Sumber kepustakaan Kajian Sumber

9 negara. Dalem minta maaf dan minta belas kasihan pada Brahmana Sangkya agar kesempurnaan Bali dapat di kembalikan dan agar karya bisa terlaksana, tentu saja dengan janji Dalem harus menerima Brahmana sebagai saudara dan bergelar Dalem Sidakarya. Brahmana Sangkya juga meminta saksi pituhu yang membenarkan segala ucapannya, selanjutnya Dalem Sidakarya mengaku sebagai “Dewa mrana” tikus, walangsangit dan lain-lain Dalem Sidakarya juga menitahkan, barang siapa mengadakan upacara di Bali harus minta Jatu karya yang berupa catur wija dan panca taru juga tidak di ijinkan memakai hama mrana sebagai lauk pauk upacara. Buku atau lontar Babad Bebali Sidakarya merupakan sumber dasar cerita garapan wayang Inovatif ini 2. Filsafat Wayang Dalam Panca Yadnya, oleh I Wayan Watra, 2006. Buku ini membahas tentang hubungan atau realisasi panca yadnya dalam pementasan cerita wayang kulit Bali yang berkaitan dengan wali dan bebali. Buku ini juga mengulas tentang nilai-nilai yang terkandung dalam pertunjukan wayang kulit Bali, yang dapat di pergunakan sebagai cermin diri beretika yang berlandaskan kepada tri kaya parisudha dalam pergaulan di masyarakat. Buku filsafat ini sangat menunjang pemahaman penggarap di dalam pelaksanan yadnya dalam kontek beretika saat melakukan ritual keagamaan. 3. Estetika Sebuah Pengantar, oleh AA. Made Djelantik, 2004. Buku ini secara umum mengungkapkan keindahan yang meliputi keidahan alam dan keindahan alam buatan manusia. Dengan demikian kesenian dapat dikatakan merupakan salah satu wadah yang mengandung unsur-unsur keindahan 2004:13. Ada tiga aspek dasar keindahan yang menjadi unsur-unsur estetika yang terkandung kedalam benda dan peristiwa kesenian yaitu: 10 1. Wujud atau rupa appearance yang terdiri dari bentuk form atau unsur yang mendasar dan susunan atau struktur strcture. 2. Bobot yang terdiri dari tiga aspek yaitu: suasanamood, gagasan ide, ibarat atau pesan Massage. 3. Penampilan yang mengandung tiga unsur yaitu: bakat talent, ketrampilan skil, sarana atau media. Buku ini banyak memberikan tentang kehindahan atau unsur-unsur estetika pada garapan ini. 4. Retorika Sebagai Ragam Bahasa Panggung Dalam Seni Pertunjukan Wayang Kulit Bali, oleh Ketut Rota, 1990. Buku ini mengulas tentang kebahasaan terutama aspek-aspek penggunaan bahasa sebagai ragam tutur. Dalam pertunjukan wayang kulit Bali, tutur atau retorika sangat diperlukan dalam dialog-dialog. Salah satu ragam tutur yang banyak digunakan adalah ragam tutur alternasi, alternasi yang dimaksud adalah penggunaan gaya bahasa berselang seling seperti tutur bahasa kawi dengan tutur bahasa Bali, tutur berbentuk tembang dengan tutur ganjaran prosa, tutur berirama panjang, tinggi dan keras, dengan tutur berirama pendek, rendah dan lemah. Disamping itu ragam tutur alternasi juga menggunakan ragam tutur yang lain seperti: ragam tutur epentesis yaitu penggunaan gaya bahasa dengan menyelipkan bahasa lain kedalam dialog, ragam tutur repetisi adalah gaya bahasa yang berulangan bunyi, suku kata, kata atau kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai dinginkan. 5. Simbolisme dan Mistikisme Dalam Wayang, oleh Sri Mulyono, 1983. Buku ini membahas tentang simbol-simbol dan aspek-aspek mistikisme yang terkandung dalam kesenian wayang. Pertunjukan wayang semalam suntuk adalah simbulisme 11 dari suatu perjalanan kehidupan manusia yang disimbulkan melalui bayi yang baru lahir hingga menuju ajalnya. Pertunjukan wayang juga mempunyai hubungan yang sangat erat antara alam mikro manusia dan makro alam semesta. Buku ini akan menjadi sebuah teori untuk mengungkap simbul-simbul yang terdapat dalam garapan Sidakarya ini. 6. Buku Wayang Sapuh Leger Fungsi dan Maknanya Dalam Masyarakat Bali, oleh Dewa Ketut Wicaksana, 2007. Buku ini mengulas tentang genre wayang kulit Bali khususnya Wayang Sapuh Leger, juga membahas tentang pementasan wayang Sapuh Leger sebagai upacara ritual masyarakat Bali, sarana untuk menyucikan atau membersihkan anak yang lahir pada wuku wayang. Pertunjukan wayang ini dianggap sakral karena mengandung makna tentang hakekat hidup manusia, hakekat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya, hubungan manusia dengan manusia, yang berkaitan dengan upacara manusia yadnya yaitu ritual yang berhubungan dengan siklus kehidupan manusia. Buku ini memberi manfaat ketika manusia melakukan sebuah ruatan dengan media seni dalam melakukan ritual. 