

Arni (1999), melakukan studi analisa dampak kebijakan fiskal terhadap keseimbangan internal ekonomi makro Indonesia. Dari hasil analisa disimpulkan bahwa, kebijakan peningkatan pajak pendapatan memberikan dampak yang positif terhadap pertumbuhan GDP tetapi menurunkan penyerapan tenaga kerja. Berdasarkan hasil analisa ada beberapa hal yang dapat direkomendasikan, yaitu: kebijakan meningkatkan pengeluaran pemerintah dan pajak pendapatan sangat berarti dalam perbaikan ekonomi Indonesia.

Menurut hasil studi Aschauer (2000), beban pajak sehubungan dengan pengakumulasian modal publik dapat memberikan dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Pengaruh negatif tersebut misalnya melalui pajak yang secara berlebihan dibebankan kepada sektor swasta sehingga pada akhirnya akan menurunkan laju pertumbuhan ekonomi.


(46)

Penelitian yang dilakukan Abdullah (2001) untuk mengetahui peranan sektor publik terhadap pertumbuhan ekonomi regeional Indonesia, menurunkan sebuah persamaan yang mana tingkat pertumbuhan PDRB dapat dipecah dalam dikontribusi tenaga kerja, investasi swasta dan pengeluaran pembangunan serta pengeluaran rutin, juga penerimaan dari pendapatan asli daerah, bagi hasil pajak dan bukan pajak dalam istilah produktivitas dan sumbangannya terhadap PDRB. Data PDRB yang digunakan adalah PDRB harga berlaku tanpa migas, tenaga kerja dengan penduduk yang berumur 10 tahun ke atas yang bekerja selama seminggu yang lalu menurut propinsi dan status pekerjaan utama, dan data investasi diproksi dengan kredit yang dikeluarkan oleh Bank umum menurut provinsi sedangkan pengeluaran pembangunan dan pengeluaran rutin serta PAD, bagi hasil pajak dan bukan pajak dari APBD propinsi. Dengan mentransformasi model kedalam bentuk Generalized Least Squares dan selanjutnya diestimasi dengan OLS menghasilkan bahwa penerimaan dari PAD, bagi hasil pajak dan bukan pajak adalah signifikan negatif terhadap pertumbuhan ekonomi regional, pengeluaran pembangunan dan pengeluaran rutin signifikan positif.

Hasil studi yang dilakukan Brata (2004) tentang komposisi penerimaan sektor publik dan pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia, diketahui bahwa dua komponen pendapatan penting yang berpengaruh secara positif terhadap pertumbuhan ekonomi yaitu Pendapatan Asli Daerah dan Sumbangan dan Bantuan. Salah satu unsur Pendapatan Asli Daerah adalah pajak. Data yang ada


(47)

31

secara umum memberikan indikasi adanya disparitas penerimaan Pemda Tkt I antar propinsi. Disparitas pada komponen-komponen penerimaan tersebut juga tampak kendati tingkat ekonominya seimbang. Adapun dari hasil estimasi ditemukan bahwa tidak seluruh komponen penerimaan Pemda Tkt I memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi regional yang dilihat dari PDRB per kapita. Selain itu terdapat pula indikasi bahwa komponen penerimaan pemerintah daerah tersebut lebih memiliki hubungan yang kuat dengan PDRB non-migas daripada PDRB migas.

Hasil studi yang dilakukan Naury (2005) yang menganalisis jumlah uang beredar, suku bunga dan pertumbuhan ekonomi di indonesia tahun 1970 – 2002, menemukan bahwa pada uji kausalitas granger menemukan bahwa jumlah uang beredar (M2) memiliki hubungan dengan tingkat bunga (i) dan pertumbuhan ekonomi (PDB) memiliki hubungan dengan jumlah uang beredar (M2) secara signifikan. Dimana, Peningkatan dari M2 akan menyebabkan peningkatan nilai dari suku bunga dan peningkatan dari pertumbuhan ekonomi akan menyebabkan peningkatan dari jumlah uang beredar (M2).

Selanjutnya berdasarkan studi yang dilakukan Seftarita (2005) mengenai kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia, memperlihatkan bahwa terdapat hubungan kointegrasi antar variabel yang memperlihatkan adanya hubungan jangka panjang yang stabil antara kebijakan pemerintah dan pertumbuhan ekonomi. Dalam jangka pendek, jumlah uang


(48)

beredar dan kredit sebagai variabel moneter memiliki hubungan jangka pendek dengan pertumbuhan ekonomi. Sedangkan variabel kebijakan fiskal, meliputi investasi pemerintah, pajak, dan utang luar negeri, tidak memiliki hubungan jangka pendek dengan pertumbuhan ekonomi. Hal ini berarti bahwa dalam jangka panjang, kebijakan moneter dan kebijakan fiskal tidak saling bertentangan. Sedangkan pada jangka pendek, terdapat potensi konflik antara dua kebijakan tersebut terutama dalam kaitannya dengan permintaan agregat. Penemuan tersebut mendukung adanya pendapat bahwa pemerintah memegang peranan penting dalam pembangunan ekonomi di Indonesia.

