Respon Berduka Pada Pasien Stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan

(1)

SKRIPSI

Oleh Wita 111101093

FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

(3)

(4)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahim, puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmad dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Respon Berduka Pada Pasien Stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan”, untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh kesarjanaan pada Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

Selama proses penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak dengan memberikan butir-butir pemikiran yang sangat berharga bagi penulis baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Dr. Dedi Ardinata, M.Kes, selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Erniyati, S.Kp, MNS, selaku Pembantu Dekan Universitas Sumatera Utara. 2. Ibu Rika Endah Nurhidayah, S.Kp, M.Pd, selaku dosen pembimbing yang telah

memberikan pengetahuan, bimbingan, dorongan secara moral, masukan dan arahan yang sangat membantu sehingga penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan.

3. Ibu Sri Eka Wahyuni, S.Kep, Ns, M.Kep, dan ibu Fatwa Imelda, S.Kep, Ns, M.Biomed, selaku dosen penguji 1 dan dosen penguji 2 yang telah memberikan pengetahuan, bimbingan, masukan dan arahan yang sangat membantu sehingga penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan.


(5)

4. Ibu Diah Arruum, S.Kep, Ns, M.Kep, selaku dosen pembimbing akademik, seluruh dosen dan pegawai Fakultas Keperawatan USU yang telah memberikan bimbingan selama masa perkuliahan. Semoga Allah membalas ilmu yang telah kalian berikan dengan keberkahan.

5. Orang tua tercinta Alm Muhammad Ikhwan Pasaribu dan Ibunda Dahlia Suty Nasution terima kasih atas kasih sayang dan pengorbanan yang kalian berikan. Semoga anakmu ini bisa menjadi kebanggaan untuk kalian. Serta saudara tersayang kakak dan adik Liza Juliani, Dewi Sartika, dan Mega Silfia.

6. Teman-teman seperjuangan angkatan 2011 dan teman-teman teristemewa Lady Diana Puspita Dewi, Putri Nanda Sari, Otania Hosiana, Yori, Indri, Anggi, Nidya, Mesya, Cici, serta sahabatku Edwar Randa. Semangat untuk meraih impian kita.

Peneliti menyadari keterbatasan dalam skripsi ini, untuk itu peneliti mengharapkan adanya saran yang bersifat membangun untuk perbaikan yang lebih baik di masa yang akan datang.

Medan, Agustus 2015


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN ORISINALITAS... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL... ix

DAFTAR SKEMA ... x

ABSTRAK ... xi

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1. Latar belakang ... 1

2. Perumusan masalah ... 6

3. Pertanyaan penelitian ... 6

4. Tujuan penelitian ... 6

5. Manfaat penelitian ... 7

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

1. Kehilangan ... 9

1.1. Definisi kehilangan ... 9

1.2. Tipe kehilangan ... 10

1.2.1. Kehilangan objek eksternal ... 10

1.2.2. Kehilangan lingkungan yang telah dikenal ... 10

1.2.3. Kehilangan orang terdekat ... 11

1.2.4. Kehilangan aspek diri ... 11

1.2.5. Kehilangan hidup ... 12

1.3. Faktor predisposisi yang mempengaruhi reaksi kehilangan ... 14

1.3.1. Genetik... 14

1.3.2. Kesehatan fisik ... 15

1.3.3. Kesehatan jiwa/mental ... 15

1.3.4. Pengalaman kehilangan di masa lalu ... 15

1.4. Dampak kehilangan ... 15

2. Berduka ... 16

2.1. Definisi berduka ... 16

2.2. Faktor penyebab berduka ... 16

2.2.1. Patofisiologis ... 16

2.2.2. Terkait pengobatan ... 17

2.2.3. Situasional ... 17

2.2.4. Maturasional ... 17

2.3. Tanda dan gejala berduka... 18

2.3.1. Reaksi perasaan ... 18

2.3.2. Reaksi fisik ... 18

2.3.3. Reaksi kognisi... 18

2.3.4. Reaksi perilaku ... 18

2.4. Akibat berduka ... 20


(7)

2.5.1. Fase penyangkalan ... 20

2.5.2. Fase marah ... 21

2.5.3. Fase tawar-menawar ... 21

2.5.4. Fase depresi ... 21

2.5.5. Fase penerimaan ... 22

3. Respon psikologis pasien stroke ... 23

3.1. Kemarahan ... 23

3.2. Isolasi ... 24

3.3. Kelabilan emosi ... 24

3.4. Depresi ... 24

BAB 3. KERANGKA PENELITIAN ... 26

1. Kerangka konsep ... 26

2. Definisi operasional ... 27

BAB 4. METODOLOGI PENELITIAN ... 28

1. Desain penelitian ... 28

2. Populasi, sampel, dan teknik sampling ... 28

2.1. Populasi ... 28

2.2. Sampel ... 28

2.3. Teknik sampel... 29

3. Lokasi dan waktu penelitian... 30

4. Pertimbangan etik... 30

4.1. Prinsip manfaat... 30

4.2. Prinsip menghargai martabat manusia ... 32

4.3. Prinsip keadilan ... 33

5. Instrumen penelitian ... 34

5.1. Kuesioner data demografi ... 34

5.2. Kuesioner respon berduka ... 34

6. Validitas dan reliabilitas ... 35

6.1. Validitas ... 35

6.2. Reliabilitas ... 36

7. Pengumpulan data ... 37

7.1. Proses administrasi ... 37

7.2. Pengumpulan data pasien stroke... 37

8. Analisa data ... 38

BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 40

1. Hasil penelitian... 40

1.1. Distribusi fase penyangkalan ... 40

1.2. Distribusi fase marah ... 41

1.3. Distribusi fase tawar-menawar ... 42

1.4. Distribusi fase depresi ... 43

1.5. Distribusi fase penerimaan ... 44

2. Pembahasan ... 46

2.1. Distribusi fase penyangkalan ... 46

2.2. Distribusi fase marah ... 47


(8)

2.5. Distribusi fase penerimaan ... 52

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 54

1. Kesimpulan ... 54

2. Saran ... 54

3. Keterbatasan penelitian ... 56

DAFTAR PUSTAKA ... 57

LAMPIRAN 1. Lembar persetujuan menjadi responden penelitian ... 61

2. Instrumen penelitian ... 63

3. Jadwal tentative penelitian ... 65

4. Ethical Clearance... 66

5. Validitas isi instrument respon berduka (CVI) ... 67

6. Uji reliabilitas kuesioner respon berduka ... 69

7. Master tabel penelitian ... 71

8. Persetujuan validitas isi (content) ... 72

9. Persetujuan izin penelitian ... 74

10. Persetujuan izin pengambilan data ... 75

11. Persetujuan telah menyelesaikan penelitian ... 76

12. Lembar terjemahan abstrak ... 77

13. Taksasi dana penelitian ... 78

14. Lembar bukti bimbingan ... 79


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Tabel tanda gejala berduka ... 19

Tabel 3.1 Definisi operasional variable penelitian ... 27

Tabel 5.1 Tabel fase penyangkalan ... 41

Tabel 5.2 Tabel fase marah ... 42

Tabel 5.3 Tabel fase tawar-menawar ... 43

Tabel 5.4 Tabel fase depresi... 44


(10)

DAFTAR SKEMA


(11)

Judul : Respon berduka pada pasiien stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan

Nama : Wita Nim : 111101093 Jurusan : S1 Keperawatan Tahun : 2015

ABSTRAK

Respon berduka adalah respon emosional individu terhadap reaksi kehilangan yang dialaminya yang terdiri dari fase denial, anger, bargaining,

depresion, dan acceptance. Stroke adalah penyakit yang dapat menimbulkan adanya kecacatan, kelemahan fungsi tubuh, atau dampak negatif lainnya sehingga menimbulkan respon berduka pada orang yang mengalaminya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui respon berduka meliputi fase denial, anger,

bargaining, depression, dan acceptance pada pasien stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan. Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif. Lokasi penelitian di ruang neurologi RSUP Haji Adam Malik Medan. Pengumpulan data dilakukan dengan pemberian kuesioner dan wawancara terstruktur yang berpedoman pada kuesioner. Jumlah sampel dalam penelitian ini berjumlah 33 responden dipilih dengan purposive sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden mengalami fase denial, fase bargaining, dan fase

acceptance. Sebagian kecil responden mengalami fase anger, dan fase depression. Direkomendasikan kepada seluruh perawat agar memahami tentang respon berduka pada pasien stroke dan dapat memberikan asuhan keperawatan yang tepat sehingga pasien stroke dapat melewati proses berduka yang normal.


(12)

Title of the Thesis : Mournful Responses of Patients Affected by Stroke at RSUP Haji Adam Malik, Medan

Name : Wita

Std. ID Number : 111101093

Faculty : Undergraduate (S1) Nursing Academic Year : 2015

ABSTRACT

A mournful response is an individual emotional response toward a reaction of loss which consists of denial, anger, bargaining, depression, and acceptance phases. Stroke is a desease which can cause physical disability, weakness of body function, and other negative impacts that can cause mournful responses of a person affected by stroke. The objective of research was to find out the mournful responses which consisted of denial, anger, bargaining, depression, and acceptance phases of patients affected by stroke at RSUP Haji Adam Malik, Medan. The research used a descriptive research design. The location of research was in the Neuorology Room at RSUP Haji Adam Malik, Medan. Data were collected by distributing questionnares and conducted structured interviews based on the questionnaires. The samples were 33 respondents, taken by using purposive sampling technique. The results of research showed that most of the respondents suffered from denial, bargaining, and acceptance phases. Some of them suffered from anger and depression phases. It is recommended that all nurses understand mournful responses of patients affected by stroke and provide appropriate cares so that they can pass the mournful processes normally.


(13)

Judul : Respon berduka pada pasiien stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan

Nama : Wita Nim : 111101093 Jurusan : S1 Keperawatan Tahun : 2015

ABSTRAK

Respon berduka adalah respon emosional individu terhadap reaksi kehilangan yang dialaminya yang terdiri dari fase denial, anger, bargaining,

depresion, dan acceptance. Stroke adalah penyakit yang dapat menimbulkan adanya kecacatan, kelemahan fungsi tubuh, atau dampak negatif lainnya sehingga menimbulkan respon berduka pada orang yang mengalaminya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui respon berduka meliputi fase denial, anger,

bargaining, depression, dan acceptance pada pasien stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan. Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif. Lokasi penelitian di ruang neurologi RSUP Haji Adam Malik Medan. Pengumpulan data dilakukan dengan pemberian kuesioner dan wawancara terstruktur yang berpedoman pada kuesioner. Jumlah sampel dalam penelitian ini berjumlah 33 responden dipilih dengan purposive sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden mengalami fase denial, fase bargaining, dan fase

acceptance. Sebagian kecil responden mengalami fase anger, dan fase depression. Direkomendasikan kepada seluruh perawat agar memahami tentang respon berduka pada pasien stroke dan dapat memberikan asuhan keperawatan yang tepat sehingga pasien stroke dapat melewati proses berduka yang normal.


