Konservasi Ex situ Tumbuhan Obat di Kebun Raya Bogor

(1)

KONSERVASI

EX SITU

TUMBUHAN OBAT

DI KEBUN RAYA BOGOR

SYAMSUL HIDAYAT

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Konservasi Ex situ

Tumbuhan Obat di Kebun Raya Bogor adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juni 2011 Syamsul Hidayat E 351090021


(3)

Botanic Gardens. Under supervision of ERVIZAL A.M. ZUHUD and DIDIK WIDYATMOKO.

Bogor Botanic Gardens (Kebun Raya Bogor) has a long history of medicinal plant conservation. In order to improve the quality of the medicinal plant collections and their uses, Kebun Raya Bogor (KRB) needs to adopt relevant public and visitor expectations and manage key aspects of medicinal plant conservation and utilization. This study aims to establish a management strategy for the KRB medicinal plants collection. A set of questionnaires were used in this study. The data were processed using the Likert scale, set scoring method, and the AHP (analytic hierarchy process). The study suggested a total of 60 species to be given more attention. Of the 60 species assessed 9 species of which were prioritized, including Anaxagorea javanica, Coscinium fenestratum, Eusideroxylon zwageri, Heritiera littoralis, Kadsura scandens, Santalum album, Lunasia amara, Scorodocarpus borneensis, and Terminalia bellirica. Three basic conservation aspects (“tri-stimulus amar”) and the key KRB functions need to be strengthened and should be in line with the public expectations in order to achieve an integrated medicinal plant ex situ conservation.


(4)

Bogor. Dibimbing oleh ERVIZAL A.M. ZUHUD dan DIDIK WIDYATMOKO. Kebun Raya Bogor (KRB) memiliki keterikatan sejarah yang kuat dalam pelestarian tumbuhan obat. Dalam rangka meningkatkan kualitas koleksi tumbuhan berpotensi obat serta pemanfaatannya, maka perlu diadakan pendataan secara detail mengenai jumlah koleksi tumbuhan berpotensi obat dan beberapa aspek konservasinya. Demikian pula agar tercipta kegiatan konservasi tumbuhan obat yang efektif dan efisien perlu menentukan spesies dan aksi konservasi prioritas. Hal ini sangat penting sebagai dasar ilmiah bagi pengembangan program konservasi KRB pada masa yang akan datang. Apa yang diharapkan masyarakat terhadap KRB perlu dijadikan dasar dalam menentukan program dan kebijakan dalam pelestarian tumbuhan obat.

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengkaji kondisi terkini koleksi spesies tumbuhan obat di KRB, pemanfaatan, kategori kelangkaan, dan spesies prioritasnya.

2. Menggali harapan masyarakat terhadap peran KRB dalam konservasi ex situ

tumbuhan obat.

3. Mengkaji apakah program konservasi tumbuhan obat di KRB sudah sesuai dengan harapan masyarakat dalam rangka penyusunan aksi konservasi pada masa yang akan datang.

Penelitian dilakukan di Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor. Pengumpulan data dilakukan pada bulan September – Desember 2010, dengan menggunakan seperangkat alat kuisioner. Kuisioner berupa lembar tes pernyataan ditujukan kepada masyarakat umum dan industri, lembar uji penentuan spesies prioritas ditujukan kepada peneliti/praktisi terkait, sedangkan lembar matriks pembandingan berpasangan ditujukan kepada para pengamat/pengawas koleksi KRB. Data diolah dengan menggunakan skala Likert, metode skoring, dan

Berdasarkan hasil inventarisasi tercatat 764 spesies koleksi berpotensi tumbuhan obat dari 465 genera dan 135 famili. Famili dengan spesies tumbuhan obat terbanyak adalah Fabaceae sedangkan habitus terbanyak adalah berupa pohon. Gangguan perut atau pencernaan adalah kelompok penyakit yang paling banyak menggunakan spesies tumbuhan obat. Sembilan spesies yaitu Anaxagorea javanica, Coscinium fenestratum, Eusideroxylon zwageri, Heritiera littoralis, Kadsura scandens, Santalum album, Lunasia amara, Scorodocarpus borneensis,

dan Terminalia bellirica ditetapkan sebagai spesies prioritas.

AHP (analytic hierarchy process) dengan software expert choice.

Didorong tri-stimulus amar konservasi, aktivitas KRB dan harapan masyarakat dapat terpadu sempurna. Beberapa kebijakan yang dapat diterapkan antara lain: (1) pembangunan pusat informasi tumbuhan obat dan jaringan komunikasi masyarakat terkait tumbuhan obat, (2) penyelenggaraan program interpretasi, etnomedical tour, wisata kuliner dan kedai sehat, (3) penyelenggaraan pelatihan, pendidikan dan pengembangan budidaya tumbuhan obat, (4) promosi dan penelitian serta pameran tumbuhan obat dan hasil penelitiannya, dan (5) pengembangan taman obat dan pusat plasma tumbuhan obat nusantara.


(5)

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(6)

DI KEBUN RAYA BOGOR

SYAMSUL HIDAYAT

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(7)

(8)

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof.Dr. Ir. Ervizal A.M. Zuhud, MS

Ketua Anggota

Dr. Didik Widyatmoko, M.Sc

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Konservasi Biodiversitas Tropika

Dr. Ir. A. Machmud Thohari, DEA Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr


(9)

atas rahmat dan karuniaNya karya tulis ilmiah sebagai tugas akhir dalam rangka program magister sains ini telah selesai dikerjakan. Penelitian dengan judul Konservasi Ex situ Tumbuhan Obat di Kebun Raya Bogor, telah dilaksanakan selama 4 bulan yaitu dari bulan September hingga Desember 2010 di Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Kepala Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor Ir. Mustaid Siregar MSi yang telah berkenan memberikan izin belajar kepada penulis. Selanjutnya terima kasih terutama ditujukan untuk Prof.Dr.Ir. Ervizal A.M. Zuhud MS dan Dr. Didik Widyatmoko M.Sc selaku pembimbing serta para dosen di program studi Konservasi Biodiversitas Tropika dimana penulis menimba ilmu. Penghargaan dan terima kasih selayaknya penulis sampaikan kepada para peneliti di Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor dan para pengamat/pengawas koleksi tumbuhan KRB yang telah bersedia membantu proses kelancaran penelitian. Demikian pula apresiasi penulis sampaikan kepada rekan peneliti dari Pusat Penelitian Biologi-LIPI, Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik- Departemen Pertanian, Pusat

Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman-Badan Penelitian dan

Pengembangan Kehutanan,Departemen Kehutanan, Taman Sringanis, Wana Tani, Karya Sari, serta beberapa pihak baik secara individu maupun kelembagaan yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Ungkapan terima kasih tak lupa saya sampaikan kepada rekan-rekan sivitas KVT 2009/2010, KVT 2010/2011 dan MEJ 2009/2010 atas dukungannya serta para staf program pascasarjana di DKSHE yang telah membantu kelancaran proses ajar dan penyusunan tesis.

Selanjutnya tidak terlupakan terima kasih kepada keluarga terutama teh Titi Juhaeti, dan istri Siti Rohani serta anak-anak tercinta Syarifah Nesya Agniasari dan Sania Fadhila Rosya yang telah mendukung, membantu dan mendampingi penulis sepenuh hati hingga terselesaikannya tugas akhir ini.

Bogor, Juni 2011 Syamsul Hidayat


(10)

dan ibu R Neneng Dahlia. Penulis adalah putra ke lima dari delapan bersaudara. Tahun 1987 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Bogor dan mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor melalui jalur undangan khusus. Penulis memilih Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan.

Setelah lulus dari IPB sebagai sarjana kehutanan pada tahun 1992, penulis sempat bekerja sebagai konsultan kehutanan untuk melakukan Amdal di bidang vegetasi. Pada tahun 1993 penulis diterima sebagai PNS di Kebun Raya Bogor, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Sejak saat itu hingga sekarang penulis bekerja sebagai peneliti bidang Ekologi dan Konservasi tumbuhan khususnya menangani tumbuhan obat.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ………..xii

DAFTAR GAMBAR ………..xiii

DAFTAR LAMPIRAN ………..xiv

DAFTAR SINGKATAN ………..xv

1 PENDAHULUAN ………..1

1.1 Latar Belakang ……….……….1

1.2 Perumusan Masalah ………..4

1.3 Tujuan Penelitian ………..6

1.4 Manfaat Penelitian ………..6

2 TINJAUAN PUSTAKA ………..7

2.1 Kebun Raya Bogor ………. 7

2.2 Tumbuhan Obat ………..9

2.3 Kriteria Kelangkaan dan Prioritas Konservasi ………11

2.4 Pengertian Konservasi ………14

2.5 Masyarakat Terkait Tumbuhan Obat ………15

2.5.1 Masyarakat umum ………16

2.5.2 Masyarakat industri obat/jamu ………16

2.5.3 Masyarakat praktisi obat tradisional ………17

2.5.4 Masyarakat peneliti ………17

3 METODOLOGI ………19

3.1Kerangka Pemikiran ………19

3.2Metode ………24

3.2.1 Lokasi dan waktu penelitian ………24

3.2.2 Alat dan bahan ………24

3.2.3 Metode pengumpulan data ………25

3.2.4 Pengolahan data ………28

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ………31


(12)

4.1.1 Jumlah koleksi tumbuhan obat ………... 31

4.1.2 Potensi dan prospek pemanfaatan ………33

4.1.3 Kelangkaan koleksi tumbuhan obat ………38

4.2 Kegiatan dan Harapan KRB ………40

4.3 Harapan Masyarakat ………43

4.3.1 Masyarakat umum ………44

4.3.2 Masyarakat industri obat tradisional ………51

4.3.3 Masyarakat praktisi obat tradisional ………54

4.3.4 Masyarakat peneliti ………59

4.4 Rancangan Program Konservasi ………62

4.4.1 Spesies prioritas ………62

4.4.2 Aksi prioritas ………67

5 SIMPULAN DAN SARAN ………75

5.1Simpulan ………75

5.2 Saran ………76

DAFTAR PUSTAKA ………77


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Jumlah spesies tumbuhan obat berdasarkan familinya di KRB ……31

2. Sepuluh spesies koleksi tumbuhan obat tertua di KRB ………35

3. Jumlah spesies koleksi tumbuhan obat yang langka ………38

4. Kegiatan KRB yang berkaitan dengan konservasi tumbuhan obat ……41

5. Harapan pegawai KRB dan masyarakat terhadap aktivitas konservasi tumbuhan obat ………43

6. Kelompok masyarakat dan tujuan mengunjungi tumbuhan koleksi KRB ………44

7. Skor yang sesuai untuk setiap komponen konservasi tumbuhan Obat ………45

8. Karakteristik pengunjung yang paling sesuai terhadap konservasi tumbuhan obat di KRB ………46

9. Harapan masyarakat umum ………47

10. Harapan masyarakat industri obat tradisional ………51

11. Harapan masyarakat praktisi obat tradisional ………55

12. Harapan masyarakat peneliti ………59

13. Sembilan spesies prioritas dengan kategori A ………63

14. Hasil sintesis spesies prioritas alternatif untuk aksi konservasi di KRB ………66

15. Rancangan kebijakan dan aksi konservasi tumbuhan obat di KRB untuk masyarakat umum ………70

16. Rancangan kebijakan dan aksi konservasi tumbuhan obat di KRB untuk masyarakat industri obat tradisional ………... 71

17. Rancangan kebijakan dan aksi konservasi tumbuhan obat di KRB untuk masyarakat praktisi ………72

18. Rancangan kebijakan dan aksi konservasi tumbuhan obat di KRB untuk masyarakat peneliti ………73


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Diagram alir “tri-stimulus amar konservasi”: stimulus, sikap dan

perilaku aksi konservasi ………23

2. Konsep skematik solusi konservasi tumbuhan obat berdasarkan harapan masyarakat dan tupoksi KRB ………24 3.

4. Jumlah koleksi KRB berpotensi obat ………33

Hirarki pembandingan berpasangan untuk spesies prioritas ………29

5. Asal koleksi tumbuhan berpotensi obat di KRB ………35 6. Sepuluh jenis penyakit tertinggi dalam penggunaan spesies di KRB ……36 7. Bagian-bagian tumbuhan yang digunakan sebagai obat ………38 8. Diagram Venn irisan kegiatan KRB dengan kegiatan yang diharapkan

masyarakat ………42

9. Irisan antara harapan masyarakat umum dengan aktivitas KRB ……47 10. Harapan masyarakat umum, fungsi KRB dan stimulus alamiah ……48 11. Harapan masyarakat umum, fungsi KRB dan stimulus manfaat ……49 12. Harapan masyarakat umum, fungsi KRB dan stimulus rela-religius ……50 13. Irisan antara harapan masyarakat IOT dengan aktivitas KRB ……51 14. Harapan masyarakat industri, fungsi KRB dan stimulus alamiah ……52 15. Harapan masyarakat industri, fungsi KRB dan stimulus manfaat ……53 16. Harapan masyarakat industri, fungsi KRB dan stimulus rela-religius …..54 17. Irisan antara harapan masyarakat praktisi dengan aktivitas KRB ……55 18. Harapan masyarakat praktisi, fungsi KRB dan stimulus alamiah ……56 19. Harapan masyarakat praktisi, fungsi KRB dan stimulus manfaat ……57 20. Harapan masyarakat praktisi, fungsi KRB dan stimulus rela-religius …..58 21. Irisan antara harapan masyarakat peneliti dengan aktivitas KRB ……59 22. Harapan masyarakat peneliti, fungsi KRB dan stimulus alamiah ……60 23. Harapan masyarakat peneliti, fungsi KRB dan stimulus manfaat ……61 24. Harapan masyarakat peneliti, fungsi KRB dan stimulus rela-religius …..62