2.8. Hipotesis

1. Pengeluaran pemerintah untuk dana rutin (GR) berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.

2. Pengeluaran pemerintah untuk pembangunan (GP) berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.

3. Jumlah uang beredar (M) berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.

4. Penerimaan pajak tahun sebelumnya (Tt-1) berpengaruh positif terhadap

pertumbuhan ekonomi Indonesia.

5. Kondisi perekonomian (Dm) berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.


(49)

33

2.9.Kerangka Pemikiran

Pengeluaran Rutin(GR)

Jumlah Uang Beredar (M)

Kondisi Perekonomian (Dm)

Pengeluaran Pembangunan (GP)

Pajak Tahun Sebelumnya (Tt-1)

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

(PDB) Aspek Fiskal dan

Moneter

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Analisis Pengaruh Aspek Fiskal dan Meneter terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia


(50)

3.1. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini merupakan kajian tentang kebijakan pemerintah khususnya aspek fiskal dan moneter dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia selama kurun waktu 1988 – 2007. Adapun kebijakan aspek fiskal dan moneter yang dianalisis adalah pengeluaran pemerintah untuk dana rutin (GR), pengeluaran pemerintah untuk pembangunan (GP), jumlah uang beredar (M2) dan penerimaan pajak tahun sebelumnya (Tt-1) serta pengaruhnya terhadap

pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diproxy dengan PDB.

3.2. Jenis Dan Sumber Data

Adapun yang menjadi data dalam penelitian ini adalah data sekunder yang dapat diperoleh dari berbagai instansi yang terkait yaitu Departemen Keuangan, BPS dan sumber-sumber lainnya yaitu jurnal-jurnal dan hasil penelitian

Data yang dibutuhkan untuk menjadi bahan penelitian ini adalah pengeluaran pemerintah untuk dana rutin dan pembangunan, jumlah uang beredar, penerimaan pajak dan PDB Indonesia.

3.3. Model Analisis

Untuk mengidentifikasi pengaruh aspek fiskal dan moneter terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia maka dilakukan analisis dengan menggunakan


(51)

35

metode Ordinary Least Square (OLS). Sebagai variabel terikat (dependent variable) dalam penelitian ini adalah pertumbuhan ekonomi Indonesia diproxy dengan PDB, variabel bebasnya (independent variable) adalah pengeluaran pemerintah untuk dana rutin (GR), pengeluaran pemerintah untuk pembangunan (GP), jumlah uang beredar (M), dan pajak tahun sebelumnya (Tt-1), serta kondisi

perekonomian sebelum dan sesudah krisis ekonomi. Dalam penelitian ini akan dilihat berapa besar pengaruh kebijakan ekonomi pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi, dengan fungsi matematis sebagai berikut:

PE = f(GR, GP, M, Tt-1, Dm) ...(3.1)

Dengan demikian spesifikasi model yang akan dijadikan sebagai model penelitian adalah sebagai berikut:

LogPE = a0+a1Log GR + a2Log GP + a3Log M +a4Log Tt-1 + a5Dm + μ ....(3.2)

Dimana:

PE = pertumbuhan ekonomi Indonesia (Rp.)

GR = pengeluaran pemerintah untuk dana rutin (Rp.) GP = pengeluaran pemerintah untuk pembangunan (Rp.) M = jumlah uang beredar (Rp.)

Tt-1 = penerimaan pajak tahun sebelumnya (Rp.)

Dm = dummy variabel untuk kondisi perekonomian : D=0 kondisi sebelum krisis ; D=1 kondisi setelah krisis ekonomi a0 = intercept (konstanta)


(52)

a1,…,a5 = koefisien regresi

μ = kesalahan pengganggu

3.4. Metode Analisis

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan Ordinary Least Square (OLS). Untuk memudahkan dalam pengolahan data maka sebagai alat analisis yang digunakan dalam mengolah data tersebut adalah Program Eviews versi 4.1

3.5. Uji Kesesuaian

a. R2 (coefficient determinant), untuk melihat kekuatan variabel bebas (independent variable) menjelaskan variabel terikat (dependent variable). b. Overall test (F-test), dimaksudkan untuk mengetahui signifikansi statistik

koefisien regresi secara serempak. Jika Fhit > Ftabel, maka H0 ditolak dan H1

diterima.

c. Partial test (t-test), dimaksudkan untuk mengetahui signifikansi statistik koefisien regresi secara parsial. Jika thit > ttabel, maka H0 ditolak dan H1


(53)

37

3.6. Definisi Operasional

Untuk memudahkan pemahaman terhadap istilah dari variabel yang digunakan pada penelitian ini, maka berikut ini dijelaskan perihal batasan operasional sebagai berikut:

a. Pertumbuhan ekonomi yaitu tingkat perkembangan ekonomi Indonesia diproxy dengan PDB atas dasar harga konstan (dalam Rp.).

b. Pengeluaran pemerintah yaitu sejumlah dana yang dikeluarkan pemerintah untuk membiayai pelayanan publik yaitu untuk pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan, diukur dalam rupiah.

c. Jumlah uang beredar adalah mata uang di tangan publik dan deposito di bank-bank yang bisa digunakan rumah tangga untuk bertransaksi seperti rekening koran, diukur dalam rupiah.

d. Pajak yaitu pungutan yang dilakukan pemerintah terhadap wajib pajak tertentu berdasarkan undang-undang yang ada tanpa harus memberikan imbalan langsung, diukur dalam rupiah.

