Pemanfaatan Limbah Bulu Ayam Sebagai Sumber Protein Ayam Pedaging Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup

(1)

T E S I S

Oleh

NURJAMA’YAH BR. KETAREN

067004011/PSL

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(2)

PEMANFAATAN LIMBAH BULU AYAM SEBAGAI SUMBER

PROTEIN AYAM PEDAGING DALAM PENGELOLAAN

LINGKUNGAN HIDUP

T E S I S

Oleh

NURJAMA‘YAH BR. KETAREN

067004011/PSL

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(3)

PEMANFAATAN LIMBAH BULU AYAM SEBAGAI SUMBER

PROTEIN AYAM PEDAGING DALAM PENGELOLAAN

LINGKUNGAN HIDUP

T E S I S

Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains

Dalam Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

NURJAMA‘YAH BR. KETAREN

067004011/PSL

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(4)

Judul Tesis : PEMANFAATAN LIMBAH BULU AYAM SEBAGAI SUMBER PROTEIN AYAM PEDAGING DALAM

PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP Nama Mahasiswa : Nurjama’yah Br. Ketaren

Nomor Pokok : 067004011

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL)

Menyetujui Komisi Pembimbing :

( Prof. Dr. Basuki Wirjosentoro, MS ) Ketua

( Dr. Zulfikar Siregar, MP) ( Dr. Ir. Hasanuddin, MS) Anggota Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)


(5)

Telah diuji pada,

Tanggal 14 Agustus 2008

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Basuki Wirjosentoro, MS Anggota : 1. Dr. Zulfikar Siregar, MP

2. Dr. Ir. Hasanuddin, MS 3. Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc 4. Dr. Dwi Suryanto, MS


(6)

ABSTRAK

Pemanfaatan limbah bulu ayam sebagai sumber protein ayam pedaging diyakini mampu meminimalisasi dampak pencemaran limbah bulu ayam dan menciptakan suatu industri peternakan yang ramah lingkungan. Pemanfaatan limbah bulu ayam melibatkan peran mikroorganisme berupa jamur melalui proses fermentasi. Jamur dalam proses fermentasi berperan merombak komponen kompleks dalam tepung bulu ayam menjadi komponen yang lebih sederhana dan siap diserap oleh tubuh.

Tujuan penelitian ini adalah menguji kemampuan isolat jamur kandang ayam dalam meningkatkan kecernaan tepung bulu ayam sehingga memberikan pengaruh yang baik terhadap pertumbuhan ayam dalam upaya meminimalisasi dampak pencemaran limbah bulu ayam di lingkungan. Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, tahap pertama pengujian fermentasi menentukan dosis inokulum jamur terbaik yang dapat meningkatkan kandungan protein yang tertinggi. Pada fase pertama ini penelitian menggunakan rancangan acak lengkap non faktorial dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan, perlakuan terdiri dari R0 (kontrol/tepung bulu tanpa fermentasi), R1 (dosis inokulum jamur 1%), R2 (dosis inokulum jamur 2%) dan R3 (dosis inokulum jamur 3%). Pengujian tahap kedua pengujian biologis untuk menentukan pengaruh penggunaan tepung bulu ayam dalam ransum terhadap pertumbuhan ayam. Pada fase kedua penelitian menggunakan rancangan acak lengkap non faktorial dengan 5 perlakuan dan 4 ulangan, yang terdiri dari 5 ekor ayam perplot dengan level penggunaan ransum yaitu T0 (ransum kontrol), T1 (tepung bulu 2,5%), T2 (tepung bulu 5%), T3 (tepung bulu 7,5%) dan T4 (tepung bulu 10%).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan inokulum jamur sampai 3% dalam proses fermentasi memberikan pengaruh yang sangat berbeda nyata terhadap peningkatan kandungan protein tepung bulu ayam. Perbedaan ditunjukkan dengan peningkatan kandungan protein yang lebih tinggi dari T0 (tanpa fermentasi) dan T1 (dosis inokulum 1%) serta T2 (dosis inokum 2%).

Pada pengujian tahap kedua menunjukkan bahwa penggunaan tepung bulu ayam yang difermentasi dengan isolat jamur Penicillium sp sampai level 5% dalam ransum, menunjukkan konsumsi ransum, pertambahan berat badan dan konversi ransum sangat berbeda nyata dengan kontrol (tanpa tepung bulu ayam).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dosis inokulum jamur yang dapat digunakan untuk meningkatkan kandungan protein tepung bulu ayam adalah pada dosis 3%, sedangkan tepung bulu ayam fermentasi dengan inokulum jamur

Penicillium sp yang dapat digunakan dalam ransum sebesar 5%. Kata Kunci : Limbah Bulu Ayam, Lingkungan Hidup, Sumber Protein.


(7)

ABSTRACT

The uses of chicken feather waste to become as source of protein for broiler hopefully may minimize the rate of pollution impact by the chicken feather it self and lead a poultry farm with a friendly environment. In exploiting the chicken feather waste involved the role of micro-organism with fungus through a fermented process, where the fungus in its fermented process playing its role to reform the component complete in powder product into a more simple component and existed to absorb by a living chicken.

The objective of this study is to examine the existence of an isolate fungus as waste in the chicken pen in increasing absorbed in chicken feather powder and lead a good influence to the growing of chicken in order to minimize the pollution impacted by chicken feather waste for the environment. This study was conducted in two stages. The first phase is fermentation test, to determine the most valuable fungus inoculum dosage able to increase the content in greatest protein. On this first phase, the study adopted a non-factorial complete random design with 4 treatments and 3 repetitions. The treatment consist of R0 (control/feather powder unfermented), R1 (fungus inoculum dosage of 1%), R2 (fungus inoculum dosage of 2%) and R3 (innoculum fungus dosage of 3%). In the second phase test is about biological item to determine the influence uses of chicken feather powder in ransom for the growth of poultry. On the second phase, the test adopted a non-factorial complete random design with a 5 treatments and 4 repetitions comprising 5 per plot chicken with a level ransom uses of T0 (control ransom), T1 (feather powder 2.5%), T2 (feather powder 5%), T3 (feather powder 7.5%) and T4 (feather powder 10%).

The result of study showed that uses of fungus inoculum through 3% in its fermented process show an influence in a different significant to improve the protein content in chicken feather powder. The difference can be seen with improving content of protein higher than T0 (unfermented) and T1 (inoculum dosage 1%) and T2 (inoculum dosage 2%).

On the second phase test showed that the uses of fermented chicken feather powder with isolate fungus Penicillium sp up to 5% level in ransom, indicate ransom consumption, elevated weight of poultry and conversion of ransom is very significant with the control (without any chicken feather powder).

In conclusion, the fungus inoculum dosage to be used in increasing content of protein on chicken feather is on dosage 3%, while the fermented chicken feather powder with fungus inoculum Penicillium sp able to use within ransom of 5%. Key words : Chicken feather waste, Environmental, Source of protein.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah serta petunjuk-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Penelitian yang berjudul “Pemanfaatan Limbah Bulu Ayam Sebagai Sumber Protein Ayam Pedaging Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup” disusun dalam rangka penulisan tesis untuk memperoleh gelar Magíster Sains dalam Program Magíster Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan pada Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih belum sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna kesempurnaannya. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan (PSL) Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS, para Pembimbing, Prof. Dr. Basuki Wirjosentoro, MS, Dr. Zulfikar Siregar, MP, Dr. Ir.Hasanuddin, MS yang telah banyak memberi bimbingan dan pengarahan kepada penulis dan kepada penguji Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc serta Dr. Dwi Suryanto, MS yang telah banyak memberikan pengarahan dan saran kepada penulis dalam penulisan tesis ini. Kepada semua rekan- rekan PSL 2006, fungsional laboratorium HPT serta laboratorium Produksi Ternak yang telah banyak memberikan bantuan dan informasi kepada penulis dalam pelaksanaan penelitian ini, semoga amal kebaikannya dibalas oleh Allah SWT.

Dengan segala kerendahan hati, akhirnya penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada ibunda tercinta Rabumah Sagala yang telah mencurahkan kasih sayang, dukungan dan doanya kepada penulis. Serta kepada kakak dan abang yang telah banyak memberikan dukungan dan bantuan kepada penulis.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah turut berpartisipasi dalam penulisan tesis ini. Semoga tesis ini berguna dalam pengembangan dunia peternakan khususnya dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup.

Medan, Juni 2008

Penulis

NURJAMA’YAH BR. KETAREN 067004011/PSL


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 6 juli 1975 di Pancur Batu, anak ketujuh dari tujuh bersaudara, putri dari pasangan Amat Ketaren (almarhum) dan Rabumah Sagala.

Pendidikan Sekolah Dasar tahun 1982-1988 di SD Negeri 101818 Pancur Batu, Sekolah Menengah Pertama tahun 1988-1991 di SMP Negeri-2 Pancur Batu, Sekolah Menengah Atas tahun 1991-1994 di SMA Negeri I Pancur Batu. Pada tahun 1994, penulis melanjutkan pendidikan di Universitas Sumatera Utara pada Fakultas Pertanian Jurusan Peternakan dan meraih gelar Sarjana Peternakan tahun 1999.

Pada tahun 2002 penulis diterima sebagai tenaga pengajar pada Universitas Al-Azhar Medan dan pada tahun 2006 mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan Strata 2 di Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, dengan sumber dana dari BPPS.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... ... iii

RIWAYAT HIDUP... iv

DAFTAR ISI... v

DAFTAR TABEL... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN... x

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 6

1.3 Kerangka Pemikiran... 6

1.4 Tujuan Penelitian ... 8

1.5 Hipótesis Penelitian... 9

1.6 Manfaat Penelitian ... 9

II.TINJAUAN PUSTAKA... 10

2.1 Dampak Pencemaran Limbah Bulu Ayam di Lingkungan ... 10

2.2 Potensi Limbah Bulu Ayam ... 12

2.3 Keratin (Protein Fibrous) ... 14

2.4 Peran Mikroba Sebagai Pendegradasi Limbah di Lingkungan ... 17

2.5 Pengolahan Limbah Bulu Ayam ... 18

2.5.1 Perlakuan Fisik... 18

2.5.2 Perlakuan Biologis ... 19

2.6 Proses Fermentasi dengan Médium Padat... 20

2.7 Kapang (Jamur) Sebagai Inokulum Fermentasi ... 20

2.8 Kebutuhan Zat-zat Makanan Ayam Pedaging... 22

2.8.1 Karbohidrat ... 23

2.8.2 Protein ... 24

2.8.3 Serat Kasar ... 24

2.8.4 Lemak... 24

2.8.5 Vitamin... 25

2.8.6 Mineral ... 25

2.9 Standart Produksi Ayam Pedaging... 26

2.9.1 Konsumsi Ransum... 26


(11)

2.9.3 Konversi Ransum ... 28

2.10 Kecernaan Ransum... 29

2.11 Income Over Feed Cost (IOFC) ... 30

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN... 31

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 31

3.2 Bahan dan Alat... 31

3.2.1 Bahan dan Alat Untuk Pembuatan Isolat Jamur ... 31

a. Bahan... 31

b. Alat... 31

3.2.2 Bahan dan Alat Untuk Pembiakan Jamur Pada Media Cair (Potato Dextrose Broth) ... 32

a. Bahan... 32

b. Alat... 32

3.2.3 Bahan dan Alat Untuk Penghitungan Jumlah Mikroba ... 32

a. Bahan... 32

b. Alat... 33

3.2.4 Bahan dan Alat Untuk Fermentasi ... 33

a. Bahan... 33

b. Alat... 33

3.2.5 Bahan dan Alat Untuk Analisis Kandungan Protein Tepung Bulu Ayam ... 33

a. Bahan... 33

b. Alat... 34

3.2.6 Bahan dan Alat Untuk Uji Biologis ... 34

a. Bahan... 34

b. Alat... 34

3.3 Rancangan Metode Penelitian... 35

3.4 Pelaksanaan Penelitian ... 38

3.4.1 Isolasi Tanah Kandang Ayam ... 38

3.4.2 Pembiakan Jamur Pada Media Cair (Potato Dextrose Broth) ... 39

3.4.3 Pelaksanaan Fermentasi ... 40

a. Penghitungan Jumlah Total Mikroba ... 40

b. Fermentasi ... 40

c.Analisis Kandungan Protein Tepung Bulu Ayam Setelah Fermentasi ... 41

d. Analisis Kehilangan Berat Kering Tepung Bulu Ayam Fermentasi ... 41`

3.4.4 Pengujian Isolat Jamur ... 42

3.4.5 Penggunaan Tepung Bulu Ayam Sebagai Ransum Ayam Pedaging... 43

a. Persiapan Kandang... 43 b. Persiapan Anak Ayam Pedaging (DOC) Strain 707 Sebanyak


