Analisis Cacing Hati (Fasciola Hepatica) Pada Hati Dan Feses Sapi Yang Di Ambil Dari Rumah Potong Hewan Di Mabar Medan Tahun 2013

(1)

ANALISIS CACING HATI (fasciola hepatica) PADA HATI DAN FESES SAPI YANG DI AMBIL DARI RUMAH POTONG HEWAN DI MABAR MEDAN

TAHUN 2013

SKRIPSI

Oleh:

IBA AMBARISA NIM. 101000362

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(2)

ANALISIS CACING HATI (fasciola hepatica) PADA HATI DAN FESES SAPI YANG DI AMBIL DARI RUMAH POTONG HEWAN DI MABAR MEDAN

TAHUN 2013

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

Oleh:

IBA AMBARISA NIM. 101000362

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(3)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Skripsi : ANALISIS CACING HATI (fasciola hepatica) PADA HATI DAN FESES SAPI YANG DI

AMBIL DARI RUMAH POTONG HEWAN DI MABAR MEDAN TAHUN 2013

Nama Mahasiswa : IBA AMBARISA

Nomor Induk Mahasiswa : 101000362

Program Studi : Ilmu Kesehatan Masyarakat

Peminatan : Kesehatan Lingkungan

Tanggal Lulus : 28 Agustus 2013

Disahkan Oleh Komisi Pembimbing

Pembimbing I

Prof. Dr. Dra. Irnawati Marsaulina , MS Nip: 19650109 199403 2 002

Pembimbing II

Dr. dr. Wirsal Hasan,MPH Nip: 94911191987011001

Medan, Oktober 2013 Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara Dekan

Dr. Drs. Surya Utama, MS Nip: 196138011989031001


(4)

ABSTRAK

Diantara sekian banyak penyakit hewan di Indonesia, penyakit parasit masih kurang mendapat perhatian dari para peternak. Gangguan penyakit pada ternak merupakan salah satu hambatan yang dihadapi dalam pengembangan peternakan. Diantaranya penyakit parasitik yang menyebabkan kerugian berupa penurunan kondisi badan dan daya produktifitas hewan. Di antara penyakit parasit yang sangat merugikan adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing hati (Fasciola hepatica).

Tujuan penelitian ini untuk mengetahuai gambaran cacing hati (Fasciola hepatica) pada hati dan feses sapi yang di ambil dari rumah potong hewan di Mabar Medan tahun 2013.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah survai yang bersifat deskriptif. Objek dalam penelitian ini adalah hati dan feses sapi dengan sampel yang telah di teliti yaitu 12 hati dan 12 feses sapi.

Berdasarkan hasil penelitian kandungan cacing dan telur pada hati dan feses sapi yang berasal dari rumah potong hewan di Mabar Medan telah memenuhi syarat. Kondisi hati sapi yang di jadikan sampel sebayak 12 hati sapi (100%) dan feses sapi sebanyak 12 sampel (100%) di rumah potong hewan Mabar Medan telah memenuhi syarat.

Kesimpulan yang diperoleh bahwa peneliti kondisi hati sapi yang telah dijadikan sampel sebanyak 12 hati sapi di rumah potong hewan di Mabar Medan memenuhi syarat. Kondisi feses sapi yang di jadikan sampel sebanyak 12 feses sapi di rumah potong hewan Mabar Medan. Bagi Dinas Peternakan Kota Medan diharapkan melakukan penyuluhan kepada pemilik peternakan sapi agar meningkatkan pengetahuan tentang pemeliharaan sapi yang telah memenuhi syarat. Kepada pengelola peternakan sapi diharapkan agar memberikan pakan ternak yang segar dan tidak basah agar tidak terkontaminasi oleh cacing.


(5)

ABSTRACT

Among the many animal diseases in Indonesia, a parasitic disease has received less attention from the breeder. Diseases in livestock is one of the obstacles encountered in the development of animal husbandry, Among parasitic disease that causes loss of body condition and a decrease in the productivity. Among parasitic diseases are very harmful disease caused by liver fluke (Fasciola hepatica).

The purpose of this study to describe the liver fluke (fasciola hepatica) in cattle liver and feces were taken from the slanghterhause in Mabar Medan years 2013.

The method used in this study is a survey that is both descriptive, object of research is the heart and cow feces samples to be studied were 12 liver and 12 feces beef.

Based on the research content of worms and aggs in the liver and feces from the liver slaughterhouse in Mabar Medan has qualified. Beef liver condition are made in the sample were is beef liver (100%) and 12 samples of beef feces (100%) in theabattoir has qualified Mabar Medan.

The conclusion that Beef liver condition which sampled a total of 12 beef liver in a battoir in Mabar Medan qualify. Conditions are made in the cow feces sample of 12 feces slaughterhouse cows in field Mabar Medan. For city farm field offices are expected to conduct ontreach to owners of cattle in order to increase the knowledge of good cattle rearing. To the managers of dairy farm is expected to provide fresh fodder and not wet from being contaminated by liver fluke (fasciola hepatica).


(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Iba Ambarisa

Tempat/Tanggal Lahir : Tungkam Sakti, 13 Maret 1987

Agama : Islam

Status Perkawinan : Belum Menikah

Jumlah Anggota Keluarga : 3 (tiga) orang

Alamat Rumah : Dusun II Tungkam Sakti

RT/RW : 002/001

Kec/Desa : Pangkalan Siata

Kecamatan : Pangkalan Susu

Riwayat Pendidikan

1. Tahun 1993-1999 : SD Negeri Halban Kedai Langkat

2. Tahun 1999-2002 : MTS Swasta Pesanteren Ulumul Qur'an Stabat 3. Tahun 2002-2005 : MAS Pesanteren Ulumul Qur'an Stabat

4. Tahun 2007-2009 : Akademi Kebidanan Sehat Medan 5. Tahun 2010-2013 : Fakultas Kesehatan Masyarat USU


(7)

KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi denjan judul “Analisis Cacing Hati (fasciola hepatica) Pada Hati Dan Feses Sapi Yang Di Ambil Dari Rumah Potong Hewan Di Mabar Medan Tahun 2013”. Untuk memenuhi pra syarat meraih gelar kesarjanaan dari Fakultas Kesehatn Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Tersusunnya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, sehingga dalam kesempatan ini penulis ini menyampaikan penghargaan yang tak terhingga dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Drs. Surya Utama, MS, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara dan Dosen Pembimbing Akademik.

2. Ir. Evi Naria, Mkes, selaku Ketua Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Dra. Irnawati Marsaulina, MS, selaku Dosen Pembimbing 1 yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan saran dalam penyempurnaan skripsi ini.

4. Dr. dr. Wirsal Hasan, MPH, selaku Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan saran dalam penyempurnaan skripsi ini


(8)

5. Bapak Mohd. Arifin Siregar, MS selaku Pembimbing Akademik yang selalu memberikan bimbingan dan motivasi penulis selama melaksanakan perkuliahan di fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

6. Seluruh Dosen Khususnya Dosen Departemen Kesehatan Lingkungan FKM USU yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam mengikuti perkuliahan. 7. Seluruh staf Pegawai dan Karyawan khususnya Kak Dian yang telah membantu

kelancaran skripsi ini

8. Ibu Ida Putri dan Pak Ahadi Kurniawan,S.Si,MScPH selaku pembimbing Laboratorium Entomologi BTKL&PPM Medan.

9. Pak Ir. Ading Gusti Zain dan seluruh staf karyawan di Rumah Potong Hewan Mabar Medan yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam kelancaran skripsi ini.

10.Teristimewa kepada kedua orang tua tercinta dan terbaik ibunda Nafsiah dan Ayahanda Suharto yang telah mencurahkan seluruh kasih sayangnya dalam mengasuh, mendoakan, memenuhi segala kebutuhan penulis selama ini dan kepada abang tersayang Yugo Wiguno, dan adik tercinta Aji Suandana serta seluruh keluarga besar atas semua semangat, doa, dan kritiknya yang diberikan. 11.Sahabat-sahabatku tersayang: Rahma Ayu Febriani, Sri Lestari, Suryasih Mustika

nst, Yuli Yolanda.. Terima kasih atas doa, saran, motivasi, dukungan yang telah diberikan. Buat semua teman-teman FKM USU yang tidak dapat disebutkan satu persatu namanya atas dukungan, dan kerjasama selama ini.

12.Buat rekan-rekan Mahasiswa seperjuangan di Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara dan seluruh


(9)

teman-teman seangkatan Ex B 2010 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas dukungannya buat penulis.

13.Buat sahabat-sahabat gang Anyelir IV (harni, yusi, ais, alas, kak janah, andes, rina, evi) atas dukungan dan semangatnya buat penulis.

Dengan segala kerendahan hati, disadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun. Semoga skripsi ini dapat bermanfaaat bagi kita semua. Amin.

Medan, Agustus 2013


(10)

DAFTAR ISI

Halaman Pengesahan ... i

Abstrak ... ii

Daftar Riwayat Hidup ... iii

Kata Pengantar ... iv

Daftar Isi ... vii

Daftar Tabel ... ix

Daftar Lampiran ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 7

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.3.1 Tujuan Umum ... 7

1.3.2 Tujuan Khusus ... 7

1.4 Manfaat Penelitian ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1 Pentingnya Makanan Bagi Kesehatan ... 9

2.2 Sapi……….. ... 9

2.3 Karakteristik Sapi ... 10

2.3.1 Tujuan Pemeliharaan Sapi... 13

2.3.2 Cara Pemeliharaan Sapi.. ... 14

2.3.3 Pakan Sapi.. ... 15

2.3.3.1 Jenis Pakan.. ... 15

2.3.3.2 Nutrisi Pakan.. ... 16

2.3.3.3 Kendala Dalam Ketersedian Pakan... ... 18

2.3.4 Tindakan Hygiens/ Sanitasi ... 19

2.4 Daging………….. ... ... 21

2.4.1 Karakteristik Kimia Daging ... 22

2.4.2 Karakteristik Fisik Daging ... 22

2.5 Metode Pemeriksaan Cacing Hati Dengan Mikroskop ... 23

2.6 Cacing Hati(Fasciola Hepatica).. ... 23

2.6.1 Morfologi Cacing Hati (Fasciola Hepatica).. ... 24

2.6.2 Siklus Hidup Fasciola Hepatica Pada Sapi.. ... 24

2.6.3 Siklus Hidup Fasciola Hepatica Pada Manusia . ... 26

2.6.4 Morfologi Telur dan Larva Fasciola Hepatica.. ... 27

2.6.5 Penyakit Fasciola Hepatica Pada Manusia.. ... 28


(11)

2.7 Kerangka Konsep.. ... 30

BAB III METODE PENELITIAN ... 31

3.1 Jenis Penelitian….. .. ... 31

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 31

3.2.1 Lokasi Penelitian ... 31

3.2.2 Waktu Penelitian ... 31

3.3 Objek Penelitian……. . ... 31

3.4 Mekanisme Pengambilan sampel ... 31

3.5 Metode Pengumpulan Data ... 32

3.5.1 Data Primer .. ... 32

3.5.2 Data Skunder ... 32

3.6 Defenisi Operasional ... 32

3.7 Aspek Pengukuran .. ... 33

3.8 Prosedur Kerja Pemeriksaan Cacing Hati ... 34

3.9 Prosedur Kerja Pemeriksaan Telur Cacing Dengan Metode Apung (Flotation Method)…………. 35

3.10 Analisa Data ……….. ... 36

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 37

4.1. Hasil Penelitian ... 37

4.1.1. Karakteristik Pengelolah Peternakan Sapi ... 37

4.1.1.1. Umur ... 37

4.1.1.2. Tingkat Pendidikan ... 38

4.1.1.3. Lama Bekerja ... 38

4.1.1.4. Pengetahuan Responden... 39

4.1.2.Lokasi Peternakan Sapi ... 41

4.1.3. Hasil Pemeriksaan Cacing Hati Pada Hati Sapi ... 42

4.1.4. Hasil Pemeriksaan Telur Cacing Hati Pada Feses Sapi ... 43

BAB V PEMBAHASAN ... 45

5.1. Karakteristik Pengelolah Peternakan Sapi ... 45

5.1.1. Umur ... 45

5.1.2. Tingkat Pendidikan ... 45

5.1.3. Lama Bekerja .... ... 46

5.1.4. Pengetahuan Responden ... 46

5.2. Lokasi Peternakan Sapi .... ... 47

5.3. Temuan Cacing Hati (fasciola hepatica) Pada Hati Sapi... 48

5.4. Temuan Feses Sapi .... ... 49


(12)

