PENDAHULUAN Peningkatan Interaksi Ibu Dan Anak Retardasi Mental Melalui Pelatihan Bermain Pura-Pura Bersama Anak.

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Retardasi mental merupakan gangguan genetika yang termanifestasi di dalam fungsi kognitif, emosi, dan sosial di bawah rata-rata. Menurut Fidler dan Nadel (2007) anak retardasi mental kesulitan dalam memproses informasi, sehingga sulit mengenali, dan mengelola emosi. Hodapp dan Dykens (2005) menambahkan bahwa anak retardasi mental juga sulit menyesuaikan diri dan memilih strategi sosial yang tepat pada saat menghadapi perubahan fungsi sosial dan mood.

Menurut Anggraini (2010) insiden retardasi mental memang sulit dikenali apabila masih dalam taraf ringan, sehingga kadang-kadang baru dikenali setelah usia pertengahan kanak-kanak, atau mencapai puncak di usia 10 sampai 14 tahun. Penderita retardasi mental di Indonesia sekitar 1-3 % dari jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2001. Penderita retardasi mental mengenai 1,5 kali lebih banyak pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan.

Rendahnya fungsi kognitif, emosi, dan sosial yang diderita anak retardasi mental menjadi permasalahan tersendiri, karena anak retardasi mental mengalami kesulitan berinteraksi dengan lingkungan. Menurut Matson, Hess, Sipes, dan Horovitz (2012) anak retardasi mental lebih terhambat dalam berkomunikasi dibandingkan dengan anak yang mengalami hambatan perkembangan lainnya.


(2)

Hambatan berkomunikasi terjadi, karena menurut anak retardasi mental mengalami hambatan dalam berbicara dan berbahasa (Abbeduto, Warren, & Conners, 2007).

Hambatan berbicara dan berbahasa yang diderita anak retardasi mental dapat mempengaruhi perkembangan anak, apabila ibu sebagai pengasuh utama mengalami kesulitan dalam memberikan rangsangan ketika berinteraksi (Greenspan & Wieder, 2006). Pada kenyataannya hambatan berinteraksi ini tidak selalu disebabkan oleh hambatan berbicara dan berbahasa anak, karena di lain pihak kondisi emosi ibu juga mempengaruhi ibu dalam mengasuh anak.

Feldman, Varghese, Ramsay, dan Rajska (2002) menjelaskan bahwa stres yang dialami ibu karena memiliki anak retardasi mental menyebabkan interaksi ibu dan anak menjadi negatif, sehingga ibu kurang responsif terhadap anak. Dibandingkan dengan ibu yang memiliki anak dengan gangguan pskiatrik lainnya, ibu dengan anak retardasi mental memang lebih bisa menerima kehadiran anak, namun ibu tetap saja mengalami stres terutama dalam menghadapi perilaku anak (Hodapp, Ricci, & Fidler, 2003; Dabrowska & Pisula, 2010). Kehadiran anak retardasi mental menjadikan ibu bekerja lebih keras, karena ibu harus menghabiskan lebih banyak waktu, tenaga, dan perhatian kepada anak retardasi mental (Pilusa, 2006).

Stres yang dialami ibu dalam mengasuh anak retardasi mental ini menunjukkan bahwa ibu membutuhkan dukungan sosial dalam menjalankan fungsi pengasuhannya ketika berinteraksi dengan anak retardasi mental. Menurut Holland, Kwang, Kitzman, Chaudron, Szilagyi, dan Greener (2012) dukungan


(3)

sosial yang diperoleh ibu dengan anak retardasi mental mendorong interaksi positif antara ibu dan anak, dan mendorong perkembangan anak.

Menurut Venuti, Falco, Giusti, dan Bornstein (2008) interaksi positif akan diperoleh ibu dan anak retardasi mental apabila ibu memiliki kepekaan di dalam memberikan rangsang emosi dan sosial kepada anak. Kepekaan yang dimiliki ibu dalam memberikan rangsang emosi dan sosial kepada anak retardasi mental ini membantu ibu dalam memberikan kualitas nilai rangsang ketika berinteraksi dengan anak (Crawley & Spiker, 1983).

