Kewajiban isteri Konsep Nusyuz Suami Dalam Perspektif Hukum Perkawinan Islam

62 a Hak menikmati hubungan seks Isteri berhak mendapatkan kenikmatan dan kepuasan ketika berhubungan seks dengan suami, bukan hanya wajib memuaskan dan menyenangkan untuk suami saja ketika melakukan hubungan seks sebagai kewajiban untuk melayani kebutuhan biologis suami semata. b Hak menolak untuk melakukan hubungan seks Isteri berhak menolak untuk melakukan hubungan seks dengan suaminya dengan alasan tertentu. c Hak merencanakan kehamilan dan jumlah anak Isteri berhak untuk diajak bermusyawarah oleh suami dalam merencanakan kehamilan dan jumlah anak yang dikehendaki tetapi dengan alasan tetap bahwa untuk memperhatikan dan mengutamakan kesehatan dan kemaslahatan isteri, walau tentunya Allah SWT yang pasti sebagai penentu. d Hak cuti reproduksi Dalam hal ini isteri berhak untuk cuti melakukan kegiatan rumah tangga ketika bereproduksi selama masa kehamilan hingga melahirkan. Oleh karena itu, diharapkan agar suami mulai berfikir untuk menggaji pembantu guna melakukan pekerjaan rumah tangganya atau mengajak kerabat atau keluarganya untuk membantu pekerjaan tersebut. 93

2. Kewajiban isteri

Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW telah bersabda : “Sebaik-baik wanita adalah wanita yang jika kamu memandangnya, ia menyenangkan kamu, apabila kamu memerintahkannya, maka ia taat kepadamu dan apabila kamu tinggal pergi maka ia menjaga harta dan dirinya.” 94 Adapun wanita-wanita shalihah sebagaimana yang dimaksudkan dalam Q.S an Nisa : 34 adalah “mereka yang taat kepada suami, melaksanakan kewajiban ketika suami tidak berada rumah, menjaga kehormatan, serta memelihara rahasia dan harta suami sesuai dengan ketentuan Allah, karena Allah telah menjaga dan memberikan 93 Hamdanah, Musim Kawin di Musim Kemarau Studi atas Pandangan Ulama Perempuan Jember tentang Hak-hak Reproduksi Perempuan, Bigraf Publishing, Yogyakarta, 2005, hlm.230-232 94 Muslich Maruzi, Op. Cit, hlm. 100 63 pertolongan kepada mereka.” 95 Sejalan dengan hal tersebut maka dalam cakupan yang lebih luas pengertian wanita shalihah itu tidak hanya dibatasi pada ketaatan kepada suami, akan tetapi lebih dari itu yaitu mencakup ketaatan kepada Allah, Rasul-Nya dan para pemimpin ulil amri sebagaimana firman Allah dalam Q.S an Nisa : 59. Arsyad Thalib Lubis menyatakan bahwa kewajiban isteri terhadap suaminya ada 4 yaitu : 1. Menyerahkan diri 2. Mentaati suami, yaitu tidak menghalangi suami mengambil kenikmatan pada dirinya dan tidak keluar dari tempat kediamannya jika suami tidak mengizinkannya. 3. Tinggal pada tempat tinggal yang disediakan suami 4. Menggauli suaminya dengan baik. 96 Membahas hak dan kewajiban suami isteri sangat menarik untuk melihat sebuah buku yang berjudul Uqud al-Lujjain karangan Imam al-Nawawi al Bantani yang banyak dikaji di kalangan pesantren sehingga menjadi populer dan telah diterjemahkan serta ditelaah dalam Forum Kajian Kitab Kuning FK3. Dalam teks kajian tersebut menyatakan bahwa : Para wanita sebaiknya mengetahui kalau dirinya seperti budak yang dinikahi tuannya dan tawanan yang lemah dan tak berdaya dalam kekuasaan seseorang. Maka wanita tidak boleh membelanjakan harta suami untuk apa saja kecuali dengan izinnya. Bahkan mayoritas ulama mengatakan bahwa isteri tidak boleh membelanjakan hartanya sendiri kecuali dengan izin suaminya. Isteri dilarang membelanjakan hartanya karena dianggap seperti orang yang banyak utang. Isteri wajib merasa malu terhadap suami, harus menundukkan muka dan pandangannya dihadapan suami, taat terhadap suami ketika diperintah apa 95 Forum Kajian Kitab Kuning FK3, Wajah Baru Relasi Suami-Istri Telaah Kitab ‘Uqud al- Lujjayn’, LKis Yogyakarta, 2001, hlm.46 96 M.Hasballah Thaib, Op. Cit, hlm.30-31 64 saja selain maksiat, diam ketika suami berbicara, berdiri ketika suami datang dan pergi, menampakkan cintanya terhadap suaminya apabila suaminya mendekatinya, menampakkan kegembiraan ketika suami melihatnya, menyenangkan suaminya ketika tidur, mengenakan harum-haruman, membiasakan merawat mulut dari bau yang tidak menyenangkan dengan misik dan harum-haruman, membersihkan pakaian, membiasakan berhias diri dihadapan suami dan tidak boleh berhias bila ditinggal suami. 97 Dalam teks kajian tersebut juga disimpulkan bahwa : Isteri hendaknya memuliakan keluarga suami dan famili-familinya sekalipun hanya berupa ucapan yang baik. Isteri juga harus menganggap banyak terhadap pemberian suami meskipun hanya sedikit, menghargai dan bersyukur atas sikap suami, dan tidak boleh menolak permintaan suami sekalipun di punggung unta. Demikian itu bila isteri dalam kondisi suci. Menurut mazhab Syafi’I dalam kondisi terlarang karena haid dan nifas, isteri tidak boleh melayani suami sekalipun sudah berhenti darahnya, jika belum bersuci. Isteri wajib patuh kepada suaminya jika suami mengajaknya untuk melakukan hubungan badan, sekalipun di dapur atau di atas punggung unta. 98 Mengenai kewajiban isteri terhadap suami dalam perkawinan telah dirinci dalam beberapa kitab fikih, bahwa isteri wajib untuk : 1. Patuh dan setia kepada suami Kepatuhan isteri terhadap suami adalah menjadi tanda bahwa isteri itu shalihah, termasuk meninggalkan puasa sunat yang sedang dijalankan oleh isteri baik dengan atau tanpa izin suami. Mematuhi suami ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S an Nisa : 34. Mematuhi suami di sini haruslah berdasarkan cara dan tujuan yang baik, tidak wajib isteri mentaati suami dalam hal maksiyat kepada Allah, bahkan kalau suami memerintahkan kepada isterinya untuk berbuat maksiyat, maka isteri wajib menolaknya. Kemudian isteri wajib setia kepada suami hingga akhir hayatnya, 97 Forum Kajian Kitab Kuning FK3, Op. Cit, hlm.60-61 98 Ibid, hlm. 64-65 65 tidak dibenarkan untuk melakukan pengkhianatan walau hanya dengan hatinya sekecil apapun terhadap suami. Sesungguhnya hak suami atas isteri itu besar. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Tirmidzi yaitu : “Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang sujud kepada orang lain niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya.” 99 Hak suami yang pertama adalah ditaati dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah dan baik dalam bergaul dengannya serta tidak mendurhakainya. Suami adalah surga terdekat bagi seorang isteri, namun sayangnya hal ini tidak banyak disadari oleh kaum wanita. Oleh karena itu, wajar jika pada suatu kesempatan Rasulullah SAW bersabda kepada bibi Hushain bin Mihshan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Ath Thabrani yaitu : “Perhatikanlah sikapmu terhadap suamimu, karena ia bisa menjadi surga atau juga nerakamu.” 