Deskripsi Lokasi Penelitian Deskripsi Hasil Penelitian

BAB IV HASIL PENELITIAN

A. Deskripsi Lokasi Penelitian

1. Letak Geografis dan Keadaan Alam Ditinjau dari letak secara geografis tradisi Bersih Desa Ceprotan terletak di Desa Sekar Kecamatan Donorojo Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Digambarkan sebagai berikut: a. Sebelah barat : Desa Sukodono b. Sebelah utara : Desa Donorojo c. Sebelah timur : Desa Wareng Kecamatan Punung d. Sebelah selatan : Desa Klepu 2. Keadaan Penduduk Jumlah total penduduk Desa Sekar adalah 3065 jiwa, dengan komposisi 1382 jiwa penduduk laki-laki, dan 1683 penduduk perempuan. Berdasarkan monografi yang tercatat dalam kantor kelurahan diklasifikasikan sebagai berikut: a. Jumlah penduduk menurut agama dan kepercayaan 1 Agama Islam : 3057 orang 2 Agama Kristen Katholik : 5 orang 3 Agama Kristen Protestan : 3 orang 4 Agama Budha : - orang 5 Agama Hindhu : - orang 37 b. Jumlah penduduk menurut mata pencaharian 1 Petani : 1993 orang 2 Buruh tani : 144 orang 3 Pedagang : 83 orang 4 Sopir angkutan : 15 orang 5 Pegawai negeri : 41 orang 6 Pensiunan : 6 orang 7 lain-lain : 391 orang

