commit to user
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara  Republik  Indonesia  adalah  negara  hukum  berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi Hak Asasi
Manusia serta  yang  menjamin segala hak warga  yang sama  kedudukannya di dalam  hukum  dan  pemerintahan  dengan  tidak  ada  kecualinya.  Hal  ini
dipertegas dalam Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: “Kedaulatan  berada  di  tangan  rakyat  dan  dilaksanakan  menutut  Undang-
Undang  Dasar”.  Oleh  karena  itu,  peranan  setiap  warga  negara  sangat berpengaruh dan diperlukan dalam penegakan hukum.
Indonesia sebagai negara hukum seyogyanya harus berperan di segala bidang  kehidupan,  baik  dalam  kehidupan  bangsa  dan  negara  Republik
Indonesia maupun dalam kehidupan warga negaranya. Hal ini bertujuan untuk menciptakan  adanya  keamanan,  ketertiban,  keadilan  dan  kesejahteraan  dalam
kehidupan  bermasyarakat,  berbangsa,  dan  bernegara  serta  menghendaki  agar hukum  ditegakkan  artinya  hukum  harus  dihormati  dan  ditaati  oleh  siapapun
tanpa terkecuali baik oleh seluruh warga masyarakat, penegak hukum maupun oleh penguasa negara, segala tindakannya harus dilandasi oleh hukum.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau yang biasa disingkat dengan  istilah  “KUHAP”  merupakan  dasar  tata  cara  peradilan  pidana  yang
sudah  diberlakukan  di  Indonesia  sejak  tahun  1981  hingga  saat  ini.  KUHAP telah meletakkan dasar humanisme dan merupakan suatu era baru dalam dunia
peradilan di Indonesia. Dalam undang-undang ini tampaknya tujuan mencapai ketertiban  dan  kepastian  hukum  tidak  lagi  menjadi  tujuan  utama,  melainkan
yang  diutamakan  dan  merupakan  masalah  besar  adalah  bagaimana  mencapai tujuan  tersebut  sedemikian  rupa  sehingga  perkosaan  terhadap  harkat  dan
martabat  manusia  sejauh  mungkin  dapat  dihindarkan  Romli  Atmasasmita, 1996: 28.
1
commit to user 2
Salah  satu  upaya  untuk  menjamin  perlindungan  terhadap  hak  asasi seseorang  tersangka  atau  terdakwa  dalam  proses  peradilan  pidana  adalah
melalui  lembaga  praperadilan  yang  diatur  dalam  KUHAP.  Praperadilan merupakan  lembaga  baru  yang  sebelumya  tidak  diatur  dalam
Herziene Inlandsch  Reglement
HIR,  lahirnya  dari  pemikiran  untuk  mengadakan tindakan  pengawasan  terhadap  aparat  penegak  hukum,  agar  dalam
melaksanakan  kewenangannya  tidak  melakukan  penyelewengan  atau penyalahgunaan wewenang. Untuk itu selain adanya pengawasan yang bersifat
internal  dalam  perangkat  aparat  itu  sendiri
vertical
,  juga  dibutuhkan  suatu pengawasan
silang antara
sesama penegak
hukum
horizontal
www.pemantauperadilan.com. Praperadilan  dilakukan  dengan  maksud  dan  tujuan  yakni  tegaknya
hukum  dan  perlindungan  hak  asasi  tersangka  dalam  tingkat  pemeriksaan, penyidikan dan penuntutan. Oleh karena itu, demi terlaksananya pemeriksaan
tindak  pidana,  undang-undang  memberi  kewenangan  kepada  penyidik  dan penuntut  umum  untuk  melakukan  upaya  paksa  berupa  penangkapan,
penahanan, penyitaan, dan sebagainya. Tindakan upaya paksa yang dilakukan tersebut  bertentangan  dengan  hukum  dan  undang-undang
illegal
karena merupakan perkosaan terhadap hak asasi tersangka Yahya Harahap, 2002: 3.
