Keanekaragaman Hayati Penyakit – Penyakit yang disebabkan oleh jamur Pada Tanaman Jagung (Zea mays L. ) di Dataran Tinggi dan Rendah di Sumatera Utara
KEANEKARAGAMAN HAYATI PENYAKIT-PENYAKIT
YANG DISEBABKAN OLEH JAMUR PADA TANAMAN
JAGUNG (Zea mays L.) DI DATARAN TINGGI
DAN RENDAH DI SUMATERA UTARA
SKRIPSI
OLEH:
CHRISTIN M.E DAMANIK 060302044
HPT
DEPARTEMEN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(2)
KEANEKARAGAMAN HAYATI PENYAKIT-PENYAKIT
YANG DISEBABKAN OLEH JAMUR PADA TANAMAN
JAGUNG (Zea mays L.) DI DATARAN TINGGI
DAN RENDAH DI SUMATERA UTARA
SKRIPSI
OLEH:
CHRISTIN M.E DAMANIK 060302044
HPT
Skripsi adalah sebagai salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar sarjana di Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara, Medan.
Disetujui Oleh: Komisi Pembimbing
Ketua Anggota
(Dr. Lisnawita, SP, MSi) (Ir. Kasmal Arifin, MSi )
DEPARTEMEN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(3)
ABSTRACT
Christin Maria Eleonora Damanik ”Biodiversity of Diseases Caused by Fungy in Corn Plants (Zea mays L.) in Highland and Lowland at North Sumatera”, supervised by Lisnawita and Alm. Kamal Arifin. This research was held in Purwobinangun and Namoukur, Langkat, approximetely ± 118 m from the sea surface and Guru Kinayan, Karo, approximetely ± 1004 m from the sea surface. This research used survey method. Survey was using random sampling for vegetative phase & generative phase. The parameters were observed are the kind of diseases and the percentage of diseases attack. The result showed that diseases in highland are Nothern Leaf Blight (Exserohilum turcicum), Corn Smut (Puccinia polysora), Gibberella Ear Rot (Gibberella zeae, Fusarium moniliforme) and in lowland are Peronosclerospora maydis, Gray Leaf Spot (Bipolaris maydis), Diplodia Ear Rot (Diplodia maydis). The percentage of diseases attack from highest until bottommost are 2,54 %, 1,94 %, 0,29 % and in lowland are 1,46 %, 1,24 %, 0,37 %.
(4)
ABSTRAK
Christin Maria Eleonora Damanik ” Keanekaragaman Hayati Penyakit – Penyakit yang disebabkan oleh jamur Pada Tanaman Jagung (Zea mays L. ) di Dataran Tinggi dan Rendah di Sumatera Utara” dibawah bimbingan Lisnawita. Penelitian ini dilaksanakan di Purwobinangun dan Namoukur, Langkat dengan ketinggian ± 118 mdpl dan Guru Kinayan, Karo dengan ketinggian ± 1004 mdpl. Metode yang digunakan adalah metode survei dengan cara mengamati langsung tanaman jagung yang terserang penyakit baik pada fase vegetatif dan generatif di lapangan. Parameter yang diamati adalah jenis penyakit dan persentase serangan. Hasil penelitian menunjukkan penyakit-penyakit yang terdapat pada dataran tinggi adalah hawar daun (Exserohilum turcicum), karat (Puccinia polysora), busuk tongkol (Gibberella zeae, Fusarium moniliforme) sedangkan pada dataran rendah adalah bulai (Peronosclerospora maydis), bercak daun (Bipolaris maydis), busuk tongkol (Diplodia maydis). Persentase serangan penyakit dari yang tertinggi sampai terendah pada dataran tinggi berturut-turut adalah 2,54 %, 1,94 %, 0,29 % sedangkan pada dataran rendah adalah 1,46 %, 1,24 %, 0,37 %.
(5)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan kasihNyalah penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Adapun judul dari skripsi ini adalah ” KEANEKARAGAMAN HAYATI PENYAKIT-PENYAKIT YANG DISEBABKAN OLEH JAMUR PADA TANAMAN JAGUNG (Zea mays L.) DI DATARAN TINGGI DAN RENDAH DI SUMATERA UTARA“ yang merupakan salah satu syarat untuk
dapat menempuh ujian sarjana di Departemen Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada para dosen pembimbing yakni Ibu Dr. Lisnawita, SP, MSi selaku ketua dan Bapak Ir. Kasmal Arifin, MSi selaku anggota dan Bapak Budi Purba, SP selaku pembimbing lapangan serta teman – teman yang telah banyak memberikan saran dan arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan skripsi ini.
Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih.
Medan, September 2010
(6)
RIWAYAT HIDUP
Christin Maria Eleonora Damanik, dilahirkan di Medan pada tanggal 25 Desember 1987, puteri dari Ayah Drs. J.H Damanik dan Ibu Dra. R. Pardede. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara.
Riwayat Pendidikan
1. Tahun 2000 lulus dari SD TRI RATNA Sibolga 2. Tahun 2003 lulus dari SLTP TRI RATNA Sibolga 3. Tahun 2006 lulus dari SMA TRI RATNA Sibolga
4. Tahun 2006 penulis lulus di Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara melalui jalur SPMB.
Pengalaman Kegiatan Akademis
1. Asisten di Laboratorium Epidemiologi Penyakit Tumbuhan tahun 2009 2. Anggota Ikatan Mahasiswa Perlindungan Tanaman (IMAPTAN)
3. Mengikuti Seminar Ilmiah Dies Natalis Fakultas Pertanian USU Ke-52 Tahun 2008
4. Mengikuti Seminar Nasional ”Tindak Lanjut Pembangunan Pertanian Pasca Swasembada Beras 2008” Tahun 2009
5. Melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di PTPN III Kebun Rambutan Tebing Tinggi Bulan Juni – Juli 2010.
6. Melaksanakan Penelitian di Kabupaten Langkat dan Karo, dan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian USU dari bulan Januari – Mei 2010.
(7)
DAFTAR ISI
Judul Halaman
ABSTRACT...i ABSTRAK...ii KATA PENGANTAR...iii RIWAYAT HIDUP...iv DAFTAR ISI...v DAFTAR GAMBAR...vi DAFTAR TABEL... DAFTAR LAMPIRAN... PENDAHULUAN Latar Belakang...1 Tujuan Penulisan...3 Hipotesa Penelitian...3 KegunaanPenulisan...3 TINJAUAN PUSATAKA BotaniTanaman...4 SyaratTumbuh Tanah...5 Iklim...6
Penyakit-penyakit di Dataran Rendah dan Dataran Tinggi...6
Peranan Lingkungan dalam proses epidemiologi...25
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan...27
Bahan dan Alat...27
Metode Penelitian...27 Pelaksanaan Penelitian Survei Pendahuluan...28 Pengambilan Sampel...28 Isolasi Jamur...28 Identifikasi Jamur...28
(8)
Peubah yang diamati
Jenis Penyakit...29 Intensitas Serangan Penyakit...29
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengamatan Jenis Penyakit...31 Fase Vegetatif dan Generatif di Dataran Rendah
Bulai (Peronosclerospora maydis (Rac.) Shaw)………31 Bercak Daun (Bipolaris maydis (Nisik) Shoemaker)……….33 Busuk Tongkol (Diplodia maydis Schwabe)...36 Fase Vegetatif dan Generatif di Dataran Tinggi
Karat Daun (Puccinia sorghi Schw dan P. Polysora Underw)…..37 Hawar Daun (Exserohilum turcicum (Pass) Leonard et Suggs)….38
Busuk Tongkol (Gibberella zeae Schw dan Fusarium moniliforme)...41
Persentase Serangan Penyakit...43
KESIMPULAN...45 DAFTAR PUSTAKA
(9)
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1 Peronosclerospora maydis... 7
2 Gejala serangan P. maydis………... 8
3 Puccinia sp……… 10
4 Gejala Serangan Puccinia sp………. 11
5 Exserohilum turcicum………... 13
6 Gejala Serangan E. turcicum……….. 14
7 Gejala Serangan Ustilago maydis………16
8 Bipolaris maydis………..18
9 Gejala Serangan Bipolaris maydis………...19
10 Diplodia maydis... 21
11 Gejala Serangan Busuk Tongkol pada Daun ...22
12 Gejala Serangan Busuk Tongkol...………..22
13 Gejala Serangan MCDV……….24
14 Gejala Serangan Bulai di Dataran Rendah……….32
15 Pengambilan Sampel Bulai di lapangan………..33
16 Peronosclerospora maydis secara mikroskopis………..33
17 Gejala Serangan Bipolaris maydis di Lapangan………34
18 Bipolaris maydis dalam Media PDA…….………35
19 Pengamatan mikroskopis Bipolaris maydis ………..35
(10)
21 Diplodia maydis dalam media PDA ………...………...37
22 Diplodia maydis mikroskopis………..38
23 Gejala Serangan Karat Daun di Lapangan...………...39
24 Gejala Serangan Hawar Daun di Lapangan……….40
25 Exserohilum turcicum dalam Media PDA………..41
26 E. turcicum di bawah mikroskop………..41
27 Gejala Serangan Fusarium graminarium……….42
28 Fusarium graminarium dalam Media PDA………43
(11)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1 Tempat Penelitian di Gurukinayan………. 48
2 Tempat Penelitian di Langkat………. 48
3 Panen di Langkat………. 49
4 Panen di Gurukinayan………. 49
(12)
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1 Persentase Serangan Penyakit……… 43
2 Data pH Tanah………50
(13)
ABSTRACT
Christin Maria Eleonora Damanik ”Biodiversity of Diseases Caused by Fungy in Corn Plants (Zea mays L.) in Highland and Lowland at North Sumatera”, supervised by Lisnawita and Alm. Kamal Arifin. This research was held in Purwobinangun and Namoukur, Langkat, approximetely ± 118 m from the sea surface and Guru Kinayan, Karo, approximetely ± 1004 m from the sea surface. This research used survey method. Survey was using random sampling for vegetative phase & generative phase. The parameters were observed are the kind of diseases and the percentage of diseases attack. The result showed that diseases in highland are Nothern Leaf Blight (Exserohilum turcicum), Corn Smut (Puccinia polysora), Gibberella Ear Rot (Gibberella zeae, Fusarium moniliforme) and in lowland are Peronosclerospora maydis, Gray Leaf Spot (Bipolaris maydis), Diplodia Ear Rot (Diplodia maydis). The percentage of diseases attack from highest until bottommost are 2,54 %, 1,94 %, 0,29 % and in lowland are 1,46 %, 1,24 %, 0,37 %.