B. Deskripsi Hasil Penelitian

Di masyarakat sering terjadi ketegangan akibat adanya perbedaan pandangan mengenai tradisi yang bekembang. Dalam tradisi yang bersifat lokal, masyarakat mengikutsertakan unsur-unsur agama dan kepercayaan dengan tetap melakukan perlakuan khusus dengan sesaji. Peranan tradisi adalah untuk selalu mengingatkan manusia berkenaan dengan eksistensi dan hubunganya dengan lingkungan sekitar. Dalam rangka mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat sering mengadakan tradisi selamatan. Tradisi yang terjadi dari berbagai macam bentuk sesaji disertai doa menjadi peristiwa lazim dilakukan masyarakat Desa. Perlengkapan yang digunakan dalam setiap tradisi harus sejajar antara sarana yang digunakan dengan yang disimbolkan. Tradisi Bersih Desa Ceprotan merupakan salah satu bagian kebudayaan Indonesia yang eksistensinya telah tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Secara struktural, tradisi Bersih Desa Ceprotan dibangun oleh konfigurasi budaya ekspresif yang secara dominan mengandung nilai solidaritas, filsafat, estetika, dan religius. Kepercayaan terhadap roh ataupun keyakinan terhadap adanya kekuatan- kekuatan gaib yang melingkupi kehidupan masyarakat desa sampai sekarang masih terus berlangsung. Dalam mengatasi segala kemungkinan yang mengancam segala keselamatan diadakanya selamatan yang ternyata sampai sekarang tidak pernah ditinggalkan dalam tata cara kehidupan masyarakat desa. Tradisi Bersih Desa di Sekitar diyakini sebagai tradisi yang mempunyai makna religi bagi masyarakat setempat, dan tradisi tersebut diadakan setiap tahun sekali yang bersifat turun temurun. Hal ini juga nampak dalam tradisi Bersih Desa Ceprotan yang dapat dimaknai sebagai wujud ungkapan rasa terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rejeki dan keselamatan kepada masyarakat Sekar selama setahun dan berharap pula berkah dan pertolongan untuk tahun depan. 1. Sejarah Tradisi Bersih Desa Ceprotan Pada hakekatnya tradisi Bersih Desa Ceprotan merupakan perwujudan rasa terimakasih masyarakat Sekar kepada Sing Mbau Rekso sumber air di Desa Sekar yang telah memberikan keselamatan dan ketentraman hidup. Tradisi ini sampai sekarang belum diketahui secara pasti kapan dimulainya. Ada suatu cerita rakyat yang melatarbelakangi adanya tradisi Bersih Desa Ceprotan di desa Sekar adalah sebagai berikut. Cerita ini bermula dari kerajaan Majapahit. Pada saat itu yang duduk sebagai Raja adalah Prabu Brawijaya. Sang Prabu mempunyai seorang Permaisuri bernama Dewi Dwarawati dari Kerajaan Campa, dan seseorang selir atau garwo paminggir yang kedua-duanya sama-sama mengandung. Pada suatu hari sang permaisuri sedang beristirahat di Taman Sari dan duduk dibawah pohon Nagasari dan ditemani oleh sang selir. Keduanya sangat akrab dan rukun, kebaikan dan ketulusan sang selir ini telah menyentuh hati sang permaisuri dan tanpa disadari sampai berjanji ntuk menjodohkan putra mereka. Mendengar bicara sang permaisuri yang demikian itu, sang selir menyutujuinya dan bersamaan itu pula terdengar suara menggelegar di langit yang seolah-olah menjadi saksi penyaji tersebut. Beberapa bulan kemudian sang permaisuri melahirkan seorang anak putri yang cantik dan garwa selir melahirkn seorang anak laki-laki yang tampan dan diberi nama Raden Gugur. Keduanya dibesarkan bersama di Istana Kerajaan Majapahit. Setelah dewasa, tiba saatnya permaisuri untuk menikahkan kedua putranya seperti yang menjadi sumpahnya ketika mengandung. Permaisuri tidak berani melanggar sumpah yang telah diucapkan, takut dengan kutukan dewata. Apalagi kedua putranya saling mencintainya, namun Prabu Brawijaya tidak memperbolehkan kedua putranya untuk melangsungkan pernikahan, karena mereka masih saudara yang berasal dari satu darah keturunan. Karena tidak mendapat restu dari orang tua, pada suatu malam kedua putranya itu pergi meninggalkan Istana Kerajaan Majapahit, tanpa sepengetahuan siapapun dan tanpa tujuan. Dalam perjalanan mereka bertemu dengan seorang kyai di Dusun Modjo, yang selanjutnya mereka berdua mengabdi kepadanya. Kemudian oleh Kyai Modjo keduanya dinikahkan dan semenjak itu Raden Gugur memakai nama Raden Prawiroyuda. Kyai Modjo tidak mengetahui dan tidak menduga bahwa kedua abdinya adalah putra mahkota Kerajaan Majapahit. Mereka dianggap seperti anaknya sendiri atau seperti abdi lainnya. Mereka bekerja menanam padi, palawija, menyiangi rumput, mencari kayu bakar dan lain sebagainya. Sebaliknya Raden Prawiroyuda dan istrinya tidak menunjukkan sikap bahwa mereka adalah putra Raja Majapahit. Sepeninggal kedua putranya, Prabu Brawijaya pikirannya sangat gelisah, karena kehilangan dua putra mahkotanya. Sang Prabu kemudian memerintahkan para abdi kerajaan untuk mencari kedua putranya sampai ketemu. Beberapa waktu kemudian datanglah utusan menghadap Sang Prabu bahwa kedua putranya telah diketahui tempat tinggalnya. Kabar ini membuat hati gembira Sang Prabu. Setelah mendengar berita gembira ini, Sang Prabu bersama pengawalnya menuju Dusun Modjo untuk menjemput kedua putranya. Sesampainya di Dusun Modjo Sang Prabu bertemu dengan Kyai Modjo dan segera menyampaikan maksud dan tujuan kedatangannya. Betapa terkejutnya hati Kyai Modjo bahwa kedua abdinya ternyata Putra Mahkota Majapahit tidak lain yaitu Putra Sang Prabu Brawijaya. Barulah Kyai Modjo sadar dan minta maaf kepada Sang Prabu. Sebaliknya Prabu Brawijaya menyampaikan ucapan terima kasih karena selama ini Kyai Modjo telah merawat dan mendidik kedua putranya. Prabu Brawijaya menyuruh Kyai Modjo untuk memanggil kedua putranya yang saat itu tengah berada di ladang. Raden Prawiroyuda sangat terkejut melihat kedatangan Kyai Modjo yang tiba-tiba memberikan sembah. Kyai Modjo mengatakan kedatangannya dan