commit to user 13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Tentang Pengajuan Kasasi
a. Pengertian Kasasi
Lembaga kasasi sebenarnya berasal dari Perancis. Kata asalnya adalah
casser
yang artinya memecah. Suatu putusan hakim dibatalkan demi  untuk  mencapai  kesatuan  peradilan.  Pada  asasnya  kasasi
didasarkan  atas  pertimbangan  bahwa  terjadi  kesalahan  penerapan hukum  atau  kehakiman  telah  melampaui  kekuasaan  kehakimannya
Andi Hamzah, 2008: 297. Pasal  244  KUHAP  menegaskan  bahwa  :  “Terhadap  putusan
perkara  pidana  yang  diberikan  pada  tingkat  terakhir  oleh  pengadilan lain  selain  daripada  Mahkamah  Agung  terdakwa  atau  penuntut  umum
dapat  mengajukan  permintaan  pemeriksaan  kasasi  kepada  Mahkamah Agung  kecuali  terhadap  putusan  bebas”.  Sehingga  terhadap  semua
putusan  pidana  pada  tingkat  terakhir  selain  daripada  putusan Mahkamah  Agung  sendiri,  dapat  diajukan  permintaan  pemeriksaan
kasasi baik oleh terdakwa atau penuntut umum Yahya Harahap, 2002: 535-536.
b. Tujuan Upaya Kasasi
Upaya  kasasi  adalah  hak  yang  diberian  kepada  terdakwa maupun kepada penuntut umum. Berbarengan dengan hak mengajukan
permintaan  kasasi  yang  diberikan  undang-undang  kepada  terdakwa dan  penuntut  umum,  dengan  sendirinya  hak  itu  menimbulkan  suatu
“kewajiban”  bagi  pejabat  pengadilan  untuk  menerima  permintaan kasasi,  tidak  ada  alasan  untuk  menolak  Yahya  Harahap,  2002:  537.
13
commit to user 14
Adapun  tujuan  utama  dari  upaya  hukum  kasasi,  antara  lain  sebagai berikut :
1 Koreksi Terhadap Kesalahan Putusan Pengadilan Bawahan
Salah  satu  tujuan  kasasi,  memperbaiki  dan  meluruskan kesalahan  penerapan  hukum,  agar  hukum  benar-benar  diterapkan
sebagaimana  mestinya  serta  apakah  cara  mengadili  perkara  benar- benar dilakukan menurut ketentuan undang-undang.
2 Menciptakan dan Membentuk Hukum Baru
Di  samping  tindakan  koreksi  yang  dilakukan  Mahkamah Agung  dalam  peradilan  kasasi,  adakalanya  tindakan  koreksi  itu
sekaligus  menciptakan  “hukum  baru”  dalam  bentuk  yurisprudensi. Berdasarkan  jabatan  dan  wewenang  yang  ada  padanya  dalam
bentuk
judge  making  law
,  sering  Mahkamah  Agung  menciptakan hukum  baru  yang  disebut  “hukum  kasus”,  guna  mengisi
kekosongan  hukum,  maupun  dalam  rangka  menyejajarkan  makna dan  jiwa  ketentuan  undang-undang  sesuai  dengan  “elastisitas”
pertumbuhan kebutuhan lajunya perkembangan nilai dan kesadaran masyarakat.  Apabila  putusan  kasasi  baik  yang  berupa  koreksi  atas
kesalahan  penerapan  hukum  maupun  yang  bersifat  penciptaan hukum  baru  telah  mantap  dan  dijadikan  pedoman  bagi  pengadilan
dalam  mengambil  keputusan  maka  Mahkamah  Agung  akan menjadi yurisprudensi tetap.
Kadang-kadang dalam upayanya menciptakan hukum baru, adakalanya  mengambil  putusan  yng  bersifat
contra  legem
, maksudnya  hukum  baru  yang  diciptakan  itu  secara  nyata  benar-
benar  “bertentangan  dengan  undang-undang”.  Putusan  Mahkamah Agung dalam menciptakan hukum baru tidak hanya berdaya upaya
mengisi  kekosongan  hukum  atau  menafsirkan  ketentuan  undang- undang yang benar-benar senapas dengan bunyi undang-undang itu
sendiri.  Jika  dianggapnya  perlu  dan  mendesak,  sesuai  dengan kebutuhan  rasa  keadilan  dan  kebenaran,  putusan  kasasi  dapat
commit to user 15
mengesampingkan  ketentuan  undang-undang,  dan  sekaligus menciptakan  hukum  baru  yang  jelas-jelas  betentangan  dengan
rumusan ketentuan undang-undang. 3
Pengawasan Terciptanya Keseragaman Penerapan Hukum Tujuan  lain  pemeriksaan  kasasi  yaitu  untuk  mewujudkan
kesadaran  “keseragaman”  penerapan  hukum.  Dengan  adanya putusan  kasasi  yang  menciptakan  yurisprudensi,  maka  akan
mengarahkan  keseragaman  pandangan  dan  titik  tolak  penerapan hukum,  serta  dengan  adanya  upaya  hukum  kasasi,  dapat  terhindar
dari  kesewenangan  dan  penyalahgunaan  jabatan  oleh  para  hakim yang  tergoda  dalam  memanfaatkan  kebebasan  kedudukan  yang
dimiliknya.
c. Putusan Yang Dapat  Diajukan Kasasi
Menurut  ketentuan  Pasal  244  KUHAP  putusan  perkara  pidana yang  dapat  diajukan  permohonan  pemeriksaan  kasasi  yaitu  semua
putusan  perkara  pidana  yang  diberikan  pada  tingkat  terakhir  oleh pengadilan,  kecuali  tehadap  putusan  Mahkamah  Agung  sendiri  dan
putusan bebas. Macam putusan yang dapat dikasasi, meliputi : 1
Terhadap  Semua  Putusan  Pengadilan  Negeri  dalam  Tingkat Pertama dan Tingkat Terakhir
Jenis  perkara  yang  diputus  oleh  Pengadilan  Negeri  yang dalam  kedudukannya  sekaligus  sebagai  peradilan  tingkat  pertama
dan  terakhir,  yang  terhadap  putusan  tidak  dapat  diajukan permohonan  banding.  Jenis  perkara  yang  diputus  dalam  tingkat
pertama dan terakhir oleh Pengadilan Negeri ialah perkara-perkara yang diperiksa dengan acara pemeriksaan cepat.