(12)

100 Ekor ... 43

c. Persiapan Ransum Sesuai Perlakuan... 43

d. Pengambilan Data ... 44

3.4.6 Koefisien Daya Cerna Ransum ... 44

3.4.7 Income Over Feed Cost (IOFC)... 45

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 46

4.1 Hasil Isolasi Tanah Kandang Ayam ... 46

4.2 Hasil Penghitungan Jumlah Spora dari Isolat Jamur Limbah Kandang Ayam ... 47

4.3 Hasil Uji Biologis PenggunaanTepung Bulu Ayam Fermentasi dengan Beberapa Isolat Jamur ... 49

4.3.1 Pengaruh Penggunaan Tepung Bulu Ayam Fermentasi dalam Ransum Terhadap Pertumbuhan Ayam ... 49

4.3.2 Koefisien Daya Cerna Protein Ransum Hasil Fermentasi dengan Beberapa Isolat Jamur ... 52

4.4 Hasil Analisis Persentase Kehilangan Berat Kering Tepung Bulu Ayam Fermentasi ... 53

4.5 Hasil Analisis Kandungan Protein Tepung Bulu Ayam Fermentasi Dengan Isolat Jamur Penicillium sp ... 55

4.6 Hasil Uji Biologis PenggunaanTepung Bulu Ayam Fermentasi dengan Isolat Jamur Penicllium sp ... 57

4.6.1 Pengaruh Penggunaan Tepung Bulu Ayam Fermentasi dengan Isolat Jamur Penicillium spTerhadap Pertumbuhan Ayam dan Income Over Feed Cost (IOFC)... 57

4.6.2 Koefisien Daya Cerna Protein Ransum Penambahan Tepung Bulu Ayam Fermentasi dengan Isolat Jamur Penicillium sp ... 61

4.7 Income Over Feed Cost (IOFC) ... 62

4.8 Dampak Pemanfaatan Tepung Bulu Ayam Fermentasi Sebagai Sumber Protein Ayam Pedaging Terhadap Pengelolaan Lingkungan ... 63

V. KESIMPULAN DAN SARAN... 67

1. Kesimpulan... 67

2. Saran ... 68


(13)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

1. Komposisi Nutrien Hidrolisat Bulu Ayam ... 13 2. Perbandingan Komposisi Kandungan Asam Amino Antara Tepung

Bulu Ayam, Tepung Ikan dan Bungkil Kedelai... 14 3. Konsumsi Ransum Ayam Pedaging dan Berat Badan (Umur 1-6 Minggu) 27 4. Jumlah Total Mikroba Inokulum Fermentasi ... 48 5. Hasil Uji Biologis Penggunaan Tepung Bulu Ayam Fermentasi dengan

Beberapa Isolat Jamur Terhadap Pertumbuhan Ayam... 50 6. Koefisien Daya Cerna Protein Ransum Penambahan Tepung Bulu Ayam

Fermentasi dengan Beberapa Isolat Jamur ... 52 7. Persentase Kehilangan Berat Kering Tepung Bulu Ayam Fermentasi ... 54 8. Hasil Analisis Kandungan Protein Tepung Bulu Ayam Fermentasi

Dengan Isolat Jamur Penicillium sp ... 55 9. Penggunaan Tepung Bulu Fermentasi dengan Isolat Jamur Penicillum sp

dalam Ransum Terhadap Pertumbuhan Ayam Pedaging dan Income Over Feed Cost (IOF)... ... ... 58 10. Hasil Uji Kecernaan Protein Ransum Penambahan Tepung Bulu Ayam


(14)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

1. Diagram Alir Kerangka Pemikiran ………. 8


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Proses Pengolahan Limbah Bulu Ayam... 75

2. Gambar Isolat Jamur Helicomyces sp, Trichoderma sp dan Penicillium sp Hasil Isolasi... 76

3. Gambar Isolat Jamur Perbesaran 400x... 77

4. Komposisi Zat Nutrisi Bahan Ransum ... 78

5. Susunan Ransum Ayam Pedaging Fase Starter (0-4 Minggu) ... 78

6. Susunan Ransum Ayam Pedaging Fase Finisher (5-6 Minggu) ... 79

7. Konsumsi Ransum Mingguan ... 79

8. Pertambahan Berat Badan Mingguan... 83

9. Konversi Ransum Mingguan ... 87

10. Pendapatan (Income Over Feed Cost/IOFC) ... 91

11. Hasil Analisis Kandungan Protein Tepung Bulu Ayam Fermentasi dengan Isolat Jamur Penicillium sp ... 94

12. Gambar Ayam Pedaging Hasil Penelitian Selama 6 Minggu ... 95


(16)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap makanan bergizi semakin meningkat. Bahan makanan yang berasal dari hewan memiliki banyak keunggulan dibanding bahan makanan yang berasal dari tumbuhan, karena mengandung asam amino yang lebih lengkap dan lebih mudah diserap oleh tubuh. Kebutuhan terhadap bahan makanan yang berasal dari hewan atau protein hewani mencapai 15 kg/kapita/tahun dan kebutuhan tersebut terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk.

Populasi ternak dari tahun ke tahun terus meningkat namun belum dapat mengimbangi permintaan kebutuhan konsumsi daging terutama yang dihasilkan oleh ternak penghasil daging. Sementara bila dilihat dari potensi lokal dan sumberdaya alam yang ada maka pertumbuhan populasi ternak masih dapat ditingkatkan. Dimana sasaran populasi ternak ayam pedaging di propinsi Sumatera Utara untuk tahun 2007 sebanyak 58.212.381 ekor dengan sasaran produksi daging sebanyak 52.530 ton (Siregar, 2004).

Peningkatan usaha peternakan ayam menimbulkan peningkatan limbah bulu ayam yang dihasilkan dari industri rumah potong ayam dan dari tempat pemotongan ayam lainnya. Pada industri rumah potong ayam, limbah bulu ayam merupakan suatu hal yang perlu penanganan khusus karena menimbulkan dampak yang sangat besar terhadap pencemaran lingkungan. Pemanfaatan limbah industri merupakan salah satu


(17)

kebijakan pemerintah dalam melestarikan fungsi lingkungan hidup, seperti yang terdapat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang dijelaskan bahwa Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijakan penataan, pemanfaatan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasaan, dan pengendalian lingkungan hidup. Pelestarian fungsi lingkungan hidup tidak terlepas dari pemanfaatan limbah peternakan dengan prinsip zero waste yaitu mengurangi atau meminimalisasi pencemaran lingkungan dengan cara pemanfaatan limbah.

Masalah limbah tak dapat lepas dari adanya aktifitas industri, termasuk industri ternak ayam pedaging. Semakin meningkat sektor industri maka taraf hidup masyarakat meningkat pula. Namun perlu dipikirkan efek samping yang ditimbulkan berupa limbah, yang merupakan hasil samping dari suatu usaha atau kegiatan. Dampak yang ditimbulkan dari limbah bulu ayam begitu besar terutama bagi kesehatan masyarakat, karena limbah bulu ayam yang berserakan di lingkungan rumah potong ayam, menimbulkan bau yang tidak sedap dan merupakan sumber penyebaran penyakit. Selain itu juga menimbulkan dampak penurunan kualitas tanah karena limbah bulu ayam sulit terdegradasi di lingkungan atau proses dekomposernya memakan waktu cukup lama. Salah satu alternatif yang dapat dikembangkan untuk meminimalisasi dampak limbah bulu ayam di lingkungan yaitu dengan metode pemanfaatan limbah sebagai pakan ternak (Imansyah, 2006).


(18)

Dalam upaya meningkatkan industri peternakan dan tetap menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup, maka perlu adanya penanganan terhadap dampak limbah bulu ayam. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan yaitu memanfaatkan limbah bulu ayam sebagai ransum tambahan sumber protein bagi ayam pedaging. Disamping itu dalam industri peternakan ransum merupakan hal yang sangat penting karena menyerap 60-80% dari biaya produksi (Anggorodi, 1995). Upaya untuk menekan biaya ransum adalah dengan memanfaatkan limbah bulu ayam sebagai sumber bahan ransum non konvensional. Bahan ransum non konvensional tersebut mempunyai nilai ekonomis rendah, tidak bersaing dengan manusia dan tersedia secara terus- menerus.

Bulu ayam merupakan limbah yang masih punya potensi untuk dimanfaatkan, karena masih memiliki kandungan nutrisi protein yang sangat tinggi. Bulu ayam mempunyai kandungan protein kasar sebesar 80-91% dari bahan kering, melebihi kandungan protein kasar bungkil kedelai (42,5%) dan tepung ikan (66,2%) (Adiati dan Puastuti, 2004 ).

Permasalahan dalam pemanfaatan limbah bulu ayam, karena adanya kandungan keratin. Keratin merupakan protein fibrous yang kaya sulfur dan banyak terdapat pada rambut, kuku dan semua produk epidermal (Haurowitz, 1984). Kecernaan yang rendah karena tepung bulu ayam mengandung ikatan sistin disulfida, ikatan hidrogen, dan interaksi hidrofobik molekul keratin (Williams et al., 1991). Keratin tidak larut dengan pemanasan alkali dan tidak larut oleh kelenjar saluran pencernaan atau pankreas (Underhill, 1952). Dalam pemanfaatan limbah bulu ayam perlu adanya pengolahan atau sentuhan teknologi sehingga dapat dimanfaatkan.


(19)

Bahan makanan sumber protein harus mengandung asam amino yang lengkap terdiri dari metionin, arginin, treonin, triptofan, histidin, isoleusin, lisin, valin dan fenilalanin. Jika suatu bahan ransum kekurangan salah satu unsur tersebut, maka harus dilengkapi oleh bahan ransum yang lain (Widodo, 2002). Adapun penggunaan tepung ikan dalam ransum adalah sebesar 10% (Rasyaf, 1996).

Penggunaan limbah sebagai bahan pakan ternak harus melalui penanganan dan pengolahan lebih lanjut atau perlu adanya sentuhan teknologi untuk meningkatkan nilai gizi dari bahan ransum tersebut, karena memiliki kecernaan yang rendah (Zamora et al., 1989). Dalam penelitian ini pengolahan limbah bulu ayam dilakukan dengan menggunakan teknologi fermentasi. Fermentasi merupakan salah satu cara pengolahan dengan melibatkan mikroba (jamur atau bakteri) baik yang ditambahkan dari luar ataupun secara spontan sudah terdapat di dalam bahan baku tersebut. Fermentasi bertujuan untuk meningkatkan kecernaan suatu bahan pakan (Winarno, et al., 1980).

Fermentasi yang dilakukan dalam penelitian menggunakan isolat jamur yang berasal dari tanah kandang ayam, Hadi dan Muhsin, (2002) melakukan isolasi jamur keratinofilik dari beberapa habitat yang berbeda diperoleh beberapa spesies jamur dermatofit dan non dermatofit yang diisolasi dari tanah lumpur limbah pembuangan kotoran. Jamur dermatofit yang diperoleh yaitu Mycrosporium dan Trichophyton

serta Aspergillus flavus dengan kemampuan degradasi keratin masing-masing 48%, 38% da 32% untuk rambut, bulu domba serta bulu ayam.