Sesuai dengan hasil penelitian di atas, hasil penelitian pendahuluan juga menunjukkan bahwa terdapat hambatan komunikasi pada anak retardasi mental yang bersekolah dan menjalani terapi di Mutiara Center. Awalnya anak (rata-rata masih berusia 3-4 tahun) sulit mengeluarkan suara dan kata-kata, bahkan ada satu anak yang sering bereaksi seperti mau muntah ketika mulai berbicara. Setelah menjalani terapi pengulangan kata-kata secara tepat menggunakan metode ganjaran dan hukuman selama lebih dari satu tahun anak telah mampu berbicara, bahkan menyebutkan identitas diri dan keluarga, dan jenis kelamin. 1

Sekalipun anak kini telah mampu berbicara, hambatan berkomunikasi masih saja terjadi. Ibu masih mengalami kesulitan berinteraksi dengan anak, terutama ketika anak mengalami tantrum, karena keinginannya tidak terpenuhi. Anak biasanya menangis meronta–ronta dan menjerit, berdiam diri selama berjam-jam di suatu tempat, dengan posisi tidak berubah, atau memukul atau

1

Wawancara pada tanggal 23 November 2011 dengan pimpinan Mutiara Center, yaitu sebuah yayasan yang didirikan untuk menangani anak-anak berkebutuhan khusus. Mutiara Center memiliki 22 siswa dengan gangguan perkembangan dan perilaku yang beragam. Di antara 22 siswa berkebutuhan khusus, 5 di antaranya (22,7%) menderita retardasi mental.anak retardasi mental awalnya tidak mampu berbicara.


(4)

menampar orang lain apabila anak merasa terganggu dengan sikap orang tersebut atau membanting segala sesuatu yang ada di dekatnya. Ibu menanggapi sikap anak dengan segera menuruti keinginan anak supaya tenang, namun dua ibu membiarkan anak menangis meronta-ronta atau berdiam diri selama berjam-jam, karena ibu menganggap bahwa keinginan anak membahayakan kesehatan atau pemborosan. 2

Pengujian teknik berbicara untuk mengatasi hambatan berkomunikasi pada anak retardasi mental ini juga pernah dilakukan oleh Bysterveldt, Gillon, dan Moran (2006) dengan meminta anak mengucapkan kata secara berulang-ulang. Hasilnya, kesadaran anak retardasi mental terhadap pengucapan bunyi kata-kata secara tepat menjadi meningkat. Intervensi lain pernah dicoba Sanz, Menéndeza, dan Rosiqueb (2011) dengan menguji penguat verbal dan fisik untuk meningkatkan hasil rangsang di empat area, yaitu motorik halus dan kasar, bahasa, dan ketrampilan sosial. Hasilnya kemampuan berbahasa anak lebih meningkat dibandingkan interaksi sosial.

Hasil penelitian Bysterveldt (2006) dan Sanz (2011) ini menunjukkan bahwa teknik pengulangan kata-kata secara tepat, dan penggunaan penguat verbal maupun fisik cukup efektif di dalam meningkatkan kemampuan berbicara dan berbahasa, namun tidak cukup efektif di dalam meningkatkan interaksi ibu dan anak. Beberapa ahli pernah melakukan pengujian beberapa teknik untuk meningkatkan interaksi ibu dan anak. Mahoney, Perales, Wiggers, dan Herman (2006) menguji strategi pengajaran responsif dengan menyusun kurikulum bagi


(5)

orang tua dalam merespon 16 perilaku anak secara tepat untuk meningkatkan interaksi orang tua dan anak retardasi mental. Diskusi kelompok antar orang tua juga digunakan untuk membahas permasalahan perilaku anak. Perlakuan ini dapat meningkatkan interaksi orang tua dan anak retardasi mental.