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Koleksi tumbuhan KRB yang diketahui berpotensi obat ………85 2. Daftar tumbuhan obat di KRB yang perlu perhatian dan kategori

kelangkaannya menurut berbagai versi lembaga ………..126 3. Beberapa contoh spesies liar di KRB yang berpotensi obat …………..128 4. Kuisioner kepada para praktisi dan peneliti tumbuhan obat berupa

pertanyaan terbuka dan lembar uji penentuan spesies prioritas ...129 5. Contoh jawaban kuisioner yang telah diisi responden peneliti …..135 6. Hasil skoring penentuan prioritas untuk konservasi tumbuhan obat …..136 7. Lembar kuisioner kepada masyarakat umum ...138 8. Contoh jawaban kuisioner oleh seorang responden ...141 9. Karakteristik pengunjung KRB yang menguntungkan terhadap

komponen perlindungan (save) tumbuhan obat ……….….144 10. Karakterisitik pengunjung KRB yang menguntungkan terhadap

komponen pengawetan (study) tumbuhan obat ………..…145 11. Karakteristik pengunjung KRB yang menguntungkan terhadap

komponen pemanfaatan (use) tumbuhan obat ………..146 12. Karakteristik pengunjung KRB yang menguntungkan terhadap

komponen harapan konservasi tumbuhan obat ………..147 13. Tingkat kerelaan berkorban pengunjung terhadap konservasi tumbuhan

obat ………..148


(16)

DAFTAR SINGKATAN

Balittro : Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik AHP : Analytic Hierarchy Process

Bappenas : Badan Perencanaan Pembangunan Nasional BGCI : Botanic Gardens Conservation International BPTO : Balai Penelitian Tanaman Obat

CBD : Convention on Biological Diversity

CITES : The Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora

COP : Conference of The Parties CR : Critically Endangered DIKNAS : Pendidikan Nasional

DD : Data Deficient

EN : Endangered

EW : Extinct in The Wild

GACP : Good Agricultural and Collection Practices

EX : Extinct

GSPC : Global Strategy for Plant Conservation

IABGC : International Agenda for Botanic Gardens Conservation IBSAP : Indonesia Biodiversity Strategy and Action Plan

IKOT : Industri Kecil Obat Tradisional IOT : Industri Obat Tradisional IPB : Institut Pertanian Bogor

IUCN : The International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources

KLH : Kementerian Lingkungan Hidup LIPI : Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

LC : Least Concern

LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat

NE : Not Evaluated

PAUD : Pendidikan Anak Usia Dini

NT : Near Threatened

PKT KRB : Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor POM : Pengawasan Obat dan Makanan

Renstra : Rencana Strategis

RPJM : Rencana Pembangunan Jangka Menengah SOP : Standard Operational Procedur

TOGA : Tanaman Obat Keluarga

WCMC : World Conservation Monitoring Centre

VU : Vulnerable

WHO : World Health Organization WWF : World Wide Fund for Nature


(17)

1.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kebun Raya Bogor (KRB) memiliki keterikatan sejarah yang kuat dalam pelestarian tumbuhan obat. Pendiri KRB yaitu Prof. Caspar George Carl Reinwardt merintis kebun ini dengan menyelidiki berbagai tumbuhan yang digunakan dalam pengobatan. Tumbuhan ini kemudian dikumpulkan dalam sebuah kebun botani yang disebut Buitenzorg. Beberapa kebun raya tua di dunia, awalnya berdiri sebagai upaya dari pelestarian tumbuhan obat. Waylen (2006) menyebut beberapa contoh kebun raya tua yang dimaksud, yaitu Kebun Raya Padua (1545), Kebun Raya Chelsea (1673) dan Kebun Raya Kew (1847). Kebun Raya Padua awalnya merupakan area budidaya herba obat dan sebagai tempat belajar siswa dalam membedakan dan menggunakan herba obat secara benar. Kebun Raya Chelsea oleh para apoteker dijadikan tempat untuk melatih identifikasi tumbuhan dan budidaya tumbuhan eksotik untuk obat. Kebun Raya Kew oleh direktur pertamanya tidak hanya diperuntukkan bagi para ilmuwan botani tetapi juga digunakan sebagai tempat pelayanan bagi para pedagang obat dan bahan kimia.

Tumbuhan obat merupakan sumber daya alam yang sangat berkaitan erat dengan aspek kesehatan dan kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia sejak dahulu. Sejumlah spesies tumbuhan yang berguna dan berkembang di masyarakat Indonesia saat ini berasal dari hasil introduksi tanaman dari luar negeri melalui KRB. Kelapa sawit adalah salah satu komoditi pertanian dan sumber bahan obat alami yang diintroduksi pada tahun 1848 dari Afrika Barat ke Indonesia melalui KRB dan akhirnya menjadi induk kelapa sawit di Asia Tenggara. Tanaman introduksi lainnya yang tercatat antara lain adalah teh, kayu manis, karet, coklat dan bahkan kina yang merupakan bahan utama alami untuk pengobatan malaria memiliki sejarah yang kuat dengan perkembangan KRB. Beberapa spesies tumbuhan obat ini telah berhasil menyebar di berbagai daerah di Indonesia sebagai hasil pengembangan dan penelitian yang dilakukan kebun raya saat itu. Sampai tahun 2001 Laboratorium Konservasi Tumbuhan, Fakultas Kehutanan IPB, telah mendata berbagai laporan penelitian dan literatur tentang tumbuhan


(18)

obat (sekitar 2039 spesies) yang berasal dari hutan Indonesia (Zuhud 2009). Sementara itu Tilaar (2004) menyatakan bahwa lebih dari 8000 spesies merupakan tanaman yang mempunyai khasiat obat dan baru sekitar 800-1200 spesies yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat untuk obat tradisional atau jamu. Data dari IBEC (Indonesian Bio-pharmaceutical Exhibition and Congress) yang disampaikan di Keraton Yogyakarta pada 18 Juli 2004 menunjukkan terdapat 7000 spesies tumbuhan obat di Indonesia, namun baru 465 spesies yang terjaring dalam daftar industri obat tradisional. Terlepas dari data yang beragam saat ini, beberapa spesies tumbuhan obat dikabarkan telah termasuk dalam kategori langka. Dokumen IBSAP (Bappenas 2003) dalam lampirannya menyebutkan 44 spesies tumbuhan obat Indonesia yang dikategorikan langka.

Pelestarian keanekaragaman hayati secara ex situ merupakan hal penting dalam strategi konservasi keanekaragaman hayati sebagaimana dicanangkan dalam Agenda 21 Indonesia (KLH 1997). Dalam Agenda 21 disebutkan bahwa ‘upaya pelestarian harus disertai dengan pemeliharaan sistem pengetahuan tradisional dan pengembangan sistem pemanfaatan keanekaragaman hayati yang dilandasi oleh pembagian keuntungan yang adil’. KRB sebagai lembaga konservasi ex-situ tumbuhan tentu memiliki tanggung jawab moral dalam pelaksanaan pelestarian spesies tumbuhan obat asli Indonesia yang banyak terkait dengan sistem pengetahuan tradisional yang telah mengalami proses kelangkaan. Berdasarkan Renstranya (Sari et al. 2005), terdapat 4 misi penting KRB, dua di antaranya sangat terkait dengan pemanfaatan keanekaragaman hayati, yaitu (1) pendayagunaan tumbuhan tropika dan (2) peningkatan apresiasi masyarakat terhadap tumbuhan dan lingkungan. Dua misi konservasi yang mengarah kepada pemanfaatan sumberdaya tumbuhan secara berkelanjutan ini realisasinya masih jauh dari harapan. Pendayagunaan tumbuhan tropika seperti halnya kelapa sawit dan kina pada masa awal perkembangan KRB belum lagi terulang. Sementara misi lainnya yaitu pelestarian tumbuhan tropika dalam pelaksanaannya masih terfokus dalam bentuk kebun koleksi.

Terkoleksinya spesies tumbuhan obat serta terdokumentasinya pengetahuan-pengetahuan tradisional dari berbagai daerah di Nusantara merupakan upaya penting bagi terciptanya kelestarian spesies tumbuhan obat Indonesia. Hal ini


(19)

tentu sejalan dengan Target 8 dan 9 GSPC (CBD 2002) di mana 60% spesies terancam kepunahan dapat dikoleksi secara ex situ dan 70% dari keragaman tumbuhan pangan yang bernilai ekonomi dapat dikonservasi dan yang berhubungan dengan pengetahuan lokal dapat dipertahankan. Target 8 GSPC bahkan telah direvisi dalam COP 10 CBD 2010 di mana persentase tumbuhan terancam kepunahan yang harus dikoleksikan menjadi 75% (Sharrock and Oldfield 2011). Menurut Jackson dan Sutherland (2000), tumbuhan obat termasuk kelompok spesies yang bernilai penting bagi sosial ekonomi masyarakat lokal dan bersama dengan spesies pangan termasuk dalam prioritas program International Agenda for Botanic Gardens in Conservation (IABGC). Dalam hal ini taman koleksi tumbuhan obat dapat dikembangkan oleh kebun raya sebagai taman penting untuk pameran dan pendidikan yang bernilai penting ekonomi dan konservasi bagi masyarakat (Leadlay and Greene 1998).

KRB saat ini memiliki koleksi 3411 spesies, dari 1259 genera dan 215 famili tumbuhan, di antaranya adalah spesies tumbuhan obat. Koleksi yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia dan belahan dunia ini memiliki habitus yang sangat beragam, mulai dari tumbuhan merambat, herba, perdu sampai pohon-pohon berkayu berukuran besar. Semua spesies koleksi tercatat dengan baik, termasuk aspek taksonomi dan ekologinya di Bagian Registrasi, namun saat ini belum tersedia data yang komprehensif mengenai kegunaannya sebagai obat dari masing-masing spesies koleksi tersebut serta kategori kelangkaannya.

Akurasi data mengenai keberadaan tumbuhan obat dan kategori kelangkaannya di suatu lembaga sangat mendukung upaya konservasi secara berkelanjutan (Langpap 2005). Untuk itu dalam rangka meningkatkan kualitas informasi tentang koleksi, khususnya koleksi tumbuhan berpotensi obat, perlu diadakan pendataan secara detail mengenai jumlah koleksi tumbuhan berpotensi obat dan berbagai aspek konservasinya. Hal ini sangat penting sebagai dasar ilmiah bagi pengembangan program konservasi di KRB pada masa yang akan datang, yang tidak hanya bertitik tolak dari kepentingan pengelola tetapi juga berorientasi kepada kebutuhan masyarakat.