(20)

Mikroba (jamur) punya peran yang sangat besar sebagai pendegradasi limbah yang ada di lingkungan melalui proses penguraian (dekomposer). Dalam penelitian ini isolat jamur dari tanah kandang ayam diuji kemampuannya untuk mendegradasi keratin yang terdapat pada tepung bulu ayam melalui proses fermentasi. Jamur yang diperoleh dari isolasi tanah kandang ayam merupakan jamur non dermatofit dan jamur dermatofit yaitu jamur penyebab penyakit kulit atau pendegradasi keratin pada jaringan kulit dan juga sebagai pengurai di lingkungan (Clement et al, 2006).

Penelitian yang dilakukan ini sesuai dengan prinsip zero waste yaitu meminimalisasi limbah atau meminimalisai dampak pencemaran lingkungan akibat limbah bulu ayam dengan cara pemanfaatan limbah bulu ayam sebagai bahan baku ransum non konvensional sumber protein. Hal tersebut dilaksanakan untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dalam rangka pengelolaan lingkungan.

Berdasarkan uraian di atas, maka cukup alasan untuk mengadakan kajian tentang Pemanfaatan Limbah Bulu Ayam Sebagai Sumber Protein Bagi Ayam Pedaging Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jamur sebagai inokulum fermentasi diinokulasi dari tanah di sekitar kandang ayam, dimana terdapat bulu ayam yang sudah membusuk dan sudah terlihat tumbuh jamur pada bulu ayam tersebut. Tanah ini diperoleh dari kandang ayam di daerah Karya Jasa gang Horas No. 50, Simpang Pos, Medan. Dari isolasi tanah tersebut diperoleh jamur kemudian diuji kemampuannya dalam mendegradasi keratin pada tepung bulu ayam dengan tehnik fermentasi dan uji biologis.


(21)

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1.2.1 Bagaimana kemampuan isolat jamur tanah kandang ayam dalam meningkatkan kecernaan tepung bulu ayam.

1.2.2 Bagaimana pengaruh tepung bulu ayam yang difermentasi dengan isolat jamur dari tanah kandang ayam terhadap pertumbuhan ayam.

1.2.3 Bagaimana menghasilkan suatu metode untuk meminimalisasi dampak pencemaran limbah bulu ayam dalam rangka Pengelolaan Lingkungan Hidup.

1.3 Kerangka Pemikiran

Industri peternakan ayam terdiri dari industri pemotongan ayam dan usaha pemeliharaan ayam. Bulu ayam merupakan limbah dari usaha pemotongan ayam. Limbah ini terus meningkat seiring dengan peningkatan populasi ayam dan menimbulkan pencemaran bagi lingkungan. Pencemaran yang ditimbulkan dari limbah bulu ayam menimbulkan penurunan kualitas lingkungan hidup, yaitu penurunan kualitas udara dari bau yang dikeluarkan dan merupakan sumber penyebaran penyakit. Selain itu juga menimbulkan penurunan kualitas tanah dimana limbah bulu ayam sulit terdegradasi di lingkungan atau proses penguraian (dekomposer) dari limbah bulu ayam memakan waktu cukup lama karena adanya keratin (protein fibrous) yang berupa serat. Limbah bulu ayam terus meningkat


(22)

seiring peningkatan industri rumah potong ayam dan kebutuhan masyarakat akan protein hewan.

Disisi lain tepung bulu ayam terproses atau hidrolisat bulu ayam memiliki kandungan protein yang tinggi lebih tinggi dari tepung ikan dan bungkil kedelai. Dalam upaya menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup sesuai Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, maka perlu dilakukan penanganan dampak limbah bulu ayam sebagai upaya meminimalisasi dampak pencemaran limbah dengan memanfaatkannya sebagai bahan ransum non konvensional sumber protein ayam pedaging, karena limbah bulu ayam punya potensi yang sangat baik dari segi kuntitas dan kualitas.

Kelemahan dari limbah bulu ayam yaitu adanya keratin (protein fibrous) yang sulit dicerna dan rendahnya kandungan asam amino lisin, metionin, histidin dan triptophan. Oleh sebab itu dilakukan metode atau cara pemanfaatan limbah bulu ayam, untuk meminimalisasi dampak pencemaran lingkungan dengan cara fermentasi.

Kebijakan dan perlakuan teknis yang dilakukan untuk meminimalisasi dampak pencemaran limbah bulu ayam merupakan aplikasi dari Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam menciptakan industri peternakan yang ramah lingkungan dan menghasilkan bahan ransum tambahan non konvensional sumber protein dan dapat dimanfaatkan kembali oleh industri peternakan khususnya usaha pemeliharaan ayam.


(23)

Secara jelas diagram alir kerangka pemikiran dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1. Diagram Alir Kerangka Pemikiran

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Untuk mengetahui kemampuan isolat jamur tanah kandang ayam dalam meningkatkan kecernaan tepung bulu ayam.

1.4.2 Untuk mengetahui pengaruh tepung bulu ayam yang difermentasi dengan isolat jamur dari tanah kandang ayam terhadap pertumbuhan ayam.

Minimalisasi Dampak sesuai

PP. R. I No.23 Tahun 1997/

Pengelolaan Lingkungan

Hidup Potensi limbah

bulu ayam dari segi kuantitas dan kualitas Metode atau Cara Pemanfaatan Limbah Bulu Ayam Ransum non

konvensional sumber protein bagi

ayam pedaging

INDUSTRI PETERNAKAN AYAM Terdiri dari : - Industri Rumah Potong

Ayam (RPA)

- Industri Pemeliharaan Ayam DAMPAK PENCEMARAN LINGKUNGAN - Penurunan kualitas udara - Penurunan kualitas tanah LIMBAH BULU AYAM APLIKASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DARAH


(24)

1.4.3 Untuk mendapatkan suatu metode meminimalisasi dampak pencemaran limbah bulu ayam dalam rangka Pengelolaan Lingkungan Hidup.

1.5 Hipotesis Penelitian

1.5.1 Isolat jamur dari tanah kandang ayam dapat meningkatkan kecernaan tepung bulu ayam.

1.5.2 Tepung bulu ayam yang difermentasi dengan isolat jamur dari tanah kandang ayam berpengaruh terhadap pertumbuhan ayam.

1.5.3 Pemanfaatan limbah bulu ayam sebagai sumber protein ayam pedaging dapat meminimalisasi dampak pencemaran limbah bulu ayam di lingkungan.

1.6 Manfaat Penelitian

1.6.1 Menciptakan suatu industri peternakan yang ramah lingkungan dalam rangka Pengelolaan Lingkungan Hidup.

1.6.2 Menghasilkan bahan ransum non konvensional sumber protein bagi industri peternakan ayam.


(25)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dampak Pencemaran Limbah Bulu Ayam di Lingkungan

Menurut Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, “Pencemaran Lingkungan Hidup adalah masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai peruntukannya.” Kegiatan manusia berupa adanya industri peternakan ayam khususnya rumah potong ayam, menghasilkan limbah berupa bulu ayam yang menimbulkan dampak pencemaran terhadap lingkungan. Pencemaran ini terus meningkat seiring dengan peningkatan industri peternakan ayam. Oleh sebab itu perlu adanya upaya meminimalisasi dampak pencemaran limbah bulu ayam di lingkungan agar tetap menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup.

Dampak negatif yang ditimbulkan oleh industri peternakan ayam yaitu rumah potong ayam berupa terganggunya sanitasi lingkungan akibat limbah bulu ayam yang menimbulkan bau tidak sedap dan merupakan sumber penyebaran penyakit sebagai dampak penurunan kualitas udara. Bulu ayam yang diproduksi dalam jumlah besar merupakan produk limbah sisa industri peternakan khususnya rumah potong ayam. Berjuta ton produk bulu ayam dunia diperhitungkan menghasilkan limbah bulu ayam yang mengandung keratin. Bulu ayam merupakan sisa kegiatan atau limbah yang biasanya merupakan sampah atau sesuatu yang tidak berguna di suatu lapangan.


(26)

Produk akhir ini biasanya sangat mengganggu kesehatan manusia (Periasamy and Subash, 2004). Selain itu limbah bulu ayam juga menimbulkan dampak penurunan kualitas tanah karena limbah bulu ayam sulit terdegradasi di lingkungan akibat adanya keratin atau protein fibrous berupa serat. Oleh sebab itu limbah bulu ayam resisten terhadap perombakan atau degradasi dan merupakan masalah yang serius di lingkungan (Savitha et al., 2007).

Pencemaran lingkungan merupakan suatu permasalahan yang sangat global sehingga menuntut suatu sistem pengelolaan limbah secara efektif dan efesien dalam waktu cepat. Hal ini sebagai aplikasi dari kebijakan pengelolaan lingkungan hidup dengan cara meminimalisasi dampak pencemaran limbah bulu ayam yang terjadi di lingkungan. Salah satu upaya yang dilakukan untuk meminimalisasi dampak pencemaran limbah bulu ayam adalah dengan prinsip zero waste yaitu meminimalisasi limbah bulu ayam dengan memanfaatkannya sebagai bahan baku ransum non konvensional sumber protein bagi ayam pedaging. Pengelolaan lingkungan bertujuan agar limbah bulu ayam yang dihasilkan dari suatu kegiatan industri peternakan ayam menghasilkan dampak pencemaran seminimal mungkin atau menjadikan limbah tersebut tidak berbahaya lagi bagi kesehatan dan lingkungan. Sehingga tidak menimbulkan penurunan kualitas udara dan tanah atau setidaknya dampak pencemaran tersebut dapat diminimalisasi (Budiyanto, 2004).

Menurut Diwyanto, (2004), industri perunggasan Indonesia masih tetap mempunyai prospek yang baik jika didukung oleh inovasi teknologi yang baik terutama teknologi ransum disamping potensi sumberdaya alam yang ada. Salah satu


(27)

teknologi ransum yang perlu dikembangkan adalah dengan memanfaatkan sumber bahan ransum non konvensional. Bahan ransum non konvensional dapat diperoleh dengan cara pemanfaatan limbah. Pemanfaatan limbah merupakan suatu usaha untuk meminimalisasi dampak limbah terutama yang berasal dari industri peternakan ayam, disamping itu limbah bulu ayam masih memiliki kandungan protein yang sangat tinggi.

2.2 Potensi Limbah Bulu Ayam

Limbah merupakan hasil samping dari suatu kegiatan industri, dalam hal ini bulu ayam merupakan hasil ikutan usaha pemotongan ayam. Bulu ayam merupakan salah satu hasil samping ternak ayam (petelur, pedaging dan buras) dari rumah potong dan tempat pemotongan ayam lainnya. Populasi ayam di Indonesia tahun 1999 sebesar 726,10 juta ekor (Statistik Peternakan, 1999), sedangkan untuk tahun 2003 populasi ayam pedaging meningkat sebesar 917.707.000 ekor (Mathius et al, 2003). Peningkatan populasi ayam ini akan menimbulkan peningkatan limbah bulu ayam, dan jika tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan pencemaran terhadap lingkungan.

Pencemaran merupakan suatu kondisi yang tidak nyaman ditimbulkan dari suatu limbah. Limbah bulu ayam menimbulkan bau yang tidak sedap dan merupakan sumber penyebaran penyakit. Hal ini merupakan permasalahan lingkungan yang perlu segera ditangani, seiring dengan peningkatan populasi ayam. Berat bulu ayam menurut Card (1962) berkisar antara 4-9 % dari bobot hidup. Sedangkan menurut


(28)

Siregar (2003), berat bulu ayam 4% dari berat tubuh total. Populasi ayam di Indonesia tahun 1999 sebesar 726,10 juta ekor (Statistik Peternakan, 1999). Dari populasi 726,10 juta ekor berdasarkan data statistik di atas, dengan bobot badan rata-rata 1,2 kg, maka akan diperoleh limbah bulu ayam sebesar 34.853 ton. Limbah ini terus meningkat seiring dengan peningkatan populasi ayam dan kebutuhan masyarakat akan protein hewan. Jika limbah yang terus bertambah ini tidak dikelola dengan baik maka akan menimbulkan dampak pencemaran yang sangat besar terhadap lingkungan khususnya lingkungan rumah potong ayam.