2 Terhadap Semua Putusan Pengadilan Tinggi yang Diambilnya pada
Tingkat Banding Terhadap  putusan  Pengadilan  Negeri  yang  dapat  diajukan
permohonan  banding,  dan  terhadap  putusan  itu  diajukan
commit to user 16
permohonan  banding  serta  Pengadilan  Tinggi  telah  mengambil putusan  pada  tingkat  banding,  terhadap  putusan  banding  tersebut
dapat diajukan permohonan kasasi. 3
Tentang Putusan Bebas Putusan bebas berarti terdakwa dijatuhi putusan bebas atau
dinyatakan  bebas  dari  tuntutan  hukum,  dalam  arti  dibebaskan  dari pemidanaan.  Berdasarkan  ketentuan  Pasal  244  KUHAP,  terhadap
putusan bebas tidak dapat diajukan permohonan kasasi.
d. Tata Cara Permohonan kasasi
Dalam  kenyataan  praktek,  sering  ditemukan  hambatan  formal yang  dialami  pencari  keadilan.  Akibatnya  permohonan  kasasi  “tidak
dapat  diterima”.  Hambatan  formal  yang  dimaksud  yaitu  kekurangan pengertian  dikalangan  masyarakat  pencari  keadilan  tentang  tata  cara
mengajukan  permohonan  kasasi.  Adakalanya  dijumpai  permohonan kasasi yang “terlambat” diajukan, sehingga permohonan itu melampaui
tenggang  waktu  yang  ditentukan  Pasal  245  ayat  1.  Tata  cara  untuk mengajukan kasasi adalah sebagai berikut :
1 Permohonan  diajukan  kepada  panitera  pengadilan  yang  memutus
perkaranya dalam tingkat pertama; 2
Yang berhak mengajukan permohonan kasasi adalah terdakwa dan atau penuntut umum;
3 Tenggang  waktu  mengajukan  permohonan  kasasi  yaitu  14  empat
belas hari terhitung sejak tanggal putusan pengadilan yang hendak dikasasi diberitahukan kepada terdakwa;
4 Permintaan  permohonan  kasasi  oleh  panitera  ditulis  dalam  sebuah
surat keterangan yang ditandatangani oleh Panitera serta pemohon, dan dicatat dalam daftar yang dilampirkan pada berkas perkara;
5 Panitera
wajib memberitahukan
permintaan kasasi
yang diterimanya  kepada  pihak  yang  lain,  yaitu  terdakwa  dan  penuntut
umum;
commit to user 17
6 Pemohon wajib mengajukan memori kasasi kepada panitera, hal ini
karena  jika  permohonan  kasasi  tidak  dilengkapi  dengan  memori kasasi,  maka  permohonan  kasasi  dianggap  tidak  memenuhi  syarat
dan  akibatnya  permohonan  kasasi  dianggap  “tidak  sah”  karena tidak memenuhi syarat formal;
7 Tenggang  waktu  untuk  menyerahkan  memori  kasasi  adalah  14
empat  belas  hari  terhitung  sejak  tanggal  permohonan  kasasi diajukan;
8 Setelah  panitera  menerima  penyerahan  memori  kasasi,  panitera
memberikan  surat  tanda  terima.  Tujuan  surat  tanda  terima  pada satu  pihak  merupakan  “pertanggungjawaban”  panitera  atas
penerimaan dan pada pihak lain merupakan “bukti” bagi pemohon tentang kebenaran penyerahan memori kasasi yang disampaikan;
9 Panitera  berkewajiban  memberi  bantuan  untuk  membuat  memori
kasasi,  diatur  dalam  Pasal  248  ayat  2,  yang  berbunyi:  “Dalam pemohon  kasasi  adalah  terdakwa  yang  kurang  memahami  hukum,
panitera  pada  waktu  menerima  permohonan  kasasi  wajib menanyakan  apakah  alasan  ia  mengajukan  permohonan  tersebut
dan untuk itu panitera membuatkan memori kasasinya”; 10
Pengajuan kontra memori kasasi bertitik tolak dari ketentuan Pasal 248  ayat  6,  berdasarkan  ketentuan  ini  memberikan  hak  kepada
pihak lain untuk mengajukan “kontra memori kasasi” atas memori kasasi yang diajukan pemohon kasasi;
11 Pemohon  kasasi  dapat  menambah  memori  kasasi  yang  telah
diajukan.  Demikian  juga  pihak  yang  lain  dapat  menambah  kontra memori  kasasi.  Tambahan  memori  atau  kontra  memori  kasasi
bermaksud  untuk  menambah  hal-hal  yang  dianggap  perlu  oleh yang bersangkutan.
commit to user 18
e. Alasan Mengajukan Kasasi
Dalam perundang-undangan Belanda, ada 3 tiga alasan untuk melakukan kasasi, yaitu :
1 Apabila terdapat kelalaian dalam acara;
2 Peraturan  hukum  tidak  dilaksanakan  atau  ada  kesalahan  pada
pelaksanaannya; 3
Apabila tidak dilaksanakan cara melakukan peradilan menurut cara yang ditentukan undang-undang.
Berdasarkan  alasan-alasan  atau  pertimbangan-pertimbangan yang  ditentukan  oleh  undang-undang  yang  menjadi  dasar  suatu
putusan  pengadilan  yang  kurang  jelas,  dapat  diajukan  kasasi  melalui jalur kelalaian dalam acara itu.
Pasal  253  ayat  1  KUHAP  diatur  secara  singkat  alasan mengajukan kasasi sebagai berikut “Pemeriksaan dalam tingkat kasasi
dilakukan  oleh  Mahkamah  Agung  atas  permintaan  para  pihak sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  244  dan  Pasal  248  guna
menentukan : 1
Apakah  benar  suatu  peraturan  hukum  tidak  diterapkan  atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya;
2 Apakah  benar  cara  merngadili  tidak  dilaksanakan  menurut
ketentuan undang-undang; 3
Apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.
f. Tata Cara Pemeriksaan Kasasi
Tata cara pemeriksaan kasasi diatur Pasal 253 ayat 2 dan 3. Pasal  253  ayat  2  menyebutkan  bahwa:  “Pemeriksaan  perkara  pada
tingkat kasasi dilakukan dengan sekurang-kurangnya tiga orang Hakim atas  dasar  berkas  perkara  yang  diterima  dari  Pengadilan  lain  daripada
Mahkamah  Agung,  yang  terdiri  dari  berita  acara  pemeriksaan  dari penyidik, berita acara pemeriksaan di sidang, semua surat yang timbul
commit to user 19
di  sidang  yang  berhubungan  dengan  perkara  itu  beserta  putusan Pengadilan tingkat Pertama”.