3.7. Uji Penyimpangan Asumsi Klasik

Penelitian ini juga mungkin tidak terlepas dengan model regresi bias yang terjadi secara statistik yang dapat mengganggu model yang telah ditentukan. Dalam penghitungan regresi mungkin akan dapat menyesatkan kesimpulan yang diambil dari persamaan yang dibentuk. Untuk itu maka perlu dilakukan uji


(54)

penyimpangan asumsi klasik (Gujarati, 2004). Dalam penelitian asumsi klasik yang diuji terdiri dari:

a. Multikolinieritas

Multikolinieritas digunakan untuk menunjukkan adanya hubungan linear diantara variabel-variabel bebas dalam model regresi. Interpretasi dari persamaan regresi linier secara implisit bergantung pada asumsi bahwa variabel-variabel bebas dalam persamaan tidak saling berkorelasi. Bila variabel-variabel bebas berkorelasi dengan sempurna, maka disebut multikolinieritas sempurna. Multikolinieritas dapat dideteksi dengan besaran-besaran regresi yang didapat, yaitu :

1) Variasi besar (dari taksiran OLS)

2) Interval kepercayaan lebar (karena variasi besar, maka standar error besar sehingga interval kepercayaan lebar).

3) Uji-t tidak signifikan. Suatu variabel bebas secara substansi maupun secara statistik jika dibuat regresi sederhana bias tidak signifikan karena variasi besar akibat kolinieritas. Bila standar error terlalu besar, maka besar pula kemungkinan taksiran koefisien regresi tidak signifikan.

4) R2 tinggi tetapi tidak banyak variabel yang signifikan dari t-test.

5) Terkadang nilai taksiran koefisien yang didapat akan mempunyai nilai yang tidak sesuai dengan substansi sehingga dapat menyesatkan interpretasi.


(55)

39

b. Autokorelasi

Autokorelasi dapat didefinisikan sebagai korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu. Dalam konteks regresi, model regresi linier klasik mengasumsikan bahwa autokorelasi seperti itu tidak terdapat dalam disturbansi atau gangguan. Dengan menggunakan lambang µ secara sederhana dapat dikatakan model klasik mengasumsikan bahwa unsur gangguan yang berhubungan dengan observasi tidak dipengaruhi oleh unsur disturbansi atau gangguan yang berhubungan dengan pengamatan lain yang manapun.

Untuk mendeteksi adanya autokorelasi dalam model penelitian ini dilakukan uji Lagrange Multiplier (LM Test). Dengan membandingkan nilai X2 hitung dengan X2tabel, dengan kriteria penelitian sebagai berikut :

a. Jika nilai X2hitung > X2 tabel, maka hipotesis yang dinyatakan bahwa tidak ada autokorelasi dalam model empiris yang digunakan ditolak.

b. Jika nilai X2hitung < X2 tabel, maka hipotesis yang dinyatakan bahwa tidak ada autokorelasi dalam model empiris yang digunakan tidak dapat ditolak.


(56)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Burhanuddin, 2003. Strategi Kebijakan Moneter bagi Perkembangan Ekonomi Yang Berkelanjutan, BANK INDONESIA, Jakarta.

Acarya. 2002. Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter. Jakarta: Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan BI.

Afdal, 2005. Analisis Kemampuan Fiskal Daerah dan Kebijakan Dalam Menghadapi Sumber Pendapatan Daerah Tanpa DBH Minyak Bumi di Kabupaten Kampar, Thesis. ITB Central Library, Ganesha Digital Library. Ana, Filomeno S. Sta, 2003. Menyelidiki Kaitan Antara Liberalisasi Neraca

Modal dan Kemiskinan. http://infid.be/infidforum2001-stanna-capital&poverty-ind.html.

Arni, Enggia. 1999. Analisa Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Keseimbangan Internal Ekonomi Makro Indonesia. Thesis. ITB Central Library, Ganesha Digital Library.

Aschauer, D. A, 2000. Public Capital and Economic Growth: Issues of Quantity, Finance, and Efficiency. Economic Development and Cultural Change 48 (2): 391-406.

Brata, A. G., dan Z. Arifin, 2003. Alokasi Investasi Sektor Publik dan Pengaruhnya Terhadap Konvergensi Ekonomi Regional di Indonesia. Media Ekonomi 13 (20): 59-71.