(14)
ABSTRAK
Christin Maria Eleonora Damanik ” Keanekaragaman Hayati Penyakit – Penyakit yang disebabkan oleh jamur Pada Tanaman Jagung (Zea mays L. ) di Dataran Tinggi dan Rendah di Sumatera Utara” dibawah bimbingan Lisnawita. Penelitian ini dilaksanakan di Purwobinangun dan Namoukur, Langkat dengan ketinggian ± 118 mdpl dan Guru Kinayan, Karo dengan ketinggian ± 1004 mdpl. Metode yang digunakan adalah metode survei dengan cara mengamati langsung tanaman jagung yang terserang penyakit baik pada fase vegetatif dan generatif di lapangan. Parameter yang diamati adalah jenis penyakit dan persentase serangan. Hasil penelitian menunjukkan penyakit-penyakit yang terdapat pada dataran tinggi adalah hawar daun (Exserohilum turcicum), karat (Puccinia polysora), busuk tongkol (Gibberella zeae, Fusarium moniliforme) sedangkan pada dataran rendah adalah bulai (Peronosclerospora maydis), bercak daun (Bipolaris maydis), busuk tongkol (Diplodia maydis). Persentase serangan penyakit dari yang tertinggi sampai terendah pada dataran tinggi berturut-turut adalah 2,54 %, 1,94 %, 0,29 % sedangkan pada dataran rendah adalah 1,46 %, 1,24 %, 0,37 %.
(15)
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Jagung (Zea mays L.) adalah tanaman purba. Hal ini ditunjukkan dari sisaan kelobot yang terunut sampai sekitar 5000 SM yang ditemukan di penggalian sejarah gua Tehuacan, Meksiko. Domestikasi tanaman ini diperkirakan telah dimulai pada kurun waktu tersebut (Rubatzky dan Yamaguchi, 1998).
Jagung adalah sayuran yang penting dan popular khususnya Amerika Serikat. Di negara ini setiap tahun lahan seluas 25000 Ha ditanami jagung manis. Amerika Utara mendominasi produksi jagung manis dunia. Kepopuleran jagung meningkat dengan pesat di Eropa dan Asia khususnya Jepang dan China, yang ditandai dengan produksinya yang terus meluas (Splittstoesser, 1984).
Jagung merupakan kebutuhan yang cukup penting bagi kehidupan manusia dan hewan. Jagung mempunyai kandungan gizi dan serat kasar yang cukup memadai sehingga jagung dapat dijadikan bahan makanan pokok pengganti beras. Kandungan zat gizi yang terdapat dalam jagung antara lain protein, lemak, karbohidrat dan kalsium (Iskandar, 2003).
Kebutuhan akan konsumsi jagung terus meningkat. Hal ini didasarkan pada makin meningkatnya tingkat konsumsi perkapita per tahun dan semakin meningkatnya jumlah penduduk Indonesia (Anonimus d, 2010). Produktivitas jagung mulai meningkat relatif cepat setelah tahun 1980a n. Di Sulawesi Selatan yang sebagian penduduknya mengonsumsi jagung sebagai makanan pokok, produktivitas jagung juga relatif stagnan sampai pertengahan 1990an.
(16)
Di Sumatera Utara dan Lampung, produktivitas jagung meningkat relatif cepat. Pada tahun 2000 produktivitas jagung di Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Lampung, dan Sulawesi Selatan hampir sama sedangkan di Nusa Tenggara Timur, masih jauh ketinggalan. Peningkatan produktivitas jagung setelah pertengahan 1990an terutama didorong oleh semakin gencarnya promosi yang digelar oleh produsen benih jagung hibrida, seperti Charoen Pokphand dan Pioneer. Diperkirakan lebih dari 30% areal pertanaman jagung di sentra produksi ditanami dengan benih hibrida, bahkan di Lampung dan Sumatera Utara diperkirakan telah mencapai lebih dari 45% (Kasryno at al, 2007).
Produksi jagung di Sumatera Utara sebagai salah satu sentra produksi jagung di Indonesia pada tahun 2008 lebih dari satu juta ton ini menjadikan Sumatera Utara sebagai propinsi kelima terbesar dalam produksi jagung setelah Jawa Timur, Jawa Tengah, lampung dan Sulawesi Selatan (BPS, 2008).
Walaupun produksi jagung di Indonesia secara umum dan Sumatera Utara mengalami peningkatan, namun peningkatan produksi ini belum optimal. Ada beberapa faktor yang menyebabkan produksi tidak optimal seperti masalah kesuburan tanah, bibit unggul dan gangguan hama dan penyakit.
Ada banyak penyakit yang menginfeksi tanaman jagung. Penyakit-penyakit ini dapat disebabkan oleh cendawan, bakteri, virus, nematoda dan mikroplasma. Dari jenis-jenis penyakit yang menginfeksi tanaman jagung, penyakit yang disebabkan oleh cendawan relatif lebih dominan dibanding dengan penyebab lainnya.
(17)
Berdasarkan informasi di atas dengan pertimbangan bahwa jagung di Sumatera Utara ditanam pada dataran tinggi dan rendah, sehingga besar kemungkinan terdapat perbedaan jenis-jenis penyakit, maka peneliti melakukan penelitian ini untuk mengetahui jenis-jenis penyakit yang disebabkan oleh jamur yang terdapat pada tanaman jagung dataran tinggi maupun rendah.
Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui penyakit yang disebabkan oleh jamur yang menginfeksi tanaman jagung (Zea mays L.) di dataran tinggi dan dataran rendah di Sumatera Utara.
Hipotesa Penelitian
Diduga ada perbedaan penyakit yang disebabkan oleh jamur pada tanaman jagung di ketinggian tempat yang berbeda di Sumatera Utara.
Kegunaan Penelitian
1. Sebagi bahan informasi bagi pihak yang membutuhkan
2. Sebagai salah satu syarat unuk dapat memperoleh gelar sarjana di Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.
(18)
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman Jagung ( Zea mays L. )
Menurut Purwono dan Hartono (2004), jagung diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta Subdivisio : Angiospermae Kelas : Monocotyledoneae Ordo : Graminae
Famili : Graminaceae Genus : Zea
Spesies : Zea mays L.
Setelah perkecambahan, akar primer awal memulai pertumbuhan tanaman. Sekelompok akar sekunder berkembang pada buku-buku pangkal batang dan tumbuh menyamping. Akar yang tumbuh relatif dangkal ini merupakan akar adventif dengan percabangan yang amat lebat (Rubaztky dan Yamaguchi, 1998).
Batang tanaman jagung silindris dan tidak berlubang seperti halnya batang tanaman padi. Batang tanaman jagung yang masih muda (hijau) rasanya manis karena cukup banyak mengandung zat gula. Rata-rata panjang (tinggi) tanaman jagung antara satu sampai tiga meter di atas permukaan tanah (Warisno, 1998).
Daun jagung tumbuh di setiap ruas batang. Daun ini berbentuk pipa, mempunyai lebar 4-15 cm dan panjang 30-150 cm, serta didukung oleh pelepah
(19)
daun yang menyelubungi batang. Daun mempunyai dua jenis bunga yang berumah satu (Wakman dan Burhanuddin, 2007).
Pada setiap tanaman jagung terdapat bunga jantan dan bunga betina yang letaknya terpisah. Bunga jantan terdapat pada malai bunga di ujung tanaman, sedangkan bunga betina terdapat pada tongkol jagung. Bunga betina ini biasanya disebut tongkol selalu dibungkus kelopak-kelopak yang jumlahnya sekitar 6-14 helai. Tangkai kepala putik merupakan rambut atau benang yang terjumbai di ujung tongkol sehingga kepala putiknya menggantung di luar tongkol. Bunga
jantan yang terdapat di ujung tanaman masak lebih dahulu daripada bunga betina (Wakman dan Burhanuddin, 2007).