Sedangkan  Pasal  253  ayat  3  :  “Jika  dipandang  perlu  untuk kepentingan  pemeriksaan  sebagaimana  tersebut  pada  ayat  1,
Mahkamah Agung dapat mendengar sendiri keterangan terdakwa  atau saksi atau Penuntut Umum, dengan  menjelaskan secara singkat dalam
surat  panggilan  kepada  mereka  tentang  apa  yang  ingin  diketahuinya atau  Mahkamah  Agung  dapat  pula  memerintahkan  Pengadilan
sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  2  untuk  mendengar  keterangan mereka, dengan cara pemanggilan yang sama”.
2. Tinjauan Tentang Putusan Pengadilan
Bentuk  putusan  yang  akan  dijatuhkan  pengadilan  tergantung  dari hasil  musyawarah  yang  bertitik  tolak  dari  surat  dakwaan  dengan  segala
sesuatu  yang  terbukti  dalam  pemeriksaan  di  sidang  pengadilan.  Putusan yang  akan  dijatuhkan  pengadilan  mengenai  suatu  perkara,  bisa  berbentuk
sebagai berikut : a.
Putusan Bebas Putusan  bebas  berarti  terdakwa  dijatuhi  putusan  bebas  atau
dinyatakan  bebas  dari  tuntutan  hukum,  dalam  arti  dibebaskan  dari pemidanaan.  Pasal  191  ayat  1  menjelaskan  mengenai  dasar  putusan
yang berbentuk putusan bebas, yaitu apabila pengadilan berpendapat : 1
Dari hasil pemeriksaan “di sidang” pengadilan; 2
Kesalahan  terdakwa  atas  perbuatan  yang  didakwakan  kepadanya “tidak terbukti” secara sah dan meyakinkan.
b. Putusan Pelepasan dari Segala Tuntutan Hukum
Putusan  pelepasan  dari  segala  tuntutan  hukum  diatur  dalam Pasal  191  ayat  2,  yang  berbunyi:  “Jika  pengadilan  berpendapat
bahwa  perbuatan  yang  didakwakan  kepada  terdakwa  terbukti,  tetapi perbuatan  itu  tidak  merupakan  suatu  tindak  pidana  maka  terdakwa
diputus lepas dari segala tuntutan hukum”.
commit to user 20
c. Putusan pemidanaan
Pemidanaan  berarti  terdakwa  dijatuhi  hukuman  pidana  sesuai dengan  ancaman  yang  ditentukan  dalam  pasal  tindak  pidana  yang
didakwakan  kepada  terdakwa.  Sesuai  dengan  pasal  193  ayat  1, penjatuhan  putusan  pemidanaan  terhadap  terdakwa  didasarkan  pada
penilaian  pengadilan.  Jika  pengadilan  berpendapat  dan  menilai terdakwa  terbukti  bersalah  melakukan  perbuatan  yang  didakwakan
kepadanya,  pengadilan  menjatuhkan  hukuman  pidana  terhadap terdakwa.
d. Penetapan Tidak Berwenang Mengadili
Setelah Pengadilan Negeri menerima surat pelimpahan perkara dari  penuntut  umum,  tindakan  pertama  yang  harus  dilakukan  adalah
mempelajari  berkas  perkara.  Yang  pertama  dan  utama  adalah  apakah yang  dilimpahkan  penuntut  umum  tersebut  termasuk  wewenang
Pengadilan  Negeri  yang  dipimpinnya.  Seandainya  Ketua  Pengadilan Negeri berpendapat perkara tersebut tidak termasuk wewenang seperti
yang ditentukan dalam Pasal 84 : 1
Karena  tindak  pidana  yang  terjadi  tidak  dilakukan  dalam  daerah hukum pengadilan Negeri yang bersangkutan, atau
2 Sekalipun  terdakwa
bertempat  tinggal,  berdiam  terakhir, diketemukan  atau  ditahan  berada  di  wilayah  hukum  Pengadilan
Negeri  yang  lain,  sedang  saksi-saksi  yang  dipanggil  pun  lebih dekat  dengan  Pengadilan  Negeri  tempat  dimana  tindak  pidana
dialakukan, dan sebagainya. Maka  dalam  hal  tersebut  Pengadilan  Negeri  yang  menerima
pelimpahan  perkara  tersebut,  tidak  berwenang  mengadili.  Pengadilan Negeri yang lain lah yang berwenang mengadili.
e. Putusan yang Menyatakan Dakwaan Tidak Dapat Diterima
Penjatuhan putusan yang menyatakan dakwaan penuntut umum tidak dapat diterima, berpedoman pada Pasal 156 KUHAP: “Dalam hal
terdakwa  atau  Penasihat  Hukum  mengajukan  keberatan  bahwa
commit to user 21
Pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat  diterima  atau  surat  dakwaan  harus  dibatalkan,  maka  setelah
diberi  kesempatan  kepada  Penuntut  Umum  untuk  menyatakan pendapatnya,  Hakim  mempertimbangkan  keberatan  tersebut  untuk
selanjutnya mengambil keputusan”. f.
Putusan yang Menyatakan Dakwaan Batal Demi Hukum Putusan pengadilan  yang berupa pernyataan dakwaan penuntut
umum  batal  demi  hukum  didasarkan  pada  surat  dakwaan  yang  tidak memenuhi ketentuan dan batal demi hukum. Alasan pokok yang dapat
dijadikan dasar menyatakan dakwaan jaksa batal demi hukum : 1
Apabila  dakwaan  tidak  merumuskan  sumua  unsur  dalih  yang didakwakan;
2 Atau  tidak  memerinci  secara  jelas  peran  dan  perbuatan  yang
dilakukan terdakwa dalam dakwaan; 3
Dakwaan  kabur  karena  tidak  dijelaskan  cara  bagaimana  kejahatan dilakukan.