7. Buku Imba Penopengan Sidakarya, oleh Nyoman Catra, 2007. Buku ini mengulas tentang pengertian topeng Sidakarya yang identik sebagai tarian sakral untuk upacara di pura dan di puri bagi agama hindu. Dilihat dari tinjauan historis topeng sidakarya berkaitan erat dengan tradisi Bali dan Jawa sejak abad ke IX, makna dan filsafatnya pun dipakai pedoman tuntunan bagi kehidupan kita semua. Konsep utpeti stiti dan praline juga fungsi dan peranan topeng sidakarya sangatlah penting didalam upacara ritual Bali. Buku ini merupakan buku perbandingan lontar Bebali Sidakarya, dengan demikian buku ini sekaligus sebagai salah satu penunjang literatur pokok garapan ini. 12 Selaian dari sumber-sumber yang telah disebutkan di atas, penggarap juga mendapatkan beberapa inpormasi pendapat dari beberapa inporman. Dua tokoh informan yang penggarap wawancarai untuk mendapatkan berbagai informasi tentang garapan ini. Hal tersebut dimaksudkan untuk memperkuat garapan serta mengali pikiran dan masukan-masukan yang terkait dengan garapan ini. Salah satu cara untuk memperoleh masukan tersebut, penggarap mengadakan tanya jawab secara langsung atau wawancara dengan seorang tokoh yang memahami babad bebali Sidakarya. 1. Pada hari minggu tanggal 4 Nopember 2012, dengan Bapak I Nyoman Sukada, Alamat rumahnya di Banjar Denkayu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. Beliau merupakan penulis segala prasasti dengan tembaga atau daun lontar, beliau juga merupakan ketua Parisada Kabupaten Badung. Bapak I Nyoman Sukada dulu merupakan salah satu dosen Agama Hindu di Universitas Hindu Indonesia UNHI Denpasar. Dalam wawancara ini beliau memaparkan tentang isi lontar bebali yang di lihat dari makna, fungsi, dan tatwa Sidakarya. Jika diperhatikan simbol yang terdapat dalam Sidakarya, ini diartikan” Saya bersama- Nya atau penyatuan bersama”dalam Ajaran Hindu di Bali, Simbol mengandung makna kesucian mahasuci. Melihat bentuk atau wujud topeng Sidakarya, Beliau mempunyai pemikiran pokok tentang Sidakarya diantaranya: - Warna putih melambangkan kesucian, kesuburan, dan kesejukan. - Mata Sipit berlobang setengah lingkaran segi tiga tumpul adalah lambang konsentrasi, setengah lingkaran adalah lambang Ardhacandra, segi tiga lambang Nada. 13 - Cundamanik adalah lambang kebijaksanaan. - Gigi Tongos lambang kebengisan, keperkasaan aeng. - Wajah setengah manusia dan setengah demonic, melambangkan angker dan menakutkan. - Rambut panjang sebahu, lambang agombak pandeta Budha. - Kudung Rerajahaan, lambang Wijaksara, aksara-aksara suci. - Membawa bokoran yang berisi canang sari, dupa, sekarura, uang kepeng lambang persembahan. 2. I Gusti Ngurah Windia seorang tokoh seniman topeng yang terkenal oleh masyarakat Bali dengan sebutan Topeng Tugek Carangsari. Tanggal 2 mei 2013 penggarap menemui dirumahnaya, beliau sependapat dengan narasuber pertama. Beliaupun menambahkan tentang isi lontar ketattwaning Sidakarya, kita perhatikan bentuk dan wujud topeng Sidakarya, maka topeng Dalem Sidakarya melambangkan Budha Tantrayana. Aliran ini berkembang di Bali pada abad ke 13 dari aliran Bhirawa Bhisma Sakti yang lebih menonjolkan pemujaan Sakti dewi. Ketika itu Kertanegara Raja Singosari menyerang Bali, Sidakarya saat itu diidentikan dengan Pandeta Budha. Bentuk ini dihubungkan dengan babad bebali Sidakaraya, yang merupakan sumber atau dasar dari garapan ini, maka dapat di pastikan isinya adalah pergolakan antara Dalem Waturenggong dengan Brahmana Sangkya atau keling. Konsep yang terkandung didalamnya adalah Rwa Bhineda yang berakhir dengan penyatuan syncretisme. Sesuai yang disebutkan dalam kekawin Sutasoma yang berbunyi “Rwaneka Dhatu Winuwus Wara Budha Wiswa, bhinneka rakwa ri kapan kena parwa nosen” Pandeta Siwa dan Budha bersama-sama muput karya dengan tujuan yang satu kesuksesan karya atau Sidakarya. 14

