5. Upacara bersih desa Sekar tampak dirasakan adanya kerjasama dan
gotong royong sesama warga. Hal tersebut merupakan sarana untuk mempererat kerukunan hidup sehingga tercipta suatu suasana kesatuan
dan kesatuan.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat diketahui bahwa setiap upacara- upacara terdapat simbol-simbol yang mempengaruhi makna sakral. Kekuatan
suatu tradisi akan tetap bertahan jika mitos masih tetap melekat pada upacara tersebut. Berdasarkan pada latar belakang tersebut peneliti tertarik untuk meneliti
suatu tradisi Ceprotan pada pelaksanaan upacara bersih Desa di Desa Sekar Kecamatan Donorojo Kabupaten Pacitan, karena pembahasan spesifik yang
mengungkapkan suatu budaya lokal khususnya yang berkaitan dengan pemahaman, partisipasi, mengenai tradisi Ceprotan pada pelaksanaan upacara
bersih Desa, serta aspek pendidikan nilai yang terdapat tradisi Ceprotan tersebut, sepanjang belum pernah dilakukan.
B. Kerangka Teoritik
Tradisi mempunyai sifat universal, akan tetapi perwujutan tradisi mempunyai ciri-ciri khusus yang sesuai dengan situasi maupun lokasinya. Hal ini
menyebabkan setiap manusia di dalam masyarakat mempunyai tradisi yang berlainan. Perbedaan tersebut dikarenakan pendukung tradisi seperti latar
belakang tradisi dan masyarakat tidaklah sama. Penjelasan mengenai kebudayaan tersebut dipaparkan dalam kajian teoritik sebagaimana uraian berikut ini.
1. Kebudayaan
a. Pengertian kebudayaan. Berkaitan dengan pengertian kebudayaan dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia 1990: 1331, Kebudayaan adalah “hasil kegiatan
dari penciptaan batin akal budi manusia, seperti kepercayaan, kesenian dan adat isiadat”. Menurut Sujarwa 1998: 10-11, kebudayaan adalah “keseluruhan sistem
gagasan, tindakan dan hasil karya manusia untuk memenuhi kehidupannya dengan cara belajar, yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat”. Menurut
Kroeber dan Klukhon sebagamana dikutip Sujarwa 1998: 11, berpendapat bahwa:
Kebudayaan terdiri atas berbagai pola, bertingkah laku mantap, pikiran, perasaan dan reaksi yang diperoleh dan terutama diturunkan oleh simbol-
simbol yang menyusun pencapaianya secara tesendiri dari kelompok- kelompok menusia, termasuk di dalamnya perwujudan benda-benda materi;
pusat esensi kebudayaan terdiri atas tradisi cita-cita atau paham, dan terutama keterikatan terhadap nilai-nilai.
Berdasarkan pengertian kebudayaan adalah suatu hasil cipta, rasa, karsa manusia yang di dapat dengan cara belajar, bertingkah laku, pikiran perasaan yang
tersusun dalam kehidupan masarakat yang diwujudkan dengan simbol-simbol atau ritus-ritus sakral. Kebudayaan dalam bentuk fisik yang kongkret biasa juga
disebut kebudayaan fisik, mulai dari benda yang diam sampai dengan benda yang bergerak, seperti candi, masjid, lukisan relief atau patung.
b. Wujud dan Nilai Kebudayaan. Nilai kebudayaan yang sudah meresap
dalam diri seseorang dapat diwujudkan dalam bentuk perayaan hari-hari besar tertentu. Menurut J. J. Hinigman sebagaiman dikutip Sujarwa 1998: 10-11,
“tradisi sebagai bagian dari kebudayaan dapat dibedakan berdasarkan gejalanya, yaitu ideas, activities, dan artifact”. Menurut Koenjaraningrat yang dikutip
Sujarwa 1998: 11, bahwa kebudayaan ada tiga wujud, yaitu: 1
Wujud kebudayaan sebagai suatu komplek dari ide-ide, gagasan, nilai- nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya.
2 Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks akivitas serta tindakan
berpola dari manusia dalam masyarakat. 3
Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Pewarisan tradisi diperoleh dengan cara belajar. Tradisi yang diwariskan
berwujud material jasmaniah dan non material rohaniah. Berwujud material jasmaniah misalkan patung, candi, keris, tempat-tempat yang dikeramatkan dan
hewan-hewan keramat, sedangkan yang berwujud non material rohaniah misalkan tarian, hajatan, mantra-mantra, dan lain sebagainya.
