Condition Assessment Gas SF6 GIS 150kV Glugur Medan

(1)

CONDITION ASSESSMENT GAS SF6 GIS 150kV GLUGUR

MEDAN

Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan sarjana (S-1) pada Departemen Teknik Elektro

O l e h

ROYDEN ZULFAI HUTAPEA 060402021

DEPARTEMEN TEKNIK ELEKTRO FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

CONDITION ASSESSMENT GAS SF6 GIS 150Kv GLUGUR

MEDAN

Oleh:

NAMA : ROYDEN ZULFAI HUTAPEA NIM : 060402021

Tugas akhir ini diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik

pada

DEPARTEMEN TEKNIK ELEKTRO FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

Sidang pada tanggal 19 bulan Januari tahun 2013 di depan Penguji : 1. Ir. Hendra Zulkarnaen : Ketua Penguji

2. Ir. Zulkarnaen Pane : Anggota Penguji 3. Ir. Surya Tarmizi Kasim, M.Si : Anggota Penguji

Diketahui oleh : Disetujui oleh:

Ketua Departemen Teknik Elektro, Pembimbing Tugas Akhir,

Ir. Surya Tarmizi Kasim, M.Si Ir. Syahrawardi NIP: 19540531 198601 1 002 NIP: 19570223 198303 1 002


(3)

ABSTRAK

Sulfur Heksafluorida ( SF6 ) merupakan gas yang dapat digunakan sebagai media isolasi pada peralatan listrik, begitu juga digunakan pada Gas Insulated Switchgear ( GIS ) pada sistem transmisi daya listrik. kondisi isolasi gas SF6 ini akan berkaitan dengan tingkat unjuk kerja GIS secara keseluruhan.

Tingkat unjuk kerja GIS dapat ditentukan dengan menggunakan metode

condition assessment. Condition assessment sendiri dapat dibagi menjadi dua

bagian utama. Bagian pertama adalah pengidentifikasian resiko (risk assessment). Dalam hal ini, dicari bentuk kegagalan beserta parameter gas SF6 yang terlibat, lalu ditentukan parameter gas apa yang lebih berpengaruh dalam menyebabkan kegagalan tersebut. Bagian kedua adalah teknik monitoring diagnosis yang merupakan cara untuk mengetahui dan mengukur parameter-parameter gas SF6 pada GIS yang diperiksa. Parameter gas tersebut antara lain tekanan, kemurnian, titik embun, produk dekomposisi SF6,suhu lingkungan dan aktivitas partial discharge. Kemudian hasil dari pengidentifikasian resiko dan monitoring diagnosis akan dikombinasikan untuk menentukan kondisi dari GIS.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus atas kasih dan penyertaan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir yang berjudul:

CONDITION ASSESSMENT GAS SF6 GIS 150kV GLUGUR MEDAN

Tugas akhir ini merupakan bagian dari kurikulum yang harus diselesaikan untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan pendidikan Sarjana Strata Satu (S-1) di Departemen Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara. Selama penulis menjalani pendidikan di kampus hingga diselesaikannya Tugas Akhir ini, penulis banyak menerima bantuan, bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih yang tulus dan sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Ir. Syahrawardi sebagai Dosen Pembimbing Tugas Akhir penulis yang sangat besar bantuannya dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini. 2. Bapak Ir. Sumantri Zulkarnaen sebagai Dosen Wali penulis selama

menyelesaikan pendidikan di kampus USU.

3. Bapak Ir. Surya Tarmizi Kasim, M.Si sebagai Ketua Departemen Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Rahmad Fauzi, ST, MT sebagai Sekretaris Departemen Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

5. Seluruh Staff Pengajar dan Pegawai Departemen Teknik Elektro FT-USU. 6. Kedua orang tua saya B. Hutapea (Op. Kayleen) dan M. Sipayung (Op. Kayleen) berikut Kepada Kakak dan Lae saya : Devi Yenni Hutapea / M.Sihaloho, Eva Lestari Hutapea / Y.Butar – butar, Eka Purwanti Hutapea


(5)

/ J.Sibarani, atas semangat dan doanya kepada penulis dengan segala pengorbanan dan kasih sayang yang tidak ternilai harganya.

7. DPN dan Seluruh teman-teman stambuk 2006 dan seperLESan berikut sesama penunggu kantin DW ( MIPA ) atas kebersamaan dan dukungan yang diberikan .

8. Seluruh teman-teman mahasiswa/i di Departemen Teknik Elektro, atas dukungan dan bantuan yang diberikan kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa Tugas Akhir ini masih banyak kekurangannya. Kritik dan saran dari pembaca untuk menyempurnakan Tugas Akhir ini sangat penulis harapkan. Kiranya Tugas Akhir ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Terimakasih

Medan, Desember 2012 Penulis


(6)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR TABEL ... vii

BAB I PENDAHULUAN 1.1LATAR BELAKANG ... 1

1.2TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN ... 1

1.3BATASAN MASALAH ... 2

1.4METODE PENULISAN ... 2

1.5SISTEMATIKA PENULISAN ... 3

BAB II GAS INSULATED SWITCHGEAR ( GIS ) 2.1SEJARAH GIS ... 4

2.2KOMPONEN – KOMPONEN GIS ... 5

2.3DIAGRAM SATU GARIS GARDU INDUK GIS 150Kv GLUGUR MEDAN ... 9

2.4PARAMETER TERUKUR DARI GIS ... 10

BAB III CONDITION ASSESSMENT 3.1LATAR BELAKANG CONDITION ASSESSMENT ... 15

3.2CONDITION ASSESSMENT DALAM SISTEM KELISTRIKAN . ... 19

3.3CONDITION ASSESSMENT PADA GIS ... 19

3.3.1 Risk Assessment menggunakan Failure Mode Effect Analysis ( FMEA ) ... 21


(7)

CONDITION ASSESSMENT PADA GIS ... 25 3.4.1 Penentuan nilai batas ( boundary values ) ... 25 3.4.2 Penentuan Faktor Pembobotan ( Weighting Factor ) ... 28

BAB IV CONDITION ASSESSMENT GIS 150 KV GLUGUR MEDAN

4.1KONDISI EKSISTING GIS 150KV GLUGUR MEDAN ... 29 4.2RISK ASSESSMENT DENGAN FMEA ( Failure Mode Effect Analysis ) ... 30

