Keaslian Penulisan Metode Penelitian

pidana kepemilikan dan penjualan senjata api ilegal oleh masyarakat sipil. Secara teoritis penulisan ini diharapkan bermanfaat bagi pakar hukum,civitas akademika dan para ilmuwan lainya dalam memberikan sumbangsih literatur dan referensi berkaitan dengan kepemilkan senjata api ilegal oleh masyarakat sipil.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi yang diberi judul “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Kepemilikan Dan Penjualan Senjata Serta Amunisi Ilegal Oleh Masyarakat Sipil Studi Putusan Nomor 3350Pid.B2006PN.Mdn” ini merupakan penulisan asli yang belum pernah terdapat dalam literatur manapun.Sepengetahuan penulis belum ada penulis lain yang mengemukakanya, dan penulis telah mengkonfirmasikanya kepada Sekretarian Departemen Pidana.

F. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Dan Unsur-unsur Tindak Pidana

A. Pengertian tindak pidana Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “Straftbaar Feit”, Strafbar Feit terdiri dari 3 tiga kata yakni Straf, Baar dan Feit. Straf diterjemahkan sebagai pidana dan hukum, perkataan baar diterjemahkan sebagai dapat dan boleh sedangkan kata feit diterjemahkan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan. Istilah tindak pidana telah lazim Universitas Sumatera Utara digunakan dan merupakan istilah resmi dalam perundang-undangan. 5 Tindak menunjuk pada hak kelakuan manusia dalam arti positif handelen. Padahal pengertian yang sebenarnya dalam istilah feit adalah termasuk baik perbuatan aktif maupun pasif. Dalam hampir seluruh peraturan perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana, seperti dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, walaupun masih diperdebatkan ketetapatannya. 6 Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, tidak ditemukan definisi tindak pidana. Dalam pengertian tindak pidana tidak termasuk mengenai pertanggungjawaban. Tindak pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya melakukan suatu perbuatan, yang kemudian apakah orang yang telah melakukan perbuatan tersebut dapat dipidana atau tidak. Pengertian tindak pidana yang dipahami selama ini merupakan kreasi teoritis para ahli hukum. Perbuatan aktif maksudnya suatu bentuk perbuatan yang untuk mewujudkannya diperlukan atau diisyaratkan adanya suatu gerakan atau gerakan-gerakan dari tubuh atau bagian dari tubuh manusia, misalnya mengambil sebagaimana diatur dalam Pasal 362 KUHP atau merusak yang diatur dalam Pasal 406 KUHP. Sedangkan perbuatan pasif adalah suatu bentuk tidak melakukan suatu bentuk perbuatan fisik apapun, dimana seseorang tersebut telah mengabaikan kewajiban hukumnya, misal perbuatan tidak menolong sebagaimana diatur dalam Pasal 531 KUHP atau perbuatan membiarkan yang diatur dalam Pasal 304 KUHP. 5 Drs.Adami Chazawi,SH.Pelajaran Hukum Pidana Bagian I,Jakarta,Raja Grafindo Persada,2002,hal 67 6 Ibid ,hal 70 Universitas Sumatera Utara Simon mengatakan bahwa straftbaar feit adalah kelakukan yang diancam dengan pidana, bersifat melawan hukum, dan berhubungan dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. 7 7 Adami Chazawi ,op.cit,Hal 26 Sedangkan Van Hamel mengatakan bahwa straftbaar feit adalah kelakukan orang yang dirumuskan dalam undang-undang, bersifat melawan hukum, patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Menurut ahli hukum pidana Indonesia, Komariah E. Saprdjaja bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan manusia yang memenuhi perumusan delik, melawan hukum dan pembuat bersalah melakukan perbuatan itu. Pada dasarnya tindak pidana adalah perbuatan atau serangkaian perbuatan yang padanya diletakkan sanksi pidana. Dengan demikian dilihat dari istilahnya, hanya sifat-sifat dari perbuatan saja yang meliputi suatu tindak pidana sedangkan sifat-sifat orang yang melakukan tindak pidana menjadi bagian dari persoalan lain, yaitu pertanggungjawaban pidana. Terdapat pemisahan antara pertanggungajwaban pidana dan tindak pidana, yang dikenal dengan paham dualisme, yang memisahkan antara unsur yang mengenai perbuatan dengan unsur yang melekat pada diri orangnya tentang tindak pidana. Para ahli hukum umumnya mengidentifikasi adanya tiga persoalan mendasar dalam hukum pidana. Saner, berpendapat bahwa hal itu berkaitan dnegan, onrecht, schuld, dan strafe. Sementara itu, packer menyebut ketiga masalah tersebut berkenaan dengan crime, responsibility, dan panishment. Universitas Sumatera Utara Menurut Soedarto, persoalan-persoalan tersebut berkaitan dengan perbuatan yang dilarang, orang yang melakukan perbuatan yang dilarang itu, dan pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran larangan itu. Dengan kata lain, masalah mendasar dalam hukum pidana berhubungan dengan persoalan tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan. Pembedaan ini, menimbulkan konsepsi yang bukan hanya perlu memisahkan antara tindak pidana dan pertanggungajwaban pidana, tetapi lebih jauh memisahkan pertanggungjawaban pidana dengan pengenaan pidana. Berdasarkan hal ini pengkajian juga diarahkan untuk mendalami bagaiman teori pemisahan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana seharusnya diterapkan dalam mempertanggungjawabkan dan mengenakan pidana terhadap pembuat tindak pidana. Dengan kata lain, perlu pengkajian untuk menemukan pola penentuan kesalahan dan pertanggungjawaban pembuat tindak pidana. Teori yang memisahkan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana bertitik tolak dari pandangan bahwa, unsur tidak pidana hanyalah perbuatan, dengan demikian aturan mengenai tindak pidana mestinya sebatas menentukan tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dilakukan. Aturan hukum mengenai tindak pidana berfungsi sebagai pembeda antara perbuatan yang terlarang daam hukum pidana dan perbuatan-perbuatan lain diluar kategori tersebut. Dengan adanya aturan mengenai tindak pidana dapat dikenali perbuatan- perbuatan yang dilarang dan karenanya tidak boleh dilakukan. Dengan kata lain, the rules which all of you us what we can and cannot do. Aturan tersebut menentukan perbuatan yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan. Oleh karena Universitas Sumatera Utara itu, ditinjau dari tujuan-tujuan prevensi, aturan hukum yang memuat rumusan tindak pidana juga berfungsi sebagai peringatan bagi masyarakat untuk sejauh mungkin menghindar dari melakukan perbuatan tersebut, mengingat ancaman pidana yang dilekatkan padanya. Aturan tersebut berisi pedoman bertingkah laku bagi masyarakat, sehingga dilihat dari segi represif tekanannya lebih banyak pada fungsi perlindungan individu dari kewenang-wenangan penguasa. Sedangkan aturan hukum mengenai pertanggungjawaban pidana berfungsi sebagai penentu syarat-syarat yang harus ada pada diri seseorag sehingga sah jika dijatuhi pidana. Tekanannya justru pada fungsi melegitimasi tindakan penegak hukum untuk menimpakan nestapa pada pembuat tindak pidana. Dengan keharusan untuk tetap menjaga kesimbangan antara tingkat ketercelaan seseorang karena melakukan tindak pidana dan penetuan berat ringannya nestapa yang menjadi konsekuensinya. Aturan mengenai pertanggungjawaban pidana merupakan saringan pengenaan pidana, yaitu hanya dapat diterapkan terhadap mereka yang memiliki kesalahan dan pidana yang dikenakan sebatas kesalahannya tersebut. Tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana, apabila dilihat dari konsep sistem hukum sebagaimana dikemukakan Hart, juga menyebabkan kedua hal tersebut berada pada struktur aturan yang terpisah. Dikatakannya “primary laws setting standards for behavior and sencodary laws specifying what officals must or may do when they are broken. 8 8 Chairul huda,Dari Tiada Pidana Tanpa kesalahan Menuju Kepada Tiada pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan,Prenada Media.Jakarta.2006 .hal 28 Universitas Sumatera Utara Suatu tindak pidana adalah suatu perbuatan atau omisi yang dilarang oleh hukum untuk melindungi masyarakat, dan dapat dipidanan berdasarkan prosedur hukum yang berlaku. Dalam defenisi-defenisi tersebut, unsur kesalahan telah dikeluarkan, sehingga tindak pidana pada hakikatnya adalah perbuatan saja. Perbuatan disini berisi kelakukan dan kejadian yang ditimbulkan oleh kelakukan atau kelakukan dan akibatnya. Kelakukan juga terdiri dari melakukan sesuatu komisi dan tidak melakukan sesuatu omisi. Dengan demikian, tindak pidana merupakan perbuatan melakukan sesuatu, perbutan tidak melakukan sesuatu, dan menimbulkan akibat, yang dilarang oleh undang-undang. Pengertian tersebut di atas, dalam pasal 11 Rancangan KUHP dirumuskan dengan “tindak pidana” adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. 9 Dalam hukum pidana Indonesia, sebagaiman di negara-negara civil law lainnya, tindak pidana umumnya dirumsukan dalam kodifikasi. Namun demikian, sejauh ini tidak terdapat ketentuan dalam KUHP maupun peraturan perundang- undangan lainnya, yang merinci lebih lanjut mengenai cara bagiamana merumuskan suatu tindak pidana. Tidak mengherankan apabila terdapat berbagai rumusan tindak pidana yang memuat hal-hal di luar karakteristik perbuatan dan Dapat ditegaskan, sepanjang berkenaan dengan perumusan defenisi tindak pidana, pikiran-pikiran untuk memisahkan tindak pidana dari pertanggungjawaban pidana telah menjadi bagian pembaruan hukum pidana Indonesia, dengan diadopsi dalam Rancangan KUHP. 9 Ibid Universitas Sumatera Utara sanksi atas perbuatan tersebut. Dalam hal ini, berbagai tindak pidana terutama yang terdapat dalam KUHP, perumusannya tidak sejalan dengan teori pemisahan antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana pertama-tama berisi larangan terhadap perbuatan. Dengan demikian, pertama-tama suatu tindak pidana berisi larangan terhadap kelakuan- kelakuan tertentu. Dengan delik-delik omisi, larangan ditujukan kepada tidak diturutinya perintah. Dengan demikian, norma hukum pidana berisi rumusan tentang suruhan untuk melakukan sesuatu. Dalam hal tindak pidana materil, larangan ditujukan kepada penimbulan akibat. Tindak pidana berisi rumusan tentang akibat-akibat yang terlarang untuk diwujudkan. Ketika tindak pidana berisi rumusan tentang dilarangnya suatu omisi, maka pada hakikatnya undang-undang justru memerintahkan setiap orang melakukan sesuatu, apabila mendapati keadaan-keadaan yang juga ditentukan dalam undang-undang tersebut. Dengan demikian, rumusan tentang tindak pidana berisi kewajiban, yang apabila tidak dilaksanakan pembuatnya diancam dengan pidana. Kewajiban disini, menurut Wilson bukan hanya bersumber dari ketentuan undang-undang, dapat kewajiban tersebut timbul dari suatu perjanjian ataupun kewajiban yang timbul di luar perjanjian, atau kewajiban yang timbul dari hubungan-hubungan yang khusus, atau kewajiban untuk mencegah keadaan bahaya akibat perbuatannya, bahkan kewajiban-kewajiban lain yang timbul dalam hubungan sosial. 10 10 Ibid hal 30 Universitas Sumatera Utara B. Unsur-unsur tindak pidana Unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan dari dua sudut pandang yaitu : a. Unsur tindak pidana dari sudut teoritis Menurut Moeljatno, unsur tidak pidana adalah 11 1. Perbuatan 2. Yang diarang oleh aturan hukum 3. Ancaman pidana bagi yang melanggar larangan Perbuatan manusia saja yang boleh dilarang, yang melarang adalah aturan hukum. Ancaman diancam dengan pidana menggambarkan bahwa tidak mesti perbuatan itu dalam kenyataan benar-benar dipidana. Pengertian diancam adalah pengertian umum, yang artinya pada umumnya dijatuhi pidana. Tresna menyatakan bahwa unsur-unsur tindak pidana adalah : 12 1. Perbuatan atau rangkaian perbuatan 2. Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan 3. Diadakan tindakan penghukuman Dari unsur ketiga, kalimat diadakan tindakan penghukuman, terdapat pengertian bahwa seolah-olah setiap perbuatan yang dilarang itu selalu diikuti dengan penghukuman pemidanaan. Berbeda dengan Moeljatno, karena kalimat diancam pidana berarti perbuatan itu tidak selalu dan dengan demikian dijatuhi pidana. Walaupun mempunyai kesan bahwa setiap perbuatan yang bertenttangan dengan undang-undang selalu diikuti dengan pidana, namun dalam unsur-unsur itu tidak 11 Adami Chazawi,Op.cit,hal 79. 12 Ibid Universitas Sumatera Utara terdapat kesan perihak syarat-syarat subyektif yang melekat pada orangnya untuk dijatuhkannya pidana. Sedangkan menurut Vos unsur-unsur tindak pidana adalah : 13 1. Kelakuan manusia 2. Diancam dengan pidana 3. Dalam peraturan perundang-undangan Dari rumusan-rumusan tindak pidana dalam KUHP itu, maka dapat diketahui adanya 8 delapan unsur tindak pidana, yaitu : 1. Unsur tingkah laku Tindak pidana adalah mengenai larangan berbuat, oleh karena itu perbuatan tingkah laku harus disebutkan dalam rumusan. Tingkah laku unsur mutlak tindak pidana. Jika ada rumusan tindak pidana tanpa mencantumkan unsur tingkah laku, misalnya Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan adalah suatu pengecualian dengan alasan tertentu dan tidak berarti tindak pidana itu tidak terdapat unsur perbuatan, unsur itu telah ada dengan sendirinya didalamnya, dan wujudnya tetap harus dibuktikan di sidang pengadilan untuk menetapkan telah terjadinya penganiayaan. 2. Unsur sifat melawan hukum Melawan hukum adalah suatu sifat tercela atau terlarangnya dari suatu perbuatan, yang sifat tercela mana dapat bersumber pada Undang-undang melawan hukum formil dan dapat bersumber pada masyarakat melawan hukum materil. Karena bersumber pada masyarakat, yang sering juga disebut dengan 13 Ibid Universitas Sumatera Utara bertentangan dengan asas-asas hukum masyarakat, maka sifat tercela tersebut tidak tertulis. Seringkali sifat tercela dari suatu perbuatan itu terletak pada kedua- duanya, seperti perbuatan menghilangkan nyawa orang lain pada pembunuhan, adalah dilarang baik dalam undang-undang maupun menurut masyarakat. Dari sudut undang-undang, suatu perbuatan tidaklah mempunyai sifat melawan hukum sebelum perbuatan itu diberi sifat terlarang wederrechtelijk dengan memuatnya sebagai dilarang dalam peraturan perundang-undangan, artinya sifat terlarang itu disebabkan atau bersumber pada dimuatnya dalam peraturan perundang-undangan. Berpegang pada pendirian ini, maka setiap perbuatan yang ditetapkan sebagai dilarang dengan mencantumkannya dalam peraturan perundang-undangan menjadi tindak pidana, tanpa melihat apakah unsur melawan hukum itu dicantumkan atauhkah tidak dalam rumusan maka dengan demikian tindak pidana itu sudah mempunyai sifat melawan hukum, artinya melawan hukum adalah unsut mutlak dari tindak pidana. Mencatumkan secara tegas unsur sifat melawan hukum dalam suatu rumusan tindak pidana didasarkan pada suatu alasan tertentu, sebagaimana tercermin dalam keterangan risalah penjelasan Wvs Belanda, ialah adanya kekhawatiran bagi pembentuk Undang-undang, jika tidak dimuatnya unsur melawan hukum, akan dapat dipidananya pula perbuatan lain yang sama namun tidak bersifat melawan hukum. Adalah wajat dan dapat dimengerti pendirian pembentuk Undang-undang ini, mengingat hukum pidana menganut sifat melawan hukum formil dalam hal pemidanaan dalam arti positif sebagaimana termuat secara tegas dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP. Universitas Sumatera Utara Sifat terlarang yang bagaimana yang harus dibutikan tidak sama bagi setiap tindak pidana, dan bergantung pada redaksi rumusan dan paham yang dianut, contohnya sifat terlarang dalam perbuatan mengambil pada pencurian, bagi paham sifat melawan hukum obyektif adalah terletak pada tidak ada izin dari sipemilik benda, dan inilah yang harus dibuktikan. Tetapi bagi paham melawan hukum subyektif, melihat dari rumusan maksud untuk memiliki dengan melawan hukum, yang harus dibuktikan ialah keadaan batin ketika sebelum berbuat, ialah berupa kesacaran bahwa mengambil barang milik orang lain itu adalah terlarang atau tercela. Unsur batinlah yang menyebabkan perbuatan mengambil tersebut menjadi bersifat melawan hukum, karena slain tercela menurut masyarakat juga tercela menurut undang-undang. 3. Unsur Kesalahan Kesalahan schuld adalah unsur mengenai keadaan atau gambaran batin orang sebelum atau pada saat memulai perbuatan, karena itu unsur ini selalu melekat pada diri pelaku dan bersifat subyektif. Dalam hal ini berbeda dengan unsur melawan hukum yang dapat bersifat obyektif dan dapat bersifat subyektif, bergantung pada redaksi rumsuan dan sudut pandang terhadap rumusan tindak pidana tersebut. Unsur kesalahan yang mengenai keadaan batin pelaku adalah berupa unsur yang menghubungkan antara perbuatan dan akibat serta sifat melawan hukum perbuatan dengan si pelaku. Hanya dengan adanya hubungan antara ketiga unsut tadi dengan keadaan batin pembuatnya inilah, pertanggungjawaban dapat Universitas Sumatera Utara dibebankan pada pelaku. Dengan demikian maka terhadap pelaku tadi dijatuhi pidana. Adapun yang termasuk kesalahan dalam arti luas adalah : a. Kesengajaan Undang-undang tidak memberikan pengertian mengenai kesengajaan. Didalam memori van Toelichting MvT WvS Belanda ada sedikit keterangan mengenai ksengajaan, yang menurut Moeljatno menyatakan “Pidana pada umumnya hendaknya hanya pada barang siapa melakukan perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki dan diketahui. Kesegajaan ada 3 tiga bentuk, yaitu : 14 1. Kesengajaan sebagai maksud, Sama artinya dengan menghendaki unuk mewujudkan suatu perbuatan tindak pidana aktif, menghendaki untuk tidak berbuatmelalaikan kewajiban hukum tindak pidana pasif, dan juga menghendaki timbulnya akibat dari perbuatan itu tindak pidana materil. 