Kewenangan Lembaga Arbitrase Internasional

2. Kewenangan Lembaga Arbitrase Internasional

Yurisdiksi atau kewenangan suatu lembaga arbitrase memiliki perngaruh penting terhadap tata cara penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Ada atau tidaknya suatu yurisdiksi atau kewenangan menentukan ada atau tidaknya dasar hukum pembenaran terhadap wewenanglembaga arbitrase untuk memeriksa dan memutus suatu sengketa. Yurisdiksi atau kewenangan hukum suatu lembaga arbitrase lahir dari 27 : a. Instrumen hukum yang melandasi lahirnya badan arbitrase itu atau instrumen hukum yang memberi dasar hukum mengenai hal-hal apa saja yang menjadi kewenangan hukumnya untuk memutus suatu sengketa; dan b. Kesepakatan para pihak. Instrumen hukum baik secara internasional atau nasional adalah syarat utama untuk lahirnya yurisdiksi atau kewenangan hukum suatu lembaga arbitrase. Adanya instrumen hukum ini menunjukan bahwa kewenangan lembaga arbitrase untuk memutus suatu sengketa adalah sifatnya yang terbatas. Untuk instrumen hukum internasional, batas-batas kewenangan lembaga arbitrase internasional ditentukan oleh hasil kesepakatan negara-negara atau anggota-anggota dari suatu lembaga internasional yang merumuskan berdirinya suatu lembaga arbitrase. Sebagai contoh, instrumen hukum konvensi International Centre for the Settlement of Invesment Disputes ICSID 1965 membatasi kewenangan badan ICSID untuk menyelesaikan sengketa-sengketa dibidang penanaman modal. Untuk instrumen hukum nasional, batas-batas kewenangan suatu lembaga arbitrase ditentukan oleh keputusan badan legislatif yang membuat peraturan 27 Huala Adolf, Dasar-Dasar Prinsip Filosofi Arbitrase, Op.Cit, hlm.142. perundang-undangan dibidang arbitrase. Sebagai contoh, ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Arbitrase APS menetapkan bahwa sengketa-sengketa yang dapat diselesaikan oleh lembaga arbitrase adalah sengketa-sengketa yang termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan. Kesepakatan para pihak merupakan suatu syarat tambahan, pelengkap, atau subsider untuk lahirnya kewenangan hukum atau yurisdiksi lembaga arbitrase. Redfren dan Humter menyatakan kesepakatan para pihak sebagai dasar timbulnya suatu yurisdiksi lembaga arbitrase sebagai berikut: 28 “An arbitral tribunal may only validy resolve those disputes that the parties have agreed that it should resolve. This rule is an invetable and proper consequences of the voluntary natrue of arbitration. In consensual arbitration, the authority or competence of the arbitral tribunal comes from the agreement of the parties; indeed, there is no other source from which it can come. ” Dalam kajiannya mengenai yurisdiksi arbitrase ICSID, David A. Soley menggunakan kata sepakat sebagai tonggak corner stone bagi yurisdiksi badan ICSID ini. Para pihak sebelumnya harus mencapai kata sepakat secara bersama untuk menyerahkan sengketanya kepada badan arbitrase ICSID. Konvensi ICSID menetapkan adanya suatu kesepakatan tertulis yang menunjuk penggunaan arbitrase ICSID untuk menyelesaikan sengketa. Penunjukan arbitrase ICSID tercantum dalam suatu klausula perjanjian penanaman modal yang menetapkan penyerahan suatu sengketa yang akan timbul dari perjanjian tersebut. 29 28 Nigel Blackbey, et.al., Redfern and Hunter on International Arbitration, New York:Oxford U.P. 2009, hlm. 317., dalam Huala Adolf, Ibid., hlm 144 29 David A. Soley, ICSID Implementation: An Effective Alternative to International Conflict, dalam International Lawyer, vol.19, No.2, 1985, hlm 524., dalam Huala Adolf, Ibid., hlm.145. Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang Arbitrase APS,yurisdiksi atau kewenangan hukum lembaga arbitrase lahir dari kesepakatan para pihak dan tercantum dalam suatu dokumen yang ditandatangani oleh para pihak. Pasal 4 ayat 1 menetapkan bahwa dalam hal para pihak telah menyetujui bahwa sengketa di antara mereka akan diselesaikan melalui arbitrase dan para pihak telah memberikan wewenang, maka arbiter berwenang menentukan dalam putusannya mengenai hak dan kewajiban para pihak jika hal ini tidak diatur dalam perjanjian mereka, dan ketentuan Pasal 4 ayat 2 menetapkan bahwa persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dimuat dalam suatu dokumen yang ditandatangani oleh para pihak.

3. Prosedur Arbitrase Internasional

Dokumen yang terkait

Eksistensi Presidential Threshold Paska Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/Puu-Xi/2013

6 131 94

Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 101/K.Pdt.Sus/Bpsk/2013 Tentang Penolakan Klaim Asuransi Kendaraan Bermotor

22 248 119

Analisis Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 981K/PDT/2009 Tentang Pembatalan Sertipikat Hak Pakai Pemerintah Kota Medan No. 765

4 80 178

Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

18 146 155

Analisis Tentang Putusan Mahkamah Agung Dalam Proses Peninjauan Kembali Yang Menolak Pidana Mati Terdakwa Hanky Gunawan Dalam Delik Narkotika

1 30 53

Eksekusi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 609 K/Pdt/2010 Dalam Perkara Perdata Sengketa Tanah Hak Guna Bangunan Dilaksanakan Berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri

3 78 117

Penetapan Luas Tanah Pertanian (Studi Kasus : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/Puu-V/2007 Mengenai Pengujian Undang-Undang No: 56 Prp Tahun 1960 Terhadap Undang-Undang Dasar 1945)

4 98 140

Eksekusi Putusan Pengadilan Agama...

1 40 5

Efektifitas Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi

3 55 122

Analisis Yuridis Penolakan Permohonan Non-Eksekuatur Terhadap Putusan Singapore International Arbitration Centre Nomor 92 Tahun 2013 (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 705 B/Pdt.Sus-Arbt/2015) - UNS Institutional Repository

0 1 12