(14)

Title of the Thesis : Mournful Responses of Patients Affected by Stroke at RSUP Haji Adam Malik, Medan

Name : Wita

Std. ID Number : 111101093

Faculty : Undergraduate (S1) Nursing Academic Year : 2015

ABSTRACT

A mournful response is an individual emotional response toward a reaction of loss which consists of denial, anger, bargaining, depression, and acceptance phases. Stroke is a desease which can cause physical disability, weakness of body function, and other negative impacts that can cause mournful responses of a person affected by stroke. The objective of research was to find out the mournful responses which consisted of denial, anger, bargaining, depression, and acceptance phases of patients affected by stroke at RSUP Haji Adam Malik, Medan. The research used a descriptive research design. The location of research was in the Neuorology Room at RSUP Haji Adam Malik, Medan. Data were collected by distributing questionnares and conducted structured interviews based on the questionnaires. The samples were 33 respondents, taken by using purposive sampling technique. The results of research showed that most of the respondents suffered from denial, bargaining, and acceptance phases. Some of them suffered from anger and depression phases. It is recommended that all nurses understand mournful responses of patients affected by stroke and provide appropriate cares so that they can pass the mournful processes normally.


(15)

1. Latar belakang

Penyakit tidak menular (PTM) seperti penyakit jantung, stroke, kanker, diabetes melitus, cedera dan penyakit paru obstruktif kronik serta penyakit kronik lainnya merupakan 63% penyebab kematian di seluruh dunia dengan membunuh 36 juta jiwa per tahun (WHO, 2010). Di Indonesia sendiri, penyakit tidak menular masih merupakan masalah kesehatan penting dan dalam waktu bersamaan morbiditas dan mortalitas penyakit tidak menular (PTM) semakin meningkat. Hal tersebut menjadi beban ganda dalam pelayanan kesehatan, sekaligus tantangan yang harus dihadapi dalam pembangunan bidang kesehatan di Indonesia.

Peningkatan penyakit tidak menular (PTM) berdampak negatif pada ekonomi dan produktivitas bangsa. Pengobatan penyakit tidak menular (PTM) seringkali memakan waktu lama dan memerlukan biaya besar. Beberapa jenis penyakit tidak menular (PTM) merupakan penyakit kronik atau katastropik yang dapat mengganggu ekonomi pasien dan keluarganya. Salah satu dampak penyakit tidak menular (PTM) adalah terjadinya kecacatan termasuk kecacatan permanen. Secara global, regional, dan nasional pada tahun 2030 diproyeksikan terjadi transisi epidemiologi dari penyakit menular menjadi penyakit tidak menular (Kemenkes, 2013).

Stroke merupakan salah satu penyakit tidak menular yang menyerang jaringan otak yang disebabkan berkurangnya aliran darah dan oksigen ke dalam


(16)

otak. Berkurangnya aliran darah dan oksigen ini disebabkan karena adanya sumbatan, penyempitan, atau pecahnya pembuluh darah di dalam otak tersebut (Iskandar, 2011). Data World health Organization (WHO) pada tahun 2010 menunjukkan bahwa setiap tahunnya terdapat 15 juta orang di seluruh dunia menderita stroke, diantaranya ditemukan jumlah kematian sebanyak 5 juta orang dan 5 juta orang lainnya mengalami kecacatan yang permanen. Dua pertiga dari kematian ini terjadi di negara-negara dengan sumber daya rendah.

Departemen kesehatan Republik Indonesia menyebutkan bahwa di perkotaan besar kematian akibat stroke pada kelompok usia 45-54 tahun sebesar 15,9%, sedangkan di pedesaan sebesar 11,5 % (Depkes RI, 2013). Prevalensi stroke pada umur ≥ 15 tahun menurut diagnosis dokter/gejala yang tertinggi pada tahun 2013 ialah Provinsi Sulawesi Selatan (17,9 per 1000 penduduk), kemudian disusul DI Yogyakarta (16,9 per 1000 penduduk), dan Sulawesi Tengah (16,6 per 1000 penduduk). Prevalensi terendah terdapat di Provinsi Riau (5,2 per 1000 penduduk), kemudian disusul oleh Jambi (5,3 per 1000 penduduk), dan Lampung (5,4 per 1000 penduduk). Kenaikan prevalensi tertinggi terdapat di Provinsi Sulawesi Selatan, yakni dari 7,4 per 1000 penduduk pada tahun 2007 menjadi 17,9 per 1000 penduduk pada 2013. Penurunan prevalensi terbanyak terdapat di Provinsi Kepulauan Riau, yaitu dari 14,9 per 1000 penduduk pada 2007 menjadi 8,5 per 1000 penduduk pada 2013 (Riskesdas, 2013).

Setelah melakukan penelitian di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan tepatnya di ruang neurologi pada tanggal 10 April sampai 13 Mei didapatkan


(17)

jumlah pasien stoke sekitar 36 orang untuk perkiraan 1 bulannya. Dapat kita gambarkan pasien stroke untuk setiap tahunnya kurang lebih 432 orang.

Penyakit stroke merupakan masalah kesehatan yang cukup besar sehingga memerlukan penanganan secara serius. Hal ini dikarenakan penyakit stroke dapat menimbulkan dampak negatif pada orang yang mengalaminya, yaitu dapat berdampak negatif atau buruk pada kondisi fisik dan psikologis. Stroke dapat menyebabkan kelumpuhan atau kelemahan otot, masalah bicara dan bahasa, masalah memori dan penalaran, kesulitan menelan, masalah penglihatan, penurunan kesadaran, dan berpotensi terhadap kematian (Barry, 2008).

Dari pemaparan diatas dapat dilihat bahwa penyakit stroke mempengaruhi aspek-aspek kehidupan personal, sosial, pekerjaan, fisik, psikologis, ketergantungan dengan orang lain, dan ketergantungan secara ekonomi serta gangguan afektif lainnya. Dampak yang ditimbulkan penyakit stroke menyebabkan si penderita berada dalam kondisi mental yang tidak sehat. Kondisi-konsisi tersebutlah yang mengakibatkan turunnya harga diri dan meningkatkan stress. Kondisi tersebut dirasakan sebagai bentuk kekecewaan atau krisis yang dialami oleh penderita. Tekanan-tekanan inilah yang berpeluang menimbukan masalah emosional (psikologis) yang ditunjukkan dengan terjadinya proses berduka pada pasien stroke. Namun hal ini dapat diminimalisir dengan kemampuan si penderita dalam menerima kehilangan yang dialaminya.

Penelitian Lanreville dan koleganya (2009) menunjukkan bahwa masalah yang umum terjadi pada seseorang yang mengalami stroke adalah kehilangan yang menimbulkan respon berduka. Kehilangan yang dimaksud


(18)

merupakan kehilangan fungsi tubuh akibat penyakit stroke yang menimbulkan kecacatan atau pembatasan, baik pembatasan sehari-hari maupun peran sosial yang memunculkan ansietas dan kesedihan. Penelitan lain menyebutkan bahwa pemicu munculnya rasa berduka pada penderita stroke karena ketidakmampuannya beradaptasi menerima kecacatan akibat stroke sehingga menimbulkan perasaan sedih dan tak berguna (Townend, et al., 2010).

Respon berduka yang muncul pada penderita stroke merupakan akibat lanjut dari kehilangan yang dirasakan oleh seseorang yang baru mengalami stroke. Seperti diketahui, berduka merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan. Umumnya, respon emosi yang diekspresikan terhadap kehilangan dimanifestasikan dengan perasaan sedih, gelisah, cemas, sesak nafas, susah tidur, dan lain-lain (NANDA, 2011). Kubler-Ross (1969 dalam Potter & Perry, 2005) menyatakan respon berduka berorientasi pada perilaku dan menyangkut kedalam 5 fase yaitu menyangkal (denial), marah (anger), tawar-menawar (bargaining), depresi (depression), dan penerimaan (acceptance).

Kariasa dan koleganya (2009) mengatakan respon psikologis yang beragam pada klien stroke diantaranya malu, marah, sedih. Kondisi psikologis yang juga umum dialami oleh individu dengan stroke ini dapat berupa labilitas emosional, bermusuhan, frustasi, dendam dan kurang kerjasama (Smeltzer & Bare., 2008). Schmidt dan Pearson (2001) juga mengungkapkan adanya frustasi yang persisten, marah dan depresi yang muncul pada pasien stroke. Hal ini terbentuk sebagai akibat akumulasi rasa sejahtera yang tidak tercapai dan kondisi yang tidak lagi utuh.


(19)

Penelitian Putri (2010) mengatakan masalah berduka yang ditemukan pada pasien stroke tidak sampai menimbulkan perasaan depresi pada klien. Klien hanya mengalami tahap pengingkaran dan kemarahan pada hari pertama rawat, dilanjutkan dengan tahap tawar-menawar dan langsung pada tahap penerimaan yang ditunjukkan dengan respon klien yang berbeda-beda. Anjarsari (2010) melaporkan bahwa sepertiga dari 113 penderita pasca stroke mengalami depresi atau tekanan yang sangat besar dan akan semakin memberat dan makin sering dijumpai sesudah 6 bulan sampai 2 tahun setelah serangan stroke. Penelitian Huda dan Yatinden (2013) menunjukkan dari 104 pasien stroke terdapat 10 orang (9,6%) tidak mengalami depresi.

Latar belakang diatas mendorong peneliti untuk meneliti “Respon berduka meliputi fase denial, anger, bargaining, depression, dan acceptance pada pasien strokedi RSUP Haji Adam Malik Medan”.


(20)

2. Perumusan masalah

Penyakit stroke merupakan masalah kesehatan yang cukup besar sehingga memerlukan penanganan secara serius. Hal ini dikarenakan penyakit stroke dapat menimbulkan dampak negatif pada orang yang mengalaminya, yaitu dapat berdampak negatif atau buruk pada kondisi fisik dan psikologis. Stroke dapat menyebabkan kelumpuhan atau kelemahan otot, masalah bicara dan bahasa, masalah memori dan penalaran, kesulitan menelan, masalah penglihatan, penurunan kesadaran, dan berpotensi terhadap kematian (Barry, 2008). Kondisi-kondisi yang dialami pasien stroke akan menggambarkan respon berduka meliputi fase denial, anger, bargaining, depression, dan acceptance pada pasien stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan.

3. Pertanyaan penelitian

1. Bagaimana respon berduka meliputi fase denial, anger, bargaining, depression, dan acceptance pada pasien stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan?

4. Tujuan penelitian

1. Untuk mengidentifikasi respon berduka meliputi fase denial, anger,

bargaining, depression, dan acceptance pada pasien stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan.