Untuk  itu  perlu  diadakan  suatu  lembaga  yang  diberi  wewenang  untuk menentukan  sah  atau  tidaknya  tindakan  paksa  yang  dikenakan  kepada
tersangka.  Menguji  dan  menilai  sah  atau  tidaknya  tindakan  paksa  yang dilakukan  penyidik  atau  penuntut  umum  yang  dilimpahkan  kewenangannya
kepada Praperadilan Yahya Harahap, 2000: 4. Fungsi  lembaga  praperadilan  adalah  untuk  melaksanakan  wewenang
Pengadilan  Negeri  dalam  hal  memeriksa  dan  memutus  tentang  sah  atau tidaknya  suatu  tindakan  penangkapan,  penahanan,  penghentian  penyidikan
atau  penghentian  penuntutan,  permintaan  ganti  kerugian  dan  atau  rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau
penuntutan dan atau tidak diajukan ke pengadilan sesuai dengan Pasal 1 butir 10   Jo   Pasal  77  KUHAP.  Namun  jika  dilihat  dari  kewenangan  praperadilan
commit to user 3
melalui  putusannya  maka  materi  praperadilan  selain  yang  disebutkan  di  atas juga dapat memutuskan apakah benda yang disita masuk atau tidak masuk alat
bukti.  Dalam  menentukan  sah  atau  tidaknya  penangkapan  atau  penahanan, pertama  sekali  harus  dilihat  atau  dipertanyakan,  apakah  penahanan  itu
dilakukan  oleh  pejabat  yang  berwenang  untuk  itu,  selanjutnya  apakah dilakukan sesuai dengan syarat matriil serta harus dilakukan menurut cara atau
prosedur yang ditentukan dalam KUHAP. Apabila ditemukan suatu penangkapan dan atau penahanan yang tidak
sesuai dengan KUHAP, maka atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak  lain  atas  kuasa  tersangka,  dapat  menuntut  ganti  kerugian  atau
rehabilitasi.  Sebab  pada  dasarnya  ganti  kerugian  adalah  hak  seorang  untuk mendapat  pemenuhan  atas  tuntutannya  yang  berupa  imbalan  sejumlah  uang
karena  ditangkap,  ditahan,  dituntut  ataupun  diadili  tanpa  alasan  yang berdasarkan  undang-undang  atau  karena  kekeliruan  mengenai  orangnya  atau
hukum  yang  diterapkan  menurut  cara  yang  diatur  dalam  KUHAP.  Demikian juga dengan rehabilitasi yang juga merupakan hak seseorang untuk mendapat
pemulihan hanya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang  diberikan  pada  tingkat  penyidikan,  penuntutan  atau  peradilan  karena
ditangkap,  ditahan,  dituntut  ataupun  diadili  tanpa  alasan  yang  berdasarkan undang-undang  atau  karena  kekeliruan  mengenai  orangnya  atau  hukum  yang
diterapkan menurut cara yang diatur dalam KUHAP. Pasal  38  ayat  1  KUHAP  menegaskan  “Bahwa  penyidik  dapat
melakukan penyitaan dengan surat izin Ketua Pengadilan Negeri setempat dan pada  ayat  2  diterangkan  bahwa  dalam  keadaan  yang  sangat  perlu  dan
mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan  surat  izin  terlebih  dahulu,  tanpa  mengurangi  ketentuan  dalam
ayat  1  penyidik  dapat  melakukan  penyitaan  hanya  atas  benda  bergerak  dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat
guna  memperoleh  persetujuannya”.  Kewenangan  penyitaan  yang  dilakukan tersebut  untuk  kepentingan  pembuktian  dalam  penyidikan,  penuntutan  dan
commit to user 4
peradilan. Tetapi tentu saja pelaksanaan kewenangan penyitaan tersebut harus sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Pasal  82  ayat  3  huruf  d  KUHAP  dengan  jelas  tersurat  bahwa permasalahan  penyitaan  termasuk  yurisdiksi  praperadilan,  yaitu  “Dalam  hal
putusan  menetapkan  bahwa  benda  yang  disita  ada  yang  tidak  termasuk  alat pembuktian  maka  dalam  putusan  dicantumkan  bahwa  benda  tersebut  harus
segera dikembalikan kepada tersangka atau dari siapa benda itu disita”. Alasan lain  yang  mendukung  tindakan  penyitaan  termasuk  yurisdiksi  praperadilan
berkenaan  dengan  penyitaan  yang  dilakukan  terhadap  barang  milik  pihak ketiga,  dan  barang  itu  tidak  termasuk  sebagai  alat  atau  barang  bukti.  Dalam
kasus  yang  seperti  ini,  pemilik  barang  harus  diberi  hak  untuk  mengajukan ketidakabsahan penyitaan kepada praperadilan Yahya Harahap, 2002: 8.
Putusan  yang  diambil  oleh  hakim  praperadilan  harus  sesuai  dengan ketentuan  undang-undang  yang  berlaku  dan  harus  mewujudkan  keadilan.
Putusan  praperadilan  ini  bersifat  deklarator  yaitu  putusan  yang  berisi peryataan  yang  menyatakan  sah  atau  tidaknya  upaya  paksa  yang  dilakukan
oleh penyidik atau penuntut umum. Banyaknya  permohonan  pemeriksaan  perkara  melalui  praperadilan
karena  untuk  mewujudkan  keadilan  sebelum  perkara  ini  dilanjutkan  ke pengadilan  negeri.  Dalam  hal  permohonan  praperadilan  tentang  penghentian
penyidikan,  maka  hakim  praperadilan  memeriksa  dan  memutus  berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. Putusan tidak sahnya penghentian penyidikan
dapat dilakukan upaya hukum banding oleh para pihak sesuai dengan Pasal 83 ayat 2 KUHAP.
Sampai  sekarang  ini  masih  banyak  perbedaan  pendapat  tentang  dapat atau tidaknya putusan praperadilan dimintakan kasasi padahal dalam Undang-
undang No. 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, praperadilan merupakan perkara  yang  dibatasi  untuk  pengajuan  kasasinya,  tetapi  dalam  praktek
penegakan  hukum  di  Indonesia  banyak  perkara  praperadilan  yang  sudah diputuskan oleh pengadilan diajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung
oleh  pihak  berkepentingan  dalam  praperadilan  tersebut  yang  merasa  belum
commit to user 5
memperoleh  rasa  keadilan  dan  berpendapat  bahwa  pengajuan  kasasi  dapat dilakukan.  Sedangkan  tujuan  diajukannya  kasasi  tersebut  adalah  untuk
menciptakan  kesatuan  penerapan  hukum  dengan  jalan  membatalkan  putusan yang  bertentangan  dengan  undang-undang  atau  keliru  dalam  menerapkan
hukum Andi Hamzah, 2008: 298. Dengan  berdasarkan  uraian  diatas  penulis  berpendapat  bahwa  hal-hal
tersebut  diatas  merupakan  latar  belakang  permasalahan  yang  penulis  akan kemukakan.  Oleh  karena  itu  penulis  menuangkan  sebuah  penulisan  yang
berbentuk  penulisan  hukum  dengan  judul  :  “ANALISIS  PENGAJUAN KASASI  TERHADAP  PUTUSAN  PENGADILAN  NEGERI  JAKARTA
UTARA DALAM
PERKARA PRAPERADILAN
TENTANG KEABSAHAN
TINDAKAN PENYITAAN
OLEH PENYIDIK
PEGAWAI  NEGERI  SIPIL  DINAS  PERTANIAN  DAN  KEHUTANAN DKI
STUDI PUTUSAN
MAHKAMAH AGUNG
NO. 1762
KPID2005”.
B. Perumusan Masalah