Morfologi Kelelawar Masa Reproduksi Perilaku Bertengger dan Mencari Makan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Bio-ekologi Kelelawar 2.1.1. Klasifikasi Kelelawar termasuk dalam anggota kelas mamalia yang tergolong dalam ordo Chiroptera dengan dua sub ordo yang dibedakan atas jenis pakannya. Ordo Chiroptera memiliki 18 suku, 188 marga dan 977 jenis yang terbagi dalam sub ordo Megachiroptera dan Microchiroptera. Kelelawar pemakan buah atau Mega- chiroptera terdiri atas satu suku, yakni Pteropodidae, yang mencakup 41 marga dan 163 jenis; sedangkan Microchiroptera atau kelelawar pemakan serangga memiliki keanekaragaman yang besar dengan 17 suku, 147 marga, dan 814 jenis Corbet Hill 1992. Kelelawar diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Animalia, Phylum Chordata, Subphylum Vertebrata, Class Mammalia, Ordo Chiroptera, Sub Ordo Megachiroptera dan Microchiroptera Feldhamer 1990 Jenis kelelawar yang telah diketahui di Indonesia sekitar 205 jenis, yang terbagi ke dalam 9 suku dan 52 marga. Kesembilan famili tersebut adalah Pteropodidae, Megadermatidae, Nycteridae, Vespertilionidae, Rhinolophidae, Hipposideridae, Embllonuridae, Rhinopomatidae dan Molossidae Suyanto 2001.

2.1.2. Morfologi Kelelawar

Perbedaan ukuran tubuh dan morfologi kelelawar dapat diketahui berdasarkan jenis pakannya. Kelelawar pemakan buah umumnya memiliki ukuran tubuh yang besar, bola mata besar dan memiliki moncong seperti anjing. Kalong kapuk Pteropus vampyrus yang terdapat di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, merupakan kelelawar pemakan buah terbesar di dunia. Ukuran sayap P. vampyrus mencapai 1.700 mm dengan bobot tubuh mencapai lebih dari 1.500 gram; sedangkan ukuran lengan bawahnya 36–228 mm. Kelelawar pemakan serangga yang berukuran paling kecil memiliki bobot 2 gram dan paling besar 196 gram dengan ukuran lengan bawah sayapnya 22–115 mm Suyanto 2001. Sayap kelelawar berbeda dengan sayap burung yang merupakan susunan bulu yang menempel pada dada. Sayap kelelawar terdiri atas lapisan kulit yang 4 sangat tipis dan melekat pada ruas-ruas tulang jari tangan yang mengalami perpanjangan dan berfungsi sebagai kerangka sayap. Selaput kulit yang melekat pada kerangka sayap membentang hingga jari kaki depan, kaki belakang dan ekor. Selaput kulit yang berfungsi sebagai sayap ini memiliki jaringan ikat yang lentur sehingga selaput sayap dapat dilipat dan tidak menjadi penghalang pada saat berjalan. Selama terbang, selaput sayap ini juga berfungsi sebagai radiator pendingin karena selaput terbang yang berisi jaringan ikat urat yang lentur dan serabut otot merupakan tempat mendinginkan darah Ensiklopedi Indonesia 2003.

2.1.3. Masa Reproduksi

Masa bunting kelelawar pada umumnya mencapai 3–6 bulan. Periode melahirkan adalah sekali dalam satu tahun. Jumlah anak yang dilahirkan untuk setiap kelahiran hanya satu, kecuali pada jenis Larsius borealis yang dapat melahirkan sampai lima ekor anak. Bobot rata-rata bayi yang dilahirkan kelelawar mencapai 25–30 dari bobot induknya Suyanto 2001. Induk kelelawar pada saat terbang rata-rata mampu membawa bayi dengan bobot antara 9,3–73,3 bobot tubuhnya Davis Cockrum 1964.

2.1.4. Perilaku Bertengger dan Mencari Makan

Kelelawar merupakan binatang nokturnal, yakni mencari makan pada malam hari dan beristirahat di siang hari. Sebagian koloni kelelawar memilih goa sebagai tempat bertengger karena gua menyediakan lingkungan hidup yang teratur dan memiliki sedikit gangguan atas ketenangan satwa ini. Perilaku kelelawar dalam bertengger sangat unik dan berbeda dengan cara bertengger burung pada umumnya. Selama bertengger, kelelawar dapat melakukan berbagai macam sikap. Pada posisi tubuh terbalik, kelelawar bertengger dengan cara membungkus tubuhnya dengan sayap yang melipat dan sayap yang satu menutupi sayap yang lain. Beberapa diantara kelelawar kecil Microchiroptera menempati daun pisang muda yang tergulung sebagai tempat tidur dan beberapa tinggal dalam lubang bambu. Kelelawar lain bergantung melekat pada dinding tegak lurus dengan sayap pada dua sisi ditudungkan ke tubuh. Ibu jari mendapat pegangan tambahan, 5 sedangkan sayap kadang-kadang digunakan sebagai penopang untuk memisahkan kepala dari dinding Ensiklopedi Indonesia 2003. Jenis-jenis kelelawar memiliki tempat tinggal yang sangat bervariasi, yakni: Pteropus alecto bertengger di pohon, Myotis muricola menempati gulungan dedaunan, Megaderma spasma menempati lubang pada pohon, Tylonycteris pachypus menempati celah-celah pada ruas-ruas bambu, Eonycteris major di goa- goa dan Rhinopoma microphyllum tinggal di terowongan. Beberapa jenis kelela- war hidup secara berpasangan seperti Rhinolopus sedulus, atau dalam kelompok besar seperti Pteropus vampyrus Kunz Fenton 2003. Kelelawar goa sebagian besar merupakan sub ordo Microchiroptera pemakan serangga dengan ukuran tubuh dan bola mata relatif kecil. Kemampuan penglihatan kelelawar tidak bergantung pada bola mata, tetapi pada kemampuan penala gema ekholokasi. Ekholokasi merupakan kemampuan menangkap pantulan gelombang ultrasonik dari suara kelelawar yang mengenai benda diam ataupun benda bergerak. Ketika terbang, kelelawar mengeluarkan suara berfrekuensi tinggi ultrasonik rata-rata 50 Khz. Pantulan suara ultrasonik dapat digunakan untuk memandu arah terbang, mengenali dan melacak posisi mangsa Suyanto 2001. Saat melakukan aktivitas terbang, kelelawar memerlukan oksigen yang lebih banyak dibanding pada saat diam, yakni pada saat terbang membutuhkan 24 ml oksigengram bobot tubuh sedangkan saat diam membutuhkan 7 ml oksigengram bobot tubuh. Denyut nadi pada saat terbangpun berdetak lebih kencang dibanding saat istirahat, yakni 822 kalimenit pada saat terbang dan 522 kalimenit pada saat istirahat. Untuk mendukung kebutuhan akan oksigen yang tinggi, jantung kelelawar berukuran relatif lebih besar dibanding dengan kelompok lain. Jantung kelelawar berukuran 0,09 dari bobot tubuhnya, sedangkan hewan lain hanya 0,05 dari bobot tubuhnya Suyanto 2001. Jenis kelelawar Rousettus aegyptiacus menggunakan indra penciuman untuk mendeteksi bau yang dikeluarkan oleh buah masak. Proses pemasakan buah merupakan salah satu proses fermentasi yang menghasilkan ethanol, acetaldehyde, dan asam asetat. Konsentrasi ethanol yang tinggi memberikan signal ke kelelawar untuk menghindari buah yang terlalu masak busuk atau buah yang belum masak Sanchez et al. 2006. 6

2.1.5. Wilayah Jelajah