adalah berasal dari hasil curian perjanjian gadai tetap dianggap sah selama pemegang gadai tidak menyatakan jika benda tersebut hasil curian.
Dalam Pasal 1152 ayat 4 sesuai yang disebutkan diatas jika pemberi gadai bukan pemilik barang yang digadaikan maka perjanjian gadai yang telah
dibuat tetap sah. Jika kreditur yang telah menerima benda gadai adalah orang lain sebagai debitur dari benda yang digadaikan ia tetap memperoleh hak gadai secara
sah atas benda itu, jika pihak kreditur beritikad baik.
C. Bentuk Penyelesaian Sengketa Jika Salah Satu Pihak Melakukan Wanprestasi dalam Perjanjian Gadai
Dalam praktek gadai di PT. Perioritas Rakyat Sejahtera Multifinance, diawali dengan adanya perjanjian utang-piutangperjanjian antara kreditur debitur
yang didalam hal ini adalah PT. Perioritas Rakyat Sejahtera Multifinance dan debitur nasabah sebagai perjanjian pokoknya yang diikuti dengan menggadaikan
sebuah barang bergerak milik debitur sebagai jaminan pelunasan atas hutangnya. Menurut M. Daud yang dijadikan penelitian dalam praktek gadai di PT.
Perioritas Rakyat Sejahtera Multifinance, penerimaan barang jaminan dari seorang nasabah didasarkan pada ketentuan Pasal 1977 dimana sesorang yang menguasai
barang bergerak dianggap sebagai pemilik barang sebenarnya. Dari pasal tersebut ditafsirkan oleh pihak kreditur gadai bahwa orang yang membawa barang
bergerak untuk digadaikan adalah sebagai pemilik sebenarnya dari benda tersebut, sehingga dalam hal ini akan dilindungi oleh hukum, karena dalam pelaksanaan
Universitas Sumatera Utara
gadai, pihak pegadaian selalu beritikad baik dalam menerima barang jaminan dari nasabah.
Dalam persyaratan peminjaman kredit di PT. Perioritas Rakyat Sejahtera Multifinance, pihaknya mengharuskan nasabah debitur untuk menyerahkan
Kartu Tanda Penduduk KTP dan untuk barang-barang jaminan berupa kendaraan bermotor pegadaian mengharuskan nasabah untuk menyertakan bukti -
bukti kepemilikan kendaraan bermotor berupa fotokopi BPKB dan STNK. Karena pihak kreditur telah beritikad baik dalam perjanjian gadai tersebut,
maka selayaknya apabila kreditur dari PT. Perioritas Rakyat Sejahtera Multifinance dilindungi oleh hukum. Hal itu dilakukan untuk mengantisipasi
adanya nasabah yang beritikad baik dalam menggadaikan barangnya.Tetapi dalam kenyataannya, berdasarkan penelitian bahwa pernah terjadi sebuah permasalahan,
dimana barang yang digadaikan oleh seorang nasabah merupakan hasil pinjam meminjam atau hasil curian, walaupun presentasenya sangat sedikit.
Kasus Terhadap Barang JaminanBarang Gadai 2004 – 2016
Barang Gadai Penyelesaian
Keterangan Kasus
Barang curian yang digadaikan
Proses hukum ke Pengadilan
Putusan Pengadilan
1
Barang pinjaman yang digadaikan
Musyawarah kekeluargaan
Damai 2
Jumlah 3
Universitas Sumatera Utara
Adapun bentuk penyelesaian sengeketa apabila salah satu pihak antara kreditur dan debitur melakukan wanprestasi di kemudian hari maka dapatlah
dibedakan atas 2 penyelesaian sengketa yakni : a.
Penyelesaian sengketa Non Litigasi b.