(21)

5. Manfaat penelitian

5.1. Bagi Pendidikan Keperawatan

Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi bahan informasi bagi pendidikan keperawatan mengenai respon berduka meliputi fase denial, anger, bargaining, depression, dan acceptance pada pasien stroke. 5.2. Bagi Praktek Keperawatan

Hasil penelitian ini akan berguna bagi perawat untuk mengetahui respon berduka pada pasien stroke sehingga dapat meningkatkan kualitas asuhan keperawatan terkait bagaimana pasien stroke dapat menjalani proses berduka dengan normal.

5.3. Bagi Pasien stroke dan Keluarga

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan informasi dan dorongan bagi pasien stroke, untuk dapat lebih mudah dalam mejalani proses berduka serta diharapkan dapat memberikan informasi bagaimana proses berduka yang dialami pasien stroke, sehingga keluarga, saudara, sahabat dan masyarakat dapat lebih memperhatikan kondisi pasien stroke.

5.4. Bagi Penelitian Keperawatan

Hasil penelitian ini berguna dalam menambah pengalaman peneliti dan dapat dijadikan sebagai sumber informasi bagi penelitian selanjutnya dalam ruang lingkup yang sama.


(22)

5.5. Bagi Institusi Rumah Sakit

Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi kepada pihak rumah sakit khususnya bidang keperawatan, sehingga perawat rumah sakit Haji Adam Malik Medan dapat mengetahui bahwa pasien stroke tidak hanya respon fisiknya saja yang terganggu tetapi juga respon psikologis yang tergambar dari respon berduka pasien stroke. Sehingga perawat khususnya perawat di ruang neurologi dapat meningkatkan kualitas asuhan keperawatan untuk dapat membantu pasien stroke dapat menjalani proses berdukanya dengan normal.


(23)

1. Kehilangan (loss) 1.1. Definisi kehilangan

Kehilangan adalah suatu keadaan individu berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan. Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh setiap individu selama rentang kehidupan, sejak lahir individu sudah mengalami kehilangan dan cenderung akan mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang berbeda (Yosep, 2011).

Kehilangan adalah situasi aktual atau potensial ketika sesuatu (orang atau objek) yang dihargai telah berubah, tidak ada lagi, atau menghilang. Seseorang dapat kehilangan citra tubuh, orang terdekat, perasaan sejahtera, pekerjaan, barang milik pribadi, keyakinan, atau sense of self baik sebagian ataupun keseluruhan. Peristiwa kehilangan dapat terjadi secara tiba-tiba atau bertahap sebagai sebuah pengalaman traumatik. Kehilangan sendiri dianggap sebagai kondisi krisis, baik krisis situasional ataupun krisis perkembangan (Mubarak & Chayatin, 2007)

Kehilangan merupakan suatu kondisi dimana seseorang mengalami suatu kekurangan atau tidak ada dari sesuatu yang dulunya pernah ada atau pernah dimiliki. Kehilangan merupakan suatu keadaan individu berpisah


(24)

dengan sesuatu yang sebelumnya ada menjadi tidak ada, baik sebagian ataupun seluruhnya.

1.2. Tipe Kehilangan

Potter dan Perry (2005) menyatakan kehilangan dapat dikelompokkan dalam 5 kategori: kehilangan objek eksternal, kehilangan lingkungan yang telah dikenal, kehilangan orang terdekat, kehilangan aspek diri, dan kehilangan hidup.

1.2.1. Kehilangan objek eksternal

Kehilangan benda eksternal mencakup segala kepemilikan yang telah menjadi usang, berpindah tempat, dicuri, atau rusak karena bencana alam. Bagi seorang anak benda tersebut mungkin berupa boneka atau selimut, bagi seorang dewasa mungkin berupa perhiasan atau suatu aksesoris pakaian. Kedalaman berduka yang dirasakan seseorang tehadap benda yang hilang tergantung pada nilai yang dimiliki orang tersebut terhadap benda yang dimilikinya, dan kegunaan dari benda tersebut. 1.2.2. Kehilangan lingkungan yang telah dikenal

Kehilangan yang berkaitan dengan perpisahan dari lingkungan yang telah di kenal mencakup meninggalkan lingkungan yang telah dikenal selama periode tertentu atau kepindahan secara permanen. Contohnya, termasuk pindah ke kota baru, mendapat pekerjaan baru, atau perawatan di rumah sakit. Kehilangan melalui perpisahan dari lingkungan yang telah di kenal dan dapat terjadi melalui situasi maturasional, misalnya ketika seorang lansia pindah ke rumah perawatan, atau situasi


(25)

situasional, contohnya kehilangan rumah akibat bencana alam atau mengalami cedera atau penyakit.

Perawatan dalam suatu institusi mengakibatkan isolasi dari kejadian rutin. Peraturan rumah sakit menimbulkan suatu lingkungan yang sering bersifat impersonal dan demoralisasi. Kesepian akibat lingkungan yang tidak dikenal dapat mengancam harga diri dan membuat berduka menjadi lebih sulit.

1.2.3. Kehilangan orang terdekat

Orang terdekat mencakup orang tua, pasangan, anak-anak, saudara sekandung, guru, pendeta, teman, tetangga, dan rekan kerja. Artis atau atlet yang telah terkenal mungkin menjadi orang terdekat bagi orang muda. Riset telah menunjukkan bahwa banyak hewan peliharaan sebagai orang terdekat. Kehilangan dapat terjadi akibat perpisahan, pindah, melarikan diri, promosi di tempat kerja, dan kematian.

1.2.4. Kehilangan aspek diri

Kehilangan aspek dalam diri dapat mencakup bagian tubuh, fungsi fisiologis, atau psikologis. Kehilangan bagian tubuh dapat mencakup anggota gerak, mata, rambut, gigi, atau payudara. Kehilangan fungsi fisiologis mencakup kehilangan kontrol kandung kemih atau usus, mobilitas, kekuatan, atau fungsi sensoris. Kehilangan fungsi psikologis termasuk kehilangan ingatan, rasa humor, harga diri, percaya diri, kekuatan, respek atau cinta. Kehilangan aspek diri ini dapat terjadi akibat penyakit, cedera, atau perubahan perkembangan atau situasi. Kehilangan


(26)

seperti ini, dapat menurunkan kesejahteraan individu. Orang tersebut tidak hanya mengalami kedukaan akibat kehilangan tetapi juga dapat mengalami perubahan permanen dalam citra tubuh dan konsep diri. 1.2.5. Kehilangan hidup

Sesorang yang menghadapi kematian menjalani hidup, merasakan, berpikir, dan merespon terhadap kejadian dan orang sekitarnya sampai terjadinya kematian. Perhatian utama sering bukan pada kematian itu sendiri tetapi mengenai nyeri dan kehilangan kontrol. Meskipun sebagian besar orang takut tentang kematian dan gelisah mengenai kematian, masalah yang sama tidak akan pentingnya bagi setiap orang.

Setiap orang berespon secara berbeda-beda terhadap kematian. orang yang telah hidup sendiri dan menderita penyakit kronis lama dapat mengalami kematian sebagai suatu perbedaan. Sebagian menganggap kematian sebagai jalan masuk ke dalam kehidupan setelah kematian yang akan mempersatukannya dengan orang yang kita cintai di surga. Sedangkan orang lain takut perpisahan, dilalaikan, kesepian, atau cedera. Ketakutan terhadap kematian sering menjadikan individu lebih bergantung.

Maslow (1954 dalam Videback, 2008) tindakan manusia dimotivasi oleh hierarki kebutuhan, yang dimulai dengan kebutuhan fisiologis, (makanan, udara, air, dan tidur), kemudian kebutuhan keselamatan (tempat yang aman untuk tinggal dan bekerja), kemudian kebutuhan keamanan dan memiliki.


(27)

Apabila kebutuhan tersebut terpenuhi, individu dimotivasi oleh kebutuhan harga diri yang menimbulkan rasa percaya diri dan adekuat. Kebutuhan yang terakhir ialah aktualisasi diri, suatu upaya untuk mencapai potensi diri secara keseluruhan. Apabila kebutuhan manusia tersebut tidak terpenuhi atau diabaikan karena suatu alasan, individu mengalami suatu kehilangan. Beberapa contoh kehilangan yang relevan dengan kebutuhan spesifik manusia yang diindentifikasi dalam hierarki Maslow antara lain:

1. Kehilangan fisiologis: kehilangan pertukaran udara yang adekuat, kehilangan fungsi pankreas yang adekuat, kehilangan suatu ekstremitas, dan gejala atau kondisi somatik lain yang menandakan kehilangan fisiologis.

2. Kehilangan keselamatan: kehilangan lingkungan yang aman, seperti kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan publik, dapat menjadi titik awal proses duka cita yang panjang misalnya, sindrom stres pasca trauma. Terungkapnya rahasia dalam hubungan profesional dapat dianggap sebagai suatu kehilangan keselamatan psikologis sekunder akibat hilangnya rasa percaya antara klien dan pemberi perawatan.

3. Kehilangan keamanan dan rasa memiliki: kehilangan terjadi ketika hubungan berubah akibat kelahiran, perkawinan, perceraian, sakit, dan kematian. Ketika makna suatu hubungan berubah, peran dalam keluarga atau kelompok dapat hilang. Kehilangan seseorang yang dicintai mempengaruhi kebutuhan untuk mencintai dan dicintai.


(28)

4. Kehilangan harga diri: kebutuhan harga diri terancam atau dianggap sebagai kehilangan setiap kali terjadi perubahan cara menghargai individu dalam pekerjaan dan perubahan hubungan. Rasa harga diri individu dapat tertantang atau dialami sebagai suatu kehilangan ketika persepsi tentang diri sendiri berubah. Kehilangan fungsi peran sehingga kehilangan persepsi dan harga diri karena keterkaitannya dengan peran tertentu, dapat terjadi bersamaan dengan kematian seseorang yang dicintai.

5. Kehilangan aktualisasi diri: Tujuan pribadi dan potensi individu dapat terancam atau hilang seketika krisis internal atau eksternal menghambat upaya pencapaian tujuan dan potensi tersebut. Perubahan tujuan atau arah akan menimbulkan periode duka cita yang pasti ketika individu berhenti berpikir kreatif untuk memperoleh arah dan gagasan baru. Contoh kehilangan yang terkait dengan aktualisasi diri mencakup gagalnya rencana menyelesaikan pendidikan, kehilangan harapan untuk menikah dan berkeluarga, atau seseorang kehilangan penglihatan atau pendengaran ketika mengejar tujuan menjadi artis atau komposer.

1.3. Faktor presdisposisi yang mempengaruhi reaksi kehilangan

Faktor predisposisi yang mempengaruhi reaksi kehilangan adalah genetik, kesehatan fisik, kesehatan jiwa, pengalaman masa lalu (Suliswati, 2005).

1.3.1. Genetik

Individu yang dilahirkan dan dibesarkan di dalam keluarga yang mempunyai riwayat depresi biasanya sulit mengembangkan sikap


(29)

optimistik dalam menghadapi suatu permasalahan, termasuk menghadapi kehilangan.