Intervensi lain yang pernah digunakan untuk meningkatkan interaksi ibu dan anak adalah melalui terapi bermain. Falco, Esposito, Venuti, dan Bornstein (2010) menggunakan terapi bermain untuk meningkatkan peranan ibu dalam mengoptimalkan tugas perkembangan anak. Hasilnya, ibu lebih bisa menyesuaikan diri dengan kemajuan perkembangan anak. Webster, Stratton, dan Reid, (2009) menyusun program bermain bagi ibu dan anak usia 6 minggu sampai dengan 6 tahun untuk memperkuat kelekatan anak terhadap ibu. Hasilnya, lbu semakin mempererat hubungannya dengan anak dan belajar melatih anak untuk meningkatkan perkembangan emosi dan sosial.

Intervensi yang sedikit berbeda pernah dilakukan oleh Guo (2005) dalam menerapkan terapi bermain untuk meningkatkan interaksi ibu dan anak. Terapi bermain ini disebut filial therapy, yaitu terapi keluarga yang melibatkan partisipasi ibu dalam bermain dengan anak. Hasilnya ibu lebih berempati dan memahami perilaku anak. Manfaat yang lain adalah dapat meningkatkan kehangatan dan kepercayaan ibu di dalam berinteraksi, dan menurunkan stres orang tua (Kinsworthy, & Garza, 2010).

Beberapa penelitian terapi bermain yang telah dijelaskan di atas memang tidak memberikan batasan mengenai bentuk bermain anak, namun Swindells dan Stagnitti (2006) memberikan kekhususan bentuk bermain dalam terapi


(6)

bermainnya, yaitu bermain pura-pura kepada anak usia 4-5 tahun. Menurut Russ (2004) bermain pura-pura merupakan bermain drama sosial yang alamiah dilakukan oleh anak usia 18 bulan sampai dengan 6 tahun. Bermain pura-pura ini melibatkan penggunaan imajinasi, membuat yakin, dan simbolisasi.

Bermain pura-pura ini, ternyata juga bisa dimainkan oleh anak retardasi mental, dengan koreksi usia mental. Motti, Cichetti, dan Sroufe (1983) memberikan terapi bermain simbolis pada anak retardasi mental. Hasilnya, dengan koreksi usia mental, permainan anak retardasi mental usia 3-5 tahun sama dengan anak yang tidak menderita kelainan genetika.

Berdasarkan pada hasil studi literatur dan penelitian pendahuluan tersebut dapat diketahui bahwa pelatihan bermain pura-pura dapat digunakan untuk meningkatkan interaksi ibu dan anak retardasi mental pada ibu yang masih memiliki kesulitan berinteraksi dengan anak. Pelatihan bermain pura-pura ini dipilih karena bermain pura-pura merupakan permainan alamiah yang biasa dilakukan oleh anak usia 18 bulan sampai dengan 6 tahun. Melalui bermain pura-pura ibu dapat menjalin interaksi yang bermakna dengan anak retardasi mental, sehingga dapat membantu anak dalam mengoptimalkan tugas perkembangan secara alamiah.

B. Perumusan Masalah

Ibu kurang responsif terhadap kehadiran anak retardasi mental, sehingga interaksi ibu dan anak kurang mendalam. Kurangnya interaksi ibu dan anak retardasi mental menyebabkan stimulasi yang diberikan ibu kepada anak kurang


(7)

maksimal. Akibatnya perkembangan bahasa dan bicara anak terhambat. Usaha ibu untuk memperbaiki hambatan bicara dan bahasa pada anak retardasi mental di Yayasan Mutiara Center dapat meningkatkan kemampuan bicara dan bahasa pada anak, namun ibu masih mengalami kesulitan berinteraksi dengan anak.

Keterampilan ibu dalam memberikan kualitas nilai rangsang kepada anak retardasi mental perlu dibangun supaya interaksi ibu dan anak retardasi mental yang bermakna dapat dicapai. Kualitas nilai rangsang kepada anak retardasi mental diberikan dengan memberikan rangsang emosi dan sosial secara tepat kepada anak. Ibu perlu terlibat aktif dalam aktivitas anak, seperti dalam bermain supaya ibu dapat memahami keinginan dan kebutuhan anak, sehingga ibu dapat memberikan rangsang emosi dan sosial secara tepat kepada anak. Melalui pelatihan bermain pura-pura ibu dibantu oleh profesional dalam menguasai keterampilan bermain dengan anak retardasi mental, sehingga ibu dapat memberikan rangsang emosi dan sosial sesuai kebutuhan anak. Dengan demikian ibu dapat mencapai interaksi yang bermakna dengan anak retardasi mental.