Penyelesaian sengketa Litigasi
a. Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan Non Litigasi
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah pilihan alternatif untuk para pihak apabila para pihak yang menghadapi sengketa konsumen ingin
menyelesaikan sengketa yang dihadapinya. Pasal 47 Undang - Undang Perlindungan Konsumen mendefinisikan penyelesaian sengketa diluar Pengadilan
Sebagai berikut : “ Penyelesaian sengketa diluar pengadilan diselenggarakan untuk
mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi danatau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali
atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen”
123
1. Penyelesaian Sengketa Damai
Adapun bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan non litigasi yakni :
Penyelesaian sengketa secara damai merupakan penyelesaian sengketa antara para pihak, dengan atau tanpa kuasapendamping bagi masing - masing
pihak melalui cara damai. Cara damai dapat dilakukan dengan cara musyawarah
123
Indonesia c, Undang - Undang Perlindungan Konsumen, UU No. 8 Tahun 1999, LN No.42 Tahun 1999, TLN No.3821, Pasal 47.
Universitas Sumatera Utara
atau mufakat para pihak. Cara penyelesaian sengketa dengan cara damai ini diusahakan agar mudah, murah, dan relatif lebih cepat. Dasar hukum penyelesaian
ini terdapat dalam Kitab Undang - Undang Hukum Perdata Pasal 1851 - 1854 tentang perdamaiandading dan dalam Undang - Undang Perlindungan Konsumen
Pasal 45 ayat 2 jo. Pasal 47.
124
2. Penyelesaian melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
Di dalam Hukum Perdata dan Undang - Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 telah dituangkan agar penyelesaian sengketa konsumen
debitur antara kreditur gadai dapat diselesaikan secara musyawarah mufakat. Namun umumnya musyawarah mufakat dapat dilakukan melalui negosiasi artinya
kreditur bertanggung jawab apabila ada keluhan dari konsumen yang menyebabkan konsumen merasa dirugikan.
BPSK memiliki tugas dan wewenang untuk melaksanakan penanganan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara mediasi, arbitrase atau konsiliasi.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas dan wewenang BPSK diatur dalam Surat Keputusan Menteri, dan ketentuan tersebut diatur dalam Kepmenperindag No.
3502001. Permohonan penyelesaian sengketa konsumen yang diajukan oleh
konsumen kepada BPSK dapat dilakukan secara tertulis maupun lisan melalui sekretariat BPSK, yang dapat juga diajukan oleh ahli waris atau kuasanya
bilamana konsumen:
124
Az Nasution, Op Cit, hal 233.
Universitas Sumatera Utara
a. Meninggal dunia;
b. Sakit atau telah berusia lanjut sehingga tidak dapat mengajukan pengaduan
sendiri baik secara tertulis maupun lisan, sebagaimana dibuktikan dengan surat keterangan dokter atau bukti Kartu Tanda Penduduk KTP;
c. Belum dewasa sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku; atau d.
orang asing Warga Negara Asing. UUPK tidak mengatur mengenai kehadiran kuasa advokat dalam
penyelesaian sengketa konsumen di BPSK. Sehingga menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda. Namun dalam prakteknya, kehadiran kuasa advokat
diperbolehkan asalkan memenuhi syarat Pasal 15 ayat 3 Kepmenperindag No. 3502001.
Dalam Pasal 16 Kepemenperindag No. 3502001, permohonan penyelesaian sengketa konsumen harus memuat secara benar dan lengkap mengenai :
a. nama dan alamat lengkap konsumen, ahli waris atau kuasanya disertai
bukti diri; b.
nama dan alamat lengkap pelaku usaha; c.
barang atau jasa yang diadukan; d.
bukti perolehan bon, faktur, kwitansi, dan dokumen bukti lain e.
keterangan tempat, waktu dan tanggal diperoleh barang atau jasa tersebut; f.
saksi yang mengetahui barang atau jasa tersebut diperoleh; g.
foto-foto barang dan kegiatan pelaksanaan jasa, bila ada.
Universitas Sumatera Utara
Dalam Pasal 17 Kepemenperindag No. 3502001 ketua BPSK menolak permohonan penyelesaian sengketa konsumen apabila:
a. permohonan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16; dan b.