Bulu ayam diproses terlebih dahulu sehingga dinamakan tepung bulu terhidrolisis atau terproses. Tepung bulu memiliki kandungan leusin dan isoleusin yang baik, tetapi miskin akan metionin dan triptopan. Tepung bulu terproses dapat digunakan untuk pakan ayam perdaging (Rasyaf, 1994). Penggunaan tepung bulu dengan pengolahan, bagi ayam pedaging masih berbeda-beda yaitu 2,5% (Morris and Balloun, 1973), 5% (Williams et al., 1991) dan 6% (Cabel et al.,1988; Kamal, 1985).

Tepung bulu ayam kaya akan leusin, isoleusin dan valin yang berturut-turut adalah 4,88, 3,12 dan 4,44% (Siregar, 2003). Komposisi nutrien hidrolisat bulu ayam disajikan pada tabel 1 berikut:

Tabel 1. Komposisi Nutrien Hidrolisat Bulu Ayam

Nutrien Kandungan Nutrien

Bahan kering (%) Protein kasar (%) Lemak kasar (%) Serat kasar (%)

91,37 79,88 3,77 0,32


(29)

Disamping itu kandungan protein tepung bulu ayam lebih tinggi daripada tepung ikan dan bungkil kedelai. Perbandingan komposisi kandungan asam amino tepung bulu ayam, tepung ikan dan bungkil kedelai dapat dilihat pada tabel 2 berikut:

Tabel 2. Perbandingan Komposisi Kandungan Asam Amino Antara Tepung Bulu Ayam, Tepung ikan dan Bungkil Kedelai

Asam amino ( %) Tepung Bulu Ayam Tepung Ikan Bungkil Kedelai

Arginin Histidin Isoleusin Leusin Lisin Methionin Penil alanin Treonin Triptofan Valin 5,57 0,95 3,91 6,94 2,28 0,57 3,94 3,81 0,55 5,93 4,21 1,74 3,23 5,46 5,47 2,16 2,82 3,07 0,83 3,90 3,14 1,17 1,96 3,39 2,69 0,62 2,16 1,72 0,74 2,07 Sumber: National Research Council (1994).

2.3 Keratin (Protein Fibrous)

Keratin adalah suatu kelompok protein yang sangat khusus memproduksi sel epitel tertentu dari hewan bertulang belakang dan lapisan tanduk kulit luar serta epidermal tambahan seperti rambut, kuku dan bulu ayam. Sedangkan keratinase adalah spesifik protease hidrolisis keratin yang terdapat pada bulu ayam, wool dan rambut. Keratin serupa dengan komponen protein lainnya secara umum dan tidak tampak jelas perbedaan substratnya. Keratin dapat didegradasi oleh mikroba dari jamur saprofit dan parasit (Dozie et al., 1994), Actynomycetes (Noval and Nickerson, 1959; Bockle et al., 1995), dan jamur dermatofit. Keratin juga dapat didegradasi oleh


(30)

mikroorganisme termofilik yaitu mikroba yang dapat tumbuh pada suhu 50- 650C (Zerdani et al., 2004).

Keratin atau serat terdiri dari komponen ikatan sistin disulfida, ikatan hidrogen dan interaksi hidrofobik molekul keratin (Williams et al., 1991). Ikatan sistin disulfida atau ikatan silang terbentuk antara asam amino sistin yang mengandung gugus –SH. Jika dua unit sistin berikatan, maka terbentuklah sebuah jembatan disulfida _S-S- melalui oksidasi gugus-gugus -SH. Protein serat terbentuk dari molekul yang rapat dan teratur berupa ikatan silang antara rantai-rantai asam amino yang berdekatan sehingga molekul air sukar menerobos struktur ini, oleh karena itu protein serat tidak larut di dalam air (hidrofobik). Logam berat dapat merusak ikatan disulfida karena afinitasnya yang tinggi dan kemampuannya untuk menarik sulfur sehingga mengakibatkan denaturasi protein. Pembentukan ikatan silang sistin disulfida atau ikatan peptida kompleks terjadi karena proses hidolisis yang tidak sempurna, hal ini dapat diatasi dengan melakukan proses hidolisis ulang melalui fermentasi (Gaman and Sherrington, 1992). Selain itu ikatan keratin dapat diputuskan dengan bantuan enzim-enzim proteolitik. Secara jelas komponen-komponen keratin dapat dilihat pada struktur kimia keratin berikut ini:


(31)

NH CHR CO NH CH CO NH CHR CO CH2

S S CH2

OC CHR NH OC CH NH OC CHR NH Gambar 2. Struktur Kimia Keratin

Sumber: Haurowitz (1984).

Menurut Savitha et al., (2007), bulu ayam mengandung 90% protein dengan komponen beta-keratin, fibrous dan struktur protein yang kokoh dari disulfida. Komponen tersebut sangat sulit terdegradasi di lingkungan, sementara limbah bulu ayam sangat banyak diproduksi oleh industri peternakan ayam. Limbah ini terus meningkat seiring peningkatan populasi ayam. Pencemaran lingkungan akibat limbah bulu ayam hanya dapat diatasi melalui bantuan mikroorganisme sebagai dekomposer atau pengurai di lingkungan. Penggunaan mikroorganisme dalam mendegradasi limbah bulu ayam merupakan upaya menjaga stabilitas lingkungan dari pencemaran.

Bulu ayam mempunyai kelemahan untuk dicerna dengan baik karena mengandung keratin, oleh sebab itu dalam pemanfaatannya perlu dilakukan hidrolisis atau pemasakan pada temperatur yang cukup tinggi yaitu sampai titik didih 1300C selama 30 menit (Murtidjo, 1987), karena dengan pengolahan tersebut ikatan keratin, berupa ikatan sistin disulfida dapat diputuskan atau pecah menjadi komponen-komponen asam amino yang mudah dicerna oleh unggas. Penelitian yang dilakukan


(32)

oleh Arifin, (2004), menunjukkan bahwa dengan metode pengukusan pada suhu 118oC selama 30 menit dan 60 menit menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan konsumsi nitrogen dan energi pada anak ayam.

Williams et al., (1991) telah memperkenalkan teknologi pengolahan tepung bulu ayam secara enzimatis mempergunakan enzim dari jamur Cuninghamella spp yang difermentasi selama 11 hari menunjukkan hasil pemecahan ikatan keratin dalam tepung bulu ayam sehingga retensi nitrogen atau konsumsi nitrogen meningkat sebesar 49,19%.

2.4 Peran Mikroba Sebagai Pendegradasi Limbah di Lingkungan

Mikroorganisme merupakan makhluk hidup yang sangat kecil, diantaranya terdiri dari bakteri dan jamur serta merupakan sumberdaya alam yang memiliki peranan sangat penting sebagai pendegradasi limbah yang ada di lingkungan. Degradasi merupakan proses perombakan za-zat yang ada di lingkungan dengan bantuan pengurai berupa mikroba. Mikroorganisme juga berperan dalam menjaga stabilitas lingkungan dari pencemaran. Untuk memperoleh mikroorganisme yang sesuai diperlukan isolasi mikroba dari lingkungan. Lingkungan yang paling umum digunakan sebagai isolasi yaitu dari tempat produksi atau pada tempat dimana produk limbah dihasilkan. Pada umumnya isolat diperoleh dari lingkungan yang mendekati atau pada substrat tempat tumbuhnya. Sumber isolat umumnya berasal dari tanah, karena tanah mengandung berbagai unsur hara yang sangat kompleks sehingga berbagai mikroba sebagai isolat dapat diperoleh (Budiyanto, 2004).


(33)

Isolat jamur sebagai hasil isolasi yang diperoleh dari tanah berupa biakan campuran yang terdiri dari bermacam jamur. Isolat yang diperoleh kemudian dimurnikan dengan cara ditumbuhkan pada media pertumbuhan. Kemurnian jamur ditunjukkan oleh keseragaman koloni jamur, sedangkan kultur campuran ditunjukkan dengan adanya gumpalan pada titik inokulum. Kultur campuran ditandai dengan perbedaan miselium, spora dan warna hifa. Setelah diperoleh biakan murni kemudian diidentifikasi lalu dilakukan pengujian terhadap produk yang diinginkan (Suhartini et al., 2006).

2.5 Pengolahan Limbah Bulu Ayam 2.5.1 Perlakuan Fisik

Perlakuan fisik dengan penggilingan merupakan suatu proses perombakan bentuk fisik bahan ransum menjadi partikel-partikel yang lebih halus sehingga mudah dikonsumsi oleh ayam. Bentuk fisik bahan ransum akan mempengaruhi tingkat kesukaan makan (palatibilitas) ayam. Tepung bulu ayam sebelum difermentasi harus dioutoklaf supaya steril atau bebas dari mikroorganisme lainnya. Penggilingan dilakukan untuk memperkecil partikel bahan ransum sehingga bahan baku ransum yang dihasilkan halus, semakin halus suatu bahan baku ransum maka semakin mudah dikonsumsi ayam sehingga proses pencernaan berlangsung cepat (Parakkasi, 1983).


(34)

2.5.2 Perlakuan Biologis

Perlakuan biologis dengan fermentasi menggunakan mikroba berupa bakteri atau jamur dapat meningkatkan kecernaan suatu bahan ransum, karena dalam fermentasi terjadi suatu proses perombakan atau perubahan kimia dari senyawa organik (karbohidrat, lemak, protein dan bahan organik lainnya) kompleks, baik dalam keadaan ada udara (aerob) maupun tanpa udara (anaerob) melalui bantuan enzim yang berasal dari mikroba menjadi komponen yang lebih sederhana dan memiliki tingkat kecernaan yang lebih tinggi (Tjitjah, 1997).

Fermentasi merupakan aplikasi metabolisme mikroba untuk mengubah bahan baku menjadi produk yang bernilai lebih tinggi seperti protein. Protein mikroba ini dikenal dengan nama protein sel tunggal. Protein sel tunggal adalah istilah yang digunakan untuk protein kasar atau murni yang berasal dari mikroorganisme seperti jamur (Nurhayani et al., 2000).

Fermentasi mempunyai nilai gizi lebih baik dari asalnya karena mikroorganisme bersifat katabolik atau memecah komponen yang kompleks menjadi lebih sederhana sehingga mudah dicerna (Winarno et al., 1980). Fermentasi dapat dilakukan dengan metode kultur permukaan dan kultur terendam sub merged. Kultur permukaan yang menggunakan substrat padat atau semi padat banyak digunakan untuk memproduksi berbagai jenis asam organik dan enzim yang dihasilkan oleh mikroba (Nurhayani et al., 2000).


(35)

2.6 Proses Fermentasi dengan Medium Padat

Menurut jenis mediumnya proses fermentasi dibagi menjadi dua yaitu fermentasi medium padat dan fermentasi medium cair. Fermentasi medium padat adalah merupakan proses fermentasi dimana medium yang digunakan tidak larut tetapi cukup mengandung air untuk keperluan mikroorganisme, sedangkan fermentasi medium cair adalah proses substratnya larut atau tersuspensi di dalam fase cair.

Fermentasi medium padat dilakukan karena medium yang digunakan untuk fermentasi adalah dalam bentuk padat yaitu tepung bulu ayam yang sudah digiling dan dioutoklaf. Keuntungan penggunaan fermentasi medium padat antara lain: tidak memerlukan tambahan lain kecuali air yang berperan untuk memacu pertumbuhan jamur, persiapan yang dilakukan terhadap inokulum jamur relatif lebih sederhana cukup dibiakkan dalam medium cair dan siap untuk diaplikasikan ke medium fermentasi, menghasilkan produk dengan tingkat kepekatan tinggi, kontrol terhadap kontaminan lebih mudah, kondisi medium mendekati keadaan tempat tumbuh alamiah, memiliki tingkat produktifitas yang tinggi, aerasi optimum dan tidak memerlukan kontrol pH maupun suhu (Hardjo et al., 1989).