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 50 6.1. Kesimpulan ………… ... 50 6.2. Saran………. . . ... 50 DAFTAR PUSTAKA


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman 4.1. Distribusi Umur Pengelolah Peternakan Sapi di Mabar Medan Tahun

2013 ... 37 4.2. Distribusi Tingkat Pendidikan Pengelolah Peternakan Sapi di Mabar

Medan Tahun 2013 ... 38 4.3. Distribusi Lama Bekerja Pengelolah Peternakan Sapi di Mabar Medan

Tahun 2013 ... 38 4.4. Distribusi Pengetahuan Responden Pengelolah Peternakan Sapi di

Mabar Medan Tahun 2013 ... 39 4.5. Kategori Pengetahuan Responden Pengelolah Peternakan Sapi di Mabar

Medan Tahun 2013 ... 40 4.6. Distribusi Lokasi Peternakan Sapi di Mabar Medan Tahun 2013 ... 41 4.7. Kategori Lokasi Peternakan Sapi di Mabar Medan Tahun 2013 ... 42 4.8. Hasil Pemeriksaan Cacing Hati (fasciola hepatica) Pada Hati Sapi di

Mabar Medan Tahun 2013 ... 42 4.9. Hasil Pemeriksaan Telur Cacing Hati (fasciola hepatica) Pada Feses


(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Siklus Hidup Fasciola hepatica Pada Sapi………..……… 24 2. Siklus Hidup Fasciola hepatica Pada Manusia ………..…………. 26


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Kuesioner Penelitian Analisis Cacing Hati ( fasciola hepatica) Pada Hati Dan Feses Sapi Yang Di Ambil Dari Rumah Potong Hewan Di Mabar Medan Tahun 2013

2. Lembar Observasi Analisis Cacing Hati ( fasciola hepatica) Pada Hati Dan Feses Sapi Yang Di Ambil Dari Rumah Potong Hewan Di Mabar Medan Tahun 2013 3. Dokumentasi Pada Saat Melakukan Penelitian

4. Surat Permohonan Izin Penelitian di BTKL&PPM Medan Dan Rumah Potong Hewan di Mabar Medan Tahun 2013

5. Surat Keterangan Izin Penelitian di Rumah Potong Hewan Di Mabar Medan 6. Hasil Pemeriksaan Kandungan Cacing hati Pada Hati Sapi dan Telur Cacing Hati

Pada Feses Sapi Yang Berasal Dari Peternakan Sapi Potong Di Mabar Medan Tahun 2013


(16)

ABSTRAK

Diantara sekian banyak penyakit hewan di Indonesia, penyakit parasit masih kurang mendapat perhatian dari para peternak. Gangguan penyakit pada ternak merupakan salah satu hambatan yang dihadapi dalam pengembangan peternakan. Diantaranya penyakit parasitik yang menyebabkan kerugian berupa penurunan kondisi badan dan daya produktifitas hewan. Di antara penyakit parasit yang sangat merugikan adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing hati (Fasciola hepatica).

Tujuan penelitian ini untuk mengetahuai gambaran cacing hati (Fasciola hepatica) pada hati dan feses sapi yang di ambil dari rumah potong hewan di Mabar Medan tahun 2013.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah survai yang bersifat deskriptif. Objek dalam penelitian ini adalah hati dan feses sapi dengan sampel yang telah di teliti yaitu 12 hati dan 12 feses sapi.

Berdasarkan hasil penelitian kandungan cacing dan telur pada hati dan feses sapi yang berasal dari rumah potong hewan di Mabar Medan telah memenuhi syarat. Kondisi hati sapi yang di jadikan sampel sebayak 12 hati sapi (100%) dan feses sapi sebanyak 12 sampel (100%) di rumah potong hewan Mabar Medan telah memenuhi syarat.

Kesimpulan yang diperoleh bahwa peneliti kondisi hati sapi yang telah dijadikan sampel sebanyak 12 hati sapi di rumah potong hewan di Mabar Medan memenuhi syarat. Kondisi feses sapi yang di jadikan sampel sebanyak 12 feses sapi di rumah potong hewan Mabar Medan. Bagi Dinas Peternakan Kota Medan diharapkan melakukan penyuluhan kepada pemilik peternakan sapi agar meningkatkan pengetahuan tentang pemeliharaan sapi yang telah memenuhi syarat. Kepada pengelola peternakan sapi diharapkan agar memberikan pakan ternak yang segar dan tidak basah agar tidak terkontaminasi oleh cacing.


(17)

ABSTRACT

Among the many animal diseases in Indonesia, a parasitic disease has received less attention from the breeder. Diseases in livestock is one of the obstacles encountered in the development of animal husbandry, Among parasitic disease that causes loss of body condition and a decrease in the productivity. Among parasitic diseases are very harmful disease caused by liver fluke (Fasciola hepatica).

The purpose of this study to describe the liver fluke (fasciola hepatica) in cattle liver and feces were taken from the slanghterhause in Mabar Medan years 2013.

The method used in this study is a survey that is both descriptive, object of research is the heart and cow feces samples to be studied were 12 liver and 12 feces beef.

Based on the research content of worms and aggs in the liver and feces from the liver slaughterhouse in Mabar Medan has qualified. Beef liver condition are made in the sample were is beef liver (100%) and 12 samples of beef feces (100%) in theabattoir has qualified Mabar Medan.

The conclusion that Beef liver condition which sampled a total of 12 beef liver in a battoir in Mabar Medan qualify. Conditions are made in the cow feces sample of 12 feces slaughterhouse cows in field Mabar Medan. For city farm field offices are expected to conduct ontreach to owners of cattle in order to increase the knowledge of good cattle rearing. To the managers of dairy farm is expected to provide fresh fodder and not wet from being contaminated by liver fluke (fasciola hepatica).


(18)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Gangguan penyakit pada ternak merupakan salah satu hambatan yang di hadapi dalam pengembangan peternakan. Peningkatan produksi dan reproduksi akan optimal, bila secara simultan disertai penyediaan pakan yang memadai dan pengendalian penyakit yang efektif. Diantara sekian banyak penyakit hewan di Indonesia, penyakit parasit masih kurang mendapat perhatian dari para peternak. Penyakit parasit biasanya tidak mengakibatkan kematian ternak, namun menyebabkan kerugian yang sangat besar berupa penurunan berat badan dan daya produktivitas hewan. Diantar penyakit parasit yang sangat merugikan adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing hati Fasciola hepatica,yang dikenal dengan nama Distomatosis, atau Fasciolosis (Mukhlis, 1985).

Penyakit ini menimbulkan banyak kekhawatiran, karena distribusi dari kedua inang definitif cacing sangat luas dan mencakup mamalia herbivora, termasuk manusia dan dalam siklus hidupnya termasuk siput air tawar sebagai hospes perantara parasit. Baru-baru ini, tercatat banyak kerugian di seluruh dunia pada produktivitas ternak karena fasciolosis diperkirakan lebih dari US $ 3,2 miliar per tahun. Selain itu, fasciolosis sekarang dikenal sebagai penyakit yang dapat menular pada manusia. Organisasi Kesehatan Dunia World Healt Organization (WHO) memperkirakan bahwa 2,4 juta orang terinfeksi oleh Fasciola spp, dan 180 orang berada pada resiko tinggi terkena infeksi (Purwono, 2010).


(19)

Cacing dewasa terlokalisir hidup dalam saluran atau kandungan empedu. Pada sapi, prevalensi penyakit ini di beberapa daerah di Indonesia, seperti di Jawa Barat mencapai 90% dan di Daerah Istimewa Jogjakarta kasus kejadiannya antara 40-90%, sedangkan prevalensi penyakit fasciolosis pada doma belum diketahui. Fasciola hepatica yang dapat memepengaruhi jutaan orang di seluruh dunia hingga 17 juta orang yang terinfeksi dan sekitar 19,1 juta beresiko terinfeksi. Penyakit ini sangat merugikan karena dapat menyebabkan penurunan bobot hidup, penurunan produksi, pengafkiran organ tubuh terutama hati, bahkan dapat menyebabkan kematian di Indonesia, secara ekonomi kerugiannya dapat mencapai Rp. 513,6 milyar (Anonimous, 2004).

Cacing hati (Fasciola hepatikca), cacing hati yang besar, suatu jenis Trematoda yang berfamili dekat dengan Fasciolopsis buski terdapat pada berbagai daerah di dunia. Infeksinya terdapat di negara – negara : Perancis, Korsika, Algeria, Inggris, Portugis, Iran, di beberapa Negara di Afrika Selatan (seperti Brazilia, Peru, Cili),Opuerto Rico, Medeira, Afrika Selatan, Thailand. Pemindahannya sama seperti

Fasciolopsis buski, yaitu melalui sayuran yang hidup dalam air. Cacing ini sering

ditemukan pada sapi, biri-biri, kambing dan hewan pemakan tumbuhan lainnya. Fasciola hepatica ditemukan di mana-mana, dimana terdapat keong tertentu sebagai hospes perantara. (Susanto, 2009).

Cacing hati (Fasciola hepatica) memiliki telur yang besar, berbentuk oval, mempunyai tutup, berwarna kuning sampai coklat, dan berukuran 130 – 150 mikron. Telur yang belum matang keluar bersama fases. Pematangan dalam air menghendaki suhu optimal 22 - 25º C selama 9 – 15 hari. Setelah itu menetaslah


(20)

mirasidium dari telur. Dalam waktu 8 jam mirasidium ini harus menembus keong air untuk melanjutkan pertumbuhannya. Keong yang bertindak sebagai hospes intermedietnya ialah jenis Lymnaea. Dalam keong mirasidium menjadi sporokis muda. Dalam 3 minggu, sporokis menghasilkan redia induk, yang pada minggu berikutnya mengandung redia anak. Redia tumbuh menjadi serkaria. Serkari yang sudah matang meninggalkan keong untuk hidup bebas dalam air. Beberapa jam dalam air serkaria ini melepaskan ekornya dan merambat pada berbagai tumbuhan air seperti rerumputan dan karsen air, kemudian mengkista menjadi metaserkaria. Metaserkaria ini dapat hidup dalam waktu lama di atmosfer yang lembab, tapi akan cepat mati dalam waktu kekeringan. Apabila ternak merumput maka ternak tersebut dapat mengalami infeksi. Penting diperhatikan pada peternak bahwa metaserkaria dapat bertahan pada jerami dan tanaman makanan ternak sekitar 28 hari pada suhu 5 – 10º C, sehingga pada kelembaban udara yang lebih tinggi mempunyai daya infeksi sampai 70 hari. (Supardi, 2002).

