Latar Belakang Analisis Kesejahteraan Masyarakat Nelayan Di Kota Sibolga

13 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Negara maritim seperti Indonesia adalah masyarakat nelayannya merupakan golongan masyarakat paling miskin di Asia bahkan di dunia Suara Pembaruan 18 November 2005.Berdasarkan data Survei Sosial dan Ekonomi Nasional 2013 Badan Pusat Statistik yang diolah, diketahui bahwa hanya 2,2 persen rumah tangga di Indonesia yang memiliki kepala rumah tangga berprofesi sebagai nelayan. Jumlahnya sekitar 1,4 juta kepala rumah tangga nelayan. Rata-rata jumlah anggota rumah tangga di Indonesia sekitar empat orang. Maknanya, ada sekitar 5,6 juta penduduk Indonesia yang kehidupannya bergantung kepada kepala rumah tangga yang berprofesi sebagai nelayan. Sementara secara keseluruhan jumlah nelayan di Indonesia diperkirakan sebanyak 2,17 juta hanya 0,87 persen tenaga kerja. Ada sekitar 700.000 lebih nelayan yang berstatus bukan sebagai kepala rumah tangga. Sebagian besar nelayan tinggal tersebar di 3.216 desa yang terkategori sebagai desa mayoritas penduduknya berprofesi sebagai nelayan. Secara geografis, nelayan ada di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini tidak mengherankan mengingat dua per tiga wilayah Indonesia adalah lautan serta memiliki potensi perikanan sangat besar. Pada Sumatera Utara jumlah total nelayan sebanyak 251.000 orang, yang terdiri dari penangkapan ikan di laut dan di perairan umum seperti danau, sungai, waduk dan sebagainya. Sedangkan, jumlah nelayan khusus menangkap ikan di 14 laut sebanyak 190.000 orang.Padahal negara Indonesia yang mempunyai kekayaan laut yang melimpah dan luas tidak dapat dimanfaatkan dengan baik. Ironisnya, walaupun seafood menjadi salah satu makanan favorit yang mahal, tingkat kesejahteraan nelayan umumnya lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang berprofesi bukan sebagai nelayan. Rata-rata pengeluaran nelayan hanya sekitar Rp 561.000 per bulan, lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang bukan nelayan dengan rata-rata pengeluaran sebesar Rp 744.000 per bulan. Tingkat upah nelayan juga hanya sekitar Rp 1,1 juta per bulan, sedikit di bawah pekerja bukan nelayan yang memiliki upah Rp 1,2 juta per bulan. Namun, ada sedikit kabar menggembirakan, yaitu lebih dari 84 persen rumah tangga nelayan memiliki rumah sendiri. Bandingkan dengan kenyataan bahwa hanya 79 persen rumah tangga bukan nelayan yang memiliki rumah sendiri. Meskipun demikian, data ini sesungguhnya tidak menunjukkan bagaimana kualitas rumah yang dimiliki nelayan. Kenyataan lain, komunikasi bukan menjadi hambatan bagi para nelayan karena sekitar 83 persen nelayan memiliki telepon seluler. Para nelayan kurang beruntung ditinjau dari aspek pendidikan, dengan hampir 70 persen nelayan berpendidikan sekolah dasar ke bawah dan hanya sekitar 1,3 persen yang berpendidikan tinggi. Pemerintah juga perlu memperhatikan aspek kesehatan para nelayan. Survei Sosial dan Ekonomi Nasional 2013 menunjukkan bahwa sekitar 25 persen nelayan mengalami gangguan kesehatan dalam satu bulan terakhir saat disurvei. Sebagian dari mereka menyatakan bahwa gangguan kesehatan tersebut 15 mengganggu aktivitas mereka mencari nafkah sehingga berdampak pada ekonomi rumah tangganya. Hanya 54 persen nelayan yang memiliki jaminan kesehatan sehingga menjadi masalah para nelayan.Rumah tangga nelayan juga cenderung memiliki anak lebih banyak dibandingkan dengan rumah tangga bukan nelayan. Program Keluarga Berencana KB jelas penting bagi kehidupan para nelayan guna meningkatkan kesejahteraan mereka dalam jangka panjang. Secara umum, jumlah tenaga kerja yang memilih pekerjaan sebagai nelayan kurang dari 1 persen dan mereka memiliki kehidupan yang kurang menguntungkan dibandingkan dengan para pekerja lainnya secara rata-rata. Sementara data Food and Agriculture OrganizationFAO tahun 2006 menyebutkan, ada sekitar 6,2 juta penduduk Indonesia terlibat dalam kegiatan perikanan.Bagaimanapun, jumlah nelayan yang sedikit menunjukkan bahwa mayoritas penduduk Indonesia tidak berorientasi pada laut sebagai sumber penghidupan. Menjadi nelayan bukanlah pilihan pekerjaan yang menarik karena mungkin nelayan identik dengan kemiskinan.Tidak mengherankan apabila jarang sekali kita mendengar seorang anak bercita-cita menjadi nelayan. Padahal, kita meyakini bahwa dari laut kita bisa membangun kesejahteraan. Membangun negara maritim yang tangguh tentunya diawali dengan membangun nelayan yang sejahtera. Jika menjadi nelayan memberikan jaminan kesejahteraan, profesi ini dapat menjadi pilihan menarik bagi angkatan kerja di Indonesia yang berlimpah. Nelayan kita terjebak dalam perangkap kemiskinan. Mereka tidak memiliki akses yang memadai terhadap pendidikan dan kesehatan. Mereka juga kesulitan mendapatkan akses kredit karena sebagian besar bank beranggapan 16 bahwa pinjaman bagi nelayan berisiko tinggi survei Lembaga Demografi di Sulawesi Utara, 2014.Hanya 2,34 persen Produk Domestik Bruto PDB Indonesia yang berasal dari perikanan laut BPS,2013. Kontribusi sektor perikanan terhadap PDB selama periode 2010-2012 bahkan di angka 2,33 persen. Gambaran tentang kondisi kehidupan penduduk pesisir dapat dilihat dari rata – rata jumlah kepala keluarga. Jumlah penduduk di Kota Sibolga mencapai 85.271 pada tahun 2012 dan jumlah kepala keluarga yang berprofesi sebagai nelayan mencapai 8009 kepala keluarga. Kota Sibolga memiliki 5 pulau – pulau kecil dengan luas keseluruhan 137,08 Ha. Sebagaimana diketahui, dengan panjang garis pantai pulau-pulau kecil,maka pantai Kota Sibolga memiliki potensi pengembangan budidaya ikan melalui sistem Keramba Jaring Apung KJA.

1.2 Perumusan Masalah