2.7 Kapang (Jamur) Sebagai Inokulum Fermentasi

Penggunaan kapang (jamur) sebagai inokulum atau starter fermentasi sudah banyak dilakukan karena pertumbuhannya relatif mudah dan cepat, dan kadar asam nukleat rendah (Schellart, 1975). Pertumbuhannya mudah dilihat karena penampakannya yang berserabut seperti kapas yang mulanya berwarna putih, tetapi


(36)

jika spora telah timbul akan terbentuk berbagai warna tergantung dari jenis kapang

dan kapang ini terdiri dari suatu tallus bercabang yang disebut hifa, dimana miselium merupakan massa hifa (Fardiaz, 1989).

Jamur yang digunakan dalam fermentasi diperoleh dari isolasi tanah kandang ayam. Isolasi jamur dilakukan sebanyak dua kali, setelah dilakukan identifikasi melalui pengamatan mikroskop dengan perbesaran 400x diperoleh isolat jamur

Helicomyces sp.

Klasifikasi isolat jamur Helicomyces sp menurut Barnett and Hanter, (1972) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae Divisio : Eumycophyta Klas : Deutromycetes Ordo : Monilliales Famili : Monilliaceae Genus : Helicomyces

Species : Helicomyces sp

Jamur ini memiliki ciri-ciri konidiofor berbentuk hialin sederhana, pendek, bersepta, konidia kurus seperti kawat pijar, ketat bergulung dan merupakan saprofit pada pembusukan kayu (Barnett and Hunter, 1972). Disamping itu jamur ini berfungsi sebagai pengurai (dekomposer) di lingkungan (Clement et al., 2006). Jamur


(37)

penyakit kulit (dermatofit) dan mampu mendegradasi keratin (Dwidjosaputro, 1984).

2.8 Kebutuhan Zat-zat Makanan Ayam Pedaging

Menurut Rasyaf (1997) ransum adalah campuran bahan-bahan pakan untuk memenuhi kebutuhan zat-zat nutrisi yang seimbang dan tepat. Seimbang dan tepat berarti zat makanan tidak berlebihan dan tidak kurang. Ransum yang diberikan harus mengandung protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral.

Tujuan pemeliharaan yaitu untuk memproduksi daging sebanyak mungkin dalam waktu singkat, maka jumlah pemberian pakan tidak dibatasi (adlibitum). Ayam pedaging selama pemeliharaannya mempunyai dua macam pakan yaitu starter (0-4 minggu) dan pedaging finisher umur 5 minggu hingga panen (Kartadisastra, 1999). Supaya jaringan daging tumbuh lebih cepat, zat makanan berupa protein dan energi harus diberikan secara maksimal. Sehingga tercapai keseimbangan antara protein dan energi yang dapat menghasilkan daging yang baik dalam waktu singkat (Widodo, 2002).

Menurut Winarno (1992), laju pertumbuhan merupakan fungsi dari tingkat nutrisi. Semakin baik tingkat nutrisi yang diberikan maka laju pertumbuhan semakin baik. Efisiensi terhadap pemberian ransum akan berpengaruh nyata terhadap pertambahan keuntungan. Untuk itu hendaknya ransum yang digunakan mengandung susunan zat makanan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan, yakni kandungan energi yang tinggi, kualitas protein baik, kandungan asam amino essensial serta mineral dan vitamin yang cukup.


(38)

2.8.1 Karbohidrat

Karbohidrat merupakan struktur kimiawi kompleks terdiri dari pati, selulosa, pentosan, beberapa gula dan bentuk lain. Fungsi karbohidrat bagi ternak unggas sebagi sumber energi dan panas serta disimpan sebagai lemak bila berlebih. Butiran dan hasil ikutannya merupakan sumber utama karbohidrat dalam ransum unggas. Karbohidrat sebagai penyumbang energi yang terbesar dalam ransum unggas (Anggorodi, 1995).

Energi metabolis adalah energi kotor dari pakan yang dapat digunakan oleh tubuh. Pada unggas energi metabolis diperoleh dari penggunaan energi kotor pakan dengan energi ekskreta. Energi ekskreta berasal dari campuran energi feses dan urine. Energi urine adalah energi kotor dari urine yang berasal dari zat-zat makanan yang telah diabsorpsi tetapi tidak mengalami oksidasi sempurna (Widodo, 2002).

Energi metabolisme penting diketahui dalam ransum, sebab bila ransum mengandung energi yang rendah, unggas akan mengkonsumsi makanan lebih banyak. Dan bila kandungan energi tinggi unggas akan mengkonsumsi pakan lebih sedikit. Ayam akan berhenti makan kalau kebutuhan energinya sudah terpenuhi. Oleh karena itu ransum yang nilai energinya tinggi, maka kandungan proteinnya pun harus

ditingkatkan. Dengan kata lain kandungan energi dan protein harus seimbang (Rasyaf, 1996).


(39)

2.8.2 Protein

Ciri khusus protein adalah adanya kandungan nitrogen. Protein merupakan gabungan asam amino melalui ikatan peptida, yaitu suatu ikatan antara gugus amino (NH2) dari suatu asam amino dengan gugus karboksil dari asam amino lain dengan

membebaskan satu molekul air ( H2O).

Protein merupakan suatu zat makanan yang sangat penting bagi tubuh karena zat ini berfungsi sebagai sumber energi dalam tubuh serta sebagai zat pembangun dan pengatur dalam tubuh. Protein adalah polimer dari asam amino yang dihubungkan dengan ikatan peptida. Molekul protein mengandung unsur-unsur C, H, O, N, P, S dan terkadang mengandung unsur logam seperti besi dan tembaga (Winarno, 1992).

2.8.3 Serat Kasar

Serat kasar sangat penting diketahui dalam penyusunan bahan pakan unggas. Serat kasar berfungsi merangsang gerak peristaltik pada saluran pencernaan, sebagai media mikroba pada usus buntu untuk menghasilkan vitamin K dan B12, serta untuk memberi rasa kenyang. Penggunaan maksimum dalam ransum ayam pedaging tidak lebih dari 5%. Jika persentase serat kasar berlebih dalam ransum maka akan menghambat penyerapan zat-zat makanan dalam tubuh ayam (Kartadisastra, 1994).

2.8.4 Lemak

Lemak adalah kelompok senyawa heterogen yang masih berkaitan dengan asam lemak. Asam lemak merupakan asam karboksilat dari hidrolisis ester terutama


(40)

gliserol dan kolesterol. Asam lemak tidak jenuh mengandung jumlah atom hidrogen kurang dari dua kali atom karbon, serta satu atau lebih pasangan atom karbon yang berdekatan dihubungkan dengan ikatan rangkap. Sedangkan asam lemak jenuh mempunyai atom hidrogen dua kali jumlah atom sebenarnya dan tiap molekul mengandung dua atom oksigen (Widodo, 2002).

2.8.5 Vitamin

Vitamin adalah zat katalisator essensial yang tidak dapat disintesis tubuh dalam proses metabolisme sehingga harus ada dalam ransum. Vitamin bagi unggas diperlukan untuk pertumbuhan, kesehatan, reproduksi dan kelangsungan hidup (Anggorodi, 1995).

Vitamin sangat diperlukan untuk reaksi-reaksi spesifik dalam sel tubuh unggas. Vitamin berperan sebagai koenzim atau katalisator hayati yaitu sebagai mediator dalam sintesis atau degradasi suatu zat tanpa ikut menyusun zat yang disintesis. Apabila vitamin tidak terdapat dalam ransum maka akan mengakibatkan defesiensi yang khas dan hanya dapat disembuhkan dengan pemberian vitamin itu sendiri (Widodo, 2002).

2.8.6 Mineral

Mineral merupakan komponen anorganik yang diperlukan oleh tubuh unggas dalam jumlah yang relatif sedikit. Mineral essensial merupakan zat mineral yang


(41)

membantu fungsi metabolis dalam tubuh unggas. Unggas jika kekurangan mineral akan menunjukkan gejala defisiensi mineral.

Menurut Widodo (2002), mineral secara umum berperan memelihara kondisi normal tubuh, keseimbangan asam dan basa tubuh, disamping itu memelihara tekanan osmotik cairan tubuh, menjaga kepekaan otot dan syaraf, mengatur transportasi zat makanan dalam sel, mengatur permeabilitas membran sel, dan mengatur metabolisme Kebutuhan ternak akan mineral tidak dapat dipisahkan dari kepentingan produksi antara lain terdiri dari perbaikan dan pertumbuhan jaringan seperti gigi dan tulang. Komposisi mineral dari tulang segar terdiri dari kalsium 36%, fosfor 17% dan magnesium 0,8%. Juga untuk perbaikan dan pertumbuhan bulu, tanduk, kuku, jaringan lunak dan sel darah.

2.9 Standart Produksi Ayam Pedaging 2.9.1 Konsumsi Ransum

Konsumsi ransum merupakan kegiatan masuknya sejumlah nutrisi yang ada di dalam pakan tersebut yang telah tersusun dari berbagai bahan pakan untuk memenuhi kebutuhan ternak tersebut. Secara biologis ayam mengkonsumsi makanan untuk kepentingan hidupnya, kebutuhan energi untuk fungsi-fungsi tubuh dan memperlancar reaksi sintesis dari tubuh. Hal ini menunjukkan bahwa ternak ayam mengkonsumsi makanannya terutama untuk pertumbuhan. Ransum dikatakan baik bila dikonsumsi secara normal dan dapat mensuplai zat-zat makanan yang diperlukan oleh tubuh (Wahyu, 1992).


(42)

Konsumsi ransum diukur dalam waktu satu minggu. Konsumsi ransum komulatif adalah konsumsi ransum yang dihabiskan minggu lalu ditambahkan dengan konsumsi ransum yang dihabiskan pada minggu ini (Parakasi, 1983).

Untuk mengetahui keserasian standart ayam pedaging pada umur 6 minggu dapat dilihat pada tabel 3 berikut ini:

Tabel 3. Konsumsi Ransum Ayam Pedaging dan Berat Badan (Umur 1 – 6 Minggu)

Umur (Minggu) Berat Badan Kebutuhan Pakan/hari Kumulatif (Kg) Perekor/gram (gram) 1

2 3 4 5 6

0, 120 13 0, 275 33 0, 483 48 0, 733 65 1, 033 88 1, 378 117

91 322 658 1113 1729 2548 Sumber: Murtidjo (1987).

2.9.2 Pertambahan Bobot Badan

Menurut Anggorodi, (1990) pertumbuhan murni adalah pertambahan dalam bentuk dan bobot jaringan tubuh seperti urat daging, tulang, jantung, otak dan semua jaringan tubuh yang lainnya kecuali jaringan lemak. Pertumbuhan terjadi secara perlahan kemudian berlangsung lebih cepat, secara perlahan lagi tumbuh dan akhirnya berhenti sama sekali, pertumbuhan biasa digambarkan seperti kurva sigmoid.


(43)

Pertambahan bobot badan merupakan salah satu standart produksi bagi ayam pedaging. Pertambahan bobot badan adalah selisih bobot badan akhir dan bobot badan awal dibagi dengan lama penelitian. Pengukuran berat badan dilakukan dalam kurun waktu satu minggu sehingga untuk mendapatkan berat badan harian, bobot badan dibagi tujuh. Pertambahan bobot badan dapat dipengaruhi oleh konsumsi ransum, kesehatan ayam, suhu lingkungan dan strain ayam pedaging (Rasyaf, 1995).

Pertambahan bobot badan ayam (strain) akan menentukan jumlah konsumsi pakan. Semakin besar bobot badan ayam semakin banyak jumlah konsumsi pakan. Di samping itu strain, jenis dan tipe ayam juga menentukan (Kartadisastra, 1994).