3. Tinjauan Tentang Praperadilan
a. Pengertian Praperadilan
Istilah  praperadilan  yang  dipergunakan  oleh  Kitab  Undang- Undang  Hukum  Acara  Pidana  mengandung  maksud  dan  arti  secara
harafiah  berbeda.  Pra  berarti  sebelum  atau  mendahului,  sehingga praperadilan  diartikan  dengan  sebelum  pemeriksaan  di  sidang
pengadilan.  Ada  beberapa  definisi  mengenai  praperadilan  yang  diatur dalam  Kitab  Undang-Undang  Hukum  Acara  Pidana  dan  yang
dikemukakan oleh para ahli hukum. Di  dalam  Kitab  Undang-Undang  Hukum  Acara  Pidana  sendiri
terdapat  beberapa  pasal  yang  memberikan  definisi  tentang praperadilan,  antara  lain  Pasal  1  butir  10  Kitab  Undang-Undang
Hukum  Acara  Pidana  Praperadilan  adalah  wewenang  pengadilan
commit to user 22
negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang :
1 sah  atau  tidaknya  suatu  penangkapan  dan  atau  penahanan  atas
permintaan  tersangka  atau  keluarganya  atau  pihak  lain  atas  kuasa tersangka;
2 sah  atau  tidaknya  penghentian  penyidikan  atau  penghentian
penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; 3
permintaan  ganti  kerugian  atau  rehabilitasi  oleh  tersangka  atau keluarganya  atau  pihak  lain  atas  kuasanya  yang  perkaranya  tidak
diajukan ke pengadilan. Ketentuan  Pasal  77  Kitab  Undang-Undang  Hukum  Acara
Pidana  menyebutkan  bahwa  Pengadilan  Negeri  berwenang  untuk memeriksa  dan  memutus  sesuai  dengan  ketentuan  yang  diatur  dalam
undang-undang ini tentang : 1
sah atau
tidaknya penangkapan,
penahanan, penghentian
penyidikan atau penghentian penuntutan; 2
ganti  kerugian  dan  atau  rehabilitasi  bagi  seorang  yang  perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Selanjutnya  Pasal  78  Kitab  Undang-Undang  Hukum  Acara Pidana berbunyi :
1 yang  melaksanakan  wewenang  Pengadilan  Negeri  sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 77 adalah praperadilan; 2
praperadilan  dipimpin  oleh  hakim  tunggal  yang  ditunjuk  oleh Ketua Pengadilan Negeri dan dibantu oleh seorang panitera.
Dari  beberapa  pasal  dan  penjelasan  diatas  yang  menjelaskan tentang
praperadilan, diperoleh
gambaran bahwa
eksistensi praperadilan  merupakan  salah  satu  wewenang  yang  diberikan  oleh
undang-undang  kepada  pengadilan  negeri  untuk  memeriksa  dan memutus  sah  tidaknya  penangkapan,  penahanan,  penghentian
penyidikan  atau  penuntutan  serta  ganti  kerugian  dan  rehabilitasi  bagi
commit to user 23
seorang  yang  perkaranya  dihentikan  pada  tingkat  penyidikan  dan penuntutan.
Lebih lanjut
dijelaskan dalam
M. Yahya
Harahap, “praperadilan  merupakan  tugas  tambahan  yang  diberikan  kepada
Pengadilan  Negeri  selain  tugas  pokoknya  mengadili  dan  memutus perkara  pidana  dan  perdata  untuk  menilai  sah  tidaknya  penahanan,
penyitaan,  penghentian  penyidikan  dan  penghentian  penuntutan, penahanan  dan  penyitaan  yang  dilakukan  oleh  penyidik”  Yahya
Harahap, 2002: 2. Tujuan utama pelembagaan praperadilan dalam Kitab Undang-
Undang  Hukum  Acara  Pidana,  untuk  melakukan  pengawasan
horizontal
atas  tindakan  upaya  paksa  yang  dikenakan  terhadap tersangka  selama  ia  berada  dalam  pemeriksaan  penyidikan  atau
penuntutan  agar  benar-benar  tindakan  itu  tidak  bertentangan  dengan ketentuan hukum dan undang-undang Yahya Harahap, 2002: 4.
Dari  penjelasan  diatas,  disimpulkan  bahwa  praperadilan dibentuk  sebagai  sarana  pengontrol  tindakan  aparat  penegak  hukum
dalam  menjalankan  tugasnya  agar  tidak  bertindak  sewenang-wenang. Dengan adanya praperadilan, aparat penegak hukum dalam melakukan
upaya  paksa  terhadap  seorang  tersangka  tetap  berdasarkan  undang- undang  dan  tidak  bertentangan  dengan  hukum.  Hal  inilah  yang
membedakan  Kitab  Undang-Undang  Hukum  Acara  Pidana  dengan masa  berlakunya
Herziene  Inlandsch  Reglement
HIR  dimana  pada waktu  itu  tindakan  upaya  paksa  yang  dilakukan  penyidik  terhadap
seorang  tersangka  tidak  terawasi  dan  tidak  terkontrol  sehingga  dapat menimbulkan tindakan sewenang-wenang dari aparat penyidik.  Untuk
itu  dibentuk  lembaga  praperadilan  yang  berwenang  melakukan koreksi,  penilaian  dan  pengawasan  terhadap  tindakan  upaya  paksa
yang dilakukan oleh penyidik.
