KAJIAN ATAS NALAR HUKUM PENUNTUT UMUM SEBAGAI DASAR PENGAJUAN KASASI TERHADAP PUTUSAN BEBAS YANG DIJATUHKAN OLEH PENGADILAN NEGERI SANGGAU DALAM PERKARA PERDAGANGAN ORANG

(1)

commit to user

i

KAJIAN ATAS NALAR HUKUM PENUNTUT UMUM SEBAGAI DASAR PENGAJUAN KASASI TERHADAP PUTUSAN BEBAS YANG

DIJATUHKAN OLEH PENGADILAN NEGERI SANGGAU DALAM PERKARA PERDAGANGAN ORANG (STUDI KASUS DALAM MA NO. 795 K/PID.SUS/2008,

TANGGAL 7 JANUARI 2009)

Penulisan Hukum (Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk

Melengkapi Sebagai Persyaratan Guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Surakarta

Oleh

DIAH TRIANI ANDARI NIM E1107140

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011


(2)

commit to user

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Penulisan Hukum (Skripsi)

KAJIAN ATAS NALAR HUKUM PENUNTUT UMUM SEBAGAI DASAR PENGAJUAN KASASI TERHADAP PUTUSAN BEBAS YANG

DIJATUHKAN OLEH PENGADILAN NEGERI SANGGAU DALAM PERKARA PERDAGANGAN ORANG (STUDI KASUS DALAM MA NO. 795 K/PID.SUS/2008,

TANGGAL 7 JANUARI 2009)

Oleh

DIAH TRIANI ANDARI NIM E1107140

Disetujui untuk dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Surakarta, 22 Maret 2011 Dosen Pembimbing,

Pembimbing I

Bambang Santoso, S.H., M.Hum NIP. 1962 0209 198903 1 001

Pembimbing II

Muhammad Rustamaji, S.H., M.H. NIP. 1982 1008 200501 1 001


(3)

commit to user

iii

PENGESAHAN Penulisan Hukum (Skripsi)

KAJIAN ATAS NALAR HUKUM PENUNTUT UMUM SEBAGAI DASAR PENGAJUAN KASASI TERHADAP PUTUSAN BEBAS YANG

DIJATUHKAN OLEH PENGADILAN NEGERI SANGGAU DALAM PERKARA PERDAGANGAN ORANG (STUDI KASUS DALAM MA NO. 795 K/PID.SUS/2008,

TANGGAL 7 JANUARI 2009)

Oleh

DIAH TRIANI ANDARI NIM E1107140

Telah diterima dan dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada :

Hari : Selasa

Tanggal : 12 April 2011

DEWAN PENGUJI

(1) Kristiyadi, S.H., M.Hum : ……… Ketua

(2) Muhammad Rustamaji, S.H., M.H. : ………. Sekretaris

(3) Bambang Santoso, S.H., M.Hum : ……….. Anggota

Mengetahui Dekan

Mohammad Jamin, S.H.,M.Hum NIP. 1961 0930 198601 1 001


(4)

commit to user

iv

PERNYATAAN

Nama : Diah Triani Andari NIM : E1107140

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul : KAJIAN ATAS NALAR HUKUM PENUNTUT UMUM SEBAGAI DASAR PENGAJUAN KASASI TERHADAP PUTUSAN BEBAS YANG DIJATUHKAN OLEH PENGADILAN NEGERI SANGGAU DALAM PERKARA PERDAGANGAN ORANG (STUDI KASUS DALAM MA NO. 795 K/PID.SUS/2008, TANGGAL 7 JANUARI 2009) adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.

Surakarta, 22 Maret 2011 Yang membuat pernyataan

Diah Triani Andari NIM. E1107140


(5)

commit to user

v MOTTO

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu kaum kecuali mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”

~Q.S. Ar-Ra’d: 11~

“The road to success is not to be run upon by seven-leagued boots… Step by step, little by little, bit by bit

that is the way to wealth, that is the way to wisdom, that is the way to glory.” ~Sir Thomas Fowell Buxton~

“Orang yang berhasil akan mengambil manfaat dari kesalahan-kesalahan yang ia lakukan, dan akan mencoba kembali untuk melakukan dalam suatu

cara yang berbeda” ~Dale Carnegie~

“Waktu terbaik untuk berbahagia adalah sekarang… Tempat terbaik untuk berbahagia adalah di sini….

Dan cara terbaik untuk berbahagia adalah membahagiakan orang lain” ~Mario teguh~

“When life give you a hundred reasons to cry,

show that life that you have a thousand reasons to smile J


(6)

commit to user

vi

PERSEMBAHAN

Sebuah karya yang sederhana ini penulis persembahkan kepada:

Dzat yang Maha Agung,

SWT, penguasa alam semesta &

pemilik hidupku

Ayahku Slamet Sugiarto & Ibuku Healty Andari S.Pd

atas cinta yang tak pernah padam, atas kepercayaan & harapan yang kalian

ciptakan untuk ku… kasih sayang dan juga pengorbanan yang telah diberikan

sampai saat ini…

Kakak-kakak dan Keponakan-keponakanku tercinta yang telah meramaikan

hariku dan menyayangi dengan segenap hati:

Mas As’Nain Ika Hadmawan, S.E & Mbak Rulyanthi Diah Krisanti, S.S

serta Dik Khansa Anindya Runansya

Mas Son Rokhaniawan Perdata, S.T & Mbak Diah Dwi Andari, S.Pd

serta Dik Kaylynn Syafrina Putri Sondi

My soulmate someday, someone, somewhere, somehow…

J

♥ Untuk Keluarga Besar Soerjadi…

Nenek ku tercinta, Om-om dan Tante-tante, serta Sepupu-sepupu tersayang…

Dik Wulan, Dik Riris, Dik Henny, Dik Lia,


(7)

commit to user

vii

Sahabat-sahabatku, seberapa lamapun aku hidup takkan pernah ada masa

yang membosankan bersama kalian,

kenangan-kenangan bersama yang tak mungkin terlupakan

Rosy, Neri, Bellinda, & Kiki

Semoga kita dapat menjadi saudara selamanya

"Persahabatan bagaikan music,

Alunan nadanya bisa berhenti sekarang dan kemudian,

akan tetapi rangkaian nada yang telah tercipta tetap teruntai selamanya"

♥Keluarga Besar “Griya Dicma” disinilah k

ita bersama menjadi suatu

keluarga,,,

Mbak Jojo, Mbak Uwie, Mbak Yola, Mbak Ida, Nindy, Hima, Mbak Lirih,

Mbak Fafa, Mbak Rani, Mbak Fetri, Mbak Dian, Uci, Nina, Ester, Wilis,

Mbak Nita, Mbak Dewi, Mbak Maya…

serta Mas Kris dan Mbak Kris

Semoga kita dapat menjadi saudara selamanya… begitu menyenangkan bisa

mengenal kalian kakak-kakak dan adik-adik ku.

♥ Te

man-teman ku seperjuangan angkatan 2007 Fakultas Hukum UNS yang

tak bisa aku sebutkan satu persatu, semoga kita semua menjadi orang yang

sukses dan selalu menjaga tali persaudaraan kita..

Buktikan kepada dunia kita mampu menjadi orang yang sukses dan berguna

bagi nusa dan bangsa.


(8)

commit to user

viii ABSTRAK

DIAH TRIANI ANDARI, E1107140. 2011. KAJIAN ATAS NALAR HUKUM PENUNTUT UMUM SEBAGAI DASAR PENGAJUAN KASASI TERHADAP PUTUSAN BEBAS YANG DIJATUHKAN OLEH

PENGADILAN NEGERI SANGGAU DALAM PERKARA

PERDAGANGAN ORANG (STUDI KASUS DALAM MA NO. 795 K/PID.SUS/2008, TANGGAL 7 JANUARI 2009). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret .

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara jelas mengenai pengajuan Kasasi oleh Penuntut Umum terhadap putusan bebas yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Sanggau dalam perkara perdagangan orang jika dianalisis berdasarkan ketetuan Pasal 244 KUHAP dan untuk mengetahui nalar hukum Penuntut Umum Sebagai dasar pengajuan kasasi terhadap putusan bebas oleh Pengadilan Negeri Sanggau dalam perkara perdagangan orang.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian hukum normatif. Ditinjau dari sifatnya maka penelitian ini bersifat penelitian preskriptif. Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kasus (case approach). Jenis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah dengan studi kepustakaan atau teknik dokumentasi, dengan menggunakan buku-buku, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen seperti berkas perkara, dan sebagainya. Teknik analisis bahan hukum dengan logika deduktif.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh hasil bahwa kasasi terhadap putusan bebas yang diajukan oleh Penuntut Umum terhadap putusan Pengadilan Negeri Sanggau dalam perkara perdagangan orang dengan Terdakwa TJHANG SE NGO alias ANGO memang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 244 KUHAP. Akan tetapi demi terwujudnya kepastian dan keadilan hukum kasasi atas putusan bebas dapat diajukan oleh penuntut umum dengan pertimbangan bahwa putusan tersebut merupakan putusan bebas tidak murni dan terdapat kesalahan/kekeliruan pengadilan dalam menerapkan hukum, terdapat kekeliruan/kesalahan atau kelalaian pengadilan dalam cara mengadili dan/atau adanya tindakan pengadilan yang telah melampaui batas wewenangnya tersebut. Dalam memori kasasi harus diuraikan dimana terdapat/terletak kesalahan/kekeliruan pengadilan dalam menerapkan hukum, bagaimana bentuk kekeliruan/kesalahan atau kelalaian pengadilan dalam cara mengadili dan bagaimana bentuk tindakan pengadilan yang telah melampaui batas wewenangnya tersebut. Sehingga dalam memori kasasi Jaksa Penuntut Umum harus membuktikan ketiga hal tersebut yaitu, a) apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya; b) apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang; c) apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.


(9)

commit to user

ix ABSTRACT

DIAH TRIANI ANDARI, E1107140. 2011. KAJIAN ATAS NALAR HUKUM PENUNTUT UMUM SEBAGAI DASAR PENGAJUAN KASASI TERHADAP PUTUSAN BEBAS YANG DIJATUHKAN OLEH

PENGADILAN NEGERI SANGGAU DALAM PERKARA

PERDAGANGAN ORANG (STUDI KASUS DALAM MA NO. 795 K/PID.SUS/2008, TANGGAL 7 JANUARI 2009). Faculty of Law Sebelas Maret University.

This research was aimed to know clearly about filing cassation by Public Prosecutors toward acquittals that was fell down by Sanggau District Court in human trafficking case when it was analyzed based on the provision of Article 244 Criminal Procedure Code, and to know legal reasoning the Public Prosecutors as the basic of filing cassation toward acquittals that was fell down by Sanggau District Court in human trafficking case.