menyampaikan pesan dari Prabu Brawijaya yang ingin mengajaknya kembali ke Istana. Raden Prawiroyuda menyuruh Kyai Modjo untuk pulang lebih dulu, nanti setelah pekerjaannya selesai barulah Raden Prawiroyuda dan istrinya menyusul. Sepeningggal Kyai Modjo, Raden Prawiroyuda dan intrinya tidak segera pulang, melainkan pergi meninggalkan Dusun Modjo. Mereka merasa takut bertemu dengan Sang Prabu sebagai ayah kandungnya dan tidak ingin kembali ke Istana Kerajaan, karena tidak ingin menanggung malu. Setelah ditunggu-tunggu kedua putranya tidak kunjung datang, Prabu Brawijaya kembali memerintahkan Kyai Modjo dan kepada para abdinya untuk mencari sampai ketemu. Dalam pencariannya Kyai Modjo bertemu dengan Demang Prawiromantri bersama-sama menyusul Raden Prawiroyuda. Kemudian Raden Prawiroyuda berpesan akan menemui Sang Prabu di kelak dikemudian hari. Demang Prawiromantri segera meminta diri menghadap Sang Raja. Prabu Brawijaya menyambut gembira berita tersebut. Keesokan harinya Kyai Modjo, Demang Prawiromantri, dan para abdi dalem sebagai pengawal Raja bersama- sama menemui Raden Prawiroyuda. Namun apa yang terjadi tempat yang telah dijanjikan keadaannya telah sepi karena Raden Prawiroyuda dan istrinya telah pergi ke hutan. Prabu Brawijaya sangat kecewa dan pasrah kepada Sang pencipta. Prabu Brawijaya akhirnya memutuskan untuk kembali ke Majapahit dan memerintahkan Kyai Modjo agar melanjutkan pencarian ke hutan dan sungai seperti yang telah dijanjikan Raden Prawiroyuda. Di tempat tersebut oleh Raden Prawiroyuda diberi nama Liroboyo yang artinya angelirake ubaya atau mengingkari janji. Sampai saat ini tempat ini dikenal dengan nama Liroboyo. Sepeninggal Prabu Brawijaya, Kyai Modjo berhasil menemukan Raden Prawiroyuda yang telah menjadi Raja di daerah Ngretati. Kemudian setelah menjadi Raja, Raden Prawiroyuda lebih dikenal dengan Gusti Kalak. Berkat perjuangan yang telah dilakukan oleh Kyai Modjo maka Prabu Brawijaya menghadiahkan harta benda dan seorang selir yang saat itu sedang mengandung. Raja berpesan jika kelak lahir bayi laki-laki agar diberi nama Raden Lembu Peteng dan apabila lahir perempuan terserah Kyai Modjo. Prabu Brawijaya juga menitipkan perlengkapan raja dan sepucuk surat untuk disampaikan kepada Raden Prawiroyuda. Perlengkapan tersebut antara lain berupa sebuah kepek yang berisi jimat yang terdiri dari bondong, kelat bahu, luluk atau kuluk matha, serat karo pakdo, dan keris Kyai Jaruman. Jimat tersebut hanya dipakai pada saat berperang. Disamping itu juga mengirimkan harta benda, perhiasan, dan hewan piaraan seperti kerbau, sapi dan kuda. Kemudian Kyai Modjo pergi ke Ngretati untuk menyerahkan pemberian Prabu Brawijaya kepada Gusti Kalak. Semua barang kiriman diterima oleh Gusti Kalak sesuai yang tercantum dalam isi surat, kecuali keris Kyai Djaruman yang tidak ada. Gusti Kalak segera mengutus Kyai Modjo untuk menanyakan ke Majapahit. Sebenarnya keris tersebut telah disembunyikan oleh Kyai Modjo bermaksud untuk memilikinya. Sehingga setiap kali ditanyakan oleh Gusti Kalak, Kyai Modjo selalu mengelak dengan alasan belum ada waktu pergi ke Majapahit. Beberapa hari kemudian putri selir pemberian Prabu Brawijaya melahirkan seorang anak laki-laki dan diberi nama Raden Lembu Peteng sesuai dengan permintaan atau pesan Sang Prabu. Mendengar tentang kelahiran bayi tersebut, Prabu Brawijaya sangat besar hatinya akan tetapi Raden Lembu Peteng tidak berumur panjang. Meninggal sejak kecil dan dimakamkan di daerah Nglaren. Makam tersebut sampai sekarang masih tetap dikeramatkan penduduk. Gusti Kalak selalu memikirkan pusaka Kyai Djaruman yang akhirnya pada suatu saat Gusti Kalak tahu bahwa pusaka tersebut disembunyikan Kyai Modjo. Gusti Kalak menjadi murka dan ingin menangkap serta menghukumnya. Kyai Modjo menyadari hal ini, sehingga ia berusaha bersembunyi bersama keluarganya ke daerah Kulung. Beberapa tahun kemudian Kerajaan Majapahit ditakhlukkan Kerajaan Demak, dan Prabu Brawijaya meloloskan diri dan bertapa di sebuah gua di daerah Kalak, akan tetapi Gusti Kalak tidak mengetahui Sang Prabu Brawijaya bertapa di gua Kalak. Kerajaan Majapahit runtuh namun Kraton Ngretati tetap dikuasai Gusti Kalak. Pada saat kerajaan Demak berkuasa di daerah Tembayat terdapat seorang penguasa yang bernama Kyai Ageng Tembayat yang telah beragama Islam. Sang Kyai mendengar bahwa di tanah Modjo ada seorang putra Raja Majapahit menjadi Raja di Kraton Ngretati yang masih menganut Agama Budha. Beliau bermaksud untuk mengislamkan Gusti Kalak. Kyai Tembayat pergi ke Ngretati dengan mengajak putrinya yang cantik rupawan bernama mbak prawan. Sesampainya di Kalak mbak prawan ikut derep atau menuai padi milik Gusti Kalak. Sedangkan Kyai Tembayat hanya mengawasi putrinya dari kejauhan. Saat matahari terasa panas Kyai Ageng Tembayat merasa haus dan ingin memetik kelapa muda bahasa Jawa : degan . Kemudian Kyai Ageng Tembayat mendekati kelapa dan mulai memetik buahnya dengan cara mnggoncang-goncang pohon kelapa tersebut. Akibatnya banyak buah kelapa yang berjatuhan. Kejadian itu dilihat oleh Gusti Kalak yang saat itu sedang lewat. Gusti Kalak merasa kagum terhadap kekuatan yang dimiliki Kyai Ageng Tembayat. Gusti Kalak lalu menghampiri Kyai Ageng Tembayat, dan menanyakan asal-usul serta tujuan datang ke Kalak. Kyai Ageng Tembayat mengatakan kedatangannya adalah mengantar putrinya bekerja sebagai pemetik padi. Kyai Ageng Tembayat sangat kagum melihat kesaktian yang dimiliki oleh Gusti Kalak. Setelah minta maaf Kyai Tembayat segera memanggil putrinya dengan harapan Gusti Kalak dapat melihat kecantikannya. Kenyataannya memang Gusti Kalak sangat terkesima melihat kecantikan Mbak Prawan, namun perasaan tersebut terpendam dalam hati. Gusti Kalak meminta