Pendekatan Pemberdayaan Pada Kelompok-Kelompok Masyarakat Prakarsa Pemerintah, Lsm, Dan Swadaya Masyarakat Di Kelurahan Tanah Enam Ratus Kecamatan Medan Marelan

(1)

PENDEKATAN PEMBERDAYAAN PADA KELOMPOK-KELOMPOK

MASYARAKAT PRAKARSA PEMERINTAH, LSM, DAN SWADAYA MASYARAKAT DI KELURAHAN TANAH ENAM RATUS KECAMATAN MEDAN MARELAN

Husni Thamrin

Abstract: The objective of research is to compare the community development concept was done by community group wich founded by government, NGO and is community self-supporting by using qualitative method with interview data collecting technique and document analysis.

The result of research show that ability and way of living on each group will very differing and determined by situation in every group and almost society group managed with very simple model and not use well organizational principles. The groups who founded by government have tendency not to stand in a long time. Forming pattern of community group which pursuant to project and allotting materi (read fund or money) in the reality very fragile not stand in along time. It’s interesting if seeing the survival ability of the community group who stands by community initiative. The groups have high ability and endurance survive. Group like pengajian, perwiridan, and STM remain to always exsist. This research has methodologist weakness among others not all key informant can recollect processs that happened in the group and the not found enaught group document. The group was accepting continued fund aid will very protectif in giving information and tend to later to be held an interview with.

Keywords: empowerment, community group, community service organization PENDAHULUAN

Pendekatan yang dilakukan dalam pengembangan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan sekarang terus dilakukan baik oleh pemerintah maupun oleh lembaga swadaya masyarakat yang telah menerapkan-nya sejak lama. Otonomi daerah telah memutar balik pandangan pemerintah dalam memandang masyarakat yang selama ini hanya dilibatkan secara pasif, sejalan dengan bergulirnya roda reformasi dan penerapan otonomi daerah maka masyarakat dilibatkan secara aktif dalam proses pembangunan.

Dalam melaksanakan pemberdayaan yang bermutu terdapat banyak kendala kelembagaan. Misalnya saja, kata partisipasi yang banyak tersebar di sebagian besar dokumen kebijakan dan proyek ternyata masih sedikit aparat pemerintah yang memahaminya. Masih banyak yang berpendapat bahwa partisipasi adalah terlibat dalam suatu program pemerintah di manapun posisinya.

Masyarakat merasa dirinya telah ber-partisipasi, walaupun mereka tidak terlibat dalam pengembangan, perencanaan, ataupun pelaksanaan proyek tersebut. Aparat bawahan yang melaksanakan program

berdasarkan instruksi dari Jakarta telah merasa berpartisipasi dalam proyek, walaupun mereka hanya melaksanakan apa yang diperintahkan. Kebanyakan pegawai negeri berpendapat bahwa program-program yang ada telah bersifat “partisipatif” dan “memberdayakan masyarakat” dan tidak merasa perlu untuk mengadakan perubahan.

Penelitian mengenai pemberdayaan dari sudut pandang provider pembangunan telah banyak diteliti dan dijadikan landasan berpikir dalam membahas masalah pember-dayaan. Program pemberdayaan masyarakat sering kali ambruk bila dilakukan hanya sebatas pelaksanaan proyek. Contoh program pelaksanaan pemberdayaan seperti IDT, Takesra, Kukesra yang berorientasi proyek dan target dianggap gagal. Pemerintah kemudian mengeluarkan program kelanjutannya yaitu Program Pemberdayaan Kecamatan (PPK) (Mubyarto, 2002).

Selanjutnya dalam evaluasi mengenai kegiatan program pemberdayaan melalui program penanggulangan kemiskinan (IDT, PPK, Proyek Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan) Santosa dkk. mengemukakan bahwa manfaat yang diterima individu lebih besar daripada kebermanfaatan kelompok

(kolektivitas) (Santosa, 2003). Hal ini menun-11 Husni Thamrin adalah Dosen FISIP USU


(2)

jukkan bahwa sering kali pemerintah sebagai provider pembangunan kurang belajar dari program yang terdahulu dan bernafsu dengan program lainnya, sehingga konsentrasi untuk pelaksnaan program tidak sepenuhnya ada (Mubyarto, 2002).

Joshi dan More melihat ciri-ciri positif pemberdayaan yang dilakukan oleh pemerintah di antaranya adalah dapat menyediakan sumber daya keorganisasian yang didasari atas peluang politik, sedangkan kelemahannya adalah kurang siap membawa ide dan nilai sosial yang menyentuh manusia dan golongan masyarakat. Secara tegas dinyatakan bahwa dalam program pemberdayan sering kali nilai korporatisme dan kooptasi pemerintah muncul dalam proses pemberdayaan tersebut (Joshi dan More dalam Sayogyo, 2003).

Sebaliknya dalam pandangan Joshi dan More, LSM mampu membawa dan menyentuh ide dan nilai-nilai dalam masya-rakat. Hanya saja secara sumber daya dan keorganisasian LSM dipandang tidak sekuat pemerintah. Hal ini disebabkan LSM banyak belajar dari interaksi langsungnya dengan masyarakat binaannya (Joshi dan More dalam Sayogyo, 2003).

Dalam kehidupan sehari-hari kegiatan pemberdayaan masyarakat ini secara nyata banyak dilakukan oleh pelaksana pembangu-nan dan masyarakat itu sendiri. Kegiatan-kegiatan kelompok masyarakat, pemerintah, dan LSM pada dasarnya adalah bentuk program pemberdayaan. Hanya saja perlu diperhatikan bahwa program-program tersebut mempunyai bentuk, tujuan, dan metode yang berlainan.

Pendekatan dalam pemberdayaan yang dilakukan dapat berupa pendekatan individual dan kelompok. Pendekatan kelompok menjadi alternatif utama yang digunakan dalam proses pembangunan karena dianggap lebih mampu memberikan dampak yang luas pada kehidupan masyarakat. Pelaksana pembangunan seperti pemerintah telah banyak meluncurkan program pemberdayaan melalui pemberdayaan kelompok masyarakat, di antaranya adalah Kredit Investasi Kecil (KIK/KMKP), Koperasi Unit Desa (KUD), Koperasi Candak Kulak (KCK), Supra Insus (Intensifikasi Khusus), Kredit Usaha Kecil (KUK), Kupedes, Bimas, Inmas, Pembangu-nan Kawasan Terpadu (PKT), Program Inpres Desa Tertinggal (IDT), Jaring Pengaman

Sosial (JPS), PPK, Proyek Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan, dan lain sebagainya.

Lembaga swadaya masyarakat juga memakai pendekatan kelompok dalam proses kegiatan pemberdayaan seperti pelaksanaan Program Keberdayaan Masyarakat (PKM), Credit Union (CU), Lembaga Keuangan Mikro, dan lain sebagainya. Sementara itu masyarakat juga secara mandiri mampu melakukan kegiatan pemberdayaan secara disadari atau tidak. Kelompok Serikat Tolong Menolong (STM), pengajian, perwiridan, kelompok semarga, dan lain sebagainya merupakan sinyal yang kuat bahwa program pemberdayaan mampu dan bisa dilakukan oleh siapa saja.

Ruang lingkup penelitian ini berada di sekitar proses pemberdayaan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat. Kelompok masyarakat dalam pengertian penelitian ini adalah kumpulan orang-orang yang membentuk kegiatan atau program, baik yang diprakarsai oleh pemerintah maupun nonpemerintah (LSM ataupun swadaya masyarakat itu sendiri).

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendeka-tan kualitatif yang dilakukan di Kelurahan Tanah Enam Ratus Kecamatan Medan Marelan. Pemilihan lokasi penelitian ini didasarkan atas survai awal di mana kelurahan ini mempunyai kelompok-kelompok masyarakat yang cukup beragam. Sebagai informasi awal, pada kelurahan ini masih terdapat kelompok tani dan kelompok yang pernah mendapatkan program IDT. Lokasi penelitian merupakan daerah pinggiran kota yang kondisi masyarakatnya berada pada transisi masyarakat desa dan kota. Hal ini ditandai dengan masih luasnya lahan pertanian dan ditetapkannya daerah Marelan sebagai daerah konsentrasi pertanian dan sayuran di Medan.

