Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN Peningkatan Interaksi Ibu Dan Anak Retardasi Mental Melalui Pelatihan Bermain Pura-Pura Bersama Anak.

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Retardasi mental merupakan gangguan genetika yang termanifestasi di dalam fungsi kognitif, emosi, dan sosial di bawah rata-rata. Menurut Fidler dan Nadel 2007 anak retardasi mental kesulitan dalam memproses informasi, sehingga sulit mengenali, dan mengelola emosi. Hodapp dan Dykens 2005 menambahkan bahwa anak retardasi mental juga sulit menyesuaikan diri dan memilih strategi sosial yang tepat pada saat menghadapi perubahan fungsi sosial dan mood. Menurut Anggraini 2010 insiden retardasi mental memang sulit dikenali apabila masih dalam taraf ringan, sehingga kadang-kadang baru dikenali setelah usia pertengahan kanak-kanak, atau mencapai puncak di usia 10 sampai 14 tahun. Penderita retardasi mental di Indonesia sekitar 1-3 dari jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2001. Penderita retardasi mental mengenai 1,5 kali lebih banyak pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Rendahnya fungsi kognitif, emosi, dan sosial yang diderita anak retardasi mental menjadi permasalahan tersendiri, karena anak retardasi mental mengalami kesulitan berinteraksi dengan lingkungan. Menurut Matson, Hess, Sipes, dan Horovitz 2012 anak retardasi mental lebih terhambat dalam berkomunikasi dibandingkan dengan anak yang mengalami hambatan perkembangan lainnya. Hambatan berkomunikasi terjadi, karena menurut anak retardasi mental mengalami hambatan dalam berbicara dan berbahasa Abbeduto, Warren, Conners, 2007. Hambatan berbicara dan berbahasa yang diderita anak retardasi mental dapat mempengaruhi perkembangan anak, apabila ibu sebagai pengasuh utama mengalami kesulitan dalam memberikan rangsangan ketika berinteraksi Greenspan Wieder, 2006. Pada kenyataannya hambatan berinteraksi ini tidak selalu disebabkan oleh hambatan berbicara dan berbahasa anak, karena di lain pihak kondisi emosi ibu juga mempengaruhi ibu dalam mengasuh anak. Feldman, Varghese, Ramsay, dan Rajska 2002 menjelaskan bahwa stres yang dialami ibu karena memiliki anak retardasi mental menyebabkan interaksi ibu dan anak menjadi negatif, sehingga ibu kurang responsif terhadap anak. Dibandingkan dengan ibu yang memiliki anak dengan gangguan pskiatrik lainnya, ibu dengan anak retardasi mental memang lebih bisa menerima kehadiran anak, namun ibu tetap saja mengalami stres terutama dalam menghadapi perilaku anak Hodapp, Ricci, Fidler, 2003; Dabrowska Pisula, 2010. Kehadiran anak retardasi mental menjadikan ibu bekerja lebih keras, karena ibu harus menghabiskan lebih banyak waktu, tenaga, dan perhatian kepada anak retardasi mental Pilusa, 2006. Stres yang dialami ibu dalam mengasuh anak retardasi mental ini menunjukkan bahwa ibu membutuhkan dukungan sosial dalam menjalankan fungsi pengasuhannya ketika berinteraksi dengan anak retardasi mental. Menurut Holland, Kwang, Kitzman, Chaudron, Szilagyi, dan Greener 2012 dukungan sosial yang diperoleh ibu dengan anak retardasi mental mendorong interaksi positif antara ibu dan anak, dan mendorong perkembangan anak. Menurut Venuti, Falco, Giusti, dan Bornstein 2008 interaksi positif akan diperoleh ibu dan anak retardasi mental apabila ibu memiliki kepekaan di dalam memberikan rangsang emosi dan sosial kepada anak. Kepekaan yang dimiliki ibu dalam memberikan rangsang emosi dan sosial kepada anak retardasi mental ini membantu ibu dalam memberikan kualitas nilai rangsang ketika berinteraksi dengan anak Crawley Spiker, 1983. Sesuai dengan hasil penelitian di atas, hasil penelitian pendahuluan juga menunjukkan bahwa terdapat hambatan komunikasi pada anak retardasi mental yang bersekolah dan menjalani terapi di Mutiara Center. Awalnya anak rata-rata masih berusia 3-4 tahun sulit mengeluarkan suara dan kata-kata, bahkan ada satu anak yang sering bereaksi seperti mau muntah ketika mulai berbicara. Setelah menjalani terapi pengulangan kata-kata secara tepat menggunakan metode ganjaran dan hukuman selama lebih dari satu tahun anak telah mampu berbicara, bahkan menyebutkan identitas diri dan keluarga, dan jenis kelamin. 