2.9.3 Konversi Ransum

Konversi ransum (Feed Convertion Ratio) adalah perbandingan jumlah ransum yang dikonsumsi dalam waktu satu minggu dengan pertambahan berat badan yang dicapai pada minggu tersebut. Bila ratio kecil berarti pertambahan berat badan baik dan penggunaan ransum efesien. Hal ini dipengaruhi oleh besar dan bangsa ayam, tahap produksi, kadar energi dalam ransum dan temperatur lingkungan (Rasyaf, 1997).

Menurut Tillman et al., (1991), pemanfaatan energi metabolisme untuk pertumbuhan sedikit lebih efesien dibanding untuk penggemukan. Oleh sebab itu konversi pakan akan lebih baik pada hewan yang sedang tumbuh dibanding hewan yang sedang digemukkan.


(44)

Pertumbuhan yang cepat mempunyai makna bahwa pertumbuhan ayam diusahakan sesuai dengan ambang batas genetisnya, sedangkan segi bisnis berarti waktu jual lebih cepat tercapai. Konversi ransum inilah yang sebaiknya digunakan sebagai pegangan berproduksi karena sekaligus melibatkan berat badan dan konsumsi ransum (Rasyaf, 1996).

2.10 Kecernaan Ransum

Kecernaan ransum atau koefisien cerna suatu ransum didasarkan pada asumsi bahwa zat gizi yang tidak terdapat dalam feses adalah habis untuk dicerna dan diserap oleh tubuh. Sebagian dari bahan makanan yang terdapat dalam feses adalah enzim yang disekresikan ke dalam saluran pencernaan yang tidak diserap kembali oleh tubuh, dan juga berupa hasil kikisan sel-sel dari dinding pencernaan. Daya cerna suatu bahan makanan dipengaruhi oleh beberapa ransum diantaranya yaitu kandungan serat kasar dalam ransum, dimana jika ransum mengandung serat kasar yang lebih dari 5 maka daya cerna ransum akan rendah karena unggas tidak mampu mencerna makanan dengan kandungan serat kasar yang tinggi. Selain itu daya cerna dipengaruhi oleh keseimbangan kandungan zat gizi antara bahan-bahan penyusun ransum, semakin seimbang kandungan zat gizi dalam ransum maka daya cerna akan semakin tinggi. Daya cerna juga dipengaruhi oleh bentuk fisik ransum, semakin kecil ukuran ransum maka makin mudah untuk dicerna dalam saluran pencernaan (Tillman


(45)

2.11. Income Over Feed Cost (IOFC)

Income Over Feed Cost merupakan analisis pendapatan atau keuntungan terhadap penggunaan suatu ransum. Pendapatan atau keuntungan diperoleh dari perkalian antara hasil produksi peternakan yang dihitung dalam kilogram berat badan hidup dengan harga jual, sedangkan biaya ransum merupakan total konsumsi dikali harga ransum dalam menghasilkan kilogram berat badan ternak tersebut (Prawirakusumo, 1990).

Keuntungan atau pendapatan dari setiap usaha yang dilaksanakan merupakan salah satu sasaran utama dalam berusaha, sehingga jika merencanakan suatu usaha yang sederhana sekalipun seorang pengusaha atau peternak berharap akan mendapatkan keuntungan. Usaha pemanfaatan limbah bukan hanya memberikan keuntungan dari segi ekonomi tetapi juga memberikan manfaat dalam penanganan dampak pencemaran lingkungan (Huitema, 1986).


(46)

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman, Laboratorium Nutrisi Ternak dan Kandang Ternak Departemen Peternakan Universitas Sumatera Utara, Medan.

Waktu Penelitian dimulai dengan pembuatan isolat jamur pada bulan Juli 2007 di Laboratorium Hama Penyakit Tanaman, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan sebagai penelitian awal, kemudian pelaksanaan penelitian dimulai pada bulan Januari sampai April 2008.

3.2 Bahan dan Alat

3. 2.1 Bahan dan Alat Untuk Pembuatan Isolat Jamur a. Bahan

Tanah dari limbah kandang ayam sebanyak 20 gram.

Potato Dextrose Agar (PDA) dengan komposisi 39 gram medium PDA

(Oxoid) dalam 1 liter air suling (aquadest). b. Alat

Timbangan elektrik untuk menimbang sampel tanah bahan isolasi.


(47)

Mikropipet untuk mengukur suspensi tanah yang ingin dipindahkan antar tabung reaksi.

Beaker glass sebagai tempat suspensi tanah.

Shaker untuk mengguncang sampel tanah dengan agudest sehingga terbentuk suspensi tanah.

3.2.2 Bahan dan Alat Untuk Pembiakan Jamur Pada Media Cair (Potato Dextrose Broth)

a. Bahan

Isolat jamur yang sudah murni.

Kentang yang sudah bersih dan dipotong-potong sebanyak 250 gram. Air suling (aquadest) steril sebanyak 1 liter.

Dextrose sebanyak 20 gram.

b. Alat

Panci sebagai tempat memasak kentang. Saringan untuk menyaring filtrat kentang.

outoklaf untuk mensterilkan Potato Dextrose Broth (PDB).

Shaker untuk mengguncang suspensi jamur sampai terjadi perubahan kekeruhan.

3.2.3 Bahan dan Alat Untuk Penghitungan Jumlah Total Mikroba a. Bahan


(48)

Aguadest yang sudah disterilkan.

b. Alat

Mikroskop elektrik perbesaran 400x.

Hemositometer untuk menghitung jumlah total mikroba.

3.2.4 Bahan dan Alat Untuk Fermentasi a. Bahan

Tepung bulu ayam yang sudah siap digiling dan dioutoklaf. Inokulum jamur sebagai starter fermentasi.

Aquadest yang sudah disterilkan.

b. Alat

Timbangan elektrikuntuk menimbang banyak jamur yang digunakan sebagai starter fermentasi.

Kantung plastik sebagaiwadah fermentasi tepung bulu ayam.

3.2.5 Bahan dan Alat Untuk Analisis Kandungan Protein Tepung Bulu Ayam a. Bahan

Tepung bulu ayamhasil fermentasi. Asam sulfat.

Aquadest 100 ml.

NaOH 35% sebanyak 5 ml. Asam borat (H3BO3 3%) 5 ml.


(49)

b. Alat

Labu Kjeldahl sebagai tempat destilasi.

Erlenmeyer sebagai tempat campuran NaOH dan asam borat (H3BO33%).

Alat titrasi untuk mentitrasi hasil destilasi.

3.2.6 Bahan dan Alat Untuk Uji Biologis a. Bahan

Tepung Bulu Ayam hasil fermentasi.

Ayam pedaging umur 4 minggu sebanyak 15 ekor untuk isolat jamur. Anak ayam umur 1 hari (DOC) strain 707 sebanyak 100 ekor untuk pengujian biologis terhadap penggunaan isolat terbaik.

Bungkil kelapa, dedak jagung, bungkil kedelai, tepung ikan, kapur, dan minyak nabati untuk bahan baku ransum yang lain sebagai campuran tepung bulu ayam fermentasi.

Vitamin dan obat-obatan.

Rodalon dan formalin untuk sterilisasi kandang.

b. Alat

Tempat pakan dan tempat minum.

Lampu 40 watt sebanyak 20 buah untuk penerangan.


(50)

3.3 Rancangan Metode Penelitian

Pengujian yang digunakan dalam penelitian ini ada dua tahap yaitu pada pengujian tahap pertama (I) dilakukan sebagai pengujian kandungan protein tepung bulu ayam hasil fermentasi. Pada pengujian ini target yang ingin dicapai adalah menentukan dosis inokulum jamur terbaik yang dapat menghasilkan kandungan protein tepung bulu ayam tertinggi setelah fermentasi. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) non Faktorial dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan. Fermentasi dilakukan selama 11 hari (Williams et al., 1991).

Model matematik yang digunakan:

Yij = µ + g i + i = 1,2,3,…p j = 1,2,3…n

Yij = Nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke- j µ = Nilai tengah umum

g i = Pengaruh perlakuan ke-i

ij = Galat percobaan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke- j ( Sastrosupadi, 1995).

Masing-masing Perlakuan terdiri dari:

T1 = Tepung Bulu ayam tanpa perlakuan (kontrol) T2 = Tepung Bulu ayam ditambah inokulum jamur 1% T3 = Tepung Bulu ayam ditambah inokulum jamur 2% T4 = Tepung Bulu ayam ditambah inokulum jamur 3%


(51)

Tepung bulu ayam yang memiliki kandungan protein tertinggi setelah fermentasi pada pengujian tahap pertama digunakan sebagai bahan baku ransum ayam pedaging pada pengujian tahap kedua (II) atau uji biologis.

Pengujian tahap kedua (II) atau uji biologis (tepung bulu fermentasi sebagai bahan baku ransum ayam pedaging umur 0-6 minggu), rancangan yang digunakan dalam pengujian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) non Faktorial dengan 5 perlakuan dan 4 ulangan. Jumlah plot 20 dan setiap plot (kandang ukuran 1 meter x 1 meter x 0,5 meter) diisi dengan 5 ekor ayam. Kepadatan kandang dengan 5 ekor ayam untuk mencegah sifat kanibalisme (saling makan antar ayam). Penentuan ulangan pada pengujian biologis dengan Rumus: t (n-1) > 15

Dimana: t = Perlakuan 15 = Ketetapan Model matematik yang digunakan:

Yij = µ + g i + ij

i = 1,2,3,…p j = 1,2,3…n

Yij = Nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j µ = Nilai tengah umum

g i = Pengaruh perlakuan ke-i

ij = Galat percobaan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke- j ( Sastrosupadi, 1995).


(52)

Masing- masing perlakuan terdiri dari:

T1 = Ransum tanpa tepung Bulu Ayam ( 0%) + 10% tepung ikan (kontrol) T2 = Ransum dengan Tepung Bulu Ayam 2,5 %

T3 = Ransum dengan Tepung Bulu Ayam 5 % T4 = Ransum dengan Tepung Bulu Ayam 7,5% T5 = Ransum dengan Tepung Bulu Ayam 10% Parameter yang diukur terdiri dari:

1. Konsumsi ransum yaitu jumlah ransum yang diberikan selama satu minggu ditimbang kemudian dikurangi dengan sisa ransum.

2. Pertambahan berat badan yaitu berat badan pada akhir minggu dikurangkan dengan berat badan pada awal minggu.

3. Konversi ransum yaitu jumlah ransum yang dikonsumsi dalam waktu satu minggu dibagi dengan pertambahan berat badan pada minggu tersebut.

4. Kecernaan ransum yaitu kandungan zat gizi ransum dikurangkan dengan kandungan zat gizi dalam feses dibagi kandungan zat gizi ransum dikali seratus persen.

5. Income Over Feed Cost (IOFC) yaitu pendapatan (berat badan akhir ternak dikali harga ternak dalam satu kilogram) dikurangkan dengan biaya ransum (total konsumsi dikali harga ransum).

Pada tahap ini target yang ingin dicapai adalah ransum dengan tingkat konversi paling rendah yang berarti dapat mencapai tingkat pertambahan berat badan tertinggi dengan penggunaan ransum yang sedikit. Hal ini berarti ransum tersebut


(53)

memiliki kandungan gizi yang optimal dan efesien untuk pertumbuhan ayam serta memberikan nilai keuntungan penggunaan ransum (IOFC) yang lebih tinggi.