kepada Kyai Ageng Tembayat untuk mengambil putrinya untuk dijadikan abdi di Keraton Ngretati. Kyai Ageng Tembayat merasa gembira atas tawaran tersebut, karena maksud hati yang sebenarnya akan segera terkabul. Kyai Ageng Tembayat mengijinkan dan memberi nasehat kepada putrinya, Kyai Ageng Tembayat segera memohon pamit kepada Gusti Kalak untuk kembali ke Tembayat. Mbak Prawan kemudian menjadi abdi di Ngretati melayani Gusti Kalak. Perasaan cinta Gusti Kalak terhadap Mbak Prawan semakin besar tidak dapat dibendungnya lagi. Akhirnya Gusti Kalak menyatakan keinginannya untuk memperistri, dan Mbak Prawan menerimanya dengan syarat perkawinannya harus menggunakan tata cara Islam. Gusti Kalak pun menyanggupi persyaratan yang diajukan oleh Mbak Prawan, kemudian Mbak Prawan dan Gusti Kalak berangkat ke Tembayat, dan Gusti Kalak memutuskan diri untuk menganut agama Islam. Perkawinan Gusti Kalak dan Mbak Prawan melahirkan seorang putra laki- laki yang gagah dan tampan yang diberi nama Kyai Godek. Sejak kecil Kyai Godek sudah diajari ilmu agama Islam dan setelah besar ditugasi untuk membuka hutan dan mengembangkan agama Islam. Kyai Godeg mulai membuka hutan untuk dijadikan sebuah padepokan. Ditengah-tengah hutan ini Kyai Godeg bertemu dengan seorang putri yang bernama Dewi Sekartadji yang sedang berkelana mencari kekasihnya yaitu Raden Kertapati atau Panji Asmarabangun. Dewi Sekartadji ditemani saudara laki-lakinya yang bernama Sukamandi. Kyai Godeg sangat terkejut dan heran atas kedatangan Dewi Sekartadji di tengah hutan itu. Sang Dewi segera menghampiri Kyai Godeg mengutarakan maksudnya. Karena berjalan berhari-hari merasa haus, ia minta tolong Kyai Godeg untuk dicarikan air untuk minum. Padahal di tengah hutan tersebut tidak ada sumber air. Kyai Godeg menjawab, jangankan untuk minum, untuk berwudlupun tidak ada. Kyai Godeg akan berusaha mencarinya, dan Dewi Sekartadji dipersilakan untuk menunggunya. Kemudian Kyai Godeg bersemedi di depan sebuah Teleng bagian tanah yang air atau pasir laut yang lembab dan diduga rembesan atau saluran air dibawah tanah. Dengan kekuatan ilmu yang dimiliki dalam sekejab Kyai Godeg menghilang dan kembali dengan membawa kelapa muda. Kyai Godeg segera mengupas dan menghaturkan kepada Sang Dewi Sekartadji. Air kelapa muda tersebut segera diminum dan sisanya oleh Sang Dewi Sekartadji ditumbahkan ke tanah kemudian terjadilah suatu keajaiban, bahwa tanah bekas tumpahan air kelapa tersebut berubah menjadi sebuah mata air. Kyai Godeg merasa kagum menyaksikan kesaktian Dewi Sekartadji. Selanjutnya Dewi Sekartadji menyampaikan pesan sebagai wasiat kepada Kyai Godeg untuk memberi nama daerah tersebut dengan nama “Sekar”. Selesai berkata demikian Dewi Sekartadji segera mohon diri untuk melanjutkan pengembaraannya Kyai Godeg sangat berterima kasih serta berjanji untuk melaksanakan semua wasiat Dewi Sekartadji. Sepeninggal Dewi Sekartadji, Kyai Godeg melanjutkan usahanya membuka hutan, dan selama membuka hutan Kyai Godeg selalu menggunakan sumber air tersebut. Di dekat sumber air ini oleh Kyai Godeg diletakkan bongkahan batu yang digunakan untuk sholat. Bongkahan batu ini sampai kini masih ada dan sumber air maupun bongkahan batu masih tetap dikeramatkan oleh masyarakat setempat. Selesai membuka hutan, Kyai Godeg mulai mendirikan padepokan sajak saat itu mulailah berdatangan orang–orang untuk mengabdi menjadi murid atau cantrik Kyai Godeg. Untuk menjadi murid ada beberapa persyaratan yang harus dipatuhi atau dibawa sebagai berikut: Beras, ketan, cengkih, ayam putih mulus, mori kain berwarna putih, menyan dan kembang setaman. Persyaratan yang dimaksud Kyai Godeg tersebut bukan arti yang sebenarnya namun simbolis. Beras artinya biar aber hilang maksudnya berguru tidak boleh angkara murka, segala sifat yang tidak baik harus dihilangkan. Ketan artinya keketan ana tandinge, maksudnya harus memiliki keteguhan iman sudah tidak memikirkan hal – hal yang lain. Ayam putih mulus artinya berpikiran bersih dan suci. Cengkir artinya kencenge pikir maksudnya bertekad bulat. Mori artinya ngemori maksudnya ilmu yang utama hendaknya dapat menyatu dengan dirinya. Menyan artinya nyanding, maksudnya hendaknya dapat mendekatkan diri terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Kembang setaman artinya ngembangke maksudnya dapat mengembangkan perbuatan yang baik. Dalam waktu yang singkat daerah yang semula hutan belantara dan sepi berubah menjadi padukuhan yang ramai. Padukuhan kemudian oleh Kyai Godeg dinamakan dusun Sekar sesuai dengan wasiat Dewi sekartadji. Kyai Godeg wafat dalam usia lajut. Sebelum meninggal berwasiat kepada anak cucu beserta para muridnya agar tetap melaksanakan upacara peringatan pada setiap bulan sela longkang pada hari Selasa Kliwon atau Minggu Kliwon dengan sebutan Upacara Ceprotan. Kyai Godeg dimakamkan di Dusun Sekar yang sampai sekarang masih dikeramatkan oleh masyarakat sekar. Cerita rakyat tersebut merupakan dasar bagi masyarakat Sekar sampai sekarang masih mempercayai kekuatan roh yang mendiami sumber Sekar. Kekuatan roh tersebut dianggap mampu menentukan keselamatan dan kesengsaraan hidup mereka. Agar tidak mengganggu kehidupannya, maka harus dihormati atau diperlakukan secara khusus, salah satu bentuk masyarakat dalam menghormati dengan cara melaksanakan bersih desa. Dalam upacara tersebut mengandung harapan agar kekuatan roh itu mau memberi keselamatan dan ketentraman masyarakat setempat. Kepercayaan terhadap adanya kekuatan roh tersebut termasuk kepercayaan animisme yaitu bentuk religi masyarakat yang berdasar anggapan bahwa alam sekeliling tempat tinggal manusia didiami oleh berbagai arwah atau roh yang dapat mendatangkan kesengsaraan maupun ketentraman kehidupan masyarakat. 