Metaserkaria demikian atau cacing muda memulai penyebarannya dalam usus hospes. Mereka menembus dinding usus dan berkelana melewati rongga perut sampai ke hati. Setelah mereka menembus lapisan hati, sampailah mereka disaluran empedu dan kantung empedu. Dalam saluran empedu, cacing muda menjadi cacing dewasa dalam jangka waktu 1 – 2 bulan. Cacing yang dewasa akan bertelur. Bersama cairan empedu, telur berhasil masuk ke dalam saluran usus dan dapat ditemukan dalam tinja (fases). Telur ini selanjutnya memulai daur kehidupannya di luar inang (ternak). Fasciola hepatica besifat hemaprodit, setiap individu dapat menghasilkan kurang lebih 500.000 butir telur. Hati seekor sapi dapat mengandung


(21)

200 ekor cacing atau lebih. Manusia terinfeksi umumnya karena memakan tanaman air ini. Terinfeksinya penduduk tergantung pada kebiasaan makanan penduduk. Berdasarkan hal ini ternyata bahwa misalnya di Perancis terdapat infeksi yang relatif sering, di Jerman jarang sekali, karena itu sebagai propilak dapat diambil tindakan menghindari makanan mentah tumbuh-tumbuhan air konsekuen. (Irianto, 2009).

Cara hidup tiap-tiap jenis keong tersebut dapat berbeda-beda (berair, setengah berair). Telur cacing hati ini akan ditemukan pada pemeriksaan tinja dan cairan usus. Pada stadium perlmulaan penyakit ini tidak ditemukan telur. Pemeriksaan mikroskopis dapat dilakukan dengan metode serologis (CFT) dan tes kulit (antigen di dapat dari cacing dewasa). Dianjurkan pemakaian test Immunofluorescet tidak langsung dengan mempergunakan mirasidium Fasciola sebagai antigen. (Irianto, 2009).

Cacing dewasa mempunyai bentuk pipih seperti daun, besarnya ± 30 x 13 mm. Bagian anterior bebentuk seperti kerucut dan pada puncak kerucut terdapat batil isap mulut yang besarnya ± 1 mm, sedangkan pada bagian dasar kerucut terdapat batil isap perut yang besarnya ± 1,6 mm. Saluran pencernaan bercabang – cabang sampai ke ujung distal sekum. Testis dan kelenjar vitelin juga bercabang-cabang. Telur cacing ini berukuran 140 x 90 mikron, dikeluarkan melalui saluran empedu kedalam tinja dalam kedaan belum matang. Telur menjadi matang dalam air setelah 9 – 15 hari dan berisi mirasidium. Telur kemudian menetas dan mirasidium keluar mencari keong air. (Nurwantoro, 1997).


(22)

Serkaria keluar dari keong air dan berenang mencari hospes perantara II, yaitu tumbuh-tumbuhan air dan pada permukaan tumbuhan air membentuk kista berisi metaserkaria. Bila ditelan, metasekaria menetas dalam usus halus hewan yang memekan tumbuhan air tersebut, nembus dinding usus dan bermigrasi dalam ruang peritoneoum hingga menembus hati. Larva masuk ke saluran empedu dan menjadi dewasa. Baik larva maupun cacing dewasa hidup dari jaringan parenkim hati dan lapisan sel epitel saluran empedu. Infeksi terjadi dengan makan tumbuhan air yang mengandung metaserkaria (FK UI, 2009).

Agar Masyarakat terhindar dari makanan dan minuman yang dapat membahayakan standard persyaratan agar makanan dan minuman layak dan aman dikonsumsi oleh masyarakat. Hal ini dinyatakan dalam Undang-Undang No. 23 ayat 1 yaitu: pengamanan makanan dan minuman diselenggarakan untuk melindungi masyarakat dari makanan dan minuman yang tidak memenuhi standard persyaratan kesehatan (Fardiaz, 1992).

Masyarakat perlu dilindungi dari makanan dan minuman yang tidak memenuhi persyaratan hygienis dan sanitasi yang dikelolah oleh tempat-tempat umum dan tempat-tempat pengelolaan makanan, seperti rumah makan dan restoran agar tidak membahayakan kesehatan. Pada umumnya rumah makan dan restoran sekarang ini lebih mengutamakan penyajian makanan atau rasa dari makanan tanpa memperhatikan hygiene sanitasi makanan (Purnawijayanti, 2007).

Penyakit cacing hati (fasciola hepatica) merupakan zoonosis yang disebabkan oleh hewan parasit dan fasciola gegantica. Fasciola adalah cacing trematoda dengan tubuh berbentuk seperti daun. Hidup anaerob dalam saluran empedu hewan


(23)

herbivora maupun manusia. Sekitar 40 negara di dunia tercatat sebagai endemisitas fasciollasis hepatica, tersebar di Eropa, kawasan Amerika Selatan, Afrika, Timur Tengah, Asia, terutama di lokasiternak sekala besar. Kejadian fasciolllasis hepatica pada ternak herbivora juga meningkat seiring dengan bertambahnya sistem irigasi pertanian dan meluasnya lahan tanam yang dialiri. Sementara itu, hewan vertebrata herbivora yang rentan terinfeksi cacing fasciola hepatica adalah domba, kambing, sapi, kelinci, rusa dan kuda. Habitat dan kebisaan pakan hewan merupak faktor yang menentukam kecenderungan untuk terinfeksi.(Gandahusada, 1998).

Sapi merupakan salah satu alternatif pilihan bagi ternak sapi potong yang dikembangkan dan dipergunakan untuk mebantu usaha tani dan pengadaan protein hewani. Bangsa sapi asli Indonesia ini memiliki keunggulan berupa kemampuan adaptasi dalam lingkungan dengan ketersediaan pakan kualitas rendah dan tingkat fertilitas yang tinggi. Oleh karena itu tingginya impor daging dan sapi bakalan untuk memenuhi kebutuhan daging dalam negeri, dapat di jadikan pendorong untuk memperbaiki produktivitas dan pengolahaan sapi asli Indonesia. (Achjadi 1986).

Pusat Statistik tahun 2007 menunjukan bahwa populasi ternak besar yang terdiri dari sapi perah, sapi potong, kerbau dan kuda pada tahun 2006 secara berturut-turut adalah 6.400 ekor, 248.100 ekor, 259.100 ekor dan 5.600 ekor, domba 199.300 ekor, dan babi 807.400 ekor. Meningkat pada tahun 2007 untuk populasi ternak besar maupun ternak kecil masing-masing sapi perah 6.500 ekor, sapi potong 248.400 ekor, kerbau 260.000 ekor, kuda 6.000 ekor, kambing 708.000 ekor, domba 214.200 ekor, dan babi 828.000 ekor. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa jumlah


(24)

populasi ternak terbesar di Sumatera Utara adalah ternak babi sebesar 828.000 ekor (BPS,2008).

Gangguan penyakit pada ternak merupakan salah satu hambatan yang dihadapi dalam pengembangan peternakan. Peningkatan produksi dan reproduksi akan optimal, bisa secara simultan disertai penyediaan pakan yang memadai dan pengendalian penyakit yang efektif. Diantara sekian banyak penyakit hewan di Indonesia, penyakit parasit masih kurang mendapat perhatian dari para peternak. Penyakit parasitik biasanya tidak mengakibatkan kematian hewan ternak, namun menyebabkan kerugian berupa penurunan kondisi badan dan daya produktivitas hewan sangat besar. Di antara penyakit parasit yang sangat merugikan adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing hati Fasciola hepatica. (Suweta 1984).

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah terdapat cemaran cacing hati (Fasciola hepatica) pada hati dan feses sapi yang diambil dari rumah potong hewan di Mabar Medan.

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui kandungan cacing hati (Fasciola hepatica) pada hati dan feses sapi yang diambil dari rumah potong hewan di Mabar Medan.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui ada atau tidaknya cacing hati (Fasciola hepatica) pada hati sapi yang di ambil dari hati sapi di rumah potong hewan di Mabar Medan.


(25)

2. Untuk mengetahui jumlah cacing hati (Fasciola hepatica) yang di ambil dari hati sapi di rumah potong hewan di Mabar Medan.

3. Untuk mengetahui kondisi sanitasi kandang sapi di peternakan.

4. Untuk mengetahui gambaran pakan dan air minum sapi di peternakan.

5. Untuk mengetahui ada atau tidak adanya telur cacing hati pada feses sapi yang di ambil dari rumah potong hewan di Mabar Medan.

6. Untuk mengetahui jumlah telur cacing hati pada feses sapi yang di ambil dari rumah potong hewan di Mabar Medan.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Sebagai data awal tentang keberadaan cacing Fasciola hepatica pada hati dan feses sapi yang dapat dijadikan sebagai bahan informasi bagi penulis lain untuk penelitian lebih lanjut.

2. Sebagai bahan masukan bagi dinas peternakan untuk melakukan pemeriksaan hati sapi, agar hati yang mengandung cacing hati tidak sampai dikonsumsi masyarakat.

3. Sebagai bahan masukan kepada pemerintah dan instansi terkait dalam menentukan kebijakan yang berkaitan dengan sanitasi peternakan sapi potong khususnya dalam hal pemberian pakan dan minum ternak dan lokasi peternakan.

4. Sebagai informasi bagi konsumen agar lebih teliti lagi mengenai adanya cacing hati pada hati sapi.


(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pentingnya Makanan Bagi Kesehatan

Makanan adalah segala sesuatu yang dipakai atau yang dipergunakan oleh manusia supaya dapat hidup. Zat makanan yang diperlukan oleh tubuh manusia dapat meliputi karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral, dan air. Protein, lemak, dan karbohidrat disebut zat makanan pokok karena banyak memberikan kalori. Menurut Irianto (2007), zat-zat makanan yang baik harus memenuhi syarat :

1. Harus cukup memenuhi kalori.

2. Harus ada perbandingan yang baik antara zat makanan pokok. 3. Protein yang masuk cukup dan mengandung asam amino. 4. Harus cukup mengandung vitamin.

5. Harus cukup mengandung garam mineral. 6. Harus mudah dicernakan oleh alat pencerna. 7. Harus bersifat hygienis.

2.2.Sapi

Menurut Murtidjo (1990), pada umumnya bangsa sapi yang terbesar di seluruh penjuru dunia berasal dari bangsa sapi primitif yang telah mengalami dosmetikasi (penjinakan). Pada garis besarnya sapi dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu :


(27)

Bos indicus berkembang di India dan akhirnya menyebar ke berbagai Negara, terlebih daerah tropis seperti Asia tenggara (termasuk Indonesia), Afrika, Amerika, dan Australia.

2. Bos Taurus

Bos Taurus adalah bangsa sapi yang menurunkan bangsa-bangsa sapi potong dan perah di Eropa. Golongan ini akhirnya menyebar keseluruh penjuru dunia, terlebih Amerika, Australia, dan Selandia Baru. Belakangan ini keturunan Bos Taurus telah banyak diternakkan dan dikembangkan di Indonesia.

3. Bos Sondaicu ( Bos bibos)

Golongan sapi ini merupakan sumber asli bangsa-bangsa sapi di Indonesia. Sapi yang kini ada merupakan keturunan banteng (Bos Bibos), dewasa ini kita kenal dengan nama sapi Bali, sapi Madura, sapi jawa, sapi Sumatera, dan sapi lokal lainnya.

2.3. Karakteristik Sapi 1. Umur Sapi

Menafsir umur sapi merupakan salah satu pengetahuan yang perlu dikuasai oleh peternak. Umur sapi dapat dideskripsikan dari :

a. Catatan tanggal lahir

Hasil catatan tanggal lahir yang dilakukan oleh peternak. Akan tetapi hal ini hanya dilakukan oleh peternak tradisional.

b. Keadaan gigi serinya.

Pada prinsipnya, taksiran dengan metode gigi sapi adalah memperhitungkan pertumbuhan, penggantian, dan kehausan gigi sapi.