permohonan gugatan bukan merupakan kewenangan BPSK. Tata cara persidangan menurut Pasal 26 Kepemenperindag No. 3502001,
ketua BPSK memanggil pelaku usaha selambat-lambatnya dalam waktu 3 tiga hari sejak permohonan penyelesaian sengketa diterima secara benar dan lengkap
sesuai dalam Pasal 16 Kepemenperindag No. 3502001. Dalam surat panggilan tersebut dicantumkan secara jelas mengenai hari, tanggal, jam dan tempat
persidangan serta kewajiban pelaku usaha untuk memberikan surat jawaban terhadap penyelesaian sengketa konsumen dan disampaikan pada hari sidang
pertama. Ketentuan mengenai Pasal 26 Kepemenperindag No. 3502001 terkesan
menimbulkan anggapan apabila konsumen telah mengupayakan permohonan sengketa konsumen ke BPSK maka pelaku usaha terikat mengikuti kemauan atau
pilihan konsumen. Berdasarkan penelitian lapangan yang dilakukan di BPSK kota Bandung,
sebelum persidangan ada suatu tahap yang dinamakan prasidang. Prasidang ini tidak diatur dalam UUPK maupun Kepemenperindag No. 3502001. Pemanggilan
awal yang dilakukan kepada pelaku usaha ialah pemanggilan kepada para pihak yang bersengketa untuk menghadiri prasidang.
Universitas Sumatera Utara
Prasidang ini merupakan suatu tahap untuk mempertemukan para pihak bersengketa untuk menentukan cara penyelesaian sengketa yang akan digunakan
dan penunjukan majelis. Namun ada kendala dalam pemanggilan pelaku usaha tersebut, karena pelaku usaha belum tentu sanggup untuk menghadiri
pemanggilan tersebut, bahkan bisa saja tidak bersedia untuk menyelesaiakan sengketanya melalui BPSK, dan BPSK pun tidak memiliki kewenangan untuk
melakukan pemanggilan secara paksa. Jika pelaku usaha tidak bersedia hadir, maka BPSK tidak bisa berbuat apa-apa, dan sengketa konsumen tidak bisa
diproses lebih lanjut. Jadi kewajban pelaku usaha untuk memberikan jawaban terbatas pada
setuju atau tidaknya menggunakan BPSK sebagai lembaga penyelesaian sengketa yang dihadapinya, bukan jawaban terhadap penyelesaian sengketa konsumen
sebagai tangkisan atau pembelaan diri sebagaimana materi jawaban atas gugatannya
Jika pelaku usaha hadir dalam prasidang dan sepakat untuk menyelesaiakan sengketanya melalui BPSK, maka konsumen dan pelaku usaha
bebas menentukan cara penyelesaian sengketa yang akan digunakan. Penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK baik dengan cara konsiliasi, mediasi atau
arbitrase dilakukan berdasarkan pilihan para pihak, dan penyelesaian tersebut bukan merupakan proses penyelesaian sengketa secara berjenjang.
Setelah disepakati mengenai cara penyelesaian sengketa, dibentuklah majelis. Majelis dibentuk berdasarkan keputusan ketua BPSK dan dibantu oleh
Universitas Sumatera Utara
panitera. Majelis anggotanya harus ganjil dan paling sedikit berjumlah 3 tiga orang yang mewakili unsur pemerintah, unsur konsumen dan unsur pelaku usaha
yang salah satu anggotanya wajib berpendidikan dan berpengetahuan hukum. Ketua majelis harus berasal dari unsur pemerintah. Panitera berasal dari anggota
sekretariat yang ditunjuk dengan surat penetapan ketua BPSK. Ketua majelis atau anggota majelis atau panitera wajib mengundurkan diri
apabila terkait hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan pihak yang
bersengketa atau kuasanya. Penyelesaian sengketa konsumen dengan cara arbitrase dilakukan
sepenuhnya dan diputuskan oleh majelis yang bertindak sebagai arbiter. Berbeda dengan konsiliasi dan mediasi dimana penyelesaian dilakukan sendiri oleh para
pihak yang bersengketa dengan didampingi oleh majelis. Dalam konsiliasi majelis bertindak secara pasif, sedangkan dalam mediasi majelis bertindak secara aktif.