2. Tujuan Tradisi Adapun tujuan dari tradisi Bersih Desa Ceprotan pada hakikatnya merupakan perwujudan ucapan terima kasih yaitu untuk mengucap syukur atas berkat dan kelimpahan pada tahun yang lalu, dan permohonan berkat dan pertolongan Tuhan Yang Maha Esa pada tahun yang akan datang, serta sebagai sarana silaturahmi dengan kerabat dan tetangga. Masyarakat Sekar akan merasa lega dan puas apabila telah melaksanakan tradisi Bersih Desa Ceprotan ini karena mereka telah melaksanakan amanat dari leluhurnya. 3. Waktu dan Tempat Tradisi Tradisi Bersih Desa Ceprotan dilaksanakan setahun sekali pada bulan selo atau Dulkhangidah. Berdasarkan keyakinan kepercayaan bulan itu adalah keramat, sehingga banyak dijumpai di masyarakat melaksanakan kegiatan- kegiatan ritual. Pelaksanaan tradisi diusahakan jatuh pada hari Senin Kliwon, apabila tidak ada hari itu, dialihkan pada hari Minggu Kliwon, karena masyarakat kuat keyakinannya dalam perhitungan hari, hal ini termasuk perhitungan hari untuk hajat perkawinan pernikahan, mendirikan rumah dan hari – hari untuk keperluan lainnya. Pusat tempat tradisi di rumah Kepala Desa yang berada di Dusun Krajan Lor yang tidak jauh dari sumber sekar. Di halaman rumah Kepala Desa. Di halaman itu dibuat panggung dengan latar belakang lukisan sejarah asal mula terjadinya Desa Sekar. Panggung itu pada saat tradisi berlangsung untuk tempat para tamu dari tingkat Kecamatan, Kabupaten maupun para Wisatawan. Dan pada malam harinya digunakan tempat pementasan pertunjukan kesenian dan wayang kulit. Di rumah sebelah Kepala Desa disediakan ruangan khusus untuk meletakkan sesaji dan untuk mengumpulkan kelengkapan lainnya yang berasal dari setiap rumah. Semua sesaji itu sebagai sarana untuk melakukan persembahan kepada yang mbahu rekso sumber sekar. Ruangan sesaji hanya orang–orang tertentu yang diperbolehkan masuk. 4. Persiapan Pelaksanaan dan Perlengkapan Tradisi Sebagai tahap persiapan diawali dengan pembentukan panitia kerja yang terdiri dari pamong desa dan masyarakat setempat, yang dilaksanakan dua minggu sebelumnya. Sehari sebelum pelaksanaan bersih desa segenap warga Dusun Krajan Lor dan Krajan Kidul kerja bakti membersihkan lingkungan sumber, lingkungan dusun, jalan–jalan dusun, pembenahan pagar, kebersihan pekarangan, pembuatan panggung, pemasangan umbul–umbul dan menghias arena tradisi Bersih Desa Ceprotan. Tiga hari sebelumnya pelaksanaan tradisi Bersih Desa Ceprotan warga Dusun Krajan Lor dan Krajan Kidul mulai memetik buah kelapa muda Bahasa Jawa “degan” yang masih cengkir rata–rata baru berumur 3 bulan. Syaratnya setiap orang rata–rata mengumpulkan lima belas sampai dua puluh lima buah kemudian dikupas dan dibiarkan lunak Bahasa Jawa “gembut” setelah tiga hari kemudian, perlengkapan tradisi dibedakan menjadi dua jenis yaitu sesaji dan perlengkapan yang berupa peralatan pendukung. Perlengkapan sesaji adalah perlengkapan pokok yang paling utama dalam tradisi Bersih Desa Ceprotan, orang–orang yang bertugas mencari barang-barang sesaji harus orang yang dianggap bersih lahir dan batinnya, yang terlepas dari keinginan–keinginan atau pikiran–pikiran negatif. Orang tersebut adalah Juru Kunci Desa Sekar. Sebelum sesaji dipersembahkan di ruang sesaji terlebih dulu bahan–bahan tersebut dimasak dan dibentuk sesuai dengan nama–nama sesaji yang diperlukan, seperti ayam panggang, jadah, tompak, salak, tumpeng, sayur menir daun kelor, buah asam, kacang panjang, cambah, pecel dari daun turi, daun pakisan, daun betis, lembayung, udang, kepiting dan benceng, rengginan yang berwarna merah putih, sebangsa tales, pisang raja rebus, uler–uler dari tepung beras berwarna merah, putih, kuning, nasi giling kecil–kecil, panjang ilang yang berisi kelapamuda hijau, empon–empon yang terdiri dari lengkuas, kunyit, jahe, kencur, temu lawak, benang telon merah, putih dan hitam, wayang kulit dengan tokoh Harjuna dan Dewi Sembara, bantal putih, kembang telon, kemenyan dan minyak wangi. Perlengkapan tradisi yang berupa sarana dari penduduk antara lain teningan dan tampah untuk meletakkan sesaji, anglo untuk membakar kemenyan, jalen tempat panggang dari bambo, ceting, gamelan, keranjang tempat buah kelapa. Umbul – umbul, alat penerangan dan perlengkapan tradisi Bersih Desa Ceprotan. 5. Prosesi Tradisi a. Tahap Pendahuluan Tradisi Bersih Desa Ceprotan diawali upacara selamatan mulai pagi hingga siang hari. Khusus masyarakat Krajan Lor dan Dusun Krajan Kidul datang ketempat tradisi sesaji dengan membawa seekor ayam potong yang masih mentah, nasi giling, krupuk, rengginan, jadah untuk dijadikan ambengan sebagai sesaji upacara selamatan. Ayam potong yang masih mentah tersebut dikumpulkan dan dimasak bersama–sama dirumah tempat sesaji oleh kaum laki – laki dari Krajan Lor dan Krajan Kidul. Sebelum upacara selamatan dimulai, terlebih dahulu juru kunci mengadakan sesaji disumber sekar. Sarana sesaji berupa Panjang Ilang yang berisi Gantal terdiri dari daun sirih yang digulung diikat dengan benang putih, kapur sirih gambir dan tembakau, kembang telon, kemenyan, buah kelapa muda hijau. Panjang Ilang digantungkan pada pohon beringin yang ada disumber sekar. Disaat sesaji juru kunci memohon ketentraman dan keselamatan hidup bersama warganya terhadap sing mbahu rekso sumber sekar. Upacara selamatan dipimpin juru kunci dengan mengucapkan mantra–mantra. Disela–sela mengucapkan mantra–mantra warga masyarakat menyaut dengan ucapan inggih ya dan selama upacara berlangsung dalam suasana hening dan hikmat. Selesai mengucapkan mantra–mantra dilanjutkan pembacaan doa secara Islam. Kemudian setelah selesai ambengan dibawa pulang kerumah masing–masing. b. Tahap Puncak Puncak tradisi Bersih Desa di Desa Sekar adalah tradisi “Ceprotan” yang dilaksanakan setelah