Brata, Aloysius Gunadi, 2004. Komposisi Penerimaan Sektor Publik dan Perkembangan Ekonomi Regional. Lembaga Penelitian Universitas Atma Jaya, Yogyakarta.

Gujarati, Damodar. 2004. Ekonometrika Dasar. Erlangga, Jakarta.

Kuncoro, M., 1995. Desentralisasi Fiskal di Indonesia: Dilema Otonomi dan Ketergantungan. Prisma 4: 3-17.

Muhammad, Marie, 2007. Kebijakan Fiskal Di Masa Krisis 1997, Economics, Fiscal Policy.


(57)

41

Naury, Sanny, 2005, Analisis Jumlah Uang Beredar, Suku Bunga dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia Tahun 1970 – 2002, Tesis Magister Sains, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan.

Samuelson, Paul A. dan Nordhaus, William D. 2004. Ilmu Makro Ekonomi. Edisi Bahasa Indonesia. PT. Media Global Edukasi, Jakarta.

Seftarita, Chenny, 2005, Kebijakan Fiskal, Kebijakan Moneter dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia, Tesis Magister Sains, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan.

Tambunan, Tulus. 2001a. Perekonomian Indonesia: Teori dan Temuan Empiris. Jakarta, Ghalia Indonesia.

________. 2001b. Transformasi Ekonomi di Indonesia: Teori dan Penemuan Empiris. Jakarta, Salemba Empat.


(58)

(Pratomo, 2003) Suseno (2002)

Menurut Purnama (2006), Menurut Djohanputro (2006), Sukirno (2000)

Wijaya (2000)


(59)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu ukuran dari hasil pembangunan yang dilaksanakan, khususnya bidang ekonomi. Pertumbuhan tersebut merupakan gambaran tingkat perkembangan ekonomi terjadi. Pertumbuhan ekonomi secara rinci

dari tahun ke tahun, disajikan melalui Product Domestic Bruto (PDB) atas dasar

harga konstan menurut lapangan usaha secara berkala. Jika terjadi pertumbuhan positip, hal ini menunjukkan adanya peningkatan perekonomian dibandingkan dengan tahun yang lalu. Sebaliknya apabila menunjukkan negatip, hal ini menunjukkan terjadinya penurunan perekonomian dibandingkan dengan tahun lalu.

Perkembangan PDB Indonesia sejak tahun 1988 – 2007 atas dasar harga konstan tahun 2000 disajikan pada Tabel 4.1.

Selama periode 1988 – 2007 PDB Indonesia mengalami peningkatan rata-rata 4,64 persen per tahun. Peningkatan PDB yang paling tinggi terjadi pada tahun 1995 (8,24 persen), dan yang paling rendah adalah pada tahun 1998 (-13,24 persen). Kondisi ini disebabkan penurunan sumbangan sektor industri, perdagangan, hotel dan restoran sebagai efek krisis yang masih terjadi di Indonesia.


(60)

Tabel 4.1. Perkembangan PDB Indonesia atas Dasar Harga Konstan, Tahun 1988 – 2007

Tahun PDB (Milyar Rp.) Peningkatan (%)

1988 819.960,60 -

1989 882.393,80 7,61

1990 948.213,50 7,46

1991 1.014.760,50 7,02

1992 1.083.350,60 6,76

1993 1.156.505,30 6,75

1994 1.244.467,60 7,61

1995 1.347.040,90 8,24

1996 1.451.727,90 7,77

1997 1.518.293,60 4,59

1998 1.317.245,10 -13,24

1999 1.325.352,10 0,62

2000 1.389.770,20 4,86

2001 1.443.014,60 3,83

2002 1.504.380,60 4,25

2003 1.572.159,30 4,51

2004 1.656.757,54 5,38

2005 1.750.656,10 5,67

2006 1.846.654,90 5,48

2007 1.901.147,50 2,95

Rata-rata 4,64


(61)

42 0,00 200.000,00 400.000,00 600.000,00 800.000,00 1.000.000,00 1.200.000,00 1.400.000,00 1.600.000,00 1.800.000,00 2.000.000,00 1 988 1 989 1 990 1 991 1 992 1 993 1 994 1 995 1 996 1 997 1 998 1 999 2 000 2 001 2 002 2 003 2 004 2 005 2 006 2 007 Tahun PD B ( M il y a r R p .)