commit to user 24
b. Wewenang Praperadilan
Telah  disebutkan  dalam  Pasal  1  butir  10  KUHAP  yang mengatur  tentang  wewenang  Pengadilan  Negeri  dalam  hal  memutus
sah  tidaknya  tindakan  upaya  paksa  yang  dilakukan  penyidik  dan penuntut  umum  terhadap  seorang  tersangka.  Akan  tetapi  diatur  juga
kewenangan  praperadilan  yang  disebutkan  dalam  Pasal  95  dan  97 KUHAP  yakni  memeriksa  dan  memutus  tuntutan  ganti  kerugian  dan
rehabilitasi. Wewenang  Pengadilan  Negeri  dalam  hal  ini  Praperadilan,
antara lain sebagai berikut : 1
Memeriksa  Dan  Memutus  Sah  Tidaknya  Suatu  Penangkapan  Dan Penahanan
Wewenang  pertama  yang  telah  diberikan  oleh  KUHAP yaitu  memeriksa  dan  memutus  sah  tidaknya  suatu  penangkapan
atau  penahanan  yang  dilakukan  oleh  penyidik.  Dalam  hal penangkapan,  seseorang  dapat  mengajukan  pemeriksaan  kepada
praperadilan  tentang  ketidakabsahan  penangkapan  yang  dilakukan terhadap dirinya. Kriteria suatu penangkapan dianggap tidak sah:
a Apabila dalam melakukan penangkapan, seorang penyidik tidak
menyertakan surat tugas  dan surat perintah penangkapan untuk diperlihatkan  kepada  tersangka,  selain  itu  jika  tembusan  surat
penangkapan tidak diberikan kepada pihak keluarganya. b
Apabila  batas  waktu  penangkapan  lewat  satu  hari  maka  dapat dimintakan  pemeriksaan  kepada  praperadilan  Yahya  Harahap,
2002: 160. Seperti halnya penangkapan dan penahanan, penggeledahan
dan  penyitaan  juga  termasuk  tindakan  upaya  paksa  yang  dapat dilakukan oleh penyidik  dan penuntut umum dalam  melaksanakan
fungsi praperadilan dalam sistem peradilan pidana. Oleh karena itu setiap  upaya  paksa  yang  dilakukan  penyidik  harus  dilaksanakan
menurut  aturan  undang-undang  yang  berlaku  agar  tidak  terjadi
commit to user 25
kesewenang-wenangan aparat yang berujung pelanggaran hak asasi dari  seseorang.  Menurut  Pasal  37  dan  Pasal  38  KUHAP,
penggeledahan  dan  penyitaan  yang  dilakukan  penyidik  dan penuntut umum harus mendapat izin dari Ketua Pengadilan Negeri
setempat. Berdasarkan  pasal  tersebut  diatas,  telah  menimbulkan
permasalahan  dan  perbedaan  pendapat  dalam  penerapan  fungsi praperadilan  karena  adanya  intervensi  Ketua  Pengadilan  Negeri
terhadap  penggeledahan  dan  penyitaan  maka  sangat  tidak  rasional praperadilan menguji dan menilai sah tidaknya penggeledahan dan
penyitaan  yang  telah  diberikan  izin  oleh  pengadilan  dalam  hal  ini Ketua  Pengadilan  Negeri  Yahya  Harahap,  2002:  7.  Akan  tetapi
jika  dalam  pelaksanaannya  penggeledahan  dan  penyitaan  telah mendapat izin dari Ketua Pengadilan Negeri tersebut menyimpang
diluar batas izin yang diberikan, kepada siapa pihak yang dirugikan tersebut meminta perlindungan.
Berdasarkan asumsi tersebut, maka terhadap penggeledahan dan  penyitaan  pun  dapat  diajukan  ke  praperadilan  baik  yang
berkenaan  dengan  ganti  kerugian  maupun  yang  berkaitan  dengan sah tidaknya penyitaan dengan acuan penerapan:
a Dalam  hal  penggeledahan  atau  penyitaan  tanpa  persetujuan
Ketua Pengadilan Negeri, tetap menjadi yurisdiksi praperadilan untuk memeriksa keabsahannya;
b Dalam  hal  penggeledahan  dan  penyitaan  telah  mendapat
persetujuan  Ketua  Pengadilan  Negeri,  tetap  dapat  diajukan  ke praperadilan  dalam  lingkup  kewenangan  yang  lebih  sempit
yaitu: 1
Praperadilan  tidak  dibenarkan  menilai  surat  izin  atau  surat persetujuan yang dikeluarkan Ketua Pengadilan Negeri;
2 Yang  dinilai  oleh  praperadilan  terbatas  pada  masalah
pelaksanaan  surat  izin  dalam  arti  apakah  pelaksanaannya
commit to user 26
sesuai atau melampaui surat izin atau tidak Yahya Harahap 2002: 7.
2 Memeriksa  Sah  Atau  Tidaknya  Penghentian  Penyidikan  Atau
Penghentian Penuntutan. Wewenang  lain  yang  dimiliki  oleh  praperadilan  adalah
memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penghentian penyidikan yang  dilakukan  oleh  penyidik  dan  penghentian  penuntutan  yang
dilakukan  oleh  penuntut  umum.  Alasan  dilakukannya  penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan:
a Tidak terdapat cukup bukti;
b Peristiwa  tersebut  tidak  termasuk  kejahatan  atau  pelanggaran
tindak pidana; c
Nebis in idem; d
Kadaluarsa. Tidak  selamanya  penghentian  penyidikan  dan  penghentian
penuntutan tersebut dilakukan dengan alasan yang sah, karena bisa saja  penghentian  penyidikan  dan  penghentian  penuntutan
dilakukan  karena  adanya  kepentingan  pihak-pihak  tertentu.  Oleh karena  itu  penyidik,  penuntut  umum  dan  pihak  ketiga  yang
berkepentingan  dapat  mengajukannya  ke  praperadilan  untuk diperiksa Yahya Harahap, 2002: 5.
3 Memeriksa Tuntutan Ganti Kerugian
Menurut  Pasal  1  ayat  22  KUHAP,  ganti  kerugian  adalah hak  seorang  untuk  mendapat  pemenuhan  atas  tuntutannya  yang
berupa  imbalan  sejumlah  uang  karena  ditangkap,  ditahan,  dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau
karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Pasal 95 KUHAP mengatur tentang tuntutan ganti kerugian yang diajukan tersangka berdasarkan alasan :
a Karena penangkapan atau penahanan yang tidak sah;
commit to user 27
b Atau  oleh  karena  penggeledahan  atau  penyitaan  yang
bertentangan dengan ketentuan hukum dan undang-undang; c
Kerena  kekeliruan  mengenai  orang  yang  sebenarnya  mesti ditangkap, ditahan atau diperiksa.
4 Memeriksa Permintaan Rehabilitasi
Praperadilan berwenang
memeriksa dan
memutus permintaan  rehabilitasi  yang  diajukan  tersangka,  keluarganya  atau
penasihat hukumnya atas penangkapan atau penahanan tanpa dasar hukum yang ditentukan undang-undang.
