Penelitian ini diarahkan pada penggunaan metode analisis semiotika. Kaidah-kaidah semiotik akan diterapkan dalam menganalisis film Crash. Sign, symbol dan signal akan
ditelusuri dari korpus penelitian baik dialog, adegan, setting dan lain sebagainya dalam kaitannya dengan representasi rasisme.
1. Semiologi Roland Barthes
Roland Barthes merupakan seorang ahli semiotik asal Perancis yang juga merupakan seorang pengikut Saussure. Barthes dikenal melalui analisis tekstual dan analisis
struktural. Analisis ini biasa digunakan dalam menganalisis berbagai bentuk teks naskah. Secara metodologis, analisis naratif struktural berasal dari perkembangan awal
atas apa yang disebut linguistik struktural, sebagaimana pada perkembangan akhirnya dikenal sebagai semilogi atau semiotika. Intinya adalah mencoba memahami makna
suatu karya dengan suatu cara tertentu. Kurniawan, 2001:89. Dan Barthes menerapkan semiologinya ini hampir di dalam setiap bidang kehidupan, seperti mode busana, balap
sepeda Tour de France, boneka, film, fotografi, sastra dan mobil Kurniawan, 2001: 72.
Barthes menggambarkan proses signifikasi sebagai berikut Sobur, 2004: 127:
first order second order
reality sign
culture form
content
Gambar 1.2 : tahap signifikasi Roland Barthes
Berdasarkan gambar tersebut dapat dilihat bahwa inti dari teori Barthes adalah “dua tingkat makna”, yaitu:
a. Tingkat pertama, disebut denotasi. Denotasi merupakan makna yang paling nyata
dari tanda, makna yang sebenarnya hadir dan mudah dikenali. b.
Tingkat kedua, disebut konotasi. Konotasi mempunyai makna yang tersembunyi dibalik denotasi. Makna muncul sesuai dengan kondisi, maksudnya makna tersebut
bisa muncul dengan menghubungkan antara kode, simbol atau lambang yang satu dengan yang lain. Bisa juga dengan perlawanan antara kode, lambang atau simbol
yang satu dengan yang lain. Ketika penanda berhubungan dengan petanda sehingga menghasilkan tanda
terjadilah apa yang dinamakan signifikasi. Signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified, di dalam sebuah tanda terhadap realitas
eksternal. Pada tahap ini Barthes menyebutnya sebagai denotasi, yaitu makna paling denotation
connotation
myth signifier
signified
nyata dari tanda, atau makna yang bisa dilihat secara obyektif dan makna yang mudah dikenali.
Sedangkan signifikasi pada tahap kedua disebut konotasi. Hal ini menggambarkan bentuk interaksi sebuah tanda jika bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca
serta nilai-nilai dari kebudayaannya. Konotasi mempunyai makna yang subyektif atau paling tidak intersubyektif. Pemilihan kata-kata kadang merupakan pilihan terhadap
konotasi, misalnya “penyuapan” dengan memberi uang pelicin. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah obyek, sedangkan konotasi
adalah bagaimana menggambarkannya. Tanda-tanda pada tataran pertama akan menjadi penanda yang berhubungan dengan
petanda pada tataran kedua. Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos myth. Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan
atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam Fiske, 2004: 88. Aspek material mitos yaitu penanda-penanda pada sistem signifikasi tingkat kedua dapat
disebut sebagai konotator yang tersusun dari tanda-tanda pada tingkat pertama, sementara pertanda-pertandanya dapat dinamakan sebagai fragmen ideologi. Mitos merupakan
produk kelas sosial yang sudah mempunyai suatu dominasi. Mitos kini lebih mengenai permasalahan seputar feminitas, maskulinitas, ilmu pengetahuan dan kesuksesan Sobur,
2004: 128. Menurut pemahaman Barthes, sebuah teks merupakan suatu konstruksi belaka
yang pemberian maknanya dapat dilakukan dengan merekonstruksi dari tanda-tanda yang ada dalam sebuah teks tersebut. Dalam proses pemaknaan dengan semiologi Barthes, teks
tidak lagi milik pengarang, oleh karena itu tidak perlu lagi mencari makna yang
disembunyikan pengarang, tapi bagaimana pembaca memaknai karangan tersebut dan bagaimana pembaca memproduksi makna. Hal ini disebut Writerly teks yaitu apa yang
dapat ditulis pembaca sendiri terlepas dari apa yang ditulis pengarangnya. Menurut Barthes, tanda memiliki empat unsur Kurniawan, 2001:56, yaitu:
- Substansi ekspresi, misalnya suara dan artikulator
- Bentuk
ekspresi yang merupakan bentuk dari aturan sintagmatik dan paradigmatik.
- Substansi isi yang meliputi aspek emosional dan ideologis atau pengucapan
sederhana dari petanda yaitu makna positifnya. -
Bentuk isi yaitu susunan formal petanda diantara petanda-petanda melalui hadir tidaknya sebuah tanda semantik.
Barthes banyak merujuk pada Sassure, meski semiologi Barthes menjadikan linguistik Saussure sebagai modelnya, tapi Barthes mengingatkan bahwa semiologi tidak
sama dan sebangun dengan linguistikKurniawan, 2001: 57. Hal lain dari perbedaan petanda semiologi dan petanda bahasa adalah perluasan dari petanda semiologis.
Keseluruhan petanda semiologis dari sebuah sistem merekonstruksikan sebuah fungsi besar.
Bagi Barthes, semiotik hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan humanity memaknai hal-hal. Memaknai to signify dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan
dengan mengkomunikasikan to communicate. Memaknai berarti bahwa obyek-obyek itu hendak berkomunikasi, tetapi dengan mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda
Kurniawan, 2001: 53.
Barthes melihat signifikasi sebagai sebuah proses yang total dengan suatu susunan yang sudah terstruktur. Signifikasi itu tidak terbatas pada bahasa, tapi terdapat
pula pada hal-hal yang bukan bahasa. Pada akhirnya, Barthes menganggap kehidupan sosial sendiri merupakan suatu bentuk dari signifikasi. Dengan kata lain, kehidupan
apapun bentuknya merupakan suatu sistem tanda tersendiri pula.
2. Jenis Penelitian