Berdasarkan pada paparan di atas, maka rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah pelatihan bermain pura-pura dapat meningkatkan interaksi ibu dan anak retardasi mental ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji secara empiris pengaruh pelatihan bermain pura-pura terhadap interaksi ibu dan anak retardasi mental.


(8)

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan praktis. Secara teoritis pelatihan bermain pura-pura ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap pengembangan interaksi ibu dan anak berkebutuhan khusus pada umumnya dan anak retardasi mental pada khususnya.

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi ibu yang memiliki anak retardasi mental supaya dapat menjalin interaksi yang lebih bermakna, sehingga anak dapat optimal dalam menguasai tugas perkembangannya. Penelitian ini juga diharapkan dapat membantu ibu mengelola perilaku anak retardasi mental, sehingga anak lebih cakap dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial.

E. Keaslian Penelitian

Beberapa penelitian terdahulu memiliki kemiripan tema dengan penelitian peningkatan interaksi ibu dan anak retardasi mental melalui pelatihan bermain pura-pura. Sanz, Menendez, dan Rosique (2011) melibatkan ibu dalam bermain dengan anak. Ibu menggunakan mainan yang mudah dibasahi, dengan berbagai jenis, ukuran, dan warna untuk menguji efektivitas penguat verbal dan fisik dalam merangsang perkembangan anak retardasi mental di empat area, yaitu motorik halus dan kasar, bahasa, dan ketrampilan sosial. Hasilnya penguat verbal yang digunakan bersamaan dengan fisik, ternyata lebih efektif digunakan untuk merangsang kemampuan berbahasa, dibandingkan dengan menggunakan salah satu penguat saja. Interaksi ibu dan anak menempati urutan kedua setelah kemampuan berbahasa.


(9)

Swindells dan Stagnitti (2009) menggunakan bentuk bermain pura-pura terhadap anak normal dengan usia 5-7 tahun untuk mengukur tiga aspek dalam bermain pura-pura, yaitu kerumitan, kedalaman, dan pengelolaan permainan. Hasilnya kedalaman permainan melibatkan aspek kognitif, dan berhubungan dengan interaksi ibu dan anak. Penjelajahan dan kedalaman permainan berhubungan dengan interaksi anak dan teman sebaya. Koreksi dilakukan peneliti mengenai tema permainan imajinasi yang bersifat umum dalam kaitannya dengan interaksi ibu dan anak.

Motti, Cichetti, & Sroufe (1983) menggunakan terapi bermain terhadap anak retardasi mental usia 3-5 tahun untuk mengetahui kesesuaian perkembangan anak retardasi mental dengan anak normal. Motti (1983) melakukan asesmen terhadap kualitas dan tahapan permainan anak retardasi mental usia 3-5 tahun. Hasilnya ditemukan bahwa dengan koreksi usia mental permainan anak retardasi mental sama dengan anak yang tidak memiliki kelainan genetika. Anak yang memiliki keterikatan dan ketertarikan dengan permainan menunjukkan afeksi yang lebih positif. Anak yang menjelajah permainan secara aktif dan menyeluruh, lebih antusias dan terlibat dalam situasi permainan. Anak yang memiliki perkembangan lebih tinggi, lebih menyukai permainan simbolis, ketertarikan, dan terlibat dengan permainan, dan terikat pada situasi positif.

Guo (2005) memberikan pelatihan keterampilan bermain terlebih dahulu kepada ibu sebelum mempraktekkan bermain bersama anak. Keterampilan yang dilatihkan adalah menyusun permainan, mendengarkan anak secara empati, mengikuti imajinasi anak, dan menetapkan aturan. Pelatihan keterampilan


(10)

bermain dilakukan sebanyak sepuluh tahap secara individual. Pada sesi awal ibu dibimbing untuk menguasai empat ketrampilan dalam bermain dengan anak. Pada sesi akhir, ibu diberikan kesempatan untuk bermain bebas dengan anak, kemudian memperoleh umpan balik dari profesional. Hasilnya ibu lebih berempati dan memahami anak.