This research used normative legal research. Based on the characteristic, this research was categorized as prescriptive research. This research also used case approach. A legal material that is used is primary legal materials, secondary legal materials, and tertiary legal materials. To collect the data, this research used literature study or documentation technique by using books, legislation, documentation, such as file cases, and others. Whereas to analyzed the legal materials used deductive logic.

The research finding got that the filing cassation by Public Prosecutors toward acquittals that was fell down by Sanggau district court in human trafficking case that was faced TJHANG SE NGO or ANGO as defendant was not suitable with the provision of Article 244 Criminal Procedure Code. However, in order to realize certainty and justice cassation of acquittals could be proposed by public prosecutors using consideration that the decision was an acquittals which are not pure and there is mistake/ error in applying the law court, there are mistakes/ errors or omissions court in how to adjudicate and/ or any court action that have exceeded the authority. In cassation have to be described where the location of mistakes/ errors court was in applying the law, and how the form of action court that have exceeded the limit its authority. So, in cassation, Prosecutors had to prove three things, such as, a) whether a legal rule is applied or not applied properly, b) whether it is correct that the way to adjudicate is not implemented suitable with the law, c) whether it is correct that the court have exceeded the limit of the authority.


(10)

commit to user

x

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut Asma Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang serta diiringi rasa syukur Alhamdullilah penulis panjatkan, penulisan hukum (Skripsi) yang berjudul ” KAJIAN ATAS NALAR HUKUM PENUNTUT UMUM SEBAGAI DASAR PENGAJUAN KASASI TERHADAP PUTUSAN BEBAS YANG DIJATUHKAN OLEH PENGADILAN NEGERI SANGGAU DALAM PERKARA PERDAGANGAN ORANG (STUDI KASUS DALAM MA NO. 795 K/PID.SUS/2008, TANGGAL 7 JANUARI 2009)” dapat penulis selesaikan.

Penulisan hukum ini membahas mengenai mengenai pengajuan Kasasi oleh Penuntut Umum terhadap putusan bebas yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Sanggau dalam perkara perdaganagn orang jika dianalisis berdasarkan ketetuan Pasal 244 KUHAP serta nalar hukum Penuntut Umum Sebagai dasar pengajuan kasasi terhadap putusan bebas oleh Pengadilan Negari Sanggau dalam perkara perdagangan orang.

Pada saat ini belum banyak penelitian yang mengangkat mengenai kasasi terhadap putusan bebas. Dalam pelaksanaanya banyak terjadi pro dan kontra atas kasasi atas putusan bebas yang diajukan oleh Penuntut Umum yang dianggap menerobos ketentuan Pasal 244 KUHAP. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan hukum ini, maka saran serta kritik dari semua pihak sangat penulis harapkan untuk memperkaya karya tulis ini.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, saran, dan dorongan bagi penulis dalam menyelesaikan penulisan hukum ini. Ucapan terima kasih ini penulis sampaikan terutama kepada :

1. Bapak Mohammad Jamin, S.H, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum UNS yang telah memberi izin dan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan hukum ini.


(11)

commit to user

xi

2. Bapak Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin dalam penyusunan penulisan hukum ini.

3. Bapak Edy Herdyanto, S.H.,M.H, selaku Ketua Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin dalam penyusunan penulisan hukum ini.

4. Bapak Bambang Santoso, S.H., M.Hum, selaku pembimbing I penulisan skripsi yang telah menyediakan waktu dan pikirannya untuk memberikan bimbingan dan arahan atas tersusunnya skripsi ini.

5. Bapak Muhammad Rustamaji, S.H., M.H. selaku pembimbing II penulisan skripsi yang telah menyediakan waktu dan pikirannya untuk memberikan bimbingan dan arahan atas tersusunnya skripsi ini.

6. Alm. Bapak Gusdan Hanung, S.E., S.H., M.Hum, selaku Pembimbing Akademik penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan nasehat kepada penulis.

7. Bapak Harjono, S.H, M.H selaku Ketua Program Non Reguler yang banyak mengarahkan dan memberi nasehat selama masa perkuliah.

8. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan ilmu pengetahuan umumnya dan ilmu hukum khususnya kepada penulis sehingga dapat dijadikan dasar dalam penulisan skripsi ini dan semoga dapat penulis amalkan.

9. PPH Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang berkenan memberikan kesempatan bagi penulis untuk melakukan penelitian serta menyelesaikan penulisan hukum ini.

10. Seluruh staff tata usaha dan karyawan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang ada di bagian transit, perpustakaan, pendidikan, pengajaran dan bagian-bagian yang lain, terima kasih atas bantuannya.

11. Ayahku Slamet Sugiarto & Ibuku Healty Andari, S.Pd terimakasih atas cinta yang tak pernah padam, pengertian, fasilitas, dukungan dan


(12)

commit to user

xii

kepercayaan atas segala jalan yang saya pilih dan keputusan yang saya buat, hanya dengan Ridho kalian saya dapat berada di sini hingga saat ini, harapan yang kalian ciptakan untukku. Kasih sayang dan juga pengorbanan yang telah diberikan sampai saat ini.

12. Kakak-kakak dan Keponakan-keponakanku tercinta yang telah meramaikan hari-hariku, Mas As’Nain Ika Hadmawan, S.E & Mbak Rulyanthi Diah Krisanti, S.S, serta Khansa Anindya Runansya. Mas Son Rokhaniawan Perdata, S.T. & Mbak Diah Dwi Andari, S.Pd, serta Kaylynn Syafrina Putri Sondi. My soulmate someday, someone, somewhere, somehow.

13. Untuk Keluarga Besar Soerjadi. Nenek ku tercinta, Om-om dan Tante-tante, serta Sepupu-sepupu tersayang. Dik Wulan, Dik Riris, Dik Heny. 14. Sahabat-sahabatku, seberapa lamapun aku hidup takkan pernah ada masa

yang membosankan bersama kalian, kenangan-kenangan bersama yang tak mungkin terlupakan. Rosy, Neri, Bellinda, & Kiki. Semoga kita dapat menjadi saudara selamanya. “Persahabatan bagaikan musik, Alunan nadanya bisa berhenti sekarang dan kemudian, akan tetapi rangkaian nada yang telah tercipta tetap teruntai selamanya.”

15. Keluarga Besar “Griya Dicma” disinilah kita bersama menjadi suatu keluarga, Mbak Jojo, Mbak Uwie, Mbak Yola, Mbak Ida, Nindy, Hima, Mbak Lirih, Mbak Fafa, Mbak Rani, Mbak Fetri, Mbak Dian, Uci, Nina, Ester, Wilis, Mbak Nita, Mbak Dewi, Mbak Maya serta Mas Kris dan Mbak Kris. Semoga kita dapat menjadi saudara selamanya. Begitu menyenangkan bisa mengenal kalian kakak-kakak dan adik-adikSku. 16. Teman-temanku seperjuangan di Fakultas Hukum UNS angkatan 2007

dan yang tak bisa aku sebutkan satu persatu, semoga kita semua menjadi orang yang sukses. Teman-teman magang di BPN Karanganyar, Arina, Tika, dan Windha. Serta teman-teman team Mootcourt Pidana, Mootcourt Perdata, dan Mootcourt TUN.

17. Teman-teman dan sahabat-sahabatku. Teman semasa SMA yang sampai saat ini sudah seperti keluarga, teman-teman X.3, XI.IA.5, XII.IA.5,


(13)

commit to user

xiii

Bunder, Mely, Rian, Niar, Nina, Angga, Imam, Ayub, Dinnul, dan teman-teman yang lain yang tak bisa ku sebutkan satu persatu.

18. Sahabat-sahabatku semasa SMA sampai sekarang Ningsih, Dita, Otong. Kawan-kawanku Andhis, Rico, Cendy terimakasih untuk semua, Ofan, Angga, Hutma makasih udah antar jemput aku berangkat dan kembali dari Magetan ke Solo, Eka, dan Radit. Kalian yang telah memberikan warna dalam hidupku dan menjadi kisah dalam hidupku. Mengajarkan ku banyak hal, membuatku mengerti banyak hal bersama kalian saudara ku. 19. Almamaterku, seluruh para penghuni Fakultas Hukum UNS yang

beragam, yang telah memberi bekal ilmu pengetahuan dan pengalaman yang indah dan membuatku sangat bersyukur bisa mengenal kalian semua.

20. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu tersusunnya skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini terdapat banyak kekurangan, untuk itu Penulis dengan besar hati menerima kritik dan saran yang membangun, sehingga dapat memperkaya penulisan hukum ini. Semoga karya tulis ini mampu memberikan manfaat bagi Penulis maupun para pembaca.

Surakarta, 22 Maret 2011


(14)

commit to user

xiv DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

PERNYATAAN... iv

HALAMAN MOTTO... v

HALAMAN PERSEMBAHAN... vi

ABSTRAK... viii

ABSTRACT... ix

KATA PENGANTAR... x

DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... xiv xvi DAFTAR LAMPIRAN... xvii

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Perumusan Masalah... 10

C. Tujuan Penelitian... 10

D. Manfaat Penelitian... 11

E. Metode Penelitian... 12

F. Sistimatika Skripsi... 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 18

A. Kerangka Teori…... 18

1. Tinjauan Tentang Putusan... a. Pengertian Putusan... b. Jenis-Jenis Putusan... 18 18 18 2. Tinjauan Tentang Upaya Hukum Kasasi... 26

a. Pengertian Upaya Hukum... 26

b. Upaya Hukum Kasasi... 26

3. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang... 36


(15)

commit to user

xv

b. Pengertian Perdagangan... 38

c. Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Orang... 39

4. Tinjauan Tentang Penuntut Umum... 46

a. Pengertian Penuntut Umum... 46

b. Wewenang Penuntut Umum... 47

B. Kerangka Pemikiran... 35

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 50

A. Hasil Penelitian... 50

B. Pembahasan... 1. Kesesuaian Pengajuan Kasasi oleh Penuntut Umum terhadap Putusan Bebas yang Dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Sanggau dalam Perkara Perdagangan Orang dengan Ketetuan Pasal 244 KUHAP... 2. Nalar Hukum Penuntut Umum sebagai Dasar Pengajuan Kasasi terhadap Putusan Bebas yang Diajukan oleh Pengadilan Sanggau dalam Perkara Perdagangan Orang... 59 59 72 BAB IV PENUTUP... 79

A. Simpulan... 79

B. Saran... 80

DAFTAR PUSTAKA... 82


(16)

commit to user

xvi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Kerangka Pemikiran


(17)

commit to user

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I Fotocopy Putusan Mahkamah Agung mengenai perkara Tindak Pidana Perdagangan Orang dengan Terdakwa TJHANG SE NGO alias ANGO Nomor 795 K/PID.SUS/2008, Tanggal 7 Januari 2009


(18)

commit to user

xviii BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perdagangan manusia atau yang dikenal dengan istilah human trafficking merupakan sebuah kejahatan yang sangat sulit diberantas dan disebut-sebut oleh masyarakat internasional sebagai bentuk perbudakan masa kini dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Kejahatan ini terus menerus berkembang secara nasional maupun internasional. Dengan perkembangan dan kemajuan teknologi, informasi, komunikasi dan transportasi maka semakin berkembang pula modus kejahatannya yang dalam beroperasinya sering dilakukan secara tertutup dan bergerak di luar hukum. Pelaku perdagangan orang (trafficker) pun dengan cepat berkembang menjadi sindikasi lintas batas negara dengan cara kerja yang mematikan.