4.3PROSEDUR PENGUJIAN GIS 150Kv GLUGUR MEDAN ... 32 4.3.1 PERALATAN KERJA PERLENGKAPAN K2 DAN

MATERIAL ... 32 4.3.2 LANGKAH – LANGKAH PELAKSANAAN ... 33 4.4MONITORING DIAGNOSIS PADA GIS ... 37 4.5PENENTUAN NILAI BATAS DAN FAKTOR PEMBOBOTAN .... 37 4.6NILAI AKHIR GIS 150KV GLUGUR MEDAN ... 42

BAB V KESIMPULAN

KESIMPULAN ... 44

DAFTAR PUSTAKA


(8)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Circuit breaker pada GIS dengan penggerak motor ... 6

Gambar 2.2 Disconnecting switch pada GIS ... 6

Gambar 2.3 Earthing switch pada GIS... 7

Gambar 2.4 Current transformer pada GIS ... 7

Gambar 2.5 voltage transformer pada GIS ... 8

Gambar 2.6 Busbar pada GIS ... 8

Gambar 2.7 Diagram Satu Garis Gardu Induk GIS 150kv Glugur Medan ... 9

Gambar 2.8 Ilustrasi gangguan umum yang terjadi pada GIS ... 13

Gambar 3.2 Hubungan condition assessment ... 18

Gambar 3.3 Faktor – faktor yang mempengaruhi tingkat unjuk kerja GIS ... 22

Gambar 3.4 Hubungan antara monitoring diagnosis dengan teknik diagnosis dan parameter yang diamati ... 24

Gambar 4.1 Fasilitas Neple Pada Kompartemen ... 33

Gambar 4.2 Jenis – jenis neple yang digunakan ... 34


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 produk hasi dekomposisi SF6 ... 11

Tabel 2.2 perbandingan teknik diagnosis partial discharge ... 14

Tabel 4.1 Nama Bay, Pembuatan, dan Operasi Pada GIS 150 kV Glugur ... 30

Tabel 4.2 FMEA GIS PT.PLN P3B Jawa Bali ... 31

Tabel 4.3 Kategori Frekuensi Kegagalan ... 32

Tabel 4.4 Kategori pengaruh pada sistem dan level keselamatan ... 32

Tabel 4.5 Nilai batas yang ditentukan untuk kompartemen GIS ... 39

Tabel 4.6 Perbandingan akumulasi frekuensi kegagalan dan parameter yang terlibat ... 39

Tabel 4.7 Hubungan Perbandingan akumulasi frekuensi kegagalan dan parameter yang terlibat ... 40

Tabel 4.8 Faktor pembobotan parameter ... 41


(10)

ABSTRAK

Sulfur Heksafluorida ( SF6 ) merupakan gas yang dapat digunakan sebagai media isolasi pada peralatan listrik, begitu juga digunakan pada Gas Insulated Switchgear ( GIS ) pada sistem transmisi daya listrik. kondisi isolasi gas SF6 ini akan berkaitan dengan tingkat unjuk kerja GIS secara keseluruhan.

Tingkat unjuk kerja GIS dapat ditentukan dengan menggunakan metode

condition assessment. Condition assessment sendiri dapat dibagi menjadi dua

bagian utama. Bagian pertama adalah pengidentifikasian resiko (risk assessment). Dalam hal ini, dicari bentuk kegagalan beserta parameter gas SF6 yang terlibat, lalu ditentukan parameter gas apa yang lebih berpengaruh dalam menyebabkan kegagalan tersebut. Bagian kedua adalah teknik monitoring diagnosis yang merupakan cara untuk mengetahui dan mengukur parameter-parameter gas SF6 pada GIS yang diperiksa. Parameter gas tersebut antara lain tekanan, kemurnian, titik embun, produk dekomposisi SF6,suhu lingkungan dan aktivitas partial discharge. Kemudian hasil dari pengidentifikasian resiko dan monitoring diagnosis akan dikombinasikan untuk menentukan kondisi dari GIS.


(11)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Pada Gardu induk transmisi khususnya Gardu Induk isolasi gas atau Gas Insulated Switchgear ( GIS ), keandalan serta kemampuan GIS dalam melayani sistem transmisi adalah hal yang sangat penting, dimana hal ini akan berpengaruh terhadap kinerja keseluruhan sistem gardu induk yang terhubung, yang pada akhirnya akan mempengaruhi pasokan daya ke seluruh konsumen listrik.

Untuk menjaga agar GIS tetap pada kondisi yang prima, diperlukan

maintenance atau perawatan yang memadai dan sesuai dengan standar perawatan

yang ada, dimana selama ini metode perawatan yang dilakukan didasarkan pada waktu kerja dari GIS itu sendiri ( Time based ) secara periodik, untuk itu akan dibahas sebuah cara penilaian GIS yang didasarkan pada parameter parameter yang berkaitan dengan unjuk kerja GIS itu sendiri dengan menggunakan perhitungan statistik, sehingga perawatan dapat dilakukan berdasarkan kondisi terkini dari GIS tersebut ( Condition based ).

1.2 TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN

Penulisan tugas akhir ini bertujuan untuk mengetahui kondisi aktual dari GIS Glugur medan dan bermanfaat bagi para pembaca agar mengetahui proses condition assessment secara umum dan pada GIS secara khususnya.


(12)

1.3 BATASAN MASALAH

Untuk menjaga agar pembahasan materi dalam Tugas Akhir ini lebih terarah, maka penulis menetapkan beberapa batasan masalah sebagai berikut : 1. Kondisi gas SF6 GIS yang akan dinilai adalah GIS Glugur Medan 2. Tidak menghitung besaran partial discharge pada GIS.

3. Tidak menghitung tegangan tembus dari isolasi GIS.

4. Tidak menganalisis kondisi lain selain Gas SF6 GIS Glugur Medan

1.4 METODE PENULISAN

Untuk dapat menyelesaikan tugas akhir ini maka penulis menerapkan beberapa metode studi diantaranya :

1. Pembelajaran secara literatur

Metode ini dilaksanakan dengan membaca teori-teori yang berkaitan dengan topik tugas akhir ini, dari buku-buku referensi baik yang dimiliki oleh penulis atau di perpustakaan dan juga dari artikel-artikel, jurnal, internet dan lain-lain.

2. Diskusi

Berupa tanya jawab tentang topik tugas akhir ini dengan dosen pembimbing yang telah ditunjuk oleh pihak departemen Teknik Elektro USU dan teman-teman sesama mahasiswa.