(20)

1.2. Perumusan Masalah

Kebun raya didefinisikan sebagai lembaga yang memiliki koleksi tanaman hidup yang terdokumentasi untuk keperluan penelitian, konservasi, pameran dan pendidikan. Karakteristik suatu kebun raya antara lain dicirikan dengan adanya (1) label yang memadai pada tanaman koleksi, (2) informasi ilmiah untuk koleksi, (3) dokumentasi koleksi yang baik, (4) komunikasi dan informasi dengan kebun raya lain, (5) pertukaran biji atau material dengan kebun raya lain, (6) komitmen dan tanggung jawab untuk memelihara koleksinya, (7) monitoring tanaman koleksinya, (8) promosi konservasi melalui pendidikan lingkungan, (9) penelitian terhadap tanaman koleksinya serta (10) terbuka untuk umum (Jackson and Sutherland 2000). Selanjutnya Ballantyne et al. (2007) menyatakan bahwa kebun raya adalah tempat yang paling berpotensi untuk kegiatan pendidikan masyarakat dan untuk memotivasi sikap pro konservasi serta merangsang publik untuk melakukan upaya-upaya konservasi.

Ironisnya, kebun raya dalam pengertian umum sering diartikan sebagai kebun kumpulan pepohonan yang ditata rapih, indah dan nyaman untuk rekreasi. Kemudian kebun raya menjadi kawasan tujuan wisata yang mendatangkan penghasilan. Pemahaman ini begitu kuat melekat di masyarakat kita hingga fungsi utamanya sebagai kawasan konservasi, lahan penelitian biologi, sarana pendidikan lingkungan sekaligus sebagai museum hidup sering terlupakan (Darnaedi 2001). Demikian yang terjadi saat ini, padahal kebun raya memiliki sejarah panjang dan peranan besar dalam kegiatan eksplorasi dan dokumentasi keragaman spesies tumbuhan termasuk di dalamnya pengembangan ilmu pengetahuan sistematika, hortikultura, dan saat ini bidang filogenetika molekular (Crane et al. 2009).

Salah satu aset penting kebun raya adalah tumbuhan obat. Sejak zaman kebangkitan di Eropa, beberapa kebun raya di universitas-universitas dunia telah melakukan dan memperlakukan tanaman koleksinya sebagai sesuatu yang bernilai secara medis dan farmasi kepada para mahasiswa di bidang kedokteran. Untuk tujuan ini, spesimen tumbuhan yang dikoleksi dari alam baik oleh para botanis maupun oleh para pengusaha pengembang tanaman, telah dikirim ke kebun raya, pada umumnya berupa biji dan dikembangbiakkan di kebun raya (Müller and Wille 2001). Sejak itu, kegiatan dan penelitian kebun raya diarahkan kepada


(21)

berbagai kepentingan dasar manusia seperti pengobatan berdasarkan tumbuh-tumbuhan yang penting. (Donaldson 2009). Dalam perkembangannya pengetahuan tumbuhan obat saat ini di beberapa kebun raya seringkali diabaikan (Crane et al. 2009), padahal secara historis tumbuhan obat adalah bagian penting dari suatu kebun raya (Shan-an and Zhong-ming 1991).

Konservasi tumbuhan obat Indonesia adalah suatu hal yang tidak bisa ditunda lagi. Sebagai lembaga konservasi ex situ, KRB berkewajiban melestarikan dan mengembangkan koleksi tumbuhan obatnya. Kompetensi KRB dalam konservasi tumbuhan secara umum adalah menyiapkan bahan perumusan kebijakan tentang konservasi ex situ tumbuhan tropika, pengembangan kawasan konservasi ex situ dan model konservasi tumbuhan langka, pelaksanaan penelitian konservasi dan pendayagunan tumbuhan, reintroduksi dan pemulihan jenis-jenis tumbuhan tropika, serta pengembangan pendidikan lingkungan (LIPI 2002). Agar kompetensi ini dapat terlaksana dengan baik, maka mutlak dibutuhkan data dasar yang memadai. Dalam hal ini data dasar seperti jumlah koleksi tumbuhan obat yang dimiliki, informasi khasiat dan bagian tumbuhan yang digunakan dari koleksi tersebut, serta aspek-aspek konservasi koleksi tumbuhan obat bersangkutan seharusnya tersedia dengan baik.

Tumbuhan obat tidak sekedar menjadi koleksi yang dilindungi tetapi seharusnya memberikan manfaat nyata bagi masyarakat. Apa yang diharapkan masyarakat terhadap KRB tentunya perlu dijadikan dasar dalam menentukan program dan kebijakannya dalam pelestarian tumbuhan obat. Belum terwujudnya tujuan konservasi tumbuhan obat di KRB secara kongkrit diduga dikarenakan belum sejalannya antara program kegiatan KRB dengan harapan masyarakat. Pendayagunaan koleksi terutama koleksi tumbuhan obat belum optimal dikarenakan KRB belum memiliki data secara lengkap dan akurat, terutama mengenai kepastian bahwa suatu koleksi merupakan tumbuhan obat dan bagaimana kategori kelangkaannya, serta belum menentukan prioritas spesies tumbuhan obat yang dapat menuntun aksi konservasinya ke arah yang lebih efektif dan komprehensif sesuai dengan kompetensi KRB dan harapan masyarakat.


(22)

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan:

1. Mengkaji kondisi terkini koleksi spesies tumbuhan obat di KRB, pemanfaatan, kategori kelangkaan, dan spesies prioritasnya.

2. Menggali harapan masyarakat terhadap peran KRB dalam konservasi ex situ tumbuhan obat.

3. Mengkaji apakah program konservasi tumbuhan obat di KRB sudah sesuai dengan harapan masyarakat dalam rangka penyusunan aksi konservasi pada masa yang akan datang.

1.4. Manfaat Penelitian

Keakuratan data dan informasi ilmiah mengenai potensi koleksi tumbuhan obat yang dimiliki KRB sangat bermanfaat bagi KRB dan masyarakat luas. Rancangan aksi konservasi tumbuhan obat yang sudah disusun dapat dijadikan rujukan bagi tindakan konservasi tumbuhan obat di KRB maupun di lembaga konservasi lainnya pada masa yang akan datang. Rancangan aksi ini juga dapat diadopsi untuk kelompok tumbuhan lainnya.


(23)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kebun Raya Bogor

KRB pada mulanya merupakan bagian dari 'samida' (hutan buatan atau taman buatan) yang paling tidak telah ada pada pemerintaha dalam kelestarian lingkungan sebagai tempat memelihara benih-benih kayu yang langka. Oleh karenanya sejak Reinwardt tiba di Indonesia pada tahun 1816 dia melihat setidaknya terdapat satu instansi botani yang sebenarnya sudah berjalan yang berkedudukan di Bogor (Goss 2004).

Goss (2004) menerangkan ketika Hasskarl datang ke Bogor tahun 1817 dia melihat kebun sebagai taman yang cantik namun tidak ada sentuhan sains. Sejak itu Hasskarl mentransformasi kebun raya dari taman kantor gubernur jenderal menjadi instansi yang didedikasikan untuk menginterpretasikan alam daerah kolonisasi dan sebagai pusat pengetahuan alam. Reinwardt mendapatkan wewenang untuk mengurus sains dan pertanian di daerah koloni Belanda ini untuk segera menjawab tugasnya antara lain mengumpulkan informasi tentang flora yang memiliki manfaat ekonomi. Sejak awal abad 20 instansi biologi pemerintahan kolonial Belanda diidentikkan dengan KRB.

KRB saat ini merupakan suatu kawasan konservasi ex situ yang mengoleksi berbagai spesies tumbuhan yang ditata dalam tatanan arsitektur lanskap. Tumbuhan koleksinya diutamakan berasal dari Indonesia, yang dimanfaatkan sebagai tempat penelitian, pendidikan lingkungan dan rekreasi. Koleksi KRB dicatat di Bagian Registrasi agar menjadi jelas asal usul tumbuhan tersebut (Yuzammi et al. 2006).

Secara umum masyarakat mengenal kebun raya sebagai tempat rekreasi alam, namun sebenarnya fungsi kebun raya bukan sekedar tempat rekreasi. Ruang lingkup tugas dan fungsi Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor (PKT-KRB), LIPI diuraikan dengan jelas dalam Keputusan Presiden RI Nomor 103 tahun 2001 serta Keputusan Ketua LIPI Nomor 1151/M/2001 (LIPI 2002). Adapun tugas KRB diuraikan sebagai berikut:


(24)

Melaksanakan penyiapan bahan perumusan kebijakan, penyusunan pedoman, pemberian bimbingan teknis, penyusunan rencana dan program, pelaksanaan penelitian bidang konservasi ex situ tumbuhan tropika serta evaluasi dan penyusunan laporan.

Sedangkan fungsi PKT-KRB adalah:

1. Penyiapan bahan perumusan kebijakan bidang konservasi ex situ tumbuhan tropika.

2. Penyusunan pedoman, pembinaan, dan pemberian bimbingan teknis penelitian bidang konservasi ex situ tumbuhan tropika.

3. Penyusunan rencana dan program pelaksanaan penelitian bidang konservasi

ex situ tumbuhan tropika.

4. Pemantauan pemanfaatan hasil penelitian bidang konservasi ex situ tumbuhan tropika.

5. Pelayanan jasa ilmu pengetahuan dan teknologi bidang konservasi ex situ

tumbuhan tropika.

6. Evaluasi dan penyusunan laporan penelitian bidang konservasi ex situ.

7. Pelaksanaan urusan tata usaha.

Sementara itu secara global misi kebun raya di dunia sebenarnya adalah (International Agenda Botanic Gardens in Conservation):

1. Mencegah kehilangan spesies dan keanekaragaman genetik tumbuhan. 2. Mencegah degradasi lingkungan alam.

3. Meningkatkan pemahaman masyarakat akan nilai penting tumbuhan dan ancaman yang dihadapinya.

4. Meningkatkan manfaat alam lingkungan.

5. Mempromosikan dan menjamin pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan.

Dari tugas dan fungsi serta misi secara global di atas maka dapat disimpulkan pada hakekatnya terdapat 4 fungsi utama dari suatu kebun raya, yaitu:

1. Fungsi konservasi, yaitu melestarikan representasi keanekaragaman tumbuhan secara ex situ untuk menjadi back up yang penting dan sumber pemulihan jenis-jenis tumbuhan terancam kepunahan serta lahan-lahan terdegradasi.


(25)

2. Fungsi penelitian, yaitu melaksanakan dan memfasilitasi berbagai kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang botani, konservasi, hortikultura dan pemanfaatan tumbuhan.

3. Fungsi pendidikan, yaitu menyajikan informasi yang jelas dan memberikan kemudahan bagi pengunjung untuk meningkatkan pengetahuan di bidang botani, konservasi, lingkungan, budidaya dan pemanfaatan tumbuhan, serta mampu merangsang tumbuh-kembangkan kesadaran, kepedulian, tanggungjawab dan komitmen masyarakat terhadap pelestarian sumberdaya hayati.

4. Fungsi rekreasi, yaitu mampu menciptakan suasana yang nyaman, aman, menyegarkan dan inspiratif untuk mendukung kehidupan sosial kemasyarakatan yang lebih baik.

2.2. Tumbuhan Obat

Sepanjang sejarah kehidupan manusia, tumbuhan obat merupakan kebutuhan utama di alam sehingga sangat dekat hubungan antara manusia dengan pengembangan botani dan pengetahuan tumbuhan obat (Shan-an and Zhong-ming 1991). Tumbuhan obat telah berabad-abad didayagunakan oleh bangsa Indonesia dalam bentuk jamu untuk memecahkan berbagai masalah kesehatan yang dihadapinya dan merupakan kekayaan budaya bangsa Indonesia yang perlu dipelihara dan dilestarikan. Pengetahuan tentang obat tumbuh-tumbuhan asli Indonesia dan cara pemakaiannya diperoleh hanya dengan melihat dan mendengar belaka dari orang tuanya. Sementara di luar negeri pengobatan dengan tumbuh-tumbuhan itu oleh beberapa pihak dianjurkan secara kuat dan meyakinkan (Sastroamidjojo 1997).