100 2. Mengakui, menghargai dan mempercayai kepemimpinan suami. Isteri wajib mengakui dan menghormati kepemimpinan suami terhadap diri isteri dan rumah tangganya berdasarkan firman Allah dalam Q.S an Nisa : 34. Menurut hukum Islam bahwa isteri itu memperoleh hak yang seimbang dengan kewajibannya, berdasarkan Q.S al Baqarah : 228 yang artinya sebagai berikut : Perempuan-perempuan yang diceraikan suaminya hendaklah menantikan dengan sendirinya tiga kali sucihaidh. Tiada halal bagi mereka yang menyembunyikan apa-apa yang dijadikan Allah dalam rahimnya anak, haidh, jika mereka beriman kepada Allah dan hari kemudian. Suami mereka lebih 99 Muslich Maruzi, Op. Cit, hlm.176 100 Ibid, hlm.177 66 patut kembali kepadanya rujuk ketika itu, jika mereka menghendaki kemuslihatan. Hak-hak untuk perempuan seumpama kewajiban yang di atas pundaknya, secara ma’ruf dan untuk laki-laki ada kelebihan satu derajat dari perempuan. Allah Maha perkasa lagi Mahabijaksana. 101 Berdasarkan ayat tersebut, oleh karena kewajiban suami satu derajat lebih berat dibandingkan dengan isteri, maka haknya pun satu derajat lebih besar dari isterinya, selanjutnya kedudukannya pun satu derajat lebih tinggi dibanding dengan isterinya, sebagai akibat dari tanggung jawabnya yang lebih berat pula. Menurut hukum Islam suami adalah kepala dan pemimpin tertinggi bagi rumah tangganya, ia bertanggung jawab ke dalam dan keluar terhadap keselamatan dan kesejahteraan rumah tangganya, sedang isteri tidak seberat itu tanggung jawabnya. Isteri yang tidak mengakui kepemimpinan suaminya, biasanya kurang menghargai suaminya, sering timbul sifat tidak percaya, merongrong kewibawaan suami, mengabaikan perintahnya, mudah goyah sendi-sendi rumah tangga yang dibinanya. 3. Mencintai suami dengan sepenuh jiwa dan menyediakan diri untuk suami dengan hati rela. Sebagai perimbangan tanggung jawab yang demikian berat itu, maka isteri wajib mencintai suami dan menyediakan diri untuk menggembirakan suami dengan senang hati, berusaha secara maksimal agar suaminya selalu gembira dan puas menghadapi pelayanan isteri. 101 Mahmud Junus, Op. Cit, hlm. 33-34 67 Isteri wajib memikirkan kebahagiaan suami dengan selalu bermuka manis dan bersikap simpatik. Isteri wajib mengusahakan terwujudnya kerelaan dan kepuasan suami, berhias dan menyesuaikan diri untuk suaminya. Dalam hal ini par isteri dapat mencontoh prilaku para ummul mu’minin sebagai isteri-isteri Rasulullah seperti Khadijah dan Aisyah. Seorang isteri wajib untuk menampakkan kecintaannya kepada suami termasuk kepada orangtua dan kerabat suami khususnya yang terdekat dengan bersikap lembut, menunjukkan rasa hormat dan bersabar atas kekeliruannya semampunya, karena itu termasuk bagian dari sikap kerelaan mencintai dan mengasihi seorang isteri terhadap suami. Selain itu menyertai suami dalam perasaannya dan turut merasakan duka cita dan kesedihannya. Dalam sebuah riwayat diwasiatkan bahwa : “Jika engkau ingin hidup dalam hati suamimu, maka sertailah ia dalam duka cita dan kesedihannya.” 102 Isteri dilarang membuat suaminya kecewa, tidak tenteram dan tidak betah di rumah, membuat suami gelisah, murung dan merana, akibatnya suami suka mengabaikan tugasnya, suka menghibur diri di luar rumahnya, yang berakibat rumah tangga tidak akan terurus dan isteri turut bersusah payah dan gelisah. Jika hal tersebut terjadi, maka kesusahan dan kegelisahan isteri akibat dari perbuatannya sendiri. Dalam hal mencari kerelaan suami termasuk juga bahwa isteri tidak boleh berpuasa sunat kecuali dengan seizin suaminya. Keterikatan dan keterbatasan gerak 102 Muslich Maruzi, Op. Cit, hlm.178 68 isteri di luar rumah tangganya adalah dalam rangka mewujudkan kebahagiaan suami isteri. Termasuk mencari kerelaan suami ialah bahwa isteri tidak boleh mengizinkan laki-laki lain masuk ke rumah suami tanpa sepengetahuan dan seizin suami, sebab hal ini menjadi pintu kecurigaan dan kemarahan suami. 4. Mengikuti tempat tinggal suami atau tempat tinggal yang ditunjuk oleh suami. Menurut hukum Islam, domisili isteri adalah mengikuti domisili suami atau domisili yang ditunjuk oleh suami, selama tidak ada unsur-unsur yang menghalanginya, sesuai dengan firman Allah dalam Q.S at Thalaq : 6 yang artinya sebagai berikut : Suruh diamlah mereka perempuan-perempuan yang dalam iddah di rumah tempat diam kamu, menurut tenagamu dan janganlah kamu memberi melarat kepada mereka, sehingga kamu menyempitkannya menyusahkannya. Jika perempuan-perempuan itu dalam keadaan hamil, hendaklah kamu beri nafkah, sehingga mereka melahirkan kandungannya, dan jika mereka menyusukan anak itu, hendaklah kamu beri upahnya gajinya. Dan bermupakatlah sesama kamu secara ma’ruf yang baik. Jika kamu kedua-duanya dalam kesulitan, maka nanti perempuan yang lain akan menyusukannya. 103 Jika suami telah menyediakan tempat tinggal yang pantas, memungkinkan terwujudnya stabilitas rumah tangga, maka isteri wajib mengikutinya. Arti pantas dan memungkinkan terwujudnya stabilitas ialah memungkinkan terpeliharanya agama dan tugas-tugas rumah tangga. Jika tempat tinggal yang ditunjuk oleh suami tidak memungkinkan terpeliharanya agama dan tugas-tugas rumah tangga, seperti dalam rumah itu terdapat orang-orang lain yang menghalangi kebebasan suami isteri, atau menghalangi kebebasan menunaikan kewajiban agama, rumah itu tidak aman, 103 Mahmud Junus, Op. Cit, hlm. 504 69 lingkungan hidup yang membahayakan stabilitas rumah tangga, dan sebagainya maka kewajiban untuk mengikuti domisili yang ditentukan oleh suami menjadi gugur, artinya isteri berhak menolak mengikutinya dan tidak dipandang nusyuz karenanya. 5. Memegang teguh rahasia suami dan rahasia rumah tangga. Isteri adalah orang kepercayaan suami, tempat suami mempercayakan segala rahasianya, rumah dan harta kekayaannya bahkan anak-anaknya. Kepercayaan yang diberikan oleh suami kepada isterinya itu adalah amanat mulia bagi isteri, dan tiap orang termasuk isteri yang dipercaya wajib menunaikan amanatnya dan bersifat amanat pula. Menurut firman Allah dalam Q.S al Mukminun : 8 bahwa memelihara amanat adalah termasuk tanda keimanan, bahwa : “Dan yang menang juga mereka yang memelihara amanah dan menepati janji.” 104 Dalam banyak hal, suami biasanya mencurahkan isi hatinya terhadap isterinya bahkan suami sering menyampaikan segala rahasia pribadinya dihadapan isterinya, hal-hal yang sangat rahasia top secret yang kepada orang lain dirahasiakannya, sehingga dengan demikian isteri mengetahui segala rahasia suami. Oleh karena itu, isteri wajib secara bijaksana menyimpan rahasia suaminya itu, tidak membeberkannya di luar, demi menjaga keutuhan rumah tangganya. Kehancuran rumah tangga sering terjadi disebabkan isteri membocorkan rahasia rumah tangganya sendiri. 104 Ibid, hlm.308 70 6. Berlaku sederhana dan hemat. Hidup sederhana dan bersahaja secara patut adalah modal utama dan sarana penting bagi kebahagiaan dan kesejahteraan keluarga. Pengertian hidup sederhana dalam pengertian ini ialah mencukupkan secara puas apa yang ada dan memanfaatkan apa yang ada itu dengan efisien mungkin, tidak berlebih-lebihan dan tidak terlalu kikir serta mementingkan yang perlu dan tidak berbuat sia-sia. Apabila isteri telah dijangkiti penyakit mewah dan megah, manja dan serba ada, hanya tahu ada dan tersedia, tidak pernah merasakan pahit getirnya mencari uang, cenderung boros dan membelanjakan harta tidak efisien, akibatnya kalau uang habis dan belanja kurang lalu merongrong suami dengan berbagai permintaan dan tuntutan, tidak tahan menderita dan mudah minta cerai jika permintaannya tidak seketika tersedia. Seorang isteri yang berlaku sederhana dan hemat akan cenderung kepada sikap qana’ah merasa cukup atas apa yang diberikan oleh suaminya. Karena sesungguhnya akan sangat menyenangkan suami, jika seorang isteri tidak banyak menuntut di luar kemampuan suaminya atau meminta sesuatu yang tidak perlu. Alangkah indahnya ketika seorang isteri berpesan kepada suaminya bila hendak keluar rumah mencari nafkah dengan pesan “Hati-hatilah engkau wahai suamiku dari penghasilan yang haram, karena kami bisa bersabar dari rasa lapar namun kami tidak bisa bersabar dari api neraka”. 