3. Studi lapangan


(13)

1.5 SISTEMATIKA PENULISAN

Tugas akhir ini disusun berdasarkan sistematika penulisan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah, tujuan dan manfaat penulisan, batasan masalah, metode penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II GAS INSULATED SWITCHGEAR ( GIS )

Bab ini membahas secara umum tentang GIS

BAB III CONDITION ASSESSMENT

Bab ini membahas tentang pengertian condition assessmentdan parameter – parameter yang dapat digunakan untuk melakukan penilaian pada GIS.

BAB IV CONDITION ASSESSMENT GAS SF6 GIS 150 kV GLUGUR MEDAN

Bab ini membahas tentang condition assessment pada GIS 150kV Glugur medan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisi kesimpulan dan saran yang berkaitan dengan condition assessmentGIS 150 kV Glugur medan.


(14)

BAB II

GAS INSULATED SWITCHGEAR ( GIS )

2.1 SEJARAH GIS

GIS yang sekarang telah menggunakan Gas SF6 ( Sulfur Hexafluoride ) sebagai media isolasi, menjadikannya sebagai sebuah teknologi yang maju dan telah banyak dipakai di banyak gardu untuk melayani kebutuhan listrik dimulai tahun 1960. Pada awalnya GIS merupakan sebuah konsep dari “ ruang yang tertutup ” oleh bahan logam pada tahun 1920 dimana minyak digunakan sebagai bahan isolasi di dalamnya. Kemudian pada tahun 1930-an, digunakanlah gas untuk pertama kalinya sebagai media isolasi , dimana Freon merupakan gas pertama yang dipakai saat itu . Dengan munculnya teknologi untuk menghasilkan Gas SF6, maka digunakanlah gas SF6 sebagai media untuk mengisolasi sistem tegangan tinggi pada GIS, yang kemudian mulai diperkenalkan ke pasaran pada tahun 1968 sebagai pemadam busur api dan media isolasi. Tonggak sejarah yang kemudian membuat semakin berkembangnya teknologi GIS adalah pemasangan gardu 550 kV GIS di Kanada dengan kapasitas pemutusan tertinggi yang pernah dicapai senilai 100 kA. Kemudian adanya gardu 765 kV GIS di Afrika Selatan dan bahkan baru – baru ini adanya gardu 1000 kV GIS di Jepang.

Konsistensi dari penelitian, pembangunan, serta upaya yang inovatif membuat teknologi ini berkembang pesat dengan diciptakannya GIS yang bentuk nya semakin terpadu dan dioptimalkan secara keseluruhan. GIS biasanya didesain modular ( dapat dirakit perbagian ) dan sudah diisi dengan SF6 dengan kuantitas yang minimum per bagian ( compartment ). Sejak awal penerapannya, GIS telah


(15)

mengalami perkembangan yang sangat pesat, dengan perkiraan 80.000 bay yang ada sekarang dan pertambahannya kemudian diperkirakan mencapai 6.000 bay pertahun. Kunci keberhasilan teknologi GIS adalah dari desainnya yang dibuat semakin terpadu, ketahanan GIS terhadap lingkungan sekitarnya, keandalan, serta mudah dipahami dan didokumentasikan.

Pada saat sekarang ini dimana penilaian terhadap modal sebuah proyek didasarkan pada biaya total dari keseluruhan umur peralatan, menjadikan GIS bisa menjadi solusi yang lebih baik jika dibandingkan dengan AIS ( Air Insulated Switchgear ).

2.2 KOMPONEN - KOMPONEN GIS

GIS memiliki berbagai macam komponen dimana komponen – komponen tersebut memiliki fungsi dan tugas masing – masing dalam kerja GIS . Beberapa komponen umum yang ada pada GIS antara lain adalah :

a. Pemutus Tenaga ( Circuit breaker )

b. Saklar Pemisah ( Disconnecting switch ) c. Saklar Pembumian ( Earthing switch )

d. Trafo arus (Current transformer )

e. Trafo Tegangan (Voltage transformer ) f. Rel Daya (Busbar )

g. Sambungan kabel(Cable connection )


(16)

a. Pemutus Tenaga

Adalah alat pemutus arus listrik pada rangkaian yang dibuat untuk melindungi sistem dari kerusakan akibat beban lebih ataupun hubung singkat. Tidak seperti sekering, pemutus tenaga dapat di-set ulang baik secara manual ataupun otomatis untuk mengalirkan arus listrik. Pemutus tenaga dapat digerakkan dengan cara manual ataupun dengan mekanisme penggerak seperti motor, spring, pneumatik dan hidrolik seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.1

Gambar 2.1 Pemutus Tenaga pada GIS dengan penggerak motor b. Saklar Pemisah

Adalah alat pengamanan yang digunakan untuk memisahkan peralatan yang ada di gardu dari arus dan tegangan yang ada pada jaringan listrik, sehingga dapat dilakukan pemeriksaan atau perawatan pada gardu oleh operator dalam keadaan aman, dimana saklar pemisah baru dapat dioperasikan setelah pemutus tenaga pada kondisi terbuka, seperti yang ditunjukkan Gambar 2.2


(17)

c. Saklar Pembumian

Adalah alat pengaman yang digunakan untuk membumikan peralatan - peralatan gardu induk selama proses perbaikan atau perawatan sehingga arus sisa yang masih ada di dalam peralatan gardu disalurkan ke bumi untuk menjaga keselamatan operator. Saklar pembumian hanya dapat dioperasikan apabila saklar pemisah sudah dalam kondisi terbuka seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 2.3 dibawah ini

Gambar 2.3 Saklar pembumian pada GIS d. Trafo Arus

Adalah peralatan yang digunakan untuk mengukur arus pada jaringan listrik gardu dimana Trafo Arus dapat digunakan sebagai peralatan pengukuran maupun proteksi, seperti pada Gambar 2.4


(18)

e. Trafo Tegangan

Merupakan peralatan yang digunakan untuk mengukur tegangan pada jaringan listrik gardu dimana Trafo Tegangan dapat digunakan untuk pengukuran dan proteksi serta digunakan sebagai penyuplai tegangan pada peralatan relay proteksi yang ada pada gardu seperti telihat pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Trafo Tegangan pada GIS f. Rel Daya

Merupakan bagian dari GIS sebagai titik pertemuan atau penghubung dengan transformator – transformator tenaga seperti yang dapat dilihat pada Gambar 2.6.