Tumbuhan obat didefinisikan sebagai jenis tanaman yang sebagian, seluruh tanaman dan atau eksudat tanaman tersebut digunakan sebagai obat, bahan, atau ramuan obat-obatan. Ahli lain mengelompokkan tumbuhan berkhasiat obat menjadi tiga kelompok (Siswanto 2004), yaitu:

1. Tumbuhan obat tradisional merupakan spesies tumbuhan yang diketahui atau dipercayai masyarakat memiliki khasiat obat dan telah digunakan sebagai bahan baku obat tradisional.


(26)

Pengertian obat tradisional berdasarkan UU RI No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan pasal 1 menyebutkan bahwa: Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan galenik atau campuran dan bahan-bahan tersebut, yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman.

2. Tumbuhan obat modern merupakan spesies tumbuhan yang secara ilmiah telah dibuktikan mengandung senyawa atau bahan bioaktif yang berkhasiat obat dan penggunaannya dapat dipertanggungjawabkan secara medis.

3. Tumbuhan obat potensial merupakan spesies tumbuhan yang diduga mengandung atau memiliki senyawa atau bahan bioaktif berkhasiat obat tetapi belum dibuktikan penggunaannya secara ilmiah-medis sebagai bahan obat.

Sedangkan Departemen Kesehatan RI mendefinisikan tanaman obat Indonesia seperti yang tercantum dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan No.149/SK/Menkes/IV/1978, yaitu:

1. Tanaman atau bagian tanaman yang digunakan sebagai bahan obat tradisional atau jamu.

2. Tanaman atau bagian tanaman yang digunakan sebagai bahan pemula bahan baku obat (precursor).

3. Tanaman atau bagian tanaman yang diekstraksi dan ekstrak tanaman tersebut digunakan sebagai obat.

Selanjutnya berdasarkan keputusan Kepala Badan POM RI No. HK.00.05.4.2411 tentang ketentuan pokok pengelompokan dan penandaan obat bahan alam Indonesia, obat tradisional dikelompokkan menjadi tiga yaitu jamu, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka (Suharmiati dan Handayani 2006). Obat alami didefinisikan sebagai sediaan obat, baik berupa obat tradisional, fitofarmaka dan farmasetik, berupa simplisia (bahan segar atau yang dikeringkan), ekstrak, kelompok senyawa atau senyawa murni

Organisasi kesehatan dunia memperkirakan sekitar 400 juta orang di dunia percaya akan obat herbal dan 25% resep-resep pengobatan didasarkan pada bahan-bahan obat yang berasal dari tumbuhan (Rai et al. 2000). Sementara itu saat ini diperkirakan lebih dari 50.000 spesies tumbuhan tingkat tinggi di dunia digunakan untuk keperluan obat dan 15.000 spesies tumbuhan obat secara global


(27)

mengalami ancaman diakibatkan kehilangan habitat, pemanenan berlebihan untuk perdagangan, tekanan jenis-jenis invasif dan pencemaran (Hamilton 2008).

Peran tumbuhan obat menurut Schopp-Guth and Fremuth (2001) sangat penting dalam bidang biologi dan ekologi yaitu sebagai pondasi dimana tumbuhan obat memberikan akses keterlibatan masyarakat dalam konservasi di habitat alaminya. Dalam kata lain keterkaitan tumbuhan obat dengan manusia cukup besar dalam mengatur dan menentukan konservasi serta pemanfaatan tumbuhan secara berkelanjutan.

2.3. Kriteria Kelangkaan dan Prioritas Konservasi

IUCN telah mengatur kriteria yang tepat untuk mengevaluasi risiko kepunahan ribuan spesies dan subspesies. Tujuannya adalah untuk menyampaikan urgensi isu-isu konservasi kepada publik dan pembuat kebijakan, serta membantu komunitas internasional untuk mencoba mengurangi kepunahan spesies. (IUCN 2010).

1.

Berdasarkan kriteria IUCN tahun 2008 (IUCN 2010) spesies diklasifikasikan ke dalam sembilan kelompok, didasarkan pada tingkat penurunan dan ukuran populasi, wilayah distribusi geografis, dan derajat fragmentasi populasi. Sembilan kriteria tersebut adalah sebagai berikut:

2.

Punah (EX) - tidak ada individu yang tersisa.

3.

Punah di alam (EW) - dikenal hanya untuk bertahan hidup di penangkaran, atau sebagai populasi naturalisasi di luar jangkauan bersejarah.

4.

Kritis (CR) – resiko kepunahan ekstrim di alam liar dalam waktu dekat.

5.

Genting (EN) - risiko kepunahan sangat tinggi di alam liar.

6.

Rawan (VU) - risiko kepunahan tinggi di alam liar.

7.

Hampir terancam (NT) - kemungkinan menjadi langka dalam waktu dekat.

8.

Risiko rendah (LC) - tidak memenuhi syarat untuk kategori risiko punah. Taksa menyebar luas dan melimpah termasuk dalam kategori ini.

9.

Data belum mencukupi (DD) - tidak cukup data untuk membuat penilaian risiko kepunahan.


(28)

Berdasarkan kriteria kelangkaan tersebut di atas, Red list IUCN tumbuhan Indonesia tercatat 740 spesies di antaranya 204 termasuk kategori rawan, 70 genting, dan 112 kritis (IUCN 2010). Kelangkaan menurut versi Nature Serve Conservation (2010) meliputi ukuran populasi (untuk spesies), luas penguasaan daerah, luas penghunian, jumlah kemunculan (populasi yang berbeda), jumlah kemunculan atau persentase area dengan viabilitas yang baik, dan spesifisitas lingkungan.

Beberapa spesies tumbuhan obat dinyatakan langka serta terancam kepunahan. Di Indonesia, kegiatan eksploitasi hutan, konversi hutan dan pemanfaatan lahan hutan oleh masyarakat, serta pengambilan tumbuhan obat dengan tidak mempertimbangkan aspek kelestarian dapat dipandang sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi kelestarian dan penurunan populasi tumbuhan obat, sehingga secara tidak disadari kelangkaan spesies tumbuhan obat terus meningkat (Herlina 2010). Hasil penelitian Hidayat (2006) beberapa sebab kelangkaan tumbuhan obat di alam antara lain adalah:

Namun demikian untuk menetapkan prioritas konservasi tidak hanya didasarkan kepada kriteria kelangkaan tetapi juga faktor lainnya seperti ekonomi, politik, dan sosial (Risna et al. 2010).

1. Penebangan liar 2. Diversifikasi lahan 3. Pemanenan langsung

4. Pemakaian bagian tertentu tumbuhan secara berlebihan 5. Populasi hidup mengelompok

6. Pemanfaatan tumbuhan multiguna 7. Sedikit menghasilkan anakan 8. Struktur populasi tidak seimbang 9. Bencana alam

Meelis et al. (2004) menyatakan bahwa penyebab kelangkaan tumbuhan obat dapat diklasifikasikan dalam dua kategori, yaitu kelangkaan secara alami dan kelangkaan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia yang tidak sesuai dengan kaidah ekologi/lingkungan. Noerdjito dan Maryanto (2005) menyatakan bahwa penyebab utama kepunahan adalah perburuan dan perdagangan yang tidak


(29)

terkendali dari spesies langka serta kerusakan habitat yang diakibatkan oleh kegiatan manusia.

Ironisnya pengetahuan yang tersedia mengenai tumbuhan obat di lembaga-lembaga konservasi masih sangat kurang. Hal ini merupakan tantangan utama dalam prioritas kegiatan konservasi dan dalam rangka menjamin pemanfaatan tumbuhan yang berkelanjutan. Di antara berbagai permasalahan dalam penelitian, pendugaan keberadaan tumbuhan obat dan ancaman potensialnya butuh perhatian utama (Dhar et al. 2000). Menurut Hamilton (2008) kajian potensi dan pemanfaatan berkelanjutan tumbuhan obat saat ini merupakan kunci untuk pelestarian di seluruh habitatnya. Pernyataan ini mengantisipasi kenyataan banyak lembaga konservasi di dunia saat ini terfokus pada kegiatan yang berhubungan dengan sumberdaya genetika tumbuhan khususnya pada tumbuhan pangan dan tumbuhan obat liar, namun sangat kurang aplikasi pemanfaatannya (Meilleur and Hodgkin 2004). Dalam kaitan ini Kala (1999) memperkirakan dalam 50 tahun ke depan hampir 50% spesies tumbuhan tingkat tinggi di dunia akan mengalami kepunahan.

Diperlukan program pemulihan spesies terancam dan langka diakibatkan meningkatnya konsumsi terhadap sumberdaya seperti obat-obatan. Bahkan peningkatan perhatian kehilangan keanekaragaman hayati perlu menjadi trend dalam program pemulihan spesies (Kerkvlieta and Langpapc 2007). Pada dekade ini, dengan meningkatnya kepedulian terhadap resiko kepunahan dan kehilangan variasi genetika, pusat konservasi ex situ dan in situ, secara terwakili telah berkembang di belahan dunia dengan tujuan umum adalah menyelamatkan tumbuhan, keanekaragaman gen, dan membuatnya selalu tersedia dan siap untuk dimanfaatkan (Barazani et al. 2008). Sebagian besar tumbuhan (selain serealia dan kacang-kacangan) memiliki biji non ortodoks atau berbiak secara vegetatif, sehingga metode pelestarian yang sesuai adalah kebun koleksi (Leunufna 2007).

2.4. Pengertian Konservasi

Konservasi berasal dari kata Conservation yang terdiri atas kata con

(together) dan servare (keep/save) yang memiliki pengertian mengenai upaya memelihara apa yang kita punya (keep/save what you have) secara bijaksana


(30)

(wise use). Secara tertulis ide ini pertama kali dikemukakan oleh Theodore Roosevelt (1902) seorang Amerika. Sebenarnya jauh sebelum itu konservasi dalam pelaksanaannya telah dimulai di Asia. Raja Asoka (252 SM) di India mengumumkan bahwa perlu dilakukan perlindungan terhadap binatang liar, ikan dan hutan. Sedangkan di Inggris, Raja William I (1804 M) pada saat itu telah memerintahkan para pembantunya untuk mempersiapkan sebuah buku berjudul

Doomsday Book yang berisi inventarisasi dari sumber daya alam milik kerajaan yang digunakan sebagai dasar untuk membuat perencanaan rasional bagi pengelolaan dan pembangunan negaranya (Mackinnon 1993).

Dalam UU RI No 5 tahun 1990 Konservasi sumber daya alam hayati didefinisikan sebagai pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Menurut Bari dan Supriatna (1999), konservasi muncul karena adanya kekhawatiran terjadinya kepunahan. Konservasi ini diartikan oleh para ahli sebagai kebijaksanaan dan program jangka panjang untuk mempertahankan komunitas alami dalam kondisi yang memungkinkan berlangsungnya evolusi.

Konservasi tumbuhan mengandung pengertian manajemen penggunaan oleh manusia atas tumbuhan sedemikian rupa sehingga dapat menghasilkan keuntungan optimal yang berkelanjutan bagi generasi masa kini pada saat yang bersamaan harus memelihara potensi-potensinya untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi generasi mendatang. Konservasi tumbuhan tidak hanya bermakna perlindungan tumbuhan dari ancaman kepunahan, tetapi juga mengandung pengertian jaminan keberlanjutan pemanfaatannya bagi peningkatan kesejahteraan manusia sebagai modal dasar pembangunan (Basuki et al. 1999).

Pikiran yang salah tentang konservasi adalah anggapan bahwa masalah konservasi adalah masalah teknis/ilmiah semata. Pengalaman Indonesia dan negara-negara lain menunjukkan bahwa konservasi bukanlah semata-mata masalah teknis/ilmiah melainkan masalah yang kompleks meliputi masalah teknis, ilmiah, ekonomi, dan sosial (Suhirman 2001).

Ada dua metode utama untuk mengkonservasi biodiversitas, yaitu konservasi in situ (dalam habitat alaminya) dan konservasi ex situ (di luar habitat


(31)

alaminya). Menurut Zuhud et al. (dalam Herlina 2010) tujuan konservasi ex situ

adalah a) untuk diintroduksi kembali ke habitat aslinya, b) untuk kegiatan pemuliaan dan c) untuk tujuan penelitian dan pendidikan. Prioritas konservasi ex situ diberikan untuk spesies yang habitatnya telah rusak atau tidak dapat diamankan lagi. Konservasi ex situ juga harus digunakan untuk meningkatkan spesies lokal yang hampir punah menjadi tersedia kembali di alam.