Data yang dibutuhkan untuk penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer berupa informasi langsung atau asli dari tangan pertama informan dalam masyarakat. Data sekunder berupa data-data pendukung berupa dokumen, laporan-laporan, data statistik, dan lain sebagainya. Data-data yang diperoleh akan disusun secara sistematis pada tiap item kelompok masyarakat sehingga akan terlihat profil masing-masing kelompok 12


(3)

masyarakat yang ada dan yang pernah ada selama 10 tahun terakhir. Selanjutnya profil tersebut akan dianalisa dengan mengelom-pokkan kelompok masyarakat pada tiga kategori yaitu kelompok yang diprakarsai oleh pemerintah, LSM, dan masyarakat.

Kecenderungan masing-masing kategori akan dianalisis melalui pendekatan teoretis dan selanjutnya akan dibuat perbandingan sehingga diharapkan muncul bagan yang dapat menggambarkan persamaan dan perbedaan masing-masing model pemberdayaan.

PEMBAHASAN

Dari deskripsi kelompok yang telah diuraikan di atas, peneliti mencoba untuk meng-analisis kelompok-kelompok tersebut berdasar-kan ruang lingkup penelitian yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya.

a. Gagasan Pembentukan Kelompok

Gagasan pembentukan kelompok dibedakan menjadi dua bagian yaitu prakarsa pemerintah dan nonpemerintah. Pembedaan ini dimaksudkan untuk memberikan pola perbandingan mengenai proses pemberdayaan masyarakat yang dilakukan kelompok.

Pada kelompok yang diprakarsai oleh pemerintah, kelompok-kelompok terbentuk dengan cepat (instan) dan selalu berdasarkan program yang diturunkan melalui kebijakan-kebijakan pemerintah. Pola pembentukan berdasarkan kebijakan ini menampilkan sosok kelompok yang bergantung pada pemerintah.

Ketergantungan inilah yang membuat kelompok-kelompok yang diprakarsai oleh pemerintah cenderung menjadi lemah dalam menggunakan potensi-potensi yang ada dalam kelompok. Secara tidak langsung pemerintah juga membiarkan atau malah membangun ketergantungan itu secara sadar. Hal ini dapat dimaklumi karena kelompok-kelompok yang diprakarsai pemerintah tersebut diharapkan dapat menjalankan proyek atau program pemerintah.

Ada beberapa dasar pembentukan kelompok masyarakat yang diprakarsai pemerintah. Pertama, kelompok dibangun berdasarkan proyek atau program nasional yang sedang dijalankan. Kelompok-kelompok masyarakat seperti IDT dan JPS merupakan contoh dari kelompok ini.

Kedua, kelompok yang dibangun atas dasar bagian kelengkapan dan kebutuhan

daerah (kelurahan/desa) seperti LMD, PKK, Posyandu, dan karang taruna. Kelompok masyarakat ini biasanya langsung bernaung dalam lembaga desa atau kelurahan dan dianggap sebagai bagian perangkat organisasi desa/kelurahan.

Ketiga, kelompok yang dibangun atas dasar program pemerintah atau salah satu departemen, seperti kelompok tani, KUD, dan lain sebagainya. Kelompok ini membawa misi untuk memberdayakan anggotanya dan biasanya dibantu oleh departemen yang bersangkutan.

Terlepas dari ketiga dasar pembentu-kan kelompok yang diprakarsai pemerintah, semua kelompok tersebut selalu membawa agenda program pemerintah. Kelompok akan mendapat bantuan dana untuk menjalankan kegiatannya. Dana yang diberikan oleh peme-rintah inilah yang sering dianggap sebagai dasar ketergantungan kelompok. Dengan adanya dana yang disediakan/ dikucurkan kelompok jadi lemah dalam menggali potensi-potensi pendanaan.

Hal tersebut sangat berbeda dengan kelompok yang diprakarsai oleh masyarakat dan LSM. Dana untuk kegiatan biasanya digali dari kemampuan kelompok itu sendiri melalui iuran dan usaha-usaha kelompok. Kemampuan menggali potensi kelompok jelas terlihat lebih besar dibandingkan dengan kelompok yang diprakarsai pemerintah.

Selanjutnya kelompok yang dipra-karsai masyarakat dan LSM biasanya lebih bebas untuk menjalankan kegiatannya. Dalam istilah aktivis sering disebut kelompok-kelompok tersebut berusaha membebaskan diri dari hegemoni negara. Pandangan ini selalu terkait dengan teori ketergantungan dan teori pembebasan. Dalam kajian berikutnya akan terlihat bahwa kelompok yang diprakarsai masyarakat dan LSM ternyata lebih mampu bertahan.

b. Sistem Rekrutmen Anggota

Tidak ada perbedaan yang mencolok dari sistem rekrutmen kelompok yang dipra-karsai pemerintah dan nonpemerintah. Hanya saja kelompok-kelompok yang dibangun melalui proyek/program instan sistem rekrut-mennya tidak efesien dan efektif. Biasanya anggota direkrut tanpa seleksi yang jelas dan asal dimasukkan agar proyek/program bisa berjalan sesuai jadwal sehingga memberikan dampak kelompok menjadi tidak solid.


(4)

Lain halnya dengan sistem yang dibuat oleh kelompok masyarakat seperti STM dan perwiridan. Kelompok ini hanya menunggu kesadaran masyarakat untuk menjadi anggota kelompok. Artinya kelompok tidak perlu bersusah payah untuk merekrut karena masyarakat dengan sadar akan datang menjadi anggota.

Kondisi seperti ini ternyata membuat kelompok masyarakat menjadi lebih kuat, karena ketika masyarakat masuk ke dalam kelompok secara sadar maka sebenarnya dia telah memahami dan merasa mampu untuk beraktivitas di kelompok tersebut.

Pada kelompok masyarakat yang dipra-karsai masyarakat dan LSM terjadi proses penyamaan dan identifikasi nilai. Oleh karena itu biasanya proses menjadi anggota kelompok akan sangat tergantung dengan kecocokan nilai yang dianut. Bila individu merasa cocok dan sesuai maka dengan sendirinya ia akan bergabung dalam kelompok tersebut.

c. Bidang Aktivitas dan Orientasi Kelompok

Bidang aktivitas yang dilakukan masing-masing kelompok akan sangat berbeda tergantung dari tujuan dan orientasi kelompok tersebut. Pada penelitian ini peneliti melihat ada dua orientasi kelompok masyarakat, yaitu orientasi pada akumulasi modal/keuntungan (laba) dan orientasi bukan akumulasi modal/keuntungan (nirlaba).

Dari 25 kelompok yang pembentu-kannya diprakarsai oleh pemerintah ada 14 kelompok yang berorientasi pada laba. Hal ini disebabkan kelompok melakukan kegiatan untuk mencari untung atau menambah manfaat materi bagi anggota-anggota kelompoknya. Adapun keempat belas kelompok tersebut adalah:

1. Pokmas Lestari 2. Pokmas Adil Makmur 3. Pokmas Tani Layon Sari 4. Pokmas Anggrek 5. Pokmas Bungsu Jaya 6. Pokmas Melati 7. Pokmas Mina Jaya 8. Pokmas Mustika

9. Pokmas Pengolahan Jamu 10. Pokmas Segar Sari 11. Pokmas Tunas Mekar 12. KUD Bina Karya

13. Kelompok Tani Serba Jadi

14. Pokmas Harapan Mekar

Kelompok masyarakat yang dianggap berorientasi laba ini sebenarnya tidak sepe-nuhnya berorientasi laba, karena dalam kegia-tannya juga melakukan kegiatan sosial guna meningkatkan SDM anggotanya. Lebih tepat-nya bila kelompok-kelompok tersebut meru-pakan kelompok semi akumulasi modal.

Kelompok-kelompok yang merupakan kelompok nirlaba adalah sebagai berikut: 1. Kelompok Pengembangan Program Dana

Upaya Kesehatan Masyarakat 2. Dasa Wisma Anggrek Pokmas 3. Kelompok Pemuda Sebaya (KPS) 4. Dasa Wisma VII

5. LMD (2002, sebelumnya LKMD) 6. PKK

7. Karang Taruna Karya Indah 8. Dasa Wisma VI

9. Posyandu 10. Dasa Wisma

11. Kelompok Orang Cacat Karya Indah

Kelompok-kelompok tersebut tidak berorientasi laba dan hanya menjalankan program pemberdayaan masyarakat sesuai dengan program yang digariskan oleh peme-rintah. Dari gambaran kelompok, terlihat bahwa kelompok yang diprakarsai pemerintah yang berorientasi laba lebih rentan untuk bubar.