Jagung memiliki buah matang berbiji tunggal yang disebut karyopsis. Buah ini gepeng dengan permukaan atas cembung atau cekung dan dasar runcing. Buah ini terdiri endosperma yang melindungi embrio lapisan aleuron dan jaringan
perikarp yang merupakan jaringan pembungkus (Rubaztky dan Yamaguchi, 1998).
Syarat Tumbuh Tanah
Tanaman jagung toleran terhadap reaksi keasaman tanah pada kisaran pH 5,5 - 7,0. Tingkat keasaman tanah yang paling baik untuk tanaman jagung adalah pada pH 6,8. Pada tanah yang memiliki keadaan pH 7,5 dan 5,7 produksi jagung cenderung turun (Wakman dan Burhanuddin, 2007)
(20)
Iklim
Untuk pertumbuhan optimalnya jagung menghendaki penyinaran matahari yang penuh. Di tempat-tempat yang teduh pertumbuhan jagung akan merana dan tidak mampu membentuk buah. Di Indonesia suhu semacam ini terdapat di daerah dengan ketinggian antara 0 - 600 m dpl dan curah hujan optimal yang dihendaki antara 85 - 100 mm per bulan merata sepanjang pertumbuhan tanaman (Wakman dan Burhanuddin, 2007).
Daerah yang dikehendaki oleh sebagian besar tanaman jagung yaitu daerah beriklim sedang hingga daerah beriklim subtropis/tropis basah. Jagung dapat tumbuh baik di daerah yang terletak antara 50° LU - 40° LS. Pada lahan yang tidak beririgasi memerlukan curah hujan ideal sekitar 85 - 200 mm/bulan selama masa pertumbuhan. Suhu yang dikehendaki tanaman jagung untuk pertumbuhan terbaiknya antara 27° - 32° C. Pada proses perkecambahan benih jagung memerlukan suhu sekitar 30 °C (Anonimus d, 2010).
Penyakit – penyakit Jagung di Dataran Rendah dan Dataran Tinggi
1. Bulai ( Peronosclerospora maydis (Rac.) Shaw ) Biologi Patogen Peronosclerospora maydis (Rac.)
Menurut Anonimus C (2010), klasifikasi dari patogen penyebab penyakit bulai adalah:
Kingdom : Fungi Filum : Oomycota Kelas : Oomycetes Ordo : Sclerosoprales
(21)
Famili : Sclerosporaceae Genus : Peronosclerospora
Spesies : Peronosclerospora maydis Rac (Shaw)
Konidiofor berukuran 132 - 261 mikron, tipis. Konidianya hialin, berdinding tipis, berukuran 24 - 46.6 x 12 - 20 mikron. Oogonianya berwarna coklat kemerahan, berbentuk elips tidak beraturan, berukuran 55 - 73 x 49 - 58 mikron (Singh, 1998).
Pada umumnya konidiofor mempunyai percabangan tingkat tiga atau empat. Cabang tingkat terakhir membentuk sterigma. Konidium yang masih muda berbentuk bulat, sedang yang sudah masak dapat membentuk jorong. Konidium tumbuh dengan membentuk pembuluh kecambah (Semangun, 1993) (Gambar.1)
Gambar 1. P. maydis
Sumber.http://balitsereal.litbang.deptan.go.id/bjagung/satutujuh.pdf
Gejala Serangan
Tanaman yang terserang mengalami gangguan pertumbuhan. Bentuk daunnya akan meruncing dan kecil. Bila infeksi terjadi pada tanaman yang lebih tua, tanaman dapat tumbuh terus dan membentuk buah. Buah sering mempunyai tangkai yang panjang, dengan kelobot yang tidak menutup di ujungnya dan hanya membentuk sedikit biji (Semangun, 1993).
(22)
Gejala yang ditunjukkan oleh penyakit ini adalah pertumbuhan terhambat, pada daun akan terlihat garis-garis klorotik. Penyakit akan terlihat jelas pada saat tanaman masih muda. Daun akan berwarna putih kekuningan mulai dari pangkalnya, infeksi kedua akan terlihat garis klorotik sempit disepanjang permukaan daun (Singh, 1998) (Gambar 2).
Gambar 2. Gejala serangan P. maydis
Sumber.http://balitsereal.litbang.deptan.go.id/bjagung/satutujuh.pdf
Faktor yang mempengaruhi
Penyakit bulai pada jagung terutama terdapat di dataran rendah. Konidium yang paling baik berkecambah pada suhu 30 ºC. Infeksi hanya terjadi kalau ada air, baik ini air embun, air hujan. Infeksi sangat ditentukan oleh umur tanaman dan umur daun yang terinfeksi. Tanaman yang berumur lebih dari 3 minggu cukup tahan terhadap infeksi, dan makin muda tanaman, makin rentan pula (Semangun, 1993).
Pembentukan konidia jamur ini menghendaki air bebas, gelap dan suhu tertentu yaitu 24 ºC. Penyakit ini merupakan penyakit yang paling berbahaya.
(23)
Penyebarannya sangat luas, kehilangan hasil dapat mencapai 90% (Wakman dan Burhanuddin, 2007).
Pengendalian
Menurut Semangun (1993), pengendalian penyakit bulai yaitu: 1. Penanaman varietas tahan seperti Arjuno, Pioner 12, Abimanyu 2. Segera mencabut tanaman yang menunjukkan gejala penyakit 3. Merawat benih dengan metalaksil (ridomil 35 SD)
Tiga cara pengelolaan penyakit bulai dengan menggunakan kultur teknis, penggunaan fungisida dan penanaman varietas tahan bulai. Hal yang paling baik dapat digunakan kombinasi dari ketiga pengandalian tersebut (Singh, 1998).
2. Karat (Puccinia sorghi Schw dan P. Polysora Underw) Biologi Patogen
Menurut Anonimus b (2010), klasifikasi dari patogen penyebab karat ini adalah:
Kingdom : Fungi
Filum : Basidiomycota Kelas : Pucciniomycotina Ordo : Pucciniales Famili : Pucciniaceae Genus : Puccinia
Spesies : Puccinia sorghi Schw
Jamur mempunyai uredium pada kedua sisi daun dan upih daun, rapat atau jarang, tersebar tidak menentu. Urediospora bulat atau jorong 24-29 x 22-29
(24)
mikron, berdinding coklat kemerahan, berduri-duri halus. Jamur membentuk telium terbuka (Semangun, 1993).
Tebal dinding spora 1-1,5 mikron dengan 4-5 lubang ekuator, ukuran 18-27 x 29-41 mikron, mudah lepas, dua sel, timbul pada tangkai pendek ukuran
10-30 mikron. Teliospora berwarna coklat, halus, elips, kedua ujungnya membulat, (Wakman dan Burhanuddin, 2007) (Gambar 3).
Gambar 3. Puccinia sp.
Sumber.http://balitsereal.litbang.deptan.go.id/bjagung/satutujuh.pdf
Gejala Serangan
Gejala pada tanaman jagung yang terinfeksi penyakit karat adalah adanya bisul, terutama pada daun. Bisul terbentuk pada kedua permukaan daun bagian atas dan bawah. Bisul dengan warna coklat kemerahan tersebar pada permukaan daun dan berubah warna menjadi hitam kecoklatan setelah teliospora berkembang. Bisul ini dapat terlihat jelas dan bila dipegang akan terasa kasar (Gambar.4). Pada
saat terjadi penularan berat, daun menjadi kering (Wakman dan Burhanuddin, 2007).
(25)
Di lapang kadang-kadang epidermis tetap menutupi urediosorus sampai matang. Tetapi adakalanya epidermis pecah dan massa spora dalam jumlah besar menjadi tampak (Semangun, 1993).
Gambar 4. Gejala Serangan Puccinia sp.
Sumber.http://balitsereal.litbang.deptan.go.id/bjagung/satutujuh.pdf
Faktor yang mempengaruhi
Urediospora Puccinia polysora paling banyak dipencarkan menjelang tengah hari. Perkecambahan spora adalah 27-28º C. Puccinia sorghi terutama terdapat pada suhu agak rendah di daerah pegnnungan, berkembang pada suhu 16-23 ºC (Semangun, 1993).
Perbedaan ras masing-masing spesies telah diketahui dari reaksi beberapa varietas jagung. Puccinia polysora tidak berkembang pada ketinggian 1200 m dan diketinggian kurang dari 900 m cocok bagi perkembangan penyakit karat (Wakman dan Burhanuddin, 2007).
(26)
Pengendalian
Penyakit karat dapat dikendalikan dengan beberapa cara yaitu penanaman varietas tahan (arjuna, Bromo, Rama, Pioneer-3) dan aplikasi fungisida pada saat mulai tampak bisul pada karat daun (Wakman dan Burhanuddin, 2007).
3. Hawar Daun (Exserohilum turcicum (Pass) Leonard et Suggs) Biologi Patogen
Menurut Anonimus a (2010), klasifikasi patogen penyebab hawar daun yaitu:
Kingdom : Fungi Filum : Ascomycota Kelas : Dothideomycetes Ordo : Pleosporales Famili : Pleosporaceae Genus : Exserohilum
Spesies : Exserohilum turcicum (Pass) Leonard et Suggs
Miselium dari jamur ini adalah hijau gelap. Konidiofornya berukuran
(60-280 x 6-10 mikron), konidia berukuran (40-150 x 11-27 mikron) (Lucas at al, 1987).