Tradisi yang tumbuh dan berkembang dari masarakat tidak lepas dari nilai- nilai yang telah dibangunnya sendiri. Nilai-nilai tradisi tersebut berpengaruh bagi
kehidupan masyarakat, kerena nilai-nilai tradisi itu merupakan konsep yang hidup di dalam alam pikiran sebagian besar dari warga suatu masyarakat mengenai apa
yang mereka anggap bernilai, berharga dan penting dalam hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada kehidupan.
c. Tahapan Perkembangan Budaya. Menurut pendapat Van Peurson yang
dikutip oleh Sujarwa 1998: 17, perkembangan budaya dapat dibagi atas tiga tahap, yaitu:
1 Tahap mistis adalah tahap dimana manusia merasakan dirinya terkepung
oleh kekuaan-kekuatan gaib di sekitarnya, yaitu kekuatan dewa-dewa, alam raya atau kekuasaan kesuburan. Kecenderungan bersifat mastis
seperti ini sering dijumpai di daerah-daerah modernitasnya rendah. 2
Tahap ontologis adalah tahap dimana manusia mulai menyusun suatu ajaran atau teori mengenai dasar segala sesuatu ontologi. Tahap ini
berkembang di daerah-daerah berkebudayaan kuno yang dipengaruhi oleh filsafat dan ilmu.
3 Tahap fungsional yaitu sikap yang menandai manusia modern. Manusia
pada tahap ini berusaha mengadakan relasi-relasi baru.
d. Unsur-Unsur Kebudayaan. Semua bentuk kebudayaan yang ada di dunia
ini memiliki kesamaan unsur yang bersifat universal. Sujarwa 1998: 11, menyebutkan ada tujuh unsur-unsur budaya yang bersifat universal, yaitu:
1 Sistem religi dan upacara keagamaan
2 Sistem organisasi kemasyarakatan
3 Sistem pengetahuan
4 Bahasa
5 Kesenian
6 Sisten mata pencaharian hidup
7 Sistem teknologi dan peralatan
e. Hakekat Kebudayaan. Menurut Sutrisno 1989: 25-26, aspek-aspek
yang melingkupi esensi kebudayaan ada enam ciri yaitu: 1
Nilai. Eksistensi nilai harus selalu menyertai setiap kebudayaan dalam pertumbuhan dan perkembangan.
2 Insaniyah. Kebudayaan adalah karya manusia sebagai hasil kecendikiaan
budi yang terbiasakan secara wajar. 3
Kontinyuitas. Kebudayaan secara berkelanjutan dicipakan manusia dalam rangka mempengaruhi situasinya, dan tdak mengenal kata akhir.
4 Totalias. Kebudayaan adalah semua unit yang meliputi semua unsur
kebudayaan yang ada. 5
Tersusun dan Terukur. Berbagai benda alami dan kegiatan manusia dalam suatu kebudayaan memiliki ketersusunan dan keteraturan.
6 Masyarakat. Kebudayaan terjadi dalam interaksi manusia dalam suatu
masyarakat. 2.
Pelaksanaan Tradisi a.
Pengertian Tradisi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia 1999: 1069, tradisi adalah “adat kebiasaan turun-temurun yang masih dijalankan oleh
masyarakat”. Kehidupan sosial penuh dengan berbagai masalah, bagaimana behubungan dengan alam sekitar, bagaimana berhubungan secara serasi dengan
orang lain, serta bagaimana manusia berhubungan dengan Tuhan. Manusia terarah mencoba setiap cara yang mungkin untuk menghadapi masalah semacam itu.
Dari pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa tradisi adalah kebiasaan turun-temurun dari nenek moyang dalam adat istiada yang diwariskan
dengan tata cara tertentu yang berkaitan dengan mitos atau kepercayaan dan dianggap tata cara tersebut merupakan cara yang paling baik dan benar.
b. Pengertian Religi. Kehidupan masyarakat Jawa pada dasarnya syarat
dengan nilai-nilai religi. Menurut Fowler 1995: 47, berpendapat bahwa: Religi diartikan sebagai suatu kumpulan tradisi komulatif dimana semua
pengalaman religius dan masa lampau didapakan dan diendamkan kedalam seluruh system berbentuk ekspresi tradisional yang bersifat kebudayaan dan
lembaga.
Sistem religi muncul dari sebuah emosi religi, yaitu getaran spiritual atau batin manusia. Emosi ini akan mendorong semua tindakan budaya spiritual yang
kadang-kadang bersifat sakral. Emosi ini akan terkait dengan emosi keyakinan, seperti kepercayaa kepada roh halus, roh leluhur, dewa dan sebagainya.