tradisi selamatan selesai. Adapun Pelaksanaannya dimulai pada saat matahari mulai terbenam atau menjelang waktu maghrib. Namun sebelumnya ditampilkan atraksi–atraksi kesenian dalam bentuk tari–tarian ataupun atraksi kesenian lainnya sebagai acara pertunjukkan hiburan para pengunjung. Pada saat pelaksanaan tradisi Bersih Desa Ceprotan peserta mengenakan pakaian adat Jawa dan upacara tersebut dihadiri oleh pejabat Pemerintah Daerah Kabupaten Pacitan, Muspika Kecamatan Donorojo, Kepala Desa sewilayah Kecamatan Donorojo. Tradisi Bersih Desa Ceprotan telah diangkat sebagai aset wisata budaya daerah, maka dalam penyelenggaraannya menjadi tanggung jawab Dinas Pariwisata Kabupaten Pacitan. Acara Tradisi Ceprotan dimulai setelah acara sambutan – sambutan baik tingkat Desa, tingkat Kecamatan, tingkat Kabupaten telah selesai. Para peserta tradisi Ceprotan memasuki arena Ceprotan diiringi gending Dandang Gula, dengan peserta para pemuda atau orang yang telah dewasa. Peserta dibagi dua kelompok terdiri kurang lebih lima puluh orang dan mengenakan seragam yang berlainan. Setiap peserta membawa sebuah keranjang yang berisi buah kelapa muda rata–rata berisi lima belas sampai dua puluh lima buah. Setelah peserta menceprot melempar mereka bersiap ditempat masing– masing, sesaji diarak dari tempat sesaji menuju ke arena Ceprotan, masuknya iring –iringan sesaji diiringi gendhing Ladrang wilujeng. Adapun urutan pengiring sesaji tersebut adalah sebagai berikut: Barisan paling depan adalah juru kunci dengan membawa Panjang Ilang yang berisi buah kelapa hijau muda diapit oleh kepala Desa Sekar dan istrinya. Dibelakangnya adalah dua orang Manggoloyudo dengan membawa Lenongan yang berisi ayam panggang, tumpeng, jadah, kembang telon, dan sesaji lainnya. Ayam panggang inilah yang nantinya akan diperebutkan oleh peserta Ceprotan. Urutan berikutnya adalah sepuluh orang dayang–dayang menggunakan busana kembar dan masing– masing membawa cething yang berisi buah–buahan seperti: pisang, nanas, apel, salak, anggur, dan semangka. Barisan dibelakangnya adalah dua puluh prajurit yang mengenakan pakaian Kejawen. Dan barisan paling belakang adalah sesepuh desa dari sepuluh dusun. Seiring dengan tenggelamnya matahari sang juru kunci mulai memimpin persembahan kepada kekuatan gaib yaitu sing mbahu rekso sumber sekar sambil mengucapkan mantra-mantra di atas asap dupa. Setelah pembacaan mantra dan doa juru kunci dan para pengirim sesaji meninggalkan arena, tiba–tiba terjadi teriakan–teriakan para peserta Ceprotan. Secara tidak diduga dua orang dari peserta Ceprotan melompat ketengah arena dan berlari untuk mengambil ayam panggang. Tetapi sebelum keduanya berhasil meraih panggang ayam tersebut, para peserta lainnya menyerang dengan lemparan. Lemparan buah–buah kelapa dari dua arah sehingga kedua orang tersebut menjadi kerepotan. Namun kedua orang tersebut berhasil membawa lari panggang ayam tersebut, sehingga panggang ayam tersebut menjadi hak miliknya. Kemudian kedua kelompok peserta Ceprotan tersebut saling menyerang sampai persediaan buah kelapanya habis. Suatu keajaiban bahwa para peserta Ceprotan walaupun terkena lemparan buah kelapa tidak merasa sakit dan orang yang melompat akan mengambil panggang tidak ditunjuk sebelumnya melainkan keinginan secra tiba–tiba oleh kekuatan gaib. Setelah persediaan buah kelapa habis, para peserta berhamburan lari ketengah arena dan saling berpelukan meluapkan kegembiraannya serta tidak ada rasa dendam. Setelah Ceprotan selesai, Panitia menutup tradisi Bersih Desa Ceprotan dengan mengucapkan hamdalah secara bersama–sama. c. Acara Penutup Sebagai akhir dari acara dalam tradisi Bersih Desa Ceprotan ini adalah acara tasyakuran dan malam hiburan, yang diselenggarakan malam hari setelah pelaksanaan tradisi Bersih Desa Ceprotan selesai. Masyarakat Desa Sekar terutama kaum lelaki berkumpul di Pendopo Kelurahan mengikuti acara tasyakuran dengan makan bersama–sama. Makanan yang dihidangkan merupakan bagian dari ambengan upacara selamatan, yang sengaja disiapkan untuk acara syukuran. Acara syukuran sebagai ungkapan rasa terima kasih terhadap Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan berkah dan keselamatan. 6. Fungsi dan makna tradisi Bersih Desa Ceprotan Bagi Masyarakat Pendukungnya a. Fungsi tradisi Seperti telah diuraikan di atas bahwa tradisi Bersih Desa Ceprotan ini merupakan suatu tradisi yang selalu dilaksanakan oleh masyarakat Sekar setiap tahun sekali. Hal ini menandakan bahwa tradisi ini masih befungsi bagi masyarakat pendukungnya. Disamping itu juga terdapat makna-makna simbolik yang sangat berarti bagi mereka, terutama di dalam sesaji-sesaji tradisi. Di dalam macam-macam sesaji itu terdapat pesan-pesan yang terselubung dan perlu pemahaman tersendiri sehingga orang bisa mengetahui makna apa saja yang terkandung dalam sesaji tersebut. Menurut pendapat Budhi Santoso dalam dinas P dan K Propinsi Jawa tengah 2005:24 fungsi upacara tradisional yang ada pada masyarakat pendukungnya mengandung 4 fungsi yaitu 1 norma sosial, 2 pengendali sosial, 3 media sosial dan 4 pengelompokan sosial. Yang dimaksud dengan norma sosial, yaitu bahwa di dalam upacara tradisional terdapat simbol-simbol yang bermakna positif dan mengandung nilai-nilai atau norma-norma sosial. Nilai-nilai atau norma- norma sosial yang terdapat dalam tradisi tersebut mencerminkan asumsi apa yang baik dan apa yang tidak baik, sehingga nilai-nilai atau norma-norma ini dapat dipakai sebagai pengendali sosial. Tradisi Bersih Desa Ceprotan dilihat dari fungsi norma sosial dan pengendalian sosial seperti halnya dengan upacara-upacara tradisional lainnya, biasanya di dalam terdapat sesaji dan perlengkapan lainnya yang merupakan simbol atau lambang-lambang