Selanjutnya bila melihat kelompok yang terbentuk atas prakarsa masyarakat dan LSM tidak ada yang beorientasi laba. Seluruh kelompok (19 kelompok) merupakan kelom-pok nirlaba.

Untuk aktivitas kelompok yang dilaksanakan terlihat bahwa ada 14 kelompok masyarakat prakarsa pemerintah yang berorientasi ekonomi yaitu:

1. Pokmas Lestari 2. Pokmas Adil Makmur 3. Pokmas Tani Layon Sari 4. Pokmas Anggrek 5. Pokmas Bungsu Jaya 6. Pokmas Melati 7. Pokmas Mina Jaya 8. Pokmas Mustika

9. Pokmas Pengolahan Jamu 10. Pokmas Segar Sari 11. Pokmas Tunas Mekar 12. KUD Bina Karya

13. Kelompok Tani Serba Jadi 14. Pokmas Harapan Mekar 14


(5)

Kelompok prakarsa pemerintah yang beraktivitas di bidang sosial ada 11 kelompok yaitu:

1. Kelompok Pengembangan Program Dana Upaya Kesehatan Masyarakat

2. Dasa Wisma Anggrek Pokmas 3. Kelompok Pemuda Sebaya (KPS) 4. Dasa Wisma VII

5. LMD, 2002 sebelumnya LKMD, 6. PKK

7. Karang Taruna Karya Indah 8. Dasa Wisma VI

9. Posyandu 10. Dasa Wisma

11. Kelompok Orang Cacat Karya Indah Bila melihat gambaran tersebut terlihat jelas bahwa kelompok atas prakarsa pemerintah hanya terbagi dua kelompok bila dilihat dari segi aktivitas yaitu aktivitas eko-nomi dan aktivitas sosial. Kelompok-kelom-pok yang nirlaba selalu beraktivitas sosial.

Untuk kelompok-kelompok yang diprakarsai masyarakat dan LSM terlihat bahwa ada 2 kelompok yang berorientasi ekonomi yaitu Kesper dan RBT. Kelompok yang berorientasi kegiatan agama ada sebanyak 14 kelompok yaitu:

1. Perwiridan Bapak-Bapak Lingkungan V 2. Perwiridan Ibu-Ibu Nur Hidayah Lingkungan

V

3. Perkumpulan Remaja Musala Bai’tul Mukmin Lingkungan V

4. Perwiridan Ibu-Ibu Lingkungan VII 5. Remaja Mesjid Lingkungan VII 6. STM Lingkungan VII

7. Perwiridan Bapak-Bapak Lingkungan IX 8. Perwiridan Ibu-Ibu Lingkungan IX 9. Ikatan Remaja Musala Istiqomah

Lingku-ngan IX

10. Perwiridan Ibu-Ibu Lingkungan VI

11. Remaja Mesjid Lingkungan VI Mesjid Nurul Yakin

12. Perwiridan/Serikat Tolong Menolong Masyarakat Gang Manggis

13. Kelompok Remaja Mesjid Nurul Huda Masyarakat Gang Manggis Tanah Enam Ratus “RAMUDA”

14. Kelompok Perwiridan Ibu-Ibu Annisa Masyarakat Gang Manggis

Kelompok yang beraktivitas di bidang sosial ada 3 kelompok yaitu Pemuda Pancasila, Ikatan Keluarga Dalihan Natolu, dan LSM PHP.

d. Jaringan Kelompok

Jaringan kelompok-kelompok masya-rakat dapat dilihat dari bentuk relasi yang dilakukan oleh masing-masing kelompok tersebut. Secara teoretis relasi dibagi menjadi tiga bagian yaitu:

1. Relasi Kolaborasi (collaboration) yaitu hubungan kerja sama yang dilakukan tanpa harus mengorbankan kepentingan masing-masing pihak yang melakukan kerja sama. Relasi saling menguntungkan ini merupakan relasi yang sangat ideal bila dapat dilaksanakan oleh masing-masing kelompok.

2. Relasi Tawar Menawar (bargaining) yaitu hubungan kerja sama yang dilakukan berdasarkan proses tawar menawar akan kepentingan masing-masing kelompok. Pada relasi ini kerja sama dapat tercapai bila kepentingan masing-masing kelompok ada yang dikorbankan.

3. Relasi Konflik (conflict) yaitu hubungan antara dua atau lebih kelompok yang tidak dapat mengorbankan kepentingannya untuk bekerja sama. Hal ini terjadi karena perbedaan-perbedaan yang ada pada kelompok tidak dapat diterima oleh kelompok lain.

Untuk kelompok-kelompok yang dipra-karsai pemerintah, hubungan dengan lembaga-lembaga pemerintahan biasanya lebih intens daripada kelompok-kelompok nonpemerintah. Bahkan kelompok-kelompok yang diprakarsai LSM biasanya mengambil posisi yang bersebe-rangan. Relasi yang dibangun lebih sering pada relasi tawar menawar dan konflik.

Idealnya, kelompok-kelompok baik yang diprakarsai pemerintah maupun nonpemerintah menjalin relasi kolaborasi yang besifat sinergis. Kelompok-kelompok masyarakat sebaiknya membangun kekuatan jaringan kelompok masyarakat untuk masa depan. Hal yang patut menjadi perhatian adalah perlunya peran fasilitator apakah dari pemerintah, masyarakat, atau LSM untuk memungkinkan hal ini terjadi.

e. Struktur Organisasi dan Aspek Manajerial

Dari kelompok-kelompok masyarakat yang telah dijaring datanya terlihat jelas bahwa kemampuan dan cara bertahan hidup


(6)

masing kelompok akan sangat berbeda dan ditentukan oleh situasi dalam kelompok itu sendiri. Dari hasil penelitian tersebut terlihat jelas bahwa hampir sebagian besar kelompok masyarakat dikelola dengan model yang sangat sederhana dan tidak menggunakan secara baik prinsip-prinsip keorganisasian. Hal ini ditandai dengan bentuk dan struktur kelompok yang cukup sederhana dan sistem administrasi yang tidak tertata dengan baik.

Setiap kelompok masyarakat tidak memiliki dokumen kelompok yang tertata dengan baik dan tidak mempunyai anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Peneliti hanya menemukan beberapa kelompok masyarakat yang mempunyai anggaran dasar dan anggaran rumah tangga sebagai dasar aturan bergeraknya kelompok.

Kelompok-kelompok masyarakat juga tidak mempunyai aturan dan sanksi tertulis mengenai sesuatu hal dapat terjadi dalam kelompok. Aturan dan sanksi itu ada dalam bentuk konsensus dan sudah dimengerti oleh anggota.

Kelemahan ini terjadi pada semua kelompok masyarakat baik yang diprakarsai oleh pemerintah (misalnya seperti PKK, Posyandu, LMD, Kelompok bentukan JPS, IDT), diprakarsai oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (RBT, Kesper), dan yang tumbuh dari prakarsa masyarakat sendiri (seperti pengajian, STM, Dalihan Natolu, Perwiridan).

Peneliti melihat bahwa kelompok-kelompok yang didirikan oleh pemerintah mempunyai kecenderungan untuk tidak bertahan dalam jangka waktu yang lama. Hal ini dapat ditandai dengan kasus-kasus kelompok IDT, JPS di mana kelompok tidak dapat mempertahankan eksistensinya.

Ada pola yang menarik terlihat bila dibandingkan dengan kelompok masyarakat lain yang dibentuk pemerintah juga seperti Posyandu dan PKK. Kegiatan kelompok masyarakat ini terbukti dapat bertahan sekian lamanya dibandingkan dengan kegiatan kelompok seperti JPS dan IDT. Pola pembentukan kelompok masyarakat yang berdasarkan proyek dan membagikan materi (baca: uang atau dana) ternyata cenderung tidak bertahan lama. Kasus-kasus kelompok bentukan IDT dan JPS di Kelurahan Tanah Enam Ratus menjadi bahan acuan untuk melihat pola tersebut. Dari 10 kelompok masyarakat bentukan JPS tidak satupun kelompok tersebut bertahan sampai saat ini.

