menjadi abnormalitas mayor 15 jenis yang mengganggu fertilitas dan abnormalitas minor 16 jenis yang tidak mengganggu fertilitas, namun yang
diketahui merupakan faktor genetik adalah abaxial abormalitas pada bagian ekor, round head, microchepalus, macrochepalus, knobbed acrosome defect
abnormalitas pada bagian kepala. Knobbed acrosome defect adalah abnormalitas sperma bagian kepala yang
merupakan faktor genetik dan bersifat mayor Chenoweth 2005; Frenau et al. 2009. Pada penelitian ini, ditemukan paling tinggi dalam genotipe BB. Knobbed
acrosome defect juga ditemukan dalam genotype AB dan AA tetapi dalam jumlah
yang kecil.
Gambar 20 Abnormal sperma pada genotipe yang berbeda gen FSH sub-unit beta berdasarkan PCR-RFLP.
Pengamatan abnormalitas sperma pada bangsa yang berbeda Gambar 21 menunjukkan bahwa walupun Bos javanicus monomorfik, masih menunjukkan
tingkat abnormalitas yang rendah dibanding dengan Bos taurus dan Bos indicus yang bersifat polimorfik.
Meyer dan Bart 2001, Holt dan Look 2004, Al-Makhzoomi 2005 melaporkan bahwa abnormalitas sperma yang tinggi berakibat pada kegagalan
fertilisasi. Selanjutnya Meyer dan Bart 2001, melaporkan bahwa abnormalitas spermatozoa bagian kepala menyebabkan rendahnya kemampuan sperma untuk
menembus zona pellucida dan abnormalitas bagian ekor akan mengurangi
2.12
1.01 1.66
0.74 1.47
1.38 0.92
1.38 0.82
1.65
0.45 0.11
0.19 0.15
0.07
0.00 0.50
1.00 1.50
2.00 2.50
Abaxial Macro chepalus Micro chepalus
Round head Knobbed
acrosome defect Ab
n o
rm ali
tas S
p erm
a
AA AB
BB
2.50 2.00
1.50 1.00
0.50 0.00
kemampuan melewati saluran reproduksi. Kegagalan fertilisasi, kematian embrio fase awal sebagai salah satu akibat dari tingginya persentase abnormalitas sperma
Enciso et al. 2011.
Gambar 21 Abnormalitas sperma berdasarkan bangsa sapi yang berbeda gen FSH
sub-unit beta.
B. Keragaman Gen FSH Sub-unit Beta Pada Sapi Bali Metode PCR-SSCP Amplifikasi Ruas Gen FSH sub-unit beta
Panjang produk amplifikasi ruas gen FSH sub-unit beta sebagian intron 2 dan bagian penuh ekson 3 adalah 313 bp Gambar 22.
Ket : M = Marker : ladder 100 bp, 1 – 16 = sampel
Gambar 22. Produk PCR gen FSH sub-unit beta dengan panjang fragmen 313 bp.
300 bp 500 bp
200 bp 313 bp
M 1 2
3 4
5 6
7 8
9 10 11 12 13 14 15 16
A b
n o
rmal ita
s S
p e
rma
1.0 0.5
2.0 3.0
1.5 2.5
Bos javanicus Bos indicus
Bos taurus
0.39 0.94
2.97
Amplifikasi ruas gen FSH sub-unit beta berhasil sepanjang 313 bp menggunakan sepasang primer sesuai dengan hasil penelitian Dai et al. 2009.
Kondisi PCR yang digunakan pada mesin thermocycler, menggunakan suhu denaturasi awal 94
o
C selama 5 menit, denaturasi 94
o
C, penempelan primer atau annealing 63
o
C selama 45 detik, penempelan DNA baru pada suhu 72
o
C selama 1 menit, dan suhu 72
o
C pemanjangan akhir selama 5 menit.
Keterangan a : hasil elektroforesis, b : hasil rekonstruksi
Gambar 23 Visualisasi SSCP ruas gen FSH sub-unit beta. Produk PCR gen FSH sub-unit beta yang dianalisis dengan metode SSCP
menghasilkan tiga macam genotipe disajikan pada Gambar 23 yaitu BB yang tervisualisasi dengan satu pita, genotipe AB dengan tiga pita sedang genotipe AA
tervisualisasi dengan dua pita. Hasil penelitian ini berbeda dengan Dai et al. 2009 menggunakan metode PCR-SSCP menemukan empat varian genotipe yaitu
BB, AB, AA dan BC. Liang et al. 2006 melaporkan bahwa homologi gen FSH sub-unit beta antara sapi dan kambing 98 . Penelitiannya menggunakan PCR-
SSCP yang diasosiasikan dengan sifat prolifik pada kambing Lioning Cashmere, Grey goats menemukan tiga varian genotipe AA, AC dan CC, namun pada
kambing Angora ditemukan enam varian genotipe yaitu AA, BB, CC, AB, AC dan BC. Hasil genotipe pada bangsa sapi yang dianalisis menunjukkan sapi Bali
Bos javanicus tidak ada varian, hal ini menunjukkan bahwa gen ini bersifat monomorfik menjadi salah satu bukti bahwa sapi sapi lokal telah beradaptasi
dengan lingkungan. Grigorova et al. 2007 menyatakan bahwa gen FSH sub-unit beta pada mamalia mempunyai struktur dan fungsi untuk menyeimbangkan
seleksi demikian pula pada sapi Kim et al. 1988, sehingga kestabilan runutan nukleotidanya pada kondisi sudah beradaptasi sangat stabil dan jarang mengalami
AB BB
AA BB
AA AB
AB
a
AA AA
BB AB
AB BB
AB
b
mutasi. Berbeda pada sapi Brahman Bos indicus, FH, Limousin dan Simmental Bos taurus yang sudah mengalami seleksi buatan dan yang telah mengalami
perkawinan silang. Hasil ini sesuai dengan Wimmer et al. 2005 menemukan hal yang sama pada babi lokal indegenus breed di China bahwa gen FSH sub-unit
beta tidak ada varian atau monomorfik, selanjutnya Lamminen et al. 2005 meneliti dan mendapat hasil yang sama pada manusia.