(19)

GIS dapat dibedakan dalam beberapa klasifikasi umum yaitu :

A. Berdasarkan jumlah fasa per tabung, yaitu GIS dengan satu fasa per tabung atau GIS dengan tiga fasa per tabung.

B. Berdasarkan lokasi instalasi, yaitu GIS dengan instalasi indoor atau GIS dengan instalasi outdoor dan GIS bergerak ( mobile ).

C. Berdasarkan jenis penggerak, yaitu penggerak motor,

hydraulic, pneumatic, dan spring.

2.3 DIAGRAM SATU GARIS GARDU INDUK GIS 150Kv GLUGUR

MEDAN


(20)

2.4 PARAMETER TERUKUR DARI GIS

Pada GIS terdapat beberapa parameter yang dapat diukur, meliputi kondisi fisik isolasi gas SF6 dan fenomena listrik berupa partial discharge, untuk kondisi fisik isolasi gas SF6 dapat dipengaruhi oleh beberapa hal berikut :

a. Tekanan ( pressure ) b. Kemurnian ( purity ) c. Titik embun ( dew point )

d. Produk hasil dekomposisi ( decomposition product ) e. Suhu lingkungan ( ambient temperature )

a. Tekanan ( pressure )

Tekanan isolasi gas SF6 berkaitan dengan kerapatan partikel gas di dalam kompartemen GIS, dimana nilai tekanan ini sangat berpengaruh pada kekuatan dielektrik dari gas SF6 itu sendiri. Jika terjadi penurunan kekuatan dielektrik gas SF6 maka pada saat menahan medan listrik homogen yang tinggi akan rentan terjadi breakdown. Tekanan ini dapat berkurang jika terjadi kebocoran pada kompartemen GIS dan terdapat celah pada sambungan antar kompartemen yang bisa diakibatkan oleh korosi tabung yang terbuat dari logam ataupun kesalahan pada saat pemasangan GIS itu sendiri .

b. Kemurnian ( purity )

Kemurnian dapat dinyatakan sebagai persentase jumlah gas SF6 murni dalam suatu kompartemen GIS. Semakin tinggi persentase ini maka akan semakin sedikit ditemukan zat lain dalam gas SF6 tersebut. Untuk gas SF6


(21)

yang baru, nilai kemurnian yang disyaratkan dalam standar IEC 60376 adalah > 97 %.

c. Titik embun ( dew point )

Titik embun menunjukkan titik dimana gas berubah menjadi air. Hal ini berkaitan dengan tingkat kelembaban dari gas SF6, yaitu berapa banyak partikel air yang terkandung dalam isolasi gas SF6. Nilai titik embun ini sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan terutama suhu, dimana semakin tinggi suhu maka semakin tinggi pula kandungan uap air yang berada di dalam tabung GIS.

d. Produk hasil dekomposisi ( decomposition product )

Produk hasil dekomposisi terjadi karena ketidaksempurnaan pembentukan kembali gas SF6, hal ini bisa terjadi karena adanya pemanasan berlebihan, percikan listrik, serta busur api yang terjadi. Beberapa produk hasil dekomposisi beserta sumber penyebabnya dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut ini.

Tabel 2.1 Produk hasi dekomposisi SF6

GAS SENYAWA SUMBER

Udara N2, O2 Bocor / intrusi dari luar

Moisture H2O Bocor / intrusi dari luar

Hydrofluoric acid HF Terbentuk di gas SF6 jika terjadi busur api

Sulfur dioxide SO2 Terbentuk jika SOF2

berekasi dengan air

Sulfur diflouride SF2 Mudah bereaksi

Sulfur tetraflouride SF4 Mudah bereaksi


(22)

Jika produk hasil dekomposisi ini terjadi dalam jumlah yang besar, maka kekuatan dielektrik dari isolasi gas SF6 akan mengalami penurunan.

e. Suhu lingkungan ( ambient temperature )

Suhu lingkungan memiliki kaitan yang sangat erat dengan titik embun. Untuk lingkungan dengan temperature yang tinggi maka kandungan uap air yang ada di dalam tabung pun akan menjadi tinggi pula. Hal ini akan membuat kemungkinan untuk terjadinya intrusi uap air kedalam isolasi gas akan menjadi lebih tinggi.

Sedangkan untuk fenomena listrik berupa partial discharge adalah peluahan elektrik pada medium isolasi yang terdapat diantara dua elektroda berbeda tegangan, dimana peluahan tersebut tidak sampai menghubungkan kedua elektroda secara sempurna. Peristiwa seperti ini dapat terjadi pada bahan isolasi padat. Sedangkan pada bahan isolasi gas, partial discharge terjadi disekitar elektroda yang runcing seperti pada Gambar 2.7. Adanya aktivitas partial discharge di GIS menandakan terdapat gangguan dalam kompartemen GIS. Sumber partial discharge

tersebut dapat disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut :

• Partikel bebas

• Partikel bebas yang menempel pada permukaan

• Tonjolan atau ketidakrataan permukaan ( protrusi )

• Sambungan antar kompartemen yang tidak erat


(23)

konduktor

Partikel pada spacer

spacer

duct

Void pada spacer Protrusi pada potensial tanah Partikel bebas

protrusi

Gambar 2.8 Ilustrasi gangguan umum yang terjadi pada GIS

Aktivitas partial discharge pada isolasi SF6 dapat kita deteksi melalui beberapa teknik yang lazim digunakan, yaitu sebagai berikut :

a. IEC 60270

pada teknik ini yang dideteksi untuk mengetahui adanya aktivitas partial discharge adalah muatan pada saat timbulnya aliran listrik sesaat ( satuan yang digunakan adalah pC, nC )

b. Ultra High Frequency / Very High Frequency (UHF / VHF) Mendeteksi timbulnya gelombang elektromagnetik yang terjadi ( satuan yang digunakan μV, mV ). Teknik ini biasanya digunakan pada bagian non metal dari GIS.


(24)

c. Teknik emisi akustik

Mendeteksi timbulnya gelombang akustik / suara ( satuan

yang digunakan adalah μV, mV ). Teknik ini biasanya digunakan pada bagian metal dari GIS.