Sehubungan  dengan  itu  dijelaskan  tujuan  dari  rehabilitasi yaitu : Sebagai sarana dan upaya untuk memulihkan kembali nama
baik,  kedudukan  dan  martabat  seseorang  yang  telah  sempat menjalani  tindakan  penegakan  hukum  baik  berupa  penangkapan,
penahanan,  penuntutan  atau  pemeriksaan  disidang  pengadilan tanpa  alasan  yang  sah  menurut  undang-undang  Yahya  Harahap,
2000: 64. Dalam  Pasal  97  ayat  1  KUHAP  dijelaskan  bahwa
seseorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputuskan  bebas  atau  diputus  lepas  dari  segala  tuntutan  hukum
yang  putusannya  telah  mempunyai  kekuatan  hukum  yang  tetap. Dengan adanya rehabilitasi, diharapkan dapat membersihkan nama
baik, harkat dan martabat tersangka atau terdakwa dan keluarganya di mata masyarakat.
c. Alasan dan Pihak Yang Mengajukan Praperadilan
Dalam  mengajukan  permohonan  praperadilan  tentang  sah tidaknya  tindakan  dari  aparat  penegak  hukum  kepada  praperadilan,
tentunya  harus  memiliki  alasan-alasan  yang  kuat  dari  pihak  yang memohon.  Untuk  itu  dalam  KUHAP  telah  mengatur  siapa-siapa  saja
yang  berhak  mengajukan  permohonan  kepada  praperadilan  serta alasan-alasannya, yaitu:
commit to user 28
1 Tersangka, keluarga atau kuasa hukumnya
Dalam  Pasal  79  KUHAP  disebutkan  bahwa  tersangka, keluarga  dan  kuasa  hukumnya  berhak  mengajukan  pemeriksaan
tentang  sah  tidaknya  penangkapan  atau  penahanan  kepada  Ketua Pengadilan  Negeri.  Menurut  pasal  ini  yang  dapat  diajukan  kepada
praperadilan  hanyalah  masalah  penangkapan  dan  penahanan sedangkan  upaya  lain  seperti  penggeledahan  dan  penyitaan  tidak
disebutkan secara langsung. 2
Penyidik, penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan Apabila  dalam  suatu  perkara  pidana  seorang  penyidik
menghentikan  penyidikan  tanpa  alasan  yang  dibenarkan  oleh undang-undang,  maka  penuntut  umum  dan  pihak  ketiga  yang
berkepentingan  berhak  melaporkan  kepada  praperadilan.  Hal  ini telah  sesuai  dengan  prinsip  saling  mengawasi  antar  instansi
penegak  hukum,  tetapi  timbul  masalah  bagaimana  seandainya penuntut  umum  tetap  menerima  alasan  yang  diberikan  penyidik
terhadap  penghentian  penyidikan  ini  walaupun  sebenarnya  alasan yang  diberikan  tidak  sesuai  undang-undang.  Untuk  itu  undang-
undang  memberikan  wewenang  kepada  pihak  ketiga  yang berkepentingan  untuk  ikut  mengawasi  jalannya  proses  hukum
Yahya Harahap, 2002: 9. 3
Tersangka, ahli warisnya dan kuasa hukumnya Selain  tersangka  dan  kuasa  hukumnya,  ahli  waris  dari
tersangka  pun  dapat  mengajukan  permohonan  praperadilan  dalam hal ini mengajukan tuntutan ganti kerugian kepada praperadilan.
Hal  ini  sesuai  dengan  bunyi  Pasal  95  ayat  2  KUHAP  : “Tuntutan  ganti  kerugian  oleh  tersangka  atau  ahli  warisnya  atas
penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan  undang-undang  atau  karena  kekeliruan  mengenai
orang  atau  hukum  yang  diterapkan  sebagaimana  dimaksud  dalam ayat  1  yang  perkaranya  tidak  diajukan  ke  Pengadilan  Negeri,
commit to user 29
diputus di sidang praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77”.
Berdasarkan  pasal  tersebut  diatas  tersangka,  ahli  waris, serta  kuasanya  dapat  mengajukan  tuntutan  ganti  kerugian  atas
alasan : a
Penangkapan atau penangkapan yang tidak sah; b
Tindakan  lain  penggeledahan  dan  penyitaan  tanpa  alasan berdasarkan undang-undang;
c Karena  kekeliruan  mengenai  orang  atau  hukum  yang
diterapkan dan yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. 4
Tersangka atau pihak yang berkepentingan menuntut ganti rugi Dijelaskan dalam  Pasal  81 KUHAP  yaitu permintaan  ganti
kerugian  dan  atau  rehabilitasi  akibat  tidak  sahnya  penangkapan atau  penahanan  atau  akibat  sahnya  penghentian  penyidikan  atau
penuntutan  diajukan  oleh  tersangka  atau  pihak  ketiga  yang berkepentingan kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan menyebut
alasannya.  Jika  putusan  pengadilan  menganggap  penghentian penyidikan  dan  penghentian  penuntutan  sah  maka  hal  tersebut
dapat  menjadi  alasan  diajukannya  tuntutan  ganti  kerugian  kepada praperadilan  oleh  tersangka  atau  pihak  yang  berkepentingan
Yahya Harahap, 2002: 10.
d. Proses Acara Pemeriksaan Praperadilan
Seperti  dijelaskan  dalam  Pasal  1  butir  10  KUHAP  bahwa praperadilan merupakan salah satu wewenang dari Pengadilan Negeri.
Untuk  itu  setiap  perkara  praperadilan  yang  diajukan  harus  ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang meliputi daerah hukum dimana
penangkapan,  penahanan,  penggeledahan  dan  penyitaan  itu  terjadi. Atau  daerah  tempat  kedudukan  penyidik  dan  penuntut  umum  yang
menghentikan penyidikan dan penuntutan Yahya Harahap, 2002: 12.
commit to user 30
Permohonan  pemeriksaan  praperadilan  kemudian  diregister dalam perkara praperadilan yang dipisahkan dengan perkara biasa oleh
panitera.  Selanjutnya  akan  dijelaskan  mengenai  tata  cara  pemeriksaan praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 82 KUHAP :
1 Hakim menetapkan hari sidang 3 hari sesudah diregister
Menurut  Pasal  82  ayat  1  huruf  a  KUHAP,  yakni  3  tiga hari  sesudah  diterima  permohonan,  hakim  yang  ditunjuk
menetapkan  hari  sidang.  Perhitungan  penetapan  hari  sidang dihitung 3 tiga hari dari tanggal registrasi di kepaniteraan.
2 Pada  hari  penetapan  sidang  sekaligus  hakim  menyampaikan
panggilan Agar dapat dipenuhi proses pemeriksaan yang cepat, adalah
bijaksana  apabila  pada  saat  penetapan  hari  sidang,  sekaligus disampaikan  panggilan  kepada  pihak  yang  bersangkutan,  yaitu
pemohon  dan  pejabat  penegak  hukum  yang  bersangkutan  yang menimbulkan  terjadinya  permintaan  pemeriksaan  praperadilan.
Pemanggilan ini tidak dilihat sebagaimana perkara pidana di mana pejabat  tersebut  dianggap  sebagai  tersangka  akan  tetapi
pemanggilan terhadap
pejabat tersebut
bertujuan untuk
memberikan  keterangan  sebagai  bahan  pertimbangan  untuk menjatuhkan putusan.