Demikian juga dengan kelompok bentukan IDT juga tidak bertahan lama.

Kelompok JPS dan IDT pada umum-nya terbentuk tidak berdasarkan perencanaan yang matang dan proses pemahaman penting-nya kelompok bagi anggota-anggotapenting-nya. Pem-bentukan kelompok-kelompok masyarakat untuk program-program tersebut lebih cende-rung pada kepentingan sesaat pada saat proyek tersebut dilaksanakan.

Proses tersebut tidak lepas dari model pembangunan top down yang masih dilakukan pemerintah. Meskipun pada konsep program dimunculkan bentuk partisipasi masyarakat mulai dari perencanaan, nyatanya model tersebut tidak terlaksana dengan baik. Kelompok-kelompok yang terbentuk dan program kegiatannya bukan berdasarkan prakarsa masyarakat langsung.

Lalu tentunya akan muncul pertanya-an, mengapa Posyandu dan PKK bisa bertahan meskipun kegiatannya hanya kegiatan rutin. Ternyata di samping PKK dan Posyandu tidak menerima bantuan dana (dalam bentuk dana bergulir proyek), kelompok masyarakat tersebut ternyata mempunyai kegiatan yang dibutuhkan oleh anggotanya. Hal ini berhubu-ngan deberhubu-ngan keinginan agar anggota keluar-ganya (bayi dan ibu) menjadi lebih sehat, memiliki pengetahuan tentang keluarga yang lebih baik. Artinya ada sentuhan kepada kebutuhan yang benar-benar diperlukan.

Untuk kasus-kasus kelompok masya-rakat yang ada di Kelurahan Tanah Enam ratus ini ternyata terlihat bahwa kelompok yang mempunyai kekuatan untuk mengembangan sumber dananya sendiri dari anggota akan lebih mempunyai kemampuan bertahan dari kelompok-kelompok lainnya. Hal ini jelas terlihat dari gambaran kelompok-kelompok yang ada. Kelompok-kelompok yang mengutip iuran kelompok dari anggotanya lebih mampu bertahan Hal ini sangat mungkin disebabkan karena dengan membayar iuran anggota kelompok masyarakat akan mempunyai tanggung jawab.

Pada kelompok-kelompok bentukan LSM yang mengandalkan model perencanaan bottom up dan partisipasi utuh anggota juga terlihat hampir sama dengan kondisi lembaga yang diprakarsai pemerintah. Hanya saja proses kelompok masyarakat binaan/prakarsa LSM akan lebih cepat menemukan titik bubar atau utuhnya kelompok, karena biasanya proses untuk mempersiapkan kelompok akan 16


(7)

lebih lebih selektif. Anggota-anggota kelom-pok akan merancang dan membuat aturan, nilai, dan tata cara berkelompok mulai dari awal terbentuk. Bila tidak terjadi kecocokan maka kelompok akan lebih cepat bubar, tetapi bila dari awal terjadi kecocokan maka kelompok tersebut dapat bertahan lama. Itulah sebabnya kelompok yang terbentuk atas prakarsa LSM biasanya dalam proses pembentukannya akan memakan waktu lebih lama.

Hal yang menarik adalah apabila melihat kemampuan bertahan kelompok masyarakat yang berdiri atas prakarsa masyarakat sendiri. Kelompok ini mempunyai daya tahan dan kemampuan survive yang tinggi. Kelompok-kelompok seperti pengajian, perwiridan, dan STM selalu eksis dalam masyarakat. Selain atas dasar ajaran agama, kelompok-kelompok tersebut ternyata mempu-nyai kekuatan untuk membangun kegiatannya. Hal ini disebabkan kegiatan/aktivitas kelompok sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Kebutuhan akan pentingnya hubungan dengan Allah SWT sebagai bagian hubungan individu dengan Tuhannya juga disertai oleh hubungan individu dengan manusia lain.

Hidupnya kelompok-kelompok yang ada di masyarakat tersebut juga tidak lepas akan kebutuhan dan kepentingan untuk memberikan sesuatu yang terbaik pada keluarga. Misalnya Posyandu mampu bertahan karena ingin memberikan sesuatu yang terbaik bagi bayi dan ibu sehingga kegiatan dan anggotanya tetap mampu bertahan. Kebutuhan untuk mengurus sanak dan keluarga yang meninggal membuat anggota masyarakat harus masuk menjadi anggota STM, perwiridan, dan pengajian. Kemungkinan sanksi dijauhi masyarakat sebagai sanksi sosial juga membuat individu harus masuk ke dalam kelompok masyarakat tersebut.

Dengan melihat deskripsi kelompok-kelompok masyarakat tersebut tentunya peneliti menilai bahwa organisasi masyarakat yang kuat dapat berdiri bila berasal dari prakarsa masyarakat itu sendiri dan menyang-kut kepentingan-kepentingan yang berhubu-ngan deberhubu-ngan kehidupan sehari-hari. Deberhubu-ngan demikian muncullah pemikiran untuk mem-berdayakan kelompok-kelompok masyarakat yang sudah teruji keberadaannya dalam masyarakat untuk membawa atau melaksana-kan program pemerintah.

Sebagai contoh, untuk kasus-kasus dana bergulir seperti JPS dan IDT apakah tidak sebaiknya disalurkan melalui kelompok-kelompok yang telah berdiri eksis dan diprakarsai masyarakat? Hal ini didasari dengan membuat kelompok-kelompok baru untuk pelaksanaan program tentunya akan memakan waktu lagi untuk berproses, sementara bila menggunakan kelompok yang sudah ada dan eksis tentunya proses menjadi lebih singkat. Kepercayaan (trust) pada kelompok-kelompok yang telah eksis dan bertahan lama di masyarakat seperti perwiridan, STM, Posyandu, dan lain-lain telah ada dan cukup besar sebagai modal dasar keberhasilan kelompok.

Namun demikian perlu dicermati bahwa ada kemungkinan bila program-program tersebut disalurkan melalui kelompok masyarakat yang telah eksis juga akan menimbulkan dampak rusaknya kelompok. Apalagi bila sudah berhubungan dengan materi (dana) maka biasanya akan muncul kendala memudarnya kepercayaan (trust) dalam kelompok tersebut. Banyak kejadian di mana kelompok-kelompok yang pada awalnya bagus melaksanakan kegiatan dan meng-organisir anggotanya menjadi rusak setelah disuntikkan dana program. Kejadian-kejadian ini banyak dijumpai oleh LSM dalam membina kelompok-kelompok masyarakat di daerah binaannya.

Relasi yang terbentuk dari masing-masing kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya belum terjalin secara sinergis. Kemampuan melakukan relasi kolaborasi menjadi hal yang sangat penting bagi terjalinnya hubungan sinergis. Kelompok-kelompok tidak mampu membangun hubungan yang simbiosis mutualisme di antara kelompok tersebut.

Dengan demikian terlihatlah jelas bahwa dalam melihat ketahanan berdirinya kelompok akan didasari oleh:

1. Proses awal berdirinya kelompok

2. Kemampuan mengumpulkan sumber daya 3. Kemampuan melakukan kegiatan yang

dibutuhkan

4. Kemampuan menyelaraskan diri dan membuat relasi

Secara teoretis pemberdayaan yang dilakukan oleh pemerintah cenderung masuk pada perspektif pluralis. Di mana pemerintah lebih menekankan proses untuk menolong


(8)

18

kelompok-kelompok masyarakat dan individu yang kurang beruntung untuk bersaing secara lebih efektif dengan kepentingan-kepentingan lain dengan jalan menolong mereka untuk belajar dan menggunakan keahlian mereka memahami bagaimana bekerjanya sistem (aturan main), dan sebagainya. Oleh karena-nya, diperlukan upaya untuk meningkatkan kapasitas masyarakat untuk bersaing sehingga tidak ada yang menang atau kalah. Dengan kata lain, pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk mengajarkan kelompok atau individu bagaimana bersaing di dalam peraturan (how to compete within the rules).