71 7. Mengatur dan menyusun rumah tangga menjadi ibu rumah tangga. Melayani suami dan mengatur kebutuhan sehari-hari adalah tugas utama bagi isteri. Mengatur rumah tangga adalah kewajiban suci bagi isteri. Bukan hanya istana atau rumah gedung yang megah indah saja yang perlu diatur, rumah gubuk sederhana pun perlu diatur pula. Sesuai dengan rasa estetika dan seni yang bersemi di jiwa wanita. Justru rumah gubuk itulah yang lebih perlu disusun, diatur dan dibersihkan agar indah dipandang mata, dibanding dengan rumah gedung yang memang sudah indah dan megah. Pengertian tentang kesejahteraan keluarga dengan segala sarana- sarananya, seperti bagaimana menyusun dan mengatur rumah tangga yang pantas, kecakapan dan keahlian memasak, menjahit, mendidik anak dan kepandaian mengatur perabot rumah tangga adalah pengetahuan yang sangat vital harus dimiliki seorang isteri. Isteri wajib merencanakan dan melaksanakan segala perlengkapan rumah tangga sebaik mungkin, sedemikian rupa sehingga menimbulkan daya tarik bagi suami. Dalam tatanan hukum positif di Indonesia mengenai kewajiban isteri telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam telah diatur pada Pasal 83 yaitu : 1 Kewajiban utama bagi seorang isteri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam. 2 Isteri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya. 105 105 Kompilasi Hukum Islam, Op. Cit, hlm.30-31. 72 Berdasarkan ketentuan Pasal 83 dari Kompilasi Hukum Islam tersebut di atas maka kewajiban isteri sangat luas dalam rumah tangga, sehingga terkadang menyebabkan suami secara tak langsung lepas tangan, dengan dalih bahwa apapun itu dalam urusan rumah tangga adalah kewajiban isteri kecuali mencari nafkah. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika di masyarakat bahwa kewajiban suami yang terlihat hanyalah sebagai pencari nafkah saja terutama pekerjaan suami yang banyak menyita waktu dengan segala macam kesibukannya di luar rumah. Sedangkan urusan rumah tangga yang lain dilimpahkan kepada isteri secara perlahan-lahan satu demi satu yang pada akhirnya menjadi kewajiban yang dibebankan kepada isteri, sementara mencari nafkah bukanlah hal yang sulit bagi seorang suami yang telah memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap. Bila diteliti lebih mendalam sebenarnya tidak ada pembagian kerja yang sama persis dari satu kelompok masyarakat ke kelompok masyarakat lainnya. Namun di antara suku bangsa di Indonesia sendiri terjadi perbedaan yang tajam dalam pembagian kerja di rumah tangga. Dalam masyarakat Bali, perempuan sering terlihat aktif mengerjakan berbagai pekerjaan yang oleh masyarakat Jawa akan dikatakan sebagai pekerjaan laki-laki. Sedangkan di masyarakat Jawa sendiri terdapat perbedaan pembagian kerja antara masyarakat petani di pedesaan dan kaum priyayi. Dalam masyarakat petani, pakne bapak dan mbokne ibu sama-sama melakukan pekerjaan yang sering dikatakan sebagai pekerjaan domestik, seperti menyapu, menimba dan lain-lain. Mereka juga sama-sama bergerak di sektor publik di luar rumah atau di sektor produktif yang menghasilkan uang, seperti menjadi pedagang di pasar atau aktif di sawah. Dalam masyarakat muslim juga terjadi perbedaan tajam 73 dalam hal pembagian kerja rumah tangga ini. Masyarakat muslim Arab berbeda dengan masyarakat muslim Jawa, masyarakat muslim Jawa pun berbeda dengan masyarakat muslim Minangkabau dan seterusnya. Namun dalam pandangan banyak orang, pembagian kerja rumah tangga ini kerap dianggap sebagai sesuatu yang fixed tetap dan tidak bisa berubah. Bahkan karena sedemikian melekatnya pekerjaan perempuan sehingga banyak yang beranggapan bahwa pekerjaan yang biasanya dilakukan perempuan, seperti memasak dan membersihkan rumah merupakan kodrat perempuan. Mengenai kewajiban tugas istri atau ibu dalam keluarga sebagian ulama berpendapat bahwa tugas isteri yang terutama adalah reproduksi dan melayani kebutuhan biologis suami. Hal tersebut sesuai dengan kodrat wanita yang bisa mengandung dan melahirkan reproduksi. Banyaknya ayat Al Qur’an dan Hadits Nabi yang membahas peran ibu dan menjunjung peran keibuan sebagai indikasinya. Yang belum banyak dibahas secara terperinci adalah tugas-tugas reproduksi perempuan misalnya menyusui anak merupakan kewajiban wanita atau tidak. Jawaban itu bagi sebagian besar orang mungkin mencengangkan. Menurut Imam Malik, salah seorang dari keempat imam mazhab, mengemukakan bahwa menyusui merupakan kewajiban moral diyanatun ketimbang legal. Artinya bila ibu atau seorang isteri tidak mau melakukannya, suami atau pengadilan sekalipun tidak berhak memaksanya. Sedangkan ulama dari kalangan Mazhab Hanafi, Syafi’i, Hambali dan sebagian pengikut Maliki berpendapat bahwa menyusui anak oleh seorang ibu hanya bersifat manduh sebaiknya. Kecuali kalau si anak menolak susuan selain susu ibu, atau si ayah tidak sanggup membayar upah ibu susuan, maka menjadi wajib bagi ibu untuk menyusuinya. 106 106 Siti Ruhaini Dzuhayati, Fiqh dan Permasalahan Perempuan Kontemporer, Ababil, Yogyakarta, 1996, hlm. 70. 74 Tidak diwajibkannya seorang ibu untuk menyusui anaknya itu didasarkan pada firman Allah dalam Q.S at Thalaq : 6 yang artinya sebagai berikut : “…jika kalian kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan anak kalian sebagai pengganti ibunya.” 107 Berdasarkan uraian di atas jelas bahwa menyusui sebagai aktivitas yang sangat berkaitan dengan tubuh perempuan saja, bukan kewajiban yang mutlak dilaksanakan perempuan. Jadi, dalam Islam tugas menyusui hanya merupakan anjuran dan bukan kewajiban. Selanjutnya mengenai kewajiban seorang isteri menjadi ibu rumah tangga untuk melaksanakan pekerjaan dalam rumah tangga para ulama juga berbeda pendapat. Sa’di Abu Habib mengatakan bahwa pelayanan dalam bentuk memasak, mencuci, membersihkan rumah, serta pekerjaan rumah tangga lainnya adalah pekerjaan yang termasuk mubah hukumnya. An Nawawi dalam Kitab Uqud al Lujjayn mengemukakan bahwa kewajiban isteri dalam rumah tangga adalah berkaitan dengan seksualitas. Sedangkan pekerjaan rumah, termasuk menjaga anak-anak, diklasifikasikan sebagai sedekah. 108 An Nawawi mendasarkan pendapatnya pada kisah Umar bin Khattab tatkala dia dimarahi isterinya dan harus menahan diri dengan berkata bahwa : “Saya harus membiarkannya, ungkapnya. Mengapa? tanya kaum muslimin. Karena isterikulah yang memasakkan makananku, menyediakan rotiku, membasuh bajuku, menyusui anak-anakku, dan memberi kepuasan yang membuat aku tidak jatuh pada perbuatan haram. Padahal itu bukan kewajibannya.” 