Disamping itu, emosi juga akan berhubungan dengan ritual religi yang menyangkut tempat, waktu dan benda-benda tradisi. Unsur-unsur ritual antara lain
sesaji, doa-doa, mantra, nyanyian, laku, semedi dan sebagainya. Sistem religi akan banyak menimbulkan kepercayaan-kepercayaan tehadap kekuaan gaib. Menurut
kepercayaan, alam gaib itu umunya didiami oleh banyak makhluk dan kekuatan yang tidak dapat dikuasai manusia. Makin maju kebudayaan manusia maka makin
luas batas akal itu, tetapi dalam banyak kebudayaan batas-batas akal manusia masih sama sempit, soal-soal hidup yang tidak dapat dipecahkan dengan akal,
dipecahkan hanya dengan ilmu gaib.
3. Kepercayaan
a. Asal-usul Kepercayaan. Dyson dan Santoso yang dikutip oleh Sujarwa
1998: 139, menyatakan asal-usul kepercayaan adalah “adanya kepercayan manusia terhadap kekuatan yang dianggap lebih tinggi dari padanya. Oleh
karenanya, manusia melakukan berbagai hal untuk mencapai kesenangan hidup”. Selanjutnya Sujarwa 1998: 139, menjelaskan teori mengenai asal-usul
kepercayaan: 1
Teori kasadaran jiwa. Teori ini beranggapan manusia mulai sadar akan adanya jiwa roh halus. Asalnya menganut animisme yang kemudian
berkembang menjadi monotheisme. 2
Teori batas. Dalam memahami kehidupan manusia mempunyai keterbatasan dalam pemikiran, sehingga manusia percaya bahwa ada
kekuatan di luar manusia yang lebih besar. 3
Teori kritis. Dalam kehidupannya manusia mengalami masa kreitis, misalkan sakit, takut, stres, dan sebagainya. Dan untuk mengatasi hal
tersebut diperlukan upacara khususritus maka dilakukan berbagai bentuk upacara.
4 Teori kekuatan luar biasa. Manusia merasakan kekuatan terhadap gejala
alam yang memiliki kemampuan luar biasa the supranatural. 5
Teori sentiment kemasyarakatan. Adanya perasaan kemasyarakatan dapat menimbulkan getaran jiwa dan emosi keagamaan, yang kemudian
diwujudkan dalam bentuk totem benda atau hewan keramat. 6
Teori firman Tuhan. Teori ini didasarkan pada suatu keyakinan atau kepercayaan terhadap Sang Pencipta alam semesta.
b. Sistem Kepercayaan. Keyakinan bahwa alam ada karena ada
penciptanya menumbuhkan berbagai sistem kepercayaan, yang menggunakan berbagai sarana dan prasarana, misalkan waktu dilaksanakan upacara, tempat
upacara, dan orang-orang yang melakukan upacara. Sujarwa 1998: 141-142, menjelaskan bahwa masing-masing kepercayaan memiliki sistem kepercayaan,
antara lain yaitu: 1
Fethisism, yaitu kepercayaan akan adanya jiwa dalam benda-benda tertentu sering disebut jimat.
2 Animism, yaitu kepercayaan adanya berbagai macam roh yang
melingkupi sekeliling manusia. 3
Animatism, yaitu percaya bahwa benda dan tumbuhan sekitar manusia itu memiliki jiwa dan bisa berfikir seperti manusia.
4 Prae-animism dan dinamism, yaitu kepercayaan pada kekuatan
gaibsakti yang ada dalam segala hal yang luar biasa. 5
Totemism, yaitu bentuk kepercayaan yang dianut oleh kelompok kekerabatan dan unilinear. Mereka percaya bahwa nenek moyangnya
saling behubungan kerabat. Totem adalah lambang dari sejenis binatang, tumbuhan, gejala alam atau benda yang melambangkan nenek moyang
tersebut.
6 Polhytheism, yaitu kepercayaan pada suatu sistem yang luas dari dewa-
dewa. 7
Monothism, yaitu kepercayaan pada satu Tuhan. 8
Mistic, yaitu keercayaan pada satu dewa atau Tuhan yang dianggap meliputi segala hal dalam alam kesatuan dengan Tuhan.