Masalah perdagangan perempuan dan anak, akhir-akhir ini muncul menjadi suatu masalah yang banyak diperdebatkan baik ditingkat regional maupun internasional. Sebenarnya perdagangan manusia bukanlah hal baru, namun isu demikian beberapa tahun belakangan kembali muncul ke permukaan dan menjadi perhatian tidak saja pemerintah Indonesia, namun juga menjadi masalah transnasional. Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Gumelar prihatin, karena kasus perdagangan manusia di Indonesia setiap tahun grafiknya semakin menanjak.

Salah satu modus yang dilakukan pelaku, dengan cara pengiriman tenaga kerja ke luar negeri. Apalagi jumlah yang paling besar hampir 70% korbannya adalah perempuan. Berdasarkan data Badan Reserse Kriminal Polri, jumlah perdagangan manusia di Indonesia mencapai 607 kasus, pada tahun 2010, yang melibatkan sebanyak 857 orang pelakunya. Dan para korbannya orang dewasa 1.570 orang (76,4%) dan 485 anak-anak (23,6%). Korban yang diperdagangkan, dieksploitasi secara seksual maupun kerja paksa. Setiap tahunnya, ada kenaikan 450.000 orang Indonesia yang diperdagangkan dengan modus sebagai tenaga kerja ke luar negeri. Dari jumlah itu, sekitar 46% terindikasi kuat menjadi korban


(19)

commit to user

xix

(http://www.kabarbisnis.com/ kasusperdaganganmanusia/ diakses pada tanggal 14 Februari 2011 pukul 19.00 WIB).

Perdagangan orang melibatkan laki-laki, perempuan dan anak-anak bahkan bayi sebagai “korban”, sementara agen, calo, atau sindikat bertindak sebagai yang “memperdagangkan (trafficker)”. Para germo, majikan atau pengelola tempat hiburan adalah “pengguna” yang mengeksploitasi korban untuk keuntungan mereka yang seringkali dilakukan dengan sangat halus sehingga korban tidak menyadarinya. Termasuk dalam kategori pengguna adalah lelaki hidung belang atau pedofil yang mengencani perempuan dan anak yang dipaksa menjadi pelacur, atau penerima donor organ yang berasal dari korban perdagangan orang. Pelaku perdagangan orang (trafficker) tidak saja melibatkan organisasi kejahatan lintas batas tetapi juga melibatkan lembaga, perseorangan dan bahkan tokoh masyarakat yang seringkali tidak menyadari keterlibatannya dalam kegiatan perdagangan orang. Perusahaan perekrut tenaga kerja dengan jaringan agen/calo-calonya di daerah adalah trafficker manakala mereka memfasilitasi pemalsuan KTP dan paspor serta secara ilegal menyekap calon pekerja migran di penampungan, dan menempatkan mereka dalam pekerjaan yang berbeda atau secara paksa memasukkannya ke industri seks. Agen atau calo-calo bisa orang luar tetapi bisa juga seorang tetangga, teman, atau bahkan kepala desa, yang dianggap trafficker manakala dalam perekrutan mereka menggunakan kebohongan, penipuan, atau pemalsuan dokumen (Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, 2005: 8)

Masalah perdagangan orang ini dapat dikatakan seperti fenomena gunung es, mengingat data yang sebenarnya jauh lebih besar dari yang dilaporkan. Memang banyak yang tidak melapor dikarena malu, dianggap aib dan tidak ingin memperpanjang kasusnya. Memerangi perdagangan orang tidaklah semudah membalik telapak tangan, mengingat perdagangan orang memiliki sindikat, jaringan dan sumber daya yang besar. Selain itu, para pelakunya pun seringkali memindahkan jalur transportasi yang kurang mendapat pengawasan dan tidak ada efek jera pada pelaku tindak pidana perdagangan orang ini.


(20)

commit to user

xx

Salah satu hal yang menyebabkan tindak pidana perdagangan orang terus mengalami peningkatan setiap tahunnya adalah perdagangan orang, terutama wanita dan anak-anak, adalah salah satu ladang bisnis yang menggiurkan. Uang yang berputar dalam kegiatan ini mencapai miliaran dolar per tahun. Amerika Serikat adalah primadona bagi aktivitas perdagangan orang. Setiap tahun ada sekitar 50 ribu orang yang melintas-batas untuk masuk ke AS. Korban terbesar perdagangan orang berasal dari Asia, yakni 225 ribu orang dari Asia Tenggara, 115 ribu dari Asia Selatan. Dalam Laporan tentang Perdagangan Manusia (TIP) 2009, Departemen Luar Negeri AS memasukkan setiap negara ke dalam salah satu tingkat (tier) seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Perlindungan Korban Perdagangan Manusia (TVPA) tahun 2000. TVPA memberikan panduan upaya-upaya untuk memerangi tindak perdagangan manusia.

Negara yang sepenuhnya memenuhi standar minimum TVPA masuk kategori Tier 1. Negara yang menunjukkan upaya signifikan untuk memenuhi standar minimum masuk kategori Tier 2. Adapun negara yang sama sekali tidak memenuhi standar minimum dan tidak menunjukkan upaya yang signifikan masuk kategori Tier 3. Menurut Laporan tentang Perdagangan Manusia pada 2009, pemerintah Indonesia tidak sepenuhnya memenuhi standar minimum pembasmian perdagangan manusia. Meskipun begitu, berbagai upaya yang signifikan telah dilakukan. Pemerintah memperbaiki tindakan penegakan hukum atas kejahatan perdagangan manusia. Namun pemerintah tidak menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam upaya mengatasi perdagangan buruh yang dilakukan melalui praktek-praktek rekrutmen eksploitatif oleh PJTKI yang kuat secara politik. Selain itu, hanya ada sedikit laporan tentang upaya mengadili, memvonis, dan menghukum para pejabat penegak hukum serta militer Indonesia yang terlibat dalam perdagangan manusia, meskipun ada laporan tentang korupsi yang melibatkan perdagangan manusia (http://www. google.com/Kegentingan-Masalah-Perdagangan-Orang/ diakses tanggal 12 Februari 2011 pukul 22.00 WIB).

Pemerintah terus melanjutkan kerja sama dengan berbagai lembaga swadaya masyarakat dan organisasi internasional dalam upaya meningkatkan


(21)

commit to user

xxi

kesadaran akan praktek perdagangan manusia. Kementerian Pemberdayaan Perempuan, yang bertindak sebagai unsur utama pemerintah dan koordinator untuk Gugus Tugas Anti Perdagangan Manusia Nasional, menyiapkan konsep rencana tindakan nasional 2009-2013 mengenai perdagangan manusia.

Beberapa provinsi dan kabupaten membentuk rencana tindakan lokal dan komite anti-perdagangan manusia. Indonesia, menurut laporan itu, masuk kategori Tier 2. Menurut data dari IOM, ancaman perdagangan manusia terbesar yang dihadapi para pria dan wanita Indonesia adalah yang disebabkan oleh kondisi kerja paksa dan sistem kerja ijon di banyak negara Asia terutama Malaysia, Singapura, Jepang, dan Timur Tengah, terutama Arab Saudi. Para wanita dan anak perempuan Indonesia diperdagangkan ke Malaysia dan Singapura untuk dipaksa menjadi pelacur, serta ke berbagai pelosok daerah di Indonesia untuk dipaksa menjadi pelacur dan pekerja paksa.

Kasus trafficking atau perdagangan orang yang banyak terjadi di Indonesia salah satunya adalah melalui pos lintas batas Entikong Indonesia-Serawak Malaysia. Menurut Kepala Kejaksaan Negeri Cabang Entikong Anton, berdasarkan data tindak pidana perdagangan manusia yang berhasil diungkap di perbatasan entikong Indonesia-Sarawak Malaysia mengalami kecenderungan menurun bila tahun 2007 sebanyak 35 kasus, maka tahun 2009 menjadi 30 kasus. Sementara, untuk tahun 2010 delapan kasus tiga diantaranya sudah putus sedangkan sisanya masih dalam proses. Sedangkan Perkara tindak pidana umum yang telah ditangani kejaksaan Entikong tahun 2010 sebanyak 30 kasus.

Untuk kasus perdagangan orang atau traffiking seluruhnya telah diputuskan di Pengadilan Negeri Sanggau dengan hukuman rata-rata tiga tahun penjara. Namun demikian, secara umum tindak pelanggaran hukum di wilayah perbatasan terus meningkat. Tahun 2008, sebanyak 60 kasus pidana umum dan tahun 2009 meningkat menjadi 75 kasus. Terhadap kasus trafficking atau perdagangan manusia ini, terdapat salah satu kasus yang diputus bebas oleh Pengadilan Negeri Sanggau. Kasus tersebut kemudian diajukan kasasi oleh Penuntut Umum. Kasus tersebut adalah yang melibatkan Tjhang Se Ngo alias Ango. Pada bulan April tahun 2007 Terdakwa Tjhang Se Ngo alias Ango selaku


(22)

commit to user

xxii

pribadi bukan atas nama PJTKI mendatangi rumah saksi korban Djap Bui Cu alias Bui Cu, saksi korban Li San ku, saksi korban Ernawati Liu alias Erna, saksi korban Lui Mui Fung alias Mui Fung, saksi korban Cin Chu Tjung, saksi korban Ku Mi Lie alias Mili, saksi korban Elsa Tjia untuk menawarkan pekerjaan kepada masing-masing saksi korban sebagai pelayan restoran di Negara Malaysia dengan gaji RM 300 sampai dengan RM 700 per bulan, kemudian Terdakwa meminta kepada masing-masing saksi korban untuk biaya penginapan serta biaya makan sebesar Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah) dan untuk pembuatan passport dibuat oleh masing-masing saksi korban, Akta Kelahiran, KTP, Surat Ijin Orang Tua. Setelah passport tersebut jadi yaitu passport 48 (passport kunjungan) tidak dapat digunakan untuk bekerja ke luar negeri, kemudian Terdakwa tanpa melalui PJTKI bersama dengan para saksi korban berangkat dari Singkawang menuju Entikong dengan menggunakan kendaraan mini bus.