Konservasi ex situ tidak selalu secara tegas dapat dipisahkan dari konservasi

in situ. Sebagai contoh adalah konservasi tumbuhan obat yang membutuhkan dua metode konservasi secara terpadu (integrated). Keterikatan secara khusus konservasi tumbuhan obat dengan sistem budaya, mata pencaharian dan perekonomian memberikan peranan penting dalam kehidupan manusia. Berjuta-juta orang di dunia telah menggunakan herbal obat, sementara berBerjuta-juta-Berjuta-juta orang lainnya telah mendapatkan penghasilan dari pemanenan secara alam maupun hasil budidaya tumbuhan obat, atau terlibat langsung dalam perdagangan dan proses-prosesnya. Tumbuhan obat secara signifikan telah menjadi lambang kemakmuran di beberapa sistem budaya, dan seringkali dijadikan sebagai sumber kekuatan. (Hamilton 2009).

2.5. Masyarakat Terkait Tumbuhan Obat

Penggunaan tumbuhan untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam bidang pengobatan adalah suatu seni yang sama tuanya dengan sejarah peradaban umat manusia (Waluyo 2009). Zuhud (2009) bahkan mengatakan ramuan jamu atau obat tradisional berkembang bukan atas landasan saintifik gaya ilmu farmasi barat, tetapi sepenuhnya atas dasar empiris yang teruji melalui trial dan error secara turun menurun. Pengetahuan masyarakat akan tumbuhan obat tertentu juga dapat ditelusuri dengan nama-nama yang dijadikan nama kampungnya. Di Kabupaten Bogor tidak kurang dari 20 kecamatan dan 100 desa memakai nama tumbuhan sebagai nama kampungnya, sebagian di antaranya adalah nama tumbuhan obat (Hidayat 2009).


(32)

2.5.1. Masyarakat umum

Meskipun bangsa Indonesia sejak dahulu kala hidup di tengah-tengah kekayaan sumber daya alam, akan tetapi sejarah juga mencatat bahwa kebanyakan tanaman perdagangan berasal dari negara lain. Seiring dengan kemajuan zaman dan toleransi masyarakat terhadap invasi kebudayaan luar menyebabkan secara perlahan banyak sekali spesies tumbuhan asing yang telah melebur dalam kehidupan sehari-hari (Waluyo 2009). Terlebih lagi potensi ekonomi cukup besar di sektor obat herbal ini. Pasar obat herbal Indonesia pada 2003 sebesar Rp 2,5 triliun, dan meningkat menjadi Rp 8 triliun-Rp 10 triliun pada 2010.

Pemanfaatan tumbuhan obat oleh masyarakat sebenarnya sudah lama seperti di berbagai daerah dengan tradisinya dan juga adanya TOGA, namun menurut Damayanti et al. (2009) dengan masuknya program kesehatan dari pemerintah yang berkiblat ke pengobatan modern, kemandirian masyarakat akan kesehatan masing-masing semakin menurun. Menurut Suharmiati dan Handayani (2006) program Toga sebenarnya lebih mengarah kepada self care untuk menjaga kesehatan anggota keluarga serta untuk menangani penyakit ringan. Meskipun pengobatan modern berkembang pesat, namun menurut Padua et al. (1999) tumbuhan obat masih merupakan hasil hutan non kayu yang bernilai penting dan menjadi prioritas serta isu konservasi di masyarakat.

2.5.2. Masyarakat industri obat/jamu

Pada awalnya tumbuhan obat hanya dikonsumsi langsung dalam bentuk segar, rebusan, atau racikan. Pada perkembangannya tumbuhan obat dikonsumsi lebih praktis dalam bentuk pil, kapsul, sirup, atau kaplet dan diproduksi dalam skala industri yang memiliki teknologi modern (Siswanto 2004). Industri jamu adalah industri yang memiliki bahan baku yang digunakan industri jamu 98% berasal dari dalam negeri dan sisanya saat ini sudah berhasil dibudidayakan. Industri jamu banyak memberi manfaat karena melibatkan ratusan ribu petani, melibatkan para peneliti di bidang pertanian, teknologi pangan, bioteknologi, farmakognosi, farmakologi, serta kimia.


(33)

Jumlah industri obat tradisional di Indonesia terus mengalami peningkatan. Pada tahun 1997 baru 449 industri yang terdiri dari 429 industri kecil obat tradisional (IKOT) dan 20 industri obat tradisional (IOT), sepuluh tahun kemudian tepatnya pada tahun 2008 telah menjadi 1166 industri terdiri dari 1037 IKOT dan 129 IOT (Balittro 2010). Dengan meningkatnya jumlah industri dan produksi obat tradisional secara langsung meningkatkan penggunaan bahan baku tumbuhan obat.

2.5.3. Masyarakat praktisi obat tradisional

Praktisi obat tradisional atau pengobat tradisional merupakan ujung tombak untuk masyarakat di sekitarnya yang sangat berpengaruh dalam menghadapi berbagai masalah kesehatan. Pengobat tradisional seperti tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 1076 2003 dikelompokkan menjadi empat yaitu (1) kelompok pengobat tradisional ramuan, (2) pengobat tradisional keterampilan, (3) pengobat tradisional supranatural, dan (4) pengobat tradisional berdasar pada kaidah agama (Pudjiastuti 2009).

Pengobat tradisional di Indonesia sering diidentikkan dengan dukun. Pada umumnya mereka berpendirian bahwa ilmu pengobatan yang suci ini sekali-kali tidak boleh diumumkan kepada khalayak ramai, sehingga belum pernah disiarkan karangan tentang pengetahuan mereka yang memenuhi syarat ilmiah (Sastroamidjojo 1997). Pada kenyataannya di Indonesia dukun memegang peran penting dalam penanganan kesehatan pertama di berbagai wilayah pedesaan (Padua et al. 1999).

2.5.4. Masyarakat peneliti

Selain pengobat tradisional secara formal saat ini sudah ada beberapa rumah sakit di Indonesia yang sudah menggunakan herbal sebagai pengobatan. Beberapa rumah sakit itu adalah RS Persahabatan Jakarta, Pusat Kanker Nasional Dharmais Jakarta, RS Sardjito Yogyakarta, RS Karyadi Semarang, RS Hasan Sadikin Bandung, RS Dr Sutomo Surabaya, RS Syaiful Anwar Malang, RSAL Mintohardjo Jakarta, RS Pirngadi Medan, RS Kandou Manado, RS Sanglah Bali, RS Holistic Tourism Hospital Purwakarta dan RS Wahidin Sudirohusodo


(34)

Makassar. Obat tradisional dari tumbuhan mulai mendapat perhatian yang layak dari dunia penelitian kedokteran sejak masuknya bala tentara Jepang ke Indonesia yang menyebabkan persediaan obat menipis (Sastroamidjojo 1997).

Penelitian tumbuhan obat telah berlangsung di Indonesia lebih dari 50 tahun. Penelitian ditekankan pada sample koleksi, inventarisasi, etnobotani, bioteknologi, agronomi, kandungan kimia, skrining farmakologi dan toksikologi, standardisasi produksi, formulasi dan konservasi (Padua et al. 1999).

Upaya pendekatan penyelamatan sumberdaya genetika tumbuhan melalui pola kolaboratif dan partisipatif merupakan alternatif untuk menjawab tantangan konservasi. Semua ini tentu saja didasarkan pada asumsi bahwa masyarakat memiliki kepentingan dan keterkaitan dengan sumberdaya alam di sekitarnya. Di sisi lain, masyarakat cenderung akan mau memberikan komitmen jangka panjang dalam upaya konservasi sumberdaya genetika tumbuhan di Indonesia. Komitmen itu tidak saja muncul tanpa adanya kepastian akses manfaat dan akses kepada proses pengambilan kebijakan dalam upaya penyelamatan tumbuhan pada tataran teknis/lapangan (Wirasena 2010). Peneliti dari berbagai disiplin ilmu sangat diperlukan untuk menjembatani upaya konservasi tumbuhan obat dengan komitmen masyarakat. Di samping penelitian botani, penelitian biokimia harus dilakukan untuk mengatasi potensi kegunaan tumbuhan. KRB dengan hasil eksplorasinya yang kaya dapat menyumbangkan material dengan identitas ilmiahnya serta lokasi dimana material tersebut berada (Suhirman 1999).


(35)

3. METODOLOGI

3.1. Kerangka Pemikiran

Tumbuhan obat adalah salah satu kekayaan koleksi KRB dan merupakan kekayaan alam yang dibutuhkan oleh masyarakat dari masa ke masa. Pemenuhan kebutuhan tumbuhan obat yang hanya bersandarkan keberadaannya di alam tanpa budidaya akan semakin sulit dan alam pun akan kehabisan stoknya. Hal ini terjadi di beberapa kawasan hutan seperti di Taman Nasional Ujung Kulon untuk kasus pule dan di Taman Nasional Meru Betiri untuk kasus kedawung (Hidayat 2006). Kekayaan dan keanekaragaman spesies tumbuhan obat yang dimiliki bangsa Indonesia ini ternyata belum memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan masyarakatnya (Waluyo 2009). Penanganan secara pasif (in situ) tumbuhan obat yang hidup di kawasan konservasi relatif memadai, akan tetapi bagi spesies tumbuhan obat liar yang hidup di luar wilayah sistem cagar alam secara teknis tidak terjamin keamanannya (Djumidi et al. 1999). Dalam hal ini Suhirman (1999) telah mengingatkan bahwa manusia tidak menyadari betapa pentingnya tumbuhan tidak hanya untuk kesejahteraan tetapi juga untuk kelangsungan hidup kita, mereka tidak peduli akan kepunahan spesies. Pelibatan berbagai pemangku kepentingan dalam mengkaji dan mengembangkan kebijakan, hukum, dan strategi akan mempengaruhi pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya tumbuhan obat (WHO-IUCN-WWF 2010).

Dalam rangka menuju pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang tumbuhan obat, maka diperlukan suatu strategi pengembangannya. Pengembangan tumbuhan obat di Indonesia perlu adanya dukungan penuh kebijakan pemerintah terutama adanya jaminan terselenggaranya penelitian yang berkelanjutan. Langkah-langkah yang harus ditempuh antara lain: inventarisasi dan karakterisasi keanekaragaman spesies tumbuhan obat, kerjasama antar lembaga penelitian, LSM, dan perusahaan farmasi serta lembaga penelitian independen lainnya, serta penentuan skala prioritas arah penelitian tumbuhan obat (Purwanto 2002). Dalam hal ini penentuan prioritas konservasi tumbuhan obat merupakan salah satu prioritas penelitian yang dinyatakan dalam draft Guidelines on The Conservation of Medicinal Plants.


(36)

Penyusunan strategi pengelolaan konservasi tumbuhan didorong oleh adanya masalah-masalah terkait dengan lingkungan hidup. Untuk dapat mengatasi masalah-masalah tersebut diperlukan sumberdaya manusia yang mampu mengelola sumberdaya alam secara bijaksana (Rideng 1999). Sumberdaya manusia secara mikro mencakup dua aspek yaitu aspek fisik (postur tubuh, kesehatan, daya tahan, dan sebagainya) dan aspek non fisik (kognitif, afektif dan psikomotor). Kedua aspek tersebut saling melengkapi sehingga merupakan kesatuan yang utuh. Kualitas kedua aspek tersebut perlu terus ditingkatkan melalui pendidikan.