(28)

1. Sapi yang memiliki gigi susu semua pada rahang bawah, mempunyai umur sekitar kurang dari 1,5 tahun.

2. Sapi yang memiliki gigi tetap sepasang pada rahang bawah, mempunyai umur sekitar 2 tahun.

3. Sapi yang memiliki gigi tetap dua pasang pada rahang bawah, mempunyai umur sekitar 3 tahun.

4. Sapi yang memiliki gigi tetap tiga pasang rahang bawah, mempunyai umur sekitar 3,5 tahun.

5. Sapi yang memiliki gigi tetap empat pasang pada rahang bawah, mempunyai umur sekitar 4 tahun.

6. Sapi yang memiliki gigi tetap lengkap empat pasang, tapi 25% bagian telah aus, mempunyai umur sekitar 6 tahun.

7. Sapi yang memiliki gigi lengkap empat pasang, tapi 75% bagian telah aus, mempunyai umur diatas 8 tahun.

8. Sapi yang memiliki gigi tetap lengkap empat pasang, tapi 75% bagian telah aus, mempunyai umur diatas 8 tahun.

c. Keadaan tanduk, khususnya dengan memperhatikan gelang-gelang pada tanduk. Sapi jantan akan menimbulkan gelang yang pertama setahun lebih lambat dari sapi yang betina.

2. Jenis Sapi

Jenis-jenis sapi potong yang terdapat di Indonesia saat ini adalah sapi asli Indonesia dan sapi yang diimpor. Sapi-sapi Indonesia yang dijadikan sumber


(29)

daging adalah sapi Ongole, sapi PO (peranakan ongole), sapi Aceh, sapi Brahman, sapi Bali, dll.

a. Sapi Ongole

Bangsa sapi ini berasal dari India (Madras) yang beriklim tropis dan bercurah hujan rendah. Sapi ongole ini di Eropa disebut zebu, sedangkan di jawa sangat populer dengan sebutan sapi benggala. Ukuran tubuh besar dan panjang sehingga merupakan jenis sapi yang paling banyak dipelihara untuk dijadikan sapi potong.

b. Sapi Bali

Sapi bali merupakan keturunan dari sapi liar yang disebut banteng yang telah mengalami proses penjinakan beradab-adab lamanya. Sapi Bali termasuk tipe sapi pedaging dan pekerja. Bentuk tubuh menyerupai banteng, tinggi badan sapi dewasa mempunyai 130 cm dan berat badan sapi jantan mencapai 450 kg sedangkan betina 300 – 400 kg.

c. Sapi Aceh

Sapi ini merupakan sapi asli Indonesia karena sudah ada sejak zaman Kerajaan Sultan Iskandar Muda. Sapi ini adalah hasil persilangan antara bos

indicus dengan banteng, dengan beberapa keunggulan sehingga banyak

disiplin untuk sapi pembibitan. d. Sapi Brahman

Bangsa sapi ini semula berkembang di Amerika Serikat kemudian tersebar luas baik di daerah tropis maupun subtropis, yakni Australia dan juga di Indonesia sapi ini termasuk tipe sapi potong yang baik di daerah tropis.


(30)

Walaupun di daerah kurang subur, tetapi sapi Brahman tumbuh cepat karena pakannya sedarhana.

3. Berat Sapi

Memberikan taksiran berat sapi, merupakan salah satu cakupan ketrampilan yang menjadi tututan bagi peternak. Secara sederhana berat sapi dapat dihitung dengan rumus terapan sebagai berikut :

Berat sapi = Pt x Ld x 70

Ld = Lingkar dada sapi 4. Jenis Kelamin Sapi

Peternakan sapi potong biasanya memelihara keduanya, baik sapi jantan maupun betina. Tetapi untuk sapi potong biasanya peternak memilih sapi jantan karena pertumbuhannya lebih cepat dari sapi betina.

2.3.1. Tujuan Pemeliharaan Sapi

Menurut Murtidjo (1990), dalam sebuah usaha peternakan sapi potong, bibit ternak yang di beli mempunyai arti penting dalam mendukung keberhasilan usaha. Sehingga pemeliharaan bibit ternak harus disesuaikan dengan tujuan ternak sapi potong tersebut sehingga mendapatkan hasil yang maksimal seperti tujuan yang diinginkan.

Adapun tujuan pemeliharaan :

a. Usaha pemeliharaan sapi potong bibit.

Usaha ini bertujuan mengembangbiakkan sapi potong sehingga diharapkan keuntungan yang di dapat adalah hasil keturunannya.


(31)

b. Usaha pemeliharaan sapi potong untuk penggemukan.

Usaha ini bertujuan untuk mendapat hasil dari penggemukan sapi menjadi gemuk. Sebagian besar peternak memilih untuk melakukan penggemukan sapi potong atau disebut juga fattening.

2.3.2. Cara Pemeliharaan Sapi

Menurut Murtidjo (1990), adapun cara pemeliharaan sapi potong biasa diterapkan adalah :

a. Pasture Fattening

Sapi biasanya dilepaskan di padang penggembalaan. Jadi, sapi merumput sendiri sampai kenyang, kemudian menjelang petang hari dikandangkan dan esoknya di lepas lagi. Sapi yang dipilih yang berumur 2,5 tahun dan lama penggemukan berlangsung 6 – 8 bulan. Sapi tidak diberi makan penguat, sapi menjadi gemuk hanya merumput.

b. Dry lot Fattening

Pada sistem penggemukan seperti ini, sapi yang digemukkan tinggal di dalam kandang terus-menerus. Sapi-sapi itu tidak digembalakan ataupun dipekerjakan. Pemeliharaan sapi dengan cara ini, sapi hanya diberi pakan penguat saja, seperti bahan baku biji-bijian jagung, bungkil kepala dan gandum. Pemeliharaan seperti ini pada prakteknya memerlukan biaya yang cukup tinggi dan lamanya penggemukan sekitar 4 – 6 bulan.

c. Kombinasi Pasture – Dry Lot Fattening

Penggemukan dengan cara ini sangat cocok dilakukan di lingkungan tropis yang memiliki dua musim. Pada musim penghujan, ketika rumput tumbuh


(32)

sangat subur di padang penggembalaan, sapi-sapi dilepas untuk merumput sendiri. Tetapi di musim kemarau, pada saat rumput sangat terbatas jumlahnya, sapi-sapi dikandangkan dan diberi makan biji-bijian dan pakan hijauan kering lainnya seperti jerami.

2.3.3. Pakan Sapi 2.3.3.1. Jenis Pakan

Menurut Sugeng (2000), sapi yang sehat memerlukan jumlah pakan yang cukup dan berkualitas, baik dari segi kondisi pakan maupun imbangan nutrisi yang dikandungnya. Jenis pakan yang biasa diberikan untuk sapi:

1. Pakan Hijauan

Pakan hijauan adalah semua bahan pakan yang berasal dari tanaman atupun tumbuhan berupa daun-daunan, terkadang termasuk batang, ranting, dan bunga. Pada umumnya pakan hijauan adalah rumput seperti rumput gajah dan rumput benggala dan jerami.

2. Pakan Penguat (Konsentrat)

Bahan pangan penguat ini meliputi bahan makanan yang bersal dari biji-bijian seperti jagung giling, menir, dedak, bungkil kelapa, dan berbagai umbi. Pakan penguat berfungsi untuk meningkatkan dan memperkaya nilai gizi pada bahan pakan lain yang nilai gizinya rendah. Sehingga sapi yang sedang tumbuh ataupun yang sedang dalam masa penggemukan harus diberikan pakan penguat yang cukup.


(33)

3. Pakan Tambahan

Pakan tambahan bagi ternak sapi biasanya berupa vitamin, mineral, dan urea. Pakan tambahan ini dibutuhkan oleh sapi yang dipelihara secara intensif, yang hidupnya berada di dalam kandang terus-menerus. Vitamin yang dibutuhkan ternak sapi adalah vitamin A dan vitamin D, sedangkan mineral yang dibutuhkan terutama Ca dan P. Pada umumnya pakan tambahan vitamin dan mineral berupa feed-supplement.

2.3.3.2. Nutrisi Pakan

Menurut Andoko (2012), makanan ternak sapi potong dari sudut nutrisi merupakan salah satu unsur yang sangat penting untuk menunjang kesehatan, pertumbuhan, dan reproduksi ternak. Makanan sangat esensial bagi ternak sapi. Makanan yang baik akan menjadikan ternak sanggup menjalankan fungsi proses dalam tubuh secara normal.

Bahan baku makanan yang diperlukan dalam menyusun bahan makanan sapi, terutama tersusun atas kadar air, protein, lemak, serat kasar, sumber mineral, dan karbohidrat.

1. Air

Air merupakan bahan pakan utama yang terkadang terlukapan mendapat perhatian dari para peternak. Oleh karena itu tubuh hewan terdiri dari 70% air, maka air benar-benar termasuk kebutuhan utama yang tidak bisa diabaikan. Bila sampai terjadi pengurangan air hingga 20%, hewan bersangkutan akan mati. Kebutuhan air bagi hewan ternak tergantung pada berbagai faktor: kondisi iklim, jenis sapi, umur, dan jenis pakan yang disediakan. Kebutuhan air bagi sapi yang


(34)

lebih muda lebih banyak, apalagi jika kondisi lingkungan atau suhu meningkat. Kebutuhan air tersebut dapat terpenuhi melalui air minum, air yang terkandung di dalam pakan, dan air yang berasal dari proses metabolisme zat pakan dalam tubuh. Sapi memerlukan 3 – 6 liter air per 1 kg pakan kering.

2. Protein

Protein berfungsi untuk mengganti dan membangun sel tubuh yang rusak. Karena protein tidak dapat di bentuk dalam tubuh, tetapi mutlak diperlukan, maka pakan sapi harus mengandung protein. Protein bisa diperoleh dari bahan-bahan pakan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan yang berupa hijauan leguminosa seperti daun turi, daun lamtoro, ataupun dari biji-bijian seperti bungkil kedelai, ataupun bungkil kacang tanah. Sumber protein juga bisa berasal dari hewan, misalnya tepung darah, tepung ikan, dan tepung daging.

3. Lemak

Sebagai sumber energi, lemak juga berfungsi sebagai pelarut vitamin A, D, E, dan K. Di dalam tubuh sapi, lemak yang terkandung dalam bahan pakan diubah menjadi patih dan gula. Sumber lemak utama terdapat pada pakan berbutir seperti bungkil kacang tanah, bungkil kelapa, dan bungkil kedelai.

4. Serat Kasar

Serat kasar diperoleh dari pakan hijauan jenis lenguminose seperti daun turi dan petai cina. Kandungan serat kasar yang diperlukan ternak sapi paling sedikit 13% dari bahan kering di dalam ransum. Serat kasar berfungsi menjaga alat pencernaan agar bekerja baik, membuat kenyang dan mendorong keluarnya kelenjar pencernaan.


(35)

5. Mineral untuk Sapi potong

Beberapa unsur penting mineral yang diperlukan ialah natrium (Na), klor (Cl), kalsium (Ca), forsor (P), sulfur (S), ferum (Fe), Kalium (K), magnesium (Mg), iodium (I), kuprum (Cu), kobalt (Co), seng (Zn), dan selenium (Se). Pada umumnya unsur-unsur ini banyak terdapat di dalam ransum pakan. Namun sering kali, perlu ditambahkan unsur mineral, terutama garam (NaCl), Kalium (Ca), dan Fosfor (P).

6. Karbohidrat

Karbohidrat adalah senyawa yang terbentuk dari senyawa molekul karbon, hidrogen, dan oksigen. Sebagai salah satu jenis zat gizi, fungsi utama karbohidrat adalah penghasil energi di dalam tubuh. Proses pembakaran karbohidrat akan digunakan oleh sapi untuk berbagai fungsi penting seperti bernafas, kontraksi jantung, dan aktivitas lainnya. Bahan pakan yang banyak mengandung karbohidrat untuk pakan sapi adalah biji-bijian, seperti jagung, gandum, dan jewawut.