Ciri khusus dari jamur penyebab hawar daun ini yaitu konidiofor lurus atau lentur, kadang-kadang mempunyai bengkokan seperti lutut, berwarna coklat atau coklat tua, dekat ujungnya pucat. Konidium jelas bengkok berbentuk
perahu, coklat pucat sampai coklat emas tua, halus, hilum gelap (Semangun, 1993) (Gambar 5).
(27)
Gejala visual yang menunjukkan ciri khas serangan H. turcicum adalah bercak agak memanjang, bagian tengah agak melebar, makin ke pinggir makin kecil, berwarna cokelat keabuan, dikelilingi oleh warna kekuningan sejajar tulang daun. Isolat Helminthosporium turcicum yang ditumbuhkan pada media potato dextrose agar (PDA) berwarna putih keabuan dengan zonasi beraturan. Konidia
mulai terlihat setelah 6 hari dan semakin banyak pada 12 hari (Adipala dan Latigo, 1994).
Gambar 5. E. turcicum
http://balitsereal.litbang.deptan.go.id/bjagung/satutujuh.pdf
Gejala Serangan
Gejala awalnya muncul bercak-bercak kecil, jorong, hijau tua. Selanjutnya berubah warna menjadi coklat kehijauan, kemudian bercak membesar dan mempunyai bentuk yang khas. Beberapa bercak dapat bersatu membentuk bercak yang lebih besar sehingga dapat mematikan jaringan daun. Tanaman jagung yang terinfeksi penyakit hawar daun pada fase vegetatif menyebabkan tingkat penularan yang lebih berat dibanding bila penularan terjadi pada tanaman yang
(28)
lebih tua dan ini akan berpengaruh terhadap kehilangan hasil (Wakman dan Burhanuddin, 2007).
Lebar bercak 1-2 cm dan panjang 5-10 cm, tetapi lebar dapat mencapai 5 cm dan panjang 15 cm. Sehabis hujan atau banyak embun pada kedua sisi bercak terbentuk banyak sporayang menyebabkan bercak tampak berwarna hijau tua berbeledu yang makin ke tepi warnanya makin muda. Pertanaman yang sakit keras tampak kering seperti habis terbakar (Gambar 6) (Semangun, 1993).
Gambar 6. Gejala Serangan E. turcicum
Faktor yang mempengaruhi
Konidium jamur disebarkan melalui angin. Suhu optimal untuk
pertumbuhan, pembentukan dan perkecambahan konidia adalah 30 ºC. Tanaman jagung yang terinfeksi pada fase vegetatif menyebabkan tingkat penularan yang
lebih berat dibandingkan bila terjadi pada tanaman yang lebih tua (Wakman dan Burhanuddin, 2007).
(29)
Infeksi terutama berasal dari konidia yang terbawa oleh angin, ataupun curah hujan yang tinggi. Infeksi memerlukan waktu 6-18 jam pada suhu 18-27º C.
Kondisi ideal untuk siklus hidup patogen ini adalah 60 - 70 hari (Lucas at al, 1987).
Pengendalian
Menurut Wakman dan Burhanuddin (2007), pengendalian dari penyakit hawar daun dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu:
► Varietas tahan ► Sanitasilingkungan ► Pengaturan jarak tanam
► Fungisida dengan bahan aktif carbendazin,mankozeb
► Perlakuan benih dengan perendaman dengan Thiram dan Karboxin
4. Penyakit Gosong (Ustilago maydis (DC) Cda) BiologiPatogen
Menurut Anonimus d (2010), klasifikasi dari patogen penyebab penyakit gosong ini adalah:
Kingdom : Fungi
Filum : Basidiomycota Kelas : Ustilaginomycetes Ordo : Ustilaginales
Famili : Ustilaginaceae Genus : Ustilago
(30)
Teliosporanya berbentuk bulat atau elips, berwarna coklat sampai hitam, diameter 8 - 11 mikron. Spora diploid ini tumbuh membentuk promiselium dengan empat atau lebih sporidia (Wakman dan Burhanuddin,2007).
Dalam kelenjar jamur membentuk teliospora, yang berbentuk bulat atau jorong. Teliospora berkecambah dengan membentuk basidium atau promiselium, kemudian membentuk basidiospora atau sporidium (Semangun, 1993).
Gejala Serangan
Gejala awal berupa pembengkakan atau gall yang dibungkus dengan jaringan berwarna putih kehijauan sampai putih perak mengkilat. Bagian dalam gall berwarna gelap dan berubah menjadi massa tepung spora berwarna coklat sampai hitam. Apabila bunga jantan terinfeksi, maka semua tongkol pada tanaman tersebut terinfeksi penyakit gosong (Wakman dan Burhanuddin, 2007).
Biji-biji yang terinfeksi membengkak, membentuk kelenjar-kelenjar. Dengan makin membesarnya kelenjar-kelenjar,kelobot terdesak ke samping, sehingga sebagian dari kelenjar itu tampak dari luar (Gambar 7). Akhirnya kelenjar pecah dan spora jamur yang berwarna hitam terhambur keluar (Semangun, 1993).
Gambar 7. Gejala Serangan Gosong
(31)
Faktor yang mempengaruhi
Penyakit ini lebih banyak terdapat di pegunungan. Pertanaman yang rapat membantu perkembangan penyakit. Makin panjang umur tanaman, biasanya makin besar pula kemungkinan untuk mendapatkan serangan (Semangun, 1993).
Ustilago maydis meghendaki keadaan iklim kering dan suhu antara 26-34 ºC. Periode inkubasi dari infeksi sampai timbul gall sekitar 1 sampai beberapa minggu. Pemupukan N dan pupuk kandang meningkatkan penyakit ini (Wakman dan Burhanuddin, 2007).
Pengendalian
Menurut Singh (1998), pengendalian penyakit gosong adalah rotasi tanaman, sanitasi lahan,dan perlakuan benih yang mungkin dapat membantu terjadinya infeksi.
Menurut Semangun(1993), pengendalian yang tepat untuk penyakit ini adalah:
o Membakar atau memendam dalam tanah tanaman yang telah terinfeksi o Melakukan seed treatment
(32)
5. Bercak Daun (Bipolaris maydis (Nisik) Shoemaker) Biologi Patogen
Menurut Anonimus d (2010), klasifikasi dari patogen penyebab bercak daun adalah:
Kingdom : Fungi Filum : Ascomycota Kelas : Dothideomycetes Ordo : Pleosporales Famili : Pleosporaceae Genus : Bipolaris
Spesies : Bipolaris maydis (Nisik) Shoemaker
Miselium dan sporanya dapat bertahan hidup pada sisa tanaman dan biji terinfeksi. Siklus hidup lengkapnya mencapai 60-72 jam. Konidia diterbangkan oleh angin atau terbawa percikan air untuk sampai ketanaman yang baru. Konidia mempunyai 6 sampai 8 sekat (Gambar 8) (Wakman dan Burhanuddin, 2007).
Gambar 8. Bipolaris maydis
(33)
Gejala Serangan
Pada daun terdapat halo kuning yang mengelilingi bercak, lama kelamaan bercak ini akan melebar dan berwarna kecoklatan. Dalam kondisi yang ideal, bercak akan berkembang dan dapat menyebabkan tanaman mati (Jardine, 1998).
Lesio pada daun biasanya memanjang diantara tulang daun dengan warna coklat muda dan ukuran mencapai 1,2 x 2,7 cm, berbentuk elip. Lesio sering dikelilingi oleh warna coklat dan dapat terjadi di batang, upih daun dan tongkol (Gambar 9). Tanaman yang tumbuh dari biji yang terinfeksi akan layu dan mati pada umur 3 - 4 minggu (Wakman dan Burhanuddin, 2007).
Gambar 9. Gejala Serangan Bercak Daun
Sumber
Faktor yang mempengaruhi
Jamur berkembang baik pada keadaan udara lembab dengan suhu 20-23 ºC. Umumnya dijumpai di daerah dataran rendah. Bercak daun ini selalu
terjadi sepanjang tahun, dengan intensitas yang berfluktuasi karena pengaruh curah hujan (Wakman dan Burhanuddin, 2007).
(34)
Pengendalian
Penyakit bercak daun ini dapat dikendalikan dengan varietas tahan, penanaman serempak, waktu tanam yang tepat dan eradikasi gulma inang (Wakman dan Burhanuddin, 2007).
Pengendalian yang tepat adalah dengan kombinasi rotasi tanaman, pengolahan tanah, aplikasi fungisida dan varietas tahan (Jardine, 1998).
6. Busuk Tongkol (Diplodia maydis Schwabe, Gibberella zeae Schw) Biologi Patogen
Menurut Anonimus d (2010), klasifikasi dari pathogen penyebab busuk tongkol adalah:
Kingdom : Fungi Filum : Ascomycota Kelas : Sordariomycetes Ordo : Hypocreales Famili : Nectriaceae Genus : Diplodia
Spesies : Diplodia maydis Schwabe
Konidium teratur seperti jari, berbentuk sabit (Gambar 10). Klamidospora interkalar, bulat, berdinding tebal, hialin atau coklat pucat dengan dinding luar licin atau agak kasar, dengan garis tengah 10-12 mikron, membentuk rantai atau kumpulan (Semangun, 1993).