2. Kesenjangan sebagai kepastian, Adalah berupa kesadaran seseorang terhadap suatu akibat yang menurut akal orang pada umumnya pasti terjadi oleh dilakukannya suatu perbuatan tertentu. 3. Kesenjangan sebagai kemugnkinan 14 Adil Matogu,Kajian Hukum Lingkungan Terhadap perusakan Hutan di kawasan Hutan lindung Tormotutung Kisaran Sumatera Utara skripsi,2007 Universitas Sumatera Utara Ialah kesenjangan untuk melakukan perbuatan yang diketahuinya bahwa ada akibat lain yang mungkin dapat timbul yang ia tidak inginkan dari perbuatan, namun begitu besarnya kehendak untuk mewujudkan perbuatan, ia tidak mundur dan siap mengambil risiko untuk melakukan perbuatan itu. b. Kelalaian Undang-undang juga tidak memberikan defenisi apakah kelalaian itu. Hanya dalam Memori Penjelasan MvT menyatakan, bahwa kelalaian terletak antara sengaja dan kebetulan. 15 Meskipun demikian, kelalaian itu dipandang lebih ringan dibandingkan dengan sengaja. Kelalaian ini merupakan unsur batin, bisa berupa kehendak, pengetahuan, perasaan dan lain sebagainya yang dapat menggambarkan perihal keadaan batin manusia. Apabila kemampuan berpikir, berperasaan itu tidak digunakan sebagaimana mestinya maka disebut sebagai kelalaian. 16 a. Tindak pidana materil atau tindak pidana dimana akibat menjadi syarat selesainya tindak pidana. 4. Unsur akibat konstitutif Unsur akibat konstitutif terdapat pada : Dalam tindak pidana materil, timbulnya akibat itu bukan untuk memberatkan pertanggungjawaban pidana, dalam arti berupa alasan pemberat pidana, tetapi menjadi syarat selesainya tindak pidana. Perbedaan lain, ialah unsur akibat konstritutif pada tindak pidana 15 Ibid 16 Ibid ,hal 55 Universitas Sumatera Utara materil adalah berupa unsur pokok tindak pidana, artinya jika unsur ini tidak timbul, maka tindak pidananya tidak terjadi hanyalah percobaan, b. Tindak pidana sebagai syarat memperberat pidana bukan merupakan unsut pokok tindak pidana, artinya jika syarat ini tidak timbul, tidak terjadi percobaan, melainkan terjadinya tindak pidana selesai. c. Tindak pidana dimana akibat merupakan syarat dipidananya pembuat Tanpa timbulnya akibat dari perbuatan yang dirumuskan dalam undang-undang tindak pidana, baru dapat dipidana apabila akibat terlarang itu telah timbul. Tindak pidana materil dimana unsur akibat menjadi syarat selesainya tindak pidana, berbeda dengan tindak pidana yang mengandung unsur akibat sebagai pembuat pidana atau tindak pidana yang dkualifisert oleh akibatnya. Perbedaan itu adalah dalam tindak pidana materil, jika akibat itu tidak timbul, maka tindak pidana itu tersebut tidak terjadi, yang terjadi adalah percobaan. Tetapi jika akibat tidak timbul pada tindak pidana dimana akibat sebagai syarat pemberat pidana, maka tidak terjadi percobaan, tetapi yang terjadi adalah tindak pidana selesai yang lain. 5. Unsur keadaan yang menyertai Unsur keadaan yang menyertai, adalah unsur tidak pidana yang berupa semua keadaan yang ada dan berlaku dalam mana perbuatan dilakukan. Unsur Universitas Sumatera Utara keadaan yang menyertai ini dalam kenyataan rumusan tindak pidana dapat berupa: 17 1. Mengenai cara melakukan perbuatan 2. Mengenai cara untuk dapatnya dilakukan perbuatan 3. Mengenai obyek tindak pidana 4. Mengenai subyek tindak pidana 5. Mengenai tempat dilakukannya tindak pidana 6. Mengenai waktu dilakukannya tindak pidana 6. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana Unsur ini hanya terdapat pada tindak pidana aduan. Tindak pidana aduan adalah tindak pidana yang hanya dapat dituntut pidana jika adanya pengaduan dari yang berhak mengadu. Pengaduan substansinya adalah sama dengan laporan, ialah berupa keterangan atau informasi mengenai telah terjadinya tindak pidana yang disampaikan kepada pejabat penyelidik atau penyidik yakni kepolisian, atau dalam hal tindak pidana khusus ke kantor kejaksaan negeri. 7. Syarat tambahan untuk memperberat pidana Mengenai syarat ini telah disinggung pada saat membicarakan unsur akibat konstitutif. Unsur adalah berupa alasan utnuk diperberatnya pidana, dan bukan unsut syarat untuk terjadinya atau syarat selesainya tindak pidana sebagiamana pada tindak pidana materil. 17 Ibid,hal 106 Universitas Sumatera Utara Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana bukan merupakan unsur pokok tindak pidana yang bersangkutan, artinya tindak pidana tersebut dapat terjadi tanpa adanya unsur ini. 8. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana Unsur syarat tambahan untuk dapanya dipidana adalah berupa unsur keadaan-keadaan tertentu yang timbul setelah perbuatan dilakukan, yang menentukan untuk dapat dipidananya perbuatan. Artinya bila setelah perbuatan dilakukan keadaan ini tidak timbul, maka terhadap perbuatan itu tidak bersifat melawan hukum dan karenanya si pembuat tidak dapat dipidana. Sifat melawan hukumnya dan patutnya dipidana perbuatan itu sepenuhnya digantungkan pada timbulnya unsur ini. Nilai bahayanya bagi kepentingan hukum dari perbuatan itu adalah terletak pada timbulnya unsur syarat tambahan, bukan semata-mata pada perbuatan.