Pada tabel 2.2 di bawah ini dapat kita lihat perbandingan dari beberapa teknik diagnosis partial discharge pada GIS

Tabel 2.2 perbandingan teknik diagnosis partial discharge IEC 60270 VHF / UHF Accoustic

Emission Kondisi GIS Off – line On – line

Off – line

On – line Off – line

Kalibrator Ada Tidak ada Tidak ada

Peredaman noise Buruk Sangat baik Baik

Sensitivitas 10% atau 1pC 5pC 5pC

Jangkauan pengukuran

- Luas Sempit

Lokasi pemasangan

sensor

- Bagian non –

metal

Bagian metal

Besaran partial discharge

PRPD Frequency

spectrum


(25)

BAB III

CONDITION ASSESSMENT

3.1 LATAR BELAKANG CONDITION ASSESSMENT

Condition assessment merupakan tindakan penilaian / pengkajian yang dilakukan untuk menilai kondisi dari objek yang dikaji baik itu secara khusus ataupun secara umum, guna mengetahui kondisi terkini dari objek yang dikaji dan juga dapat dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan terhadap objek tersebut, apakah kondisi objek masih layak pakai atau dilakukan perawatan pada objek atau bahkan penggantian objek itu sendiri.

Condition assessment dapat diterapkan untuk berbagai macam objek kaji dimana objek yang dikaji tentunya memiliki keterbatasan dalam umur pakai. Sehingga pada akhirnya dapat diambil keputusan yang tepat untuk sistem yang tekait dengan objek tersebut, condition assessment dapat juga diterapkan pada berbagai macam bangunan, sistem kelistrikan, jalan, hutan dll.

Condition assessment dapat dijadikan sebagai dasar dalam mengambil keputusan untuk melakukan maintenance / perawatan pada suatu objek. Secara umum maintenance / perawatan dapat kita artikan sebagai :

“ semua tindakan yang tepat yang bertujuan untuk mempertahankan atau mengembalikan suatu sistem atau peralatan pada kondisi tertentu “

dimana dengan melakukan perawatan diharapkan sistem ataupun peralatan tidak memiliki gangguan yang dapat mempengaruhi proses kerjanya sehingga tercapai hasil yang diinginkan dan umur sistem atau peralatan tersebut diharapkan akan semakin bertambah.


(26)

Strategi perawatan dapat dibagi menjadi tiga golongan yaitu a. Corrective maintenance ( perbaikan )

Strategi corrective maintenance merupakan strategi dimana perawatan dilakukan setelah terjadi masalah atau kerusakan pada peralatan maupun sistem

b. Preventive maintenance ( pencegahan )

Strategi preventive maintenance merupakan strategi dimana perawatan dilakukan sebelum terjadi masalah atau kerusakan pada peralatan maupun sistem, dimana pengkajian terlebih dahulu dilakukan untuk memberikan kriteria kelayakannya, sehingga dapat diambil keputusan yang terbaik terkait sistem ataupun peralatan tersebut.

c. Predictive maintenance ( perkiraan )

Strategi predictive maintenance merupakan strategi dimana perawatan dilakukan sesuai jadwal yang sudah ditetapkan sebelumnya. Hal ini berkaitan dengan umur pakai sistem atau peralatan yang sudah diperkirakan sebelumnya.

ke-tiga strategi perawatan diatas dapat diterapkan pada berbagai macam sistem atau peralatan, tentunya dengan berdasarkan kajian yang sudah dilakukan sebelumnya mengenai strategi perawatan apa yang paling tepat dilakukan untuk suatu sistem ataupun peralatan tersebut agar berjalan dengan baik dan lancar. Dimana hal ini akan sangat berpengaruh terhadap penggunaan biaya yang akan digunakan untuk perawatan tersebut.


(27)

Condition Assessment ini terkait hubungannya dengan perawatan berbasis kondisi ( Condition Based Maintenance ), dimana obyek yang diamati kondisinya ini kemudian ditentukan tingkat unjuk kerjanya lalu kemudian diberikan perawatan berdasarkan kondisinya tersebut. Secara umum condition assessment memberikan sebuah penilaian kondisi atas fenomena-fenomena yang terjadi dan berpengaruh pada parameter yang terukur pada obyek.

Di dalam condition assessment terdapat dua aspek yang terlibat yaitu risk assessment dan monitoring diagnosis. Risk assessment disini berarti penilaian terhadap kemungkinan- kemungkinan resiko yang bisa terjadi pada obyek tersebut. Dalam risk assessment ini ditentukan kemungkinan-kemungkinan resiko yang terjadi pada obyek serta penyebabnya. Salah satu metode yang digunakan dalam risk assessment adalah FMEA ( Failure Mode Effect Analysis ), dimana dalam FMEA ditentukan runtutan dari sebuah resiko yang terjadi sebelumnya hingga ke penyebabnya, sehingga dari sebuah kegagalan yang terjadi ( resiko ) bisa ditentukan gangguan awal yang menyebabkannya. Pembahasan mengenai FMEA akan dibahas lebih lanjut di sub-bab berikutnya. Aspek lain yang penting dalam condition assessment adalah monitoring diagnosis. Monitoring diagnosis berarti melakukan suatu pemantauan terhadap parameter-parameter yang berpengaruh pada suatu obyek dan kemudian menentukan fenomena apa yang terjadi. Hasil monitoring diagnosis ini dikombinasikan dengan faktor-faktor penyebab resiko yang ada pada risk assessment ( FMEA ) sehingga bisa ditentukan gangguan yang terjadi serta pengaruhnya pada kondisi obyek. Pada akhirnya kondisi obyek tersebut dapat ditentukan dengan memperhatikan parameter - parameter yang ada, gangguan yang terjadi serta kemungkinan


(28)

penyebab gangguan tersebut. Gambar 3.2 di bawah berikut merupakan bentuk hubungan antara condition assessment, risk assessment dan monitoring diagnosis.

RISK ASSESSMENT CONDITION ASSESSMENT

MONITORING DIAGNOSIS

Gambar 3.2 Hubungan antar condition assessment

Ada beberapa keuntungan yang didapat dengan melakukan condition assessment antara lain :

a. Dapat mengurangi biaya operasi dan perawatan, hal ini disebabkan pengubahan metode perawatan dari pola berbasis waktu ( time base ), menjadi pola berbasis kondisi ( condition based )

b. Meningkatkan ketersediaan dan keandalan obyek. Dengan melakukan condition assessment maka dapat dianalisis kemungkinan gangguan-gangguan yang terjadi serta parameter yang terlibat dalam gangguan tersebut sehingga dapat dilakukan tindakan preventif untuk mencegah hal-hal yang mengarah pada kegagalan. Hal ini akan meningkatkan ketersediaan serta keandalan obyek tersebut

c. Mengevaluasi umur penggunaan komponen pada obyek. Berdasarkan kondisi sebenarnya yang ada di lapangan maka dapat