(35)
Gambar 10. Diplodia maydis
Sumber
Gejala Serangan
Tanaman jagung tampak layu atau seluruh daun menguning. Gejala pada daun terdapat bercak yang ditengahnya seperti mata (Gambar 11). Gejala tersebut umumnya terjadi pada stadia generative, yaitu setelah fase pembungaan. Pangkal batang yang terinfeksi berubah warna dari hijau menjadi kecoklatan, bagian dalam busuk, sehingga mudah rebah dan bagian kulit luarnya tipis. Pada pangkal batang yang terinfeksi tersebut terlihat warna merah jambu, merah kecoklatan atau coklat (Wakman dan Burhanuddin, 2007).
Infeksi dimulai pada dasar tongkol, berkembang ke bonggol, kemudian merambat ke permukaan biji dan menutupi kelobot. Tongkol menjadi busuk dan kelobotnya saling menempel erat pada tongkol (Gambar 11) (Semangun, 1993).
Gejala busuk tongkol Diplodia adalah kelobot yang terinfeksi pada umumnya berwarna coklat. Infeksi pada kelobot setelah dua minggu keluar rambut jagung menyebabkan biji berubah menjadi coklat, kisut dan busuk.
(36)
Miselium berwarna putih. Piknidia berwarna hitam tersebar pada kelobot. Gejala busuk tongkol Gibberella adalah tongkol menjadi busuk dan kelobotnya saling menempel erat pada tongkol, buah berwarna biru hitam di permukaan kelobot dan bongkol (CIMMYT, 2004).
Busuk tongkol yang disebabkan oleh Gibberella zeae sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang sejuk sedangkan busuk tongkol yang disebabkan oleh Fusarium graminarium terjadi di daerah yang panas yang juga dipengaruhi oleh luka yang diakibatkan oleh serangga pada kernel jagung (Ali at al, 2005).
Gambar 11. Gejala Serangan Diplodia maydis pada daun
Gambar 12. Gejala Serangan Busuk Tongkol
(37)
Faktor yang mempengaruhi
Penyakit ini terutama berkembang setelah tanaman membentuk benang
sari. Banyak infeksi terjadi pada suhu 16-20 °C. Penyakit lebih banyak terjadi di pegunungan pada musim hujan (Semangun, 1993).
Infeksi awal dapat melalui luka atau membentuk sejenis appresoria yang mampu berpenetrasi ke jaringan tanaman. Spora/konidia yang terbawa angin dapat menginfeksi ke tongkol. Biji yang terinfeksi bila ditanam dapat menyebabkan penyakit busuk batang (Wakman dan Burhanuddin, 2007).
Pengendalian
Menurut Anonimus b (2010), pengeloloaan penyakit ini adalah: 1. Teknik bercocok tanam
- Menanam varietas unggul - Pergiliran tanaman
- Mengatur jarak tanam - Seed dressing
2.Aplikasi Fungisida
7. Penyakit Virus Kerdil Khlorotik Jagung (Maize Chlorotic Dwarf Virus Disease Virus = MCDV)
Gejala Serangan
Gejala awal ditandai oleh warna khlorose pada daun muda di pucuk tanaman. Klorotik garis diantara tulang daun sering tampak. Daun menguning
(38)
atau kemerahan dan pemendekan ruas batang umum terjadi (Wakman dan Burhanuddin, 2007) (Gambar 13).
Gambar 13. Gejala Serangan MCDV
Sumber
Penularan
Virus ditularkan oleh serangga vektor, wereng daun jagung Granminella
nigrifrons (Forbes) dan G. Sonora (Ball) secara semipersisten. Wereng mesih
infektif sampai 8 jam setelah mengisap cairan tanaman yang terinfeksi (Wakman dan Burhanuddin, 2007).
Pengendalian
Penyakit virus kerdil klorotik jagung dapat dikendalikan dengan pemberantasan rumput inang dengan herbisida dan pemberantasan serangga vektor dengan insektisida (Wakman dan Burhanuddin, 2007).
(39)
Peranan Lingkungan Dalam Proses Epidemiologi
Konsep segitiga penyakit merupakan hubungan antara tiga faktor, yaitu inang, patogen dan lingkungan. Inang dalam keadaan rentan, patogen bersifat virulen (daya infeksi tinggi) dan jumlah yang cukup, serta lingkungan yang mendukung. Lingkungan berupa komponen lingkungan fisik (suhu, kelembaban, cahaya) maupun biotik (musuh alami, organisme kompetitor). Dari konsep tersebut jelas sekali bahwa perubahan salah satu komponen akan berpengaruh terhadap intensitas penyakit yang muncul (Wiyono, 2007).
Penyakit sporadis merupakan penyakit epifitotik yang tidak selalu terjadi setiap musim dan dengan interval yang tidak teratur. Adapun penyakit ”endemik” menggambarkan suatu penyakit yang terbatas pada wilayah geografis tertentu, atau penyakit yang selalu terdapat di daerah tertentu dengan menimbulkan kerusakan ringan sampai berat (Wiyono, 2007).
Secara ideal, wilayah pertanaman dapat dibagi menjadi sejumlah daerah agroklimat yang seragam tanggapannya seperti sifat tanah dan cuaca (Petersen, 1994). Masing – masing agroklimat dibutuhkan oleh patogen – patogen tertentu dalam pertumbuhan dan perkembangannya, sehingga menjadi penyebab penyakit pada tanaman jagung. Beberapa penyakit yang sering menyerang tanaman jagung adalah bulai, bercak daun, hawar daun, karat daun, busuk batang bakteri (Wakman dan Burhanuddin, 2007), bercak abu – abu, busuk tongkol Diplodia dan busuk tongkol Gibberella (CIMMYT, 2004).
Lingkungan dapat mempengaruhi kemampuan, pertumbuhan, dan kerentanan genetik inang. Faktor lingkungan yang sangat penting yang mempengarui perkembangan epidemi penyakit tumbuhan adalah kelembapan,
(40)
suhu, curah hujan, lama penyinaran matahari, angin. Kelembapan akan meningkatkan sporulasi jamur, pelepasan spora, perbanyakan bakteri. Begitu juga dengan suhu, pengaruh yang paling umum suhu terhadap epidemi yaitu pengaruhnya terhadap patogen selama stadia patogenitas yang berbeda, seperti pada perkecambahan spora, penetrasi inang, pertumbuhan dan reproduksi patogen, invasi inang dan sporulasi (Abadi, 2003).
Ketiga golongan lingkungan (makro, meso dan mikro) berubah-ubah setiap saat. Dalam skala mikro pengaruh perubahan iklim terhadap proses epidemiologi diukur dalam detik. Dalam lingkungan meso ukuran proses epidemi lebih panjang, mungkin dalam jam atau mungkin hari. Sedangkan skala makro diukur dalam hari, minggu, musim atau malah bulan dan tahun (Oka, 2003).
Hampir sebagian besar penyebab penyakit tanaman, terutama golongan jamur akan berkembang dengan pesat pada kelembapan yang tinggi. Begitu juga halnya dengan curah hujan. Tumbukan air hujan ke permukaan tanah akan menimbulkan cipratan-cipratan. Patogen yang ada pada tanah ikut terlempar, lalu menempel pada bagian tanaman yang lunak, terutama tanaman muda atau tanaman semusim kemudian memarasit tanaman tersebut. Tanah yang mempunyai pH rendah juga disukai oleh sebagian besar jamur. Pada tanah masam, jamur berkembang pesat dan banyak menimbulkan kerugian (Wiyono, 2007).
(41)
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Percobaan
Penelitian dilakukan di Desa Purwobinangun dan Desa Namoukur, Kab. Langkat ± 118 mdpl dan Desa Guru Kinayan Kabupaten Karo dengan ketinggian ± 1004 mdpl. Penelitian dimulai pada bulan Januari 2010 sampai dengan Mei 2010.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah 21 varietas jagung, masing – masing 12 varietas berasal dari Pioneer brand, yaitu varietas 30A97, 30A55, 30Y87, 3014, 30B80, P5027, P4199, P3326, P3482, P3645, X4B184, X7B458; dan 9 varietas berasal dari produsen benih lainnya yang ada di pasar, yaitu: varietas NKNK48, NKNK6204, NKNK8840, EDBISI 16, EDBISI-816, AHSASIA 3, PACPAC 105, DKPDK979 dan DKPDK818; pupuk N, P2O5, K2O, fungisida (Metalaxyl),
Lactophenol cotton blue, Potato Dextrose Agar (PDA).
Alat yang digunakan adalah pelubang tanam, meteran, cangkul, ajir bambu, kotak tray, kapas, gelas objek, mikroskop, cawan petri, aluminium foil dan lain- lain.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan adalah metode survei dengan cara mengamati langsung tanaman jagung yang terserang penyakit baik pada fase vegetatif dan generatif di lapangan.
(42)
Pelaksanaan Penelitian Survei Pendahuluan
Survei pendahuluan bertujuan untuk menentukan desa yang mewakili daerah sentra produksi yaitu desa Purwobinangun dan desa Namoukur di Kabupaten Langkat serta desa Guru Kinayan Kabupaten Karo.