Gambar 4.1. Perkembangan PDB Indonesia, Tahun 1988 – 2007

Pada tahun 2007, perkembangan ekonomi Indonesia mengalami kenaikan sebesar 2,95 persen, angka ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan tahun 2006 yang lalu. Pada tahun 2007 keadaan ekonomi Indonesia, pada umumnya, mengalami penurunan akibat kenaikan harga BBM. Akibat kenaikan harga BBM tersebut banyak sektor riil yang mengalami penurunan.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak tahun 1988 – 2007 menunjukkan

peningkatan setiap tahun, kecuali tahun 1998 sebagai akibat dari krisis ekonomi yang terjadi mulai tahun 1997. Hingga saat terjadinya krisis ekonomi (hingga tahun 1997), dapat dilihat bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia meningkat


(62)

secara fluktuatif, dimana peningkatan yang terbesar terjadi pada tahun 1995 sebesar 8,24 %, dan yang paling rendah pada tahun 1997 sebesar 4,59 %. Selama periode tahun 1988 – 1997 fluktuasi peningkatan pertumbuhan ekonomi Indonesia tergolong rendah, (diilustrasikan sebesar 8,24 – 4,59 % = 3,65 %). Sebagai dampak krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 1998 mengalami penurunan sebesar 13,24 %. Selanjutnya setelah krisis ekonomi pada periode 1999 – 2007, pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup stabil, dengan pertumbuhan antara 0,62 – 5,67 %, yang berarti fluktuasinya cukup rendah, yaitu 5,67 – 0,62 = 5,05 %), yang berarti cukup stabil. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi Indonesia, dilihat dari stabilnya pertumbuhan ekonomi tersebut, pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih stabil pada kondisi sebelum krisis ekonomi dibandingkan setelah krisis ekonomi karena salah satu indikator baiknya pertumbuhan ekonomi adalah stabilitas pertumbuhan ekonomi tersebut, bukan besarnya laju pertumbuhan ekonomi dimaksud.

Secara sektoral, seluruh sektor ekonomi akan mencatat pertumbuhan ekonomi. Sektor industri pengolahan diperkirakan memberikan kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan ekonomi. Sektor lainnya yang memberikan sumbangan besar adalah perdagangan, hotel dan restoran dan sektor pengangkutan dan komunikasi. Peningkatan kegiatan di sektor industri pengolahan ini mengikuti faktor musimannya yang meningkat pesat dalam rangka mengantisipasi meningkatnya permintaan. Sejalan dengan peningkatan di sektor industri tersebut,


(63)

44

kegiatan di sektor perdagangan dan sektor pengangkutan yang merupakan mata rantai dari proses produksi-distribusi konsumen akhir diperkirakan juga akan mencatat pertumbuhan yang tinggi (Bank Indonesia, 2003). Peningkatan kontribusi industri pengolahan menunjukkan bahwa industri pengolahan menunjukkan peningkatan, dimana dengan peningkatan aktivitas tersebut, kebutuhan modal kerja akan semakin meningkat.

4.2. Kebijakan Fiskal dan Moneter

Kebijakan fiskal dan moneter dalam penelitian ini meliputi pengeluaran pemerintah (rutin & pembangunan), jumlah uang beredar dan penerimaan pajak.

4.2.1. Pengeluaran Pemerintah

Pengeluaran pemerintah terdiri dari dua jenis, yaitu rutin dan pembangunan. Pelaksanaan pembangunan oleh pemerintah bertujuan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas sarana dan prasarana yang sangat mendukung untuk pertumbuhan perekonomian di berbagai daerah di Indonesia. Dana yang dibutuhkan pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan tersebut merupakan bagian anggaran belanja negara yang dialokasikan pemerintah kepada daerah-daerah setiap tahun anggaran.

Pengeluaran pemerintah menunjukkan peningkatan hampir setiap tahun

kecuali tahun 1998 s/d tahun 2000 yang menunjukkan penurunan sebagaimana disajikan pada tabel berikut.


(64)

Tabel 4.2. Perkembangan Pengeluaran Pemerintah Tahun 1988 – 2007

Tahun Pengeluaran Rutin

(Milyar Rp.) Peningkatan (%) Pengeluaran Pemb. (Milyar Rp.) Peningkatan (%)

1988 20.066,00 - 8.898,00 -

1989 26.973,00 34,42 13.130,00 47,56

1990 31.919,00 18,34 16.225,00 23,57

1991 44.023,00 37,92 19.068,00 17,52

1992 57.376,00 30,33 22.912,00 20,16

1993 64.792,00 12,93 27.227,00 18,83

1994 67.831,00 4,69 31.398,00 15,32

1995 81.219,00 19,74 41.084,00 30,85

1996 113.998,00 40,36 63.503,00 54,57

1997 179.463,00 57,43 88.928,00 40,04

1998 104.343,00 -41,86 76.283,00 -14,22

1999 91.634,00 -12,18 68.448,00 -10,27

2000 157.311,00 71,67 59.719,00 -12,75

2001 160.092,00 1,77 125.664,00 110,43

2002 168.741,00 5,40 145.268,00 15,60

2003 182.584,00 8,20 162.008,00 11,52

2004 230.438,00 26,21 218.913,00 35,12

2005 327.817,00 42,26 279.952,00 27,88

2006 454.157,00 38,54 336.511,00 20,20

2007 558.443,00 22,96 381.128,00 13,26

Rata-rata 22,06 24,48

Sumber : Badan Pusat Statistik Pusat, 2007.