(29)

ditentukan kelayakan suatu komponen untuk tetap digunakan atau harus diganti

d. Estimasi umur pakai suatu obyek berdasarkan kondisi sebenarnya. Jika kondisi obyek telah diketahui serta gangguan yang ada dapat dimonitor dengan baik maka dapat diestimasi berapa lama obyek dapat bertahan dalam menghadapi gangguan tersebut

3.2 CONDITION ASSESSMENT DALAM SISTEM KELISTRIKAN

Dalam hal sistem kelistrikan condition assessment dapat diterapkan pada gardu, trafo, kabel, mesin – mesin, berbagai macam isolasi yang tentunya memiliki batas umur dalam pemakaiannya. Penerapan condition assessment pada tiap – tiap objek tentunya berbeda beda dikarenakan adanya perbedaan dalam beberapa parameter yang harus diukur dari objek yang satu dengan yang lainnya. Contohnya condition assessment pada kabel listrik berbeda dengan condition assessment pada trafo, hal ini karena adanya perbedaan isolasi kabel dengan trafo: yaitu minyak pada trafo dan bahan Polyvinyl chloride (pvc) pada kabel, dan akan masih banyak berbagai hal yang dapat dijadikan parameter untuk melakukan condition assessment pada suatu objek.

3.3 CONDITION ASSESSMENT PADA GIS

Penerapan condition assessment pada GIS dengan melakukan assessment pada parameter terukur pada GIS yang sudah dibahas pada bab sebelumnya. Parameter ini didefinisikan sebagai kondisi fisik dari gas SF6 dan fenomena listrik yang terjadi. Parameter tersebut antara lain:


(30)

a. Tekanan ( pressure ) b. Kemurnian (purity ) c. Titik embun ( dew point )

d. Produk hasil dekomposisi ( decomposition product ) e. Suhu lingkungan ( ambient temperature )

f. Aktivitas Partial Discharges

Gabungan kondisi dari semua parameter ini akan menunjukkan tingkat unjuk kerja dari GIS. Ada beberapa faktor yang menjadi indikator kunci pada GIS berdasarkan CIGRE 309 Technical Brochure 150, yaitu antara lain :

a. Kekuatan dielektrik

b. Kemampuan membuka / menutup pengaman berdasarkan perintah c. Kemampuan membawa arus ( pada konduktor )

d. Kekuatan mekanis ( struktur ) e. Kondisi fisik gas SF6

f. Kekuatan tabung

g. Tidak ada aktivitas partial discharges h. Keadaan tidak terkunci

Indikator ini menunjukkan hal-hal yang harus dipenuhi oleh GIS untuk dapat bekerja secara baik. Jika ada point yang tidak terpenuhi maka GIS tersebut rentan terhadap kegagalan kerja. indikator tersebut dapat kita klasifikasikan menjadi 3 kategori yang lebih umum yaitu:


(31)

1. Struktur dan material GIS: meliputi kekuatan mekanis, kekuatan tabung serta kemampuan membawa arus pada konduktor

2. Gas isolasi SF6: meliputi kekuatan dielektrik, kondisi fisik gas SF6 serta tidak ada aktivitas partial discharges.

3. Mekanisme operasi GIS : kemampuan membuka / menutup dan keadaan tidak terkunci.

Ketiga kategori diatas dapat dijadikan sebagai acuan dalam penentuan risk assessment dengan menggunakan metode FMEA( Failure Mode Effect Analysis ). Disisi lain akan dilakukan monitoring diagnosis pada parameter terukur GIS, sehingga akan didapat keterkaitan antara penyebab kegagalan dengan parameter fisik yang ada.

3.3.1 Risk Assessment menggunakan Failure Mode Effect Analysis (FMEA)

Kegagalan pada GIS dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor. Untuk menentukan faktor-faktor tersebut diperlukan sebuah risk assessment. Metode yang umum digunakan dalam risk assessment adalah FMEA. Dalam FMEA dilakukan analisis dengan cara mencari hubungan antara kegagalan dan faktor-faktor penyebabnya. Faktor penyebab ini lalu diurai menjadi bagian-bagian yang lebih kecil sehingga dapat ditemukan parameter apa yang terkait dalam memicu terjadinya kegagalan. Selain mencari parameter yang berpengaruh dalam kegagalan, dalam FMEA kita juga dapat menentukan besarnya resiko akibat penyebab kegagalan berdasarkan frekuensi terjadinya gangguan, pengaruh gangguan pada sistem serta level keselamatan saat gangguan terjadi.


(32)

Gambar 3.3 dibawah ini adalah diagram pemetaan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat unjuk kerja GIS:

Kebocoran Gas

Usia komponen Kesalahan desain

Arc / Spark

Partial discharge

Kesalahan operasi Gangguan pada line

Prilaku operasi Cacat komponen

Jumlah isolasi gas menurun

Intrusi gas lain Kemurnian Produksi hasil dekomposisi Kandungan

kelembaban

Titik embun

Kondisi Lingkungan

Iklim Polutan


(33)

Dengan menganggap resiko kegagalan yang terjadi adalah tembus listrik (electrical breakdown), maka dapat dibuat bagan FMEA yang dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bagian:

• Bagian yang terganggu

• Penyebab gangguan

• Efek gangguan

• Kegagalan yang terjadi

• Parameter yang terlibat

Selain itu ada beberapa hal yang perlu diamati untuk mengetahui sejauh mana gangguan tersebut terjadi, yaitu:

• Frekuensi gangguan

• Pengaruh gangguan pada sistem

• Level keselamatan

Dari FMEA di atas terlihat parameter-parameter yang terlibat dalam kegagalan yang terjadi pada GIS . Kemudian pengaruh parameter ini akan dijadikan sebagai sebuah acuan dalam menentukan faktor pembobotan ( weighting factor ) pada langkah selanjutnya. Setiap parameter akan mendapatkan bobot yang berbeda-beda, bergantung pada level resiko dan frekuensi kegagalan yang terjadi. Hal ini akan dibahas lebih detail pada pembahasan tentang faktor pembobotan.

3.3.2 Monitoring Diagnosis Pada GIS

Monitoring diagnosis yang dilakukan pada GIS meliputi pengamatan parameter. Dari pengamatan parameter ini akan ditentukan karakteristik yang dapat dimonitor sehingga didapatkan informasi-informasi parameter yang diukur.