109 107 Mahmud Junus, Op. Cit, hlm. 504. 108 Masdar F. Mas’udi, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan, Mizan, Bandung, 1997, hlm. 35. 109 Nasrat Al Masri, Nabi Suami Teladan, terjemahan, Gema Insani Press, Jakarta, 1994, hlm. 23 75 Oleh karena itu, para ulama berbeda pendapat tentang pekerjaan rumah tangga bagi perempuan ini. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa pelayanan isteri dalam rumah tangga sunnah hukumnya dan sebagian lainnya mengatakan wajib. Kewajiban ini merupakan kewajiban agama antara dia si isteri dengan Tuhan, Hakim tidak boleh memaksanya untuk melakukan pelayanan berkhidmah. Alasan historis yang biasa digunakan sebagai dasar bahwa pekerjaan rumah tangga merupakan pekerjaan perempuan adalah kisah Fatimah Az Zahra puteri Rasulullah yang tangannya bengkak lalu disuruh oleh Rasulullah untuk membaca tasbih setelah selesai shalat. Kisah tersebut berawal dari Sayyidah Fatimah Az Zahra menceritakan keadaan di rumah kepada suaminya yaitu Ali bin Abi Thalib, tentang kelelahan tubuh dan tangannya demi mengurusi rumah tangga suaminya karena setelah menikah dia pindah dari rumah orang tuanya yang selama ini memberinya ketenteraman, ketenangan dan tidak perlu memikirkan urusan kehidupan suami isteri atau pemeliharaan rumah. Tetapi sebagai perempuan bijaksana, ia berusaha menjalankan semua urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya hingga kesehatannya terganggu. Ali bin Abi Thalib selaku suami beliau menyarankan agar Fatimah mendatangi ayahnya yaitu Rasulullah untuk meminta pelayan. Fatimah pun menuruti saran suaminya namun sesampainya di sana Fatimah menjadi segan dengan kewibawaan sang ayah hingga ia pulang kembali menemui suaminya dan kemudian ia datang kembali ke rumah Rasululullah bersama suaminya. Namun ternyata Rasulullah dalam keadaan sulit dan tidak dapat membantu maksud puteri kesayangannya dan mereka berdua pulang dengan sedih namun diikuti oleh 76 Rasulullah dan mengajari mereka untuk melakukan amalan sehabis sholat yaitu membaca tasbih sebanyak 33 kali, tahmid 33 kali dan takbir 33 kali. Dari uraian di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa Al Qur’an maupun Hadits tidak ada yang secara rinci dan jelas menggambarkan pembagian kerja dalam rumah tangga. Hal ini pula yang memicu para ulama berbeda pendapat dalam menentukan aturan atau hukum pelaksanaan pekerjaan rumah tangga bagi kaum perempuan dan menentukan batasan terperinci tentang gambaran pekerjaan yang harus dilaksanakan. Dengan tidak adanya batasan tegas, berarti umat Islam mempunyai ruang yang longgar sebenarnya untuk mengatur pembagian kerja dalam rumah tangga. Namun perlu diingat, bahwa yang terpenting adalah suami isteri harus sepakat mengatur rumah tangga tersebut dengan sebaik-baiknya hingga tujuan mencapai keluarga sakinah tercapai.Berkenaan dengan hal tersebut negara telah membakukan peran laki- laki dan perempuan dalam rumah tangga dengan Undang-undang. Menurut Undang- undang Nomor Tahun 1974 tentang Perkawinan pada “Bab VI mengenai hak dan kewajiban suami isteri.” 110 Tugas ibu rumah tangga yang dibakukan tersebut biasanya dalam masyarakat diperinci menjadi lima komponen aktivitas yaitu : Pertama, melayani suami yang perinciannya terdiri atas; menyiapkan pakaian suami, dari celana dalam, kaos dalam, kaos kaki, baju, celana, sepatu yang telah disemir, hingga sapu tangan dan aksesoris lain. Kewajiban melayani 110 Pasal 31 ayat 3 disebutkan bahwa : “Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.” Kemudian pada Pasal 34 ayat 1 dinyatakan bahwa : “Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.” Selanjutnya dalam ayat 2 dari Pasal tersebut menyatakan bahwa : “Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Lihat Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Op. Cit, hlm.11 77 suami yang tak kalah penting adalah melayani berhubungan badan di mana pun dan kapan pun suami menginginkannya. Kedua, mengasuh dan mendidik anak yang secara rinci tugasnya sebagai berikut; memandikan membersihkan, menyuapi, mengajaknya bermain, menidurkan dan menyusui. Bila anaknya sudah sampai usia sekolah, maka tugas ibu rumah tangga bertambah dengan mengantar dan menjemput ke sekolah, menemani belajar, serta membantu mengerjakan pekerjaan rumah PR, mengambil rapor atau tugas lain yang berhubungan dengan sekolah. Ketiga, membersihkan dan merapikan semua perlengkapan rumah tangga; menyapu, mengepel, mencuci alat dapur, mencuci baju sekaligus menyeterikanya dan sebagainya. Keempat, menyediakan makanan siap santap. Rincian dari tugas ini meliputi; mengatur menu, berbelanja, memasak dan menghidangkannya. Kelima, merawat kesehatan lahir dan bathin seluruh anggota keluarganya; merawat anggota keluarga yang sakit, memijat bila diperlukan dan menghibur mereka dari kecemasan yang mereka alami. Isteri adalah penghibur suaminya di kala penat dan lelah bekerja. Ibu adalah penghibur anaknya yang mempunyai problema kehidupan terutama bagi ibu yang memiliki anak di usia remaja, peran ini akan sangat disorot masyarakat. 111 Kelima kelompok pekerjaan aktivitas itu semuanya dianggap sebagai kewajiban pokok ibu rumah tangga, apabila ada yang tidak beres dalam hal-hal tersebut maka serta merta isteri yang akan dijadikan kambing hitam oleh suami, mertua, tetangga dan bahkan masyarakat. Misalnya, bila anak nilainya turun atau terlambat mengerjakan PR, anak remaja nakal atau tawuran, suami kurang semangat dalam bekerja, sampai baju kantor suami kusut, otomatis orang-orang akan menuding keteledoran ibu rumah tangga sebagai penyebab utamanya. Faktanya itulah deretan panjang tugas wanita isteri dalam rumah tangga di masyarakat kita. Islam sebenarnya tidak kaku dalam membagi kerja rumah tangga. Selalu ada ruang bagi perempuan muslim untuk tidak harus terpaku sepanjang hidupnya 111 Istiadah, Membangun Bahtera Keluarga Yang Kokoh, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005, hlm.3-5 78 menghadapi pekerjaan rumah tangga. Bagi perempuan cerdas, pandai dan berkesempatan untuk mengabdikan diri turut serta membangun peradaban umat manusia, tidak perlu terpuruk dengan pekerjaan rutin yang melelahkan dan tanpa imbalan sambil terus-menerus mengutuki nasibnya atas nama agama. Bila kita masih memahami agama secara sempit dan tidak menemukan keleluasaan, tentunya pemahaman kita perlu dikoreksi ulang, karena kita mungkin keliru dalam memahami agama yang kita anut. Allah Maha Pengasih dan Penyayang, Dia menurunkan agama untuk menyampaikan kabar gembira dan peringatan bagi umat-Nya. Agama tentu harus menjadi lentera bagi kehidupan yang membawa sinar cerah yang menerangi hati para pemeluknya. Agama mendorong manusia untuk meraih masa depan yang lebih baik. Fikih hanyalah jalan bagi umat manusia untuk mengatur hubungannya dengan Tuhan ubudiyah dan dengan sesama umat manusia. Belum pernah ada dalam sejarah Islam bahwa seluruh umat Islam hanya bertumpu pada fikih tunggal. Fikih selalu dijalankan sesuai dengan konteks waktu dan tempatnya. Pemaksaan fikih tunggal akan mereduksi makna Islam sebagai agama universal yang berlaku sepanjang zaman.