2. Pengertian Pertanggung jawaban Pidana

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ”tanggung jawab” adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu kalau terjadi apa-apa, boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya. Pidana adalah kejahatan tentang pembunuhan, perampokan, dsb. 18 Hal pertama yang perlu diketahui mengenai pertanggungjawaban pidana adalah bahwa pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya seseorang telah melakukan tindakan pidana. Moeljatno mengatakan, orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dijatuhi pidana kalau tidak melakukan 18 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, 1991, hal. 1006 Universitas Sumatera Utara perbuatan pidana. 19 Apakah orang yang telah melakukan perbuatan itu kemudian juga dipidana, tergantung pada soal, apakah dia dalam melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila orang yang melakukan perbuaan pidana itu memang mempunyai kesalahan, maka tentu dia akan dipidana. Tetapi, manakala dia tidak mempunyai kesalahan walaupun dia telah melakukan perbuatan yang terlarang dan tercela, dia tentu tidak dipidana. Asas yang tidak tertulis “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan” merupakan dasar daripada dipidananya si pembuat. Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana pertama-tama tergantung pada dilakukannya tindak pidana. 20 Nyatalah bahwa hal dipidana atau tidaknya si pembuat bukanlah bergantung pada apakah ada perbuatan pidana atau tidak, melainkan pada apakah siterdakwa tercela atau tidak karena tidak melakukan tindak pidana. Jadi perbuatan yang tercela oleh masyarakat itu dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya, artinya celaan yang objektif terhadap perbuatan itu kemudian diteruskan kepada siterdakwa. 21 19 Moeljatno.Asas-asas Hukum Pidana,Rineka Cipta,Jakarta.1993,hal 155 20 Prof.Mr.Roeslan Saleh,Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana ,Aksara Baru,Jakarta.1983,hal 75 21 Ibid hal .76 Oleh karena itu dikatakan bahwa dasar daripada adanya tindak pidana adalah asas legaliteit, yaitu asas yang menentukan bahwa sesuatu perbuatan adalah terlarang dan diandam dengan pidana barangsiapa yang melakukannya, sedangkan dasar daripada dipidannya sipembuat adalah asas”tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. Universitas Sumatera Utara Dapat dikatakan orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana kalau tidak melakukan perbuatan pidana. Tetapi meskipun dia melakukan perbuatan pidana, tidaklah selalu dia dapat dipidana. Orang yang melakukan tindak pidana akan dipidana, apabila dia mempunyai kesalahan. Pertanggungjawaban pidana ditentukan berdasar pada kesalahan pembuat liability based on fault, dan bukan hanya dengan dipenuhinya seluruh unsur suatu tindak pidana. Dengan demikian, kesalahan ditempatkan sebagai faktor penentu pertanggungjawaban pidana dan tidak hanya dipandang sekedar unsur mental dalam tindak pidana. 22 22 Chairul Huda,Op.cit Hal 4. Konsepsi yang menempatkan kesalahan sebagai faktor penentu pertanggungjawaban pidana, juga dapat ditemukan dalam common law sistem, berlaku maksim latin yaitu octus non est reus, nisi mens sit rea. Suatu kelakukan tidak dapat dikatakan sebagai suatu kejahatan tanpa kehendak jahat, pada satu sisi doktrin ini menyebabkan adanya mens rea merupakan suatu keharusan dalam tindak pidana. Pada sisi lain, hal ini menegaskan bahwa untuk dapat mempertanggungjawabkan seseorang karena melakukan tindak pidana, sangat ditentukan oleh adanya mens rea pada diri orang tersebut.. Dengan demikian, mens rea yang dalam hal ini disinonimkan dengan quilty of mind atau vicious will, merupakan hal yang menenukan pertanggungjawaban pembuat pidana. Dilihat dari sisi ini, penggunaan dktrin mens rea dalam common law system, pada hakikatnya sejalan dengan penerapan asas tiada pidana tanpa kesalahan dalam civil law system. Universitas Sumatera Utara Berpangkal tolak pada asas tiada pidana tanpa kesalahan, Moeljatno mengemukakan suatu pandangan yang dalam hukum pidana Indonesia dikenal dengan ajaran dualistis, pada pokoknya ajaran ini memisahkan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana ini hanya menyangkut persoalan “perbuatan” sedangkan masalah apakah orang yang melakukannya kemudian dipertanggungjawabkan, adalah persoalan lain. 23 Dalam banyak kejadian, tindak pidana dapat terjadi sekalipun dilihat dari batin terdakwa sama sekali tidak patut dicelakan terhadapnya. Dengan kata lain, walaupun telah melakukan tindak pidana, tetapi pembuatnya tidak dililiputi kesalahan dan karenanya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Melakukan suatu tindak pidana, tidak selalu berarti pembuatnya bersalah atas hal itu. 24 Dipisahkannya tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana menyebabkan kesalahan dikeluarkan dari unsur tindak pidana dan ditempatkan sebagai faktor yang menentukan dalam pertanggungjawaban pidana. Namun demikian, bagaimana konsepsi ini diterapkan dalam praktik hukum perlu pengkajian lebih lanju. Pertanggungjawaban pidana terutama dipandang sebagai bagian dari pelaksanaan tugas hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus Untuk dapat mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana diperlukan syarat- syarat untuk dapat mengenakan pidana terhadapnya, karena melakukan tindak pidana tersebut. Dengan demikian, selain telah melakukan tindak pidana, pertanggungjawaban pidana hanya dapat dituntu ketika tindak pidana dilakukan dengan kesalahan. 