1.3.2. Kesehatan fisik

Individu dengan keadaan fisik sehat, cara hidup yang teratur, cenderung mempunyai kemampuan mengatasi stres yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang sedang mengalami gangguan fisik. 1.3.3. Kesehatan jiwa/mental

Individu yang mengalami gangguan jiwa terutama mempunyai riwayat depresi, yang ditandai dengan perasaan tidak berdaya, pesimistik, selalu dibayangi oleh masa depan yang suram, biasanya sangat peka terhadap situasi kehilangan.

1.3.4. Pengalaman kehilangan di masa lalu

Kehilangan atau perpisahan dengan orang yang bermakna di masa kanak-kanak akan mempengaruhi kemampuan individu dalam menghadapi kehilangan di masa dewasa.

1.4. Dampak kehilangan

Uliyah dan Hidayat (2011) mengatakan bahwa kehilangan pada seseorang dapat memiliki berbagai dampak, diantaranya pada masa anak-anak, kehilangan dapat mengancam kemampuan untuk berkembang, kadang- kadang akan timbul regresi serta merasa takut untuk ditinggalkan atau dibiarkan kesepian. Pada masa remaja atau dewasa muda, kehilangan dapat terjadi disintegrasi dalam keluarga, dan pada masa dewasa tua, kehilangan


(30)

khususnya kematian pasangan hidup dapat menjadi pukulan yang sangat berat dan menghilangkan semangat hidup orang yang ditinggalkan.

2. Berduka (grief) 2.1. Definisi berduka

Berduka merupakan reaksi terhadap kehilangan yang merupakan respon emosional yang normal (Suliswati, 2005). Definisi lain menyebutkan bahwa berduka, dalam hal ini dukacita adalah proses kompleks yang normal yang mencakup respon dan perilaku emosi, fisik, spiritual, sosial, dan intelektual ketika individu, keluarga, dan komunitas menghadapi kehilangan aktual, kehilangan yang diantisipasi, atau persepsi kehilangan ke dalam kehidupan pasien sehari-hari (NANDA, 2011).

Dari berbagai definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa berduka merupakan suatu reaksi psikologis sebagai respon kehilangan sesuatu yang dimiliki yang berpengaruh terhadap perilaku emosi, fisik, spiritual, sosial, maupun intelektual seseorang. Berduka sendiri merupakan respon yang normal yang dihadapi setiap orang dalam menghadapi kehilangan yang dirasakan.

2.2. Faktor penyebab berduka

Banyak situasi yang dapat menimbulkan kehilangan dan dapat menimbulkan respon berduka pada diri seseorang (Carpenito, 2006). Situasi yang paling sering ditemui adalah sebagai berikut:


(31)

2.2.1. Patofisiologis

Berhubungan dengan kehilangan fungsi atau kemandirian yang bersifat sekunder akibat kehilangan fungsi neurologis, kardiovaskuler, sensori, muskuloskeletal, digestif, pernapasan, ginjal dan trauma.

2.2.2. Terkait pengobatan

Berhubungan dengan peristiwa kehilangan akibat dialisis dalam jangka waktu yang lama dan prosedur pembedahan (mastektomi, kolostomi, histerektomi).

2.2.3. Situasional (Personal, Lingkungan)

Berhubungan dengan efek negatif serta peristiwa kehilangan sekunder akibat nyeri kronis, penyakit terminal, dan kematian; berhubungan dengan kehilangan gaya hidup akibat melahirkan, perkawinan, perpisahan, anak meninggalkan rumah, dan perceraian; dan berhubungan dengan kehilangan normalitas sekunder akibat keadaan cacat, bekas luka, dan penyakit.

2.2.4. Maturasional

Berhubungan dengan perubahan akibat penuaan seperti teman-teman, pekerjaan, fungsi, dan rumah dan berhubungan dengan kehilangan harapan dan impian. Rasa berduka yang muncul pada setiap individu dipengaruhi oleh bagaimana cara individu merespon terhadap terjadinya peristiwa kehilangan. Miller (1999 dalam Carpenito, 2006) menyatakan bahwa dalam menghadapi kehilangan individu dipengaruhi oleh dukungan sosial (Support System), keyakinan religius yang kuat,


(32)

kesehatan mental yang baik, dan banyaknya sumber yang tersedia terkait disfungsi fisik atau psikososial yang dialami.

2.3. Tanda dan gejala berduka

Terdapat beberapa sumber yang menjelaskan mengenai tanda dan gejala yang sering terlihat pada individu yang sedang berduka. Buglass (2010) menyatakan bahwa tanda dan gejala berduka melibatkan empat jenis reaksi, meliputi:

2.3.1. Reaksi perasaan, misalnya kesedihan, kemarahan, rasa bersalah, kecemasan, menyalahkan diri sendiri, ketidakberdayaan, mati rasa, kerinduan.

2.3.2. Reaksi fisik, misalnya sesak, mual, hipersensitivitas terhadap suara dan cahaya, mulut kering, kelemahan.

2.3.3. Reaksi kognisi, misalnya ketidakpercayaan, kebingungan, mudah lupa, tidak sabar, ketidakmampuan untuk berkonsentrasi, ketidaktegasan.

2.3.4. Reaksi perilaku, misalnya, gangguan tidur, penurunan nafsu makan, penarikan sosial, mimpi buruk, hiperaktif, menangis.

Tanda dan gejala berduka juga dikemukan oleh Videbeck (2008), yang mencakup ke dalam lima respon, yaitu respon kognitif, emosional, spiritual, perilaku, dan fisiologis yang akan dijelaskan dalam tabel dibawah ini:


(33)

Tabel 2.1 Tanda dan Gejala Berduka Berdasarkan Respon yang Muncul

Respon Berduka Tanda dan Gejala

Respon Kognitif - Gangguan asumsi dan keyakinan;

- Mempertanyakan dan berupaya menemukan makna kehilangan;

- Berupaya mempertahankan keberadaan orang yang meninggal atau sesuatu yang hilang; - Percaya pada kehidupan akhirat dan seolah-olah

orang yang meninggal adalah pembimbing. Respon Emosional - Marah, sedih, cemas;

- Kebencian;

- Merasa bersalah dan kesepian; - Perasaan mati rasa;

- Emosi tidak stabil;

- Keinginan kuat untuk mengembalikan ikatan dengan individu atau benda yang hilang; - Depresi, apatis, putus asa selama fase

disorganisasi dan keputusasaan. Respon Spiritual - Kecewa dan marah pada Tuhan;

- Penderitaan karena ditinggalkan atau merasa ditinggalkan atau kehilangan;


(34)

Respon Perilaku - Menangis terisak atau tidak terkontrol; - Gelisah;

- Iritabilitas atau perilaku bermusuhan;

- Mencari atau menghindar tempat dan aktivitas yang dilakukan bersama orang yang telah meninggal;

- Kemungkinan menyalahgunakan obat atau alkohol;

- Kemungkinan melakukan upaya bunuh diri atau pembunuhan.

Respon Fisiologis - Sakit kepala, insomnia; - Gangguan nafsu makan; - Tidak bertenaga;

- Gangguan pencernaan;

- Perubahan sistem imun dan endokrin. Sumber: Videbeck, 2008

2.4. Akibat berduka

Setiap orang merespon peristiwa kehilangan dengan cara yang sangat berbeda. Tanpa melihat tingkat keparahannya, tidak ada respon yang bisa dikatakan maladaptif pada saat menghadapi peristiwa kehilangan akut. Apabila proses berduka yang dialami individu bersifat maladaptif, maka akan menimbulkan respon detrimental (cenderung merusak) yang berkelanjutan dan


(35)

berlangsung lama (Carpenito, 2006). Proses berduka yang maladaptif tersebut akan menyebabkan berbagai masalah sebagai akibat munculnya emosi negatif dalam diri individu. Dampak yang muncul diantaranya perasaan ketidakberdayaan, harga diri rendah, hingga isolasi sosial.

2.5. Respon berduka

Terdapat beberapa teori mengenai respon berduka terhadap kehilangan. Teori yang dikemukan Kubler-Ross (1969 dalam Hidayat, 2009) mengenai tahapan berduka akibat kehilangan berorientasi pada perilaku dan menyangkut lima tahap, yaitu sebagai berikut:

2.5.1. Fase penyangkalan (Denial)

Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok, tidak percaya, atau mengingkari kenyataan bahwa kehilangan benar-benar terjadi. Sebagai contoh, orang atau keluarga dari orang yang menerima diagnosis terminal akan terus berupaya mencari informasi tambahan.

Reaksi fisik yang terjadi pada tahap ini adalah letih, lemah, pucat, mual, diare, gangguan pernapasan, detak jantung cepat, menangis, gelisah, dan sering kali individu tidak tahu harus berbuat apa. Reaksi ini dapat berlangsung beberapa menit hingga beberapa tahun.

2.5.2. Fase marah (Anger)

Pada fase ini individu menolak kehilangan. Kemarahan yang timbul sering diproyeksikan kepada orang lain atau dirinya sendiri. Orang yang mengalami kehilangan juga tidak jarang menunjukkan perilaku


(36)

agresif, berbicara kasar, menyerang orang lain, menolak pengobatan, bahkan menuduh dokter atau perawat tidak kompeten. Respon fisik yang sering terjadi, antara lain muka merah, deyut nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan menggepal, dan seterusnya.

2.5.3. Fase tawar menawar (Bargaining)

Pada fase ini terjadi penundaan kesadaran atas kenyataan terjadinya kehilangan dan dapat mencoba untuk membuat kesepakatan secara halus atau terang-terangan seolah kehilangan tersebut dapat dicegah. Individu mungkin berupaya untuk melakukan tawar-menawar dengan memohon kemurahan Tuhan.

2.5.4. Fase depresi (Depression)

Pada fase ini pasien sering menunjukkan sikap menarik diri, kadang-kadang bersikap sangat penurut, tidak mau berbicara menyatakan keputusasaan, rasa tidak berharga, bahkan bisa muncul keinginan bunuh diri. Gejala fisik yang ditunjukkan, antara lain, menolak makan, susah tidur, letih, turunnya dorongan libido, dan lain-lain.

2.5.5. Fase penerimaan (Acceptance)

Pada fase ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan, pikiran yang selalu berpusat pada objek yang hilang mulai berkurang atau hilang. Individu telah menerima kenyataan kehilangan yang dialaminya dan mulai memandang kedepan. Gambaran tentang objek yang hilang akan mulai dilepaskan secara bertahap. Perhatiannya akan beralih pada


(37)

objek yang baru. Apabila individu dapat memulai tahap tersebut dan menerima dengan perasaan damai, maka dia dapat mengakhiri proses berduka serta dapat mengatasi perasaan kehilangan secara tuntas. Kegagalan untuk masuk ke tahap penerimaan akan mempengaruhi kemampuan individu tersebut dalam mengatasi perasaan kehilangan selanjutnya.