Berdasarkan pemahaman Ketuhanan dan kepercayaan tersebut setiap individu merasa pasti, bahwa tujuan hidupnya adalah uantuk kebahagiaan yang
sempurna tidak sekedar di dunia ini melainkan ada di dunia lain yang lebih abadi yaitu di akherat dunia setelah mati.
c. Benuk-bentuk Kepercayaan. Menurut Dhavamony 1995: 65, ada
beberapa bentuk kepercayaan sebagai berikut: 1
Animisme yaitu suatu sistem kepercayaan dimana manusia religius, khususnya orang-orang primitif, membubuhi jiwa pada manusia dan
juga pada semua makhuk hidup dan benda mati. 2
Pra-Animisme atau Animatisme yaitu suatu daya atau kekuatan supernatural ada dalam pribadi tertentu, binatang dan objek tak berjiwa
lainnya. 3
Totemism yaitu fenomena yang memunjuk kepada hubungan organisasional khusus antar suatu suku bangsa atau kian dan suatu
spesies tertentu dalam wilayah binatang atau tumbuhan. 4
Dinamisme yaitu pemujaan atau penghormatan terhadap barang-barang kuno khususnya buatan manusia seperti keris, tombak, lambang-
lambang. d.
Fungsi Upacara. Berkaian dengan fungsi upacara, Mulder 1983: 63-64 berpedapat bahwa upacara mempunyai lima fungsi, yaitu:
1 Sebagai sarana sosialisasi.
2 Untuk tinggal dekat dengan para Dewa, walaupun kehadiran itu tidak
dapat dilihat dengan mata dan ditangkap dengan panca indra manusia. 3
Untuk mengokohkan rencana alam raya semula dan diharapkan akan mempartisipasikan hidup seluruh umat manusia dalam tata keselamatan.
4 Melindungi individu dari resa ragu dan bahaya dengan
mengantisipasikan dan mengatasi secara simbolik. 5
Untuk memperlihatkan keinginan agar selamat dengan melestarikan keseimbangan yang tak tergoncangkan ataupun untuk memulihkannya
kembali andai kata terganggu dan untuk mempertahankan tata tertib juga mencegah bahaya.
Upacara dalam arti keagamaan adalah tindakan-tindakan tertentu yang bertujuan sebagai ungkapan atas kewajibannya sebagai manusia untuk merayakan
peristiwa-peristiwa penting untuk selalu mengingat kejadian-kejadian dalam hidupnya sebagai wujud rasa syukur atas apa yang diperoleh. Bentuk upacara
yang bertalian dengan adat atau kehidupan beragama, mencerminkan sistem kepercayaan alam pikiran serta pandangan hidup masyarakat. Cara melakukannya
dengan sikap yang sungguh-sungguh dan hati-hati, kelalaian dalam upacara dianggap dapat mengakibatkan hal-hal yang buruk atau malapetaka.
4. Nilai
a. Pengertian Nilai. Pengertian nilai menurut Danadjaja sebagaimana
dikutip Ndraha 1997: 18 adalah “pengertian-pengertian conception yang dihayati seseorang mengenai apa yang lebih penting atau kurang penting, apa
yang lebih baik atau kurang baik, dan apa yang lebih benar atau kurang benar”. b.
Fungsi Nilai dalam Tradisi. Sistem nilai merupakan tingkat yang paling tinggi dan paling abstrak dalam adat istiadat. Hal ini disebabkan karena nilai-nilai
dalam budaya itu merupakan konsep-konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga suatu masyarakat mengenai apa yang
mereka anggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada
kehidupan para warga masyarakat tadi. Walaupun nilai-nilai berfungasi sebagai pedoman hidup manusia dalam
masyarakat, tetapi sebagai konsep, suatu nilai budaya itu bersifat sangat umum, mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, dan biasanya sulit diterangkan secara
rasional dan nyata. Namun, justru karena sifatnya umum, luas, dan tidak kongkret itu, maka nilai-nilai tradisi dalam suatu nilai kebudayaan berada dalam daerah
emosional dari alam para individu yang menjadi warga dari kebudayaan yang bersangkutan.
Berkaitan dengan fungsi nilai dalam tradisi, Koentjaraningrat 1979: 190 berpendapat bahwa:
Dalam tiap masyarakat, baik yang kompleks maupun sederhana, ada sejumlah nilai budaya yang satu dengan yang lain berkaitan hingga
merupakan suatu sistem, dan sistem itu sebagai pedoman dari konsep- konsep ideal dalam kebudayaan memberi pandangan yang kuat terhadap
arah kehidupan warga masyarakat.