D. Nusyuz dari Pihak Isteri

Sebagaimana telah diuraikan pada pengertian nusyuz sebelumnya bahwa nusyuznya seorang isteri adalah apabila telah meninggalkan kewajibannya sebagai seorang isteri dan tidak memberikan hak suami. Seperti yang diungkapkan 79 Muhammad Ali Ash Shabuni bahwa yang dimaksud dengan nusyuz isteri adalah : “Kedurhakaan dan kecongkakan isteri dari mentaati suami.” 112 Kriteria ataupun perbuatan-perbuatan isteri yang dianggap nusyuz ada yang berpendapat adalah : “Jika isteri tidak taat kepada suaminya atau tidak mau diajak tidur bersama atau isteri keluar dari rumah tanpa seizin suami.” 113 Ahmad bin Isma’il mengumpamakan perbuatan nusyuz isteri itu dalam bukunya antara lain : “Misal perbuatan nusyuz itu antara lain : tidak mau diajak suaminya untuk bergaul tanpa ada ujur menurut syara’, keluar dari rumah tanpa seizin suami yang bukan tujuannya ke rumah qadi hakim untuk menuntut haknya dari suami, atau membolehkan masuk seseorang yang dibenci suami ke dalam rumah.” 114 Pendapat lain yang dikategorikan perbuatan nusyuz bagi isteri adalah : “Adapun keluarnya seorang isteri dari rumah suami tanpa seizin suami, atau isteri musafir tanpa seizin suami, ataupun ihram isteri ketika musim haji tanpa seizin suami, maka isteri tersebut tergolong nusyuz, kecuali keluarnya isteri tersebut karena darurat.” 115 Pendapat di atas dikuatkan oleh Hanabilah yaitu “suami tidak wajib memberikan nafkah isteri yang musafir untuk keperluannya sendiri tanpa seizin suami.” 116 Ulama Syafi’iyah menambah kriteria isteri yang nusyuz di atas dengan isteri yang puasa sunat tanpa seizin suami, sebagaimana ungkapannya : “Jika isteri 112 Dudung Abdul Rochman, Op. Cit, hlm.94 113 H.S.A Al Hamdani, Op. Cit, hlm. 192 114 Ahmad bin Isma’il, Adawat al Hijab, Da ar Shafwat, Mesir, Kairo,1991, hlm.456 115 Wahbah al Zuhaili, Op. Cit, hlm.7364 116 Ibid, hlm. 7365 80 tidak mau diajak suami dengan alasan puasa, jika puasanya itu puasa sunat, maka benar menurut Syafi’iyah bahwa nafkahya gugur.” 117 Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa kriteria ataupun perbuatan isteri yang dianggap nusyuz adalah : 1. Tidak mau diajak suaminya sekamar untuk bergaul tanpa ada penghalang menurut syara’ 2. Isteri yang keluar dari rumah tanpa seizin suami untuk keperluannya sendiri. 3. Isteri membolehkan masuk seseorang yang dibenci suami ke dalam rumah. 4. Isteri puasa sunat tanpa seizin suami. Adapun hukuman atau sanksi bagi isteri yang nusyuz adalah : pertama dinasehati, kedua pisah ranjang, ketiga dipukul. Suami tidak boleh terburu-buru menuntutnya, menghukumnya dan tidak boleh segera menyakitinya, artinya tidak boleh dilakukan hukuman yang ketiga sebelum dilakukan hukuman yang pertama dan yang kedua, akan tetapi mestilah suami terlebih dahulu menasehati dan mengingatkan isteri kepada Allah serta mengingatkan akibat dari perbuatan nusyuz tersebut. Kemudian jika isteri itu masih tetap dalam kedurhakaannya kepada suami, maka suami boleh berpisah tempat tidur dengan isterinya atau tidak tidur sekamar. Apabila isteri juga belum menyadari perbuatan nusyuznya atau tidak berhenti dari kesesatannya, maka suami dibolehkan memukulnya dengan pukulan yang ringan atau pukulan yang tidak membekas hanya sebagai pelajaran. Hukuman ini sesuai dengan firman Allah dan Hadits Rasulullah SAW. Adapun firman Allah dalam Q.S an Nisa : 117 Ibid, hlm. 7365 81 34 menyatakan bahwa : “…Wanita-wanita yang kamu khawatiri nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah diri dari tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.” 118 Adapun Hadits Rasulullah SAW dari Abi Harroh al Riqasy, dari pamannya bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Jika kamu khawatir akan nusyuz mereka isteri, maka pisahkanlah diri mereka dari tempat tidurmu.” 119 Hadits lain yaitu : “Jika kamu khawatir akan nusyuz mereka isteri, maka nasehatilah mereka, dan pisahkanlah diri mereka dari tempat tidur, dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak berlebihan.” 120 Ayat dan hadits di atas dapat dipahami bahwa hukuman bagi isteri nusyuz adalah suami berkewajiban terlebih dahulu menasehatinya dengan baik. Apabila isteri tetap nusyuz kepada suaminya dan tetap maksiat maka suami boleh memisahkan tempat tidur dari isterinya atau tidak sekamar. Apabila isteri juga belum menyadari kedurhakaannya, maka suami boleh memukul isteri dengan pukulan yang tidak berlebihan ataupun yang membahayakan. Artinya hukuman bagi isteri yang nusyuz hanya tiga yaitu dinasehati, pisah ranjang dan dipukul dengan pukulan yang tidak membahayakan. Berbeda dengan Ibnu Hazm dalam bukunya Muhalla, ia tidak mengungkapkan pengertian nusyuz secara jelas, akan tetapi ia membuat batasan isteri 118 Mahmud Junus, Op. Cit, hlm.70 119 Abu Daud Sulaiman, Op. Cit, hlm.245 120 Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad bin Hambal, Dar al Kutub al Alamiah, Libanon, , Beirut, 1993, hlm.88 82 yang taat, yaitu :”Sesungguhnya seharusnyalah isteri itu menjaga keluarga, tidak puasa sunat kecuali dengan seizin suami, tidak memasukkan orang yang dibenci suami ke dalam rumah, dan tidak melarang suami akan dirinya jika diingini suami. Dan isteri menjaga harta yang dititipkan suami kepadanya.” 121 Bahkan Ibnu Hazm mengungkapkan : “Maka sah bahwasanya isteri dianggap taat apabila ia mau diajak suami untuk bergaul saja.” 122 Ungkapan tentang batas ketaatan isteri menurut Ibnu Hazm ini dapat dipahami bahwa isteri yang melanggar ketaatan ini dianggap nusyuz. Kategori perbuatan isteri yang dianggap nusyuz menurut Ibnu Hazm sesuai dengan ungkapannya di atas yaitu jika isteri itu tidak menjaga keluarga, puasa sunat tanpa seizin suami, memasukkan orang yang dibenci suami ke dalam rumah dan tidak mau diajak suami untuk bergaul dan isteri tidak menjaga harta yang dititipkan suami kepadanya. Bahkan Ibnu Hazm menganggap isteri itu sudah termasuk nusyuz jika isteri tidak mau diajak suami untuk bergaul. Menurut Ibnu Hazm hukuman bagi isteri nusyuz hanya pisah ranjang dan dipukul sebagaimana ungkapannya : “Maka firman Allah SWT Q.S an Nisa : 34, sesungguhnya bahwa tidak ada hukuman bagi isteri yang nusyuz itu kecuali pisah ranjang dan dipukul.” 