Bowlby (1980 dalam Videbeck, 2008) mendeskripsikan proses berduka akibat suatu kehilangan yang terdiri dari 4 fase yaitu, fase pertama mati rasa dan penyangkalan terhadap kehilangan, fase kedua kerinduan emosional akibat kehilangan orang yang dicintai dan memprotes kehilangan yang tetap ada, fase ketiga kekacauan kognitif dan keputusasaan emosional, mendapatkan dirinya sulit melakukan fungsi dalam kehidupan sehari-hari dan fase keempat reorganisasi dan reintegrasi kesadaran diri sehingga dapat mengembalikan hidupnya.

John Harvey (1998 dalam Videbeck, 2008) mendeskripsikan fase berduka yaitu, fase pertama syok, menangis dengan keras, dan menyangkal, fase kedua intrusi pikiran, distraksi, dan meninjau kembali kehilangan secara obsesif dan fase ketiga menceritakan kepada orang lain sebagai cara meluapkan emosi dan secara kognitif menyusun kembali peristiwa kehilangan.

Rodebaugh (1999 dalam Videbeck, 2008) memandang proses berduka sebagai suatu proses melalui empat tahap yaitu pertama terguncang (Reeling) klien mengalami syok, tidak percaya, atau menyangkal, kedua merasa (feeling) klien mengekspresikan penderitaan yang berat, rasa bersalah, kesedihan yang mendalam, kemarahan, kurang konsentrasi, gangguan tidur, perubahan nafsu


(38)

makan, kelelahan, ketidaknyamanan fisik yang umum, ketiga menghadapi (dealing) klien mulai beradaptasi terhadap kehilangan dengan melibatkan diri dalam kelompok pendukung, terapi dukacita, membaca, dan bimbingan spiritual, keempat pemulihan (healing), klien mengintegrasikan kehilangan sebagai bagian kehidupan dan penderitaan yang akut berkurang. Pemulihan tidak berarti bahwa kehilangan tersebut dilupakan atau diterima.

3. Respon psikologis pasien stroke

Shimberg (1998) menyatakan bahwa penyakit stroke dapat mempengaruhi psikologis pasien stroke, ada beberapa masalah psikologis yang dirasakan oleh pasien stroke yaitu :

3.1. Kemarahan

Kebanyakan pasien stroke, mengekspresikan amarahnya adalah hal yang sulit bahkan seringkali merasa tidak mau patuh, melawan perawat, dokter dan ahli terapinya. Pasien juga bisa memaki-maki dengan kata-kata yang menyakitkan dan memukul secara fisik. Pasien juga sering memiliki amarah yang meledak-ledak.

3.2. Isolasi

Pasien kelumpuhan akibat stroke dapat mengakibatkan individu melakukan penarikan diri terhadap lingkungan, karena perasaan pasien sering terluka karena sering tidak diperdulikan oleh orang lain. Sering sekali teman-teman pasien meninggalkan pasien sendirian karena tidak mengetahui bagaimana harus bereaksi dengan pasien kelumpuhan tersebut.


(39)

Pasien stroke memiliki reaksi-reaksi emosional yang membingungkan. Kelabilan emosi merupakan gejala yang aneh, terkadang pasien stroke tertawa atau menangis tanpa alasan yang jelas. Kecemasan yang berlebihan sebahagian pasien mungkin memperlihatkan rasa ketakutannya ketika keluar rumah, keadaan ini dinamakan agorafobia. Hal ini terjadi karena pasien merasa malu ketika bertemu dengan orang lain, sekalipun dengan teman lamanya. Perasaan malu ini mungkin timbul akibat adanya gangguan pada kemampuan bicara dan kelumpuhannya.

3.4. Depresi

Depresi adalah perasaan marah yang berlangsung di dalam batin, beberapa depresi tidak hanya bersifat reaktif, tetapi pasien kelumpuhan akibat stroke akan bereaksi terhadap semua kehilangannya dan merasa putus asa. Gangguan depresi merupakan gangguan emosi yang paling sering dikaitkan dengan stroke. Berbagai reaksi yang dapat terjadi pada pasien kelumpuhan akibat stroke dapat mengakibatkan masalah psikologis bagi pasien. Peneliti memasukkan teori ini mengingat bahwa masalah psikologis yang dialami oleh pasien kelumpuhan akibat stroke dapat menyebabkan individu mengalami kehilangan sehingga dapat menimbulkan stres.


(40)

1. Kerangka konsep

Kerangka konsep penelitian ini menggunakan teori secara sistematis dimana fokus penelitian ini adalah respon berduka pada pasien stroke yang terdiri dari lima fase, yaitu fase denial, anger, bargaining, depression, dan acceptance

(Hidayat, 2009). Stroke dapat menyebabkan kelumpuhan atau kelemahan otot, masalah bicara dan bahasa, masalah memori dan penalaran, kesulitan menelan, masalah penglihatan, penurunan kesadaran, dan berpotensi terhadap kematian (Barry, 2008). Kondisi-kondisi inilah yang berpeluang menimbukan masalah emosional (psikologis) yang ditunjukkan dengan terjadinya proses berduka pada pasien stroke. Dari uraian tersebut, kerangka konsep penelitian ini disusun untuk mengidentifikasi respon berduka meliputi fase denial, anger, bargaining, depression, dan acceptance pada pasien stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan. Untuk itu dibuatlah kerangka konsep penelitian sebagai berikut :

Skema 3.1

Kerangka konseptual respon berduka pada pasien stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan

Respon berduka:

1. Fase penyangkalan (denial) 2. Fase marah (anger)

3. Fase tawar-menawar (bargaining)

4. Fase depresi (depression) 5. Fase penerimaan (acceptance) Pasien


(41)

2. Definisi operasional

Tabel 3.1 Definisi operasional variable penelitian

No Variabel Definisi Parameter Alat Ukur

1 Respon berduka Respon emosional normal individu dalam merespon peristiwa kehilangan yang terjadi, yang terdiri dari :

a. Menyangkal (Denial)

b. Marah (Anger)

c. Tawar-menawar (Bargaining)

d. Depresi (Depression)

e. Penerimaan (Acceptance)

Kuesioner terdiri dari 25 pernyataan dengan

menggunakan Skala Likert yang terdiri dari

pernyataan positif dan pernyataan negatif. Untuk pernyataan positif memiliki pilihan jawaban yaitu: 1 = Tidak pernah 2 = Kadang-kadang 3 = Sering 4 = Selalu

Untuk pernyataan negatif memiliki pilihan jawaban yaitu:

1 = Selalu 2 = Sering 3 = Kadang-kadang


(42)

1. Desain penelitian

Desain penelitian merupakan rencana penelitian yang disusun sedemikian rupa sehingga peneliti dapat memperoleh jawaban terhadap pernyataan penelitian (Setiadi, 2007). Desain penelitian yang dilakukan peneliti adalah deskriptif yaitu untuk mengidentifikasi respon berduka meliputi fase denial, anger, bargaining, depression, dan acceptance pada pasien strokedi RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2015.

2. Populasi, sampel dan teknik sampling 2.1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian, yang meliputi semua elemen yang ada dalam wilayah penelitian (Arikunto, 2010). Berdasarkan hasil temuan yang sudah peneliti lakukan pada saat melakukan penelitian tanggal 10-13 Mei 2015 di ruang neurologi RSUP Haji Adam Malik Medan diperoleh jumlah pasien stroke yaitu 36 orang. 2.2. Sampel

Sampel penelitian ini adalah sebagian atau wakil dari populasi yang diteliti dan dianggap mewakili populasi (Arikunto, 2006). Sampel dalam penelitian ini merupakan pasien stroke ada di Ruang Stroke Corner dan Ruang Rindu A-4 RSUP Haji Adam Malik Medan. Menurut


(43)

Nursalam (2009) maka penentuan jumlah sampel menggunakan rumus sebagai berikut:

dimana:

n= jumlah sampel N= jumlah populasi

d= tingkat signifikasi (0,05)

Sehingga didapat jumlah sampel untuk penelitian ini ialah 33 pasien stroke

2.3. Teknik sampel

Metode pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan metode Non Probability Sampling (Pengambilan sampel bukan secara acak atau Non Random) dengan teknik Purposive Sampling yaitu suatu teknik pengambilan sampel yang didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Notoatmodjo, 2010). Adapun kriteria sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pasien stroke dengan tingkat kesadaran penuh. 2. Pasien stroke yang mengalami keterbatasan gerak. 3. Pasien stroke yang memiliki orientasi yang baik.


(44)

3. Lokasi dan waktu penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di RSUP Haji Adam Malik Medan. Alasan peneliti memilih rumah sakit ini sebagai lokasi penelitian, karena rumah sakit ini adalah rumah sakit pendidikan bagi mahasiswa keperawatan Universitas Sumatera Utara dan menjadi rumah sakit rujukan tertinggi diantara rumah sakit umum di Sumatera Utara. Penelitian dilakukan pada tanggal 10 April sampai dengan 13 Mei 2015.

4. Pertimbangan etik

Penelitian ini dilaksanakan setelah keluarnya keterangan kelayakan etik (ethical clearance) dari komisi etik penelitian Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan keluarnya surat izin penelitian dari RSUP Haji Adam Malik Medan. Dalam melaksanakan penelitian, peneliti harus memegang teguh sikap ilmiah dan menggunakan prinsip etika penelitian keperawatan. Etika penelitian ini mencakup perilaku atau perlakuan peneliti terhadap subjek penelitian serta sesuatu yang dihasilkan oleh peneliti bagi masyarakat (Notoadmodjo, 2010). Etika penelitian yang diterapkan pada penelitian ini adalah prinsip manfaat (beneficence), menghargai martabat manusia (respect for human dignity), dan mendapatkan prinsip keadilan (right to justice) (Polit & Beck, 2003).

4.1. Prinsip manfaat (principle of beneficence) a. Bebas dari bahaya (freedom from harm)

Penelitian ini dilaksanakan tanpa mengakibatkan bahaya kepada responden baik fisik maupun psikis. Dalam penelitian ini


(45)

responden diberikan kuesioner dan diminta untuk mengisinya. Waktu yang diperlukan untuk mengisi adalah 10-20 menit. Pengisian kuesioner dilakukan saat responden tidak sedang dilakukan intervensi medis maupun keperawatan. Pada saat mengisi kuesioner, responden diberi kesempatan istirahat sesuai kebutuhan bila responden kelelahan. Setelah selesai mengisi kuesioner, peneliti memberikan kesempatan kepada responden untuk bertanya tentang segala yang terkait dengan penelitian ini. Beberapa responden yang tidak bersedia mengisi sendiri karena kondisi fisik atau kelelahan, maka proses pengisian kuesioner dibantu peneliti untuk membacakan dan menuliskan jawaban dalam kuesioner.

b. Bebas dari eksploitasi (freedom from exploitation)

Partisipasi responden dalam penelitian dihindarkan dari keadaan yang tidak menguntungkan. Responden diberi penjelasan bahwa partisipasi mereka tidak dipergunakan untuk hal-hal yang dapat merugikan responden dalam hal apapun dan data yang diberikan responden hanya digunakan untuk keperluan penelitian saja.

c. Rasio risiko/ keuntungan (risk/ benefit ratio)

Peneliti mempertimbangkan risiko yang terjadi dan keuntungan yang diperoleh responden. Dalam penelitian ini tidak ada risiko fatal karena responden tidak diberikan perlakuan atau


(46)

tindakan tertentu. Peneliti memberikan informasi kepada responden bahwa responden tidak mendapat keuntungan secara langsung dari penelitian, namun kemungkinan responden dapat lebih mengetahui pentingnya cara melewati respon berduka yang normal.