yang bermakna positif. Simbol atau lambang ini mengandung norma atau aturan-aturan yang mencerminkan nilai atau asumsi apa yang baik dan tidak baik, sehingga dapat dipakai sebagai pengendali sosial dan pedoman berperilaku bagi masyarakat pendukungnya. Selain dapat berfungsi sebagai pengatur perilaku antar individu dan masyarakat, berfungsi pula sebagai penata hubungan manusia dengan alam lingkungan, terutama pada Tuhan Yang Maha Esa. Yang dimaksud dengan media sosial yaitu bahwa tradisi pada umumnya dipakai sebagai obyek sikap emosional yang menghubungkan masa lampau dan masa sekarang. Kemudian tradisi berfungsi sebagai media sosial juga dapat dipakai sebagai alat atau sarana mengutarakan pikiran, emosional, kepentingan dan kebutuhan yang menjadi hajat hidup orang banyak masyarakat. Di samping itu dapat pula dipakai sebagai alat bagi pendukung tradisi melakukan hubungan sosial atau kontak sosial diantara masyarakat, ternyata hal ini sesuai pula pada tradisi Bersih Desa Ceprotan. Dalam tradisi Bersih Desa Ceprotan disamping sebagai obyek sikap emosional yang menghubungkan masa lampau dengan masa sekarang, hal ini nampak pada saat mereka membakar kemenyan dalam pelaksanaan tradisi tersebut. Kemudian dapat pula dipakai untuk mengutarakan pikiran, pesan, kebutuhan dan kepentingan yang menjadi hajat hidup orang banyak. Selain itu dalam upacara ini juga dapat dipakai untuk hubungan sosialkontak sosial diantara sesama warga ataupun masyarakat lain yang mendukung upacara tersebut, misalnya dalam persiapan, pelaksanaan, setelah pelaksanaan tradisi Bersih Desa Ceprotan dan lain sebagainya. Sedang yang dimaksudkan dengan pengelompokan sosial yaitu bahwa kegiatan tradisi ini dapat dipakai sebagai sarana yang efektif bagi pendukungnya untuk berinteraksi dan berkomunikasi sehingga menimbulkan kesatuan, solidaritas dan kesetiakawanan sosial. Di dalam tradisi Bersih Desa Ceprotan ini berfungsi pula sebagai pengelompokan sosial artinya bahwa nilai-nilai yang terdapat dalam tradisi Bersih Desa Ceprotan tersebut dapat mengikat seseorang ke dalam kelompok sosial yang bersangkutan. Keterikatan masyarakat terhadap tradisi Bersih Desa Ceprotan ini dapat dilihat dari banyaknya masyarakat yang menghadiri pelaksanaan upacara dari awal sampai akhir yaitu saat persiapan, pelaksanaan, setelah pelaksanaan dan lain sebagainya. Selain empat hal tersebut, tradisi Bersih Desa Ceprotan ini juga berfungsi untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan warga masyarakat yang bersifat sosial. Berfungsi untuk kepentingan pribadi artinya bahwa ada sebagian masyarakat Desa Sekar yang sudah mengawali pelaksanaan upacara. Hal ini dilakukan karena permohonan berkat dan pertolongan Tuhan Yang Maha Esa pada tahun yang akan datang, berhasil dalam pekerjaan dan lain sebagainya telah mereka raih. Sedangkan fungsi untuk kepentingan masyarakat, memang pada dasarnya upacara ini diperlukan oleh warga masyarakat yaitu untuk kepentingan seluruh warga masyarakat. Mereka bersama-sama secara gotong royong melaksanakan tradisi tersebut untuk kepentingan bersama, untuk keberhasilan dan kemakmuran seluruh warga masyarakat. b. Makna Tradisi Di dalam tradisi yang masih sangat tradisional biasanya terdapat bentuk- bentuk tradisi yang di dalamnya mengandung petunjuk-petunjuk yang penyampaiannya melalui lambang-lambang atau simbol-simbol dengan makna tersendiri. Simbol atau lambang yang dinyatakan dalam tradisi mengandung makna yang terselubung seperti perilaku seseorang, yang diungkapkan melalui isyarat-isyarat tertentu dan belum banyak diketahui selain masyarakat pendukungnya. Untuk itu maka dalam kajian ini akan dilakukan penjelasan dari makna simbolik yang ada dalam tradisi Bersih Desa Ceprotan. Artinya dengan lambang-lambang yang diberi arti secara sistematis, manusia saling menyampaikan perasaan dan bisa mengerti maksud yang sebenarnya serta menjadi pengalaman. Menurut Santoso dalam Dinas P dan K Propinsi Jateng 2005: 28 dengan lambang-lambang yang mempunyai arti dalam pergaulan sosial pada suatu lingkungan sosial tertentu, maka manusia dapat memperbanyak pengalaman, pengetahuan dan mengembangkan gagasan baru sehingga terwujud kebudayaan. Dengan perantaraan lambang-lambang pula, manusia dapat menyampaikan atau menyebarluaskan kebudayaan yang merupakan keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, hukum, moral dan adat istiadat dalam lingkup masyarakat tertentu. Lambang-lambang dan makna simbolik dalam tradisi yang masih sangat tradisional, biasanya terdapat dalam sesaji-sesaji yang ada dalam penyelenggaraan tradisi yang masih sangat tradisional. Demikian pula dalam pelaksanaan tradisi Bersih Desa Ceprotan. Setiap tradisi ritual di daerah, biasanya tidak pernah meninggalkan sesaji yang merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam setiap upacara. Sesaji yang digunakan harus disesuaikan dengan tujuan dan maksud dilaksanakan dalam tradisi Bersih Desa Ceprotan, antara lain yaitu: satu ekor Ayam Panggang Cangakan , Satu Ekor Ayam panggang biasa, jadah yang terbuat dari Beras Ketan, Rengginan , Salak dan Pisang Raja, Sayur Tumpang dan Sayur Asem, Udang, Kepiting, dan ikan Kutuk, Uwi, Gembili, Mbothe, serta buah pisang raja Kukus, Untir – untir, Nasi Golong 4 buah, Benang Lawe dibentuk kitiran, Empon–empon yang terdiri dari Lengkuas Kunyit, kencur dan Temulawak. Rokok klobot yang diikat benang berwarna merah dan putih. Panjang Ilang dua buah yang berisi kelapa muda warna hijau, wayang kulit tokoh Arjuna dan Sembadra, kembang setaman 10 bokor, air kendi, minyak wangi dan kemenyan. Pada dasarnya fungsi dan makna sesaji-sesaji ini adalah sebagai ucapan terima kasih atas terkabulnya permohonan-permohonan masyarakat melalui tradisi bersih desa ini.