Terdakwa dalam memberangkatkan para saksi korban tidak mendapatkan pelatihan, memiliki surat izin lulus kompetensi, surat kesehatan atau psikologi, asuransi, surat perjanjian persetujuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri. Secara nyata jelas sekali perbuatan yang dilakukan oleh Tjhang Se Ngo alias Ango melanggar kentuan pidana, yaitu Pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, Pasal 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, Pasal 102 ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2004, tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri, akan tetapi putusan Pengadilan Negeri Sanggau beramar “tidak terbukti secara sah dan meyakinkan (vrijspraak)”. Sebagai reaksi atas putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Sanggau tersebut, maka pada tanggal 6 Maret 2008 Penuntut Umum mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Terhadap putusan Pengadilan, pihak-pihak yang tidak puas dapat melakukan upaya hukum, baik itu upaya hukum biasa berupa perlawanan, banding, dan kasasi, maupun upaya hukum luar biasa berupa kasasi demi


(23)

commit to user

xxiii

kepentingan hukum dan peninjauan kembali (Herziening) sebagaimana diatur di dalam Bab XVII dan Bab XVIII Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Namun khusus untuk putusan bebas dalam pengertian “Bebas Murni” yang telah diputuskan oleh judex factie sesungguhnya tidak dapat dilakukan upaya hukum, baik upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa. Haruslah dipahami bahwa SK Menteri dan Yurisprudensi, sebagaimana Tap MPR Nomor III Tahun 2000 bukan termasuk dalam Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan sebagai Sumber Tertib Hukum adalah merupakan suatu bentuk sikap yang wajar apabila ada pihak-pihak yang membantah dan menyatakan tidak puas dengan adanya suatu putusan pidana yang dianggapnya merugikan. Untuk menyikapi hak hukum bagi pihak-pihak tersebut, peradilan pidana telah memberikan ruang guna melakukan upaya hukum sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, khususnya pada Bab XVII dan Bab XVIII, yakni berupa upaya hukum banding dan kasasi.

Hal itu berbeda apabila Pengadilan Negeri ataupun Pengadilan Tinggi menjatuhkan putusan bebas terhadap terdakwa, dengan amar putusan yang menyebutkan, ”Menyatakan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana dan membebaskan terdakwa dari segala dakwaan”. Bahwa terhadap putusan bebas itu, secara tegas Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah menutup upaya hukum kasasi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 244 (KUHAP). Dalam pasal itu disebutkan, “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh Pengadilan lain, selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamh Agung, kecuali terhadap putusan bebas”.

Larangan untuk melakukan upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas tersebut juga diperjelas lagi dalam Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Bab VI tentang Upaya Hukum Biasa, yang menyatakan, ”Jika Pasal 244 dihubungkan dengan Pasal 67 maka jelaslah bahwa terhadap putusan bebas, tanpa melihat apakah putusan bebas itu murni atau tidak murni, tidak dapat diminta banding atau kasasi”.


(24)

commit to user

xxiv

Meskipun demikian, dalam praktiknya dengan tanpa mengindahkan Pasal 244 KUHAP, pihak jaksa penuntut umum (JPU) selalu saja memaksakan kehendak menggunakan upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas dengan dalih bahwa telah ada yurisprudensi Mahkamah Agung yang menerima permohonan kasasi jaksa penuntut umum terhadap putusan bebas tersebut. Yurisprudensi sebagaimana yang dimaksud oleh jaksa penuntut umum adalah merupakan putusan Mahkamah Agung yang pada saat itu mengacu pada produk eksekutif yakni berupa Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang di dalamnya menyebutkan, ”Terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding, tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan, dan kebenaran, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini akan didasarkan pada yurisprudensi” (http://www.infohukum.com/Kasasi-Terhadap-Putusan-Bebas-Murni/ diakses tanggal 12 Oktober 2010 pukul 14.00 WIB).

Bahwa terhadap keputusan Menkeh tersebut, kemudian Mahkamah Agung dalam Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan juga menjelaskan yang pada intinya, dengan mempertimbangkan hak asasi serta perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, sehingga putusan bebas murni merupakan vekregen recht, oleh karena itu Mahkamah Agung berpendapat Pasal 244 KUHAP hanya berlaku bagi putusan yang bersifat murni dan bukan bagi yang bersifat putusan lepas dari segala tuntutan (onslag van alle rechtsvervolging). Terlepas dari itu semua, haruslah dipahami bahwa Surat Keputusan Menteri dan Yurisprudensi, sebagaimana Tap MPR RI Nomor III Tahun 2000 bukan termasuk dalam Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan sebagai Sumber Tertib Hukum, dan dapat dilihat pula pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, oleh karenanya menurut asas lex superior derogat legi inferiori, sangatlah tidak patut apabila jaksa penuntut umum melanggar Pasal 244 KUHAP.


(25)

commit to user

xxv

Guna diperolehnya kepastian hukum bagi semua pihak serta agar tidak terjadi contra legem (yakni praktek dan penerapan hukum yang secara terang-terangan “bertentangan” dengan undang-undang) dalam penegakan hukum, semestinya Mahkamah Agung bersikap tegas untuk kembali berpegang pada undang-undang yang dalam hal ini KUHAP dalam menjalankan fungsi Pasal 244 KUHAP. Mahkamah Agung semestinya menerbitkan sebuah peraturan atau setidak-tidaknya memberikan petunjuk kepada Pengadilan Tinggi selaku voorpost di wilayah hukumnya, agar tidak memproses upaya hukum “luar biasa” JPU, yaitu permohonan kasasi atas putusan bebas sebagaimana dimaksud dengan Pasal 191 Ayat (1) KUHAP.

Menurut Pengamat hukum acara pidana, T. Nasrullah, juga memastikan istilah bebas murni dan bebas tidak murni tidak dikenal dalam KUHAP. Pasal 244 KUHAP pun hanya menggunakan kata “bebas”. KUHAP tidak mengenal putusan bebas murni atau tidak murni. Rezim bebas murni dan tidak bebas murni itu berasal dari yurisprudensi dan doktrin. Pada 15 Desember 1983, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan Nomor 275 K/Pid/1983 (dikenal sebagai kasus Natalegawa). Inilah yurisprudensi pertama yang menerobos larangan kasasi atas vonis bebas. Dalam putusan perkara ini, Mahkamah Agung menerima permohonan kasasi jaksa atas vonis bebas terdakwa Natalegawa yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pertimbangan Mahkamah Agung: “Demi hukum, keadilan dan kebenaran maka terhadap putusan bebas dapat dimintakan pemeriksaan pada tingkat kasasi”. Nanti, Mahkamah Agunglah yang memutuskan apakah suatu putusan bebas murni atau bebas tidak murni. (http://www.hukumonline.com/kasasiatasvonisbebasyangmenerobosKUHAP/

diakses tanggal 12 Oktober 2010 pukul 14.00 WIB).

Namun, menurut mantan hakim agung M. Yahya Harahap, penerobosan Pasal 244 KUHAP pertama kali datang bukan dari Mahkamah Agung, melainkan dari Pemerintah (eksekutif). Mahkamah Agung justru menyambut positif kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah kala itu. Dalam bukunya Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP (edisi kedua), Yahya Harahap menunjuk Surat Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tentang


(26)

commit to user

xxvi

Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP. Keputusan ini dibarengi dengan lampiran. Pada angka 19 Lampiran tersebut terdapat penegasan berikut: “1. terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding; 2. tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, maka demi hukum, kebenaran dan keadilan, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini akan didasarkan pada yurisprudensi”. (M. Yahya Harahap, 2000: 523)

Sebagaimana diketahui, lima hari setelah SK Menteri Kehakiman itu keluar, Mahkamah Agung menyambutnya dengan menerima permohonan kasasi Jaksa Penuntut Umum dalam perkara Natalegawa. Berdasarkan yurisprudensi itulah muncul istilah bebas murni dan bebas tidak murni. Suatu putusan ditafsirkan bebas murni jika kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa sama sekali tidak didukung alat bukti yang sah. Sebaliknya, dijelaskan Yahya Harahap, suatu putusan dikatakan bebas tidak murni lazim juga disebut pembebasan terselubung (verkapte vrispraak) apabila suatu putusan bebas didasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana dalam dakwaan. Bisa juga kalau dalam menjatuhkan putusan pengadilan terbukti melampui wewenangnya. Satu hal yang jelas, penuntut umum sudah mengajukan kasasi. Kini, semua pihak menunggu Mahkamah Agung bekerja sesuai dengan wewenangnya. Apakah argumentasi Jaksa Penuntut Umum cukup kuat, tentu saja Mahkamah Agung yang akan menilai.

Dengan berdasarkan uraian di atas penulis berpendapat bahwa hal-hal tersebut merupakan latar belakang permasalahan yang penulis akan kemukakan. Oleh karena itu penulis menuangkan sebuah penulisan yang berbentuk penulisan hukum dengan judul : KAJIAN ATAS NALAR HUKUM PENUNTUT UMUM SEBAGAI DASAR PENGAJUAN KASASI TERHADAP PUTUSAN BEBAS YANG DIJATUHKAN OLEH PENGADILAN NEGERI SANGGAU DALAM PERKARA PERDAGANGAN ORANG (STUDI KASUS DALAM MA NO. 795 K/PID.SUS/2008, TANGGAL 7 JANUARI 2009)


(27)

commit to user

xxvii

B. Perumusan Masalah

Setiap penulisan ilmiah yang akan dilakukan selalu berangkat dari masalah. Rumusan masalah dimaksudkan untuk penegasan masalah-masalah yang akan diteliti sehingga memudahkan dalam pekerjaan serta pencapaian sarana.

Perumusan masalah adalah segala sesuatu yang akan dijadikan sasaran atau mengenai hal apa yang sebenarnya akan diteliti dalam suatu penelitian. Perumusan masalah akan memudahkan bagi penulis untuk mengerjakan dan dapat mencapai tujuan penelitian yang telah ditetapkan. Perumusan masalah dapat juga dikatakan sebagai inti dari suatu penelitian karena akan dibahas lebih lanjut dalam pembahasan.

Untuk mempermudah pemahaman terhadap permasalahan yang akan dibahas serta untuk lebih mengarahkan pembahasan, maka perumusan masalah yang diangkat adalah sebagai berikut:

1. Apakah pengajuan kasasi oleh Penuntut Umum terhadap putusan bebas yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Sanggau dalam perkara perdagangan orang sesuai dengan ketetuan Pasal 244 KUHAP?

2. Bagaimanakah nalar hukum Penuntut Umum sebagai dasar pengajuan kasasi terhadap putusan bebas yang dijatuhkan oleh Pengadilan Sanggau dalam perkara perdagangan orang?

C. Tujuan Penelitian

Dalam suatu penelitian ada tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti. Tujuan ini tidak dilepas dari permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Tujuan objektif

a. Untuk mengetahui secara jelas mengenai kesesuian pengajuan Kasasi oleh Penuntut Umum terhadap putusan bebas yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Sanggau dalam perkara perdagangan orang dengan ketetuan Pasal 244 KUHAP.


(28)

commit to user

xxviii

b. Untuk mengetahui nalar hukum Penuntut Umum sebagai dasar pengajuan kasasi terhadap putusan bebas oleh Pengadilan Negari Sanggau dalam perkara perdagangan orang.