Berdasarkan pada beberapa penelitian terdahulu dapat disimpulkan bahwa bermain bersama antara ibu dan anak pada penelitian Sanz, Menendez, dan Rosique (2011) lebih berpengaruh dalam meningkatkan perkembangan bahasa anak daripada kemampuan berinteraksi ibu dan anak yang mendalam. Penelitian Motti (1983) menunjukkan bahwa terdapat kesamaan kemampuan anak retardasi mental dengan anak normal pada usia mental yang sama. Dengan demikian anak retardasi mental pun bisa bermain pura-pura. Bermain pura-pura yang dilakukan Swindells, dan Stagnitti, (2006) tidak melibatkan ibu dalam permainan anak yang tidak menderita kelainan genetika, sehingga interaksi anak dengan teman sebaya lebih tinggi diband ingkan interaksi ibu dan anak. Interaksi yang mendalam antara ibu dan anak lebih efektif diperoleh dengan memberikan pelatihan keterampilan bermain kepada ibu terlebih dahulu seperti yang dilakukan Guo (2005).

Pada penelitian ini keterampilan juga diberikan kepada ibu sebelum praktek bermain bersama antara ibu dan anak dalam empat hal, yaitu menyusun permainan, mendengarkan anak secara empati, mengikuti imajinasi anak, dan menetapkan aturan. Hanya saja Guo (2005) memberikan keterampilan bermain sebanyak sepuluh tahap. Pada penelitian ini dilakukan dalam empat tahap. Pada penelitian Guo (2005) pelatihan bermain diberikan secara individual dalam setiap


(11)

tahapan. Pada penelitian ini tahapan pemberian materi keterampilan bermain dilakukan secara kelompok, dan praktek bersama antara ibu dan anak dilakukan secara individu. Pada penelitian Guo (2005) keterampilan bermain diberikan kepada ibu yang memiliki anak normal, sedangkan pada penelitian ini keterampilan bermain diberikan kepada ibu yang memiliki anak retardasi mental. Bentuk bermain pada penelitian Guo (2005) adalah bermain bebas, sedangkan pada penelitian ini adalah bermain pura. Melalui pelatihan bermain pura-pura ini ibu dapat menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari secara berkesinambungan tanpa terikat waktu, sehingga interaksi dengan anak retardasi mental dapat terjalin secara mendalam. Dengan demikian penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya.


(1)

bermainnya, yaitu bermain pura-pura kepada anak usia 4-5 tahun. Menurut Russ (2004) bermain pura-pura merupakan bermain drama sosial yang alamiah dilakukan oleh anak usia 18 bulan sampai dengan 6 tahun. Bermain pura-pura ini melibatkan penggunaan imajinasi, membuat yakin, dan simbolisasi.

Bermain pura-pura ini, ternyata juga bisa dimainkan oleh anak retardasi mental, dengan koreksi usia mental. Motti, Cichetti, dan Sroufe (1983) memberikan terapi bermain simbolis pada anak retardasi mental. Hasilnya, dengan koreksi usia mental, permainan anak retardasi mental usia 3-5 tahun sama dengan anak yang tidak menderita kelainan genetika.

Berdasarkan pada hasil studi literatur dan penelitian pendahuluan tersebut dapat diketahui bahwa pelatihan bermain pura-pura dapat digunakan untuk meningkatkan interaksi ibu dan anak retardasi mental pada ibu yang masih memiliki kesulitan berinteraksi dengan anak. Pelatihan bermain pura-pura ini dipilih karena bermain pura-pura merupakan permainan alamiah yang biasa dilakukan oleh anak usia 18 bulan sampai dengan 6 tahun. Melalui bermain pura-pura ibu dapat menjalin interaksi yang bermakna dengan anak retardasi mental, sehingga dapat membantu anak dalam mengoptimalkan tugas perkembangan secara alamiah.