23 Ibid hal 5 24 Ibid hal 6 Universitas Sumatera Utara perkara. Oleh karena iu, pengkajian mengenai teori pemisahan tindak pidana dan pertanggungjawban pidana, pertama-tama dilakukan dengan menelusuri penerapan dan perkembangannya dalam putusan pengadilan. Dengan kata lain, konkretisasi sesungguhnya dari penerapan dari teori tersebu terdapat dalam putusan pengadilan. Seseorang mempunyai kesalahan, apabila pada waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakat, dia dapat dicela oleh karennya, sebab dianggap dapat berbuat lain jika memang tidak ingin berbuat demikian. Dilihat dari segi masyarakat, ini menunjukkan pandangan yang normatif menganai kesalahan. Seperti diketahui mengenai kesalahan ini dulu orang berpandangan psychologisch. Tetapi kemudian pandangan ini ditinggalkan orang dan orang lalu berpandangan normatif. Ada atau tidaknya kesalahan tidaklah ditentukan bagaimana dalam keadaan senyatanya batin daripada terdakwa, tetapi bergantung pada bagaimanakah penilaian hukum mengenai keadaan batin itu, apakah dinilai ada atau tidak ada kesalahan. Pompe menyingkat kesalahan ini dengan dapat dicela verwijbaarheid dan dapat dihindari vermijdbaarheid perbuatan yang dilakukan 25 25 Prof.Mr.Roeslan Saleh,Op.Cit,hal.77 . Pompe mengatakan, menurut akibatnya, hal ini adalah dapat dicela, menurut hakikatnya dia adalah dapat dihindarinya kelakukan melawan hukum itu. Karena kehendak si pembuat itu terlihat pada kelakuan yang bersifat melawan hukum, maka ini dapat dicelakan padanya. Sampai sekian jauh, maka kesalahan menyebabkan atau mempunyai akibat dapat dicela. Celaan ini dimungkinkan karena si pembuat itu Universitas Sumatera Utara bisa berusaha, agar dia tidak berbuat berlawanan dengan hukum oleh karena dia juga dapat berbuat sesuai dengan hukum. Pelanggaran atas norma itu bergantung pada kehendaknya, itu dapat dihindari. Berarti kesalahan pada hakikatnya dapat dihindari. Menurut Pompe, kelakuan adalah suatu kejadian yang ditimbulkan oleh seseorang yang nampak keluar dan yang diarahkan kepada tujuan yang menjadi objek hukum. Simons mengatakan bahwa kesalahan adalah keadaan psychis orang yang melakukan perbuatan dan hubungannya dengan perbuatan yang dilakukan, yang sedemikian rupa sehingga orang itu dapat dicela karena perbuatan tadi. 26 a. Keadaan batin dari orang yang melakukan perbuatan itu. Jadi yang harus diperhatikan adalah : b. Hubungan antara keadaan batin itu dengan perbuatan yang dilakukan. Dua hal inilah yang harus diperhatikan, dimana diantara keduanya terjalin erat satu dengan yang lainnya, yang kemudian dinamakan kesalahan. Hal yang merpakan kesatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan. Mengenai keadaan batin dari orang yang melakukan perbuatan, dalam ilmu hukum pidana merupakan persoalan yang lazim disebut dengan kemampuan bertanggung jawab. Sedangkan mengenai hubungan antara batin itu dengan perbuatan yang dilakukan, merupakan masalah kesengajaan, kealpaan serta alasan pemaaf, sehingga mampu bertanggungjawab, mempunyai kesengajaan atau kealpaan serta tidak adanya alasan pemaaf merupakan unsur-unsur dari kesalahan. Tiga unsur ini merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Yang satu 26 Ibid ,hal.78 Universitas Sumatera Utara bergantung pada yang lain, dalam arti demikianlah urut-urutannya dan yang disebut kemudian bergantung pada yang disebutkan terlebih dahulu. Konkritnya tidaklah mungkin dapat dipikirkan tentang adanya kesengajaan atau kealpaan, apabila orang itu tidak mampu bertanggung jawab. Begitu pula tidak dapat dipikirkan mengenai alasan pemaaf, apabila orang tidak mampu bretanggung jawab dan tidak pula adanya kesengajaan ataupun kealpaan. Selanjutnya tidak ada gunanya untuk mempertanggungjawabkan terdakwa atas perbuatannya apabila perbuatannya itu sendiri tidaklah bersifat melawan hukum, maka dapat dikatakan bahwa terlebih dahulu harus ada kepastian tentang adanya perbuatan pidana, dan kemudian semua unsur-unsur kesalahan tadi harus dihubungkan pula dengan perbuatan pidana yang dilakukan, sehingga untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa maka haruslah : a. Melakukan perbuatan pidana b. Mampu bertanggung jawab c. Dengan kesengajaan atau kealpaan d. Tidak adanya alasan pemaaf Telah dikatakan diatas bahwa mengenai keadaan batin dari si terdakwa dalam ilmu hukum pidana merupakan kemampuan bertanggung jawab, apakah yang menyebabkan maka hal ini merupakan suatu masalah ? Dalam hukum positif kita, yaitu dalam Pasal 44 KUHP dinyatakan bahwa : “Apabila yang melakukan perbuatan pidana itu tidak dapat dipertanggungjawabkan disebabkan karena pertumbuhan yang cacat atau Universitas Sumatera Utara adanya gangguan karena penyakit daripada jiwanya maka orang itu tidak dipidana. “ Jadi seseorang yang telah melakukan perbuatan pidana, tetapi tidak dapat dipertanggungjawabkan karena hal-hal yang disebutkan dalam Pasal 44 KUHP, maka tidak dapat dipidana. Ketentuan dalam hukum positif ini sesuai dengan apa yang telah disebutkan dalam teori, dia dapat dicela oleh karenanya, sebab dianggap dapat berbuat lain, jika memang tidak diinginkan. Demikian yang disebut mengenai oran gyang mampu bertanggungjawab. Orang yang tidak mampu bertanggung jawab tentu saja tidak sepantasnya dianggap dapat berbuat seperti yang diharapkan oleh hukum ataupun pikiran yang sehat. Prof. Mr. Roeslan Saleh mengatakan bahwa orang yang mampu bertanggungjawab itu harus memenuhi tiga syarat, yaitu : 27 a. Dapat menginsyafi makna yang senyatanya dari perbuatannya. b. Dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patur dalam pergaulan masyarakat. c. Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan perbuatan. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk menentukan adanya kemampuan bertanggung jawab, ada dua faktor yang harus dipenuhi yaitu faktor akal dan faktor kehendak. Akal yaitu dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan, orang yang akalnya 27 Ibid ,hal 80 Universitas Sumatera Utara tidak sehat tidak dapat diharapkan menentukan kehendaknya sesuai dengan yang dikehendaki oleh hukum, sedangkan orang yang akalnya sehat dapat diharapkan menentukan kehendaknya sesuai dengan yang dikehendaki oleh hukum. Kehendak yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana diperbolehkan dan mana yang tidak.