Dalam penyelesaian sengketa konsumen dengan cara arbitrase, para pihak memilih arbiter dari anggota BPSK yang berasal dari unsur pelaku usaha dan
konsumen sebagai anggota majelis. Kemudian arbiter yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa memilih arbitor ketiga dari anggota BPSK yang berasal dari
unsur pemerintah sebagai ketua majelis. Berdasarkan Pasal 26 ayat 3 Kepmenperindag No. 3502001 persidangan
I pertama dilaksanakan selambat-lambatnya pada hari kerja ke-7 tujuh terhitung sejak diterimanya permohonan penyelesaian sengketa konsumen oleh
Universitas Sumatera Utara
BPSK. Namun pada prakteknya tidak berjalan seperti itu, persidangan I pertama selambat-lambatnya dilaksanakan 7tujuh hari kerja sejak persyaratan terpenuhi.
Selain syarat-syarat Pasal 16 Kepemenperindag No. 3502001, syarat yang harus dipenuhi ialah adanya kesepakatan antara konsumen dan pelaku usaha bahwa
sengketa akan diselesaikan melalui BPSK dengan cara arbitrase. Hal ini juga berlaku bagi penyelesaian sengketa dengan cara konsiliasi dan mediasi.
Pada hari persidangan I pertama ketua majelis wajib mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa dan bilamana tidak tercapai perdamaian,
maka persidangan dimulai dengan membacakan isi gugatan konsumen dan surat jawaban pelaku usaha. Konsumen dan pelaku usaha diberikan kesempatan yang
sama untuk menjelaskan hal-hal yang dipersengketakan. Pada persidangan I pertama sebelum pelaku usaha memberikan
jawabannya konsumen dapat mencabut gugatannya dengan membuat surat pernyataan. Jika gugatan tersebut dicabut, majelis wajib mengumumkan bahwa
gugatan dicabut. Apabila dalam proses penyelesaian sengketa konsumen terjadi perdamaian antara konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa, majelis wajib
membuat putusan dalam bentuk penetapan perdamaian. Apabila pelaku usaha atau konsumen tidak hadir pada hari persidangan I
pertama, maka menurut Pasal 36 Kepemenperindag No. 3502001 majelis memberikan kesempatan terakhir kepada konsumen dan pelaku usaha untuk hadir
pada persidangan II kedua dengan membawa alat bukti yang diperlukan. Persidangan II kedua dilakukan selambat-lambatnya dalam waktu 5 hari kerja
Universitas Sumatera Utara
terhitung sejak hari persidangan I pertama. Bilamana pada persidangan II kedua konsumen tidak hadir, maka gugatannya gugur demi hukum, sebaliknya
jika pelaku usaha yang tidak hadir, maka gugatan konsumen dikabulkan tanpa kehadiran pelaku usaha putusan verstek.
Pembuktian dalam proses penyelesaian sengketa konsumen menurut Pasal 22 Kepemenperindag No. 3502001 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku
usaha. Sehingga pembuktian tidak dibebankan kepada konsumen selaku penggugat.
Alat bukti dalam penyelesaian sengketa konsumen menurut Pasal 21 Kepemenperindag No. 3502001 berupa:
a. barang danatau jasa;
b. keterangan para pihak yang bersengketa;
c. keterangan saksi danatau saksi ahli;
d. surat danatau dokumen;
e. bukti-bukti lain yang mendukung.
Hasil penyelesaian sengketa konsumen dengan cara arbitrase dibuat dalam bentuk putusan majelis yang ditandatangani oleh ketua dan anggota majelis.
Keputusan majelis tersebut menurut Pasal 37 ayat 5 Kepemenperindag No. 3502001 dapat memuat sanksi administratif. Namun berdasarkan penelitian
lapangan, BPSK mengalami kendala dalam penetapan sanksi administrasi tersebut, karena belum ada aturan yang mengatur mengenai tata cara penjatuhan
sanksi administratif. BPSK Kota Bandung sampai saat ini dalam putusannya belum pernah menyertakan sanksi administratif kepada pelaku usaha, putusan
biasanya hanya mengenai ganti kerugian.
Universitas Sumatera Utara
Majelis wajib menyelesaiakan sengketa konsumen selambat-lambatnya dalam waktu 21 dua puluh satu hari kerja sejak persyaratan gugatan terpenuhi.