3.4 Pelaksanaan Penelitian

3.4.1 Isolasi Tanah Kandang Ayam

Isolasi tanah dari kandang ayam dilakukan untuk mendapatkan jamur yang dapat mendegradasi keratin pada tepung bulu ayam. Isolasi tanah dilakukan sebanyak dua kali. Jamur yang digunakan dalam fermentasi diperoleh dari isolasi tanah berasal dari kandang ayam. Isolasi dilakukan dengan mencampur tanah sebanyak 20 gram dalam air suling 200 ml, kemudian digoncang dengan shaker lebih kurang 10 menit. Suspensi partikel tanah sebanyak 1 ml tersebut dilarutkan dalam 9 ml air suling yang sudah steril, kemudian digoncang sampai homogen sehingga diperoleh pengenceran 10-1. Selanjutnya dibuat pengenceran 10-2 dengan cara mengambil 1 ml suspensi partikel tanah pada pangenceran 10-1 dilarutkan pada 9 ml air suling yang sudah steril sehingga diperoleh pengenceran 10-2. Pada pengenceran 10-5, 10-6 dan 10-7, masing - masing diambil sebanyak 0,1 ml disebarkan dengan hockey stick pada media PDA (Potato Dextrose Agar) dengan komposisi 39 gram PDA (Potato Dextrose Agar) (Oxoid) dalam 1 liter air suling kemudian diinkubasi lebih kurang 1 minggu pada suhu 270C (suhu ruang) untuk pertumbuhan jamur (Cappuccino and Sherman, 1996). Pemurnian jamur dilakukan dengan mengambil 1 choock borrer biakan jamur kemudian diinokulasi pada media PDA, diinkubasi kembali pada suhu ruang (270C). Pada pemurnian pertama diperoleh isolat jamur seperti gambar (Lampiran 2),


(54)

pemurnian isolat jamur dilakukan sebanyak tiga sampai empat kali. Setelah diperoleh jamur yang murni baru dilakukan pembiakan jamur dengan pemindahan jamur pada media PDA (Potato Dextrose Agar) (Lay, 1994). Pada isolasi pertama (I) dari hasil identifikasi dengan pengamatan mikroskop perbesaran 400x diperoleh isolat jamur

Helicomyces sp.

3.4.2 Pembiakan Jamur Pada Media Cair (Potato Dextrose Broth)

Kentang sebanyak 250 gram yang sudah bersih dan dipotong-potong kemudian direbus selama 20 menit kemudian disaring sampai dihasilkan filtrat sebanyak 1 liter dengan penambahan air suling (air aquadest) yang steril. Larutan filtrat ditambahkan dengan 20 gram dextrose, kemudian larutan filtrat tersebut dituang ke 5 erlenmeyer dengan masing-masing erlenmeyer berisi 200 ml air filtrat

dextrose, setelah itu diautoklaf pada suhu 1210C tekanan 15 psi (pounds per square inch) selama 15 menit. Kemudian dimasukkan pada erlenmeyer, jamur sebanyak 5

chooch borrer atau menurut Lay, (1994) sebanyak 106 spora/ml, kemudian digoncang pada shaker dengan kecepatan 60 rpm (rotation pert minute) selama 2 minggu (Atlas, 1997). Pengguncangan bertujuan untuk menciptakan oksigen sehingga memancing spora dari jamur tersebut keluar. Pengguncangan dilakukan sampai terjadi perubahan warna dari air filtrat dextrose menjadi lebih keruh dari sebelum pengguncangan (Lay, 1994).


(55)

3.4.3 Pelaksanaan Fermentasi

a. Penghitungan Jumlah Total Mikroba

Jumlah total mikroba (jamur) sebagai inokulum fermentasi dihitung dengan alat Hemositometer. Dari pengenceran inokulum jamur 10-1 kemudian diteteskan sebanyak satu tetes inokulum jamur, setelah slide penutup ditutupkan. Individu sel dalam suatu kelompok sel dihitung. Sel spora jamur yang dihitung yaitu pada sel yang terletak di atas dan kiri menyentuh garis tengah pada tepi bujur sangkar.

Penghitungan jumlah mikroba (jamur) berdasarkan rumus: Jumlah sel per ml sampel = N x 5 x 10 x 1.000

Dimana, N = Jumlah spora jamur dalam kotak besar 5 = Jumlah kotak besar

10 = Faktor perkalian

1.000 = Faktor pengali dalam satuan mililiter (Raul and Jaime, 1986).

b. Fermentasi

Tepung bulu ayam sebagai medium fermentasi harus mengandung kadar air minimal 30% untuk memudahkan pertumbuhan jamur. Tepung bulu ayam dalam kondisi kering tetap mengandung air sebanyak 10%, jadi dilakukan penambahan air sebanyak minimal 20% dari berat kering tepung bulu ayam dicampur dengan inokulum jamur 1% (v/w), 2% (v/w), dan 3% (v/w) dari berat kering bahan. Inokulum jamur yang sudah ditambah air ini, kemudian disiramkan secara merata


(56)

pada tepung bulu ayam sebanyak 20 gram yang sudah ditempatkan pada wadah plastik yang kedap udara sehingga terjadi proses fermentasi.

c. Analisis Kandungan Protein Tepung Bulu Ayam Setelah Fermentasi

Analisis protein dilakukan dengan Metode Kjeldahl, dengan melakukan proses destruksi yaitu Tepung Bulu ayam ditimbang sebanyak 0,1 gram ditambah selenium sebanyak 0,1 gram sebagai katalis ditambah dengan asam sulfat, kemudian dibakar sampai putih diruang asam. Proses destilasi dengan menampung hasil destilasi pada labu kjeldahl lalu ditambah aquadest 100 ml ditambah NaOH 35% lebih kurang 5 ml kemudian ditampung pada erlenmeyer yang berisi asam borat (H3BO3 3%) sebanyak 5 ml kemudian ditambah aquadest 30 ml. Hasil destilasi

ditampung kira- kira sampai 150 ml kemudian dititrasi dengan HCl. Rumus perhitungan kadar protein yang diperoleh : % N = N. HCl X 14 X 100

Berat Sampel X 1000

% Protein = % N X 6,25 (Konversi dari kadar air) Dimana, N = Kadar Nitrogen

14 = Ketetapan (Suhardi et al ., 1984).

d. Analisis Kehilangan Berat Kering Tepung Bulu Ayam Fermentasi

Cawan porselin dioven pada suhu 1050C selama 1 jam, kemudian didinginkan dalam desikator selama 15 menit. Cawan dikeluarkan dari desikator, kemudian


(57)

ditimbang dan dicatat berat cawan kosong. Sampel ditimbang sebanyak 2,001g dengan 2 kali ulangan, kemudian timbang cawan tambah sampel dan dioven kembali pada suhu 1050C selama 8 jam. Kemudian sampel tersebut dikeluarkan dan didinginkan dalam desikator selama 1 jam, setelah itu ditimbang dan dicatat beratnya. Penimbangan dilakukan setiap 1 jam sekali dan dilakukan sebanyak tiga kali. Hasil penimbangan dijumlahkan kemudian dibagi tiga, hasil yang diperoleh merupakan berat cawan tambah sampel oven. Dari perhitungan ini diperoleh kadar air yang hilang dari sampel dengan rumus:

BC – BC + S. Oven x 100 S

Dimana: BC = Berat Cawan S = Sampel Berat kering = 100 – kadar air

Kehilangan persentase berat kering tepung bulu ayam =

Berat kering sebelum fermentasi – Berat kering setelah fermentasi x 100% Berat kering sebelum fermentasi

Sumber: Abdul dan Ibrahim, (1993).

3.4.4 Pengujian Isolat Jamur

Isolat jamur yang diperoleh dari hasil isolasi digunakan sebagai inokulum fermentasi. Tepung bulu ayam yang difermentasi dengan berbagai isolat jamur tersebut digunakan sebagai sumber protein bagi ayam pedaging. Pengujian ini


(58)

dilakukan selama satu minggu untuk menentukan jenis isolat jamur terbaik yang menunjukkan pertambahan berat badan tertinggi, digunakan sebagai isolat jamur pada pengujian tahap kedua (II) atau uji biologis.

3.4.5 Penggunaan Tepung Bulu Ayam Sebagai Ransum Ayam Pedaging a. Persiapan Kandang

Kandang disterilisasi dengan formalin, dimana penggunaan formalin sebanyak 1 liter dicampur dengan 5 liter air kemudian kandang diisolasikan selama tiga hari. Tempat pakan dan tempat minum disterilisasi dengan rodalon supaya bebas dari bibit penyakit.

b. Persiapan Anak Ayam Pedaging (DOC) Strain CP 707 Sebanyak 100 Ekor

Anak ayam umur satu hari (DOC) strain 707 sebanyak 100 ekor diproduksi oleh PT. Charoen Phakphan Indonesia. Sebelum dimsukkan ke kandang perlakuan, anak ayam ditimbang. Berat anak ayam pada setiap plot dihomogenkan atau disamakan agar kondisi setiap plot sama.

c. Persiapan Ransum Sesuai Perlakuan

Tepung bulu ayam pedaging yang memiliki kandungan protein terbaik melalui analisis protein dengan metode kjeldahl setelah fermentasi, kemudian dicampur dengan bahan ransum yang lain yaitu jagung, bungkil kelapa, bungkil kedelai, tepung


(59)

ikan dan top mix. Tepung bulu ayam yang digunakan dalam ransum berasal dari limbah bulu ayam pedaging yang telah melalui proses pengolahan (Lampiran 1).

d. Pengambilan Data

Pengambilan data dilakukan seminggu sekali sesuai parameter yang diteliti yaitu konsumsi ransum adalah jumlah ransum yang diberikan selama satu minggu, dikurangi dengan sisa ransum. Pertambahan berat badan yaitu berat badan pada akhir minggu dikurangi dengan berat badan pada awal minggu. Konversi ransum adalah jumlah ransum yang dikonsumsi dalam waktu satu minggu dibagi pertambahan berat badan pada minggu tersebut.

3.4.6 Koefisien Daya Cerna Ransum

Koefisien daya cerna ransum dilakukan untuk mengetahui berapa besar persentase kandungan zat makanan dalam ransum yang dapat diserap oleh tubuh. Koefisien daya cerna merupakan selisih antara kandungan zat makanan dalam ransum yang dimakan ternak dengan kandungan zat makanan yang masih terdapat dalam feses. Penghitungan koefisien daya cerna ransum yang dilaksanakan adalah sebagai berikut:

Koefisien Cerna = N ransum - N feses x 100% N ransum


(60)

Keterangan:

N ransum = Kandungan zat gizi ransum

N feses = Kandungan zat gizi yang tersisa dalam feses (Tillman et al., 1991).

3.4.7 Income Over Feed Cost (IOFC)

Income Over Feed Cost dilakukan untuk mengetahui berapa besar pendapatan atau keuntungan yang diperoleh dari penggunaan ransum tersebut. Income Over Feed Cost merupakan selisih antara pendapatan yang diperoleh dari berat badan akhir ternak dikali harga jual dalam satu kilogram dengan biaya ransum. Secara jelas rumus

Income Over Feed Cost (IOFC) adalah sebagai berikut:

Income Over Feed Cost (IOFC) = (berat badan akhir x harga satu kg berat badan ayam) – (total konsumsi x harga ransum)


(61)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Isolasi Tanah Kandang Ayam

Dari hasil isolasi tanah kandang ayam yang dilakukan sebanyak 2 kali, pada isolasi pertama, setelah diidentifikasi melalui pengamatan mikroskop dengan perbesaran 400x diperoleh isolat jamur Helicomyces sp (Lampiran 3), dengan ciri-ciri memiliki miselium sederhana, konidiofor berbentuk hialin, bersepta, konidia tunggal dan menggulung. Hal ini sesuai dengan pendapat Barnett and Hunter, (1972), menyatakan bahwa Helicomyces sp, memiliki konidiofor berbentuk hialin sederhana, bersepta, konidia tunggal dan ketat bergulung. Selain itu Helicomyces sp merupakan jamur saprofit yang mampu mendegradasi keratin. Dozie et al., (1994), menyatakan bahwa keratin pada bulu ayam dapat didegradasi oleh jamur saprofit.

