Teori Perwakilan dan Pembagian Kekuasaan
dengan sendirinya mengakibatkan timbulnya hubungan antara si wakil dengan yang diwakilinya, sehingga hubungan antara si wakil dengan yang
diwakilinya tidak lepas dengan teori-teori sebagai berikut: a.
Teori Mandat Si wakil dianggap duduk di Lembaga Perwakilan karena mendapatan
mandat dari rakyat sehingga disebut mandataris, ajaran ini muncul di Perancis sebelum revolusi dan dipelopori oleh Rousseau dan diperkuat
oleh petion.
b. Teori Organ
Teori ini menjelaskan bahwa negara merupakan suatu organisme yang mempunyai alat-alat perlengkapanya seperti eksekutif, parlemen dan
mempunyai rakyat, yang semuanya memiliki suatu fungsi sendiri- sendiri dan saling tergantungan satu sama lain.
c. Teori Sosiologi Rieker
Teori ini menjelaskan bahwa Lembaga Perwakilan bukan merupakan bangunan politis tetapi merupakan bangunan masyarakat. Si pemilih
akan memilih wakil-wakilnya yang benar-benar ahli dalam bidang kenegaraan dan yang akan benar-benar membela kepentingan si
pemilih sehingga terbentuk Lembaga Perwakilan dari kepentingan- kepentingan dari masyarakat.
d. Teori Hukum Obyektif dari Duguit
Menurut teori ini dasar hubungan antara rakyat dan parlemen adalah solidaritas. Wakil rakyat dapat melaksanakan tugas kenegaraanya
hanya atas nama rakyat sedangkan rakyat tidak akan bisa melaksanakan tugas-tugas kenegaraanya tanpa dukungan wakilnya
dalam menentukan wewenang pemerintah.
7
Terlepas dari kepastianya bertindak sebagai utusan, wali, politik, kesatuan dan penggolongan, tetapi yang paling pokok pada dasarnya adalah
adanya kesadaran tanggungjawab dan komitmen dari setiap sang wakil untuk tetap memperjuangkan dan berpihak kepada kepentingan rakyat
banyak. Tanggungjawab tersebut mengandung tiga macam kewajiban, yaitu: 1.
Kewajiban untuk berpartisipasi dalam pembahasan dan pegawasan politik dan kebijaksanaan nasional.
7
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, cet. III, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1995, h. 240.
2. Kewajiban untuk menjelaskan kepada para warga negara mengenai
kegiatan-kegiatan sendiri dan kegiatan badan perwakilan rakyat. 3.
Kewajiban untuk memberikan bantuan dan nasihat kepada para warga negara.
8
2. Teori Pembagian Kekuasaan
Akibat dari praktik kekejaman dan kesewenang-wenangan dari para raja dan penguasa pada masa lalu akhirnya mendapat perlawanan dari pihak
rakyat. Tindakan penguasa yang kejam dan sewenang-wenang tersebut secara konseptual ada kaitanya dengan pemikiran dan pemaknaan yang
mendukung untuk penggunaan kekuasaan secara dominan dari negara, raja, penguasa atau yang mengemban tugas dan fungsi negara.
9
Segolongan pemikir atau filusuf yang mendukung pentingnya dominasi kekuasaan dimaksud antara lain: Plato, Aristoteles, Max Weber,
dan Machiavelli. Sementara para pemikir atau filusuf yang reaksinis terhadap gagasan tersebut mulai digenderangkan oleh Martin Luther dengan
cara melakukan gugatan terhadap kekuasaan gereja yang mutlak. Menyusul kritik dari kaum monarchomaken anti raja atau monarchomacha dan
diikrarkan lebih jelas oleh John Locke dengan pemikiranya yang sangat kritis dan berdimensi futuristic sebagai cikal bakal lahirnya teori pembagian
kekuasaan.
10
8
Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah Pasang Surut Hubungan Kewenangan Antara DPRD dan Kepala Daerah, h. 99.
9
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, cet. IV, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009, h.282.
10
Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah Pasang Surut Hubungan Kewenangan Antara DPRD dan Kepala Daerah, h. 28.
Pada awalnya, teori pembagian kekuasaan sebagaimana yang dikenal sekarang merupakan pengembangan atas reformasi dari teori “pemisahan
kekuasaan”. Teori pemisahan kekuasaan muncul pertama kali di Eropa Barat sebagai antitesa terhadap kekuasaan raja yang absolute sekitar abad
pertengahan, yaitu antara abad 14 samapai dengan abad ke 15. Kemudian pada abad ke 17 dan ke 18, lahirlah suatu konsep atau gagasan untuk
menarik kekuasaan membuat peraturan dari raja dan selanjutya diserahkan kepada suatu badan kenegaraan yang berdiri sendiri. Begitu pula pada akhir
abad pertengahan terhadap kekuasaan kehakiman telah diserahkan kepada suatu badan peradilan.
11
Kemunculan teori pemisahan kekuasaan mengalami proses yang cukup panjang. Hal itu dapat dicermati mulai dari penggunaan istilah
“Trias Politika”. Istilah trias politika awalnya diperkenalkan oleh Emmanueul
Kant, begitu pula secara substansi pemikiran yang melandasinya sudah terlebih dahulu dimunculkan dan ditulis oleh Aristoteles.
a. Teori Pembagian Kekuasaan John Locke
John Locke dilahirkan 26 Agustus 1632 dalam suatu keluarga dengan kelas ekonomi menengah di Wrington, Inggris Barat. Ayahnya
adalah seorang tuan tanah dan pengacara. Ia memberikan pengaruh sangat besar pada cara berfikir Locke.
12
11
Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah Pasang Surut Hubungan Kewenangan Antara DPRD dan Kepala Daerah, h. 29.
12
Reza A. A. Wattimena, Melampaui Negara Hukum Klasik, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007, h. 13.
John Locke adalah seorang ahli pemikir besar tentang negara dan hukum dari Inggris, dia hidup pada tahun 1632-1704, di bawah
kekuasaan pemerintahan Willem III, yang bersifat pemerintahanya adalah monarki yang sudah agak terbatas. Dan memang demikianlah,
bahwa seluruh ajaran John Locke terutama ajarannya tentang negara dan hukum.
13
John Locke dalam bukunya “Two Tritieses of Government” yang
terbit tahun 1690. Locke adalah seorang filusuf Inggris yang pertama kali menggagaskan pentingnya kekuasaan dalam negara dipisahkan menjadi
tiga bidang: pertama, kekuasaan membentuk peraturan-peraturan dan Undang-Undang legislatif, kedua, kekuasaan eksekutif ialah kekuasaan
melaksanakan Undang-Undang dan termasuk kekuasaan mengadili Locke memandang mengadili itu sebagai uitvoering, yaitu termasuk
pelaksanaan Undang-Undang, dan ketiga, kekuasaan federative ialah kekuasaan yang meliputi kekuasaan mengenai perang dan damai,
membuat perserikatan.
14
b. Teori Pembagian Kekuasaan Montesquieu
Pemikiran John Locke itu diteruskan oleh Montesquieu dengan mengembangkan konsep trias politica yang membagi kekuasaan negara
dalam tiga cabang kekuasaan, yang saat ini dianut oleh negara Indonesia,
13
Soehino, Ilmu Negara, cet. VI, Yogyakarta: Liberty, 2004, h. 106.
14
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, cet. V Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI, 1983, h. 140.
sehingga ada tiga kekuasaan yang ada di Indonesia untuk menjalankan roda pemerintahan.
15
Montesquieu adalah seorang ahli pemikir besar yang pertama diantara ahli-ahli pemikir besar tentang negara dan hukum dari Perancis.
Dia adalah seorang sarjana hukum, hidup pada tahun 1688-1755. Dia adalah seorang autodidact, yaitu seorang yang dengan pemikiran dan
tenaganya sendiri telah memperoleh kemajuan terutama dalam lapangan ilmu pengetahuan.
16
Montesquieu berpendapat bahwa negara dalam bangunannya seperti Undang-Undang, kebiasaan dan tradisinya adalah berlainan. Yang
menyebabkan berlainannya hal-hal di atas negara yang pernah dan masih ada itu adalah perbedaan yang terdapat dalam situasi bangsa masing-
masing, sifat kebudayaannya, dan lain-lain syarat mengenai alam dan kebudayaannya seperti iklim, tanah, kebiasaan, dan lain-lain.
17
Montesquieu membagi kekuasaan pemerintahan dalam tiga cabang, yaitu: kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, kekuasaan yudikatif.
Menurutnya Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan untuk membuat Undang-Undang, kekuasaan eksekutif adalah meliputi penyelenggaraan
Undang-Undang diutamakan tindakan dibidang politik luar negri,
15
Jimly Asshiddiqie, Pengatar Ilmu Hukum Tata Negara, cet. III, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010, h. 285.
16
Soehino, Ilmu Negara, h. 116.
17
C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil, Ilmu Negara, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, cet. Pertama, h. 159.
sedangkan kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan mengadili atas pelanggaran Undang-Undang.
18
c. Teori Pembagian Kekuasaan C. van Vollenhoven Donner
Ajaran pembagian kekuasaan yang lain diajukan oleh C. van Vollenhoven Donner Menurut van Vollenhoven, fungsi-fungsi kekuasaan
negara itu terdiri atas empat cabang yang kemudian di Indonesia biasanya diistilahkan dengan catur praja, yaitu i fungsi regeling
pengaturan; ii fungsi bestuur penyelenggaraan pemerintahan; iii fungsi rechtsspraak atau peradilan; dan iv fungsi politie yaitu berkaitan
dengan fungsi ketertiban dan keamanan. Caturpraja yang pertama adalah regeling pengaturan yang kurang lebih identik dengan fungsi legislatif
menurut Montesquieu, Bestur yang identik fungsi pemerintahan eksekutif, rechtspraak peradilan dan politie yang menurutnya
merupakan fungsi untuk menjaga ketertiban dalam masyarakat social order dan peri kehidupan bernegara.
19
Tiga teori di atas ada beberapa perbedaan antara teori John Locke dengan Montesquieu kemudian perbedaan pendapat dengan C. van
Vollenhoven Donner, diantaranya pada kekuasaan kehakiman atau pengadilan, perbedaan yang mendasar antara Locke dan Montesquieu.
Bagi John Locke, berpendapat bahwa kehakiman atau pengadilan merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif. Namun Montesquieu
berpendapat bahwa eksekutif hanya dalam penyelenggaraan Undang-
18
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 282.
19
Jimly Asshiddiqie, Pengatar Ilmu Hukum Tata Negara, h. 284.
Undang dan bidang politik luar negri sedangkan yudikatif menangani kekuasaan mengadili atas pelanggaran Undang-Undang.
20
Berbeda dengan pendapat Montesquieu, bestuur menurut van Vollenhoven tidak hanya melaksanakan Undang-Undang saja tugasnya,
karena dalam pengertian negara hukum modern tugas bestuur itu adalah seluruh tugas negara dalam menyelenggarakan kepentingan umum, kecuali
beberapa hal ialah mempertahankan hukum secara preventif preventive rechtszorg, mengadili menyelesaikan perselisihan dan membuat peraturan
regeling.
21
Terlepas dari perbedaan-perbedaan yang muncul, bahwa semuanya memiliki makna pemisahan kekuasaan bertujuan agar penguasa atau
pemerintah dalam menjalankan tugas dan fungsi-fungsi pemerintahan mengindari dan tidak melakukan tindakan sewenag-wenang, menjamin hak-
hak warga negara, dan memberikan ruang gerak terhadap pelaksanaan prinsip kebebasan dan kemerdekaan.
22