1 Sekalipun anak kini telah mampu berbicara, hambatan berkomunikasi masih saja terjadi. Ibu masih mengalami kesulitan berinteraksi dengan anak, terutama ketika anak mengalami tantrum, karena keinginannya tidak terpenuhi. Anak biasanya menangis meronta –ronta dan menjerit, berdiam diri selama berjam-jam di suatu tempat, dengan posisi tidak berubah, atau memukul atau 1 Wawancara pada tanggal 23 November 2011 dengan pimpinan Mutiara Center, yaitu sebuah yayasan yang didirikan untuk menangani anak-anak berkebutuhan khusus. Mutiara Center memiliki 22 siswa dengan gangguan perkembangan dan perilaku yang beragam. Di antara 22 siswa berkebutuhan khusus, 5 di antaranya 22,7 menderita retardasi mental.anak retardasi mental awalnya tidak mampu berbicara. menampar orang lain apabila anak merasa terganggu dengan sikap orang tersebut atau membanting segala sesuatu yang ada di dekatnya. Ibu menanggapi sikap anak dengan segera menuruti keinginan anak supaya tenang, namun dua ibu membiarkan anak menangis meronta-ronta atau berdiam diri selama berjam-jam, karena ibu menganggap bahwa keinginan anak membahayakan kesehatan atau pemborosan. 2 Pengujian teknik berbicara untuk mengatasi hambatan berkomunikasi pada anak retardasi mental ini juga pernah dilakukan oleh Bysterveldt, Gillon, dan Moran 2006 dengan meminta anak mengucapkan kata secara berulang-ulang. Hasilnya, kesadaran anak retardasi mental terhadap pengucapan bunyi kata-kata secara tepat menjadi meningkat. Intervensi lain pernah dicoba Sanz, Menéndeza, dan Rosiqueb 2011 dengan menguji penguat verbal dan fisik untuk meningkatkan hasil rangsang di empat area, yaitu motorik halus dan kasar, bahasa, dan ketrampilan sosial. Hasilnya kemampuan berbahasa anak lebih meningkat dibandingkan interaksi sosial. Hasil penelitian Bysterveldt 2006 dan Sanz 2011 ini menunjukkan bahwa teknik pengulangan kata-kata secara tepat, dan penggunaan penguat verbal maupun fisik cukup efektif di dalam meningkatkan kemampuan berbicara dan berbahasa, namun tidak cukup efektif di dalam meningkatkan interaksi ibu dan anak. Beberapa ahli pernah melakukan pengujian beberapa teknik untuk meningkatkan interaksi ibu dan anak. Mahoney, Perales, Wiggers, dan Herman 2006 menguji strategi pengajaran responsif dengan menyusun kurikulum bagi 2 Wawancara pada tanggal 24 November 2011 dengan empat orang ibu di Yayasan Mutiara Center orang tua dalam merespon 16 perilaku anak secara tepat untuk meningkatkan interaksi orang tua dan anak retardasi mental. Diskusi kelompok antar orang tua juga digunakan untuk membahas permasalahan perilaku anak. Perlakuan ini dapat meningkatkan interaksi orang tua dan anak retardasi mental. Intervensi lain yang pernah digunakan untuk meningkatkan interaksi ibu dan anak adalah melalui terapi bermain. Falco, Esposito, Venuti, dan Bornstein 2010 menggunakan terapi bermain untuk meningkatkan peranan ibu dalam mengoptimalkan tugas perkembangan anak. Hasilnya, ibu lebih bisa menyesuaikan diri dengan kemajuan perkembangan anak. Webster, Stratton, dan Reid, 2009 menyusun program bermain bagi ibu dan anak usia 6 minggu sampai dengan 6 tahun untuk memperkuat kelekatan anak terhadap ibu. Hasilnya, lbu semakin mempererat hubungannya dengan anak dan belajar melatih anak untuk meningkatkan perkembangan emosi dan sosial. Intervensi yang sedikit berbeda pernah dilakukan oleh Guo 2005 dalam menerapkan terapi bermain untuk meningkatkan interaksi ibu dan anak. Terapi bermain ini disebut filial therapy, yaitu terapi keluarga yang melibatkan partisipasi ibu dalam bermain dengan anak. Hasilnya ibu lebih berempati dan memahami perilaku anak. Manfaat yang lain adalah dapat meningkatkan kehangatan dan kepercayaan ibu di dalam berinteraksi, dan menurunkan stres orang tua Kinsworthy, Garza, 2010. Beberapa penelitian terapi bermain yang telah dijelaskan di atas memang tidak memberikan batasan mengenai bentuk bermain anak, namun Swindells dan Stagnitti 2006 memberikan kekhususan bentuk bermain dalam terapi bermainnya, yaitu bermain pura-pura kepada anak usia 4-5 tahun. Menurut Russ 2004 bermain pura-pura merupakan bermain drama sosial yang alamiah dilakukan oleh anak usia 18 bulan sampai dengan 6 tahun. Bermain pura-pura ini melibatkan penggunaan imajinasi, membuat yakin, dan simbolisasi. Bermain pura-pura ini, ternyata juga bisa dimainkan oleh anak retardasi mental, dengan koreksi usia mental. Motti, Cichetti, dan Sroufe 1983 memberikan terapi bermain simbolis pada anak retardasi mental. Hasilnya, dengan koreksi usia mental, permainan anak retardasi mental usia 3-5 tahun sama dengan anak yang tidak menderita kelainan genetika. Berdasarkan pada hasil studi literatur dan penelitian pendahuluan tersebut dapat diketahui bahwa pelatihan bermain pura-pura dapat digunakan untuk meningkatkan interaksi ibu dan anak retardasi mental pada ibu yang masih memiliki kesulitan berinteraksi dengan anak. Pelatihan bermain pura-pura ini dipilih karena bermain pura-pura merupakan permainan alamiah yang biasa dilakukan oleh anak usia 18 bulan sampai dengan 6 tahun. Melalui bermain pura- pura ibu dapat menjalin interaksi yang bermakna dengan anak retardasi mental, sehingga dapat membantu anak dalam mengoptimalkan tugas perkembangan secara alamiah.

B. Perumusan Masalah