123 Ibnu Hazm menguatkan pendapatnya itu berdasarkan Al Qur’an pada Q.S an Nisa : 34 yaitu : “…Wanita-wanita yang kamu khawatiri nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah diri dari tempat tidur mereka, 121 Ibnu Hazm, Al Muhalla, Dar Ihyaa at Tuurast al Arabi, Beirut, ,Libanon, 1997, hlm.145 122 Ibid, hlm.142 123 Ibid, hlm.62 83 dan pukullah mereka, kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.” 124 Dan bila merujuk kepada Hadits Rasulullah SAW yaitu : Maka bertakwalah kepada Allah dalam hal perempuan yang telah kamu ambil mereka dengan amanah Allah, dan mereka itu juga dihalalkan bagi kamu dengan nama Allah, dan bagi kamu ada kewajiban isteri yaitu mereka tidak boleh mengizinkan seseorang pun yang tidak kamu senangi untuk tidur di atas tempat tidurmu, jika isteri masih melakukannya maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan, dan bagi kamu suami sekalian mempunyai kewajiban untuk memberi makan dan pakaian mereka para isteri dengan baik. 125 Ayat dan Hadits di atas dapat dipahami bahwa hukuman bagi isteri nusyuz menurut Ibnu Hazm hanya dua yaitu pisah ranjang dan dipukul, sebagaimana ungkapannya pada hukuman bagi isteri nusyuz sebelumnya. Ulama fikih termasuk Ibnu Hazm sepakat bahwa suami mempunyai kewajiban terhadap isteri dan anak-anaknya. Kewajiban suami itu adalah memberikan nafkah berupa makanan, pakaian, tempat tinggal, dan kebutuhan lainnya sesuai dengan kemampuan suami. Namun, ulama berbeda pendapat tentang kewajiban nafkah bagi suami terhadap isteri yang nusyuz. Jumhur fuqaha pada dasarnya telah sepakat bahwa nafkah bagi isteri nusyuz itu gugur dengan alasan bahwa kewajiban nafkah bagi suami terhadap isteri adalah imbalan bersenang-senang jima antara suami dengan isteri, jika isteri tidak mau diajak suami untuk jima maka isteri dianggap nusyuz dan gugurlah nafkah baginya. 124 Mahmud Junus, Op. Cit, hlm.70 125 Abi al Husain Muslim bin al Hajjaj, Op. Cit, hlm. 889-890 84

E. Pendapat Ulama Fikih tentang Nafkah Bagi Isteri Nusyuz

“Jumhur Fuqaha berpendapat bahwa isteri yang nusyuz tidak berhak atas nafkah” 126 , artinya “suami tidak wajib memberikan nafkah kepada isteri yang nusyuz sampai isteri tersebut taubat atau kembali taat kepada suami.” 127 Sebagaimana pendapat Wahbah Al Zuhaili bahwa “nafkah gugur atas isteri yang nusyuz, walaupun hanya dengan melarang menyentuhnya dengan ketiadaan ujur halangan pada isteri.” 128 Pendapat yang sama menurut Sayyid Sabiq yaitu bahwa “Tidak berhak dinafkahi dengan wafatnya salah satu diantara suami isteri atau isteri itu sedang nusyuz.” 129 Pendapat Imam Hanabilah adalah “gugur nafkah bagi isteri yang nusyuz, artinya; pada hari yang nusyuz tersebut isteri tidak berhak dinafkahi.” 130 Sedangkan Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa : “Apabila isteri nusyuz kepada suami maka tidak ada nafkah baginya isteri, dan suami boleh memukulnya apabila ia nusyuz.” 131 Begitu juga dengan pendapat Abu Bakar Al Jazairi bahwa : “Nafkah menjadi tidak wajib kepada isteri, apabila ia berlaku nusyuz menentang suami atau isteri melarang suami untuk menggaulinya. Karena sesungguhnya nafkah itu merupakan imbalan dari bersenang-senang dengannya. Jika hal itu tidak bisa dilakukan maka gugurlah nafkah tersebut.” 132 Pendapat-pendapat ini dikuatkan oleh Hanabilah yaitu “suami tidak 126 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Aliansi Fiqih Para Mujtahid, terjemahan oleh Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun, Pustaka Amani, Jakarta, 2002, hlm.520. 127 Ahmad Al Hajj Al Kurdi, Hukum-hukum Wanita dalam Fiqih Islam, DIMAS, Semarang, 1990, hlm.63 128 Wahbah Al Zuhaili, Op. Cit, hlm.100 129 Sayyid Sabiq, Op. Cit, hlm.159 130 Abdurrahman Al Jazry, Kitab Al Fiqh Ala Al Mazahib Al Arba’ah, Al Taufiqiyah, Mesir, Kairo, 1969, hlm.502 131 Taimiyah Ibnu, Majmu’ah Al Fatawa, Dar Al Wafa’, Mesir, Kairo, 1998, hlm.55 132 Abu Bakar Jabir Al Jaziri, Pedoman Hidup Muslim, terjemahan oleh Hasanuddin dan Didin Hafidhuddin, Litera Antar Nusa, Jakarta, 1996, hlm.708. 85 wajib memberikan nafkah isteri yang musafir untuk keperluannya sendiri tanpa seizin suami”. 133 Ulama Syafiiyah juga berpendapat demikian, sebagaimana ungkapannya : “Jika isteri tidak mau diajak suami dengan alasan puasa, jika puasanya itu puasa sunat, maka benar menurut Syafiiyah bahwa nafkahnya gugur”. 134 Dasar hukum yang dipakai oleh ulama fikih tentang gugurnya nafkah bagi isteri nusyuz di atas tidak berdasarkan kepada Al Qur’an atau Sunnah, akan tetapi ulama fikih berpendapat demikian sebab nafkah itu menurut mereka merupakan imbalan dari bergaul jima atau bersenang-senang dengan isteri dengan ungkapan bahwa : “Nafkah gugur atas isteri yang nusyuz, walaupun hanya dengan melarang menyentuhnya dengan ketiadaan ujur pada isteri, mengutamakan wathi dibalas dengan wathi, karena nafkah itu adalah imbalan dari bersenang-senang maka tidak ada nafkah bagi isteri yang nusyuz.” 135 Ulama fikih termasuk Ibnu Hazm sepakat bahwa suami mempunyai kewajiban terhadap isteri dan anak-anaknya. Kewajiban suami itu adalah memberikan nafkah berupa makanan, pakaian, tempat tinggal, dan kebutuhan lainnya sesuai dengan kemampuan suami. Namun, ulama berbeda pendapat tentang kewajiban nafkah bagi suami terhadap isteri yang nusyuz. Jumhur fuqaha pada dasarnya telah sepakat bahwa nafkah bagi isteri nusyuz itu gugur dengan alasan bahwa kewajiban nafkah bagi suami terhadap isteri adalah imbalan bersenang-senang jima antara suami dengan isteri, jika isteri tidak mau diajak suami untuk jima maka isteri dianggap nusyuz dan gugurlah nafkah baginya. 