PATOGENESIS Perlemakan Hati Non Alkoholik

III. EPIDEMIOLOGI

Prevalensi perlemakan hati non alkoholik berkisar antara 15-20 pada populasi dewasa di Amerika Serikat, Jepang dan Italia. Diperkirakan 20-30 diantaranya berada dalam fase yang lebih berat steatohepatitis non alkoholik. Di Indonesia penelitian mengenai perlemakan hati non alkoholik masih belum banyak. Lesmana melaporkan 17 pasien steatohepatitis non alkoholik, rata-rata berumur 42 tahun dengan 29 gambaran histologi hati menunjukkan steatohepatitis disertai fibrosis. Sebuah studi populasi dengan sampel cukup besar oleh Hasan dkk mendapatkan prevalensi perlemakan hati non alkoholik sebesar 30,6. Beberapa karakteristik klinis berhubungan dengan steatohepatitis non alkoholik, termasuk diabetes mellitus, hiperlipidemia, hipertensi dan obesitas. Semua penyakit ini berhubungan dengan keadaan resistensi insulin. Perlemakan hati non alkoholik telah ditunjukkan dari beberapa studi berhubungan dengan resistensi insulin. Obesitas ditemukan pada 40-100 pasien perlemakan hati non alkoholik dengan diabetes dan hiperlipidemia terjadi pada 21-75 dan 21-83. 2 Perlemakan hati non alkoholik dapat terjadi pada semua usia termasuk anak- anak, walaupun penyakit ini dikatakan paling banyak pada dekade keempat dan kelima kehidupan. Jenis kelamin yang dominan berbeda-beda dalam berbagai penelitian, namun umumnya menunjukkan adanya predileksi perempuan. 1 2

IV. PATOGENESIS

Patogenesis perlemakan hati non alkoholik masih belum jelas. Dua kondisi yang paling sering berhubungan dengan peningkatan suplai asam lemak ke hati serta resistensi insulin. Hipotesis yang sampai saat ini banyak diterima adalah the two hit theory yang diajukan oleh Day dan James pada tahun 1998. 2 Universitas Sumatera Utara Gambar 1. Patogenesis Perlemakan Hati Non Alkoholik 1 First Hit Steatohepatitis terjadi jika homeostasis lemak tidak seimbang. Normalnya, trigliserida, komponen utama lemak pada hati berasal dari esterifikasi asam lemak bebas yang berakumulasi di hati. Akumulasi asam lemak bebas ini melalui dua jalur. Asam lemak bebas dihantarkan ke hati dengan albumin melalui absorpsi GUT atau lipolisis jaringan adiposa atau disintesa di hati melalui lipogenesis. Asam lemak yang berakumulasi di hati dapat juga terjadi oksidasi di dalam mitokondria hepatosit, peroksisom atau mikrosom, atau diesterifikasi menjadi trigliserida. Trigliserida lalu disekresi menjadi VLDL melalui eksositosis. Homeostasis metabolisme lemak dapat terganggu dengan peningkatan hantaran asam lemak bebas ke hati, peningkatan sintesis asam lemak di hati, penurunan β oksidase asam lemak di hati danatau penurunan sintesis atau sekresi VLDL 1,2,3 Perubahan pada sinyal insulin kemampuan adiposit dalam merespon perubahan kadar glukosa dan metabolisme lemak sepertinya menyebabkan terjadinya steatosis. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, resistensi insulin telah ditunjukkan banyak terjadi pada pasien-pasien dengan perlemakan hati non alkoholik dan juga Universitas Sumatera Utara berhubungan dengan diabetes melitus, peningkatan sirkulasi insulin menyebabkan peningkatan lipolisis dengan peningkatan hantaran asam lemak bebas ke hati. Di dalam hepatosit asam lemak disintesis dan oksidasi asam lemak dihambat. Peningkatan kadar insulin dapat meningkatkan degradasi apolipoprotein B100, suatu komponen VLDL, sehingga menyebabkan ketidakmampuan trigliserida untuk dihantarkan ke luar hati. Secara klinis telah diperlihatkan adanya hubungan antara steatosis dan peningkatan sirkulasi insulin. Pasien-pasien dengan paparan lokal terhadap insulin memperlihatkan adanya steatosis hati fokal. Parenkim hati yang mengalami metastase insulinoma juga dapat berkembang menjadi steatosis hati yang berlanjut. Leptin, yang dihasilkan oleh adiposit merupakan hormon pengatur yang memerankan peranan yang penting dalam berkembangnya steatosis hati. Hormon ini diduga menyebabkan terjadinya resistensi insulin dan mengubah sinyal insulin pada hepatosit yang menyebabkan peningkatan produksi asam lemak hepatoseluler. Peningkatan kadar leptin dijumpai pada pasien dengan perlemakan hati non alkoholik terutama pada pasien dengan BMI yang tinggi. Second Hit Faktor-faktor yang menyebabkan inflamasi hepatosit, degenerasi balloning, nekrosis dan fibrosis masih diteliti. Namun data yang sekarang menduga bahwa perjalanan penyakit terjadi pada tingkat hepatosit yang menyebabkan beberapa pasien dengan steatosis berkembang menjadi perlemakan hati non alkoholik. Bagaimana perjalanan dan peran dari faktor-faktor ini masih dalam penelitian. 1,2,3 Stres oksidatif dipikirkan sebagai salah satu pendorong katalisator dibalik perkembangan steatosis menjadi perlemakan hati non alkoholik. Stres oksidatif terjadi oleh berbagai sebab. Asam lemak bebas yang telah berakumulasi didalam hepatosit mengalami oksidasi melalui mitokondria, mikrosom dan peroksisom, menyebabkan Reactive Oxygen Species. Peningkatan asam lemak bebas juga merangsang peningkatan regulasi CYP2E1, sebuah enzim yang bekerja sebagai katalis untuk peroksidasi lemak. Jalur sitokrom p450 lainnya, seperti CYP3A4 telah juga telah diimplikasikan sebagai sumber peroksidasi lemak juga. Stres oksidatif yang kronis menyebabkan deplesi sumber antioksidan alami glutation dan menyebabkan pengeluaran zat oksidatif reaktif di dalam hepatosit. Pengeluaran zat besi juga dapat meningkatkan stres oksidatif. Universitas Sumatera Utara Keluarnya zat oksidatif reaktif menyebabkan pengeluaran tumor necrosis factor TNF- α, sitokin proinflamasi, melalui hepatosit, sel kupffer dan jaringan adiposa. Peningkatan regulasi TNF- α mengaktivasi redox-sensitive kinase spesifik seperti IKK- β dimana meningkatkan regulasi jalur proinflamasi begitu juga resistensi insulin Sanyal dkk telah menunujukkan bahwa adanya stres oksidatif dan abnormalitas struktur mitokondria pada pasien-pasien dengan perlemakan hati non alkoholik dibandingkan dengan perlemakan hati sederhana. Sel kupffer biasanya mengeluarkan sitokin yang memodulasi aktivitas TNF- α seperti interferon- γ, IL-10 dan IL-12 begitu juga prostaglandin E2, superoksida dan peroksida hidrogen. Interferon- γ dan IL-6 merupakan sitokin proinflamasi dan IL-10 merupakan sitokin anti inflamasi. Obesitas menyebabkan gangguan pada fungsi sel kupffer seperti yang ditunjukkan oleh Yang dkk.

V. MANIFESTASI KLINIS