Putusan majelis merupakan putusan BPSK, dimana menurut Pasal 40 ayat 1 Kepemenperindag No. 3502001 bahwa putusan BPSK dapat berupa:
a. perdamaian;
b. gugatan ditolak;atau
c. gugatan dikabulkan
Selanjutnya dalam ayat 2 dikatakan, bilamana gugatan dikabulkan, maka dalam amar putusan ditetapakan kewajiban yang harus dilakukan oleh
pelaku usaha atau kreditur. Kewajiban tersebut berupa pemenuhan: a.
ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat 2; dan atau b.
sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp. 200.000.000,- dua ratus juta rupiah
Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat 2 Kepmenperindag No. 3502001 berupa :
a. pengembalian uang;
b. penggantian barang danatau jasa yang sejenis atau setara nilainya; atau
c. perawatan kesehatan danatau pemberian santunan.
Tidak ada ketentuan mengenai akibat hukum apa yang akan ditimbulkan apabila penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK melebihi jangka waktu 21
hari. Namun dalam prakteknya, belum pernah terjadi keterlambatan seperi itu di BPSK Kota Bandung. Namun apabila hal itu suatu saat terjadi, bisa saja para
pihak tidak bersedia untuk melanjutkan proses penyelesaian sengketa, dan akan terjadi suatu permasalahan tersendiri karena belum ada ketentuan yang mengatur
mengenai hal tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Ketentuan pemberitahuan dan pelaksanaan putusan menurut Pasal 41 Kepmenperindag No. 3502001 bahwa ketua BPSK memberitahukan putusan
majelis secara tertulis kepada alamat konsumen dan pelaku usaha, selambat- lambatnya 7 tujuh hari kerja sejak putusan dibacakan. Dalam waktu 14 empat
belas hari kerja sejak putusan BPSK diberitahukan, konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa wajib menyatakan menerima atau menolak putusan
BPSK. Konsumen yang menolak putusan BPSK, dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri selambat-lambatnya dalam waktu 14 empat belas hari
kerja sejak putusan BPSK diberitahukan. Pelaku usaha atau kreditur yang menyatakan menerima putusan BPSK,
wajib melaksanakan putusan tersebut selambat-lambatnya dalam waktu 7 tujuh hari kerja sejak menyatakan menerima putusan BPSK. Pelaku usaha yang
menolak putusan BPSK, tetapi tidak mengajukan keberatan setelah batas waktu dilampaui, maka dianggap menerima putusan dan wajib melaksanakan putusan
tersebut selambat-lambatnya dalam waktu 5 lima hari kerja setelah batas waktu mengajukan keberatan dilampaui. Apabila pelaku usaha tidak menjalankan
kewajibannya, maka menurut Pasal 41 ayat 6 Kepmenperindag No. 3502001, BPSK menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk melakukan
penyidikan. Dalam Pasal 54 ayat 3 UUPK dikatakan bahwa putusan BPSK bersifat final
dan mengikat, kemudian dalam Pasal 42 1 Kepmenperindag No. 3502001dikatakan bahwa putusan BPSK merupakan putusan yang final dan telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.
Universitas Sumatera Utara
Dalam Pasal 42 2 Kepmenperindag No. 3502001, putusan BPSK sebagaimana pada ayat 1 dimintakan penetapan eksekusinya oleh BPSK kepada Pengadilan
Negeri di tempat konsumen yang dirugikan. Namun pada prakteknya, konsumen lah yang harus mengajukan eksekusi terhadap putusan BPSK kepada Pengadilan
Negeri. BPSK merupakan lembaga yang menyelesaikan sengketa konsumen dan memutus sengketa tersebut dalam menetapkan ganti kerugian. Oleh karena itu
kedudukan BPSK harus netral dan tidak berpihak. Meskipun tujuan utama pendirian BPSK adalah memberikan perlindungan
hukum terhadap konsumen, tetapi ini tidak berarti bahwa dalam upaya pelaksanaan ganti kerugian, BPSK yang harus mengajukan eksekusinya ke
Pengadilan Negeri. Mengenai besarnya biaya perkara, BPSK tidak memungut biaya kepada para pihak yang bersengketa.