Salah satu bentuk pengelolaan tumbuhan adalah koleksi secara ex situ. Koleksi ex situ menurut Lascurain et al. (2008) menyediakan bahan untuk penelitian, reintroduksi, pendidikan, dan peningkatan kepedulian masyarakat. Pelestarian ex situ tumbuhan obat sebenarnya secara langsung dapat bermanfaat bagi kehidupan manusia (Diwyanto 2002) dan dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain:

1. Penyimpanan dalam kamar-kamar bersuhu dingin. 2. Kebun koleksi.

3. Kebun plasma nutfah. 4. Kebun botani/kebun raya.

KRB sudah lama memiliki koleksi tumbuhan obat baik secara khusus maupun yang tersebar di pelosok kebun. Saat ini tumbuhan obat koleksi KRB baru berperan sebagai penghias dan pelengkap taman. Beberapa koleksi mengalami kematian dan kehilangan baik akibat alami, ulah manusia, maupun bencana alam (Hidayat et al. 2007). Sesuai kaidah konservasi terutama mengenai pemanfaatan yang berkelanjutan seharusnya koleksi tumbuhan obat KRB dapat dirasakan keberadaan dan manfaatnya oleh masyarakat umum. Di sisi lain sebagai lembaga konservasi flora ex situ skala nasional dan internasional, KRB sangat diharapkan kiprahnya untuk memenuhi Target 8 dan 9 GSPC (CBD 2002) dimana 60% spesies terancam dapat dikoleksi secara ex situ dan 70% dari keragaman tumbuhan pangan dan bernilai ekonomi dapat dikonservasi serta yang berhubungan dengan pengetahuan lokal dapat dipertahankan.


(37)

Secara historis tumbuhan obat adalah bagian penting dari kebun raya (Shan-an (Shan-and Zhong-ming 1991), Kebun raya memer(Shan-ank(Shan-an secara penuh dalam berbagai kegiatan mulai dari seleksi, analisis, pendugaan, budidaya, konservasi, dan perlindungan tumbuhan obat (Akerele 1991). Keberadaan kebun raya sebagai lembaga konservasi ex situ berperan sangat penting dalam perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan sumber daya alam seperti tumbuhan obat.

Suhirman (2001) menyatakan ada empat strategi yang perlu dikerjakan dalam bidang konservasi keanekaragaman tumbuhan:

1. Penggemblengan ahli konservasi menjadi kader konservasi. 2. Penentuan prioritas taksa yang akan dikonservasi.

3. Pendidikan konservasi bagi seluruh lapisan masyarakat. 4. Penegakan hukum.

Selain itu Suhirman (2001) juga menyatakan pentingnya penentuan ancaman terhadap tumbuhan tertentu, karena tanpa pengetahuan yang benar tentang faktor-faktor yang mengancam suatu spesies maka tidak mungkin kita dapat melaksanakan konservasinya secara seksama.

Pada dasarnya konservasi berkaitan erat dengan kebutuhan masyarakat. Konservasi sering dianggap hanya merupakan beban saja karena menghabiskan pikiran, dana yang besar, tenaga yang melelahkan dan berkepanjangan. Pandangan tersebut diduga bahwa upaya konservasi dilihat sebagai suatu kewajiban dimana tidak tampak adanya kegiatan yang diiringi oleh proses pemanfaatannya (Diwyanto 2002). Masyarakat di sekitar kebun botani melihat kebun dari kepentingan masing-masing, sehingga kalau kebun botani tidak memberi manfaat apapun kepada dirinya mereka tidak akan termotivasi untuk tidak merusak apalagi memeliharanya. (Ruslan & Sastrapradja 2008).

Di Indonesia pemanfaatan tumbuhan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terus dikembangkan, namun rendahnya pengetahuan dasar pemanfaatan sumberdaya genetika dari tumbuhan menyebabkan ketidakpedulian masyarakat dalam kegiatan konservasi tumbuhan (Basuki et al. 1999). Penyebab lain yang lebih mendasar adalah kurangnya informasi tentang konservasi tumbuhan kepada masyarakat. Tingkat mengetahui, memahami, dan mampu mengelola sesuai dengan etika konservasi hanya akan terlaksana melalui proses


(38)

pendidikan baik pendidikan formal maupun pendidikan non formal atau penyuluhan (Bari dan Supriatna 1999).

Menurut Bari dan Supriatna (1999) upaya pelestarian sumberdaya hayati tumbuhan harus ditingkatkan melalui pendidikan. Pendidikan konservasi seharusnya tidak hanya untuk masyarakat umum tetapi juga untuk para politikus dan pembuat kebijakan (Suhirman 1999). Etika pemanfaatan tumbuhan harus menjadi kesadaran dan langkah utama umat manusia dalam mengelola sumberdaya alam hayati. Konservasi adalah salah satu etika pilihan yang disadari dan akan menjamin kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lain. (Bari dan Supriatna 1999).

Hal yang penting menurut Amzu (2007) untuk dapat terwujudnya konservasi seperti apa yang diharapkan adalah prasyarat adanya kerelaan berkorban untuk konservasi. Kerelaan berkorban sebenarnya adalah suatu sikap yang timbul dikarenakan adanya nilai obyek yang memenuhi harapan. Nilai dapat memotivasi individu untuk melakukan suatu tindakan tertentu (Sumitomo 2004).

Azwar (2010) menjelaskan bahwa pengetahuan mengenai proses terbentuknya sikap individu dan kelompok akan sangat bermanfaat dalam penanganan masalah-masalah sosial. Penanganan itu antara lain dalam bentuk pemberian stimulus-stimulus tertentu untuk memperoleh efek perilaku yang diinginkan. Dalam kaitan konservasi tumbuhan obat Amzu (2007) mengajukan konsep tri-stimulus amar konservasi sebagai alat untuk mengimplementasikan pengelolaan kawasan konservasi (Gambar 1). Sukarnya tujuan konservasi terwujud memuaskan tidak lain penyebabnya adalah terjadi bias pemahaman dan pengalaman dalam masyarakat antar konteks nilai-nilai alamiah (Bio-ekologi dan kelangkaan) nilai-nilai manfaat (ekonomi) dan nilai-nilai rela-religius (agama, keikhlasan, moral dan sosial budidaya).

Nilai alamiah adalah nilai-nilai kebenaran di alam. Tumbuhan obat KRB memiliki catatan di Bagian Registrasi sehingga nilai kebenaran secara ilmiah dan historis adalah stimulus utama dalam pelestariannya. Sebagai tumbuhan yang ditanam di luar habitatnya tumbuhan obat koleksi KRB banyak mengalami kematian dan gangguan dalam pertumbuhannya. Beberapa spesies langka menjadi koleksi yang kritis bagi KRB sehingga memerlukan perhatian khusus.


(39)

Gambar 1 Diagram alir “tri-stimulus amar konservasi”: stimulus, sikap dan perilaku aksi konservasi (Amzu 2007).

Nilai manfaat berkaitan erat dengan pandangan praktis atau pragmatis, yang bahkan menjadi pegangan banyak orang, terutama apabila dikaitkan dengan kenyataan dan tujuan yang ingin dicapai baik pada tingkat individu, kelompok maupun masyarakat (Amzu 2007). Beragam bakteri, kapang, serta makhluk mikro lainya telah diketahui sebagai kekayaan tersembunyi di antara spesies koleksi tumbuhan obat. Beragam penyakit dapat diatasi tumbuhan obat mulai dari gangguan kulit hingga gangguan organ dalam manusia, ini merupakan nilai yang belum termanfaatkan dari koleksi tumbuhan obat KRB (Hidayat et al. 2006).

Nilai rela, moral dan spiritual bangsa Indonesia yang berkaitan dengan konservasi tumbuhan sebagai kearifan berbagai suku dan agama yang dianut bangsa Indonesia dapat disampaikan, yang secara umum ditekankan kepada sikap harmonis dengan Tuhan, terhadap sesama makhluk dan terhadap alam lingkungan (Bari dan Supriatna 1999). Kecintaan terhadap alam dan tumbuhan, kesenangan akan keindahan taman/tumbuhan, kesejukan, ketenangan, kenyamanan dan keamanan adalah beberapa contoh nilai yang dapat mendorong kerelaan masyarakat untuk konservasi. Menurut Amzu (2007) stimulus rela-religius sangat berpengaruh dan efektif mendorong terwujudnya sikap dan perilaku untuk aksi konservasi.

Tri-Stimulus Amar Konservasi

Stimulus Alamiah

Nilai-nilai kebenaran dari alam, kebutuhan keberlanjutan sumberdaya alam hayati sesuai dengan karakter bioekologinya • Stimulus Manfaat

Nilai-nilai kepentingan untuk manusia: manfaat ekonomi, manfaat obat, manfaat biologis/ekologis dan lainnya • Stimulus Rela

Nilai-nilai kebaikan, terutama ganjaran dari Sang Pencipta Alam, nilai spritual, nilai agama yang universal, pahala, kebahagiaan, kearifan budaya/ tradisional, kepuasan batin dan lainnya Sikap Konservasi Cognitive persepi, pengetahuan, pengalaman, pandangan, keyakinan Affective emosi, senang- benci, dendam, sayang, cinta dll

Overt actions kecenderungan bertindak Perilaku Aksi Konservasi Konservasi


(40)

Selanjutnya berdasarkan pada modifikasi konsep tri stimulus amar konservasi, skema solusi konservasi tumbuhan obat yang dapat memenuhi harapan masyarakat dan sesuai fungsi KRB adalah sebagai berikut:

Tri Stimulus amar konservasi

KRB

Masya-rakat

Tumbuhan obat

Tupoksi: Konservasi Penelitian Pendidikan Rekreasi Harapan

Solusi Konservasi : Pemanfaatan TO berkelanjutan, berkeadilan, beradab dan berdaulat

3.2. Metode

3.2.1. Lokasi dan waktu penelitian

Penelitian dilakukan di Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor. Pengumpulan data dilakukan pada bulan September – Desember 2010, baik data primer maupun data sekunder.

3.2.2. Alat dan bahan

Katalog koleksi KRB dan buku-buku tentang tumbuhan obat sebagai alat utama dalam inventarisasi dan identifikasi koleksi tumbuhan obat. Sebagai bahan kajian adalah semua koleksi tumbuhan yang terdapat di kebun koleksi dan

data-Gambar 2 Konsep skematik solusi konservasi tumbuhan obat berdasarkan harapan masyarakat dan tupoksi KRB.


(41)

data koleksi yang terdapat di Bagian Registrasi Koleksi KRB. Berbagai laporan dan berkas/dokumen koleksi tumbuhan obat di KRB menjadi bahan pendukung.

Seperangkat alat kuisioner yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas tiga macam kuisioner:

1. Kuisioner berupa pernyataan-pernyataan yang disusun dalam lembaran tes yang memuat informasi dan harapan masyarakat terhadap KRB dan koleksi tumbuhan obat.

Pernyataan-pernyataan dalam kuisioner ini diperoleh dengan melakukan wawancara pendahuluan terhadap 100 orang pengunjung dan 50 orang pegawai KRB untuk memperoleh gambaran pendapat dan harapan tentang keberadaan tumbuhan obat di KRB. Selanjutnya hasil wawancara ini disusun menjadi beberapa pernyataan dan ditanya ulang kepada 100 orang pengunjung lainnya untuk mendapatkan respon setuju atau tidak setuju. Dua puluh pernyataan yang mendapatkan respon setuju paling banyak dipilih sebagai pernyataan pada kuisioner akhir dengan skala Likert.

2. Kuisioner untuk menentukan spesies prioritas konservasi di kebun, terutama ditujukan kepada orang atau badan tertentu yang bergerak di bidang tumbuhan obat. Kuisioner ini berupa lembar uji penentuan spesies prioritas (Lampiran 4). 3. Kuisioner yang ditujukan kepada pengamat/pengawas KRB untuk menentukan spesies mendesak ditindaklanjuti berupa matriks uji pembandingan berpasangan (Lampiran 14).

3.2.3. Metode pengumpulan data

Untuk mendapatkan sejumlah data yang pasti dan akurat sesuai tujuan penelitian maka telah dilakukan tahapan kegiatan sebagai berikut:

1. Dalam rangka mengkaji data terkini koleksi tumbuhan obat di KRB maka dilakukan:

a. Inventarisasi koleksi baik secara desk study maupun observasi di kebun.

Desk study dengan mengacu kepada katalog koleksi KRB menandai

semua spesies tumbuhan yang diduga bermanfaat sebagai bahan obat berdasarkan pustaka-pustaka yang telah disiapkan di meja kerja.