3 Selambat-lambatnya 7 tujuh hari putusan sudah harus dijatuhkan
Disebutkan dalam Pasal 82 ayat 1 c pemeriksaan tersebut dilakukan  secara  cepat  dan  selambat-lambatnya  dalam  waktu  7
tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya. Berdasarkan ketentuan diatas sidang praperadilan dilakukan
dengan  acara  cepat,  karena  cepatnya  putusan  harus  dijatuhkan dalam waktu 7 tujuh hari. Hal  yang  menjadi  alasan hakim untuk
tidak  menjatuhkan  putusan  dalam  waktu  7  tujuh  hari  biasanya disebabkan  oleh  keengganan  aparat  penegak  hukum  yang
dimohonkan  praperadilan  untuk  datang  kepersidangan  selain  itu
commit to user 31
masih  adanya  rasa  sungkan  dari  penegak  hukum  untuk menghadapkan  penegak  hukum  lainnya  yang  terlibat  dalam
pemeriksaan praperadilan Yahya Harahap, 2002: 55. Selanjutnya  dalam  Pasal  82  ayat  1  d  disebutkan  bahwa
dalam  hal  suatu  perkara  sudah  mulai  diperiksa  oleh  Pengadilan Negeri  sedangkan  pemeriksaan  mengenai  permintaan  kepada
praperadilan  belum  selesai,  maka  permintaan  tersebut  gugur. Maksudnya  jika  perkara  pokoknya  sudah  mulai  di  sidangkan
sedangkan  perkara  yang  dimohonkan  praperadilan  belum dijatuhkan  putusan  maka  dengan  sendirinya  pemeriksaan
praperadilan ini gugur.
4. Tinjauan Tentang Tindakan Penyitaan
a. Pengertian penyitaan
Menurut  Pasal  1  ayat  16  KUHAP,  “Penyitaan  adalah serangkaian  tindakan  penyidik  untuk  mengambil  alih  dan  atau
menyimpan  di  bawah  penguasaannya  benda  bergerak  atau  tidak bergerak,  berwujud  atau  tidak  berwujud  untuk  kepentingan
pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan”. Tujuan  penyitaan  untuk  kepentingan  “pembuktian”,  terutama
ditujukan  sebagai  barang  bukti  di  muka  sidang  peradilan. Kemungkinan  besar  tanpa  barang  bukti,  perkara  tidak  dapat  diajukan
ke  sidang  pengadilan.  Oleh  karena  itu,  agar  perkara  tadi  lengkap dengan  barang  bukti,  penyidik  melakukan  penyitaan  untuk
dipergunakan  sebagai  bukti  dalam  penyidikan,  dalam  penuntutan  dan pemeriksaan persidangan pengadilan Yahya Harahap, 2008: 265.
b. Bentuk-bentuk Penyitaan
1 Penyitaan biasa
Penyitaan  dengan  bentuk  dan  prosedur  biasa  merupakan aturan umum penyitaan. Selama masih mungkin dan tidak ada hal-
hal yang luar biasa atau keadaan yang memerlukan penyimpangan,
commit to user 32
aturan  bentuk  dan  prosedur  biasa  yang  ditempuh  dan  diterapkan penyidik.  Penyimpangan  dari  aturan  bentuk  dan  tata  cara  biasa,
hanya  dapat  dilakukan  apabila  terdapat  keadaan-keadaan  yang mengharuskan  untuk  mempergunakan  aturan  bentuk  dan  prosedur
lain,  sesuai  dengan  keadaan  yang  mengikuti  peristiwa  itu  dalam kenyataan Yahya Harahap, 2008: 266.
2 Penyitaan dalam keadaan perlu dan mendesak
Pasal  38  ayat  2  memberi  kemungkinan  melakukan penyitaan tanpa melalui tata cara yang ditentukan Pasal 38 ayat 1.
Hal ini diperlukan untuk “memberi  kelonggaran” kepada penyidik bertindak cepat sesuai dengan  keadaan  yang diperlukan.   Keadaan
yang  sangat  perlu  dan  mendesak  ialah  bilamana  di  suatu  tempat diduga  keras  terdapat  benda  atau  barang  bukti  yang  perlu  segera
dilakukan penyitaan, atas alasan patut dikhawatirkan bahwa benda itu  akan  segera  dilarikan  atau  dimusnahkan  ataupun  dipindahkan
oleh tersangka Yahya Harahap, 2008: 269. 3
Penyitaan dalam keadaan tertangkap tangan Dalam  hal  tertangkap  tangan,  penyitaan  dilakukan  tanpa
surat  perintah.  Penyitaan  benda  dalam  keadaan  tertangkap  tangan merupakan  “pengecualian”  penyitaan  biasa.  Dalam  keadaan
tertangkap  tangan,  penyidik  dapat  “langsung”  menyita  sesuatu benda dan alat :
1 Yang ternyata digunakan untuk melakukan tindak pidana;
2 Benda  dan  alat  yang  “patut  diduga”  telah  dipergunakan  untuk
melakukan tindak pidana; 3
Benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti. Penyitaan yang dilakukan dalam keadaan tertangkap tangan
tidak  hanya  terbatas  pada  tersangka  yang  nyata-nyata  sedang melakukan  tindak  pidana,  tetapi  termasuk  pengertian  tertangkap
tangan atas paket atau surat dan benda-benda pos lainnya, sehingga
commit to user 33
terhadap benda-benda tersebut dapat dilakukan penyitaan langsung oleh penyidik.
4 Penyitaan tidak langsung
Benda  yang  hendak  disita  tidak  langsung  didatangi  dan diambil  sendiri  oleh  penyidik  dari  tangan  dan  kekuasaan  orang
yang  memegang  dan  menguasai  benda  tersebut,  tetapi  peyidik mengajak  yang  bersangkutan  untuk  menyerahkan  sendiri  benda
yang hendak disita dengan sukarela. 5
Penyitaan surat atau tulisan lain Penyitaan  dapat  dilakukan  terhadap  surat  atau  tulisan  lain.
Yang  dimaksud  surat  atau  tulisan  lain  adalah  surat  atau  tulisan yang ‘disimpan” atau “dikuasai” oleh orang tertentu, di mana orang
tertentu  yang  menyimpan  atau  menguasai  surat  itu  “diwajibkan merahasiakannya” oleh undang-undang.