(34)

Berikut ini adalah bagan hubungan antara monitoring diagnosis dengan teknik diagnosis dan parameter yang diamati seperti pada gambar 3.4 di bawah ini

Monitoring diagnosis GIS

Partial discharges

UHF/VHF dan emisi akustik ( AIA )

Pengukuran suhu

lingkungan Suhu lingkungan

Pengukuran produk hasil dekomposisi

Decomposition product Pengukuran titik

embun Titik embun

Pengukuran tekanan gas tekanan

Pengukuran kemurnian

kemurnian

Gambar 3.4 Hubungan antara monitoring diagnosis dengan teknik diagnosis dan parameter yang diamati.


(35)

3.4 FAKTOR-FAKTOR YANG DITENTUKAN DALAM CONDITION ASSESSMENT PADA GIS

Setelah melakukan risk assessment dan monitoring diagnosis dalam

condition assessment, maka akan didapat sejumlah data yang dimiliki oleh parameter-parameter yang telah diukur sebelumnya dari hasil monitoring diagnosis. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam hal pengolahan data ini adalah penentuan nilai batas ( boundary values ) serta penentuan faktor pembobotan ( weighting factor ).

3.4.1 Penentuan nilai batas ( boundary values )

Dalam menentukan suatu kondisi suatu obyek maka diperlukan sebuah nilai batas yang membedakan antara kondisi baik, sedang atau buruk . Nilai batas ini akan menjadi sebuah pembeda antara level kondisi satu dengan yang lainnya. Pada penentuan nilai batas ini perlu dibatasi area atau lokasi dimana nilai batas ini dapat diterapkan. Dalam konteks condition assessment pada GIS ini, GIS dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal :

a. Jumlah fasa dalam tabung. Dalam hal ini dipisahkan menjadi GIS 1 fasa dan GIS 3 fasa. Untuk GIS 1 fasa sendiri dibagi lagi berdasarkan fasanya ( R,S atau T )

b. Kompartemen dari GIS berdasarkan kemampuan switching atau non-switching yang dimiliki. Untuk kompartemen dengan kemampuan switching dipisahkan menjadi 2 bagian yaitu disconnecting switch dan circuit breaker. Sedangkan untuk kompartemen lain selain itu dikelompokkan dalam kompartemen


(36)

non-switching. Yang termasuk dalam kompartemen non-switching ini antara lain: CT, PT dan Sealing End

Setelah memiliki batasan area yang jelas, maka dapat melakukan standardisasi terhadap data dari setiap parameter yang kita miliki.

Langkah selanjutnya adalah menentukan nilai batas untuk setiap batasan area yang telah dipilih. Dalam menentukan nilai batas ini, dapat menggunakan batasan yang ada pada standard internasional maupun melalui pengolahan statistik pada data yang dimiliki. Berikut adalah standard internasional untuk beberapa parameter dalam GIS:

a. Tekanan ( pressure ) :

Tidak tepat disebutkan karena dapat berbeda pada setiap kompartemen, hanya ditekankan laju penurunan tekanan (leakage rate) tidak melebihi 1% pertahun per instalasi GIS ( IEEE C37.122 )

b. Kemurnian (purity) : Standar >97% ( IEC 60376) c. Titik embun ( dew point ) :

< -5 ̊ C ( standar CIGRE )

d. Produk hasil dekomposisi ( decomposition product ) : Nilai produk hasil dekomposisi < 2000 ppmv

( CIGRE 23.10 Task force 01 )

e. Suhu lingkungan ( ambient temperature ) :

antara 30 C sampai dengan 40 C ( IEEE C37.38 ) f. Aktivitas Partial Discharges:


(37)

Sedangkan untuk pengolahan data menggunakan statistik, digunakan perhitungan distribusi normal untuk mencari nilai rata-rata ( mean ) dan standard deviasi ( data tiap kompartemen terlampir di lampiran ). Dari nilai standar internasional ataupun nilai rata-rata dan standard deviasi pada setiap kompartemen ini maka dapat diambil suatu nilai batas antara kondisi yg satu dengan yang lainnya dimana kondisi ini dapat dibagi menjadi 3 bagian kondisi yaitu:

1. Kondisi 1 untuk nilai parameter yang berada di bawah nilai rata-rata (mean). Kondisi ini menunjukkan bahwa nilai parameter dari suatu GIS berada pada kondisi buruk atau tidak layak.

2. Kondisi 6 untuk nilai parameter yang berada pada range antara nilai rata-rata dengan resultan nilai rata-rata-rata-rata dan standard deviasi ( mean + standard deviasi ). Kondisi 6 merupakan kondisi pertengahan, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada kondisi ini nilai parameter berada pada kondisi minimum untuk layak beroperasi.

3. Kondisi 9 untuk nilai parameter yang berada melebihi dari resultan antara nilai rata-rata dan standard deviasi ( mean + standard deviasi ). Kondisi ini menunjukkan nilai parameter dari GIS berada pada level yang baik atau sangat layak.

3.4.2 Penentuan Faktor Pembobotan ( Weighting Factor )

Faktor pembobotan untuk setiap parameter dalam GIS dapat berbeda-beda berdasarkan pengaruh parameter tersebut pada kegagalan terjadi. Dalam penentuan faktor pembobotan belum ditemukan teori yang secara detail


(38)

membahas tentang level pembobotan itu sendiri. Hal ini membuat asumsi mengenai faktor pembobotan dapat berbeda-beda untuk suatu kasus dengan kasus yang lain. Dan asumsi ini menjadi unik, tergantung sejauh mana analisis dan data yang dimiliki untuk kemudian dapat menempatkan suatu parameter lebih tinggi atau lebih rendah bobotnya dibandingkan parameter lainnya. Dalam menentukan faktor pembobotan kali ini, dilakukan studi FMEA terhadap GIS. Dari hasil studi ini terlihat beberapa parameter yang terlibat dalam kegagalan GIS. Dengan menganggap kegagalan yang terjadi pada GIS adalah sama yaitu terjadinya breakdown, maka dapat dilihat sejauh mana statistik suatu parameter terlibat dalam kegagalan. Dalam hal ini maka yang diperhatikan adalah frekuensi parameter tersebut terlibat sehingga menyebabkan breakdown pada GIS. Semakin sering parameter tersebut terlibat dalam kegagalan, maka faktor pembobotannya dibuat menjadi lebih tinggi. Sebaliknya, jika semakin jarang parameter tersebut terlibat maka faktor pembobotannya menjadi lebih rendah.