133 Wahbah Al Zuhaili, Op. Cit, hlm.736 134 Ibid, hlm.736 135 Ibid, hlm.737 86 Berbeda dengan pendapat ulama di atas, Ibnu Hazm tetap mewajibkan suami untuk memberikan nafkah kepada isteri yang nusyuz berdasarkan dalil-dalil yang jelas dan nyata, yaitu hukuman bagi isteri yang nusyuz hanya pisah ranjang dan dipukul dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Pendapat Ibnu Hazm tentang wajibnya nafkah bagi isteri menurut penulis adalah pendapat yang benar, sebab isteri yang sudah di talak suami semasa iddahnya isteri suami tetap berkewajiban untuk memberikan nafkahnya sebagaimana firman Allah pada Q.S at Talak : 6 yaitu : “Dan jika mereka isteri-isteri yang sudah ditalak itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin.” 136 Ayat di atas dapat dipahami bahwa jangankan isteri yang nusyuz, isteri yang sudah ditalakpun, suami masih berkewajiban memberikan nafkahnya sampai habis masa iddahnya atau sampai melahirkan jika isteri itu hamil. Pendapat Ibnu Hazm tentang tetapnya kewajiban nafkah bagi suami terhadap isteri nusyuz berdasarkan dalil di atas merupakan salah satu ide yang sangat baik demi kelangsungan dan keharmonisan keluarga terutama antara suami dan isteri. Dikatakan demikian, karena pada saat sekarang tidak sedikit para isteri selain sebagai ibu rumah tangga juga turut andil membantu suami dalam memenuhi kebutuhan lahiriyah rumah tangga melalui aktifitas maupun karirnya sehari-hari. Bahkan banyak juga para isteri menjadi tulang punggung dalam memenuhi kebutuhan lahiriyah keluarga, sehingga para isteri ini tidak mustahil akan berbuat nusyuz kepada suami dengan kondisi demikian. 136 Mahmud Junus, Op. Cit, hlm.504 87 Jika dilihat pendapat Ibnu Hazm dalam konteks masa kini, ide yang diberikan oleh Ibnu Hazm tentang tetap wajibnya nafkah bagi suami terhadap isteri yang nusyuz sangatlah baik, sebab jika seorang isteri berbuat nusyuz sedang ia tidak mempunyai penghasilan dalam kehidupannya, akan tetapi suami tetap menafkahinya dan menghukumnya dengan ketentuan yang ada dalam Al Quran dan Hadits, kemungkinan besar ia akan mudah sadar dari perbuatan nusyuznya dan mudah kembali taat kepada suami sebab suami tetap memperhatikannya walaupun ia nusyuz. Begitu juga dengan isteri yang sudah mempunyai penghasilan dengan aktivitas ataupun karirnya sehari-hari. Jika ia berbuat nusyuz terhadap suaminya dan ia masih tetap mendapat nafkah dari suaminya walaupun ia sudah mempunyai penghasilan, maka hatinya akan lebih mudah lagi tergugah dengan adanya nafkah tersebut, sebab yang dipandang di sini bukanlah nilai materi dari nafkah yang diberikan oleh suami akan tetapi nilai perhatian, kasih sayang dan kepatuhan suami yang tetap melaksanakan kewajibannya memberikan nafkah terhadap isteri sehingga isteri akan mudah menyadari keberadaan dirinya yang masih di bawah tanggung jawab suami ataupun di bawah pimpinan suami, sebagaimana firman Allah dalam Q.S an-Nisa : 34 bahwa : “Kaum laki-laki itu pemimpin bagi isteri, oleh karena itu Allah telah melebihkan sebagian mereka laki-laki atas sebagian yang lain perempuan, karena mereka laki-laki telah menafkahkan sebagian dari harta mereka…” 137 Bila ditinjau dari pendapat ulama yang mengatakan bahwa nafkah gugur bagi isteri yang nusyuz, kemungkinan besar akan membuat malapetaka bagi kelangsungan 137 Mahmud Junus, Op. Cit, hlm.76 88 dan keharmonisan rumah tangga, sebab jika isteri itu tidak mempunyai penghasilan dan ia berbuat nusyuz kepada suaminya sedang ia sudah tidak dinafkahi suaminya lagi, maka isteri itu akan lebih mudah memutuskan hubungan dengan suami sebab ia merasa tidak ada lagi keterikatan antara suami dan isteri serta tidak tampaknya kasih sayang, perhatian dan tanggung jawab suami walaupun itu sekedar nafkah. Begitu juga dengan seorang isteri yang mempunyai penghasilan, maka lebih mudah lagi akan terputusnya hubungan antara suami dan isteri sebab isteri tersebut walaupun tidak diberi nafkah ia sudah punya penghasilan dan tidak akan merasa terikat lagi dengan suami serta merasa tidak ada lagi kasih sayang, perhatian bahkan tanggung jawab suami terhadapnya sebagai kepala rumah tangga. Hal ini dapat dipahami bahwa sangat besar guna dan eksistensi ide yang dikemukakan oleh Ibnu Hazm tersebut untuk mengeratkan tali pengikat hubungan antara suami isteri serta kelangsungan dan keharmonisan rumah tangga. Pemikiran Ibnu Hazm tentang tetapnya kewajiban nafkah bagi suami terhadap isteri yang nusyuz memiliki signifikan yang berarti khususnya saat ini, demikian juga terhadap para isteri yang telah ikut ambil peran dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Bahkan tak jarang karier isteri lebih tinggi dari suami sehingga berimplikasi pada penghasilan isteri lebih tinggi dari pada penghasilan suami. Namun di dalam Pasal 84 Kompilasi Hukum Islam telah mengatur tentang nusyuz isteri yang menyatakan bahwa : 1 Isteri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban- kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat 1 kecuali dengan alasan yang sah. 89 2 Selama isteri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap isterinya tersebut pada pasal 80 ayat 4 huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya. 3 Kewajiban suami tersebut pada ayat 2 di atas berlaku kembali sesudah isteri tidak nusyuz. 4 Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari isteri harus didasarkan atas bukti yang sah. 138 Pasal 84 Kompilasi Hukum Islam tersebut di atas mengisyaratkan mengikuti pendapat jumhur fuqaha bahwa pemberian nafkah untuk isteri yang nusyuz tersebut berupa nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri, biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 80 Kompilasi Hukum Islam dapat dihentikan untuk sementara waktu hingga sang isteri tidak nusyuz lagi. Namun, tidak semudah itu menyatakan isteri telah nusyuz karena harus didasarkan atas bukti yang sah.