(42)

 Observasi dilakukan dengan cara mengecek ke kebun mengenai spesies yang telah ditandai pada katalog untuk memastikan keberadaannya. b. Observasi potensi dan kegunaan koleksi dilakukan dengan penggalian

informasi melalui buku kebun dan hasil-hasil penelitian serta pustaka tumbuhan obat.

c. Kategori kelangkaan dan spesies prioritas dicek berdasarkan dokumen-dokumen berikut: IUCN red list 2010, WCMC 1997, IBSAP 2003, BGCI priority 2008 dan CITES 2010.

d. Wawancara terstruktur untuk mendapatkan spesies prioritas dan spesies yang mendesak ditindaklanjuti. Spesies prioritas dengan menggunakan lembar uji penentuan spesies prioritas ditujukan kepada para peneliti dan praktisi tumbuhan obat yang berkaitan di bidangnya. Taksa yang diuji adalah spesies yang telah dilakukan pengecekan status dan kategori kelangkaannya. Sejumlah 30 peneliti/praktisi terlibat dalam pengisian lembar uji ini. Sementara itu lembar uji berupa matriks pembandingan berpasangan digunakan untuk menentukan spesies prioritas yang perlu segera ditindaklanjuti aksi konservasinya. Responden untuk matriks ini dipilih para pengamat/pengawas koleksi KRB yang sehari-hari bekerja di kebun koleksi.

2. Penggalian harapan masyarakat dilakukan melalui wawancara dan kuisioner. Wawancara dilakukan baik kepada pengunjung (mewakili masyarakat umum), praktisi kesehatan/pengobat tradisional, industri obat tradisional dan peneliti untuk mendapatkan sejumlah informasi mengenai harapan masyarakat terhadap peran KRB dalam pengelolaan koleksi tumbuhan obat dan aspek-aspek konservasi lainnya.

Penentuan responden dilakukan sebagai berikut: Responden masyarakat umum

Responden dipilih dengan metode random sampling. Penentuan jumlah responden didasarkan pada data pengunjung pada bulan Oktober 2010. Jumlah responden diambil dengan menggunakan rumus Slovin (Riduwan dan Akdon 2009), yaitu:


(43)

n= dengan presisi 5% (tingkat kepercayaan 95%), dimana: n = jumlah sample (responden)

N= jumlah populasi sample, dalam hal ini diambil jumlah rata-rata pengunjung dalam seminggu setelah dikurangi wisatawan mancanegara dan dikurangi wisatawan anak-anak, sehingga diperoleh N = 4551 dan n = 368

Selanjutnya pengambilan sampling per hari dilakukan dengan proportionate random sampling dengan rumus ni = x n, dimana:

ni = jumlah sample menurut hari Ni = jumlah sample seluruhnya (368)

n = jumlah pengunjung rata-rata dalam hari bersangkutan N = jumlah pengunjung dalam seminggu (4551)

Dengan demikian diperoleh sample (ni) untuk hari Senin hingga hari Minggu sebagai berikut:

Senin Selasa Rabu Kamis Jumat Sabtu Minggu Total 29 27 35 28 21 92 136 368

Responden praktisi/pengobat, industri dan peneliti dipilih secara acak dari berbagai lembaga terkait seperti berikut:

a. Mewakili praktisi/pengobat adalah 2 pengobat dari Taman Sringanis, 2 praktisi dari Karyasari, 1 orang dari Wana Tani dan 7 orang perawat/bidan. b. Mewakili industri obat tradisional adalah 1 orang dari Liza Herbal, 2 orang

dari Kampoeng Djamoe, 1 orang dari Parang Husada dan 1 dari Aneka Sari. c. Mewakili peneliti adalah 16 orang dari LIPI, 2 orang dari Balitro, 2 orang dari

Litbang Kehutanan, 2 orang dari BPTO, 2 orang dari IPB dan 1 orang LSM.

3. Untuk mengkaji apakah program konservasi tumbuhan obat di KRB sudah sesuai dengan harapan masyarakat maka dilakukan pengecekan aktivitas KRB yang berkaitan dengan konservasi tumbuhan obat melalui laporan tahunan KRB tahun 2000 hingga tahun 2009.


(44)

3.2.4. Pengolahan data

Hasil inventarisasi dan observasi koleksi ditabulasikan dalam suatu daftar kegunaan tumbuhan obat sedangkan hasil pengecekan kategori kelangkaan ditabulasikan dalam daftar koleksi tumbuhan obat yang perlu perhatian lebih.

Daftar koleksi tumbuhan obat yang perlu perhatian lebih dijadikan dasar dalam pembuatan kuisioner untuk mendapatkan spesies prioritas konservasi. Spesies prioritas diperoleh dengan total skor yang dihasilkan dari lembar uji penentuan spesies prioritas untuk setiap taksa yang dinilai. Skor total diperoleh dengan menjumlahkan skor setiap unsur penilaian, sehingga diperoleh rentang skor dengan tiga kategori (Risna et al. 2010) yaitu kategori A (memerlukan aksi konservasi segera) dengan nilai total > 50, kategori B (aksi konservasi bisa ditunda) dengan nilai total 42-50 dan kategori C ( belum/tidak memerlukan aksi konservasi secara aktif) dengan nilai total < 42.

Agar pelaksanaan konservasi di KRB lebih efisien dan efektif sesuai dengan kondisi koleksi terkini maka perlu diadakan uji pembandingan kepentingan antar spesies koleksi bersangkutan. Pembandingan antar spesies tidak dimaksudkan untuk menghilangkan spesies dari daftar prioritas konservasi. Pembandingan lebih menekankan kepada alternatif prioritas berdasarkan kriteria-kriteria yang dianggap penting pada situasi dan kondisi spesies di kebun saat ini. Kriteria yang diperbandingkan ditentukan berdasarkan kesepakatan responden terkait yang dianggap mengetahui kondisi spesies di kebun. Jika dalam penentuan spesies prioritas tahap pertama menggunakan 17 kriteria yang berlaku secara umum (Lampiran 4), maka dalam uji pembandingan spesies ini hanya menggunakan tiga kriteria yang dianggap berhubungan langsung dengan kepentingan keberlangsungan spesies tersebut di kebun. Tiga kriteria tersebut yaitu (1) status dan kelangkaan spesies, (2) ancaman keberadaan spesies di kebun dan (3) manfaat spesies secara langsung bagi masyarakat.

Untuk menentukan koleksi tumbuhan obat yang mana harus segera ditindaklanjuti aksi konservasinya, maka diambil spesies dengan skor tertinggi (kategori A) untuk dianalisis lebih lanjut. Dalam hal ini digunakan analisis AHP (analytic hierarchy process) dengan menggunakan software expert choice. Matrik pembandingan berpasangan adalah dasar dari analisis ini. Nilai yang ditetapkan


(45)

setiap sel matriks berada di antara satu sampai dengan sembilan (Dermawan 2009).

Untuk menguji apakah pembandingan yang dilakukan oleh responden sudah konsisten, maka diuji dengan uji konsistensi. Pembandingan dianggap konsisten bila nilai inconsistency ratio lebih kecil dari 0,1. Uji konsistensi dilakukan baik saat pelaksanaan pembandingan kepentingan antar kriteria maupun pembandingan kepentingan antar spesies. Hirarkinya adalah seperti disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 Hirarki pembandingan berpasangan untuk spesies prioritas

(5) Sangat Setuju

Hasil wawancara dengan masyarakat mengenai harapan konservasi tumbuhan obat di KRB diolah dengan skala Likert (Metode Likert’s Of Summated Rating) melalui program excel. Nilai skala Likert sebagai berikut:

(4) Setuju

(3) Netral (tidak pasti) (2) Tidak setuju (1) Sangat Tidak Setuju

spesies prioritas alternatif

status kelangkaan

spesies pilihan

ancaman keberadaannya

di kebun

spesies pilihan

manfaat langsung

spesies pilihan

Tingkat 1

Tujuan

Tingkat 2

Kriteria

Tingkat 3


(46)

Selanjutnya penilaian dilakukan untuk masing-masing komponen konservasi dengan menggunakan rumus standard skala Likert t-test. Rumusnya adalah (Azwar 2010):

dimana:

X = Skor responden pada skala Likert yang hendak diubah menjadi skor T = Mean skor kelompok

s = Standar deviasi kelompok

Responden dengan nilai T di atas 50 dianggap favorable (sesuai atau menguntungkan) dan persentase favorable diinterpretasikan sebagai berikut (Riduwan dan Akdon 2009):

0% - 20% sangat lemah 21% - 40% lemah

41% - 60% cukup 61% - 80% kuat

81% - 100% sangat kuat

Harapan masyarakat yang diperoleh dari kuisioner ditabulasikan dalam suatu tabel harapan. Selanjutnya untuk menyusun aksi konservasi maka dilakukan pengecekan silang antara harapan masyarakat dengan aktivitas KRB dalam sepuluh tahun terakhir. Diagram Venn digunakan untuk menggambarkan irisan antara harapan masing-masing tipologi masyarakat dengan aktivitas KRB. Harapan masyarakat yang belum terarsir dengan aktivitas KRB dijadikan dasar dalam menyusun aksi konservasi tumbuhan obat pada masa yang akan datang.


(47)

4.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Koleksi Tumbuhan Obat

4.1.1. Jumlah koleksi tumbuhan obat

Berdasarkan hasil pengecekan di kebun dan penelusuran pustaka diperoleh 764 spesies koleksi KRB berpotensi sebagai tumbuhan obat dari 465 genera dan 135 famili. Jumlah spesies terbanyak adalah dari famili Fabaceae yaitu 58 spesies diikuti oleh Euphorbiaceae, Zingiberaceae dan Apocynaceae masing-masing 57, 31, dan 29 spesies. Secara lengkap jumlah spesies tumbuhan obat di KRB berdasarkan familinya seperti pada Tabel 1 berikut:

Tabel 1 Jumlah spesies tumbuhan obat berdasarkan familinya di KRB

No. Famili Jumlah spesies

1. Fabaceae 58

2. Euphorbiaceae 57

3. Zingiberaceae 31

4. Apocynaceae 29

5. Rutaceae 28

6. Verbenaceae 27

7. Moraceae 25

8. Acanthaceae 22

9. Arecaceae 20

10. Rubiaceae 19

11. Lauraceae 16

12. Myrtaceae 15

13. Araceae 15

14. Annonaceae 14

15. Meliaceae 13

16. Menispermaceae 12

17. Sapindaceae 12

18. Poaceae 11

19. Asteraceae 11

20. Sterculiaceae 10

21. Famili lainnya (115 famili) < 10

Berdasarkan data Zuhud (2009) spesies tumbuhan obat di hutan hujan tropika yang terbanyak adalah dari famili Fabaceae, yaitu sebanyak 110 spesies diikuti oleh Euphorbiaceae sebanyak 94 spesies. Famili Fabaceae atau polong-polongan di KRB juga merupakan kelompok terbesar tumbuhan obat dengan total 58 spesies diikuti oleh Euphorbiacea dengan 57 spesies. Dengan demikian data


(1)

N0. NAMA SPESIES NAMA LOKAL FAMILI KEGUNAAN OBAT DIGUNAKAN

700. Tabernaemontana macrocarpa Jack Cembirit Apocynaceae sakit gigi 6 Buah

701. Tabernaemontana pandacaqui Poir. Jelutung badak Apocynaceae malaria 3 Kulit batang

702. Tabernaemontana sphaerocarpa

Blume

Gembirit Apocynaceae demam 6 Kulit batang

703. Tacca chantrieri Andre Taka Taccaceae rematik, demam 6 Rimpang

704. Tacca palmatifida Baker Gadung tikus Taccaceae digigit hewan berbisa 4 Umbi

705. Tadehagi triquetrum (L.) H.Ohashi Daun duduk Fabaceae gagal ginjal 6 Akar

706. Talinum paniculatum (Jacq.) Gaertn. Som jawa Portulacaceae aprodisiak 15 Akar umbi

707. Tamarindus indica L. 0 Asam jawa Fabaceae batuk, radang payudara, bisul, luka, demam 2 Buah, daun

708. Tapeinocheilos ananassae K. Schum. Bunga kasturi Costaceae digigit ular, luka 6 Akar & daun

709. Tecoma stans (L.) Juss. ex H.B. & K. Tetulang Bignoniaceae gangguan pencernaan, ginjal 6 Daun

710. Tectona grandis L. f. Jati Verbenaceae kolera, sakit kencing 1 Daun

711. Teijsmanniodendron pteropodum

(Miq.) Bakh.