Pengambilan Sampel
Luas area penelitian adalah 800 m2 dengan jumlah populasi jagung sebanyak 22.875. Sampel diambil dengan melihat tanaman yang terserang penyakit saja dan dimasukkan kedalam kotak tray yang dilapisi kapas basah dan diberi label tanggal dan lokasi pengambilan. Selanjutnya sampel dibawa ke laboratorium untuk dibiakkan.
Isolasi Jamur
Isolasi dilakukan dengan mengambil sampel bagian tanaman jagung yang terinfeksi dan sedikit bagian yang sehat kemudian dibersihkan dengan menggunakan aquadest steril, dipotong dengan ukuran 1x1 cm. Sampel disterilisasi dengan klorox 0,1 % selama ± 5 menit, dibilas dengan aquadest steril dan dikeringanginkan di atas tissue. Sampel dibiakkan dalam media PDA dengan metode three point dan diinkubasi pada temperatur ruang. Jamur yang tumbuh diisolasi kembali sampai diperoleh biakan murni.
Identifikasi Jamur
Identifikasi jamur dilakukan dengan membuat preparat dari biakan murni. Satu tetes lactophenol cotton blue diletakkan di atas preparat, kemudian diambil jamur dengan menggunakan jarum ose. Pengamatan dilakukan dengan
(43)
menggunakan mikroskop Compaund Olympus tipe BH-12. Identifikasi dilakukan dengan menggunakan buku identifikasi (Alexopolus, 1987).
Peubah Amatan
1. Jenis Penyakit
Pengamatan jenis penyakit dilakukan pada fase vegetatif dan pada fase generatif. Khusus untuk penyakit bulai, karena tidak dapat dibiakkan pada media biakan, pengamatan dilakukan pada pagi hari dengan mengambil langsung spora yang terdapat di balik daun menggunakan selotip dan diletakkan di atas preparat.
2. Persentase Serangan
Persentase serangan dari setiap gejala penyakit yang di dapat di lapangan pada fase vegetatif maupun generatif. Persentase serangan dihitung dengan rumus :
P = a X 100 % b
P = Persentase Serangan
a = Jumlah tanaman yang terserang b = Jumlah seluruh tanaman
Cara menghitung sampel: 1. Bulai
a = 285 tanaman b = 22.875 tanaman
(44)
2. Bercak Daun a = 335 tanaman b = 22.875 tanaman
maka P = 335/22.875 x 100% = 1,46% 3. Busuk Tongkol Diplodia
a = 85 tanaman b = 22.875 tanaman
maka P = 85/22.875 x 100% = 0,37% 4. Hawar Daun
a = 583 tanaman b = 22.875 tanaman
maka P = 583/22.875 x 100% = 2,54%
5. Karat Daun (P.polysora) Karat Daun (P.sorghi) a = 235 tanaman a = 445 tanaman
b = 22.875 tanaman b = 22.875 tanaman
maka P = 235/22.875 x 100% = 1,02% maka P = 445/22.875 x 100% = = 1,94%
6. Busuk Tongkol Gibberella a = 68 tanaman
b = 22.875 tanaman
maka P = 68/22.875 x 100% = 0,29% Busuk Tongkol Fusarium
a = 136 tanaman
(45)
Data Pendukung : 1. Curah Hujan
Data curah hujan diperoleh dari Balai Penyuluhan Pertanian yang ada di masing-masing tempat penelitian. Data ini berguna untuk mengetahui berapa besar curah hujan dan jumlah hari hujan yang terjadi pada saat penelitian berlangsung.
2. Kelembaban
Data kelembaban ini diperlukan untuk mengetahui berapa besar tingkat kelembaban yang terjadi di masing-masing tempat penelitian yang dapat mempengaruhi berkembang atau tidaknya beberapa penyakit tertentu di ketinggian tempat yang berbeda. Data ini juga diperoleh dari Balai Penyuluhan Pertanian yang ada di masing-masing tempat penelitian.
3. pH Tanah
pH tanah diukur dengan menggunakan Soil pH & Moisture Tester. Data ini diperlukan untuk mengetahui kondisi pH tanah dan kelembaban dalam tanah yang mempengaruhi terjadinya kejadian penyakit di masing-masing tempat penelitian.
(46)
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Pengamatan Jenis Penyakit
Banyak jenis penyakit yang disebabkan oleh jamur yang menginfeksi tanaman jagung mulai dari fase vegetatif hingga generatif. Penanaman jagung pada ketinggian yang berbeda akan mempengaruhi jenis-jenis jamur yang menginfeksi tanaman jagung. Pada pengamatan gejala penyakit yang dilakukan pada masing-masing lokasi penelitian ditemukan penyakit-penyakit seperti yang diuraikan di bawah ini:
A.Penyakit-penyakit di Dataran Rendah
1. Bulai (Peronosclerospora maydis (Rac.) Shaw)
Dari hasil pengamatan di lapangan, penyakit bulai muncul pada tanaman berusia ± 80 hari. Pada daun terlihat garis-garis klorotik. Spora di jumpai pada bagian bawah daun dan pada daun-daun yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan daun-daun yang terinfeksi ditutupi spora yang berwarna putih (Gambar 14). Singh (1998) menyatakan bahwa gejala yang ditunjukkan oleh penyakit ini adalah pertumbuhan terhambat, pada daun akan terlihat garis-garis klorotik. Penyakit akan terlihat jelas pada saat tanaman masih muda. Daun akan berwarna putih.
Selain gejala di atas juga terlihat tanaman yang terserang, mengalami gangguan pertumbuhan yaitu bentuk daunnya mengecil dan meruncing. Hal ini sesuai dengan literatur Semangun (1993) yang menyatakan bahwa tanaman yang terserang mengalami gangguan pertumbuhan. Bentuk daunnya akan meruncing dan kecil.
(47)
P. maydis merupakan patogen yang bersifat obligat, yang berarti patogen yang hanya dapat hidup pada jaringan yang hidup. Oleh karena itu untuk dapat mengamati patogen penyebab penyakit bulai ini dilakukan pada pagi hari dalam keadaan daun masih berembun. Dimana spora yang terdapat di balik daun langsung diambil dengan selotip dan di letakkan di atas preparat, kemudian diamati di bawah mikroskop (Gambar 15).
Dari hasil pengamatan mikroskopis diketahui bahwa konidiofor P. maydis mempunyai percabangan tiga dengan bentuk spora bulat (Gambar 16). Hal ini sesuai dengan literatur Semangun (1993) yang menyatakan bahwa pada umumnya konidiofor mempunyai percabangan tingkat tiga atau empat. Cabang tingkat terakhir membentuk sterigma. Konidium yang masih muda berbentuk bulat, sedang yang sudah masak dapat membentuk jorong.
(48)
Gambar 15. Pengambilan sampel bulai di lapangan
Gambar 16. Peronosclerospora maydis
2. Bercak Daun (Bipolaris maydis (Nisik) Shoemaker)
Di lapangan tanaman yang terinfeksi B. maydis menunjukkan gejala pada daun yaitu lesio yang memanjang diantara tulang daun dan berwarna coklat muda. Lama kelamaan bercak berkembang dan dapat menyebabkan tanaman mati (Gambar 17). Wakman dan Burhanuddin (2001) menyatakan bahwa lesio pada daun biasanya memanjang diantara tulang daun dengan warna coklat muda dan ukuran mencapai 1,2 x 2,7 cm, berbentuk elip.
Konodiofo
Miseliu Spora
(49)
Selanjutnya Jardine (1998) melaporkan bahwa lama kelamaan bercak ini akan melebar dan berwarna kecoklatan. Dalam kondisi yang ideal, bercak akan berkembang dan dapat menyebabkan tanaman mati.
Gambar 17. Gejala Serangan B. maydis di Lapangan
Dari hasil pengamatan di laboratorium diketahui jika patogen di biakkan dalam media PDA, jamur tumbuh pada hari keempat. Perkembangan jamur ini dalam media lambat. Miselium berwarna putih, bertekstur kasar dan pinggiran dari miselium bergerigi atau tidak rata (Gambar 18). Pada pengamatan mikroskopis diketahui bahwa makrokonidia dari patogen ini mempunyai 6-8 sekat, mikrokonidianya berwarna hialin dan berbentuk elip (Gambar 19). Hal ini sesuai dengan literatur Wakman dan Burhanuddin (2007) yang menyatakan bahwa konidia mempunyai 6 sampai 8 sekat, ukuran mencapai 1,2 x 2,7 cm, berbentuk elip.
(50)
Gambar 18. B. maydis dalam media PDA
Gambar 19. Bipolaris maydis
Miselium
(51)
3. Busuk Tongkol (Diplodia maydis Schwabe)
Dari hasil pengamatan di lapangan diketahui bahwa gejala serangan D. maydis pada tongkol dimulai dari dasar tongkol hingga berkembang ke kelobot. Miselium berwarna putih menutupi tongkol, biji yang terinfeksi menjadi kecoklatan sedangkan gejala pada daun yaitu terdapat bercak yang di tengahnya terlihat seperti mata (Gambar 20). Di lapangan penyakit ini di jumpai pada fase vegetatif dan generatif. CIMMYT (2004) menjelaskan gejala busuk tongkol Diplodia adalah kelobot yang terinfeksi pada umumnya berwarna coklat. Infeksi pada kelobot setelah dua minggu keluar rambut jagung menyebabkan biji berubah menjadi coklat, kisut dan busuk. Miselium berwarna putih.