2. Tujuan subjektif

a. Untuk menambah pengetahuan dan pemahaman penulis terutama mengenai teori-teori yang telah diperoleh oleh penulis selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

b. Untuk memperoleh bahan hukum sebagai bahan utama penyusunan penulisan hukum (skripsi) agar dapat memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

c. Menerapkan ilmu dan teori-teori hukum yang telah penulis peroleh agar dapat memberi manfaat bagi penulis sendiri khususnya dan masyarakat pada umumnya.

D. Manfaat Penelitian

Adanya suatu penelitian diharapkan memberikan manfaat yang diperoleh terutama bagi bidang ilmu yang diteliti. Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Manfaat teoritis

a. Mengetahui deskripsi secara jelas pengajuan kasasi oleh penuntut umum terhadap putusan bebas yang dihadapkan dengan Pasal 244 KUHAP. b. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan acuan sebagai bahan

referensi di bidang karya ilmiah yang dapat mengembangkan ilmu pengatahuan.

2. Manfaat praktis

a. Mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir yang dinamis sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam mengimplementasikan ilmu yang diperoleh.

b. Memberikan manfaat dalam pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan hukum acara pidana pada khususnya, yang berkaitan dengan


(29)

commit to user

xxix

pengajuan kasasi oleh penuntut umum terhadap putusan bebas yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri.

E. Metode Penelitian

Suatu penelitian haruslah menggunakan metode yang tepat dan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai oleh penulis. Sedang dalam penentuan metode mana yang akan digunakan, penulis harus cermat agar metode yang dipilih nantinya tepat dan jelas sehingga untuk mendapatkan hasil dengan kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan dapat tercapai.

Sebelum menguraikan mengenai metode penelitian, maka terlebih dahulu akan dikemukakan tentang pengertian metode itu. Kata “metode” berasal dari bahasa Yunani yaitu “methodos”, yang berarti cara kerja, upaya, tahu jalan suatu kegiatan pada dasarnya adalah salah satu upaya, dan upaya tersebut bersifat alamiah dalam mencari kebenaran yang dilakukan dengan mengumpulkan data sebagai dasar penentuan kebenaran yang dimaksud (Koentjaraningrat, 1993: 22).

Metode adalah suatu cara atau jalan yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan dengan menggunakan alat-alat tertentu. Sedangkan penelitian adalah suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan, gejala atau hipotesa, usaha mana dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah (Sutrisno Hadi, 1989 : 4). Metodologi penelitian dan penelitian ini meliputi:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek yaitu aspek teori, sejarah, filosofi, perbandingan struktur, dan komposisi, lingkup dan materi, konsistensi, penjelasan umum dan pasal demi pasal formalitas dan kekuatan mengikat suatu undang-undang, serta bahasa hukum yang digunakan, tetapi tidak mengkaji aspek terapan atau implementasi. Dalam hal ini yang dilakukan adalah meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.


(30)

Bahan-commit to user

xxx

bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti (Peter Mahmud Marzuki, 2010: 32).

2. Sifat Penelitian

Ditinjau dari sifatnya maka penelitian ini bersifat penelitian preskriptif. “Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma hukum” (Peter Mahmud Marzuki, 2010: 22).

3. Pendekatan Penelitian

Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan pendekatan tersebut peneliti mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya. “Pendakatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum adalah “Pendakatan-pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach)” (Peter Mahmud Marzuki, 2010: 93). Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kasus (case approach).

4. Jenis Bahan Hukum

Jenis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum sekunder yaitu data dari bahan pustaka yang antara lain meliputi: buku-buku, literatur, peraturan perundang-undangan, dokumen resmi, hasil penelitian yang berwujud laporan dan sumber lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini. Karena penelitian ini lebih bersifat penelitian hukum normatif, maka lebih menitikberatkan penelitian pada data sekunder sedangkan data primer lebih bersifat sebagai penunjang.


(31)

commit to user

xxxi 5. Sumber Bahan Hukum

Yang dimaksud dengan sumber bahan hukum dalam penelitian adalah subyek dimana data diperoleh. Dalam penelitian ini sumber bahan hukum yang akan digunakan dalam penelitian normatif adalah sumber bahan hukum sekunder yang meliputi bahan-bahan kepustakaan yang dapat berupa dokumen, buku-buku laporan, arsip dan literatur yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

Sumber bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1) Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke IV.

2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2004, tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.

3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

4) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 5) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

6) Keputusan Presiden Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak.

7) Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP (TPP KUHAP).

8) Peraturan Perundang-undangan lainnya yang berkaitan.

9) Putusan Mahkamah Agung Nomor 795 K/PID.SUS/2008, Tanggal 7 Januari 2009.


(32)

commit to user

xxxii b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti buku-buku, karya ilmiah para sarjana dan hasil-hasil penelitian yang terkait dengan topik penelitian.

c. Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier yang merupakan penunjang yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, meliputi : bahan dari internet yang relevan dengan penelitian ini dan Kamus Besar Bahasa Indonesia, serta Kamus Hukum.

6. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum dapat dibagi menjadi dua, yaitu teknik interaktif yang meliputi interview dan observasi berperan serta dan teknik non interaktif yang meliputi observasi tak berperan serta dan content analisis dokumen. Untuk memperoleh bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian ini, yang disesuaikan dengan pendekatan normatif dan jenis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini, maka teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan penulis adalah dengan studi kepustakaan atau teknik dokumentasi, yaitu menelaah bahan-bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan bahan hukum dengan studi pustaka ini menggunakan penelusuran terhadap katalog. Yang dimaksud dengan katalog yaitu merupakan suatu daftar yang memberikan informasi mengenai koleksi yang dimiliki dalam suatu perpustakaan.

7. Teknik Analisis Bahan Hukum

Penelitian ini menggunakan teknik analisis bahan hukum dengan logika deduktif. Menurut Peter Mahmud Marzuki yang mengutip penjelasan Philiphus M. Hadjon, menjelaskan bahwa metode deduksi sebagaimana silogisme yang diajarkan oleh Aristoteles. Penggunaan metode deduksi berpangkal dari pengajuan premis mayor (penyataan bersifat umum).


(33)

commit to user

xxxiii

Kemudian diajukan premis minor (penyataan bersifat khusus), dari kedua premis itu kemudian ditarik suatu kesimpulan atau conclusion (Peter Mahmud Marzuki, 2010 : 47). Jadi pengelolaan bahan hukum dengan cara deduktif adalah menjelaskan sesuatu dari hal-hal yang sifatnya umum, selanjutnya menarik kesimpulan dari hal yang sifatnya khusus.

Dalam penelitian ini bahan hukum yang diperoleh dengan melakukan inventarisasi sekaligus mengkaji dari penelitian kepustakaan, peraturan perundang-undangan beserta dokumen-dokumen yang dapat membantu menafsirkan norma tersebut dalam mengumpulkan data, kemudian data diolah dan dianalisis untuk menjawab permasalahan yang diteliti. Kemudian tahap yang terakhir menarik kesimpulan yang telah diolah.

F. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh tentang sistematika penulisan hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan hukum maka penulis menggunakan sistematika penulisan hukum. Adapun sistematika penulisan hukum ini terdiri dari 4 (empat) bab yang tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini. Sistematika keseluruhan penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini penulis mengemukakan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab kedua ini memuat dua sub bab, yaitu kerangka teori dan kerangka pemikiran. Dalam kerangka teori penulis akan menguraikan tinjauan tentang putusan, tinjauan tentang upaya hukum kasasi, tinjauan tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan tinjauan tentang Penuntut Umum. Sedangkan dalam


(34)

commit to user

xxxiv

kerangka pemikiran penulis akan menampilkan bagan kerangka pemikiran.

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam hal ini penulis membahasa dan menjawab permasalahan yang telah ditentukan sebelumnya:

1. Untuk mengetahui secara jelas mengenai kesesuian pengajuan Kasasi oleh Penuntut Umum terhadap putusan bebas yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Sanggau dalam perkara perdagangan orang dengan ketetuan Pasal 244 KUHAP.

2. Untuk mengetahui nalar hukum Penuntut Umum Sebagai dasar pengajuan kasasi terhadap putusan bebas oleh Pengadilan Negari Sanggau dalam perkara perdagangan orang.

BAB IV : PENUTUP

Merupakan penutup yang menguraikan secara singkat tentang kesimpulan akhir dari pembahasan dan jawaban atas rumusan permasalahan, dan diakhiri dengan saran-saran yang didasarkan atas permasalahan yang diteliti.

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(35)

commit to user

xxxv BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori a. Tinjauan Tentang Putusan

a. Pengertian Putusan

Menurut ketentuan Pasal 1 butir ke-11 KUHAP, “Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang”.

Sedangkan menurut buku Peristilahan Hukum dan Praktik yang dikerluarkan oleh Kejaksaan agung RI tahun 1985 adalah hasil kesimpulan dari sesuatu yang dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat berbentuk tulisan ataupun lisan. Ada juga yang mengartikan putusan merupakan terjemahan dari kata “vonis”, yaitu hasil akhir dari pemeriksaan perkara di sidang pengadilan (Lilik Mulyadi, 2006 : 52).

Dalam ketentuan Pasal 182 ayat 6 KUHAP bahwa putusan sedapat mungkin merupakan hasil musyawarah majelis dengan permufakatan yang bulat, kecuali hal ini telah diusahakan sungguh-sungguh tidak tercapai, maka ditempuh dengan dua cara yaitu:

1) Putusan diambil dengan suara terbanyak

2) Jika dengan cara ini tidak juga dapat diperoleh putusan, yang dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa.

b. Jenis-jenis Putusan

Bentuk putusan yang akan dijatuhkan pengadilan tergantung hasil musyawarah yang bertitik tolak pada surat dakwaan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan meliputi apa yang didakwakan dalam surat terdakwa terbukti, atau tindak pidana yang didakwakan tidak terbukti sama sekali. Bertitik tolak pada


(36)

kemungkinan-commit to user

xxxvi

kemungkinan di atas, putusan yang dijatuhkan pengadilan mengenai suatu perkara bisa berbentuk sebagai berikut :

1) Putusan Bebas

Putusan bebas, berarti terdakwa dijatuhi putusan bebas atau dinyatakan bebas dari tuntutan hukum (vrijspaark) atau acquittal. Inilah pengertian terdakwa diputus bebas, terdakwa dibebaskan dari tuntutan hukum, dalam arti dibebaskan dari pemidanaan. Tegasnya terdakwa ”tidak dipidana”.

Berikut beberapa pengertian putusan bebas (vrijspraak) yang dikemukakan oleh kalangan doktrina, diantaranya:

Djoko Prakoso mengemukakan, Vrijspraak adalah putusan hakim yang mengandung pembebasan terdakwa, karena peristiwa-peristiwa yang disebutkan dalam surat dakwaan setelah diadakan perubahan atau penambahan selama persidangan, bila ada sebagian atau seluruh dinyatakan oleh hakim yang memeriksa dan mengadili perkara yang bersangkutan dianggap tidak terbukti (Djoko Prakoso, 1985: 270).