Hingga tahun 1997 pengeluaran pemerintah menunjukkan peningkatan setiap tahun dengan fluktuasi yang cukup tinggi, antara 4,69 % - 57,43 % untuk


(65)

46

pengeluaran rutin dan 15,32 % - 54,57 % untuk pengeluaran pembangunan. Namun sebagai akibat terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997, kemampuan keuangan pemerintah sangat rendah sehingga pengeluaran pemerintah menurun tahun 1998 s/d 1999 untuk pengeluaran rutin dan tahun 1998 s/d 2000 untuk pengeluaran pembangunan. Namun sejak tahun 2000 pengeluaran rutin mulai meningkat, sedangkan pengeluaran pemerintah untuk pembangunan mulai mengalami peningkatan kembali sejak tahun 2001.

0,00 100.000,00 200.000,00 300.000,00 400.000,00 500.000,00 600.000,00 19 88 19 89 19 90 19 91 19 92 19 93 19 94 19 95 19 96 19 97 19 98 19 99 20 00 20 01 20 02 20 03 20 04 20 05 20 06 20 07 Tahun P e ng e lua ra n P e m e ri nt a h (M il y a r R p) GR GP

Gambar 4.2. Perkembangan Pengeluaran Pemerintah, Tahun 1988 – 2007

Upaya perbaikan ekonomi untuk segera keluar dari krisis terus dilakukan oleh pemerintah, hingga pada tahun 2001 pengeluaran pemerintah untuk


(66)

pembangunan meningkat cukup signifikan, yaitu 110,43 % dari kondisi tahun 2000. Namun demikian, besarnya jumlah dana yang dikeluarkan pemerintah ini juga sebagai akibat menurunnya nilai tukar mata uang rupiah terhadap US$. Seiring dengan upaya perbaikan perekonomian dan pengurangan subsidi BBM oleh pemerintah, maka setiap tahun sejak tahun 2001 pengeluaran pemerintah untuk pembangunan menunjukkan peningkatan setiap tahun. Pada tahun 2007, pengeluaran pemerintah untuk pembangunan meningkat sebesar 13,26 % dibandingkan dengan kondisi tahun 2006, sedangkan pengeluaran rutin meningkat sebesar 22,96 % dari kondisi tahun 2006.

4.2.2. Jumlah Uang Beredar

Jumlah uang beredar menunjukkan peningkatan setiap tahun sebagaimana disajikan pada Tabel 4.3. Jumlah uang beredar pada tahun 1988 sebesar Rp. 51.135 milyar kemudian terus meningkat setiap tahun hingga tahun 1997 pada saat terjadinya krisis ekonomi di Indonesia menjadi sebesar Rp. 355.642,86 milyar. Peningkatan jumlah uang beredar pada periode sebelum krisis mulai tahun 1988 s/d 1996 antara 17,05 % - 39,51 %. Kemudian pada periode setelah krisis ekonomi, yaitu tahun 1998 s/d 2007 terjadi peningkatan jumlah uang beredar yang cukup fluktuatif, antara 4,72 % - 62,35 %. Fluktuasi peningkatan jumlah uang beredar tersebut selama periode setelah krisis terjadi setiap tahun, walaupun jumlah uang beredar tetap meningkat setiap tahun.


(67)

48

Tabel 4.3. Perkembangan Jumlah Uang Beredar, Tahun 1988 – 2007

Tahun Jumlah Uang Beredar

(Milyar Rp.)

Peningkatan (%)

1988 51.135,00 -

1989 71.338,00 39,51

1990 84.630,00 18,63

1991 99.058,00 17,05

1992 119.053,00 20,19

1993 145.202,00 21,96

1994 174.512,00 20,19

1995 222.638,00 27,58

1996 288.632,00 29,64

1997 355.642,86 23,22

1998 577.381,33 62,35

1999 646.205,00 11,92

2000 747.028,00 15,60

2001 844.053,00 12,99

2002 883.908,00 4,72

2003 955.692,00 8,12

2004 1.033.527,00 8,14

2005 1.203.215,00 16,42

2006 1.382.074,00 14,87

2007 1.643.203,00 18,89

Rata-rata 20,63


(68)

0,00 200.000,00 400.000,00 600.000,00 800.000,00 1.000.000,00 1.200.000,00 1.400.000,00 1.600.000,00 1.800.000,00

1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Tahun Ju m lah Uan g B e re d a r ( M il yar Rp .)

Gambar 4.3. Perkembangan Jumlah Uang Beredar, Tahun 1988 – 2007

4.2.3. Penerimaan Pajak

Pelaksanaan pembangunan oleh pemerintah hanya dapat berlangsung jika dana cukup tersedia. Salah satu sumber dana pemerintah yang cukup besar hingga saat ini bersumber dari penerimaan pajak. Penerimaan pemerintah dari sumber pajak menunjukkan peningkatan setiap tahun sebagaimana disajikan pada tabel berikut.