2.3.3.2. Kendala dalam Ketersediaan Pakan

Menurut Sugeng (2000), terbatasnya pakan ternak sapi, terutama pakan hijauan yang tersedia sepanjang tahun merupakan kendala besar dalam proses penggemukan sapi potong.

Adapun kendala dalam keterediaan pakan adalah:

1. Pada umumnya produksi hijauan pakan ternak adalah musiman sehingga kontinuitas yang diperlukan sepanjang tahun sering kurang terjamin. Pakan


(36)

hijauan berbeda dengan pakan penguat atau pakan berbiji yang bisa di datangkan dari mana dan kapan saja.

2. Pengadaan pakan hijauan umumnya di hasilkan atau dibeli di lingkungan sekitar. Terkadang jumlahnya sangat berlimpah dan berlebihan bila musim panen lokal namun terkadang juga sangat terbatas dan penyediaannya pun dalam waktu singkat. Volume, kualitas, dan kontinoitas penyediaan hijuan masih belum memadai sebab para peternak masih menggunakan sistem pemanfaatan sisa-sisa atau hasil ikutan tanaman berupa jerami ataupun sisa hasil panen lainnya.

2.3.4. Tindakan Hygienis/ Sanitasi

Tindakan hygienis ialah usaha penjagaan kesehatan melalui kebersihan agar ternak bebas dari suatu infeksi penyakit, baik virus, maupun parasit. Tindakan hygienis berikut biasa dilakukan oleh para peternak guna membebaskan infeksi penyakit tersebut.

1. Kebersihan Peralatan

Menjaga kebersihan dengan cara menyucihamakan peralatan, segala peralatan yang pernah dipakai harus disucihamakan dengan cara:

a. Disemprot, disiram, atau direndam dengan cairan desinfektan: Creolin, Lysol, ataupun bahan paten lain.

b. Dijemur langsung pada cahaya matahari.

c. Disiram atau direndam dengan air mendidih, dan

d. Dikapur dinding kandangnya dengan cairan kapur kental atau cat bagian-bagian tertentu dengan teer.


(37)

2. Kebersihan Kandang

Sangat penting untuk menjaga kebersihan kandang baik dalam maupun di luar kandang.

Adapun hal-halyang perlu diperhatikan adalah:

a. Kelembaban udara dan lantai harus dihindarkan dengan cara ventilasi kandang diatur secara sempurna dan sinar matahari pagi diusahakan bisa masuk ke dalam kandang. Usahakan populasi ternak sapi di dalam kandang tidak terlalu padat.

b. Kotoran di tampung di tempat penampungan khusus yang letaknya agak jauh dari kandang sehingga mengurangi lalat.

c. Sisa-sisa pakan yang mungkin berserakan dan juga semak-semak yang tumbuh di sekitar kandang harus dibersihkan.

d. Pakan dan air minum harus bersih dan tidak terkontaminasi.

e. Kandang dan lingkungan agar tidak lembab, basah atau banyak kubangan air.

f. Bersihkan rumput- rumput liar yang ada di sekitar kandang.

g. Berantas perantara perkembangan yaitu siput, sebaiknya secara biologi, misalnya dengan pemeliharaan itik/bebek.

h. Hindari penumpukan sisa pakan. 3. Sistem Pengembalaan

Jika menggunakan sistem pengembalaan, hindari lahan pengembalaan becek. Selanjutnya usahakan pengembalaan di lokasi yang bergilir, jangan menggunkan padang pengembalaan yang sama secara terus menerus. Hindari


(38)

pengembalaan di padang rumput yang diberi pupuk kandang yang tidak jelas asal usulnya. Untuk mencegah perkembangan cacing hati, dapat dilakukan dengan cara menebar copper sulphate di lapangan pengembalaan.

4. Kebersihan Kulit Ternak yang Dipelihara

Kulit yang sehat dan bersih saja yang bisa berfungsi dengan baik, sedangkan kulit yang kotor tak bisa berfungsi dengan baik. Kulit menjadi kotor akibat kotoran seperti kulit ari yang mengelupas, serta tebu dan lumpur yang melekat bersama keringat dan lemak kulit. Sedangkan sapi yang selalu berada di dalam kandang biasanya menjadi kotor akibat debu dan kotorannya sendiri. Sapi yang kulitnya kotor bisa menimbulkan radang kulit. Oleh karena itu, untuk menjaga kebersihan kulit ini, ternak sapi perlu dimandikan dan disikat.

5. Kebersihan Petugas

Petugas harus mencuci hamakan diri dengan cara mencuci anggota badan denga air hangat dan sabun, kemudian menggosok dengan obat-obatan penyuci hama atau desinfektan.

6. Kebersihan Bahan Pakan dan Kandungann Racun

Bahan pakan yang kotor dan beracun akan menggagu kesehatan ternak misalnya:

a. Pakan yang kotor akibat keadaan air dan tanah, seperti rumput yang bercampur lumpur karena terkena banjir, pakan yang tercemar akibat hama ulat ataupun tercemar cendawa, serta pakan yang sudah busuk. b. Hijauan yang beracun akibat racun terjadi secara alamiah di dalam


(39)

merah, ataupun yang terkena racun kimia akan sangat berbahaya bagi kesehatan ternak.

2.4. Daging

Daging merupakan bahan makanan utama yang dikonsumsi manusia baik diperoleh dari hewan-hewan piaraan atau hewan buruan daging juga didefenisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan. Organ- organ misalnya hati, ginjal, otak, paru-paru, jantung, limpa, pankreas, dan jaringan otot. (Sueparno, 1994).

2.4.1. Karakteristik kimia daging

Komposisi daging segar tergantung pada jenis hewan, kondisi hewan, jenis daging dan cara penanganannya. Daging berlemak mengandung kadar air dan protein yang rendah. Kadar air daging dari hewan mudah lebih banyak dari hewan tua. (Anonimous, 2013).

2.4.2. Karakteristik Fisik Daging

Secara fisik daging tersusun atas serabut-serabut otot yang sejajar dan terikat bersama-sama oleh suatu jaringan ikat. Bagian luar otot terbungkus membran transparan yang disebut epimisium. Lapisan epimesium ini terdiri dari jaringan ikat yang berupa serabut kolagen dan elastin.

Pada bagian otot terdapat jaringan iakt yang membentuk sekat-sekat yang menyelubungi sekelompok jaringan otot. Sekat-sekat ini disebut perimisium yang banyak urat darah dan urat saraf. Masing-masing serabut otot dilindungi oleh sebuah membran jaringan ikat yang tipis (endomisium).


(40)

Untuk mengetahui keadaan fisik daging masih dalam keadaan baik atau tidak, ada 3 hal yang perlu diperhatikan:

a. Warna daging

Warna daging tergantung dari hewannya. Daging yang baik mempunyai warna yang sama antara bagian dalam serta bagian luar daging sebab jika warna bagian luar saja yang tampak segar mungkin telah terjadi pemalsuan, misalnya dengan menambah zat warna pada daging.

b. Bau Daging

Bau daging adalah khas, sesuai dengan bau hewannya. Jika telah terjadi proses pembusukan, maka bau daging akan berubah. Untuk mengetahui apakah daging telah membusuk atau tidak dapat diketahui dari bau yang keluar dari sendi-sendi tulang, selain itu daging digemari serangga (lalat) yang jumlahnya makin banyak jika daging telah membusuk terutama pada daging yang tidak dilindungi atau ditutup. Permukaan daging yang lendir serta tampak mengkilat adalah tanda lain dari daging yang telah membusuk.

c. Konsistensi Daging

Daging yang baik adalah yang mempunyai konsistensi “mastis” bila ditekan dan agak berdenyut, mempunyai turgor dan bila dipegang terasa basah kering, artinya sekalipun radasanya basah, tetapi tidak sampai membasahi tangan sipemegang.(Anonimous, 2013).


(41)

2.5. Metode Pemeriksaan Cacing Hati dengan Mikroskop.

Metode periksaan sampel di lakukan dengan menggunakan mikroskop dilaboratorium Balai Tehnik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Menular (BTKL & PPM) Medan bagian Instalasi Entomologi.

2.6. Cacing hati (Fasciola hepatica)

Cacing dewasa bentuknya seperti daun dan mempunyai bahu, panjangnya 30 mm lebar 13 mm, batil isap mulut dan batil isap perut hampir sama besarnya dan letakknya berdekatan. Tracustus digestifus mempunyai caecum yang bercabanga-cabang. Cacing ini hermafrodit, telur mempunyai operkulum, ukuran 140 x 80 mikron (Rosdiana,S. 2009).

2.6.1. Morfologi Cacing Hati (Fasciola hepatica)

Cacing dewasa dalam saluran empedu menghasilkan telur-telur yang terbawa oleh cairan empedu masuk ke dalam lumen usus dan keluar ke alam bebas bersama tinja, telur-telur tidak berembrio, mempunyai operkulum, besar, ovoid, kuning kecoklatan, dan berukuran 130-150 µm x 63-90 µm. Mirasidium berkembang dalam waktu 1 sampai 2 minggu dan keluar dari telur untuk menginfeksi hospes perantara keong. Serkaria keluar dari keong setelah terbentuknya sporokista dan dua atau tiga generasi redia. Serkaria mengadakan enkistasi pada tanaman air, seperti, seledri air. (Garcia, 1996).


(42)

2.6.2. Siklus Hidup Fasciola hepatica Pada Sapi

Gambar 1. Siklus Hidup Fasciola hepatica Pada Hewan (http://.dpd.cdc.gov/dpdx)

1. Telur keluar ke alam bebas bersama feses sapi. Bila menemukan habitat basah. telur menetas dan menjadi larva bersilia, yang disebut Mirasidium. 2. Mirasidium masuk ke dalam tubuh siput Lymnea akan tumbuh menghasilkan

Sporokista.

3. Sporokista seara partenogenesis akan menghasilkan Redia

4. Redia secara paedogenesis akan membentuk serkaria. Serkaria meninggalkan tubuh siput menempel pada rumput dan berubah menjadi metaserkaria.


(43)

5. Metaserkasria termakan oleh hewan ternak berkembang menjadi cacing muda yang selanjutnya bermigrasi ke saluran empedu pada hati inang yang baru untuk memulai daur hidupnya (Boray, 2007).

2.6.3. Siklus Hidup Fasciola hepatica Pada Manusia

Gambar 2. Siklus Hidup Fasciola hepatica Pada Manusia (http://www.dpd.cdc.gov/dpdx)

Manusia terinfeksi umumnya karena memakan hati sapi yang pengelolaannya kurang sempurna dimana hati sapi mengandung cacing hati, cacing mudah memulai penyebarannya dalam usus manusia. Cacing menembus


(44)

dinding usus dan masuk melewati rongga perut sampai ke hati. Setelah cacing menembus lapisan hati, sampailah cacing ke saluran empedu dan kantung empedu. Dalam saluran empedu, cacing mudah menjadi cacing dewasa dalam jangka waktu 1 – 2 bulan. Cacing yang dewasa akan bertelur. Bersama cairan empedu, telur berhasil masuk ke dalam saluran usus dan dapat di temukan dalam tinja (fases). ( Entjang, 2001).

Manusia terinfeksi karena memakan tanaman air yang tidak dimasak di mana metaserkaria mengadakan enkistasi. Larva masuk kedalam hati dengan menembus kapsul (kapsul Clissoni) dan mengembara ke selurus parenkin hati selama 9 minggu. Larva akhirnya masuk ke dalam saluran empedu, di mana larva menjadi dewasa dan menghasilkan telur. Cacing dewasa dapat manjadi panjang > 1 inci dan lebar > 0,5 inci (Garcia, 1996).