Menurut Soekarno, bahwa Vrijspraak adalah, Salah satu dari beberapa macam putusan hakim yang berisi pembebasan terdakwa dari segala tuduhan, manakala perbuatan terdakwa dianggap tidak terbukti secara sah dan meyakinkan (Soekarno, 1978: 15).

Harun M. Husein berpendapat sesuai dengan rumusan pengertian bebas dalam Pasal 191 ayat 1 KUHAP, maka dapat kita definisikan bahwa yang dimaksud dengan putusan bebas, ialah putusan pengadilan yang membebaskan terdakwa dari dakwaan, karena menurut pendapat pengadilan terdakwa tidak terbukti dengan sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya (Harun M. Husein, 1992: 108).

Sehubungan dengan putusan bebas ini, sebagaimana yang dikemukakan oleh Wirjono Projodikoro yang dikutip oleh Harun M. Husein, ”Kalau peristiwa-peristiwa yang tersebut dalam surat tuduhan


(37)

commit to user

xxxvii

(dakwaan) seluruhnya atau sebagian, oleh hakim dianggap tidak terbukti, maka terdakwa harus dibebaskan dari tuduhan (vrijgesproken)” (Harun M. Husein, 1992: 108).

Dalam praktek peradilan, putusan bebas dibagi menjadi : a) Putusan bebas Murni (de “ zuivere vrijspraak”)

Putusan bebas murni adalah putusan akhir dimana hakim mempunyai keyakinan mengenai tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa adalah tidak terbukti (Rd. Achmad S. Soemadipradja. 1981:89 ).

Pandangan Mahkamah Agung, bahwa hanya pembebasan murnilah yang tidak dapat diajukan dalam pemeriksaan kasasi (Oemar Seno Adjie, 1985:163).

b) Putusan Bebas Tidak Murni (niet zuivere vrijspraak)

Oleh Prof. Van Bemellen pernah diajukan beberapa putusan bebas tidak murni, yang mestinya bersifat lepas dari segala tuntutan hukum. Pembebasan tidak murni pada hakikatnya merupakan putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang terselubung, dapat dikatakan apabila dalam suatu dakwaan unsur delik dirumuskan dengan istilah yang sama dalam perundang-undangan, sedangkan hakim memandang dakwaan tersebut tidak terbukti (Oemar Seno Adjie, 1985:167).

Yurisprudensi konstan dari Mahkamah Agung menyatakan bahwa tidak bisa diajukan upaya hukum terhadap putusan bebas, dan masih membuka untuk pemeriksaan dalam tingkat kasasi terhadap putusan bebas tidak murni. Maka yurisprudensi ini dijadikan dasar bagi Mahkamah Agung untuk mengadakan pemeriksaan terhadap putusan bebas tidak murni.

Menurut Oemar Seno Adjie (Oemar Seno Adjie, 1985:164), putusan bebas tidak murni mempunyai kualifikasi, sebagai berikut :


(38)

commit to user

xxxviii

a) Pembebasan didasarkan atas suatu penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang disebut dalam surat dakwaan.

b) Dalam menjatuhkan putusan pengadilan telah melampaui batas kewenangannya, baik absolut maupun relatif dan sebagainya.

Untuk mengetahui dasar putusan yang berbentuk putusan bebas dapat dilihat dari ketentuan Pasal 191 ayat (1) yang menjelaskan, apabila pengadilan berpendapat:

(1) Dari hasil pemeriksaan ”di sidang” pengadilan

(2) Kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya ”tidak terbukti” secara sah dan meyakinkan

Berarti putusan bebas ditinjau dari segi yuridis ialah putusan yang dinilai oleh majelis hakim yang bersangkutan:

a) Tidak memenuhi asas pembuktian menurut undang-undang secara negatif

Pembuktian yang diperoleh di persidangan tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa dan sekaligus kesalahan terdakwa yang tidak cukup terbukti itu tidak diyakini oleh hakim.

b) Tidak memenuhi asas batas minimun pembuktian

Kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa hanya didukung oleh salah satu alat bukti saja, sedang menurut ketentuan Pasal 183, agar cukup membuktikan kesalahan seorang terdakwa harus dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Dalam ketentuan Pasal 183 sekaligus terkandung dua asas. Pertama, asas pembuktian menurut undang-undang secara negatif yang mengajarkan prinsip hukum pembuktian, di samping kesalahan terdakwa cukup terbukti harus pula dibarengi dengan keyakinan hakim atas kebenaran


(39)

commit to user

xxxix

kesalahan terdakwa. Kedua, Pasal 183 juga mengandung asas batas minimun pembuktian, yang dianggap cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa harus dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.

Sedangkan di dalam KUHP, Buku Kesatu Bab III terdapat beberapa pasal yang mengatur tentang hal-hal yang mengahapuskan pemidanaan terhadap seorang terdakwa.

a) Pasal 44, apabila perbuatan tindak pidana yang dilakukan terdakwa ”tidak dapat dipertanggung- jawabkan” kepadanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam pertumbuhannya, gila, epilepsi, melankolik, dsb.

b) Pasal 45, perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh orang yang belum cukup umurnya 16 tahun.

c) Pasal 48, orang yang melakukan tindak pidana atau melakukan perbuatan dalam keadaan ”pengaruh daya paksa” (overmacth) baik yang bersifat daya paksa batin atau fisik.

d) Pasal 49, orang yang terpaksa melakukan perbuatan pembelaan karena ada serangan ancaman seketika itu juga baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain atau terhadap kehormatan kesusilaan.

e) Pasal 50, orang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dapat dipidana, terdakwa harus diputus dengan putusan bebas.

Berdasarkan pendapat dari beberapa sarjana dan yurisprudensi, akhirnya didapat suatu kesimpulan terkait dengan pengertian dari putusan bebas murni (zuivere vrijspraak) dan putusan bebas tidak murni (onzuivere vrijspraak), sebagai berikut, bahwa dapat ditarik kriteria untuk mengidentifikasi apakah putusan


(40)

commit to user

xl

bebas itu mengandung pembebasan yang murni atau tidak murni. Kriteria dimaksud, adalah:

a) Suatu putusan bebas mengandung pembebasan yang tidak murni apabila: Pembebasan itu didasarkan pada kekeliruan penafsiran atas suatu istilah dalam surat dakwaan, atau apabila dalam putusan bebas itu pengadilan telah bertindak melampaui batas wewenangnya.

b) Suatu putusan bebas mengandung pembebasan yang murni, apabila pembebasan itu didasarkan pada tidak terbuktinya suatu unsur tindak pidana yang didakwakan.

2) Putusan Pelepasan dari Segala Tuntutan Hakim

Pada masa yang lalu putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum disebut onslag van recht vervolging, yang sama maksudnya dengan Pasal 191 ayat (2), yakni putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum, berdasarkan kriteria:

a) Apa yang didakwakan kepada terdakwa memang terbukti secara sah dan meyakinkan;

b) Tetapi sekalipun terbukti, hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan tidak merupakan tindak pidana.

Terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum dapat disebabkan karena:

a) Tidak mampu bertanggung jawab (Pasal 44 KUHP);

b) Melakukan di bawah pengaruh daya paksa atau overmacht (Pasal 48 KUHP);

c) Adanya pembelaan terdakwa (Pasal 49 KUHP);

d) Adanya ketentuan Undang-undang (Pasal 50 KUHP); dan e) Adanya perintah jabatan (Pasal 51 KUHP).


(41)

commit to user

xli

Dan dapat dilihat juga hal yang melandasi putusan pelepasan, terletak pada kenyataan apa yang didakwakan dan yang telah terbukti tersebut ”tidak merupakan tindak pidana” tetapi termasuk ruang lingkup hukum perdata atau hukum adat.

3) Putusan Pemidanaan

Bentuk putusan pemidanaan diatur dalam Pasal 193. Pemidanaan berarti terdakwa dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ancaman yang ditentukan dalam pasal tindak pidana yang didakwakan terhadap terdakwa. Sesuai dengan Pasal 193 ayat (1) penjatuhan putusan pemidanaan terhadap terdakwa didasarkan pada penilaian pengadilan. Jika pengadilan berpendapat dan menilai terdakwa terbukti bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, pengadilan menjatuhkan hukuman pidana terdakwa, atau dengan penjelasan lain apabila menurut pendapat dan penilaian pengadilan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan kesalahan tindak pidana yang didakwakan terhadapnya sesuai dengan sistem pembuktian dan asas batas minimun pembuktian yang ditentukan dalam Psasal 183, kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah yang memberi keyakinan kepada hakim, terdakwalah pelaku tindak pidanya.

4) Penetapan Tidak Berwenang Mengadili

Berdasarkan ketentuan Pasal 147 KUHAP, yang berbunyi: “Setelah pengadilan negeri menerima surat pelimpahan perkara dari penuntut umum, ketua mempelajari apakah perkara itu termasuk wewenang pengadilan yang dipimpinnya.”

Menurut M. Yahya Harahap (M. Yahya Harahap, 2000: 336) : Yang pertama dan utama diperiksa adalah apakah perkara yang dilimpahkan penutut umum tersebut termasuk wewenang Pengadilan Negeri tersebut atau tidak. Seandainya Ketua Pengadilan Negeri


(42)

commit to user

xlii

berpendapat perkara tersebut tidak termasuk wewenangnya seperti yang ditentukan dalam Pasal 84:

a) Karena tindak pidana yang terjadi tidak dilakukan dalam daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan

b) Sekalipun terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, diketemukan atau ditahan di wilayah Pengadilan Negeri tersebut, tapi tindak pidananya dilakukan di wilayah hukum Pengadilan Negeri yang lain, sedang saksi-saksi yang dipanggil pun lebih dekat dengan Pengadilan Negeri tempat dimana tindak pidana dilakukan,dan sebagainya.

5) Putusan yang Menyatakan Dakwaan Tidak Dapat Diterima

Penjatuhan putusan yang menyatakan dakwaan penuntut umum tidak dapat diterima berpedoman kepada Pasal 156 ayat (1) KUHAP, yakni ”Dalam hal terdakwa atau penasihat hukum mengajukan keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, maka setelah diberi kesempatan kepada penuntut umum untuk menyatakan pendapatnya, hakim mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan.”

6) Putusan yang Menyatakan Dakwaan Batal Demi Hukum

Putusan pengadilan yang berupa pernyataan dakwaan penuntut umum batal atau batal demi hukum didasarkan pada Pasal 143 ayat (3) dan Pasal 156 ayat (1). Dengan menghubungkan kedua pasal tersebut Pengadilan Negeri dapat menjatuhkan putusan yan menyatakan dakwaan batal demi hukum. Baik hal itu oleh karena permintaan yang diajukan terdakwa atau penasehat hukum dalam eksepsi maupun atas wewenang hakim karena jabatannya.

Dakwaan batal demi hukum dijatuhkan karena Jaksa Penuntut Umum dalam menyusun surat dakwaan tidak cermat, kurang jelas, dan


(43)

commit to user

xliii

tidak lengkap. Mengenai surat dakwaan yang batal demi hukum ini dapat didasari oleh yurisprudensi yaitu Putusan Mahkamah Agung, Registrasi Nomor: 808/K/Pid/1984 tanggal 6 Juni yang menyatakan, ”Dakwaan tidak cermat, kurang jelas, dan tidak lengkap harus dinyatakan batal demi hukum”.

Adapun beberapa alasan pokok yang dapat dijadikan dasar menyatakan dakwaan jaksa batal demi hukum yakni:

a) Apabila dakwaan tidak merumuskan semua unsur dalih yang didakwakan;

b) Tidak merinci secara jelas peran dan perbuatan yang dilakukan terdakwa dalam dakwaan; atau

c) Dakwaan kabur atau obscuur libel, karena tidak dijelaskan cara bagaimana kejahatan dilakukan.

b. Tinjauan Tentang Upaya Hukum Kasasi a. Pengertian Upaya Hukum

Terhadap putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan tingkat pertama, maka baik terdakwa maupun jaksa penuntut umum diberikan hak untuk mengajukan keberatan atau menolak putusan atau yang di dalam KUHAP dikenal dengan istilah upaya hukum. Menurut ketentuan Pasal 1 butir ke-12 KUHAP, Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.

b. Upaya Hukum Kasasi

1) Pengertian Upaya Hukum Kasasi

Lembaga kasasi sebenarnya berasal dari Perancis, kata asalnya ialah casser yang artinya memecah. Suatu putusan hakim dibatalkan demi untuk mencapai kesatuan peradilan. Semula berada di tangan raja


(44)

commit to user

xliv

beserta dewannya yang disebut Conseil du Roi. Setelah revolusi yang meruntuhkan kerajaan Perancis, dibentuklah suatu badan hukum yang tugasnya menjaga kesatuan penafsiran hukum. Jadi merupakan badan antara yang menjembatani pembuat undang-undang dan kekuasaan kehakiman.

Pada tanggal 21 Agustus 1790 dibentuklah le tribunal de cassation dan pada tahun 1810 de Cour de cassation telah terorganisasi dengan baik. Kemudian lembaga kasasi ditiru pula di negeri Belanda yang pada gilirannya di bawa pula ke Indonesia. Pada asasnya kasasi didasarkan atas pertimbangan bahwa terjadi kesalahan penerapan hukum atau hakim telah melampaui kekuasaan kehakimannya (Andi Hamzah, 2002:292).

Kemudian dalam perundang-undangan Belanda, tiga alasan untuk melakukan kasasi, yaitu :

(1) apabila terdapat kelalaian dalam acara (vormverzuim);

(2) peraturan hukum tidak dilaksanakan atau ada kesalahan pada pelaksanaannya;

(3) apabila tidak dilaksanakan cara melakukan peradilan menurut cara yang ditentukan undang-undang.

Menurut Syafruddin Kalo (Syafruddin Kalo, 2007: 46), Dalam bahasa Belanda Cassatie dalam bahasa Inggris Cassation dan dalam bahasa Perancis Caesei yang artinya “pembatalan putusan pengadilan bawahan (yang telah dijatuhkan)”, oleh Mahkamah Agung dengan dasar :

a) Transgression, melampaui batas wewenang;

b) Misjudge, salah menetapkan atau melanggar peraturan hukum yang berlaku; atau

c) Negligent; adanya kelalaian dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh suatu ketentuan undang-undang yang mengancam kelalaian itu dan bmembatalkan putusan itu sendiri.


(45)

commit to user

xlv

Kasasi adalah pembatalan atas keputusan Pengadilan-pengadilan yang lain yang dilakukan pada tingkat peradilan terakhir dan dimana menetapkan perbuatan Pengadilan-pengadilan lain dan para hakim yang bertentangan dengan hukum, kecuali keputusan Pengadilan dalam perkara pidana yang mengandung pembebasan terdakwa dari segala tuduhan, hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 juncto Pasal 244 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (http://www.google.com/ kasasi,pengertian-dan-prosedurnya/ NM. WahyuKuncoro,SH diakses tanggal 12 Oktober 2010).

Kasasi merupakan hak terdakwa atau penuntut umum untuk meminta pembatalan putusan pengadilan negeri atau pengadilan tinggi. Upaya hukum kasasi diatur di dalam Pasal 244, 245, 246, 247, 248, 249, 250, 251, 252, 253, 254, 255, 256, 257, 258 KUHAP.

Melalui kasasi Mahkamah Agung dapat menggariskan, memimpin dan uitbouwen dan voorbouwen (mengembangkan dan mengembangkan lebih lanjut) hukum melalui yurisprudensi. Dengan demikian ia dapat mengadakan adaptasi hukum sesuai dengan derap dan perkembangan dari masyarakat dan khususnya keadaan sekelilingnya apabila perundang-undangan itu sendiri kurang gerak sentuhnya dengan gerak dinamika kehidupan masyarakat itu sendiri (Oemar Seno Adji, 1985:43).

2) Maksud dan Tujuan Upaya Hukum Kasasi

Tujuan melakukan kasasi, ialah untuk menciptakan kesatuan penerapan hukum dengan jalan membatalkan putusan yang bertentangan dengan undang-undang atau keliru dalam menerapkan hukum (Andi Hamzah, 2002:292).


(46)

commit to user

xlvi

Maksud dan tujuan kasasi erat kaitannya dengan pelaksanaan fungsi dan wewenang Mahkamah Agung sebagai badan peradilan tertinggi, dalam memimpin dan mengawasi pengadilan bawahan, demi terciptanya kesatuan dan keseragaman penerapan hukum dalam wilayah Republik Indonesia. Adapun maksud dan tujuan kasasi adalah sebagai berikut (Harun M. Husein, 1992: 50) :

a) Koreksi atas kesalahan atau kekeliruan putusan pengadilan bawahan (Pengadilan Negeri atau pengadilan Tinggi)

Koreksi atas kesalahan atau kekeliruan putusan pengadilan bawahan ini meliputi:

(1) Memperbaiki kesalahan penerapan hukum.

(2) Memperbaiki kesalahan atau kekeliruan dalam cara mengadili. (3) Memperbaiki kesalahan pengadilan bawahan yang berupa

tindakan melampaui batas wewenangnya. b) Menciptakan dan membentuk hukum baru. c) Terciptanya keseragaman penerapan hukum.

3) Alasan-alasan Pengajuan Upaya Hukum Kasasi

Alasan-alasan pengajuan kasasi adalah sebagai berikut: a) Alasan Kasasi yang Dibenarkan menurut Undang-undang

Alasan kasasi sudah ditentukan secara ”limitatif” dalam Pasal 253 ayat (1). Pemeriksaan kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung berpedoman kepada alasan-alasan tersebut. Permohonan kasasi harus mendasarkan keberatan-keberatan kasasi bertitik tolak dari alasan yang disebutkan Pasal 253 ayat (1). Alasan kasasi yang diperkenankan atau yang dapat dibenarkan Pasal 253 ayat (1) terdiri dari :

(1) apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya;

(2) apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang; dan


(47)

commit to user

xlvii

(3) apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.

Sedapat mungkin di dalam permohonan kasasi dapat memperlihatkan bahwa putusan pengadilan yang dikasasi mengandung:

(1) kesalahan penerapan hukum;

(2) atau pengadilan dalam mengadili dan memutus perkara tidak melaksanakan cara mengadili menurut ketentuan undang-undang; dan

(3) atau pengadilan telah melampaui batas wewenangnya, baik hal itu mengenai wewenang absolut maupun relatif atau pelampauan wewenang dengan cara memasukkan hal-hal yang nonyuridis dalam pertimbangannya. (M. Yahya Harahap, 2000: 544)

b) Alasan Kasasi yang Tidak Dibenarkan Undang-undang

(1) Keberatan Kasasi Putusan Pengadilan Tinggi Menguatkan Putusan Pengadilan Negeri

Alasan kasasi yang memuat keberatan, putusan Pengadilan Tinggi tanpa pertimbangan yang cukup menguatkan putusan Pengadilan Negeri, tidak dapat dibenarkan dalam pemeriksaan Kasasi. Permohonan kasasi alasan keberatan yang demikian, sebab seandainya Pengadilan Tinggi menguatkan putusan serta sekaligus menyetujui pertimbangan Pengadilan Negeri, hal itu:

(a) Tidak merupakan kesalahan penerapan hukum dan tidak merupakan pelanggaran dalam melaksanakan peradilan menurut ketentuan undang-undang serta tidak dapat dikategorikan melampaui batas wewenang yang ada padanya;

(b) Malahan tindakan Pengadilan Tinggi menguatkan putusan Pengadilan Negeri masih dalam batas wewenang yang


(48)

commit to user

xlviii

ada padanya, karena berwenang penuh menguatkan dan mengambil alih putusan Pengadilan Negeri yang dianggap telah tepat. M. Yahya Harahap, 2000: 546) (2) Keberatan atas Penilaian Pembuktian

Keberata kasasi atas penilaian pembuktian termasuk di luar alasan kasasi yang dibenarkan Pasal 253 ayat (1). Oleh karena itu, Mahkamah Agung tidak berhak menilainya dalam pemeriksaan tingkat kasasi.

(3) Alasan Kasasi yang Bersifat Pengulangan Fakta

Alasan kasasi yang sering dikemukakan pemohon ialah ”pengulangan fakta”. Padahal sudah jelas alasan kasasi ini tidak dibenarkan undang-undang. Menurut M. Yahya menjelaskan ”Pengulangan fakta adalah mengulang-ulang kembali hal-hal dan peristiwa yang telah pernah dikemukakan baik dalam sidang Pengadilan Negeri maupun dalam memori banding.” (M. Yahya Harahap, 2000: 548)

Isi memori kasasi yang diajukan hanya mengulang kembali kejadian dan keadaan yang telah pernah dikemukakan pada pemeriksaan pengadilan terdahulu.

(4) Alasan yang Tidak Menyangkut Persoalan Perkara

Alasan yang seperti ini pun sering dikemukakan pemohon dalam memori kasai, mengemukakan keberatan ynag menyimpang dari apa yang menjadi pokok persoalan dari putusan perkara yang bersangkutan. ”Keberatan yang seperti ini dianggap irrelevant, karena berada di luar jangkauan pokok permasalahan atau dianggap tidak mengenai masalah pokok yang bersangkutan dengan apa yang diputus pengadilan” (M. Yahya Harahap, 2000 : 549).