3. Pengertian Dan Jenis-jenis Senjata Api

A. Pengertian senjata api Undang-undang Darurat Nomor 12 tahun 1951 Pasal 1 ayat 2 memberikan pengertian senjata api dan amunisi yaitu termasuk juga segala barang sebagaimana diterangkan dalam Pasal 1 ayat 1 dari peraturan senjata api 1936 Stb 1937 Nomor 170, yang telah diubah dengan ordonantie tanggal 30 Mei 1939 Stb Nmor 278, tetapi tidak termasuk dalam pengertian itu senajata “yang nyata” mempunyai tujuan sebagai barang kuno atau barang yang ajaib dan bukan pula sesuatu senjata yang tetap tidak dapat terpakai atau dibikin sedemikian rupa sehingga tidak dapat digunakan. Menurut pasal 1 ayat 1 Undang-undang senjata api L.N. 1937. No. 170 diubah dengan L. N. 1939 No. 278 tentang Undang-undang senjata api pemasukan, pengeluaran dan pembongkaran 1936, yang dimaksud senjata api adalah : a. Bagian-bagian senjata api; b. Meriam-meriam dan penyembur-penymebur api dan bagian- bagiannya; Universitas Sumatera Utara c. Senjata-senjata tekanan udara dan senjata-senjata tekanan per, pistol- pistol penyembelih dan pistol-pistol pemberi isyarat, dan selanjutnya senjata-senjata api tiruan seperti pistol-pistol tanda bahaya, pistol- pistol perlombaan, revolver-revolver tanda bahaya dan revolver- revolver perlombaan, pistol-pistol mati suri, dan revolver-revolver mati suri dan benda-benda lain yang serupa itu yang dapat dipergunakan untuk mengancam atau mengejutkan, demikian juga bagian-bagian senjata itu, dengan pengertian, bahwa senjata-senjata tekanan udara, senjata-senjata tekanan per dan senjata-senjata tiruan serta bagian- bagian senjata itu hanya dapat dipandang sebagai senjata api, apabila dengan nyata tidak dipergunakan sebagai permainan anak-anak. Sedangkan berdasarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1976, senjata api adalah salah satu alat untuk melaksanakan tugas pokok angkatan bersenjata dibidang pertahanan dan keamanan, sedangkan bagi instansi pemerintah di luar angkatan bersenjata, senjata api merupakan alat khusus yang penggunannya diatur melalui ketentuan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1976, yang menginstruksikan agar para menteri pimpinan lembaga pemerintah dan non pemerintah membantu pertahanan dan keamanan agar dapat mencapai sasaran tugasnya. B. Jenis-jenis senjata api Senjata api yang beredar jenisnya bermacam-macam, berikut ini adalah senjata api ditinjau dari type, jenis, negara produsen dan kalibernya. Senjata tersebut antara lain : Universitas Sumatera Utara No. Type Jenis Kaliber Negara Produsen 1. A-91 Rifle Gempur Padat 5.45x39 mm, 5.56x45 mm Russia 2. AAI ACR Rifle Gempur 5.56x45 mm USA 3. AAI CAWS Senjata Gempur Dekat 7.62 mm USA 4. AAI SBR Serial Bullket Riffle 4.32x45 mm USA 5. SS1-V1 Rifle Gempur 5,56x45 mm Indonesia 6. SS1-V2 Rifle Gempur 5,56x45 mm Indonesia 7. AK-47 Rifle Gempur 7.62x39 mm Russia 8. AK-101 Rifle Gempur 5.56 mm Russia 9. Albini-Braendlin M1867 Riffle Satu 11x50 mm Jerman 10. ALFA Defender Pistol 9x19 mm Republik Czech 11. ALGIMEC AGMi Semi auto 9x19 mm Italia 12. Allin-Springfield M1879 Karbin Single Shot Karbin 4-7 mm USA 13. AMT Automag III Pistol Magnum 9 mm USA 14. APS Stechkin Machine Pistol 9x18 mm Russia 15. Arisaka Year 29 Bolt Action Rifle 6.5x50 mm Jepang 16. Armalite AR-9 Shotgun Semi- Auto 7.62 mm USA 17. B94 Rifle Semi-Auto 12.7x108mm Russia 18. Baby Nambu Pistol 7 mm Jepang 19. Bacon Arms C. Pepperbox Revolver Revolver 7 mm USA Universitas Sumatera Utara 20. Beholla Pistol Pistol 7.65x17 mm Jerman 21. Belgian M1871 Troopers Revolver Revolver 11x17.5 mm Belgia 22. Belgian M1883 NCOs Revolver Revolver 9x23 mm Belgia 23. Benelli B82 Pistol 9x18 mm Italia 24. Beretta Machine Guns Pistol 5.56 mm Italia 25. Baretta M1915 Pistol 7.65x17mm Italia 26. Baretta 32 Pistol – Taget Model 7.65x21mm Italia 27. Baretta 81B Cheetah Pistol 7.65x17mm Italia 28. Baretta M80 Olimpionica Pistol 22 mm Italia 29 BM59 Riffle tempur 7.62 mm Italia 30. BM59 Mark E Rifle tempur 9x19 mm Italia 31. Billenium 92 Pistol 9x19 mm Italia 32. Benelli M3 Semi auto shoot gun 7.62 mm Italia 33. Bounded 8040 Cougar D Rifle tempur 11x17.5 mm Italia 34. Berdan rifle Rifle tempur 9x19 mm Rusia 35. C1 Rifle Rifle Tempur 7.62 mm Kanada 36. C9 – LMG FN Minimi 5.56 mm Belgia 37. CADCO Medusa Revolver 9x23 mm US 38. Calico Liberty Revolver 9x19 mm US 39. Campo-Giro Model 1904 Pistol 7.65x17mm Spanyol 40. Carl Gustav 1873 SMG Luger 9x19mm Swedia Universitas Sumatera Utara 41. CETME Ameli LMG 5.56mm Spanyol 42. ChinaLake NATIC Pelancar Bom tangan 40x46mm USA 43. Chinese Type 54 Pistol 7.62x25mm Cina 44. Chinese Type 63 Rifle Riffle Gempur 7.62x39mm Cina 45. Chinese Type 80 Machine Pistol 7.62x25mm Cina 46. Christensen Arms Carbon Tactical Bolt Action Rifle 7.62x25mm USA 47. CIS .50 MG HMG 50 mm Singapura 48. Civil Defence Supply MP5-224 SMG 22 mm Jerman 49. Colt Accurized Rifle Rifle Semi-Auto 5.56 mm USA 50. Colt Defender Riffle auto 10 mm USA 51 Colt Mustang Pistol 9x17mm USA 52. Colt M16 Riffle gempur 5.56 mm USA 53. Combined Service Forces 60 SMG Luger 9X19 mm Taiwan 54. CZ-581 Mod.4 Riffle Gempur 7.62x39mm Belgia 55. CZ-584 Mod.7 FN 5.56 mm Belgia 56. DPMS Panther Bull A-15 Pistol 7.62x25mm USA 57. Dragunov SVD SMG 16 mm Rusia 58. Dardick Model SMG 12 mm Rusia 59. DS Arms SA58 Riffle 7.62x39mm USA 60. DShK Machine Pistol 7.62x25mm Rusia Universitas Sumatera Utara