4.2. Prinsip menghargai martabat manusia (principle of respect for human dignity)

a. Hak untuk terlibat atau tidak terlibat dalam penelitian (right to self determination)

Responden diperlakukan secara manusiawi. Sebelumnya responden telah mendapat penjelasan tentang penelitian. Responden mempunyai hak menentukan kesedian mereka sebagai responden tanpa paksaan, sanksi apapun, atau berdampak bagi proses pengobatan dan perawatannya. Responden tetap mendapatkan pelayanan baik medis maupun keperawatan seperti biasanya sesuai prosedur.

b. Hak untuk mendapatkan jaminan dari pelakuan yang diberikan (right to full disclosure)

Peneliti memberikan penjelasan mengenai penelitian dan tanggung jawab peneliti jika terjadi sesuatu pada responden akibat proses pengisian kuesioner. Sebelum penelitian dilakukan, responden mendapatkan penjelasan meliputi tujuan, manfaat, prosedur, ketidaknyamanan yang mungkin terjadi dan dijelaskan bahwa penelitian ini tidak ada risiko apapun yang terjadi pada


(47)

responden. Kesediaan responden telah dibuktikan dengan menandatangani informed consent.

4.3. Prinsip keadilan (principle of justice)

a. Hak untuk mendapatkan perlakuan yang adil (right to fair treatment)

Responden berhak mendapat perlakuan yang adil baik sebelum, selama, dan setelah berpartisipasi dalam penelitian tanpa ada diskriminasi. Setiap pasien stroke yang di rawat di ruang neurologi yang memenuhi kriteria inklusi mendapatkan kessempatan yang sama menjadi responden tanpa melihat latar belakang sosial, budaya, suku, ataupun agama.

b. Hak untuk dijaga kerahasiaanya (right to privacy)

Responden mempunyai hak untuk meminta bahwa data yang diberikan harus dirahasiakan, untuk itu kuesioner dibuat dengan nama inisial pasien (anonymity) dan bersifat rahasia (confidentiality). Semua data yang dikumpulkan selama penelitian disimpan dan dijaga kerahasiaannya dan hanya dipergunakan untuk keperluan penelitian saja. Kuesioner yang telah diisi disimpan oleh peneliti dan tidak diberikan kepada pihak rumah sakit.


(48)

5. Instrumen penelitian

Kuesioner atau angket adalah kumpulan pernyataan yang diajukan secara tertulis kepada seseorang (yang dalam hal ini disebut responden), dan cara menjawab juga dilakukan dengan tertulis (Arikunto, 2009). Dalam kuesioner ini terdiri dari dua bagian dan dibuat dalam bentuk kuesioner, yaitu:

5.1. Kuesioner Data Demografi

Kuesioner ini terdiri atas inisial responden, usia, jenis kelamin, status perkawinan, tingkat pendidikan, pekerjaan, lama menderita stroke, dan penyakit lain selain stroke. Responden diminta untuk memberi tanda check list (√) pada pilihan jawan yang sesuai

dengan responden.

5.2. Kuesioner respon berduka

Kuesioner ini digunakan untuk mengkaji respon berduka meliputi fase penyangkalan (denial), fase marah (anger), fase tawar-menawar (bargaining), fase depresi (depression), fase penerimaan (acceptance) pada pasien stroke. Kuesioner terdiri dari pernyataan positif dan negatif dimana terdiri dari 25 pernyataan dengan 5 respon berduka, yaitu; fase penyangkalan 1-3 pernyataan, fase marah 4-9 pernyataan, fase tawar-menawar 10-13 pernyataan, fase depresi 14-19 pernyataan, fase penerimaan 20-25 pernyataan.


(49)

6. Validitas dan reliabilitas 6.1. Validitas

Validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan alat ukur itu benar-benar mengukur apa yang diukur (Notadmodjo, 2010). Sebuah instrumen dikatakan valid apabila dapat mengungkapkan data dari variabel yang diteliti secara tepat. Instrumen dalam penelitian ini berbentuk kuesioner yang disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan tinjauan pustaka, oleh karena itu perlu dilakukan uji validitas. Pada penelitian ini menggunakan validitas isi, dimana validitas dikonsultasikan kepada seseorang dosen yang memiliki keahlian atau kompetensi yang sesuai dengan topik penelitian ini (Setiadi, 2007). Uji validitas kuesioner penelitian juga akan dilakukan dengan validitas konstrak (construct validity) setelah validitas isi yaitu dengan menguji cobakan kuesioner kepada 30 responden yang berada diluar sampel, namun memiliki karakteristik yang diasumsikan sama dengan kelompok sampel. Uji validitas konstruk dilakukan dengan menggunakan rumus korelasi

Product Moment pada taraf signifikansi 0,05 (Setiadi, 2007). Kemudian dilakukan analisa terhadap setiap item pernyataan dalam instrumen (kuesioner). Kuesioner dikatakan valid jika r hitung lebih besar atau sama dengan rho table pada taraf signifikan yang telah ditentukan yaitu 0,346. Pernyataan yang tidak valid dibuang dan pernyataan valid selanjutnya akan diuji reliabilitasnya. Hasil uji validitas isi setelah dilakukan refisi dalam penelitian ini yaitu 1. Setelah itu dilakukan validitas konstruk


(50)

terhadap 35 item pernyataan dan didapatkan 25 item pernyataan yang valid dan 10 item pernyataan yang tidak valid. Sehingga item yang tidak valid di drop atau dibuang. Item yang valid yaitu (item 3, 4, 6, 8, 9, 10, 11, 12, 14, 16, 17, 19, 21, 22, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 33, 34, 35). Item yang tidak valid yaitu ( item 1, 2, 5, 7, 13, 15, 18, 20, 23, 32). 6.2. Reliabilitas

Uji reliabilitas Instrumen adalah uji yang dilakukan untuk mengetahui konsistensi dari instrumen sehingga dapat digunakan peneliti selanjutnya dalam ruang lingkup yang sama. Reliabilitas indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Hal ini menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran itu tetap konsisten dan bila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama, dengan menggunakan alat ukur yang sama (Notoadmodjo, 2010). Uji reliabilitas penelitian ini dilakukan terhadap 30 responden. Hasil uji validitas konstruk selanjutnya dilakukan uji reliabilitas dengan menggunakan analisa SPSS Cronbach Alpha dan didapatkan hasil 0,931. Berdasarakan Polit & Hungler (1995) yang menyatakan bahwa suatu instrumen dikatakan reliabel apabila hasil uji lebih besar dari 0,70. Dapat disimpulkan bahwa kuesioner respon berduka meliputi fase denial, anger, bargaining, depression, acceptance


(51)

7. Pengumpulan data

Dalam pengumpulan data penelitian, peneliti mengikuti prosedur penelitian yang berlaku di tempat penelitian, baik prosedur administrasi maupun prosedur dalam pelaksanaan penelitian.

7.1. Prosedur administrasi

a. Mengajukan permohonan izin untuk melaksanakan penelitian kepada Direktur Utama RSUP Haji Adam Malik Medan.

b. Setelah izin melakukan penelitian keluar peneliti melakukan pendekatan formal dan informal kepada penanggung jawab ruangan rawat inap ruang neurologi RSUP Haji Adam Malik Medan.

7.2. Pengumpulan data pasien stroke.

Pengumpulan data pada pasein stroke dilakukan oleh peneliti dengan melihat status pasien. Status pasien digunakan untuk melihat data demografi usia, jenis kelamin, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, penyakit lain selain stroke. Setelah itu, peneliti langusng mendatangi responden, kemudian menjelaskan maksud dan tujuan peneliti. Peneliti menjelaskan proses penelitian dan pengumpulan data yang dilakukan dan memberikan informed consent untuk ditanda tangani oleh responden sebagai sample penelitian. Selanjutnya pasien yang bersedia menjadi responden dalam penelitian langsung diberikan kuesioner untuk diisi,. Responden yang tidak dapat mengisi kuesioner dibantu peneliti dalam mengisi kuesioner dengan wawancara yang


(52)

berpedoman pada kuesioner. Peneliti melakukan hal yang sama kepada responden lain. Setelah data terkumpul peneliti melakukan analisa data univariat.

8. Analisa data

Setelah data terkumpul, peneliti melakukan pengolahan data untuk mengetahui respon berduka responden, kemudian melakukan analisa data melalui beberapa tahap antara lain: (1) Editing, yaitu dilakukan untuk memeriksa ketetapan dan kelengkapan data yang telah diisi oleh responden dengan maksud untuk memeriksa apakah kuesioner yang telah diiisi oleh respon den sesuai dengan petunjuk, apabila data belum lengkap taupun ada kesalahan data dilengkapi dengan mewawancarai responden. (2) Coding, yaitu data yang telah terkumpul dan dikoreksi ketetapan dan kelengkapannya kemudian diberi kode oleh peneliti secara manual sebelum diolah dengan komputer. (3) Entri, data yang telah dibersihkan kemudian dimasukkan kedalam program komputer. (4) Cleaning Data, yaitu pemeriksaan semua data yang telah dimasukkan ke dalam program komputer guna menghindari terjadinya kesalahan dalam pemasukkan data. (5) Saving, data yang telah diperiksa dilakukan penyimpanan data untuk siap dianalisa, (6) Analisis Data, data yang telah terkumpul dianalisis kembali untuk menghindari terjadinya kesalahan data.

Untuk mengidentifikasi gambaran respon berduka pada pasien stroke dilakukan analisa data dengan menggunakan metode statistik univariat, yaitu analisa yang bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik


(53)

setiap variable penelitian (Notoadmodjo, 2010). Kemudian data yang dianalisa ditabulasikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.


(54)

Dalam bab ini diuraikan tentang hasil penelitian dan pembahasan mengenai respon berduka pada pasien stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan. Penyajian data dalam hal ini meliputi deskripsi karakteristik responden dan deskripsi respon berduka yang terdiri dari fase penyangkalan (denial), fase marah (anger), fase tawar-menawar (bargainning), fase depresi (depresion), dan fase penerimaan (acceptance) pada pasien stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan. Pengumpulan data dilakukan pada 33 responden dan dilaksanakan pada tanggal 10 April sampai 13 Mei 2015.