(5) Berat Ringannya Hukuman atau Besar Kecilnya Jumlah Denda Keberatan semacam ini pada prinsipnya tidak dapat dibenarkan dalam peraturan perundang-undangan, karena


(49)

commit to user

xlix

tentang berat ringannya hukuman pidana yang dijatuhkan maupun tentang besar kecilnya jumlah denda adalah wewenang pengadilan yang tidk takluk pada pemeriksaan tingkat kasasi.

Pada prinsipnya mengenai berat ringannya hukuman adalah wewenang judex factie, dan tidak tunduk pada pemeriksaan kasasi sepanjang hukuman itu masih dalam batas ancaman hukuman minimun atau maksimum. Akan tetapi, kalau terjadi pengurangan hukuman sedemikian rupa drastisnya tanpa mengemukakan dasar alasan pertimbangan ditinjau dari segi kejahatan yang dilakukan terdakwa terhadap pengurangan hukuman yang seperti ini dapat dibenarkan sebagai alasan kasasi (M. Yahya Harahap, 2000: 551).

(6) Keberatan Kasasi atas Pengembalian Barang Bukti

Alasan kasasi semacam ini pada prinsipnya tidak dapat dibenarkan dalam peraturan perundang-undangan, karena tentang berat ringannya hukuman pidana yang dijatuhkan maupun tentang besar kecilnya jumlah denda adalah wewenang pengadilan yang tidak takluk pada pemeriksaan tingkat kasasi. ”Ketentuan semacam ini dapat dilihat dari putusan Mahkamah Agung Nomor 107 K/Kr/1977 tanggal 16 Oktober 1978 memperbaiki amar putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor 16/1976 tanggal 28 Oktober 1976” (M. Yahya Harahap, 2000: 551).

(7) Keberatan Kasasi Mengenai Novum

Didalam kasasi hal yang diperiksa mengenai hal-hal yang telah ”pernah diperiksa” sehubungan dengan perkara yang bersangkutan, baik yang dalam sidang Pengadilan Negeri maupun dalam tingkat banding. Pengajuan dalam keberatan kasasi terhadap ”hal baru” atau ”novum” tidak dapat dibenarkan karena tidak takluk pada pemeriksaan kasasi. Hal ini tercantum dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 468


(1)

commit to user

penafsiran dalam menyelesaikan kasus-kasus yang oleh pengadilan negeri diputus bebas.

3. Hakim Pengadilan Negeri hendaknya di dalam memutus suatu perkara terlebih dahulu memeriksan alat-alat bukti yang ada dengan cermat dan teliti, sehingga tidak terjadi kekeliruan/kesalahan dalam putusan yang dikeluarkan, karena tindak pidana perdagangan orang ini jelas-jelas merugikan orang lain.


(2)

commit to user

DAFTAR PUSTAKA

Dari Buku

Andi Hamzah. 2002. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Achie Sudiarti Luhulima. 2007. Bahan Ajar tentang Hak Perempuan, UU No. 7 tahun 1984 Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala

Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita. Jakarta: Yayasan Obor.

Bryan A. Garner. 2004. Black’s Law Dictionary. United States of America.

C.S.T Kansil. 1985. Pokok-pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia.

Jakarta: Aksara Baru.

Djoko Prakoso. 1985. Kedudukan Justisiabel di dalam KUHAP. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Hari Sansangka dan Lili Rosita. 2003. Komentar Kitab Undang-undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP ). Bandung: CV. Mandar Maju.

Harun M. Husein. 1992. Kasasi Sebagai Upaya Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.

Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. 2005. Penghapusan

Perdagangan Orang (Trafficking in Persons). Jakarta.

Leden Marpaung. 2000. Perumusan Memori Kasasi dan Peninjauan Kembali

Perkara Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.

Maria Farida Indrati S. 2007. Ilmu Perundang-undangan (1) (Jenis, Fungsi, Materi Muatan). Yogyakarta: Kanisius


(3)

commit to user

M. Yahya Harahap. 2000. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta: Sinar Grafika.

Muhammad Rusli. 2007. Hukum Acara Pidana Kontemporer. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Moeljatno. 2002. Asa s-Asa s Hukum P ida na. Jakarta : PT Rineka Cipta.

Oemar Seno Adji. 1985. KUHAP Sekarang. Jakarta: Erlangga.

P.A.F. Lamintang. 1997. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung : PT Citra Aditya Bakti.

Peter Mahmud Merzuki. 2010. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto. 1979. Perundang-undangan dan

Yurisprudensi.Bandung:Alumni.

Rd. Achmad S. Soema Di Pradja. 1981. Pokok-Pokok Hukum Acara Pidana

Indonesia. Bandung :Alumni.

Rosenberg, Ruth (Ed.), 2003. Perdagangan Perempuan dan Anak di Indonesia. International Catholic Migration Commission (ICMC) dan American Center for International Labor Solidarity (ACILS). Jakarta.

Soekarno. 1978. Dalil Verkapte Onslag Van Rechtvervolging. Pengayoman.


(4)

commit to user

Supriyadi Widodo Eddyono. 2005. Perdagangan Manusia Dalam Rancangan KUHP. Jakarta : ELSAM.

Wirjono Prodjodikoro. 1980. Tindak – Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia. Jakarta-Bandung : PT Eresco.

Dari Jurnal

Lindra Darnela. Juli-Desember 2007. ”Trafficking in Women sebagai Akibat Tidak Terpenuhinya Hak-hak Dasar: Suatu Tinjauan Hukum Internasional”. Jurnal Yin Yang. Vol 2 No 2. STAIN Purwokerto.

Syafrudin. Desember 2008. ”Human Trafficking: Perbudakan Modern dan Aspek Hukum Dalam Penanggulangannya”. Jurnal Al-Adalah. Vol 7 No 2.

Dari Makalah

Riza Nizarli,S.H.,M.H. 2006. ”Penegakan Hukum dalam Rangka Perlindungan HAM Perempuan dan Anak yang Menjadi Korban Trafficking.

Makalah. Disampaikan pada Workshop, Penguatan Materi tentang

Konsep HAM Perempuan dan Gender dalam Mata Kuliah di Fakultas Hukum dan Syar’iah , kerjasama Fakultas Hukum Unsyiah dengan The Asia Foundation, Hotel Polonia, Medan, tanggal 15-17 Juli 2006.

Syafruddin Kalo S.H., M.HUM. 2007. ”Hukum Pidana dalam Teori dan Praktek”.

Makalah. Disampaikan dalam Program Pendidikan Khusus Profesi

Advokat Asosiasi Advokat Indonesia Cabang Medan Kerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Darma Agung Tahun 2007.

Dari Undang-undang


(5)

commit to user

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung juncto Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuaasaan Kehakiman

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.

Tap MPR Nomor III Tahun 2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/2000

Keputusan Presiden Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak.

Keputusan Menteri Kehakiman RI No.M.14-PW.07.03 tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP (TPP KUHAP).


(6)

commit to user

Dari Internet

Kasasi atas Vonis Bebas yang Menerobos KUHAP.

http://www.hukumonline.com/kasasi-atas-vonis-bebas-yang-menerobos-KUHAP.html > [12 Oktober 2010 pukul 14.00 WIB].

Kelik M Nugroho. Kegentingan Masalah Perdagangan Orang. http://www.google.com/kegentingan-masalah-perdagangan-orang.html> [12 Februari 2011 pukul 22.00 WIB].

M. Sofyan Lubis. Kasasi Terhadap Putusan Bebas Murni.

http://www.infohukum.com/Kasasi-Terhadap-Putusan-Bebas-Murni.html> [12 Oktober 2010 pukul 14.00 WIB].

N.M. Wahyu Kuncoro. Kasasi, Pengertian dan Prosedurnya.

http://www.google.com//kasasi,-pengertian-dan-prosedurnya.html> [12

Oktober 2010 pukul 14.00 WIB].

http://www.kabarbisnis.com/kasusperdaganganmanusia.html> [14 Februari 2011 pukul 19.00 WIB].


Dokumen yang terkait

ANALISIS PENGAJUAN KASASI PENUNTUT UMUM TERHADAP PUTUSAN BEBAS PENGADILAN NEGERI GIANYAR DALAM PERKARA SUMPAH PALSU DAN PERTIMBANGAN HAKIM MAHKAMAH AGUNG DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN

0 4 12

ANALISIS YURIDIS ARGUMENTASI HUKUM PENUNTUT UMUM SEBAGAI DASAR PENGAJUAN KASASI TERHADAP PUTUSAN BEBAS MURNI (VRIJSPRAAK) DALAM PERKARA MEMBUAT KETERANGAN PALSU AKTA KEPEMILIKAN RUMAH

0 2 69

KAJIAN ANALISIS KOMPARATIF TENTANG UPAYA HUKUM KASASI OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM TERHADAP PUTUSAN BEBAS (VRIJSPRAAK).

0 1 20

PUTUSAN BEBAS TIDAK MURNI SEBAGAI DASAR UPAYA HUKUM KASASI OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI KELAS IA PADANG).

0 0 6

kajian yuridis upaya hukum kasasi oleh penuntut umum terhadap putusan bebas (vrijsvraak) dalam sistem peradilan pidana.

0 0 32

PENGABAIAN FAKTA-FAKTA PERSIDANGAN OLEH JUDEX FACTIE SEBAGAI DASAR PENGAJUAN KASASI PENUNTUT UMUM TERHADAP PUTUSAN BEBAS PERKARA PENGGELAPAN DALAM JABATAN (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 1455 K / Pid / 2013).

0 0 12

TINJAUAN TENTANG KESALAHAN PENERAPAN HUKUM PEMBUKTIAN OLEH HAKIM PENGADILAN NEGERI TIPIKOR BANDUNG SEBAGAI ALASAN PENGAJUAN KASASI PENUNTUT UMUM TERHADAP PUTUSAN BEBAS PERKARA KORUPSI (Studi Kasus Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1692 K/Pid.Sus/2014).

0 0 14

Tinjauan Diabaikannya Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP oleh Hakim Sebagai Dasar Alasan Pengajuan Kasasi Penuntut Umum Terhadap Putusan Bebas Dalam Perkara Pemalsuan Uang.

0 0 15

TINJAUAN TENTANG PENGAJUAN KASASI OLEH PENUNTUT UMUM ATAS DASAR PUTUSAN PENGADILAN NEGERI YANG TERLALU RINGAN (STUDI PERKARA PERLINDUNGAN ANAK DALAM PUTUSAN NOMOR 828 K/PID.SUS/2012).

0 1 1

TELAAH YURIDIS PENGESAMPINGAN HUKUM PEMBUKTIAN OLEH JUDEX FACTIE SEBAGAI DASAR PENGAJUAN KASASI PENUNTUT UMUM KEJAKSAAN NEGERI SURABAYA TERHADAP PUTUSAN BEBAS DALAM PERKARA PENGGADAIAN TANAH SECARA MELAWAN HUKUM (STUDI KASUS DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG N

0 0 11