Frekuensi Alel dan Genotipe Gen FSH sub-unit beta
Frekuensi alel dan genotipe gen FSH sub-unit beta disajikan pada Tabel 5, pada sapi Bali Bos sondaicus hanya ditemukan alel B 1.000 dan genotipe BB
1.000. Hasil tersebut berbeda pada sapi Brahman Bos indicus, sapi FH, Simmental dan Limosin Bos taurus bersifat polimorfik. Hal ini ditunjukkan
adanya keragaman yaitu alel A dan B, demikian pula dengan beragamnya genotipe yaitu AA, AB dan BB. Dai et al. 2009 telah meneliti ruas gen FSH
sub-unit beta pada sapi jantan di berbagai pusat inseminasi buatan di Amerika menemukan keragaman gen pada sebagian intron 2 dan bagian penuh ekson 3
yang diasosiasikan dengan kualitas sperma cair dan sperma beku, ditemukan 3 alel yaitu alel A, B dan C, 3 genotipe yaitu AB, BB dan BC.
Tabel 5 Frekuensi alel dan genotipe gen FSH sub-unit beta PCR-SSCP
Populasi FSH sub-unit beta
Alel Genotipe
A B
AA AB
BB
Bali 0.000
1.000 0.000 0 0.000 0
1.000 110 Brahman
0.372 0.628
0.270 20 0.203 15
0.527 39 FH
0.645 0.355
0.530 44 0.229 19
0.241 20 Simmental
0.491 0.581
0.233 10 0.372 16
0.395 17 Limosin
0.466 0.534
0.318 14 0.295 13
0.386 17
Gabungan
Bos javanicus 0.000
1.000 0.000 0 0.000 0 1.000 110
Bos indicus 0.372
0.628 0.270 20
0.203 15 0.527 39
Bos taurus 0.830
0.170 0.761 68
0.136 48 0.102 54
Ket : angka di dalam kurung = jumlah individu
Hormon FSH sub-unit beta berperan secara khusus dalam reproduksi mamalia Mellink et al. 1995 utamanya proses spermatogenesis pada jantan Dai
et al. 2009: Dai et al. 2011 dan laju ovulasi ovulation rate pada betina Lenville et al. 2001, bahkan polimorfisme gen FSH sub-unit beta berpengaruh terhadap
kualitas sperma dan ovulasi seperti yang dilaporkan oleh Kossakowska et al. 2003; Lui Lee 2009; Humpolicek et al. 2009
Proses fisiologis hormon FSH sub-unit beta dalam pengaruhnya pada proses spermatogenesis telah dibuktikan oleh Ji et al. 1995. Dalam penelitian
tersebut dinyatakan bahwa sel-sel Sertoli tidak mampu menginduksi perkembangan primary spermatocyte menjadi round spermatids kalau level
hormon FSH tidak mencapai level tertentu. Hasil penelitian ini sesuai dengan Dai et al. 2009 bahwa sapi jantan yang bergenotipe AB dan BB mempunyai level
hormon FSH dalam darah relatif lebih tinggi dibanding dengan sapi jantan yang bergenotipe AA. Selanjutnya McLachlan et al. 1996 meneliti mekanisme aksi
fisiologis hormon FSH dan testosteron pada proses spermatogenesis pada hewan percobaan tikus, mencit, hamster dan kelinci melaporkan bahwa hormon FSH
berperan juga dalam perkembangan testis sebelum dan sesudah kelahiran, dan pada saat dewasa kelamin FSH berperan dalam pemeliharaan spermatozoa di
dalam tubuli seminiferi. Frekuensi alel A yang ditemukan pada penelitian ini tertinggi pada sapi FH
0,645, terendah ditemukan pada sapi Bali 0.000. Alel B ditemukan paling tinggi pada sapi Bali 1.000 sedang terendah ditemukan pada sapi FH 0.533.