Dari tongkol jagung yang terserang D. maydis diinokulasi jamurnya dan dibiakkan dalam media PDA. Setelah beberapa hari miselium tumbuh pada media. Miselium berwarna putih dan bertekstur kasar (Gambar 21). Dalam media PDA miselium jamur tumbuh sangat lambat. Hal ini sesuai dengan literatur CIMMYT (2004) yang menyatakan bahwa infeksi pada kelobot setelah dua minggu keluar rambut jagung menyebabkan biji berubah menjadi coklat, kisut dan busuk. Miselium berwarna putih. Piknidia berwarna hitam tersebar pada kelobot.
Dari hasil pengamatan dibawah mikroskop diketahui bahwa konidia teratur, berbentuk bulan sabit, konidiofornya mempunyai sekat dan bercabang dua (Gambar 22). Hal ini sesuai dengan literatur Semangun (1993) yang menyatakan bahwa konidium teratur seperti jari, berbentuk sabit,
(52)
bersekat 3 - 7. Klamidospora interkalar, bulat, berdinding tebal, hialin atau coklat pucat dengan dinding luar licin atau agak kasar.
Gambar 20. Gejala serangan pada tongkol dan daun
(53)
Gambar 22. Diplodia maydis mikroskopis
B. Penyakit-penyakit Di Dataran Tinggi
Beberapa penyakit yang ditemukan pada pertanaman jagung di dataran
tinggi adalah sebagai berikut:
1. Karat Daun (Puccinia sorghi Schw dan P. Polysora Underw)
Pada daun yang bergejala terlihat adanya bisul berwarna coklat kemerahan di atas permukaan daun, kalau di pegang di atas permukaan daun akan terasa kasar (Gambar 23). Di lapangan, penyakit ini hanya muncul pada fase vegetatif. Hal ini sesuai dengan literatur Wakman dan Burhanuddin (2007) yang menyatakan gejala pada tanaman jagung yang terinfeksi penyakit karat adalah adanya bisul, terutama pada daun. Bisul terbentuk pada kedua permukaan daun bagian atas dan bawah. Bisul ini dapat terlihat jelas dan bila dipegang akan terasa kasar.
Bisul yang terdapat di permukaan daun terasa kasar dikarenakan epidermis yang pecah sehingga massa spora yang banyak akan tampak. Menurut Semangun (1993) di lapang kadang-kadang epidermis tetap menutupi urediosorus Konidiofo
(54)
sampai matang, tetapi adakalanya epidermis pecah dan massa spora dalam jumlah besar menjadi tampak.
Gambar 23. Gejala Serangan Karat Daun di Lapangan
2. Hawar Daun (Exserohilum turcicum (Pass) Leonard et Suggs)
Dari hasil pengamatan di lapangan tanaman yang terserang hawar daun
terlihat pada umur ± 90 hari. Gejala pada daun terdapat bercak – bercak kecil berwarna coklat kehijauan dan lama kelamaan berkembang menjadi bercak yang besar yang dapat mematikan jaringan (Gambar 24). Gejala awal penyakit ini muncul bercak-bercak kecil, jorong, hijau tua. Selanjutnya berubah warna menjadi coklat kehijauan, kemudian bercak membesar dan mempunyai bentuk yang khas. Beberapa bercak dapat bersatu membentuk bercak yang lebih besar sehingga dapat mematikan jaringan daun (Wakman dan Burhanuddin, 2007).
Dari hasil pengamatan diketahui bahwa dalam media biakan PDA, miselium berwarna putih. Miselium tumbuh lambat dalam media dengan permukaan yang halus dan pinggirannya rata (Gambar 25). Hal ini sesuai dengan literatur Adipala
(55)
dan Latigo (1994) yang menyatakan bahwa isolat Helminthosporium turcicum yang ditumbuhkan pada media potato dextrose agar (PDA) berwarna putih keabuan dengan zonasi beraturan. Konidia mulai terlihat setelah 6 hari dan semakin banyak pada 12 hari.
Dari hasil pengamatan di bawah mikroskop diketahui bahwa konidiofor membengkok seperti lutut. Konidia mempunyai sekat berjumlah 4-6, konidiofornya juga memiliki sekat (Gambar 26). Miselium berwarna hialin. Semangun (1993) yang menyatakan bahwa konidiofor lurus atau lentur, kadang-kadang mempunyai bengkokan seperti lutut, berwarna coklat atau coklat tua, dekat ujungnya pucat. Konidium jelas bengkok berbentuk perahu.
(56)
Gambar 25. Exserohilum turcicum dalam media PDA
Gambar 26. Exserohilum turcicum dibawah mikroskop
Makro
(57)
3. Busuk Tongkol (Gibberella zeae Schw, Fusarium graminarium)
Gejala penyakit busuk tongkol yang disebabkan Fusarium adalah pada tongkol terdapat miselium berwarna merah jambu sedangkan yang disebabkan Gibberella tongkol busuk dan berwarna biru hitam. Busuk tongkol yang disebabkan oleh Fusarium banyak dijumpai di dataran rendah sedangkan Gibberella banyak dijumpai di dataran tinggi (Gambar 27).
Selanjutnya jamur di isolasi dan dibiakkan pada media PDA. Setelah beberapa hari miselium tumbuh pada media. Miselium berwarna putih bercampur dengan sedikit warna merah jambu. Pertumbuhan miselium berlangsung cepat. Dalam media PDA tekstur miselium yang tumbuh terlihat halus dan pinggirannya bergelombang (Gambar 28). Pengamatan di bawah mikroskop menunjukkan bahwa konidia dari Fusarium graminarium berbentuk sabit dan mempunyai sekat. Makrokonidia dan konidiofor berwarna hialin (Gambar 29).
(58)
Gambar 28. Fusarium graminarium dalam media PDA
Gambar 29. Fusarium graminarium mikroskopis
2. Persentase Serangan Penyakit
Penanaman jagung pada ketinggian yang berbeda akan mempengaruhi jenis-jenis jamur yang menginfeksi tanaman jagung. Demikian halnya dengan
Makrokonidi
(59)
persentase serangan penyakit di tiap lokasi penelitian juga berbeda. Hal ini dapat dilihat dari tabel.1 di bawah ini:
Tabel 1. Persentase Serangan Penyakit pada Tanaman Jagung Jenis Penyakit Persentase Serangan(%) Dataran rendah Dataran Tinggi Bulai (Peronosclerospora maydis) 1,24 -
Bercak daun (Bipolaris maydis) 1,46 - Busuk tongkol (Diplodia maydis) 0,37 - Hawar daun (Exserohilum turcicum) - 2,54 Karat (Puccinia polysora dan 1,02 1,94 Puccinia sorghi)
Busuk tongkol (Gibberella zeae, 0,59 0,29 Fusarium moniliforme)
Dari tabel.1 terlihat persentase serangan penyakit untuk semua penyakit yang di temukan di lapangan relatif rendah yaitu antara 0,29 - 2,54 %. Walaupun persentase serangan relatif rendah kita tetap harus waspada. Infeksi penyakit pada tanaman dapat terjadi jika faktor lingkungan mendukung patogen untuk berkembang dengan cepat. Sehingga tanpa kita sadari persentase serangan penyakit pada pertanaman jagung di lapangan akan semakin tinggi.
Dari hasil pengamatan data klimatologi dari bulan Januari sampai dengan Mei 2010 curah hujan berkisar 44,5 mm dan kelembapan 69,2%. Hal ini menunjukkan kelembaban yang sesuai untuk perkembangan patogen penyebab penyakit pada tanaman jagung. Pada kelembaban tinggi, maka penyakit tertentu
(60)
seperti bulai di dataran rendah akan cepat berkembang. Hal ini sesuai dengan literatur Abadi (2003) yang menyatakan bahwa faktor lingkungan yang sangat penting yang mempengarui perkembangan epidemi penyakit tumbuhan adalah kelembapan, suhu, curah hujan, lama penyinaran matahari, angin. Kelembaban akan meningkatkan sporulasi jamur, pelepasan spora, perbanyakan bakteri.
Dari hasil pengamatan juga diketahui bahwa keadaan faktor lingkungan pada ketinggian tempat yang berbeda menunjukkan beberapa penyakit yang berbeda pula. Penyakit hawar daun hanya muncul di dataran tinggi, begitu juga halnya dengan penyakit bulai yang hanya berkembang pada pertanaman jagung di dataran rendah. Hal ini sesuai dengan literatur Petersen (1994) yang menyatakan bahwa secara ideal, wilayah pertanaman dapat dibagi menjadi sejumlah daerah agroklimat yang seragam tanggapannya seperti sifat tanah dan cuaca. Masing – masing agroklimat dibutuhkan oleh patogen – patogen tertentu dalam pertumbuhan dan perkembangannya,
(61)
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Jenis penyakit yang diperoleh berbeda pada dataran tinggi dan dataran rendah.