Pelaksanaan eksekusi diserahkan dan menjadi wewenang penuh dari Pengadilan Negeri yang menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman. Cara
pelaksanaan putusan Hakim diatur dalam Pasal 195 sampai dengan Pasal 208 HIR.Apabila surat perintah eksekusi yang ditandatangani oleh ketua Pengadilan
Negeri telah dikeluarkan, maka panitera dibantu oleh juru sita dan dua orang saksi dengan membawa surat perintah pergi ke tempat penyitaan.
Yang dapat disita terutama adalah barang bergerak milik pihak yang dikalahkan Pasal 197 HIR,
Pasal 208 RBg. Barang bergerak harus didahulukan untuk disita secara eksekutorial.
Universitas Sumatera Utara
Barang bergeak tidak yang ada di tangan orang lainpun dapat disita, tetapi tidak boleh dijalankan atas hewan dan alat-alat yang digunakan untuk mata
pencaharian Pasal 197 ayat 8 HIR. Termasuk dalam barang bergerak ialah uang, surat berharga, dan barang bergerak yang bertubuh. Dalam hal penyitaan
barang tetap, maka berita acara diberitahukan kepada lurah untuk diumumkan. Pemberitahuan ini maksudnya tidak lain agar barang yang disita tidak diperjual-
belikan Pasal 198 HIR. Pasal 30 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang peraturan pendaftaran tanah mewajibkan Panitera Pengadilan Negeri
untuk mendaftarkan penyitaan atas tanah kepada Kantor Pendaftaran Tanah. Barang siapa menentang atau menghambat dengan ancaman atau
kekerasan petugas eksekusi dapat dihukum menurut Pasal 211-214 KUHP. Pasal 231 KUHP mengancam dengn pidana barang siapa menjauhkan atau
menyembunyikan barang yang disita. Jika tidak ada atau tidak cukup barang milik debitur untuk menjalankan putusan, maka atas permintaan pihak yang menang
secara lisan atau tertulis, ketua Pengadilan Negeri memberi perintah dengan surat kepada yang berkuasa menjalankan surat juru sita, supaya orang yang berhutang
disanderakan. Putusan BPSK yang bersifat final dan mengikat serta mempunyai
kekuatan hukum tetap tersebut, masih bisa diajukan upaya keberatan kepada Pengadilan Negeri. Hal ini jelas diatur dalam Pasal 56 ayat 2 UUPK dan Pasal 7
ayat 2 Kepmenperindag No. 3502001. Ketentuan pengajuan keberatan terhadap putusan BPSK diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan
Universitas Sumatera Utara
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Perma No. 12006. Perma No. 12006 ini diharapkan dapat menjawab permasalahan mengenai bagaimana tata cara
pengajuan keberatan terhadap putusan BPSK yang tidak diatur dalam UUPK maupun Kepmenperindag No. 3502001.
Keberatan dalam Pasal 1 angka 1 Perma No. 12006 diartikan sebagai upaya bagi pelaku usaha dan konsumen yang tidak menerima putusan BPSK.
Pengajuan keberatan ini hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase BPSK. Keberatan terhadap putusan BPSK dapat diajukan baik oleh pelaku usaha danatau
konsumen di tempat kedudukan konsumen. Sedangkan yang tidak mempunyai tempat kedudukan hukum di Indonesia harus mengajukan keberatan di Pengadilan
Negeri dalam wilayah hukum BPSK yang mengeluarkan putusan. Keberatan diajukan dalam waktu 14 empat belas hari sejak
pemberitahuan putusan melalui kepaniteraan Pengadilan Negeri sesuai dengan prosedur pendaftaran perkara perdata. Jika keberatan diajukan pelaku usaha dan
konsumen terhadap putusan BPSK yang sama, maka harus didaftarkan dengan nomor yang sama.
Pemeriksaan keberatan hanya didasarkan terhadap putusan arbitrase BPSK dan berkas perkara. Menurut Pasal 6 ayat 3 Perma No. 12006, keberatan yang
diajukan dalam hal pembatalan putusan mengacu pada ketentuan syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 70 UU Arbitrase, yaitu:
a. Surat dan dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan
dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;
Universitas Sumatera Utara
b. Setelah putusan arbitrase BPSK diambil ditemukan dokumen yang bersifat
menentukan yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau c.
Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.