Dengan demikian, maka nilai dalam sebuah sistem tradisi berfungsi sebagai sebuah pedoman orientasi bagi segala tindakan manusia dalam hidupnya. Suatu
sistem nilai dalam tradisi merupakan sistem tata tindakan yang lebih tinggi dari pada sitem-sistem tata tindakan yang lain, seperti sistem norma hukum, hukum
adat, aturan adat, aturan etika, aturan moral, aturan sopan santun, dan sebagainya. Nilai-nilai sosial pada suatu tradisi adalah bahwa tradisi akan mendatangkan suatu
pengaruh kuat yang berkenaan dengan kehidupan sosial yang meliputi norma- norma, tata tindakan, peradatan, serta pedoman hidup warga masyarakat. Nilai-
nilai religi dalam tradisi adalah geteran spiritual atau batin manusia yang akan mendorong semua tindakan budaya spiritual yang kadang-kadang bersifat sakral
yang terkait dengan sistem keyakinan, seperti kepercayaan kepada roh halus, roh leluhur, dewa dan sebagainya.
5. Aspek Pendidikan Sebuah Tradisi
a. Pengertian Pendidikan. UU Sisdiknas No.20 tahun 2003 definisi
pendidikan ternaktub dalam pasal 1 dan 2 yakni: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara pasal 1. Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berasaskan
Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, yang berakar pada nlai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan
perubahan zaman pasal 2. Berdasarkan rumusan tersebut maka yang dimaksud dengan pendidikan
yang dihubungkan dengan kebudayaan atau tradisi, adalah semua kegiatan masyarakat yang hidup dalam sistem sosial yang dapat membentuk pola prilaku
manusia, misalnya norma-norma yang dihormati, adanya hukum dan aturan- aturan yang khas yang mengatur seluruh pola tingkah laku dalam masyarakat,
adanya suatu perasaan sebagai identitas yang mengikat semua warga untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan serta pengendalian diri.
b. Cangkupan Pendidikan. Pendidikan adalah usaha sadar yang dengan
sengaja dirancang untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pendidikan bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Sedangkan
pendidikan dibagi menjadi tiga jalur yang terdiri dari pendidika formal, non formal, dan informal.
Jenjang pendidikan formal adalah UU Sisdiknas No.20 tahun 2003 pasal 13 ayat 1 terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan
tinggi. Untuk jenjang pendidikan non formal, pasal 26 ayat 3 UU Sisdiknas No.20 tahun 2003 meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan usia dini,
pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan
serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. Sedangkan untuk pendidikan informal, menurut UU Sisdiknas No.20 tahun
2003 pasal 27 ayat 1 adalah pendidikan yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Selanjutmya mengenai
jenis pendidikan, dalam UU Sisdiknas No.20 tahun 2003 pasal 15, jenis pendidikan mencangkup umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan
dan khusus. Sedangkan dalam aspek ini aspek kultural edukatif dalam sebuah tradisi
termasuk kedalam jenjang pendidikan non formal yaitu pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dan masuk ke dalam
jenis pendidikan khusus yaitu pendidikan budaya.
c. Aspek Pendidikan dalam Tradisi. Sistem nilai budaya merupakan tingkat
paling tinggi dan paling absrak dari adat istiadat. Hal ini disebabkan karena nilai- nilai budaya itu merupakan konsep-konsep mengenai apa yang hidup dalam alam
fikiran sebagian besar deri warga suatu masyarakat mengenai suatu yang mereka anggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup sehingga dapat berungsi
sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada kehidupan warga masyarakat tadi.
Walaupun nilai-nilai budaya dalam sebuah tradisi berfungsi sebagai pedoman hidup manusia dalam masyarakat, tetapi sebagai konsep nilai budaya itu
sangat umum. Namun karena sifatnya yang umum, luas, dan tidak kongkret itulah, maka nilai-nilai budaya dalam suatu tradisi berada dalam daerah emosional dari
alam jiwa para individu yang menjadi warga dalam sistem sosial masyarakat. Dalam sebuah tradisi terdapat beberapa instrumen yang dapat dikaji
mengenai aspek edukatifnya misalnya mengenai simbol, ritual, serta alat-alatnya. Instrumen yang pertama adalan simbol yang dalam sebuah tradisi merupakan
suatu penafsiran yang digunakan manusia untuk mengungkap pemikirannya tentang Tuhan, yang diambil dari kebiasaan hidup yang disadari seperti yang
diketahuinya dari dirinya dan dari orang lain yaitu emosi-emosi, perbuatan, dan nilai-nilai manusia.
Dengan adanya instrumen peralatan dalam pelaksanaan upacara, dapat diambil hikmah antara lain, untuk menanamkan suasana khusuk dalam ritual atau
prosesi ibadah, menambah keyakinan pada kita bahwasanya benda-benda adalah sarana untuk mencapai tujuaan karena penyandaran tujuan adalah kepada Tuhan.
C. Kerangka Pemikiran