G. Metode Penelitian

Sudah merupakan ketentuan dalam hal penyusunan serta penulisan karya ilmiah atau skripsi diperlukan metode penelitian dalam pengerjaannya. Metode penelitian sebagai suatu hal yang mempunyai cara utama yang dieprgunakan untuk mencapai suatu tujuan dan untuk menghasilkan karya tulis ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, maka harus didukung dengan fakta-faktadalil-dalil yang akurat yang diperoleh dari penelitian. Dalam pembahasan skripsi ini, metodologi penelitian hukum yang digunakan penulis seperti : 1. Spesfiikasi Penelitian Penulis menggunakan metode penelitian Hukum Normatif. Dalam hal ini penelitian Hukum Normatif, penulis melakukan penelitian terhadap peraturan perundang-undangan dan bahan yang berhubungan dengan judul skripsi penulis yaitu “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Kepemilika Dan Penjualan Senjata Api serta Amunisi Ilegal Oleh Masyarakat Sipil studi Putusan di Pengadilan Negeri Medan 2. Bahan Hukum Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan bahan hukum primer, sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer yakni bahan hukum yang terdiri dari aturan hukum yang diurut berdasarkan hirarki mulai dari UUD 1945, TAP MPR, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah dan aturan lain di bawah Undang-undang serta bahan hukum asing pembanding. Universitas Sumatera Utara Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari buku, pendapat para sarjana dan Putusan pengadilan Negeri Medan register 3550Pid.B2006PN.Mdn. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus huku m dan lain-lain. 3. Lokasi Penelitian Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengambil lokasi penelitian di Pengadilan Negeri Medan yang terletak dalam wilayah pemerintahan Kotamadya Medan dan juga di Kepolisian Daerah Sumatera Utara. 4. Alat Pengumpul Data a. Penelitian Kepustakaan Library Research Penelitian kepustakaan atau penelitian hukum normatif adalah penelitian yang dilakukan berdasarkan bahan-bahan bacaan, dengan cara membaca buku-buku, literatur-literatur serta peraturan perundang-undangna yang berhubungan dengan materi yang akan dibahas dalam skripsi ini. Data yang diperoleh dari bahan pustaka ini dinamakan dengan data sekunder. 28 28 Soejono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum,UI Press,Jakarta.Hal 12 Data sekunder ini mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku karya ilmiah pendapat sarjana, hasil penelitian yang berwujud laporan majalah, artikel dan juga berita dari internet yang bertujuan untuk mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori atau asas atau doktrin yang berkenaan dengna kepolisian dan pertanggungjawaban pidana. Yang kesemuanya ini Universitas Sumatera Utara dimaksudkan untuk memperoleh data yang sifatnya toritis yang digunakan sebagai pedoman dalam penelitian dan menganalisa permasalahan yang dihadapi. b. Penelitian Lapangan Field Research Selain penelitian kepustakaan, penulis juga mengadakan penelitian secara langsung ke lapangan yaitu dengan mendatangi objek penelitian untuk mengadakan wawancara terhadap beberapa aparat kepolisian di lingkungan Polda Sumut, untuk mendapatkan data-data, informasi dan keterangan-keterangan yang diperlukan dalam penulisan skripsi. Wawancara interview adalah situasi peran antar pribadi bertatap muka face to face, ketika seseorang yakni pewawancara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban- jawaban yang relevan dengan masalah penelitian kepada seseorang responden. Penelitian lapangan dalam penulisan skripsi ini bersifat melengkapi data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan. 5. Analisis Data Terhadap data yang diperoleh, akan dianalisa secara kualitatif. Menurut Bogan dan Biklena analisa data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritaka kepada orang lain 29 29 Lexy J.Moleong,Metodologi Penelitian Kualitatif,PT.Remaja Rosdakarya,Jakarta,2007.hal 248 Universitas Sumatera Utara

H. Sistematika Penulisan