Keberatan tidak hanya mengacu pada alasan yang diatur dalam Pasal 6 ayat 3 Perma No. 12006, Majelis hakim dapat mengadili sendiri sengketa
konsumen yang bersangkutan dengan alasan lain di luar ketentuan Pasal 6 ayat 3 Perma No. 12006. Majelis hakim hanya diberikan waktu 21 dua puluh satu hari
sejak sidang pertama dilakukan. Permohonan eksekusi atas putusan BPSK yang telah diperiksa melalui prosedur keberatan, ditetapkan oleh Pengadilan Negeri
yang memutus perkara keberatan bersangkutan dan Hukum Acara Perdata tetap berlaku terhadap keberatan atas putusan BPSK, kecuali ditentukan lain dalam
Perma No. 12006. b.
Penyelesaian Sengketa di Pengadilan Litigasi Penyelesaian sengketa konsumen yang mengacu pada ketentuan peradilan
umum dengan gugatan di Pengadilan Negeri PN tempat kedudukan Konsumen.
125
125
Indonesia c, Undang - Undang Perlindungan Konsumen, UU No. 8 Tahun 1999, LN No.42 Tahun 1999, TLN No.3821, Pasal 36.
Alur dan jangka waktu proses penyelesaian sengketa mengacu pada proses keberatan putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen BPSK
pada Pengadilan Negeri. Mengenai tuntutan yang ditujukan kepada Pengadilan Negeri, dapat juga tuntutan yang diajukan melalui Pengadilan Negeri dilakukan
Universitas Sumatera Utara
secara langsung tanpa terlebih dahulu melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen BPSK.
126
Pasal 45 ayat 1 UU No. 8 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Konsumen menyatakan “setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha
melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada dilingkungan peradilan umum.”
Ketentuan ayat berikutnya mengatakan, “penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela
para piihak yang bersengketa.
127
126
Indonesia c, Undang - Undang Perlindungan Konsumen, UU No. 8 Tahun 1999, LN No.42 Tahun 1999, TLN No.3821, Pasal 36
127
Indonesia c, Undang - Undang Perlindungan Konsumen, UU No. 8 Tahun 1999, LN No.42 Tahun 1999, TLN No.3821, Pasal 45 ayat 1
Universitas Sumatera Utara
90
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hal penelitian ini, dapat disimpulkan dimana beberapa hal mengenai Perlindungan Hukum Tehadap Kreditur Gadai Dalam Perjanjian Gadai.
1. Bentuk tanggung jawab yang diberikan kreditur terhadap barang yang di
gadaikan ialah, kreditur menjaga barang yang digadaikan dan kreditur merawat barang yang digadaikan sesuai Pasal 1157 KUHPerdata.
Kreditur wajib bertanggung jawab terhadap benda gadai yang hilang, Pada umumnya tanggung jawab terdiri atas tanggung jawab berdasarkan kelalaian
atau kesalahan, dimana suatu perbuatan yang menimbulkan kerugian harus terbukti bahwa kreditur lalai dalam menjaga barang. Dan tanggung jawab
berdasarkan wanprestasi, dimana kreditur membayar ganti rugi akibat dari penerapan klausula dalam perjanjian yang merupakan ketentuan hukum bagi
debitur dan kreditur. 2.
Aspek hukum dalam Perjanjian Hutang Piutang dengan Gadai, berdasarkan hasil penelitian terhadap kredit dengan hanya menyerahkan jaminan benda
bergerak kepada kreditur, KTP atau Identitas lainnya calon nasabah dan barang yang dibawa langsung dianggap sebagai barang jaminan. Kemudian
harus ada persetujuan antar para pihak, persetujuan antar para pihak dalam perjanjian gadai dituangkan dalam Surat Bukti Kredit.
3. Bentuk Penyelesaian Sengketa jika salah satu pihak melakukan wanprestasi
dalam Perjanjian Gadai dapat dilakukan penyelesaian sengketa non-litigasi dimana penyelesaian sengketa ini dilakukan diluar pengadilan seperti
penyelesaian sengketa damai dan penyelesaian melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Selain itu dapat dilakukan penyelesaian sengketa di
pengadilan litigasi.
Universitas Sumatera Utara
B. Saran