(69)

50

Tabel 4.4. Perkembangan Penerimaan Pajak Tahun 1988 – 2007

Tahun Pajak (Milyar Rp.) Peningkatan (%)

1988 11.688,00 -

1989 14.909,00 27,56

1990 18.241,00 22,35

1991 22.548,00 23,61

1992 28.850,00 27,95

1993 33.848,00 17,32

1994 40.074,00 18,39

1995 45.023,00 12,35

1996 55.987,00 24,35

1997 64.715,00 15,59

1998 72.931,00 12,70

1999 94.740,00 29,90

2000 101.437,00 7,07

2001 179.892,00 77,34

2002 219.627,00 22,09

2003 254.140,00 15,71

2004 272.175,00 7,10

2005 297.844,00 9,43

2006 416.313,00 39,78

2007 509.462,00 22,37

Rata-rata 22,79

Sumber : Badan Pusat Statistik Pusat, 2007.

Hingga tahun 1999 penerimaan pajak menunjukkan peningkatan yang cukup besar antara 12,70 % - 29,90 %. Selanjutnya sejak tahun 2000 hingga tahun 2007 penerimaan pajak sangat fluktuatif, yaitu antara 7,07 % - 77,34 %. Pada


(70)

tahun 2001 peningkatan penerimaan pajak sebesar 77,34 % sebagai akibat kebijakan pemerintah untuk menaikkan tarif pajak, termasuk pajak bumi dan bangunan, pajak kenderaan bermotor dan pajak lainnya.

0,00 100.000,00 200.000,00 300.000,00 400.000,00 500.000,00 600.000,00 198 8 198 9 199 0 199 1 199 2 199 3 199 4 199 5 199 6 199 7 199 8 199 9 200 0 200 1 200 2 200 3 200 4 200 5 200 6 200 7 Tahun P a jak ( M il yar R p .)

Gambar 4.4. Perkembangan Penerimaan Pajak, Tahun 1988 – 2007

4.3. Analisis Estimasi

4.3.1. Uji Kesesuaian (Goodness of Fit)

Untuk pengujian hipotesa yang dirumuskan dalam penelitian ini, maka

dilakukan estimasi dengan model Ordinary Least Square (OLS) untuk data

time series 20 tahun dengan menggunakan Program EViews 4.1. Analisis


(71)

52

dengan menggunakan data yang disajikan pada Lampiran 2, sedangkan hasil

analisis regresi (print out) disajikan pada Lampiran 3.

Tabel 4.5. Hasil Estimasi Pengaruh Aspek Fiskal dan Moneter terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

LogPE = 10,331 + 0,006 LogGR + 0,021 LogGP + 0,260 LogM + 0,050 LogT(t-1) - 0,138 DM

Std.Er. : (0,029) (0,027) (0,032) (0,024) (0,014)

t-stat : (0,829)ns (0,810)ns (8,128)*** (2,052)* (-9,554)***

R2 : 0,9954 F-stat : 562,652***

Prob : 0,000

Sumber : Lampiran 3.

Ket. : ns = non signifikan

* = signifikan pada α 10 %.

*** = signifikan pada α 1 %.

Dari masing-masing variabel dependent (variabel terikat) dan variabel

independent (variabel bebas) yang disertakan dalam model estimasi pada

Tabel 4.5 di atas, diperoleh koefisien determinasi (R²) sebesar 0,9954 berarti secara keseluruhan variabel pengeluaran pemerintah untuk dana rutin, pengeluaran pemerintah untuk pembangunan, jumlah uang beredar, penerimaan pajak tahun sebelumnya serta kondisi perekonomian Indonesia sebelum dan sesudah krisis ekonomi mampu menjelaskan variasi pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 99,54 persen selama kurun waktu yang diteliti. Sedangkan sisanya sebesar 0,46 persen, dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model estimasi.


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan dalam bab terdahulu maka diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Hasil estimasi menunjukkan bahwa aspek fiskal dan moneter berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tingkat kepercayaan 99 persen atau g=1 %, dengan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 99,54 persen.

2. Secara parsial, hasil analisis menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah (baik rutin dan pembangunan) berpengaruh positif tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, sedangkan jumlah uang beredar dan penerimaan pajak tahun sebelumnya berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia masing-masing pada g=1 % dan g=10 %. Hal ini berarti bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia akan semakin meningkat dengan meningkatnya pengeluaran pemerintah, jumlah uang beredar, dan penerimaan pajak tahun sebelumnya.

3. Berdasarkan hasil estimasi model diketahui bahwa kondisi perekonomian sesudah krisis ekonomi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hal ini berarti bahwa pertumbuhan


(2)

ekonomi Indonesia semakin buruk setelah terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997.

5.2. Saran

1. Jumlah uang beredar memberikan pengaruh yang paling dominan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, oleh karena itu disarankan kepada otoritas moneter untuk mengendalikan jumlah uang beredar hingga tingkat yang tidak memberikan pengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sesuai dengan hasil penelitian ini, bahwa jumlah uang beredar masih dapat ditingkatkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia.