B. Perumusan Masalah

Ibu kurang responsif terhadap kehadiran anak retardasi mental, sehingga interaksi ibu dan anak kurang mendalam. Kurangnya interaksi ibu dan anak retardasi mental menyebabkan stimulasi yang diberikan ibu kepada anak kurang


(2)

maksimal. Akibatnya perkembangan bahasa dan bicara anak terhambat. Usaha ibu untuk memperbaiki hambatan bicara dan bahasa pada anak retardasi mental di Yayasan Mutiara Center dapat meningkatkan kemampuan bicara dan bahasa pada anak, namun ibu masih mengalami kesulitan berinteraksi dengan anak.

Keterampilan ibu dalam memberikan kualitas nilai rangsang kepada anak retardasi mental perlu dibangun supaya interaksi ibu dan anak retardasi mental yang bermakna dapat dicapai. Kualitas nilai rangsang kepada anak retardasi mental diberikan dengan memberikan rangsang emosi dan sosial secara tepat kepada anak. Ibu perlu terlibat aktif dalam aktivitas anak, seperti dalam bermain supaya ibu dapat memahami keinginan dan kebutuhan anak, sehingga ibu dapat memberikan rangsang emosi dan sosial secara tepat kepada anak. Melalui pelatihan bermain pura-pura ibu dibantu oleh profesional dalam menguasai keterampilan bermain dengan anak retardasi mental, sehingga ibu dapat memberikan rangsang emosi dan sosial sesuai kebutuhan anak. Dengan demikian ibu dapat mencapai interaksi yang bermakna dengan anak retardasi mental.

Berdasarkan pada paparan di atas, maka rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah pelatihan bermain pura-pura dapat meningkatkan interaksi ibu dan anak retardasi mental ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji secara empiris pengaruh pelatihan bermain pura-pura terhadap interaksi ibu dan anak retardasi mental.


(3)

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan praktis. Secara teoritis pelatihan bermain pura-pura ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap pengembangan interaksi ibu dan anak berkebutuhan khusus pada umumnya dan anak retardasi mental pada khususnya.

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi ibu yang memiliki anak retardasi mental supaya dapat menjalin interaksi yang lebih bermakna, sehingga anak dapat optimal dalam menguasai tugas perkembangannya. Penelitian ini juga diharapkan dapat membantu ibu mengelola perilaku anak retardasi mental, sehingga anak lebih cakap dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial.

E. Keaslian Penelitian

Beberapa penelitian terdahulu memiliki kemiripan tema dengan penelitian peningkatan interaksi ibu dan anak retardasi mental melalui pelatihan bermain pura-pura. Sanz, Menendez, dan Rosique (2011) melibatkan ibu dalam bermain dengan anak. Ibu menggunakan mainan yang mudah dibasahi, dengan berbagai jenis, ukuran, dan warna untuk menguji efektivitas penguat verbal dan fisik dalam merangsang perkembangan anak retardasi mental di empat area, yaitu motorik halus dan kasar, bahasa, dan ketrampilan sosial. Hasilnya penguat verbal yang digunakan bersamaan dengan fisik, ternyata lebih efektif digunakan untuk merangsang kemampuan berbahasa, dibandingkan dengan menggunakan salah satu penguat saja. Interaksi ibu dan anak menempati urutan kedua setelah kemampuan berbahasa.


(4)

Swindells dan Stagnitti (2009) menggunakan bentuk bermain pura-pura terhadap anak normal dengan usia 5-7 tahun untuk mengukur tiga aspek dalam bermain pura-pura, yaitu kerumitan, kedalaman, dan pengelolaan permainan. Hasilnya kedalaman permainan melibatkan aspek kognitif, dan berhubungan dengan interaksi ibu dan anak. Penjelajahan dan kedalaman permainan berhubungan dengan interaksi anak dan teman sebaya. Koreksi dilakukan peneliti mengenai tema permainan imajinasi yang bersifat umum dalam kaitannya dengan interaksi ibu dan anak.