Hanya saja bentuk pemberdayaan ini terkadang menjadi salah dalam proses pelaksana-annya. Pemerintah dalam proses pemberdayaan cenderung lebih memilih fokus pada sisi ekonomi sedangkan kapasitas lain seperti kekuatan sosial, budaya, pengetahuan menjadi lebih tertinggal. Hal ini sangat berbeda dengan model yang diterapkan oleh LSM.

Salah satu yang sering digunakan oleh LSM adalah model elitis yang berusaha mempengaruhi para elitis, membentuk aliansi dengan elitis, melakukan konfrontasi, dan mencari perubahan pada elitis. Masyarakat menjadi tak berdaya karena adanya power dan kontrol yang besar sekali dari para elitis terhadap media, pendidikan, partai politik,

kebijakan publik, birokrasi, parlemen, dan sebagainya.

Model ini menekankan pada proses perubahan pada pembebasan power pada media, pendidikan, partai politik, kebijakan publik, birokrasi, parlemen agar dapat ber-fungsi sebagai-mana mestinya.

Pendekatan lain yang digunakan adalah model perspektif strukturalis, hanya dapat dicapai apabila bentuk-bentuk ketimpa-ngan struktural dieliminir. Model ini meyakini masyarakat tak berdaya karena suatu bentuk struktur dominan yang menindas masyarakat seperti masalah kelas, gender, ras atau etnis. Dengan kata lain pemberdayaan masyarakat adalah suatu proses pembebasan, perubahan struktural secara fundamental, menentang penindasan struktural.

Pada saat sekarang ini muncul model yang menekankan pada aspek intelektualitas ketimbang aktivitas aksi. Pemberdayaan masyarakat adalah upaya pengembangan pengertian terhadap pengembangan pemikiran baru, analitis, dan pendidikan daripada suatu usaha aksi. Model ini akan sangat berhubu-ngan deberhubu-ngan perubahan wawasan dan trans-formasi pengetahuan. Pendidikan menjadi alat yang utama dalam proses pemberdayaan ini.

Dari deskripsi dan literatur yang di-temukan tergambar pola sebagaimana yang dilihat dalam Bagan 1.


(9)

Bagan 1. Perbandingan Pelaksanaan Konsep CD melalui pemberdayaan kelompok antara Pemerintah, LSM, dan Masyarakat

PRAKARSA PEMERINTAH PRAKARSA LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT PRAKARSA MASYARAKAT

Model Top Down Bottom Up Bottom Up

Orientasi Program Oriented

• Mengutamakan

hasil yang dicapai

Process Deterministic • Mengutamakan proses

dalam melakukan kegiatan

Process Deterministic • Mengutamakan proses

dalam melakukan kegiatan

Masyarakat Objek Subjek Subjek

Hubungan Kerja • Menggantungkan hidup terhadap bantuan pemerintah • Kekeluargaan, kegotongroyongan, dan kebhinekaan • Kekeluargaan, kegotongroyongan, dan kebhinekaan Kelanjutan Program

• Sesuai dengan pesanan donor atau rencana kerja • Masyarakat hanya

dilibatkan sebagai pekerja tidak dilibatkan dalam pembuatan kebijakan • Berkesinambungan, • Kegiatan dilaksanakan

secara terorganisir • Dilaksanakan tahap demi

tahap dimulai dari tahap permulaan sampai pada tahap kegiatan tindak lanjut dan evaluasi

• Berkesinambungan, • Kegiatan dilaksanakan

terorganisir secara alami

• Dilaksanakan tahap demi tahap dimulai dari tahap permulaan sampai pada tahap kegiatan.

Partisipasi • Partisipasi Kerja

• Penyuluhan

• Partisipasi Penuh • Pendampingan secara

penuh

• Partisipasi Penuh • Sanksi sosial Pemecahan

Masalah

• Dilakukan melalui wacana yang beredar dan bersifat umum

• Pemberian bantuan yang sifatnya temporer

• Pemecahan masalah

dilakukan secara bersama-sama dengan masyarakat

• Pemenuhan kebutuhan

dilakukan berdasarkan potensi-potensi yang dimiliki masyarakat

• Pemecahan masalah

dilakukan secara bersama-sama dengan masyarakat melalui pemuka agama dan tokoh masyarakat

• Pemenuhan kebutuhan

dilakukan hal yang penting dalam masyarakat Anggapan

terhadap Masyarakat

• Tidak menjunjung tinggi aspirasi dan potensi masyarakat untuk melakukan kegiatan swadaya. • Pola pikir sangat

lokalit, terbelakang, statis tradisional, sulit berubah, lambat mengadopsi inovasi, serta tidak berdaya untuk hidup mandiri.

• Menjunjung tinggi aspirasi dan potensi masyarakat untuk melakukan kegiatan swadaya.

• Mengakui bahwa masyarakat memiliki potensi untuk memenuhi kebutuhannya,

memecahkan

permasalahannya, serta mampu melakukan usaha-usaha produktif dengan prinsip swadaya dan kebersamaan.

• Masyarakat harus dilayanai dengan menujunjung tinggi kepentingan umum. • Potensi masyarakat akan muncul dengan sendirinya bila ada kejadian atau hal-hal yang penting terjadi.

KESIMPULAN

Studi ini telah memaparkan temuan-temuan empiris tentang kelompok-kelompok masyarakat dan di dalam pemaparannya terdapat sejumlah informasi yang menarik.

Berdasarkan analisis yang dipaparkan di bab-bab sebelumnya beberapa kesimpulan dapat dikemukakan berikut ini:

1. Kemampuan dan cara bertahan hidup masing-masing kelompok akan sangat


(10)

berbeda dan ditentukan oleh situasi dalam kelompok itu sendiri.

2. Hampir sebagian besar kelompok masyarakat dikelola dengan model yang sangat sederhana dan tidak menggunakan secara baik prinsip-prinsip keorganisasian. 3. Sebagian besar kelompok-kelompok

masyarakat juga tidak mempunyai aturan dan sanksi tertulis mengenai sesuatu hal dapat terjadi dalam kelompok. Aturan dan sanksi itu ada dalam bentuk konsensus dan sudah dimengerti oleh anggota.

4. Peneliti melihat bahwa kelompok-kelompok yang didirikan oleh pemerintah mempunyai kecenderungan untuk tidak bertahan dalam jangka waktu yang lama. Hal ini dapat ditandai dengan kasus-kasus kelompok IDT, JPS di mana kelompok tidak dapat mempertahankan eksistensinya. Pola pembentukan kelompok masyarakat yang berdasarkan proyek dan membagikan materi (baca uang atau dana) ternyata sangat rentan untuk tidak bertahan lama. Proses tersebut tidak lepas dari model pembangunan top down yang masih dilakukan pemerintah. Meskipun pada konsep program dimunculkan bentuk partisipasi masyarakat mulai dari perencanaan, nyatanya model tersebut tidak terlaksana dengan baik. Kelompok-kelompok yang terbentuk dan program kegiatannya bukan berdasarkan prakarsa masyarakat langsung.

5. Pada kelompok-kelompok bentukan LSM yang mengandalkan model perencanaan bottom up dan partisipasi utuh anggota juga terlihat hampir sama dengan kondisi lembaga yang diprakarsai pemerintah. Hanya saja proses kelomok masyarakat binaan/prakarsa LSM akan lebih cepat menemukan titik bubar atau utuhnya kelompok, karena biasanya proses untuk mempersiapkan kelompok akan lebih lebih selektif.

6. Hal yang menarik adalah apabila melihat kemampuan bertahan kelompok masyarakat yang berdiri atas prakarsa masyarakat sendiri. Kelompok- ini mempunyai daya tahan dan kemampuan survive yang tinggi. Kelompok-kelompok seperti Pengajian, Perwiridan dan STM tetap selalu eksis dalam masyarakat. Selain atas dasar ajaran agama kelompok-kelompok tersebut ternyata mempunyai kekuatan untuk membangun kegiatannya. Hal ini disebabkan kegiatan/aktivitas kelompok sangat dibutuhkan oleh

masyarakat. Kebutuhan akan pentingnya hubungan dengan Allah SWT sebagai bagian hubungan individu dengan Tuhannya juga disertai oleh hubungan individu dengan manusia lain.

7. Secara metodologis penelitian ini mempunyai kelemahan-kelemahan di antaranya tidak semua key informan bisa mengingat kembali proses-proses yang terjadi dikelmpok dan dokumen pendukung juga tidak banyak ditemukan. Dengan kemampuan mengingat yang terbatas maka informasi yang didapat pun tidak maksimal. Kelemahan berikutnya adalah pada kelompok-kelompok yang menerima bantuan dana bergulir akan sangat protektif dalam memberikan informasi dan cenderung untuk mengelak untuk diwawancarai. Terlepas dari itu semua penelitian ini kiranya mampu menjajikan informasi dan membuka wawasan mengenai kelompok masyarakat yang ada.

SARAN

1. Para pemrakarsa kelompok hendaknya lebih memperhatikan dan membangun kelompok dengan pola administrasi yang baik sehingga dokumen-dokumen tentang organisasi dapat terjaga dan tidak hanya berupa informasi dari mulut ke mulut.

2. Kelompok-kelompok masyarakat yang berdiri atas prakarsa pemerintah dan LSM dan masyarakat menjalin hubungan yang sinergis dengan membangun relasi kolaborasi di antara kelompok-kelompok masyarakat tersebut.

3. Kelompok-kelompok masyarakat yang sudah eksis sebaiknya dimanfaatkan untuk melaksanakan program pemerintah, dan pemerintah tidak perlu lagi membuat kelompok-kelompok masyarakat yang baru yang telah terbukti sangat rentan untuk bubar.

4. Perlu dilakukan penelitian dengan model intervensi langsung ke lapangan dan menstimulasi kelompok-kelompok untuk dapat bersinergi, tentunya dengan metodologi yang sesuai dengan situasi dan kondisi di tempat penelitian tersebut.


(11)

DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, Syarif. 2001. Pemberdayaan Ekonomi Rakyat; Sebuah Rekonstruksi Konsep Community Based Development (CBD). Jakarta, Pustaka Quantum.

Ismawan, Bambang, 2002. Partisipasi dan Dimensi Keswadayaan: Pengalaman LSM Membangun Keswadayaan Masyarakat. Jurnal Ekonomi Rakyat, Tahun II Nomor 3 Mei 2002.

Mubyarto. 2002. LSM sebagai Elite Desa harus Membela Kaum Miskin. Jurnal Ekonomi Rakyat, Tahun I Nomor 8, Oktober 2002.

Sajogyo. 2003. Tantangan Tambahan bagi LSM/ORNOP, Tahun 2003 – 2005. Jurnal Ekonomi Rakyat Tahun II Nomor 2, April 2003.

Santosa, Awan, dkk. 2003. Program Penanggulangan Kemiskinan Bersasaran di Provinsi DIY. Jurnal Ekonomi Rakyat Tahun II Nomor 2, April 2003.

Sumodiningrat, G. 1996. Memberdayakan Masyarakat. Kumpulan Makalah tentang Inpres Desa Tertinggal. Jakarta, Penakencana Nusadwipa.

Sumodiningrat, Gunawan. 1999. Pemberdayaan Masyarakat dan JPS. Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.


(1)

masing kelompok akan sangat berbeda dan ditentukan oleh situasi dalam kelompok itu sendiri. Dari hasil penelitian tersebut terlihat jelas bahwa hampir sebagian besar kelompok masyarakat dikelola dengan model yang sangat sederhana dan tidak menggunakan secara baik prinsip-prinsip keorganisasian. Hal ini ditandai dengan bentuk dan struktur kelompok yang cukup sederhana dan sistem administrasi yang tidak tertata dengan baik.

Setiap kelompok masyarakat tidak memiliki dokumen kelompok yang tertata dengan baik dan tidak mempunyai anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Peneliti hanya menemukan beberapa kelompok masyarakat yang mempunyai anggaran dasar dan anggaran rumah tangga sebagai dasar aturan bergeraknya kelompok.

Kelompok-kelompok masyarakat juga tidak mempunyai aturan dan sanksi tertulis mengenai sesuatu hal dapat terjadi dalam kelompok. Aturan dan sanksi itu ada dalam bentuk konsensus dan sudah dimengerti oleh anggota.

Kelemahan ini terjadi pada semua kelompok masyarakat baik yang diprakarsai oleh pemerintah (misalnya seperti PKK, Posyandu, LMD, Kelompok bentukan JPS, IDT), diprakarsai oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (RBT, Kesper), dan yang tumbuh dari prakarsa masyarakat sendiri (seperti pengajian, STM, Dalihan Natolu, Perwiridan).

Peneliti melihat bahwa kelompok-kelompok yang didirikan oleh pemerintah mempunyai kecenderungan untuk tidak bertahan dalam jangka waktu yang lama. Hal ini dapat ditandai dengan kasus-kasus kelompok IDT, JPS di mana kelompok tidak dapat mempertahankan eksistensinya.

Ada pola yang menarik terlihat bila dibandingkan dengan kelompok masyarakat lain yang dibentuk pemerintah juga seperti Posyandu dan PKK. Kegiatan kelompok masyarakat ini terbukti dapat bertahan sekian lamanya dibandingkan dengan kegiatan kelompok seperti JPS dan IDT. Pola pembentukan kelompok masyarakat yang berdasarkan proyek dan membagikan materi (baca: uang atau dana) ternyata cenderung tidak bertahan lama. Kasus-kasus kelompok bentukan IDT dan JPS di Kelurahan Tanah Enam Ratus menjadi bahan acuan untuk melihat pola tersebut. Dari 10 kelompok masyarakat bentukan JPS tidak satupun kelompok tersebut bertahan sampai saat ini.

Demikian juga dengan kelompok bentukan IDT juga tidak bertahan lama.

Kelompok JPS dan IDT pada umum-nya terbentuk tidak berdasarkan perencanaan yang matang dan proses pemahaman penting-nya kelompok bagi anggota-anggotapenting-nya. Pem-bentukan kelompok-kelompok masyarakat untuk program-program tersebut lebih cende-rung pada kepentingan sesaat pada saat proyek tersebut dilaksanakan.

Proses tersebut tidak lepas dari model pembangunan top down yang masih dilakukan pemerintah. Meskipun pada konsep program dimunculkan bentuk partisipasi masyarakat mulai dari perencanaan, nyatanya model tersebut tidak terlaksana dengan baik. Kelompok-kelompok yang terbentuk dan program kegiatannya bukan berdasarkan prakarsa masyarakat langsung.

Lalu tentunya akan muncul pertanya-an, mengapa Posyandu dan PKK bisa bertahan meskipun kegiatannya hanya kegiatan rutin. Ternyata di samping PKK dan Posyandu tidak menerima bantuan dana (dalam bentuk dana bergulir proyek), kelompok masyarakat tersebut ternyata mempunyai kegiatan yang dibutuhkan oleh anggotanya. Hal ini berhubu-ngan deberhubu-ngan keinginan agar anggota keluar-ganya (bayi dan ibu) menjadi lebih sehat, memiliki pengetahuan tentang keluarga yang lebih baik. Artinya ada sentuhan kepada kebutuhan yang benar-benar diperlukan.

Untuk kasus-kasus kelompok masya-rakat yang ada di Kelurahan Tanah Enam ratus ini ternyata terlihat bahwa kelompok yang mempunyai kekuatan untuk mengembangan sumber dananya sendiri dari anggota akan lebih mempunyai kemampuan bertahan dari kelompok-kelompok lainnya. Hal ini jelas terlihat dari gambaran kelompok-kelompok yang ada. Kelompok-kelompok yang mengutip iuran kelompok dari anggotanya lebih mampu bertahan Hal ini sangat mungkin disebabkan karena dengan membayar iuran anggota kelompok masyarakat akan mempunyai tanggung jawab.

Pada kelompok-kelompok bentukan LSM yang mengandalkan model perencanaan bottom up dan partisipasi utuh anggota juga terlihat hampir sama dengan kondisi lembaga yang diprakarsai pemerintah. Hanya saja proses kelompok masyarakat binaan/prakarsa LSM akan lebih cepat menemukan titik bubar atau utuhnya kelompok, karena biasanya proses untuk mempersiapkan kelompok akan 16


(2)

lebih lebih selektif. Anggota-anggota kelom-pok akan merancang dan membuat aturan, nilai, dan tata cara berkelompok mulai dari awal terbentuk. Bila tidak terjadi kecocokan maka kelompok akan lebih cepat bubar, tetapi bila dari awal terjadi kecocokan maka kelompok tersebut dapat bertahan lama. Itulah sebabnya kelompok yang terbentuk atas prakarsa LSM biasanya dalam proses pembentukannya akan memakan waktu lebih lama.

Hal yang menarik adalah apabila melihat kemampuan bertahan kelompok masyarakat yang berdiri atas prakarsa masyarakat sendiri. Kelompok ini mempunyai daya tahan dan kemampuan survive yang tinggi. Kelompok-kelompok seperti pengajian, perwiridan, dan STM selalu eksis dalam masyarakat. Selain atas dasar ajaran agama, kelompok-kelompok tersebut ternyata mempu-nyai kekuatan untuk membangun kegiatannya. Hal ini disebabkan kegiatan/aktivitas kelompok sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Kebutuhan akan pentingnya hubungan dengan Allah SWT sebagai bagian hubungan individu dengan Tuhannya juga disertai oleh hubungan individu dengan manusia lain.

Hidupnya kelompok-kelompok yang ada di masyarakat tersebut juga tidak lepas akan kebutuhan dan kepentingan untuk memberikan sesuatu yang terbaik pada keluarga. Misalnya Posyandu mampu bertahan karena ingin memberikan sesuatu yang terbaik bagi bayi dan ibu sehingga kegiatan dan anggotanya tetap mampu bertahan. Kebutuhan untuk mengurus sanak dan keluarga yang meninggal membuat anggota masyarakat harus masuk menjadi anggota STM, perwiridan, dan pengajian. Kemungkinan sanksi dijauhi masyarakat sebagai sanksi sosial juga membuat individu harus masuk ke dalam kelompok masyarakat tersebut.

Dengan melihat deskripsi kelompok-kelompok masyarakat tersebut tentunya peneliti menilai bahwa organisasi masyarakat yang kuat dapat berdiri bila berasal dari prakarsa masyarakat itu sendiri dan menyang-kut kepentingan-kepentingan yang berhubu-ngan deberhubu-ngan kehidupan sehari-hari. Deberhubu-ngan demikian muncullah pemikiran untuk mem-berdayakan kelompok-kelompok masyarakat yang sudah teruji keberadaannya dalam masyarakat untuk membawa atau melaksana-kan program pemerintah.

Sebagai contoh, untuk kasus-kasus dana bergulir seperti JPS dan IDT apakah tidak sebaiknya disalurkan melalui kelompok-kelompok yang telah berdiri eksis dan diprakarsai masyarakat? Hal ini didasari dengan membuat kelompok-kelompok baru untuk pelaksanaan program tentunya akan memakan waktu lagi untuk berproses, sementara bila menggunakan kelompok yang sudah ada dan eksis tentunya proses menjadi lebih singkat. Kepercayaan (trust) pada kelompok-kelompok yang telah eksis dan bertahan lama di masyarakat seperti perwiridan, STM, Posyandu, dan lain-lain telah ada dan cukup besar sebagai modal dasar keberhasilan kelompok.

Namun demikian perlu dicermati bahwa ada kemungkinan bila program-program tersebut disalurkan melalui kelompok masyarakat yang telah eksis juga akan menimbulkan dampak rusaknya kelompok. Apalagi bila sudah berhubungan dengan materi (dana) maka biasanya akan muncul kendala memudarnya kepercayaan (trust) dalam kelompok tersebut. Banyak kejadian di mana kelompok-kelompok yang pada awalnya bagus melaksanakan kegiatan dan meng-organisir anggotanya menjadi rusak setelah disuntikkan dana program. Kejadian-kejadian ini banyak dijumpai oleh LSM dalam membina kelompok-kelompok masyarakat di daerah binaannya.

Relasi yang terbentuk dari masing-masing kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya belum terjalin secara sinergis. Kemampuan melakukan relasi kolaborasi menjadi hal yang sangat penting bagi terjalinnya hubungan sinergis. Kelompok-kelompok tidak mampu membangun hubungan yang simbiosis mutualisme di antara kelompok tersebut.

Dengan demikian terlihatlah jelas bahwa dalam melihat ketahanan berdirinya kelompok akan didasari oleh:

1. Proses awal berdirinya kelompok

2. Kemampuan mengumpulkan sumber daya 3. Kemampuan melakukan kegiatan yang

dibutuhkan

4. Kemampuan menyelaraskan diri dan membuat relasi

Secara teoretis pemberdayaan yang dilakukan oleh pemerintah cenderung masuk pada perspektif pluralis. Di mana pemerintah lebih menekankan proses untuk menolong


(3)

18

kelompok-kelompok masyarakat dan individu yang kurang beruntung untuk bersaing secara lebih efektif dengan kepentingan-kepentingan lain dengan jalan menolong mereka untuk belajar dan menggunakan keahlian mereka memahami bagaimana bekerjanya sistem (aturan main), dan sebagainya. Oleh karena-nya, diperlukan upaya untuk meningkatkan kapasitas masyarakat untuk bersaing sehingga tidak ada yang menang atau kalah. Dengan kata lain, pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk mengajarkan kelompok atau individu bagaimana bersaing di dalam peraturan (how to compete within the rules).

Hanya saja bentuk pemberdayaan ini terkadang menjadi salah dalam proses pelaksana-annya. Pemerintah dalam proses pemberdayaan cenderung lebih memilih fokus pada sisi ekonomi sedangkan kapasitas lain seperti kekuatan sosial, budaya, pengetahuan menjadi lebih tertinggal. Hal ini sangat berbeda dengan model yang diterapkan oleh LSM.

Salah satu yang sering digunakan oleh LSM adalah model elitis yang berusaha mempengaruhi para elitis, membentuk aliansi dengan elitis, melakukan konfrontasi, dan mencari perubahan pada elitis. Masyarakat menjadi tak berdaya karena adanya power dan kontrol yang besar sekali dari para elitis terhadap media, pendidikan, partai politik,

kebijakan publik, birokrasi, parlemen, dan sebagainya.

Model ini menekankan pada proses perubahan pada pembebasan power pada media, pendidikan, partai politik, kebijakan publik, birokrasi, parlemen agar dapat ber-fungsi sebagai-mana mestinya.

Pendekatan lain yang digunakan adalah model perspektif strukturalis, hanya dapat dicapai apabila bentuk-bentuk ketimpa-ngan struktural dieliminir. Model ini meyakini masyarakat tak berdaya karena suatu bentuk struktur dominan yang menindas masyarakat seperti masalah kelas, gender, ras atau etnis. Dengan kata lain pemberdayaan masyarakat adalah suatu proses pembebasan, perubahan struktural secara fundamental, menentang penindasan struktural.

Pada saat sekarang ini muncul model yang menekankan pada aspek intelektualitas ketimbang aktivitas aksi. Pemberdayaan masyarakat adalah upaya pengembangan pengertian terhadap pengembangan pemikiran baru, analitis, dan pendidikan daripada suatu usaha aksi. Model ini akan sangat berhubu-ngan deberhubu-ngan perubahan wawasan dan trans-formasi pengetahuan. Pendidikan menjadi alat yang utama dalam proses pemberdayaan ini.

Dari deskripsi dan literatur yang di-temukan tergambar pola sebagaimana yang dilihat dalam Bagan 1.


(4)

Bagan 1. Perbandingan Pelaksanaan Konsep CD melalui pemberdayaan kelompok antara Pemerintah, LSM, dan Masyarakat

PRAKARSA PEMERINTAH PRAKARSA LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT PRAKARSA MASYARAKAT

Model Top Down Bottom Up Bottom Up

Orientasi Program Oriented

• Mengutamakan hasil yang dicapai

Process Deterministic • Mengutamakan proses

dalam melakukan kegiatan

Process Deterministic • Mengutamakan proses

dalam melakukan kegiatan

Masyarakat Objek Subjek Subjek

Hubungan Kerja • Menggantungkan hidup terhadap bantuan pemerintah • Kekeluargaan, kegotongroyongan, dan kebhinekaan • Kekeluargaan, kegotongroyongan, dan kebhinekaan Kelanjutan Program

• Sesuai dengan pesanan donor atau rencana kerja • Masyarakat hanya

dilibatkan sebagai pekerja tidak dilibatkan dalam pembuatan kebijakan • Berkesinambungan, • Kegiatan dilaksanakan

secara terorganisir • Dilaksanakan tahap demi

tahap dimulai dari tahap permulaan sampai pada tahap kegiatan tindak lanjut dan evaluasi

• Berkesinambungan, • Kegiatan dilaksanakan

terorganisir secara alami

• Dilaksanakan tahap demi tahap dimulai dari tahap permulaan sampai pada tahap kegiatan.