Verbenaceae sakit pinggang 1 Kulit batang,

daun

712. Terminalia arjuna (Roxb.) Wight & Am

Arjuna Combretaceae penguat jantung, pengurang kolesterol 13 Kulit batang

713. Terminalia bellirica (Gaertn.) Roxb. Joho Combretaceae ambeien, cacingan, tonikum 5 Buah

714. Terminalia catappa L. Ketapang Combretaceae sakit kencing,beri-beri 1 Akar

715. Terminalia chebula Retz. Majakan keling Combretaceae diare, disentri 13 Buah

716. Tetracera sarmentosa (L.) Vahl mempelas Dilleniaceae diare 6 Daun

717. Tetracera scandens (L.) Merr. Kiasahan Dilleniaceae peluruh dahak 4 Daun

718. Tetrastigma lanceolarium (Roxb.) Planch.


(2)

Lanjutan

N0. NAMA SPESIES NAMA LOKAL FAMILI KEGUNAAN OBAT

BAGIAN DIGUNAKAN

719. Theobroma cacao L. 000 Coklat Sterculiaceae ambeien, cacing kremi, darah rendah 5 Biji

720. Thespesia populnea (L.) Soland. ex Correvon

Waru laut Malvaceae tekanan darah tinggi 12 Daun

721. Thevetia peruviana (Pers.) Merr. Ginje Apocynaceae racun panah 15 Getah

722. Thottea tomentosa (Blume) Ding Hou Singa depa Aristolochiaceae tonikum 15 Akar

723. Thuja orientalis L. Cemara kipas Cupressaceae demam, batuk,mencret 5 Daun

724. Thunbergia affinis S. Moore Acanthaceae sakit kepala 15 Daun

725. Timonius timon (Spreng.) Merr. Berombong Rubiaceae malaria , darah tinggi 1 Kayu, daun

726. Tinomiscium petiolare Hook. & Thomson

Ki koneng Menispermaceae sariawan, demam, rematik 6 Getah & akar

727. Tinomiscium phytocrenoides Kurz Seriawan susu Menispermaceae sariawan, cacingan 1 Air batang

728. Tinospora crispa (L.) Miers ex Hook. f. & Thomson

Brotowali Menispermaceae luka infeksi, kudis, malaria, sakit kuning 4 Batang & daun

729. Tinospora glabra (Burm.f.) Merr. Pancasona Menispermaceae kencing manis 1 Batang

730. Toddalia asiatica L. Akar kucing Rutaceae malaria,rematik,disentri Daun

731. Trevesia burckii Boerl. Tapak harimau Araliaceae bisul 1 Daun

732. Trevesia sundaica Miq. Ponggang Araliaceae nafsu makan 5 Daun

733. Trigonostemon longifolius Baill. Euphorbiaceae demam, disengat lebah6 Akar

734. Triphasia trifolia (Burm.f.) A.Wilson Jeruk kingkit Rutaceae batuk, sakit perut 15 Buah, daun

735. Turpinia sphaerocarpa Hassk. Kibangkong Staphyleaceae gatal-gatal 12 Daun

736. Tylophora tenuis Blume Akar saput tunggal Asclepiadaceae keracunan arsenik 6 Akar


(3)

N0. NAMA SPESIES NAMA LOKAL FAMILI KEGUNAAN OBAT DIGUNAKAN

738. Uraria crinite Desv. Ekor anjing Fabaceae disentri Akar

739. Urena lobata L. Pulutan Malvaceae darah tinggi 15 Daun &ranting

740. Uvaria purpurea Blume Kalak Annonaceae sakit perut, sakit kulit 6 Daun

741. Uvaria rufa Blume 00 Kalak Annonaceae demam, tenaga setelah melahirkan 6 Akar, kayu

742. Ventilago madraspatana Gaertn. Lian Rhamnaceae gatal & penyakit kulit 6 Kulit batang

743. Vetiveria zizanioides (L.) Nash. ex Small

Akar wangi Poaceae bau mulut, bau badan, encok, pegal-pegal 15 Akar

744. Vitex cannabifolia Sieber & Zucc. Verbenaceae cacingan 15 Buah

745. Vitex glabrata R. Br. 00 Bihbul Verbenaceae peluruh cacingan dan gangguan pencernaan 6 Kulit batang

746. Vitex negundo L. 0 Lagungi laut Verbenaceae diare, kolera, gangguan hati 6 Bunga

747. Vitex quinata (Lour.) F.N. William Gofasa Verbenaceae perangsang nafsu makan, tonikum 6 Kulit batang

748. Vitex trifolia L. 00000 Legundi Verbenaceae batuk, kudis,luka, beri-beri, demam 15 Daun

749. Vitis geniculata Miq. Kibarera Vitaceae radang tenggorokan 11 Buah

750. Voacanga grandifolia (Miq.) Rolfe Kalak kambing Apocynaceae cacingan, diare 6, gatal 23 Daun

751. Wedelia biflora (L.) DC. Seruni laut Asteraceae pelancar air seni 15 Daun

752. Willughbeia angustifolia (Miq.) Mark.

Akar karet Apocynaceae penyakit syaraf 12, penyakit dalam 18 Getah

753. Wrightia antidysenterica J. Grah. Bintaos Apocynaceae disentri Daun

754. Xanthosoma nigrum (Vell.) Mansf. Kimpul Araceae kena racun serangga 15 Getah

755. Zanthoxylum rhetsa (Roxb.) DC. Kayu lemah Rutaceae sakit perut, nyeri dada 6 Kulit batang

756. Zebrina pendula Schnizl 00 Rumput belang Commelinaceae batuk darah, disentri, keputihan, bisul 2 Seluruh bagian


(4)

Lanjutan

N0. NAMA SPESIES NAMA LOKAL FAMILI KEGUNAAN OBAT

BAGIAN DIGUNAKAN

758. Zingiber aromaticum Valeton 0 Lempuyang wangi Zingiberaceae kurang nafsu makan, batuk, sakit empedu 2 Rimpang

759. Zingiber littorale Valeton Lempuyang emprit Zingiberaceae obesitas Rimpang

760. Zingiber officinale Roxb. 00000 Jahe Zingiberaceae sakit kepala, sakit perut, keseleo, bengkak 15 Rimpang

761. Zingiber ottensii Valeton 0 Bunglai hantu Zingiberaceae kejang-kejang, sembelit, sakit kepala 5 Rimpang

762. Zingiber zerumbet (L.) J. Sm. 00 Lempuyang gajah Zingiberaceae sakit empedu, badan lemah, diare 2 Rimpang

763. Ziziphus angustifolius (Miq.) Hatus ex Steen.

Bidara Rhamnaceae kontrasepsi 6 Akar

764. Ziziphus jujuba Mill. Jojoba Rhamnaceae panu, kadas 1 Seluruh bagian

Sumber :

1. Sangat H, Damayanti, Zuhud (2001); 2. Winarto WP (2003); 3. Hidayat S (2005); 4. Lasmadiwati E (2001); 5. Rudjiman et al. (2003); 6. Valkenburg JLCH and Bunyapraphatsa N (2001); 7. Hidayat S dan Wahyuni S (2010); 8. Purwanto Y dan Waluyo EB (2010); 9. Dalimarta S (2006); 10. Goh SH et al. (1995); 11. PT Eisai (1986); 12. Chai PK (2006); 13. Chevallier A (2001); 14. Said RM (1972); 15. Hidayat S (2010); 16. Hidayat S (2006); 17. Windadri et al. (2006); 18. Rahayu et al.


(5)

SYAMSUL HIDAYAT. Konservasi

Ex situ

Tumbuhan Obat di Kebun Raya

Bogor. Dibimbing oleh ERVIZAL A.M. ZUHUD dan DIDIK WIDYATMOKO.

Kebun Raya Bogor (KRB) memiliki keterikatan sejarah yang kuat dalam

pelestarian tumbuhan obat. Dalam rangka meningkatkan kualitas koleksi

tumbuhan berpotensi obat serta pemanfaatannya, maka perlu diadakan pendataan

secara detail mengenai jumlah koleksi tumbuhan berpotensi obat dan beberapa

aspek konservasinya. Demikian pula agar tercipta kegiatan konservasi tumbuhan

obat yang efektif dan efisien perlu menentukan spesies dan aksi konservasi

prioritas. Hal ini sangat penting sebagai dasar ilmiah bagi pengembangan program

konservasi KRB pada masa yang akan datang. Apa yang diharapkan masyarakat

terhadap KRB perlu dijadikan dasar dalam menentukan program dan kebijakan

dalam pelestarian tumbuhan obat.

Penelitian ini bertujuan untuk:

1.

Mengkaji kondisi terkini koleksi spesies tumbuhan obat di KRB, pemanfaatan,

kategori kelangkaan, dan spesies prioritasnya.

2.

Menggali harapan masyarakat terhadap peran KRB dalam konservasi

ex situ

tumbuhan obat.

3.

Mengkaji apakah program konservasi tumbuhan obat di KRB sudah sesuai

dengan harapan masyarakat dalam rangka penyusunan aksi konservasi pada

masa yang akan datang.

Penelitian dilakukan di Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor.

Pengumpulan data dilakukan pada bulan September – Desember 2010, dengan

menggunakan seperangkat alat kuisioner. Kuisioner berupa lembar tes pernyataan

ditujukan kepada masyarakat umum dan industri, lembar uji penentuan spesies

prioritas ditujukan kepada peneliti/praktisi terkait, sedangkan lembar matriks

pembandingan berpasangan ditujukan kepada para pengamat/pengawas koleksi

KRB. Data diolah dengan menggunakan skala Likert, metode skoring, dan

Berdasarkan hasil inventarisasi tercatat 764 spesies koleksi berpotensi

tumbuhan obat dari 465 genera dan 135 famili. Famili dengan spesies tumbuhan

obat terbanyak adalah Fabaceae sedangkan habitus terbanyak adalah berupa

pohon. Gangguan perut atau pencernaan adalah kelompok penyakit yang paling

banyak menggunakan spesies tumbuhan obat. Sembilan spesies yaitu

Anaxagorea

javanica, Coscinium fenestratum, Eusideroxylon zwageri, Heritiera littoralis,

Kadsura scandens

,

Santalum album, Lunasia amara, Scorodocarpus borneensis,

dan

Terminalia bellirica

ditetapkan sebagai spesies prioritas.

AHP

(

analytic hierarchy process

) dengan software expert choice

.

Didorong tri-stimulus amar konservasi, aktivitas KRB dan harapan

masyarakat dapat terpadu sempurna. Beberapa kebijakan yang dapat diterapkan

antara lain: (1) pembangunan pusat informasi tumbuhan obat dan jaringan

komunikasi masyarakat terkait tumbuhan obat, (2) penyelenggaraan program

interpretasi, etnomedical tour, wisata kuliner dan kedai sehat, (3) penyelenggaraan

pelatihan, pendidikan dan pengembangan budidaya tumbuhan obat, (4) promosi

dan penelitian serta pameran tumbuhan obat dan hasil penelitiannya, dan (5)

pengembangan taman obat dan pusat plasma tumbuhan obat nusantara.


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 6 Juli 1968 dari ayah R Iskandar

dan ibu R Neneng Dahlia. Penulis adalah putra ke lima dari delapan bersaudara.

Tahun 1987 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Bogor dan mendapatkan

kesempatan untuk melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor melalui jalur

undangan khusus. Penulis memilih Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan,

Fakultas Kehutanan.

Setelah lulus dari IPB sebagai sarjana kehutanan pada tahun 1992, penulis

sempat bekerja sebagai konsultan kehutanan untuk melakukan Amdal di bidang

vegetasi. Pada tahun 1993 penulis diterima sebagai PNS di Kebun Raya Bogor,

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Sejak saat itu hingga sekarang

penulis bekerja sebagai peneliti bidang Ekologi dan Konservasi tumbuhan

khususnya menangani tumbuhan obat.