Motti, Cichetti, & Sroufe (1983) menggunakan terapi bermain terhadap anak retardasi mental usia 3-5 tahun untuk mengetahui kesesuaian perkembangan anak retardasi mental dengan anak normal. Motti (1983) melakukan asesmen terhadap kualitas dan tahapan permainan anak retardasi mental usia 3-5 tahun. Hasilnya ditemukan bahwa dengan koreksi usia mental permainan anak retardasi mental sama dengan anak yang tidak memiliki kelainan genetika. Anak yang memiliki keterikatan dan ketertarikan dengan permainan menunjukkan afeksi yang lebih positif. Anak yang menjelajah permainan secara aktif dan menyeluruh, lebih antusias dan terlibat dalam situasi permainan. Anak yang memiliki perkembangan lebih tinggi, lebih menyukai permainan simbolis, ketertarikan, dan terlibat dengan permainan, dan terikat pada situasi positif.

Guo (2005) memberikan pelatihan keterampilan bermain terlebih dahulu kepada ibu sebelum mempraktekkan bermain bersama anak. Keterampilan yang dilatihkan adalah menyusun permainan, mendengarkan anak secara empati, mengikuti imajinasi anak, dan menetapkan aturan. Pelatihan keterampilan


(5)

bermain dilakukan sebanyak sepuluh tahap secara individual. Pada sesi awal ibu dibimbing untuk menguasai empat ketrampilan dalam bermain dengan anak. Pada sesi akhir, ibu diberikan kesempatan untuk bermain bebas dengan anak, kemudian memperoleh umpan balik dari profesional. Hasilnya ibu lebih berempati dan memahami anak.

Berdasarkan pada beberapa penelitian terdahulu dapat disimpulkan bahwa bermain bersama antara ibu dan anak pada penelitian Sanz, Menendez, dan Rosique (2011) lebih berpengaruh dalam meningkatkan perkembangan bahasa anak daripada kemampuan berinteraksi ibu dan anak yang mendalam. Penelitian Motti (1983) menunjukkan bahwa terdapat kesamaan kemampuan anak retardasi mental dengan anak normal pada usia mental yang sama. Dengan demikian anak retardasi mental pun bisa bermain pura-pura. Bermain pura-pura yang dilakukan Swindells, dan Stagnitti, (2006) tidak melibatkan ibu dalam permainan anak yang tidak menderita kelainan genetika, sehingga interaksi anak dengan teman sebaya lebih tinggi diband ingkan interaksi ibu dan anak. Interaksi yang mendalam antara ibu dan anak lebih efektif diperoleh dengan memberikan pelatihan keterampilan bermain kepada ibu terlebih dahulu seperti yang dilakukan Guo (2005).

Pada penelitian ini keterampilan juga diberikan kepada ibu sebelum praktek bermain bersama antara ibu dan anak dalam empat hal, yaitu menyusun permainan, mendengarkan anak secara empati, mengikuti imajinasi anak, dan menetapkan aturan. Hanya saja Guo (2005) memberikan keterampilan bermain sebanyak sepuluh tahap. Pada penelitian ini dilakukan dalam empat tahap. Pada penelitian Guo (2005) pelatihan bermain diberikan secara individual dalam setiap


(6)

tahapan. Pada penelitian ini tahapan pemberian materi keterampilan bermain dilakukan secara kelompok, dan praktek bersama antara ibu dan anak dilakukan secara individu. Pada penelitian Guo (2005) keterampilan bermain diberikan kepada ibu yang memiliki anak normal, sedangkan pada penelitian ini keterampilan bermain diberikan kepada ibu yang memiliki anak retardasi mental. Bentuk bermain pada penelitian Guo (2005) adalah bermain bebas, sedangkan pada penelitian ini adalah bermain pura. Melalui pelatihan bermain pura-pura ini ibu dapat menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari secara berkesinambungan tanpa terikat waktu, sehingga interaksi dengan anak retardasi mental dapat terjalin secara mendalam. Dengan demikian penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya.