Simanihuruk, Pendekatan Partisipatif… mangga, adpokat dan kemiri. Yang menjadi
masalah adalah adanya angin kencang pada bulan Mei dan Juni akan menggugurkan bunga
tanaman yang berbunga pada saat itu, sehingga tidak akan terjadi buah sama sekali. Atas
pertimbangan itu maka masyarakat mengharapkan agar para peneliti mencarikan
cara merubah musim berbunga tanaman buah- buahan ke bulan-bulan yang tidak ada angin
kencangnya.
Sebaliknya tanah di bagian atas plato umumnya relatif subur dan dapat ditanami
tanaman sayuran dataran tinggi dan buah- buahan. Pada akhir-akhir ini tanaman kopi
khususnya kopi ateng berkembang secara pesat. Yang menjadi persoalan adalah fluktuasi
harga produksi tanaman sayur dan kopi yang sangat besar. Sebagai contoh pada saat ini
harga kopi glondong di Sumbul Dairi berkisar antara Rp 3.000 – Rp 3.500kg, sedang kopi
biji kering di Siborong-Borong berkisar antara Rp 4.000 – Rp 4.500kg. Cabai di Sumbul
Dairi hanya mencapai Rp 1.000kg. Sedang harga kol di Tanah Karo hanya mencapai Rp
200kg dan Sribudolok Rp 150kg.
Kegiatan untuk menumbuhkan minat berusaha khususnya di bidang “usaha kecil
industri pengolahan” yang berbasis hasil pertanian setempat seperti kopi , ubi kayu ,
jagung dan sayuran masih sangat jarang dilakukan oleh mayoritas penduduk. Pada
umumnya penduduk lebih senang dengan menjual secara langsung hasil bumi mereka ,
hal ini berakibat berkurangnya nilai tambah yang diterima para petani. Dari hasil wawan-
cara pada saat investigasi tambahan di lapangan ternyata ditemui beberapa permasala-
han sebagai berikut.
a. Kurangnya informasi mengenai jenis-
jenis usaha industri yang layak untuk dikembangkan.
b. Terbatasnya permodalan, terutama
modal yang mudah diakses oleh penduduk dan murah . Saat ini cara
memperoleh modal yang mudah adalah menghubungi rentenir dan
pengijon yang mengenakan bunga sangat tinggi , sehingga tidak layak
untuk menjadi modal usaha. Sebaliknya meskipun suku bunga
cukup rendah, pihak perbankan masih belum tertarik untuk memberikan
permodalan kepada mereka karena risiko tinggi dan tidak ada jaminan.
c. Pasar yang tidak menjamin bahwa
hasil industri yang diproduksi mereka laku untuk dijual.
Bidang pariwisata merupakan sektor yang dapat meningkatkan pendapatan
penduduk setempat. Berbagai obyek pariwisata yang menarik sangat layak dan potensial untuk
dikembangkan di wilayah DTA Danau Toba. Tetapi sektor ini juga banyak menghadapi
permasalahan antara lain:
a. Sarana dan prasarana menuju ke obyek
wisata kurang memadai. b.
Kesadaran masyarakat akan kebersihan lingkungan kawasan wisata
kurang. c.
Kurangnya promosi secara berkelanjutan.
d. Tidak adanya acara yang terjadwal dan
atraksi yang menarik. e.
Kurangnya dana untuk mengembangkan sektor
kepariwisataan.
3. Sosial Budaya
Nilai-nilai kultural etnis Batak yang mendukung dan menghambat pembangunan
dapat diuraikan sebagai berikut.
3.1 Nilai-Nilai yang Mendukung Pembangunan
Etnis dominan yang menghuni kelima kabupaten Simalungun, Karo, Dairi, Tobasa,
dan Taput di daerah tangkapan air Danau Toba merupakan rumpun dalam etnis Batak.
Jadi, secara umum, sistem nilai kultur keempat etnis tersebut Karo, Simalungun, Pak-Pak,
dan Toba secara garis besar boleh dikatakan sama, walaupun dalam unsur-unsur tertentu
memiliki perbedaan yang mendasar.
Persamaan itu, misalnya, tampak dari lembaga adat. Kalau orang-orang Batak Toba,
mengenal sistem Dalihan Natolu, di kalangan orang-orang Karo dikenal istilah “rakut sitelu”
dan “tutur siwaluh”. Merga silima merupakan kesatuan dari keseluruhan masyarakat Karo
yang terdiri dari lima marga, yaitu: “Karo- karo, Sembiring, Tarigan, Peranginangin, dan
Ginting”. Sedangkan “rakut sitelu” menyangkut hubungan kekerabatan yang
paling mendasar antara tiga kelompok kerabat yakni “sembuyak”, “kalimbubu,” dan “anak
beru”. Dalam masyarakat Simalungun juga dikenal lembaga sejenis, yang terdiri dari
“tondong”, “boru”, dan “sanina.” Demikian
49
Jurnal Wawasan, Oktober 2005, Volume 11, Nomor 2
juga di kalangan etnis Pak-Pak, dikenal lembaga “sulang silima”, yang terdiri dari
“kalimbubu” atau “puang”, “beru,” dan “dengan sibeltek.” Namun, ada sedikit
perbedaan di mana di dalam kelompok kerabat “dengan sibeltek” atau “senina” ini masih ada
pembagian urutan silsilah, yakni “manjang” yang sulung, “sinabul” tengah, dan
“sikuraja” bungsu.
3.2 Nilai-Nilai yang Menghambat Pembangunan
Sistem kepemilikan tanah merupakan pembeda utama dari etnis Batak. Hak ulayat
tano marga sebagaimana diatur dalam hukum adat, tampaknya hanya berlaku dan tetap
bertahan terutama di dua kabupaten, yakni Tobasa dan Taput. Di tiga kabupaten yang
lain, tampaknya hak-hak ulayat tidak berlaku lagi, terutama di Kabupaten Karo, Simalungun,
dan Pak-Pak. Di kawasan ini, tanah tampaknya sudah menjadi komoditas kapitalis atau hak
pribadi private property, di mana sang pemilik bebas bertindak atas miliknya men-
jual, menyewakan, bagi hasil dsb.. Karena sudah menjadi hak pribadi, alat-alat produksi
ini biasanya dilengkapi bukti-bukti legal sebagai justifikasi kepemilikan. Berbeda
dengan di Kabupaten Taput dan Tobasa, di daerah ini umumnya tanah masih menjadi
milik marga “marga tano”. Ini berkaitan dengan sejarah pendirian desa atau “huta” di
mana kelompok marga yang membuka desa “pamungka huta” biasanya menjadi pemilik
teritori atau tanah tersebut. Dalam hal ini, ta- nah bukanlah milik pribadi, tetapi milik
kelompok marga, sehingga tidak bisa dengan mudah diperjualbelikan seperti halnya milik
pribadi. Lebih dari itu, tanah di sini merupakan simbol identitas kultural, tempat di mana
leluhur pertama sekali bermukim, sehingga ikatan emosi terhadap tanah sangat kuat. Bukti
atas kepemilikan atas tanah ini biasanya didasarkan atas klaim-klaim kultural, bahwa
leluhur merekalah yang pertama sekali mem- buka daerah itu. Bukti kepemilikan tidak di-
tunjukkan lewat prasyarat legal, sebagaimana yang berlaku dalam milik pribadi.
Konsekuensi kepemilikan tanah ini pada gilirannya berdampak pada penggunaan lahan
di sekitar kawasan Danau Toba untuk keperluan konservasi, seperti penghijauan
misalnya. Kalau di daerah-daerah yang masih memberlakukan hukum adat atas kepemilikan
tanah, maka pendekatan kultural harus dikedepankan, terutama kepada marga pemilik
tanah, termasuk keluarganya yang tinggal di perantauan. Hal ini tentu relatif lebih sulit,
karena harus mendapat izin dari kelompok marga tersebut. Apalagi, biasanya anggota ke-
lompok marga tersebut ada yang sudah berhasil secara ekonomi dan mempunyai
pengaruh yang kuat di pemerintahan. Di daerah yang tidak memberlakukan hukum adat
dalam kepemilikan lahan, tentu jauh lebih mudah, karena tinggal melakukan transaksi
jual beli, layaknya seperti di pasar.
Selama investigasi tambahan dilakukan 26 Mei - 2 Juni 2003 ditemukan beberapa
nilai-budaya yang dianggap dapat menghambat pembangunan.
Pertama, nilai kemandirian self- reliance di kalangan masyarakat desa
cenderung menurun. Mental ketergantungan pada pihak luar terutama bantuan uang dan
alat-alat produksi relatif tinggi. Ini tampak dari pertanyaan yang diungkapan kebanyakan
warga yang ditemui tim studi, “Dana apa yang mau dicairkan?” “Pupuk atau bibit apa yang
mau diperkenalkan?” Ungkapan ini merupakan bukti nyata mental ketergantungan pada pihak
luar. Mereka tak sepenuhnya salah, karena me- mang berbagai proyek terutama dari pe-
merintah senantiasa menawarkan bantuan modal atau alat-alat produksi seperti bibit,
pupuk, dsb.. Sayangnya, monitoring dan evaluasi atas program yang dijalankan kurang
maksimal, sehingga dampak bantuan berhasil atau tidak kurang diketahui. Kondisi ini tentu
menjadi tantangan berat dalam melaksanakan PRA. Karena tujuan utama PRA adalah proses
pembelajaran menuju kemandirian, sedapat mungkin mengurangi ketergantungan dari luar.
Proses pelaksanaan PRA harus sebaik mungkin dengan mempertimbangkan mental
ketergantungan ini. Lebih dari itu, PRA sebaiknya diimplementasikan ke tingkat aksi,
meski dalam skala program yang kecil, sehingga masyarakat merasa ada manfaatnya.
Implementasi dalam bentuk aksi ini tentu dida- sarkan atas hasil penjajagan selama proses
PRA berlangsung.
Kedua, nilai-nilai seperti “HOTEL” Ho- som, Teal, Elat, Late di kalangan masyarakat
Batak Toba, “cian”, “cikurak” etnis Karo, “late”, “cian”, “penduhuli” Pak-Pak meru-
pakan nilai-nilai yang kurang mendukung proses pembangunan. Nilai, sombong teal,
cemburu late, cian merupakan nilai-nilai yang kurang mendukung pembangunan kalau
50
Simanihuruk, Pendekatan Partisipatif… ditujukan untuk kepentingan negatif. Cemburu
late, cian kurang menghargai keberhasilan orang lain dan membanggakan diri sendiri
teal saja tentu kurang mendukung keberhasilan pembangunan. Namun jika nilai-
nilai seperti cemburu late, cian ini diarahkan untuk kepentingan berprestasi dan maju tentu
akan bermanfaat. Di kalangan orang Pak-Pak misalnya, ada ungkapan “keken bakandilo”
yang arti bebasnya bermakna ‘dibantu pun tetap begitu-begitu saja’ merefleksikan
kurangnya kemandirian, kreativitas, dan orientasi masa depan.
Ketiga, khususnya di kalangan etnis Batak Toba, sistem nilai budaya Hamoraon
kekayaan materi, jabatan, Hasangapon memilik anak laki-laki dan perempuan, dan
Hagabeon kehormatan yang dijalankan tanpa mengacu kepada etika dan moralitas seringkali
melahirkan konflik yang tajam dan tak berke- sudahan.
4. Upaya Pemecahan Masalah 4.1 Dasar Pertimbangan