1. Hasil penelitian

1.1. Distribusi frekuensi dan persentase fase penyangkalan (denial) pada pasien stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 54,5% atau n=18 responden menyatakan selalu menangis melihat tubuh yang tidak bisa digerakkan, 66,7% atau n=22 responden menyatakan selalu tidak tau mau berbuat apa dengan kondisi ini, 60,6% atau n=20 responden tidak pernah menyatakan tidak percaya kenapa Tuhan memberikan cobaan seperti ini.


(55)

Tabel 5.1 Distribusi frekuensi dan persentase fase penyangkalan (denial) pada pasien stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan (n=33)

Pernyataan Selalu Sering Kadang- Tidak kadang pernah n (%) n(%) n(%) n(%)

1. Saya selalu menangis 18 1 1 13 melihat tubuh saya 54,5 3,0 3,0 39,4 tidak bisa digerakkan.

2. Saya tidak tau mau 22 1 0 10 berbuat apa dengan 66,7 3,0 0,0 30,3 kondisi ini.

3. Saya tidak percaya 9 2 2 20 kenapa Tuhan memberikan 27,3 6,1 6,1 60,6 cobaan seperti ini.

1.2. Distrribusi frekuensi dan persentase fase marah (anger) pada pasien stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 72,7% atau n=24 responden menyatakan tidak pernah menyalahkan orang lain akibat penyakit yang dialami, 51,5% atau n=17 responden menyatakan tidak pernah benci dengan perubahan bentuk tubuh yang dialami, 39,4% atau n=13 responden menyatakan tidak pernah marah karena sulit melakukan kegiatan, 48,5% atau n=16 responden menyatakan tidak pernah merasa tidak bahagia seperti dulu, 78,8% atau n=26 responden menyatakan tidak pernah marah kepada dokter karena tidak bisa menyembuhkan penyakit yang dialami, 81,8% atau n=27 responden menyatakan tidak pernah menyalahkan Tuhan atas apa yang terjadi.


(56)

Tabel 5.2 Distribusi frekuensi dan persentase fase marah (anger) pada pasien stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan (n=33)

Pernyataan Selalu Sering Kadang- Tidak

kadang pernah n(%) n(%) n(%) n(%)

1. Saya menyalahkan orang 5 3 1 24 lain akkibat penyakit saya. 15,2 9,1 3.0 72,7 2. Saya benci dengan 6 5 5 17 perubahan bentuk tubuh saya. 18,2 15,2 15,2 51,5 3. Saya marah karena sulit 9 6 5 13 Melakukan kegiatan. 27,3 18,2 15,2 39,4 4. Saya merasa tidak bahagia 8 5 4 16 seperti dulu. 24,2 15,2 . 12,1 48,5 5. Saya marah kepada dokter 3 3 1 26 Karena tidak bisa 9,1 9,1 3,0 78,8 Menyembuhkan penyakit saya.

6. Saya menyalahkan Tuhan atas 2 2 2 27 apa yang terjadi kepada saya. 6,1 6,1 6,1 81,8 1.3. Distribusi frekuensi dan persentase fase tawar-menawar (Bargaining)

pada pasien stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 66,7% atau n=22 responden selalu menyatakan bahwa kalau saja saya bisa menjaga kesehatannya sejak dulu, tentu kondisi saya tidak akan seperti ini, 72,7% atau n=24 responden selalu menyatakan bahwa seandainya saya sembuh saya akan menjaga kesehatan saya, 48,5% atau n=16 responden tidak pernah menyatakan bahwa kalau saya berhati-hati tentu saya tidak akan jadi begini, atau 78,8% n=26


(57)

responden selalu menyatakan bahwa kalau saya rajin berdoa saya yakin penyakit saya akan disembuhkan.

Tabel 5.3 Distribusi frekuensi dan persentase fase tawar-menawar (bargaining) pada pasien stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan (n=33)

Pernyataan Selalu Sering Kadang- Tidak kadang pernah n(%) n(%) n(%) n(%)

1. Kalau saja saya bisa 22 1 1 9 menjaga kesehatan saya 66,7 3,0 3,0 27,3 sejak dulu, tentu kondisi

saya tidak akan seperti ini.

2. Seandainya saya sembuh 24 0 2 7 saya akan menjaga 72,7 0,0 6,1 21,2 kesehatan saya.

3. Kalau saya berhati-hati 15 0 2 16 tentu saya tidak akan 45,5 0,0 6,1 48,5 jadi begini.

4. Kalau saya rajin berdoa 26 0 1 6 saya yakin penyakit saya 78,8 0,0 3,0 18,2 akan disembuhkan.

1.4. Distribusi frekuensi dan persentase fase depresi (depression) pada pasien stroke di RSUP Haji Adam Malik.

Hasil Penelitian menunjukkan bahwa 75,8% atau n=25 responden menyatakan tidak pernah merasa putus asa dengan penyakit yang dialami, 81,8% atau n=27 responden menyatakan tidak pernah merasa bahwa segala yang dilakukan adalah sia-sia, 81,8% atau n=27 responden menyatakan tidak


(58)

responden menyatakan tidak pernah berfikir bahwa hidup adalah kegagalan, 72,7% atau n=24 responden menyatakan tidak pernah merasa tertekan karena penyakit yang dialami, 87,9% atau n=29 responden menyatakan tidak pernah merasa tidak berguna.

Tabel 5.4 Distribusi dan frekuensi fase depresi (depression) pada pasien stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan (n=33)

Pernyataan Selalu Sering Kadang- Tidak kadang pernah n(%) n(%) n(%) n(%)

1. Saya merasa putus asa 5 0 3 25 dengan penyakit yang 15,2 0,0 9,1 75,8 saya alami.

2. Saya merasa bahwa 4 0 2 27 segala yang saya lakukan 12,1 0,0 6,1 81,8 adalah sia-sia.

3. Saya kehilangan harapan 4 1 1 27 karena penyakit saya. 12,1 3,0 3,0 81,8 4. Saya berfikir bahwa 1 2 2 28 hidup adalah kegagalan. 3,0 6,1 6,1 84,8 5. Saya merasa tertekan 5 2 2 24 karena penyakit saya. 15,2 6,1 6,1 72,7 6. Saya merasa tidak 3 0 1 29 berguna. 9,1 0,0 3,0 87,9

1.5. Distribusi frekuensi dan persentase fase penerimaan (acceptance) pada pasien stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 54,5% atau n=18 responen selalu menyatakan mulai menerima keadaan saya seperti ini, 51,5% atau


(59)

n=17 responden selalu menyatakan bahwa hidupnya sama baiknya dengan orang lain, 51,5% atau n=17 responen menyatakan selalu dapat menerima penampilan tubuh, 57,6% atau n=19 responden menyatakan selalu dapat mengatasi rasa sakit akibat kondisi sakit yang dialami, 60,6% atau n=20 responden menyatakan selalu tidak malu bergaul dengan orang lain, 57,6% atau n=19 responden selalu menyatakan tetap merasa berharga walaupun terkena stroke,

Tabel 5.5 Distribusi frekuensi dan persentase fase penerimaan (acceptance) pada pasien stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan (n=33) Pernyataan Selalu Sering Kadang- Tidak kadang pernah n(%) n(%) n(%) n(%)

1. Saya mulai menerima 18 3 6 6 Keadaan saya seperti 54,5 9,1 18,2 18,2 ini.

2. Saya merasa hidup 17 1 6 9 saya sama baiknya 51,5 3,0 18,2 27,3 dengan orang lain.

3. Saya dapat menerima 17 1 6 9 penampilan tubuh saya. 51,5 3,0 18,2 27,3 4. Saya dapat mengatasi 19 1 7 6 rasa sakit akibat 57,6 3,0 21,2 18,2 kondisi sakit saya.

5. Saya tidak malu bergaul 20 1 5 7 dengan orang lain. 60,6 3,0 15,2 21,2 6. Saya tetap merasa diri 19 0 8 6 saya berharga walaupun 57,6 0,0 24,2 18,2 terkena stroke.


(60)

2. Pembahasan

2.1. Fase Penyangkalan (denial) Pada Pasien Stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 54,5% atau n=18 responden menyatakan selalu menangis melihat tubuh saya tidak bisa digerakkan, 66,7% atau n=22 responden menyatakan selalu tidak tau mau berbuat apa dengan kondisi ini, dan 60,6% atau n=20 responden menyatakan tidak pernah tidak percaya kenapa Tuhan memberikan cobaan seperti ini. Dari hasil pernyataan diatas nilai yang tertinggi adalah pada pernyataan saya selalu tidak tau mau berbuat apa dengan kondisi ini. Hal ini juga dapat dilihat dari hasil wawancara dengan responden yang mengatakan sering merasa sedih karena tidak bisa mencari nafkah buat keluarga, tidak bisa mengikuti pengajian, dan tidak bisa berkumpul dengan teman-teman. Hal ini sejalan dengan teori kubble-Ross (1969 dalam Hidayat, 2009) yang mengatakan fase penyangkalan (denial) merupakan fase awal dimana individu menunjukkan reaksi syok, tidak percaya, mengerti, atau mengingkari kenyataan bahwa kehilangan benar-benar terjadi yang ditunjukkan dengan beberapa reaksi fisik diantaranya menangis, gelisah, letih, lemah, pucat, dan sering kali individu tidak tahu harus berbuat apa.

Berdasarkan keseluruhan fase penyangkalan pada penelitian ini responden mayoritas mengalami fase penyangkalan. Hal ini dapat dilihat dari mayoritas pernyataan responden yang mengatakan selalu menangis melihat tubuh tidak bisa digerakkan dan selalu tidak tau mau berbuat apa dengan kondisi ini. Hal ini didukung oleh mayoritas lama menderita stroke yang


(61)

dialami responden yaitu dalam jangka waktu kurang dari 1 bulan, dimana pada waktu ini merupakan fase awal responden mengalami kehilangan dan berduka akibat penyakit stroke yang dialami. Hal ini sejalan dengan penelitian Triharini (2009) yang mengatakan lama individu didiagnosa kanker berpengaruh terhadap respon psikologis. Individu yang baru saja mengalami didiagnosa akan mengalami fase syok sebagai fase awal didiagnosa. Fase syok merupakan bagian dari fase penyangkalan (denial). Hal ini juga didukung oleh penelitian Isdamayanti (2011) yang mengatakan mayoritas responden mengalami fase

denial, bargaining, dan acceptance terhadap penyakit kankernya.

2.2. Fase marah (anger) Pada Pasien Stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 72,7% atau n=24 responden tidak pernah menyatakan saya menyalahkan orang lain akibat penyakit saya, 51,5% atau n=17 responden tidak pernah menyatakan saya benci dengan perubahan bentuk tubuh saya, 39,4% atau n=13 responden tidak pernah menyatakan saya marah karena sulit melakukan kegiatan, 48,5% atau n=16 responden tidak pernah menyatakan saya merasa tidak bahagia seperti dulu, 78,8% atau n=26 responden tidak pernah menyatakan saya marah kepada dokter karena tidak bisa menyembuhkan penyakit saya, 81,8% atau n=27 responden tidak pernah menyatakan saya menyalahkan Tuhan atas apa yang terjadi kepada saya.