Pada isolasi kedua, melalui pengamatan mikroskop dengan perbesaran 400x diperoleh isolat jamur Trichoderma sp dan Penicillium sp (Lampiran 3). Isolat jamur

Trichoderma sp pertumbuhannya cepat, konidia hialin, bercabang banyak, fialides tunggal atau berkelompok dan koloni berwarna hijau. Barnett and Hunter, (1972), menyatakan bahwa Trichoderma sp memiliki konidiospora hialin, bercabang banyak, fialides tunggal atau berkelompok, saprofit di dalam tanah dan species ini merupakan parasit bagi jamur lain. Selain itu Trichoderma sp mampu memproduksi gula sederhana dan merupakan jamur termofilik, sesuai dengan pendapat Zerdani et al., (2004), yang menyatakan bahwa keratin pada tepung bulu ayam dapat didegradasi


(62)

oleh mikroorganisme termofilik yaitu mikroorganisme yang mampu tumbuh pada suhu 50-650C.

Isolat jamur Penicillium sp (Lampiran 3), mempunyai kemampuan tumbuh sangat cepat, koloninya berwarna hijau kebiruan atau kuning, mempunyai permukaan miselium sederhana, halus, panjang, dan konidiofor bercabang sekitar 2-3 cabang, fialides berisi rantai konidia dan konidia berbentuk bulat. Alexopoulus et al., (1996), menyatakan bahwa Penicillium sp memiliki miselium sederhana, konidia berbentuk bulat, terdiri atas satu sel. Di ujung cabang konidiofor terdapat sekumpulan fialides yang berisi rantai konidia. Menurut pendapat Periasamy et al., (2004), Penicillium sp merupakan jamur keratinofilik yang mamiliki kesukaan terhadap substrat keratin. Jamur keratinofilik dapat hidup pada jaringan keratin dengan menghasilkan enzim keratinase dan memanfaatkan substrat keratin tersebut sebagai sumber nutrien untuk pertumbuhan.

4.2Hasil Penghitungan Jumlah Spora dari Isolat Jamur Limbah Kandang Ayam

Hasil penghitungan jumlah total mikroba penggunaan berbagai isolat jamur sebagai inokulum fermentasi dalam 1 ml suspensi jamur dapat dilihat pada tabel 4 berikut:


(63)

Tabel 4. Jumlah Total Mikroba Inokulum Fermentasi

Jenis Isolat Jamur Hasil Penghitungan Jumlah Spora

Helicomyces sp

Trichoderma sp

Penicillium sp

1,5 x 106 spora/ml 2,25 x 106 spora/ml 2,65 x 106 spora/ml

Berdasarkan tabel 4 di atas, jumlah total mikroba terbanyak pada isolat jamur

Penicillium sp (2,65 x 106) spora/ml dan jumlah total mikroba paling sedikit pada isolat jamur Helicomyces sp (1,5 x 106) spora/ml. Hal ini terjadi karena, isolat jamur Penicillium sp memiliki cabang konidiofor yang banyak sekitar 2-3 cabang. Pada ujung cabang terdapat phialides berisi konidia yang menghasilkan banyak spora. Konidia hialin dan saling menumpuk sampai ke atas. Koloni jamur tumbuh menyebar dengan cepat. Cappuccino and Sherman, (1987), menyatakan bahwa Penicillium sp tumbuh menyebar dengan cepat, konidiofor bercabang sekitar 2-3 cabang, di ujung cabang terdapat phialides berisi rantai konidia (spora tunggal), dan menghasilkan banyak spora. Sedangkan isolat jamur Helicomyces sp memiliki konidiofor berbentuk hialin sederhana, konidia tunggal dan pertumbuhan koloni jamur relatif lambat sehingga menghasilkan jumlah spora yang sedikit.

Mikroba (jamur) berasal dari satu sel spora yang tumbuh dan berkembang menjadi suatu individu jamur serta menghasilkan suatu enzim yang berperan dalam perombakan senyawa organik kompleks dalam proses fermentasi. Semakin banyak suatu mikroba yang membantu proses fermentasi berarti semakin banyak komponen senyawa organik kompleks yang mampu dirombak oleh mikroba tersebut. Jamur


(1)

Data Konversi Ransum Minggu II

Perlakuan Ulangan Total Rataaan

I II III IV

T0 1,750094 1,725063 1,952201 1,541777 6,969135 1,742284 T1 1,803998 1,879607 1,668299 1,690401 7,042305 1,760576 T2 1,644451 1,714097 1,699449 1,813032 6,871029 1,717757 T3 1,456795 1,466405 1,412332 1,615247 5,950779 1,487695 T4 1,653383 1,595728 1,420689 1,507878 6,177679 1,54442

Total 33,01093

Rataan 1,650546

FK= 54,48606

KK 6,7

ANOVA

SK DB JK KT F.hit F 0,05 F0,01

Perlakuan 0,251293 4 0,062823 5,137479** 0,008252 3,055568 Galat 0,183426 15 0,012228

Total 0,434719 19

Data Konversi Ransum Minggu III

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III IV

T0 1,749945 1,713321 1,608136 1,807835 6,879238 1,719809 T1 1,763077 1,605636 1,820796 1,695874 6,885384 1,721346 T2 1,792183 1,70632 1,824244 1,584891 6,907638 1,726909 T3 1,692983 1,734201 1,715632 1,682512 6,825328 1,706332 T4 1,61932 1,633015 1,751202 1,70476 6,708296 1,677074

Total 34,20588

Rataan 1,710294

FK= 58,50212

KK= 4,64

ANOVA

SK DB JK KT F.hit F 0,05 F0,01

Perlakuan 0,006432 4 0,001608 0,255743tn 0,901633 3,055568 Galat 0,094314 15 0,006288


(2)

Data Konversi Ransum Minggu IV

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III IV

T0 1,705883 1,672357 1,71601 1,639099 6,733349 1,683337 T1 1,614837 1,722227 1,661223 1,720417 6,718704 1,679676 T2 1,632165 1,691919 1,63897 1,736391 6,699444 1,674861 T3 1,597539 1,586376 1,500921 1,578533 6,263369 1,565842 T4 1,525535 1,607916 1,592102 1,546666 6,272218 1,568055

Total 32,68708

Rataan 1,634354

FK= 53,42227

KK= 2,69

ANOVA

SK DB JK KT F. hit F 0,05 F 0,01

Perlakuan 0,060735 4 0,015184 7,829032** 3,055568 4,89 Galat 0,029091 15 0,001939

Total 0,089826 19

Data Konversi Ransum Minggu V

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III IV

T0 1,740607 1,732819 1,706368 1,706368 6,886162 1,721541 T1 1,693305 1,754596 1,713818 1,752944 6,914663 1,728666 T2 1,686138 1,768451 1,700949 1,787923 6,943461 1,735865 T3 2,550549 2,370761 2,505252 1,861636 9,288197 2,322049 T4 4,110608 3,690569 2,866009 4,259409 14,92659 3,731649

Total 44,95908

Rataan 2,247954

FK= 101,0659

KK= 13,99

ANOVA

SK DB JK KT F.hit F 0,05 F 0,01

Perlakuan 12,06339 4 3,015847 30,47465** 3,055568 4,89

Galat 1,484437 15 0,098962


(3)

Data Konversi Ransum Minggu VI

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III IV

T0 3,368279 2,504819 2,476245 2,283529 10,63287 2,658218 T1 2,351071 2,391878 2,464831 2,677629 9,885409 2,471352 T2 2,532575 2,45355 2,48541 2,360061 9,831596 2,457899 T3 3,965996 2,96416 5,440174 6,505221 18,87555 4,718888 T4 4,268192 3,80982 6,279667 4,928539 19,28622 7,714487

Total 68,51165

Rataan 4,004169

FK= 234,6923

KK= 21,97

ANOVA

SK DB JK KT F.hit F 0,05 F 0,01

Perlakuan 24,22877 4 6,057191 7,829177** 3,055568 4,89 Galat 11,60504 15 0,773669

Total 35,8338 19

Data Rataan Konversi Ransum Ayam Pedaging Umur 0-6 Minggu

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III IV

T0 1,9675 1,8323 1,8076 1,7593 7,3667 1,841675

T1 1,8146 1,8192 1,8156 1,8284 7,2778 1,81945

T2 1,8144 1,8081 1,7971 1,8118 7,2314 1,80785

T3 2,2222 1,9857 2,4265 2,5129 9,1473 2,286825

T4 2,5115 2,3614 2,6235 2,6105 10,1069 2,526725

Total 41,1301

Rataan 2,056505

FK= 84,58426

KK= 6,07

ANOVA

SK DB JK KT F.hit F 0,05 F 0,01

Perlakuan 1,753322 4 0,438330462 28,148** 3,055568 4,89

Galat 0,233579 15 0,015571912


(4)

Hasil Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) Rataan Konversi Ransum

Perlakuan Rataan

Notasi

0,01

T0

1,841

A

T1

1,819

A

T2

1,807

A

T3

2,286

B

T4

2,526

C

Keterangan: Notasi yang berbeda menunjukkan pengaruh yang sangat berbeda nyata

(P<0,01) antar perlakuan.

Lampiran 10

Pendapatan (Income Over Feed Cost/ IOFC)

Penentuan Harga Tepung Bulu Ayam

Satu goni kapasitas 30 kg berisi bulu ayam basah sebanyak 10 kg kering,

setelah digiling diperoleh 5 kg tepung bulu ayam. Satu goni limbah bulu ayam

diperoleh dengan memperkerjakan 3 orang pekerja selama 3 jam, jadi 9/8 jam kerja x

Upah minimum Regional (UMR) = 9/8 x Rp 8 .500

= Rp 9.562,5 x 5 kg

= Rp 1. 912,5 + Rp 300 (upah giling)

= Rp 2.212,5 / kg Tepung Bulu Ayam


(5)

Income Over Feed Cost (IOFC)/ (Rp)/

Ekor

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III IV

T0 6.331,086 5.784,87 6.042,846 6.385,344 24.544,146 6.136,037 T1 6.783,678 6.220,416 6.231,18 6.025,242 25.260,516 6.315,129 T2 6.515,796 6.571,908 6.522,822 6.426,756 26.037,282 6.509,321 T3 4.495,296 5.362,668 4.282,572 4.639,728 18.780,264 4.695,066 T4 3.870,426 3.786,984 3.910,434 3.435,786 15.003,63 3.750,908

Total 109.625,838

Rataan 5.481,292

FK= 600891217,9

KK= 5,5

ANOVA

SK DB JK KT F.hit F0,05 F 0,01

Perlakuan 23172795,76 4 5793198,94 63,80642 3,06 4,89 Galat 1361900,384 15 90793,3589

Total 24534696,15 19

Hasil Uji Beda NyataTerkecil (BNT)

IOFC

(Rp)

Perlakuan Rataan

Notasi

0,01

T0

6.136,037

C

T1

6.315,129

D

T2

6.509,321

D

T3

4.695,066

B

T4

3.750,908

A

Keterangan: Notasi yang berbeda menunjukkan pengaruh yang sangat berbeda nyata

(P<0,01) antar perlakuan.


(6)

Lampiran 11

Hasil Analisa Kandungan Protein Tepung Bulu Ayam Fermentasi dengan Isolat

Jamur Penicillium sp

Ulangan

Perlakuan

1 2 3

Total Rataan

T0

T1

T2

T3

80,5

88,5

88,86

90,4

81,1

86,2

90,8

91,1

81,3

89,9

87,4

91,2

242,9 264,6 267,06 272,7 80,96 88,2 89,02 90,9

Total

1047,26

Rataan

87,27167

FK = 91396,13

KK = 1,4

Anova

SK Jk DB KT F.hit F0,05 F 0,01

Perlakuan 170,5089 3 56,8363 33,61835** 4,066181 7,50

Galat 13,52507 8 1,690633

Total 184,034 11

Hasil Uji Beda Nyata Jujur (BNJ) Peningkatan Kandungan Protein Setelah

Fermentasi Dengan Isolat Jamur

Penicillium

sp

Perlakuan Rataan

(%) Notasi

0,01

Kontrol (R0)

80,96

A

Inokulum Jamur 1% (R1)

88,20

B

Inokulum Jamur 2% (R2)

89,02

B

Inokulum Jamur 3% (R3)

90,90

C

Keterangan: Notasi yang berbeda menunjukkan pengaruh yang sangat berbeda nyata

(P<0,01) antar perlakuan.