2.6.4. Morfologi Telur dan Larva Fasciola hepatica

Telur larva Mirasidium masuk ke dalam tubuh siput (Lymnea Sporokista) berkembang menjadi larva (II): Redia Larva (III): serkaria yang berekor, kemudian keluar dari tubuh keong Kista yang menempel pada tetumbuhan air terutama selada air (Nasturqium officinale), kemudian termakan hewan ternak, apabila memakan selada air yang mengandung cacing maka cacing akan masuk ke dalam tubuh dan menjadi cacing dewasa dan akan menyebabkan Fascioliasis. (Budi, 2006).

Cara hidup dari tiap-tiap jenis keong tersebut dapat berbeda-beda (berair, setengah berair). Telur cacing hati ini akan ditemukan pada pemeriksaan tinja dan


(45)

cairan usus. Pada stadium permulaan penyakit ini tidak ditemukan telur. Pemeriksaan mikroskopis dapat dilakukan dengan metode serologis (CFT) dan tes kulit (antigen didapat dari cacing dewasa). Dianjurkan pemakaian test Immunofluorescent tidak langsung dengan mempergunakan mirasidium Fasciola sebagai antigen. ( Irianto Kus, 2009).

2.6.5. Penyakit Fasciola hepatica Pada Manusia

Menurut Entjang (2001) penderita Fasciola hepatica bisa mengalami:

a. Gejala- gejala yang akan timbul seperti: demam, nyeri lambung, pembesaran hati, nyeri perut pada ulu hati, dan muntah.

b. Penderita akan mengalami diare dan icterus

c. Fasciola hepatica yang hidup di dalam saluran empedu dan parenchym liver

menimbulkan peradangan berupa hyperplasia, necrosa dab fibrosa. 2.6.6. Pencegahan Fasciola hepatica

Agar masyarakat terhindar dari makanan dan minuman yang dapat membahayakan kesehatan, pemerintah menetapkan standar dan persyaratan agar makanan dan minuman layak dan aman dikonsumsi oleh masyarakat. Hal ini dinyatakan dalam Undang-Undang No. 23 ayat 1 yaitu : Pengamanan makanan dan minuman diselenggarakan untuk melindungi masyarakat dari makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan standar dan persyaratan kesehatan (Fardiaz, 1992).

Pencegahan yang efektif sulit dilakukan karena sulit untuk menghindarkan sapi dari sawah atau daerah basah yang merupakan habitat siput,


(46)

mungkin dapat digunakan bebek yang digembalakan sehabis panen untuk memberantas siput (Brotowidoyo 1987).

Pencegahan jangka panjang tergantung eradikasi penyakit pada hewan hebivora, pengobatan untuk hewan peliharaan mungkin dapat diberikan, tetapi untuk binatang air tidak memungkinkan. Infeksi pada manusia di daerah endemi dapat dicegah dengan tidak makan sayur mentah (Brown 1997).

Menurut Suweta (1982) upaya pengendalian penyebarluasan penyakit dapat dilaksanakan dengan memutuskan siklus hidup cacing, yaitu dengan membrantas siput yang hidup di air persawahan dan lainnya dengan cara:

a. Pencegahan dilakukan dengan membrantas siput air, tanaman air (sayuran dari daerah endemis jangan dimakan atau di jual di pasaran. b. Hati sapi harus di masak terlebih dahulu sampai matang sebelum

dimakan.

c. Usaha pencegahan dapat dilakukan dengan pendidikan kesehatan masyarakat dengan menekankan bahaya dari tumbuhan air yang banyak terdapat binatang atau keong.

d. Pengobatan terhadap hewan yang terkena infeksi cacing hati.

e. Hindari konsumsi sayuran air yang mentah atau meminum air yang tercemar metacerkaria.

f. Mengeringkan tempat-tempat berair yang tidak diperlukan sehingga siput-siput mati kekeringan.


(47)

g. Dengan menggalakkan pemeliharaan itik (bebek) di lahan sawah, karena bebek akan memakan siput-siput yang menjadi tempat berkembang biak larva cacing hati.

Menurut Lubis (1983) pencegahan infeksi cacing dapat dilakukan dengan memberikan ransum yang baik sangat perlu diperhatikan untuk menambah daya tahan ternak.


(48)

2.7. Kerangka Konsep

Ditemukan cacing dewasa Hati Sapi

Sapi (f

Pemeriksaan laboratorium

Tidak ditemukan cacing dewasa

Feses Sapi

Mikroskop

Kk Menteri Kesehatan no: 424/ Menkes/ SK/ VI. 2006

Ditemukan telur cacing

Tidak ada ditemukan telur cacing


(49)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriftif yaitu untuk mengetahui gambaran kandungan cacing hati pada hati dan feses sapi dari peternakan sapi potong hewan di Mabar Medan Tahun 2013.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian

Pengambilan sampel dilakukan secara konsekutif yaitu hati diambil dari rumah potong hewan kemudian diikuti dari peternakan mana asal hati sapi tersebut.

Pemeriksaan cacing hati dan feses sapi di lakukan di Balai Teknis Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Menular (BTKL &PPM) Medan.

3.2.2. Waktu Penelitian

Pelaksanaan penelitian dimulai pada bulan Maret-Juli 2013 3.3.Objek Penelitian

Objek penelitian yang digunakan adalah hati dan feses sapi dari peternakan sapi potong di Mabar Medan. Hati dan feses sapi akan diperiksa ke laboratorium dengan sampel yang akan di teliti yaitu sebanyak 12 hati dan feses sapi.


(50)

3.4. Mekanisme Pengambilan Sampel

Sampel diambil dari setiap peternakan sabanyak 50 gr hati sapi untuk setiap sampelnya, sampel dimasukkan ke dalam plastik putih bening dan dimasukkan ke dalam boks dan di tutup rapat agar tidak bersentuhan dengan udara luar. Kemudian dibawa ke Balai Teknis Kejadian Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Menular (BTKL & PPM) Medan untuk diperiksa.

3.5. Metode Pengumpulan Data 3.5.1. Data Primer

Data primer diperoleh dari observasi dan hasil pemeriksaan sampel di Balai Teknis Kesehatan Lingkungan dan Pengandalian Penyakit Menular Medan (BTKL & PPM) terhadap kandungan cacing hati pada hati dan feses sapi.

3.5.2. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari penelitian- penelitian yang berhubungan serta referensi atau literatur-literatur yang relevan dengan penelitian yang dilakukan.

3.6. Definisi Operasional

1. Peternakan sapi adalah orang perorangan atau korporasi yang mengelolah atau memelihara ternak sapi.

2. Hati sapi adalah organ dalam sapi yang terletak didalam rongga perut tepat di belakang sekat rongga dada.

3. Feses sapi adalah sisa zat makanan yang telah terabsorsi dan tidak bermanfaat lagi.


(51)

4. Telur cacing hati adalah berbentuk oval, mempunyai tutup, berwarna kuning sampai coklat.

5. Cacing hati adalah cacing trematoda dengan tubuh berbentuk daun.

6. Pakan sapi adalah zat makanan yang diberikan pada sapi untuk pertumbuhan dan pertambahan berat sapi.

7. Air minum sapi adalah yang diberikan kepada ternak untuk memenuhi kebutuhan air dalam tubuh sapi.

8. Lokasi peternakan adalah daerah peternakan dimana kandang sapi didirikan. 9. Pemeriksaan cacing hzaati pada hati sapi di periksa di laboratorium bagian

instalasi entomologi dengan menggunakan mikroskop untuk mengetahui cacing hati pada hati sapi.

10.Cacing hati pada hati sapi adalah banyaknya cacing hati yang ditemukan pada sampel hati sapi melalui pemeriksaan laboratorium dalam satuan ppm.

3.7. Aspek pengukuran

Adapun variabel yang akan dilakukan pengukuran adalah sebagai berikut: 1. Variabel Pekerjaan

Pekerjaan adalah pekerjaan responden yang digeluti sehari-hari dengan menggunakan skala ordinal dikategorikan:

a. Bekerja b. Tidak bekerja 2. Variabel Pengetahuan

Pengetahuan ditentukan berdasarkan jumlah pertanyaan dalam instrumen kuisioner yang tersedia pada lampiran yaitu dengan memilih menjawab semua


(52)

pertanyaan dengan memilih jawaban a, b, c. “a” (diberi skor 2), jawaban “b” (diberi skor 1), “c” (diberi skor 0). Berdasarkan total nilai yang diperoleh dari pertanyaan maka total nilai maksimal adala 14. Berdasarkan skala likert (sugiono, 2007).

pengetahuan responden dikategorikan dengan menggunakan skala ordinal, sebagai berikut:

a. Baik, jika skor yang diperoleh responden ≥ 65%

b. Kurang baik, jika skor yang diperoleh responden < 65%. 3.8. Prosedur Kerja Pemeriksaan Cacing Hati

Menurut Athiroh (2005), adapun prosedur Kerja Pemeriksaan cacing hati dengan menggunakan mikroskop.

Adapun cara kerja pemeriksaan cacing hati adalah :

1. Sapi yang sudah di sembelih kemudian di ambil hatinya sebanyak 50 gram. 2. Sampel di ambil dari rumah potong hewan di pilih secara acak.

3. Sampel hati yang sudah di ambil di bersihkan dan di simpan dalam wadah (boks) dan langsung di bawa ke laboratorium.

4. Sampel hati di iris-iris kemudian di periksa parasit cacing di bawah mikroskop.

5. Sampel di identifikasi jenis parasinya dan di hitung jumlahnya.

6. Pengambilan sampel pada pagi hari dan di periksa pada hari yang sama agar tidak terjadi kerusakan pada sampel


(53)

3.9. Prosedur Kerja Pemeriksaan Telur Cacing Dengan Metode Apung (Flotation Method)

Menurut Subekti (2001), adapun prosedur Kerja Pemeriksaan Telur cacing adalah:

Alat-alat :

- tabung reaksi ukuran 150 x 16 mm, - rak tabung reaksi,

- gelas piala kimia, - batang aplikator, - kaca obyek, - kaca penutup - mikroskop. - Saringan teh Bahan :

- aquadestilata,

- Larutan NaCl jenuh (33%)

Cara membuat NaCl jenuh : Serbuk NaCl dilarutkan dengan Aquadest sampai NaCl jenuh (NaCl tidak dapat larut lagi)

- larutan hipoklorit 30 %, Prosedur Kerja:

- Disiapkan seluruh alat dan bahan pemeriksaan.

- Diambil sampel pemeriksaan (faeces) sebanyak 5 - 10 gram, dimasukkan kedalam tabung reaksi.


(54)

- Tambahkan larutan NaCl jenuh hingga ½ volume tabung reaksi, lalu lakukan pengadukan hingga merata.

- Buanglah kotoran besar yang terdapat dalam suspensi sampel tersebut dengan cara menyaring suspensi dengan saringan teh, lalu letakkan tabung reaksi pada rak tabung.

- Tambahkan lagi larutan NaCl jenuh hingga hampir mencapai bibir tabung reaksi, lakukan pengadukan kembali.

- Tambahkan larutan NaCl hingga penuh (permukaan cairan pada bibir tabung reaksi mencembung).

- Letakkan kaca penutup diatas bibir tabung reaksi, diamkan selama 45 menit (literatur lain mengatakan 5-10 menit).

- Ambil kaca penutup, lalu letakkan pada kaca obyek sedemikian rupa dan lakukan pengamatan secara mikroskopis dengan perbesaran lemah (10 x lensa obyektif).

3.10. Analisis Data

Setelah hasil pemeriksaan laboratorium selesai maka hasilnya diolah secara manual, disajikan dalam bentuk tabel dan dianalisis secara deskriptif, dengan membandingkan hasil yang diperoleh dengan standat yang telah di tetapkan yaitu standat parasit dan di narasikan dengan kepustakaan yang relevan.