F. Nusyuz dari Pihak Suami

Di dalam tafsir Al Azhar, tentang kenusyuzan suami disebutkan bahwa : “Suami tidak senang atau sudah bosan atau telah benci kepada isterinya. Hal ini biasa kejadian pada orang yang beristeri lebih dari satu atau telah jatuh kepada perempuan lain.” 139 Dengan keadaan yang demikian itulah suami dengan sengaja tidak mau mendekatinya, tidak mau memberi nafkah, tidak mau memberi kasih sayang antara suami isteri ataupun suami menggauli si isteri dengan kasar tidak dengan mu’syarah bil ma’ruf pergaulan yang diperkenankan sebagaimana pergaulan suami isteri. Dalam mengatasi hal seperti ini, ialah suami isteri harus mengadakan perdamaian untuk mencapai kemaslahatan dalam rumah tangga. 140 138 Kompilasi Hukum Islam,Op. Cit, hlm.31 139 HAMKA, Tafsir Al Azhar, Bulan Bintang, Jakarta, 1990, hlm. 303 140 M.Hasballah Thaib, Op.Cit, hlm. 86 90 Berikut adalah ayat yang mengindikasikan bahwa suami juga dapat berbuat nusyuz yaitu Q.S an Nisa : 128 yang artinya sebagai berikut : Jika seorang perempuan melihat kesalahan atau nusyuz suaminya atau telah berpaling hatinya, maka tiada berdosa keduanya, jika keduanya mengadakan perdamaian antara keduanya. Berdamailah itu lebih baik daripada bercerai. Memang manusia itu berperangai amat kikir. Jika kamu berbuat baik kepada isterimu dan bertaqwa, sungguh Allah Mahamengetahui apa-apa yang kamu kerjakan. 141 Karena ada setengah laki-laki karena sangat repot dan sangat sibuk mengurus pekerjaannya di luar, kadang-kadang terbawa-bawa ke dalam rumah tangga, sehingga seakan-akan isterinya tidak diperdulikannya, atau terkurang nafkah harta karena dia di dalam susah, atau terkurang syahwat kelamin karena kerapkali nafsu setubuh menjadi kendur karena fikiran yang kacau, sedang setengah perempuan lekas cemburu, lekas merasa dirinya tidak 142 dipedulikan. Nusyuz merupakan tindakan tidak memenuhi hak dan kewajiban oleh suami atau isteri dalam berumah tangga. Dalam hubungan suami isteri dalam rumah tangga bahwa suami mempunyai hak dan begitu pula dengan isteri mempunyai hak. Di balik itu suami mempunyai beberapa kewajiban dan begitu pula dengan isteri. Adanya hak dan kewajiban antara suami isteri dalam rumah tangga dapat dilihat dalam Q.S al Baqarah : 228 yang artinya sebagai berikut : “Bagi isteri itu ada hak-hak berimbang dengan kewajiban-kewajibannya secara makruf dan bagi suami setingkat lebih dari isteri.” 143 Ayat ini menjelaskan bahwa isteri mempunyai hak dan isteri juga mempunyai kewajiban. Kewajiban isteri merupakan hak bagi suami. Hak isteri seperti hak suami yang diindikasikan dalam ayat ini mengandung keseteraan dan 141 Mahmud Junus, Op. Cit, hlm.90 142 HAMKA, Op. Cit, hlm.304 143 Ibid, hlm.34 91 keseimbangan kedudukan hak dan kewajiban tersebut namun suami memiliki kedudukan setingkat lebih tinggi, yaitu sebagai kepala keluarga, sebagaimana ari menjelaskan bahwa ik dan mental isteri, tidak melakukan hubungan badaniyah dalam waktu tertentu dan diisyaratkan oleh ujung ayat tersebut di atas. Dalam rumah tangga kedudukan suami adalah sebagai pemimpin yang bertanggung jawab sepenuhnya atas segala sesuatu dalam rumah tangga itu. Sedangkan seorang isteri sebagai ibu rumah tangga yang kedudukannya mempunyai tanggung jawab yang berbeda halnya dengan tanggung jawab suami. Tetapi walaupun demikian, isteri tidak berarti tidak mempunyai hak seperti suami untuk mentalak isteri, isteri juga mempunyai hak untuk mengkhulu’ suaminya. Akan tetapi, isteri dianjurkan agar mengadakan suluh perdamaian apabila dirasakan ada kelainan d sikap suami, seperti berpaling atau meninggalkan sebagian hubungan suami isteri Menurut Ibnu Qudamah bahwa : “Nusyuz suami mengandung arti pendurhakaan suami kepada Allah karena meninggalkan kewajibannya terhadap isteri”. 144 Pendapat tersebut didasarkan kepada Q.S an Nisa : 34 yang suami sebagai imampemimpin bagi isteri dalam rumah tangga. Nusyuz suami terjadi bila ia tidak melaksanakan kewajibannya terhadap isterinya, baik meninggalkan kewajiban yang bersifat materi atau nafaqah atau meninggalkan kewajiban yang bersifat non materi diantaranya mu’asyarah bil ma’ruf atau menggauli isterinya dengan baik. Yang terakhir ini mengandung arti luas, yaitu segala sesuatu yang dapat disebut menggauli isterinya dengan cara buruk seperti berlaku kasar, menyakiti fis tindakan lain yang bertentangan dengan asas pergaulan baik. 145 144 Ibnu Qudamah, Al Mughniy, Mathba’ah Al Qahirah, Mesir, Kairo, 1969, hlm.235 145 Amir Syarifuddin, Op. Cit, hlm.193 92 Nusyuz dari suami adalah bersikap keras terhadap isterinya, tidak mau menggaulinya dan tidak mau memberikan haknya. Biasanya nusyuz suami ini terjadi apabila tuntutan isteri terlalu tinggi terhadap sesuatu yang di luar jangkauan kemampuan suami. Dengan demikian, solusinya yang tepat adalah bahwa isteri harus mengurangi dan menyederhanakan tuntutannya terhadap suaminya, jika ia memang menghendaki keutuhan dan keharmonisan rumah tangganya. Apabila isteri memilih cerai daripada bersikap seperti di atas, berarti ia telah melakukan kesalahan ngga serta runtuhnya mahligai perkawinan. dapun konsep nusyuz suami ini akan dibahas pada bab berikutnya secara lebih endalam berikut dengan akibatnya. karena Al Qur’an telah memberikan jalan untuk itu yaitu dengan melakukan perdamaian ishlah antara keduanya. Namun pada kenyataannya, nusyuz suami saat ini tidak hanya terjadi disebabkan oleh karena tuntutan isteri yang terlalu tinggi akan tetapi karena pembawaan sifat dan sikap suami yang memang tidak baik antara lain karena suka berjudi, mabuk-mabukan, selingkuh dan sebagainya yang menyebabkan terjadinya ketidakharmonisan dalam rumah ta A m 93

BAB III KIBATNYA MENURUT HUKUM

PERKAWINAN ISLAM . Sta pe uh elemb afs yang satu yang sama dan menjadikan isteri KONSEP NUSYUZ SUAMI DAN A A tus dan Kedudukan Suami Isteri

1. Status dan kedudukan suami isteri menurut hukum Islam