Kubler-Ross (1969 dalam Videbeck, 2008) mengatakan fase marah adalah fase dimana individu menolak kehilangan dengan mengungkapkan kemarahan yang diproyeksikan atau diekspresikan kepada Tuhan, keluarga,


(62)

teman, pemberi perawatan kesehatan, atau diri sendiri. Stuart dan Sundeen (1987 dalam Keliat, 1996) mengatakan marah akibat kehilangan adalah perasaan jengkel yang timbul sebagai respon terhadap kecemasan yang dirasakan sebagai ancaman. Banyak situasi kehidupan yang menimbulkan marah, misalnya fungsi tubuh yang terganggu sehingga harus masuk rumah sakit, kontrol diri yang diambil-alih orang lain akibat menderita sakit, peran yang tidak dapat dilakukan karena dirawat di rumah sakit, pelayanan perawat yang terlambat, dan banyak hal lain yang menimbulkan kejengkelan individu.

Berdasarkan keseluruhan pada pernyataan fase marah pada penelitian ini di dapatkan mayoritas responden tidak mengalami fase marah (anger). Hal ini dapat dilihat dari masing-masing pernyataan responden yang menyatakan tidak pernah menyalahkan orang lain akibat penyakitnya, tidak pernah benci dengan perubahan bentuk tubuhnya, tidak pernah marah karena sulit melakukan kegiatan, tidak pernah merasa tidak bahagia seperti dulu, tidak pernah marah kepada dokter karena tidak bisa menyembuhkan penyakitnya, dan tidak pernah menyalahkan Tuhan atas apa yg terjadi kepadanya. Hal ini sejalan dengan penelitian Triwibowo (2012) yang mengatakan bahwa 9 orang dari pasien kanker yang berduka karena penyakit kanker yang dialaminya mereka tidak mengalami fase anger dan fase depression, melainkan hanya mengalami fase denial sebanyak 2 orang (22,2%), bargaining sebanyak 2 orang(22,2%), dan fase acceptance sebanyak 5 orang(55,56%).

Hasil pernyataan tertinggi pada fase marah yaitu responden tidak pernah menyalahkan Tuhan atas apa yang terjadi kepadanya. Hal ini


(63)

menandakan responden memiliki tingkat spiritualitas yang positif terhadap Tuhannya. Hal ini dapat dilihat dari hasil wawancara responden pada penelitian ini yang mengatakan, “ngapain saya harus menyalahkan Tuhan, memang ini sudah takdir hidup saya diberikan Tuhan seperti ini, jadi saya terima saja dengan lapang dada”. Hal ini didukung dengan teori Kozier (2004) yang mengatakan individu yang memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi kepercayaan spiritualitas positif yang dimilikinya dapat menggunakan kepercayaan tersebut untuk menghadapi situasi kesehatannya secara positif pula. Dalam hal ini responden (pasien stroke) memiliki kepercayaan spiritualitas yang positif terhadap Tuhannya sehingga responden tidak menyalahkan Tuhan atas apa yang terjadi kepadanya.

2.3. Fase tawar-menawar (bargainning) pada pasien stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 66,7% atau n=22 responden selalu menyatakan kalau saja saya bisa menjaga kesehatan saya sejak dulu, tentu kondisi saya tidak akan seperti ini, 72,7% atau n=24 responden selalu menyatakan seandainya saya sembuh saya akan menjaga kesehatan saya, 48,5% atau n=16 responden tidak pernah menyatakan kalau saya berhati-hati tentu saya tidak akan jadi begini, 78,8 atau n=26 responden selalu menyatakan kalau saya rajin berdoa saya yakin penyakit saya akan disembuhkan. Dari hasil pernyataan diatas nilai tertinggi adalah pada pernyataan kalau saya rajin berdoa saya yakin penyakit saya akan disembuhkan. Hal ini sejalan dengan teori Kubble Ross (1969 dalam Mubarak, 2007) yang mengatakan fase bargaining


(64)

adalah fase dimana seseorang mencoba melakukan tawar-menawar dengan memohon kemurahan Tuhan, mengekspresikan rasa bersalahnya, dan melakukan kesepakatan secara halus seolah-olah kehilangan tersebut dapat dicegah.

Secara keseluruhan mayoritas responden mengalami fase tawar-menawar dapat dilihat dari mayoritas responden selalu menyatakan kalau saja saya bisa menjaga kesehatan saya sejak dulu tentu kondisi saya tidak akan seperti ini, seandainya saya sembuh saya akan menjaga kesehatan saya, kalau saya rajin berdoa saya yakin penyakit saya akan segera disembuhkan. Hal ini sejalan dengan penelitian Putri (2010) yang mengatakan masalah berduka yang dialami responden yaitu fase denial, anger, bargaining, dan dilanjutkan fase

acceptance, dalam hal ini responden tidak mengalami fase depression.

2.4. Fase depresi (depresion) pada pasien stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 72,8% atau n=25 responden tidak pernah menyatakan saya merasa putus asa dengan penyakit yang saya alami, 81,8% atau n=27 responden tidak pernah menyatakan saya merasa bahwa segala yang saya lakukan adalah sia-sia, 81,8% atau n=27 responden tidak pernah menyatakan saya kehilangan harapan karena penyakit saya, 84,8% atau n=28 responden tidak pernah menyatakan saya berfikir bahwa hidup adalah kegagalan, 72,7% atau n=24 responden tidak pernah menyatakan saya merasa tertekan karena penyakit saya, 87,9% atau n=29 responden tidak pernah menyatakan saya merasa tidak berguna. Fase depresi adalah fase dimana


(65)

individu sering menunjukkan sikap menarik diri, tidak mau bicara dan putus asa (Suliswati dkk, 2005). Pada fase ini individu akan mengalami kesedihan yang amat dalam, penderitaan yang berat, rasa bersalah, lekas marah, tidak tertarik dalam beraktivitas, gangguan tidur, kesulitan berkonsentrasi, perasaan negatif tentang dirinya, perubahan nafsu makan, dan berpikiran tentang kematian atau bunuh diri (Schub & Caple, 2010).

Berdasarkan keseluruhan pada pernyataan fase depresi pada penelitian ini di dapatkan mayoritas responden tidak mengalami fase depresi (depression). Hal ini dapat dilihat dari pernyataan responden yang mengatakan tidak pernah merasa putus asa dengan penyakit yang dialami, tidak pernah merasa bahwa segala yang dilakukan adalah sia-sia, tidak pernah merasa kehilangan harapan karena penyakitnya, tidak pernah berfikir bahwa hidup adalah kegagalan, tidak pernah merasa tertekan karena penyakitnya, dan tidak pernah merasa tidak berguna. Hal ini didukung oleh penelitian Putri (2010) yang mengatakan bahwa masalah berduka yang ditemukan pada pasien stroke tidak sampai menimbulkan perasaan depresi pada klien. Hal ini juga didukung oleh peranan pendukung yang dapat mendukung mengurangi gejala depresi yaitu peranan dukungan keluarga. Dukungan keluarga mempunyai fungsi membantu klien saat menggunakan mekanisme kopingnya dalam berduka, sehingga dalam hal ini responden tidak sampai mengalami fase depresi akibat kehilangan dan berdukanya (Triwibowo, 2012).

Hasil nilai tertinggi pada pernyataan diatas yaitu pada pernyataan tidak pernah menyatakan saya merasa tidak berguna. Hal ini dapat dilihat dari


(66)

hasil wawancara responden yang mengatakan “tidaklah saya sampai berpikiran merasa tidak berguna, semua ini sudah diatur sama yang di atas kita hanya menjalani saja”. Hal ini berarti responden memiliki tingkat spritualitas yang positif terhadap Tuhannya, mereka tidak pernah berfikiran negatif terhadap pemberian Tuhannya. Hal ini didukung oleh penelitian Rowe dan Alen (2004) mengatakan spritualitas yang tinggi membuat invidu menjadi lebih kuat dan mempunyai gaya koping yang bervariasi, serta cenderung menggunakan koping yang lebih positif. Sehingga dalam hal ini responden tidak sampai menimbulkan fase depresi.

2.5. Fase penerimaan (acceptance) pada pasein stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 54,5% atau n=18 responden selalu mengatakan saya mulai menerima keadaan saya seperti ini, 51,5% atau n=17 responden selalu menyatakan saya merasa hidup saya sama baiknya dengan orang lain, 51,5% atau n=17 responden selalu menyatakan saya dapat menerima penampilan tubuh saya, 57,6% atau n=19 responden selalu menyatakan saya dapat mengatasi rasa sakit akibat kondisi sakit saya, 60,6% atau n=20 responden selalu menyatakan saya tidak malu bergaul dengan orang lain, 57,6% atau n=19 responden selalu menyatakan saya tetap merasa diri saya berharga walaupun terkena stroke.

Mayoritas responden menerima keadaan dirinya, hal ini dapat dilihat dari mayoritas pernyataan responden yang mengatakan selalu menerima kedaannya seperti ini, selalu merasa hidupnya sama baiknya dengan orang lain,


(1)

77


(2)

(3)

79

Lampiran 13

TAKSASI DANA PENELITIAN

1. Skripsi

Biaya tinta dan kertas print proposal Rp 150.000,- Penelurusan literatur dari internet Rp 200.000,- Fotokopi literatur dari buku Rp 150.000,- Penggandaan dan penjilidan proposal Rp 50.000,- 2. Pengumpulan data

Transportasi Rp 800.000,-

Penggandaan kuesioner dan lembar persetujuan responden Rp 252.000,- Cenderamata Rp 335.000,- Administrasi penelitian Rp 263. 000,- 3. Analisa data dan penyusunan laporan

Biaya kertas dan tinta print Rp 150.000,-

Penggandaan dan penjilidian skripsi Rp 150.000,-

CD Rp 10.000,-

Jumlah Rp 2.510.000,-

Biaya tidak terduga 10% Rp 251.000,-

Total Rp 2.761.000,-


(4)

(5)

81


(6)

Lampiran 15

Daftar Riwayat Hidup

Nama : Wita

Jenis Jelamin : Perempuan

Tempat/tanggal lahir : Pekanbaru/12 Februari 1993

Agama : Islam

Alamat : Jalan Karyasari No. 38 Pekanbaru

No.HP : 082160889941

Nama Ayah : Alm. Muhammad Ikhwan Pasaribu Nama Ibu : Dahlia Suty Nasution

Pendidikan : TK Aisyiah V (1998-1999)

SD Negeri 021 Pekanbaru (1999-2005) SMP Negeri 5 Pekanbaru (2005-2008) SMA Negeri 5 Pekanbaru (2008-2011)