(55)

BAB IV

HASIL PENELITIAN 4.1. Hasil Penelitian

4.1.1. Karakteristik Pengelola Peternakan Sapi

Pengelola peternakan adalah orang yang bekerja langsung memelihara sapi. Karakteristik pengelolah peternakan sapi di Mabar Medan meliputi umur, tingkat pendidikan, lama bekerja dan pengetahuan responden.

4.1.1.1. Umur

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan peternak di 12 peternakan sapi potong di Mabar Medan diketahui umur responden rata-rata 35 – 40 tahun dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.1. Distribusi Umur Pengelola Peternakan Sapi Di Mabar Medan Tahun 2013

No Umur Jumlah Persentase (%)

1 35 - 40 tahun 6 50,7

2 41- 46 tahun 2 16,7

3 >46 tahun 4 33,3

Total 12 100

Berdasarkan tabel 4.1 diatas, diketahui bahwa pengelola peternakan sapi sebagian besar berumur 35 – 40 tahun yaitu sebanyak 6 orang dari 12 orang peternak sapi (50,7%).


(56)

4.1.1.2. Tingkat Pendidikan

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan peternak sapi potong di Mabar Medan pada tingkat pendidikan dapat pada tabel berikut. Tabel 4.2. Distribusi Tingkat Pendidikan Pengelola Peternakan Sapi di Mabar

Medan Tahun 2013

No Tingkat Pendidikan Jumlah Persentase (%)

1 SD 3 25,0

2 SMP/ Sederajat 5 41,7

3 SMA/ Sederajat 4 33,3

Total 12 100

Berdasarkan tabel 4.2. diatas diketahui bahwa tingkat pendidikan pengelola peternakan sapi yang paling banyak adalah SMP yaitu 5 orang dari 12 orang pengelola peternakan sapi (41,7%).

4.1.1.3. Lama Bekerja

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan peternak sapi potong di Mabar Medan lama bekerja pengelola dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4.3. Distribusi Lama Bekerja Pengelola Peternakan Sapi di Mabar Medan Tahun 2013

No Lama bekerja Jumlah Persentase (%)

1 5 – 8 tahun 5 41,7

2 9 – 12 tahun 4 33,3

3 >12 tahun 3 25,0

Total 12 100

Berdasarkan tabel 4.3 di atas, diketahui bahwa sebagian besar pengelola peternakan sapi yaitu 5 orang dari 12 pengelola peternakan sapi (41,7%).


(57)

4.1.1.4. Pengetahuan Responden

Adapun gambaran pengetahuan responden pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4.4. Distribusi Pengetahuan Responden Pengelola Peternakan Sapi di Mabar Medan Tahun 2013

No Indikator dan Jawaban Aspek Pengetahun Jlh %

1 Umur sapi dapat dijual a. 10 - 18 bulan b. 3 - 4 tahun c. Tidak tahu

8 3 1 66,7 25,0 8,3

Total 12 100

2 Kandang yang memenuhi syarat

a. Ketersediaan sumber air dan fotografi b. Aman dari segala bahaya

c. Tidak tahu

7 4 1 58,3 33,3 8,3

Total 12 100

3 Jenis nutrisi yang di gunakan pada ternak sapi a. Karbohidrat, lemak, protein, Vit dan mineral b. Vitamin dan mineral

c. Tidak tahu

7 3 2 58,3 25,0 16,7

Total 12 100

4 Jenis pakan yang diberikan pada sapi a. Pakan berserat dan penguat b. Pakan penguat

c. Tidak tahu

7 4 1 58,3 33,3 8,3

Total 12 100

5 Asal pakan sapi a. perkebunan

b. rawa-rawa dan persawahan c. Tidak tahu

6 1 5 50,0 8,3 41,7

Total 12 100

6 Penyakit yang sering menyerang sapi

a. kembung, cacingan, diare, kudis, antraks dan penyakit mulut b. penyakit kuku

c. Tidak tahu

8 3 1 66,7 25,0 8,3

Total 12 100

7 Cara pemeliharaan sapi

a. sanitasi kandang,pemeliharaan kebersihan sapi dan vaksinasi secara teratur

b. vaksinasi secara terus menerus, memberi pakan secara teratur c. Tidak tahu

8 3 1 66,7 25,0 8,3


(58)

Total

12 100

8 Pengobatan yang diberikan jika sapi terserang penyakit atau kembung

a. Dimethicone dan jamu b. Minuman yang bersoda c. Tidak tahu

9 1 2 75,0 8,3 16,7

Total 12 100

Hasil penelitian menunjukan bahwa responden yang dengan benar mengetahui umur sapi dapat di jual yaitu sebanyak 8 orang (66,7%), mengetahui kandang sapi yang memenuhi syarat ada sebanyak 7 orang (58,3%), mengetahui jenis nutrisi yang digunakan ternak sapi yaitu 7 orang (58,3%), mengetahui jenis pakan yang diberikan pada sapi yaitu 7 orang (58,3%), mengetahui asal pakan sapi yaitu 6 orang (50,0%), mengetahui penyakit yang sering menyerang sapi yaitu 8 orang (66,7%), mengetahui cara pemelihaaraan sapi yaitu 8 orang (66,7%), dan mengetahui pengobatan yang diberikan jika sapi sakit atau kembung yaitu orang (73,0%).

Berdasarkan penghitungan jumlah skor pada tingkatan pengetahuan maka dapat dikategorikan baik dan kurang baik.

Tabel 4.5. Kategori Pengetahuan Responden Pengelola Peternakan Sapi di Mabar Medan Tahun 2013

No Pengetahuan Responden Jumlah Persentase (%)

1 Baik 9 75,0

2 Kurang Baik 3 25,0

Total 12 100

Berdasarkan tabel 4.5 diatas diketahui bahwa pengetahuan responden termasuk kriteria baik yaitu 9 orang atau 75%.


(59)

4.1.2. Lokasi Peternakan Sapi

Adapun gambaran lokasi peternakan sapi pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4.6. Distribusi Lokasi Peternakan Sapi di Mabar Medan Tahun 2013

No Indikator Lokasi Peternakan Sapi Jlh %

1 Lahan pengembalaan sapi becek a. Ya b. Tidak 3 9 25,0 75,0 Total 12 100 2 Lahan pengembalaan sapi yang sama secara terus menerus

a. Ya b. Tidak 5 7 41,7 58,3 Total 12 100 3 Lahan pengembalaan sapi tercemari pupuk

a. Ya b. Tidak 2 10 16,7 83,3 Total 12 100 4 Bapak membersihkan kandang sapi setiap hari

a. Ya b. Tidak 8 4 66,7 33,3 Total 12 100 5 Disekitar peternakan ada pembuangan sampah

a. Ya b. Tidak 3 9 25,0 75,0 Total 12 100 Berdasarkan tabel 4.6. diatas diketahui bahwa lahan pengembalaan sapi tidak becek yaitu 9 kandang (75,0%), lahan pengembalaan sapi tida sama secara terus menerus yaitu 7 kandang (58,3%), lahan pengembalaan sapi tidak tercemari pupuk yaitu 10 kandang (83,3%), kandang sapi dibersihkan setiap hari yaitu 8 kandang (66,7%), dan sekitar peternakan tidak ada pembuangan sampah yaitu 9 kandang (75,0%).


(60)

Berdasarkan penghitungan jumlah skor indikator lokasi peternakan sapi maka dapat dikategorikan memenuhi syarat dan tidak memenuhi syarat.

Tabel 4.7. Kategori Lokasi Peternakan Sapi di Mabar Medan Tahun 2013 No Lokasi Peternakan Sapi Jumlah Persentase (%)

1 Memenuhi syarat 8 66,7

2 Tidak memenuhi syarat 4 33,3

Total 12 100

Berdasarkan tabel 4.7. di atas diketahui bahwa lokasi peternakan sapi termasuk kriteria memenuhi syarat yaitu 8 kandang sapi (66,7%).

4.1.3. Hasil Pemeriksaan Cacing Hati Pada Hati Sapi

Pemeriksaan cacing hati pada hati sapi dengan menggunakan 12 sampel hati sapi yang di bawa ke laboratorium Balai Tehnik Kesehatan Lingkungan Medan. Metode pemeriksaan yang dilakukan dengan cara metode visual. Hasil pemeriksaan cacing pada hati sapi dapat di lihat pada tabel berikut ini. Tabel 4.8. Hasil Pemeriksaan Cacing Hati (Fasciola Hepatica) Pada Hati Sapi di

Mabar Medan Tahun 2013

No Kode

Sampel Spesies Hasil Keterangan

1 A Fasciola hepatica Tidak ada Memenuhi syarat

2 B Fasciola hepatica Tidak ada Memenuhi syarat

3 C Fasciola hepatica Tidak ada Memenuhi syarat

4 D Fasciola hepatica Tidak ada Memenuhi syarat

5 E Fasciola hepatica Tidak ada Memenuhi syarat

6 F Fasciola hepatica Tidak ada Memenuhi syarat

7 G Fasciola hepatica Tidak ada Memenuhi syarat

8 H Fasciola hepatica Tidak ada Memenuhi syarat

9 I Fasciola hepatica Tidak ada Memenuhi syarat

10 J Fasciola hepatica Tidak ada Memenuhi syarat

11 K Fasciola hepatica Tidak ada Memenuhi syarat


(61)

Berdasarkan tabel 4.8 di atas dapat diketahui dari 12 sampel hati sapi masing-masing tidak terdapat cacing hati. Berdasarkan Permenkes nomor 424 tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Cacingan bahwa semua sampel masih memenuhi syarat kesehatan yaitu tidak ada di temukan cacing hati. 4.1.4. Hasil Pemeriksaan Telur Cacing Hati Pada Feses Sapi

Hasil pemeriksaan dan perhitungan telur cacing adalah 0 (nol). Pemeriksaan telur cacing hati pada feses sapi dengan menggunakan 12 sampel feses sapi yang di bawa ke laboratorium Balai Tehnik Kesehatan Lingkungan Medan. Metode pemeriksaan yang dilakukan dengan cara metode apung. Hasil pemeriksaan telur pada feses sapi dapat di lihat pada tabel berikut ini. Tabel 5.0. Hasil Pemeriksaan Telur Cacing Hati (Fasciola Hepatica) Pada Feses

Sapi di Mabar Medan Tahun 2013

No Kode

sampel Spesies Hasil Keterangan

1 A Feses sapi Negatif Memenuhi syarat

2 B Feses sapi Negatif Memenuhi syarat

3 C Feses sapi Negatif Memenuhi syarat

4 D Feses sapi Negatif Memenuhi syarat

5 E Feses sapi Negatif Memenuhi syarat

6 F Feses sapi Negatif Memenuhi syarat

7 G Feses sapi Negatif Memenuhi syarat

8 H Feses sapi Negatif Memenuhi syarat

9 I Feses sapi Negatif Memenuhi syarat

10 J Feses sapi Negatif Memenuhi syarat

11 K Feses sapi Negatif Memenuhi syarat

12 L Feses sapi Negatif Memenuhi syarat

Berdasarkan tabel 5.0 di atas dapat di ketahui dari 12 sampel feses sapi masing-masing tidak terdapat telur fasciola hepatica. Berdasarkan permenkes nomor 424


(62)

permenkes tahun 2006 tentang pedoman pengendalian cacingan bahwa semua sampel memenuhi syarat kesehatan yaitu tidak ditemukan telur fasciola hepatica.


(63)

BAB V PEMBAHASAN 5.1. Karakteristik Pengelola Peternakan Sapi 5.1.1. Umur

Berdasarkan hasil yang di dapat dari 12 pengelola peternakan sapi di Mabar Medan diperoleh bahwa umur paling muda adalah 35 tahun dan umur yang paling tua adalah 50 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa responden masih berada dalam kategori umur produktif (20 sampai 45 tahun). Berdasarkan wawancara yang peneliti lakukan terhadap semua pengelola petern/akan, umur tidak mempengaruhi pengelola peternakan dalam memelihara ternak.