2. Penyakit yang terdapat di dataran rendah adalah bulai (Peronosclerospora maydis), bercak daun (Bipolaris maydis), busuk tongkol (Diplodia maydis).
3. Penyakit yang terdapat di dataran tinggi adalah hawar daun (Exserohilum turcicum), karat (Puccinia polysora), busuk tongkol (Gibberella zeae, Fusarium moniliforme).
4. Persentase serangan dari masing-masing penyakit yaitu bulai (Peronosclerospora maydis) sebesar 1,24 %, bercak daun (Bipolaris maydis) sebesar 1,46 %, Diplodia maydis sebesar 0,37 %, hawar daun (Exserohilum turcicum) sebesar 2,54 %, karat daun (Puccinia polysora) sebesar 1,94 %, busuk tongkol Giberrela sebesar 0,29 %.
Saran
Perlu penelitian lebih lanjut mengenai perkembangan penyakit-penyakit yang terdapat pada pertanaman jagung di ketinggian tempat yang berbeda.
(62)
DAFTAR PUSTAKA
Abadi, A.L. 2003. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Bayumedia Publishing, Malang. Adipala, J.P. and M.W Latigo. 1994. Nothern Leaf Blight Progress and Spread
Infested Maize Residue. African Crop Science Journal. 2(2), pp. 197-205.
Ali, M., Jeff H.T., Liu Jie, Genlou Sun, Manilal W., Ken J., Lana Reid, K. Pieter. 2005. Molecular Mapping of QTLs for Resistance to Gibberella ear rot
In Corn, Caused by Fusarium granarium.University of Guelph, Canada.
Anonimus a. 2010.
Tanggal 5 Januari 2010.
_________ b.2010. http://en.wikipedia.org/wiki/Corn-Smut. Diakses Tanggal 5 Januari 2010.
_________c.
Tanggal 5 Januari 2010.
__________d. 2010.
Badan Pusat Statistik. 2008. CIMMYT. 2004. Maize Diseases: A Guide for Field Identification. 4th edition.
The CIMMYT Maize Program, Mexico.
Iskandar, D. 2003. Pengaruh Dosis Pupuk N,P dan K Terhadap Pertumbuhan
Dan Produksi Tanaman Jagung Manis di Lahan Kering.
Dalam Prosiding Seminar Teknologi Untuk Negeri (II) hal. 1-5.
Jardine, D.J. 1998. Gray Leaf Spot of Corn. Kansas State University, Kansas. Kasryno, F., Effendi P., Suyamto dan Made O. 2007. Gambaran Umum
Ekonomi Jagung di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Pangan, Bogor.
Lucas, G.B, C.L Campbell and L.T Lucas. 1987. Introduction to Plant Disease. Van Nostrand Reinhold Publishing, New York.
Muis, A. 2007. Pengelolaan Penyakit Busuk Pelepah (Rhizoctonia solani) Pada Tanaman Jagung. Jurnal Litbang Pertanian. 26(3)
Oka, I.N. 1993. Pengantar Epidemiologi Penyakit Tanaman. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
(63)
Petersen, R. G., 1994. Agriculture Field Experiments: design and analysis. CRC PRESS. 409pp.
Purwono, R dan Hartono., 2004. Produktivitas Jagung Unggul. Bayumedia Publishing. Malang
Rubatzky, V.E dan Yamaguchi, M., 1998. Sayuran Dunia 1. ITB Press, Bandung.
Semangun, H. 1993. Penyakit-penyakit Tanaman Pangan Di Indonesia. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Singh, R. S. 1998. Plant Diseases. Oxford and IBH Publishing, New Delhi.
Splittstoesser,W.E., 1984. Vegetable Growing Hand Book. Van Nostrand Reinhold Company, New York.
Wakman, W dan Burhanuddin. 2007. Pengelolaan Penyakit Prapanen Jagung. Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros.
Warisno, 1998. Budidaya dan Produksi Jagung di Indonesia. Badan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian, Jakarta.
Wiyono, S. 2007. Perubahan Iklim dan Ledakan Hama dan Penyakit
Tanaman. Dalam Makalah disampaikan pada Seminar Sehari tentang
Keanekaragaman Hayati Ditangah Perubahan Iklim: Tantangan Masa Depan Indonesia. Jakarta 28 Juni 2007.
(64)
LAMPIRAN
Lampiran 1. Tempat Penelitian di Guru Kinayan
(65)
Lampiran 3. Panen di Langkat
(66)
Lampiran 6. pH Tanah
No Lokasi pH Kelembapan
1 Namoukur 4,2 Kelembapan Basa
2 Purwobinangun 5 3,5
3 Guru Kinayan 4,8 8,5
(1)
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Jenis penyakit yang diperoleh berbeda pada dataran tinggi dan dataran rendah.
2. Penyakit yang terdapat di dataran rendah adalah bulai (Peronosclerospora maydis), bercak daun (Bipolaris maydis), busuk tongkol (Diplodia maydis).
3. Penyakit yang terdapat di dataran tinggi adalah hawar daun (Exserohilum turcicum), karat (Puccinia polysora), busuk tongkol (Gibberella zeae, Fusarium moniliforme).
4. Persentase serangan dari masing-masing penyakit yaitu bulai (Peronosclerospora maydis) sebesar 1,24 %, bercak daun (Bipolaris maydis) sebesar 1,46 %, Diplodia maydis sebesar 0,37 %, hawar daun (Exserohilum turcicum) sebesar 2,54 %, karat daun (Puccinia polysora) sebesar 1,94 %, busuk tongkol Giberrela sebesar 0,29 %.
Saran
Perlu penelitian lebih lanjut mengenai perkembangan penyakit-penyakit yang terdapat pada pertanaman jagung di ketinggian tempat yang berbeda.
(2)
DAFTAR PUSTAKA
Abadi, A.L. 2003. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Bayumedia Publishing, Malang. Adipala, J.P. and M.W Latigo. 1994. Nothern Leaf Blight Progress and Spread
Infested Maize Residue. African Crop Science Journal. 2(2), pp. 197-205.
Ali, M., Jeff H.T., Liu Jie, Genlou Sun, Manilal W., Ken J., Lana Reid, K. Pieter. 2005. Molecular Mapping of QTLs for Resistance to Gibberella ear rot
In Corn, Caused by Fusarium granarium.University of Guelph, Canada.
Anonimus a. 2010.
Tanggal 5 Januari 2010.
_________ b.2010. http://en.wikipedia.org/wiki/Corn-Smut. Diakses Tanggal 5 Januari 2010.
_________c.
Tanggal 5 Januari 2010.
__________d. 2010.
Badan Pusat Statistik. 2008. CIMMYT. 2004. Maize Diseases: A Guide for Field Identification. 4th edition.
The CIMMYT Maize Program, Mexico.
Iskandar, D. 2003. Pengaruh Dosis Pupuk N,P dan K Terhadap Pertumbuhan
Dan Produksi Tanaman Jagung Manis di Lahan Kering. Dalam Prosiding Seminar Teknologi Untuk Negeri (II) hal. 1-5.
Jardine, D.J. 1998. Gray Leaf Spot of Corn. Kansas State University, Kansas. Kasryno, F., Effendi P., Suyamto dan Made O. 2007. Gambaran Umum
Ekonomi Jagung di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Pangan, Bogor.
Lucas, G.B, C.L Campbell and L.T Lucas. 1987. Introduction to Plant Disease. Van Nostrand Reinhold Publishing, New York.
Muis, A. 2007. Pengelolaan Penyakit Busuk Pelepah (Rhizoctonia solani) Pada Tanaman Jagung. Jurnal Litbang Pertanian. 26(3)
Oka, I.N. 1993. Pengantar Epidemiologi Penyakit Tanaman. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
(3)
Petersen, R. G., 1994. Agriculture Field Experiments: design and analysis. CRC PRESS. 409pp.
Purwono, R dan Hartono., 2004. Produktivitas Jagung Unggul. Bayumedia Publishing. Malang
Rubatzky, V.E dan Yamaguchi, M., 1998. Sayuran Dunia 1. ITB Press, Bandung.
Semangun, H. 1993. Penyakit-penyakit Tanaman Pangan Di Indonesia. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Singh, R. S. 1998. Plant Diseases. Oxford and IBH Publishing, New Delhi.
Splittstoesser,W.E., 1984. Vegetable Growing Hand Book. Van Nostrand Reinhold Company, New York.
Wakman, W dan Burhanuddin. 2007. Pengelolaan Penyakit Prapanen Jagung. Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros.
Warisno, 1998. Budidaya dan Produksi Jagung di Indonesia. Badan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian, Jakarta.
Wiyono, S. 2007. Perubahan Iklim dan Ledakan Hama dan Penyakit
Tanaman. Dalam Makalah disampaikan pada Seminar Sehari tentang
Keanekaragaman Hayati Ditangah Perubahan Iklim: Tantangan Masa Depan Indonesia. Jakarta 28 Juni 2007.
(4)
LAMPIRAN
Lampiran 1. Tempat Penelitian di Guru Kinayan
(5)
Lampiran 3. Panen di Langkat
(6)
Lampiran 6. pH Tanah
No Lokasi pH Kelembapan
1 Namoukur 4,2 Kelembapan Basa
2 Purwobinangun 5 3,5
3 Guru Kinayan 4,8 8,5