Nei dan Kumar 2000 menyatakan bahwa heterozygositas merupakan persentase heterozygot tiap individu atau rataan persentase individu heterozygot dalam
populasi.
Nilai Heterozigositas
Nilai heterozigositas pengamatan H
o
dan heterozigositas harapan H
e
disajikan pada Tabel 6. Nilai heterozigositas sangat penting untuk menganalisis polimorfisme dalam suatu populasi Noor 2008. Pendugaan nilai heterozigositas
pengamatan dan harapan dihitung untuk mendapatkan keragaman genetik atau genetic variability dalam populasi. Nilai ini digunakan dalam program seleksi
pada ternak yang akan digunakan sebagai sumber genetik pada generasi berikutnya Noor 2008; Marson et al. 2005.
Analisis nilai heterozygositas gen FSH sub-unit beta menggunakan metode PCR-SSCP menunjukkan bahwa heterozigositas pengamatan tertinggi pada sapi
Simmental 0.372 dan terendah pada sapi Bali 0.000. Nilai chi-squre atau X
2
gen FSH sub-unit beta menunjukkan bahwa pada sapi Brahman, FH dan Limousin terjadi
ketidakseimbangan Hardy-Weimberg.
Ketidakseimbangan Hardy-
Weimberg biasanya terjadi pada populasi yang terseleksi, terjadi mutasi dan migrasi dan genetic drift Falconer Mackay 1996 dan Noor 2008.
Tabel 6 Nilai heterozigositas gen FSH sub-unit beta Populasi
Gen FSH sub-unit beta n
H
o
H
e
x
2
PIC Bali
110 0.000
0.000 -
- Brahman
74 0.203
0.467 23.70
0.358 FH
83 0.229
0.458 20.78
0.358 Simmental
43 0.372
0.487 2.39
tn
0.368 Limousin
44 0.295
0.498 7.26
0.374 Gabungan
Bos javanicus 110
0.000 0.000
- -
Bos indicus 74
0.203 0.287
23.70 0.358
Bos taurus 170
0.282 0.497
31.64 0.373
Ket
:
tn = tidak berbeda nyata p 0.05, = berbeda nyata, = berbeda sangat nyata
Sampel sapi Brahman berasal ranch PT BULI Sulawesi Selatan merupakan tempat pemeliharaan sapi yang terseleksi, demikian pula sampel dari BIB dan
BIBD merupakan sampel yang terseleksi sebelumnya. Demikian pula sapi FH dan Limousin yang berasal dari Balai Inseminasi Buatan Nasional Daerah.
Tingkat Abnormalitas Sperma pada Genotipe yang Berbeda
Abnormalitas sperma menurut Chenoweth 2005 dan Frenau et al. 2009 terbagi menjadi abnormalitas mayor 15 jenis dan abnormalitas minor 16 jenis,
namun yang diketahui faktor genetik adalah abaxial abormalitas pada bagian
ekor, round head, microchepalus, macrochepalus, knobbed acrosome defect abnormalitas pada bagian kepala.
Tingkat persentase abnormalitas sperma pada genotipe yang berbeda disajikan pada Gambar 24. Berdasarkan hasil analisis genotipe dengan metode
PCR-SSCP bahwa pada genotipe AA ditemukan microchepalus merupakan tipe yang paling tinggi, paling rendah tipe macrochepalus. Abnormalitas tipe abaxial
ditemukan paling tinggi pada genotipe AB dan paling rendah tipe macrochepalus, sedang pada genotipe BB juga ditemukan tipe abaxial paling tinggi dan diikuti
knobbed acrosome defect tetapi tipe round head ditemukan paling rendah. Persentase tipe abnormalitas sperma yang disebabkan oleh faktor genetik dari
hasil penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Arifiantini et al. 2010 bahwa pada sapi potong termasuk sapi Bali masing masing adalah
abaxial 0.01- 0.02, macrochepalus 0 – 0.03, microchepalus 0.01 - 0.02 ,
round head 0 – 0.01 dan knobbed acrosome defect adalah 0.01 – 0.15.
Gambar 24 Abnormal sperma pada genotipe yang berbeda gen FSH sub-unit beta berdasarkan PCR-SSCP.
Knobbed acrosome defect merupakan abnormalitas faktor genetik yang mayor, sehingga dapat menurunkan fertilitas. Pada penelitian ini menggunakan
metode PCR-SSCP ternyata genotype BB juga menunjukkan jumlah persentasi abnormalitas tinggi yaitu abaxial. Abnormalitas sperma akan mempengaruhi
fertilitas jika jumlahnya melebihi 20 dari total sperma Garner Hafez 2000.
0.56 0.28
0.95
0.34 0.84
0.72
0.12 0.66
0.42 0.30
1.09
0.57 0.62
0.26 1.04
0.00 0.20
0.40 0.60
0.80 1.00
1.20
Abaxial Macrochepalus
Microchepalus Round Head
Knobbed acrosome defect
Ab n
o rm
ali tas
sp erm
a
AA AB
BB
1.20 1.00
0.80 0.60
0.40 0.20
0.00