Menurut penelitian Purba (2011) bahwa umur peternak sapi potong di Kabupaten Serdang Bedagai menyebar antara 24 sampai 52 tahun dimana masih berada dalam kategori umur produktif (20 sampai 45 tahun), sehingga potensi untuk bekerja dan mengelola usaha ternaknya masih besar. Dimana para peternak sudah mengerti cara pemeliharaan sapi berdasarkan pengetahuan dan pengalaman meraka cara mengelolah terdak sapi dengan memberi pakan yang lebih baik dan menjaga hygine sanitasi kandang agar tidak terinfeksi cacing hati.

5.1.2. Tingkat Pendidikan

Berdasarkan hasil yang didapat, dari 12 pengelola peternakan sapi di Mabar Medan diperoleh bahwa tingkat pendidikan yang paling banyak adalah SMP. Pada umumnya pengelola peternakan hanya menggunakan pengalaman dan pengetahuan umum dari teman-temannya dalam mengelola peternakan. Banyak pengelola yang sudah putus sekolah dan bekerja sebagai pengelola peternakan sendiri. Pengelola


(64)

peternakan yang tamatan SMP namun karena lama bekerja dapat jauh lebih baik dalam hal mencari pakan ternak dikarenakan sudah memiliki banyak alternatif tempat pengambilan pakan atau memilki banyak kenalan petani padi dan palawija. Tingkat pendidikan tidak mempengaruhi pengelola peternakan dalam memelihara ternak.

Menurut penelitian Purba (2011) bahwa tingkat pendidikan peternak sapi potong di Kabupaten Serdang Bedagai rata-rata hanya tamat SMP (golongan menengah), sehingga usaha ternak sapi potong tersebut tidak begitu berjalan dengan baik karena tingkat pendidikan yang rendah.

5.1.3. Lama Bekerja

Berdasarkan hasil wawancara yang peneliti lakukan maka diperoleh lama bekerja pengelola peternakan sapi yang paling lama adalah 12 tahun dan yang paling sebentar lama bekerjanya adalah 5 tahun. Pada umumnya mengelola peternakan sapi butuh waktu yang lama dan kesabaran untuk mendapatkan hasil. Pengelola peternakan yang memiliki pengalaman lebih lama akan lebih mudah mendapatkan pakan ternak karena sudah mengenal banyak rekan yang biasa mendistribusikan pakan sapi. Pakan sapi yang selalu tersedia dan terjamin sumbernya akan lebih aman untuk perkembangan ternak sapi.

5.1.4. Pengetahuan Responden

Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 4.5. diketahui bahwa sebagian besar pengetahuan responden termasuk dalam kategori baik yaitu sebanyak 9 orang (75%). Hal ini dapat dilihat pada tabel 4.4. dimana sesuai dengan pertanyaan yang diajukan pada responden berdasarkan aspek pengetahuan dalam mengelola peternakan sapi di Mabar Medan bahwa responden mengetahui semua pertanyaan tentang umur sapi


(65)

yang harus dijual yaitu 8 orang (66,7%), kandang yang memenuhi syarat yaitu 7 orang (58,3%), jenis nutrisi yang di gunakan pada ternak sapi yaitu 7 orang (58,3%), jenis pakan yang diberikan pada sapi yaitu 7 orang (58,3%), asal paka sapi yaitu 6 orang yaitu (50,0%), penyakit yang sering menyerang sapi yaitu 8 orang (66,7%), cara pemeliharaan sapi yaitu 8 orang (66,7%), dan pengobatan yang diberikan jika sapi terserang penyakit atau kembung yaitu 9 orang (75,0%).

Pada sapi yang sakit dan dalam masa pengobatan tidak akan di potong untuk menghindari penularan penyakit kepada manusia. Kesehatan sapi harus tetap di jaga. Menurut Saleh (2004) penyakit yang bisa ditulari sapi kepada manusia salah satunya adalah parasit.

5.2. Lokasi Peternakan Sapi

Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 4.7. diketahui bahwa sebagian besar lokasi peternakan sapi termasuk dalam kategori memenuhi syarat yaitu sebanyak 8 orang (66,7%). Hal ini dapat dilihat pada tabel 4.6. dimana sesuai dengan pertanyaan yang diajukan pada responden berdasarkan lokasi peternakan sapi di Mabar Medan bahwa lokasi memenuhi syarat dengan kriteria lahan pengembalaan sapi tidak becek yaitu 9 kandang (75%), lahan pengembalaan sapi yang tidak sama secara terus menerus yaitu 7 kandang (58,3%), lahan penegembalaan sapi tidak tercemari pupuk yaitu 10 (83,3%), membersihkan kanqdang sapi setiap hari 8 kandang (66,7%), dan disekitar peternakan tidak ada pembuangan sampah yaitu 9 kandang (75%).

Kondisi lingkungan menjadi salah satu indikator yang dapat mempengaruhi cemaran cacing. Lingkungan yang kotor dan becek dapat menjadi perkembang biakan cacing. Secara umum lokasi peternakan sapi di semua peternakan masih memenuhi


(66)

syarat. Keadaan kandang sapi bersih dan tidak becek, maka akan jauh terhindar dari cemaran cacing. Menurut Dwidjoseputro (2005), salah satu sumber kontaminasi parasit adalah karna kandang sapi yang kotor, becek tidak terjaga kebersihan kandang sapi tersebut. Sedangkan menurut Saeni (1995) cemaran cacing dapat terjadi apabila pakan peternak basah yang kemungkinan akan adanya cacing yang berkembang biak. 5.3. Temuan Cacing Hati (fasciola hepatica) pada Hati Sapi

Berdasarkan Menkes Tahun 2006 tentang maksimum cemaran cacing dalam pangan adalah 0, jika dalam hati sapi terdapat cacing hati maka tidak memenuhi syarat. Pemeriksaan pada hati dan fases sapi di dasarkan 12 sampel hati dan feses sapi yang di peroleh dari peternakan sapi potong. Peneliti mengambil sampel dari RPH ( rumah potong hewan) dan mengikuti dari mana sampel berasal.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti di BTKL&PPM Medan, dari 12 sampel yaitu hati sapi yang diperoleh dari 12 peternakan tidak terdapat cacing

fasciola hepatica di Mabar Medan. Karena adanya pemeriksaan rutin dari dokter

hewan dimana para ternak diperiksa dan diberi pengobatan sehingga ternak tidak terinfeksi cacing hati fasciola hepatica.


(67)

5.4. Temuan Feses Sapi

Pemeriksaan telur cacing dalam feses sapi telah dilakukan menggunakan metoda uji apung, dimana uji ini digunakan untuk uji kuantitatif dengan menggunakan alat hitung Universal (Saleh, 2004).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti di BTKL&PPM Medan dari 12 sampel yang di peroleh dari 12 peternak tidak terdapat telur cacing fasciola hepatica di Mabar Medan.

Menurut Hadidjadja. (2006), peranan feses dalam penyebaran penyakit cacing sangat besar karena dapat langsung mengkontaminasi pakan, air dan tanah. Perilaku hewan itu sendiri dapat mempengaruhi terjadinya infeksi cacing.


(68)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN 6.1.Kesimpulan

Beradasarkan hasil observasi dan wawancara pada pengelola peternakan sapi dan pemeriksaan cacing hati (fasciola hepatica) pada hati dan feses sapi yang di ambil dari peternakan di Mabar Medan, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Karakteristik pengelola peternakan sapi berdasarkan umur antara 35-40 tahun

sebesar (50%), tingkat pendidikan terakhir tamatan SMP sebesar (41%) dan lama bekerja selama 5-8 tahun adalah sebesar (41%), pengetahuan responden dalam kategori baik yaitu 9 orang (75%), dan lokasi peternakan sapi memenuhi syarat yaitu 8 kandang (66,7%).

2. Kondisi hati sapi yang di jadikan sampel sebanyak 12 hati sapi di rumah potong hewan di Mabar Medan telah memenuhi syarat.

3. Kondisi feses sapi yang di jadikan sampel sebanyak 12 feses sapi di rumah potong hewan di Mabar Medan telah memenuhi syarat.

6.2.Saran

1. Kepada Dinas Peternakan Kota Medan diharapkan melakukan penyuluhan kepada pemilik peternakan sapi untuk meningkatkan pengetahuan tentang pemeliharaan sapi yang baik.

2. Diharapkan kepada masyarakat agar lebih hati-hati dalam memilih hati sapi untuk di konsumsi.

3. Kepada pengelola peternakan sapi diharapkan untuk memberikan pakan ternak yang segar dan tidak basah agar tidak terkontaminasi oleh cacing.


(1)

Lampiran 3

Gambar lampiran 1. Kandang Sapi Potong di peternakan Mabar Medan


(2)

Gambar lampiran 3. Wawancara Dengan Pemilik Peternakan Sapi di Tanjung Selamat Medan.


(3)

Gambar lampiran 5. Dua Belas Sampel Feses Sapi Potong yang Berasal Dari Rumah Potong Hewan Mabar Medan.

Gambar Lampiran 6. Pembuatan Larutan NaCl dan Garam Jenuh di Laboratorium BTKL&PPM Medan


(4)

Gambar Lampiran 7. Pemeriksaan Telur Cacing Fasciola hepatica Pada Feses Sapi di Laboratorium BTKL&PPM Medan.


(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Prevalensi Kasus Infeksi Trematoda Di Jaringan Hati Sapi Pada Rumah Potong Hewan Di Medan Mabar Taun 2012

1 51 48

Jenis dan Perbandingan Tingkat Infeksi Cacing Parasit pada Feses Sapi di Rumah Potong Hewan (RPH) Siantar dengan Feses Sapi di Rumah Potong Hewan Medan

0 44 53

Survey Fasciola Hepatica Pada Hati Sapi (Studi Kasus di Rumah Pemotongan Hewan) Kota Semarang Tahun 2007 - UDiNus Repository

0 0 2

Jenis dan Perbandingan Tingkat Infeksi Cacing Parasit pada Feses Sapi di Rumah Potong Hewan (RPH) Siantar dengan Feses Sapi di Rumah Potong Hewan Medan

0 0 14

Jenis dan Perbandingan Tingkat Infeksi Cacing Parasit pada Feses Sapi di Rumah Potong Hewan (RPH) Siantar dengan Feses Sapi di Rumah Potong Hewan Medan

0 0 2

Jenis dan Perbandingan Tingkat Infeksi Cacing Parasit pada Feses Sapi di Rumah Potong Hewan (RPH) Siantar dengan Feses Sapi di Rumah Potong Hewan Medan

0 0 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pentingnya Makanan Bagi Kesehatan - Analisis Cacing Hati (Fasciola Hepatica) Pada Hati Dan Feses Sapi Yang Di Ambil Dari Rumah Potong Hewan Di Mabar Medan Tahun 2013

0 0 23

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Analisis Cacing Hati (Fasciola Hepatica) Pada Hati Dan Feses Sapi Yang Di Ambil Dari Rumah Potong Hewan Di Mabar Medan Tahun 2013

0 0 8

Analisis Cacing Hati (Fasciola Hepatica) Pada Hati Dan Feses Sapi Yang Di Ambil Dari Rumah Potong Hewan Di Mabar Medan Tahun 2013

1 1 15

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Trematoda Hati 2.1.1 Fasciola hepatica a. Morfologi dan Daur Hidup - Prevalensi Kasus Infeksi Trematoda Di Jaringan Hati Sapi Pada Rumah Potong Hewan Di Medan Mabar Taun 2012

0 0 13