C. Temuan Studi yang Dihubungkan Kajian Teori

Dokumen yang terkait

NILAI PENDIDIKAN DALAM BUDAYA CEPROTAN MASYARAKAT DESA SEKAR KECAMATAN DONOROJO KABUPATEN PACITAN Nilai Pendidikan Dalam Budaya Ceprotan Masyarakat Desa Sekar Kecamatan Donorojo Kabupaten Pacitan.

0 1 17

PENDAHULUAN Nilai Pendidikan Dalam Budaya Ceprotan Masyarakat Desa Sekar Kecamatan Donorojo Kabupaten Pacitan.

0 1 5

NILAI PENDIDIKAN DALAM BUDAYA CEPROTANMASYARAKAT DESA SEKAR Nilai Pendidikan Dalam Budaya Ceprotan Masyarakat Desa Sekar Kecamatan Donorojo Kabupaten Pacitan.

0 1 13

ASPEK NILAI-NILAI SOSIAL PADA TRADISI BERSIH DESA JULUNGAN (Studi Kasus Pada Pelaksanaan Tradisi Bersih Desa Julungan di desa Kalisoro Aspek Nilai-Nilai Sosial Pada Tradisi Bersih Desa Julungan (Studi Kasus Pada Pelaksanaan Tradisi Bersih Desa Julungan d

0 2 15

BAB 1 PENDAHULUAN Aspek Nilai-Nilai Sosial Pada Tradisi Bersih Desa Julungan (Studi Kasus Pada Pelaksanaan Tradisi Bersih Desa Julungan di desa Kalisoro Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar.

0 2 7

ASPEK NILAI-NILAI SOSIAL PADA TRADISI BERSIH DESA JULUNGAN (Studi Kasus Pada Pelaksanaan Tradisi Bersih Desa Julungan di desa Kalisoro Aspek Nilai-Nilai Sosial Pada Tradisi Bersih Desa Julungan (Studi Kasus Pada Pelaksanaan Tradisi Bersih Desa Julungan d

0 5 13

ASPEK PENDIDIKAN NILAI DALAM PELAKSANAAN TRADISI BERSIH DESA (CEPROTAN) TAHUN 2007 ASPEK PENDIDIKAN NILAI DALAM PELAKSANAANTRADISI BERSIH DESA (CEPROTAN) TAHUN 2007 (Studi Kasus di Desa Sekar Kecamatan Donorojo Kabupaten Pacitan).

0 2 11

ASPEK PENDIDIKAN NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI BUDAYA RODAD (Studi Kasus di Desa Kalimati Kecamatan Juwangi Aspek Pendidikan Nilai Religius Dalam Tradisi Budaya Rodad (Studi Kasus di Desa Kalimati Kecamatan Juwangi Kabupaten Boyolali).

0 1 15

ASPEK PENDIDIKAN NILAI RELIGIUS DALAM PELAKSANAAN TRADISI MERON Aspek Pendidikan Nilai Religius Dalam Pelaksanaan Tradisi Meron (Studi Kasus Di Desa Sukolilo Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati).

0 0 14

ASPEK PENDIDIKAN NILAI RELIGIUS DALAM PELAKSANAAN TRADISI MERON Aspek Pendidikan Nilai Religius Dalam Pelaksanaan Tradisi Meron (Studi Kasus Di Desa Sukolilo Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati).

0 0 13