6 Penyitaan minuta akta notaris berpedoman kepada surat Mahkamah
AgungPemb342986 dan Pasal 43 KUHAP Mengenai masalah ini dapat dikemukakan pedoman sebagai
berikut : 1
Ketua Pengadilan Negeri harus mempertimbangkan “relevansi” dan  “urgensi”  penyitaan  secara  objektif  berdasarkan  Pasal  39
KUHAP; 2
Pemberian izin khusus Ketua Pengadilan Negeri atas penyitaan Minuta  Akta  Notaris,  berpedoman  kepada  petunjuk  teknis  dan
operasional yang
digariskan dalam
Surat MA
No. MAPemb342986;
3 Oleh  karena  Minuta  Akta  Notaris  ditafsirkan  berkedudukan
sebagai  Arsip  Negara  atau  melekat  padanya  “rahasia  jabatan” notaris, pemberian izin oleh Ketua Pengadilan Negeri merujuk
kepada ketentuan Pasal 43 KUHAP : penyitaan harus berdasar Izin Khusus Ketua Pengadilan Negeri.
commit to user 34
c. Benda yang Dapat Disita
Benda-benda  yang  dapat  disitakan  menurut  Pasal  39  ayat  1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah :
1 benda  atau  tagihan  tersangka  atau  terdakwa  yang  seluruh  atau
sebagian diduga diperoleh dan tindak pidana atau sebagai hasil dan tindak pidana;
2 benda  yang  telah  dipergunakan  secara  Iangsung  untuk  melakukan
tindak pidana atau untuk mempersiapkannya; 3
benda  yang  dipergunakan  untuk  menghalang-halangi  penyidikan tindak pidana;
4 benda  yang  khusus  dibuat  atau  diperuntukkan  melakukan  tindak
pidana; 5
benda  lain  yang  mempunyai  hubungan  langsung  dengan  tindak pidana yang dilakukan.
5. Tinjauan Tentang Kasasi Terhadap Putusan Praperadilan
Telah  terjadi  perbedaan  pendapat  tentang  kasasi  terhadap  putusan praperadilan,  ada  yang  berpendirian  permintaan  kasasi  atas  putusan
praperadilan  tidak  dapat  dikasasi  dan  ada  yang  berpendapat  cukup  alasan untuk  memperkenankan  permintaan  kasasi  atas  putusan  praperadilan.
Selisih  pendapat  ini  bertitik  tolak  tentang  “materi”  yang  diperiksa  dan diputus  lembaga  praperadilan.  Ada  yang  berpendirian  apa  yang  diperiksa
dan diputus praperadilan bukan “materi perkara pidana”. Sedangkan  menurut  Pasal  244  KUHAP,  permintaan  kasasi  hanya
dapat  diajukan  terhadap  putusan  pengadilan  yang  berbentuk  “putusan perkara  pidana”.  Oleh  karena  itu  putusan  praperadilan  bukan  mengenai
perkara  pidana,  akan  tetapi  hanya  tentang  sah  atau  tidaknya  tindakan pejabat  yang  terlibat  dalam  pemeriksaan  penyidikan  atau  penuntutan,
berarti  putusan  praperadilan  benar-benar  berada  di  luar  ruang  lingkup Pasal  244  KUHAP.  Tetapi  ada  yang  mempersoalkan    bukan  dari  segi
materi  putusan,  mereka  bertitik  tolak  dari  pengertian  fungsi  yustisial.
commit to user 35
Ditinjau  dari  segi  fungsi  yustisial  setiap  pemeriksaan  dan  putusan  yang dijatuhkan badan peradilan, dengan sendirinya termasuk tindakan yustisial.
Setiap  putusan  yang  dijatuhkan  badan  peradilan  tanpa  mempersoalkan bentuk  dan  materi  putusan  adalah  tindakan  penyelesaian  fungsi  peradilan
atau fungsi yustisial Yahya Harahap, 2002: 25.
6. Tinjauan Tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil PPNS
Penyidik  pegawai  negeri  sipil  diberi  wewenang  khusus  oleh undang-undang.  Penyidik  pegawai  negeri  sipil  diatur  dalam  Pasal  6  ayat
1  hufuf  b,  yaitu  pegawai  negeri  sipil  yang  mempunyai  fungsi  dan wewenang sebagai penyidik. Pada dasarnya wewenang yang mereka miliki
bersumber  pada  ketentuan  undang-undang  pidana  khusus  yang  telah menetapkan  sendiri  pemberian  wewenang  penyidikan  pada  salah  satu
pasal. Wewenang  penyidikan  yang  dimiliki  oleh  pejabat  penyidik
pegawai  negeri  sipil  hanya  terbatas  sepanjang  yang  menyangkut  dengan tindak pidana yang diatur dalam undang-undang pidana khusus. Ini sesuai
dengan  pembatasan  wewenang  yang  disebutkan  dalam  Pasal  7  ayat  2 yang berbunyi: Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana yang dimaksud
pada  Pasal  6  ayat  1  huruf  b  mempunyai  wewenang  sesuai  dengan undang-undang  yang  menjadi  landasan  hukumnya  masing-masing  dan
dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik Polri.
Kedudukan  dan  Wewenang  penyidik  pegawai  negeri  sipil  dalam melaksanakan tugas penyidikan, yaitu:
a. Penyidik  pegawai  negeri  sipil  kedudukannya  berada  di  bawah
“koordinasi”  penyidik  Polri  dan  di  bawah  “pengawasan”  penyidik Polri;
b. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik Polri “memberikan petunjuk”
kepada  penyidik  pegawai  negeri  sipil  tertentu,  dan  memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan;
commit to user 36
c. Penyidik  pegawai  negeri  sipil  tertentu  harus  “melaporkan”  kepada
penyidik Polri tentang adanya suatu tindak pidana yang sedang disidik, jika  dari  penyidikan  itu  oleh  penyidik  pegawai  negeri  sipil  ada
ditemukan bukti yang kuat untuk mengajukan tindak pidananya kepada penuntut umum;
d. Apabila  penyidik  pegawai  negeri  sipil  telah  selesai  melakukan
penyidikan,  hasil  penyidikan  tersebut  harus  diserahkan  kepada penuntut  umum.  Cara  penyerahannya  kepada  penuntut  dilakukan
penyidik pegawai negeri sipil ”melalui penyidik Polri”. e.
Apabila penyidik pegawai negeri sipil menghentikan penyidikan  yang telah  dilaporkan  pada  penyidik  Polri,  penghentian  penyelidikan  itu
harus ”diberitahukan” kepada penyidik Polri dan penuntut umum.
B. Kerangka Pemikiran