Partisipasi • Partisipasi Kerja • Penyuluhan

• Partisipasi Penuh • Pendampingan secara

penuh

• Partisipasi Penuh • Sanksi sosial Pemecahan

Masalah

• Dilakukan melalui wacana yang beredar dan bersifat umum

• Pemberian bantuan yang sifatnya temporer

• Pemecahan masalah dilakukan secara bersama-sama dengan masyarakat • Pemenuhan kebutuhan

dilakukan berdasarkan potensi-potensi yang dimiliki masyarakat

• Pemecahan masalah dilakukan secara bersama-sama dengan masyarakat melalui pemuka agama dan tokoh masyarakat • Pemenuhan kebutuhan

dilakukan hal yang penting dalam masyarakat Anggapan

terhadap Masyarakat

• Tidak menjunjung tinggi aspirasi dan potensi masyarakat untuk melakukan kegiatan swadaya. • Pola pikir sangat

lokalit, terbelakang, statis tradisional, sulit berubah, lambat mengadopsi inovasi, serta tidak berdaya untuk hidup mandiri.

• Menjunjung tinggi aspirasi dan potensi masyarakat untuk melakukan kegiatan swadaya.

• Mengakui bahwa masyarakat memiliki potensi untuk memenuhi kebutuhannya,

memecahkan

permasalahannya, serta mampu melakukan usaha-usaha produktif dengan prinsip swadaya dan kebersamaan.

• Masyarakat harus dilayanai dengan menujunjung tinggi kepentingan umum. • Potensi masyarakat akan muncul dengan sendirinya bila ada kejadian atau hal-hal yang penting terjadi.

KESIMPULAN

Studi ini telah memaparkan temuan-temuan empiris tentang kelompok-kelompok masyarakat dan di dalam pemaparannya terdapat sejumlah informasi yang menarik.

Berdasarkan analisis yang dipaparkan di bab-bab sebelumnya beberapa kesimpulan dapat dikemukakan berikut ini:

1. Kemampuan dan cara bertahan hidup masing-masing kelompok akan sangat


(5)

berbeda dan ditentukan oleh situasi dalam kelompok itu sendiri.

2. Hampir sebagian besar kelompok masyarakat dikelola dengan model yang sangat sederhana dan tidak menggunakan secara baik prinsip-prinsip keorganisasian. 3. Sebagian besar kelompok-kelompok

masyarakat juga tidak mempunyai aturan dan sanksi tertulis mengenai sesuatu hal dapat terjadi dalam kelompok. Aturan dan sanksi itu ada dalam bentuk konsensus dan sudah dimengerti oleh anggota.

4. Peneliti melihat bahwa kelompok-kelompok yang didirikan oleh pemerintah mempunyai kecenderungan untuk tidak bertahan dalam jangka waktu yang lama. Hal ini dapat ditandai dengan kasus-kasus kelompok IDT, JPS di mana kelompok tidak dapat mempertahankan eksistensinya. Pola pembentukan kelompok masyarakat yang berdasarkan proyek dan membagikan materi (baca uang atau dana) ternyata sangat rentan untuk tidak bertahan lama. Proses tersebut tidak lepas dari model pembangunan top down yang masih dilakukan pemerintah. Meskipun pada konsep program dimunculkan bentuk partisipasi masyarakat mulai dari perencanaan, nyatanya model tersebut tidak terlaksana dengan baik. Kelompok-kelompok yang terbentuk dan program kegiatannya bukan berdasarkan prakarsa masyarakat langsung.

5. Pada kelompok-kelompok bentukan LSM yang mengandalkan model perencanaan bottom up dan partisipasi utuh anggota juga terlihat hampir sama dengan kondisi lembaga yang diprakarsai pemerintah. Hanya saja proses kelomok masyarakat binaan/prakarsa LSM akan lebih cepat menemukan titik bubar atau utuhnya kelompok, karena biasanya proses untuk mempersiapkan kelompok akan lebih lebih selektif.

6. Hal yang menarik adalah apabila melihat kemampuan bertahan kelompok masyarakat yang berdiri atas prakarsa masyarakat sendiri. Kelompok- ini mempunyai daya tahan dan kemampuan survive yang tinggi. Kelompok-kelompok seperti Pengajian, Perwiridan dan STM tetap selalu eksis dalam masyarakat. Selain atas dasar ajaran agama kelompok-kelompok tersebut ternyata mempunyai kekuatan untuk membangun kegiatannya. Hal ini disebabkan kegiatan/aktivitas kelompok sangat dibutuhkan oleh

masyarakat. Kebutuhan akan pentingnya hubungan dengan Allah SWT sebagai bagian hubungan individu dengan Tuhannya juga disertai oleh hubungan individu dengan manusia lain.

7. Secara metodologis penelitian ini mempunyai kelemahan-kelemahan di antaranya tidak semua key informan bisa mengingat kembali proses-proses yang terjadi dikelmpok dan dokumen pendukung juga tidak banyak ditemukan. Dengan kemampuan mengingat yang terbatas maka informasi yang didapat pun tidak maksimal. Kelemahan berikutnya adalah pada kelompok-kelompok yang menerima bantuan dana bergulir akan sangat protektif dalam memberikan informasi dan cenderung untuk mengelak untuk diwawancarai. Terlepas dari itu semua penelitian ini kiranya mampu menjajikan informasi dan membuka wawasan mengenai kelompok masyarakat yang ada.

SARAN

1. Para pemrakarsa kelompok hendaknya lebih memperhatikan dan membangun kelompok dengan pola administrasi yang baik sehingga dokumen-dokumen tentang organisasi dapat terjaga dan tidak hanya berupa informasi dari mulut ke mulut.

2. Kelompok-kelompok masyarakat yang berdiri atas prakarsa pemerintah dan LSM dan masyarakat menjalin hubungan yang sinergis dengan membangun relasi kolaborasi di antara kelompok-kelompok masyarakat tersebut.

3. Kelompok-kelompok masyarakat yang sudah eksis sebaiknya dimanfaatkan untuk melaksanakan program pemerintah, dan pemerintah tidak perlu lagi membuat kelompok-kelompok masyarakat yang baru yang telah terbukti sangat rentan untuk bubar.

4. Perlu dilakukan penelitian dengan model intervensi langsung ke lapangan dan menstimulasi kelompok-kelompok untuk dapat bersinergi, tentunya dengan metodologi yang sesuai dengan situasi dan kondisi di tempat penelitian tersebut.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, Syarif. 2001. Pemberdayaan Ekonomi Rakyat; Sebuah Rekonstruksi Konsep Community Based Development (CBD). Jakarta, Pustaka Quantum.

Ismawan, Bambang, 2002. Partisipasi dan Dimensi Keswadayaan: Pengalaman LSM Membangun Keswadayaan Masyarakat. Jurnal Ekonomi Rakyat, Tahun II Nomor 3 Mei 2002.

Mubyarto. 2002. LSM sebagai Elite Desa harus Membela Kaum Miskin. Jurnal Ekonomi Rakyat, Tahun I Nomor 8, Oktober 2002.

Sajogyo. 2003. Tantangan Tambahan bagi LSM/ORNOP, Tahun 2003 – 2005. Jurnal Ekonomi Rakyat Tahun II Nomor 2, April 2003.

Santosa, Awan, dkk. 2003. Program Penanggulangan Kemiskinan Bersasaran di Provinsi DIY. Jurnal Ekonomi Rakyat Tahun II Nomor 2, April 2003.

Sumodiningrat, G. 1996. Memberdayakan Masyarakat. Kumpulan Makalah tentang Inpres Desa Tertinggal. Jakarta, Penakencana Nusadwipa.

Sumodiningrat, Gunawan. 1999. Pemberdayaan Masyarakat dan JPS. Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.