2. Pengeluaran pemerintah (rutin dan pembangunan) memberikan pengaruh yang tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, karena pengeluaran rutin tidak secara langsung berhubungan dengan aktivitas perekonomian, demikian juga pengeluaran pembangunan yang pada umumnya untuk pembangunan sarana dan prasarana sehingga dampaknya tidak secara langsung dirasakan pada tahun pembangunannya. Sehubungan dengan hal tersebut kepada pemerintah disarankan agar melakukan evaluasi terhadap efektivitas pengeluruan rutin serta meningkatkan jumlah pengeluaran khususnya untuk pembangunan pada tahun-tahun yang akan datang dengan prinsip akuntabilitas dan tepat sasaran (efektif).


(3)

3. Dianggap perlu untuk mengkaji kembali penelitian ini (atas masalah yang sama) dengan menggunakan metode pendekatan, serta konsep peninjauan yang berbeda agar dapat dilakukan studi komparasi dan mendukung temuan-temuan baru.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Burhanuddin, 2003. Strategi Kebijakan Moneter bagi Perkembangan Ekonomi Yang Berkelanjutan, BANK INDONESIA, Jakarta.

Acarya. 2002. Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter. Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan BI, Jakarta.

Afdal, 2005. Analisis Kemampuan Fiskal Daerah dan Kebijakan Dalam Menghadapi Sumber Pendapatan Daerah Tanpa DBH Minyak Bumi di Kabupaten Kampar, Thesis. ITB Central Library, Ganesha Digital Library. Ana, Filomeno S. Sta, 2003. Menyelidiki Kaitan Antara Liberalisasi Neraca

Modal dan Kemiskinan.

http://infid.be/infidforum2001-stanna-capital&poverty-ind.html.

Arni, Enggia. 1999. Analisa Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Keseimbangan Internal Ekonomi Makro Indonesia. Thesis. ITB Central Library, Ganesha Digital Library.

Aschauer, D. A, 2000. Public Capital and Economic Growth: Issues of Quantity, Finance, and Efficiency. Economic Development and Cultural Change 48 (2): 391-406.

Bank Indonesia. 2003. Bank Sentral Republik Indonesia : Tinjauan Kelembagaan, Kebijakan, dan Organisasi. Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan BI, Jakarta.

Brata, A. G., dan Z. Arifin, 2003. Alokasi Investasi Sektor Publik dan Pengaruhnya Terhadap Konvergensi Ekonomi Regional di Indonesia. Media Ekonomi 13 (20): 59-71.

Brata, Aloysius Gunadi, 2004. Komposisi Penerimaan Sektor Publik dan Perkembangan Ekonomi Regional. Lembaga Penelitian Universitas Atma Jaya, Yogyakarta.

Dornbusch, Rudiger; Stanley Fischer dan Richard Startz, 2004. Makro Ekonomi. Edisi Bahasa Indonesia. PT. Media Global Edukasi, Jakarta.


(5)

Gujarati, Damodar. 2004. Ekonometrika Dasar. Erlangga, Jakarta.

Hutabarat, Budiman, A. Husni Malian, Adimesra Djulin, Tri Bastuti Purwantini dan Sumedi, 2001. Analisis Kebijaksanaan Moneter Mendukung Sektor Pertanian Andalan. Buletin AgroEkonomi, Volume 1, Nomor 3, Mei. Kuncoro, M., 1995. Desentralisasi Fiskal di Indonesia: Dilema Otonomi dan

Ketergantungan. Prisma 4: 3-17.

Mankiw, N. Gregory, 2003, Teori Makroekonomi, Edisi Kelima, Erlangga, Jakarta Muhammad, Marie, 2007. Kebijakan Fiskal Di Masa Krisis 1997, Economics,

Fiscal Policy.

Naury, Sanny, 2005, Analisis Jumlah Uang Beredar, Suku Bunga dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia Tahun 1970 – 2002, Tesis Magister Sains, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan.

Nasution, Armin Rahmansyah, 2005. Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerntah Daerah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Propinsi-propinsi di Indonesia. Tesis. Magister Ekonomi Pembangunan Universitas Sumatera Utara, Medan.

Samuelson, Paul A. dan Nordhaus, William D. 2003. Makro-Ekonomi. Edisi Keempatbelas. Erlangga, Jakarta.

________. 2004. Ilmu Makro Ekonomi. Edisi Bahasa Indonesia. PT. Media Global Edukasi, Jakarta.

Seftarita, Chenny, 2005, Kebijakan Fiskal, Kebijakan Moneter dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia, Tesis Magister Sains, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan.

Statistik Ekonomi Indonesia, Terbitan Tahun 1990 s/d 2007, Badan Pusat Statistik Pusat, Jakarta.

Tambunan, Tulus. 2001a. Perekonomian Indonesia: Teori dan Temuan Empiris. Ghalia Indonesia, Jakarta.

________. 2001b. Transformasi Ekonomi di Indonesia: Teori dan Penemuan Empiris. Salemba Empat, Jakarta.


(6)