BAB III PROSES KREATIVITAS

Sesuatu hal yang akan di buat sudah tentu mengalami suatu proses untuk menyelesaikan suatu kegiatan. Dalam garapan pakeliran inovasi yang berjudul Dalem Sidakarya ini pasti mengalami beberapa proses dalam menyelesaikan garapan, sampai garapan siap untuk di pentaskan. Persiapan garapan di sesuaikan dengan jadwal yang telah disepakati antara pendukung karawitan dan pemegang wayang. Tempat latihan juga disepakati tanpa mengurangi aktivitas para pendukung dalam garapan ini. Dalam Buku Mencipta Lewat Tari oleh Y.Sumandiyo Hadi, 1990 yang terjemahan dari Creating Through Dance oleh Alma M. Hawkins, 1994 dijelaskan bahwa dalam menciptakan suatu karya harus memiliki tiga tahapan penting yaitu; penjajagan eksplorasi, percobaan improvisasi, dan tahap pembentukan komposisi.

3.1 Proses Penjajagan Eksplorasi

Tahapan ini merupakan tahap pendahuluan dalam menyelesaikan suatu garapan. Dalam tahapan ini dilakukan pencarian ide-ide yang sesuai dengan yang akan digarap. Langkah awal tahap ini adalah mencari sumber cerita yang akan di pergunakan dalam membuat suatu garapan. Banyak sekali cerita-cerita yang menarik dituangkan kedalam garapan seperti: cerita Tantri, cerita Mahabharata, cerita Ramayana, cerita Sutasoma dan cerita-cerita lainnya. Namun dengan berbagai pertimbangan akhirnya penggarap menggunakan babad patopengan yang akan dituangkan dalam garapan pakeliran inovatif dengan judul Dalem Sidakarya. Setelah 15 mendapat cerita yang pasti didalam hati untuk digarap, barulah penggarap melanjutkan dengan mencari bentuk dan wujud garapan yang diinginkan. Akhirnya di putuskan penuangannya dalam bentuk pakeliran inovatif yang mana perpaduan wayang kulit dan wayang golek juga unsur teater didukung dengan rolling stage stage yang berputar sesuai tempat yang dinginkan setiap adegan. Setelah bentuk didapatkan, maka selanjutnya dilakukan persiapan sarana yang diperlukan dalam garapan ini seperti: kelir rolling stage, wayang golek dan wayang kulit, iringan atau tabuh, penari dan sebagainya. Dalam langkah awal pembuatan garapan ini, tidak lupa penggarap melakukan persembahyangan bersama, untuk mohon kepada Ide Hyang Widhi Wasa agar didalam proses garapan bisa berjalan dengan lancar sesuai yang diinginkan penggarap dan tanpa mengalami suatu hambatan apapun.

3.2 Proses Penuangan Improvisasi

Tahap yang kedua adalah tahap improvisasi, merupakan tahap percobaan atau penuangan konsep-konsep yang telah ditentukan dan dipersiapkan sebelumnya yang akan dituangkan pada saat latihan. Kepada semua pendukung, penggarap berikan susunan adegan untuk mempermudah dan mempercepat proses latihan. Pada tanggal 22 Maret 2013 penggarap menetapkan hari untuk nuasen, sedangkan jadwal latihan disepakati satu minggu dua kali. Kepada penggarap tabuhiringan wayang, penggarap memberikan kebebasan dalam menciptakan gending-gending yang akan dipergunakan dalam mengiringi garapan yang tentu saja disesuaikan dengan kebutuhan dan suasana garapan. Didalam proses latihan penggarap akan memisahkan antara penabuh dengan penggerak wayang agar mempercepat proses latihan. Adegan peradegan akan penggarap susun sedemikian rupa sehingga mampu