(39)

BAB IV

CONDITION ASSESSMENT GIS 150 kV GLUGUR MEDAN

4.1 KONDISI EKSISTING GIS 150 kV GLUGUR MEDAN

Condition assessment ini dilakukan pada GIS 150 kV Glugur yang berlokasi di jalan KL. Yos Sudarso Lorong XII Medan, Sumatera Utara. Dengan dioperasikannya jaringan transmisi yang menghubungkan GIS 150 kV Glugur ke GI 150 kV Paya Geli pada tanggal 12 Desember 1988, maka sejak tanggal 19 Desember 1988 beroperasilah GIS 150 kV Glugur. GIS 150 kV Glugur yang dibangun pada tahun 1987 berada di wilayah kerja PLN Sektor Glugur yang merupakan bagian dari PLN Wilayah II Sumatera Utara. Pembangunan GIS 150 kV Glugur ini dimaksudkan untuk keandalan sistim operasional Pusat Listrik Tenaga Diesel ( PLTD ) Glugur dan Pusat Listrik Tenaga Gas ( PLTG ) Glugur. Selanjutnya, sejak tahun 1998, dengan adanya pembentukan organisasi baru yaitu PLN Pembangkitan dan Penyaluran Sumatera Bagian Utara yang merupakan pecahan dari PLN Wilayah II Sumatera Utara, maka GIS 150 kV Glugur menjadi bagian dari wilayah kerja Unit Transmisi dan Gardu Induk Glugur di bawah naungan Sektor Glugur. Seiring dengan perkembangan zaman dan tuntutan konsumen, semenjak tahun 2005 sampai dengan sekarang, oleh karena dibentuknya PLN Pusat Penyaluran dan Pengatur Beban Sumatera, maka GIS 150 kV Glugur menjadi bagian dari Unit Pelayanan Transmisi Medan di bawah naungan Transmisi dan Gardu Induk Glugur. GIS 150 kV Glugur ini dibuat oleh pabrikan Sprecher Energie dengan tipe indoor. Kompartemen pada GIS 150 kV Glugur memiliki tipe satu phasa per enclosure atau three pole, sehingga antara


(40)

phasa R, phasa S, dan phasa T berada pada enclosure yang terpisah. GIS 150 kV Glugur terdiri dari beberapa bay utama seperti diperlihatkan pada tabel 4.1

Tabel 4.1 Nama Bay, Pembuatan, dan Operasi Pada GIS 150 kV Glugur

NO NAMA BAY PHASA PEMBUATAN OPERASI

1 PAYA GELI 1

R

1987 1988

S T

2 PAYA GELI 2

R

1987 1988

S T

3 TRAFO 1

R

1987 1988

S T

4 TRAFO 2

R

1987 1988

S T

5 KOPEL

R

1987 1988

S T

4.2 RISK ASSESSMENT DENGAN FMEA ( Failure Mode Effect

Analysis )

Dalam melakukan condition assessment sangat diperlukan riwayat kerusakan dan gangguan yang pernah terjadi sehingga dapat diketahui unjuk kerja dari peralatan serta sebagai bahan dalam penyempurnaan FMEA yang telah ada, untuk itu GIS assessment team PT. PLN P3B Jawa Bali mengeluarkan tabel FMEA dimana Dari FMEA tersebut akan terlihat parameter-parameter yang terlibat dalam kegagalan yang terjadi pada GIS. Pengaruh parameter ini akan dijadikan sebuah acuan dalam menentukan faktor pembobotan ( weighting factor )

pada langkah selanjutnya. Setiap parameter akan mendapatkan bobot yang berbeda-beda, bergantung pada level resiko dan frekuensi kegagalan yang terjadi.


(41)

Tabel 4.2 FMEA GIS PT.PLN P3B Jawa Bali Bagian yang terganggu Penyebab gangguan Efek dari gangguan Kegagalan yang terjadi Parameter yang terlibat Frekuensi kegagalan Pengaruh gangguan pada sistem Level keselamatan Isolasi gas SF6 Penurunan kualitas gas Penurunan kekuatan dielektrik gas Breakdown Decomposition product, purity, partial discharge

1 3 3

Junction (bushing-base) Kesalahan instalasi (kebocoran) Penurunan kekuatan dielektrik gas, gas bocor

Breakdown pressure,purity 1 3 2

Mekanisme operasi Kebocoran valve (uap air/polutan) Kehilangan kompresi, menambah waktu pemadaman busur api Breakdown dew point, partial discharge

1 2 2

Mekanisme operasi

stress kimia pada ruang kompresi Kehilangan kompresi, menambah waktu pemadaman busur api Breakdown decomposition product, partial discharge

1 2 2

Seal/O-Ring Penurunan kualitas seal/o-ring Penurunan kekuatan dielektrik gas, gas bocor Breakdown pressure, purity, decomposition

product 1 3 3

Junction (upper-lower bushing parts) Kesalahan konstruksi (kebocoran) Penurunan kekuatan dielektrik gas, gas bocor Breakdown pressure, purity, decomposition

product 1 3 3

Junction (upper-lower bushing parts) Penguatan medan listrik lokal

Keretakan Breakdown

partial discharge, decomposition

product

1 3 3

Junction (conductor-rod shaft) Kesalahan konstruksi Interupsi tanpa

diperintah Breakdown

Partial

discharge 1 3 2

Termination Kesalahan konstruksi Penguatan medan listrik lokal Breakdown partial discharge, decomposition product

1 3 2

Termination Kegagalan levelisasi medan Penguatan medan listrik lokal Breakdown partial discharge, decomposition product

1 3 2

Junction (upper-lower

bushing parts)

stress thermal Ekspansi gas Breakdown temperature,

pressure 1 2 3

Mechanical mover Kesalahan konstruksi Respons tertunda, menambah waktu pemadaman busur api Breakdown partial

discharge 1 2 2

Mekanisme operasi Kebocoran pipa elastis kehilangan kompresi

Breakdown Pressure 1 2 2

Seal/O-Ring Kesalahan instalasi Penurunan kekuatan dielektrik gas, gas

Breakdown Pressure ,purity 1 2 3

Gas rupture disks

Keretakan Penurunan kekuatan dielektrik gas,

gas bocor

Breakdown Pressure, partial

discharge 1 2 3

Open/Close indicator of earthing switches Keretakan Penurunan kekuatan dielektrik gas, gas bocor

Breakdown Pressure, partial

discharge 1 2 3

Mekanisme

Kehilangan kompresi,


(42)

Tabel 4.3 Kategori Frekuensi Kegagalan

KATEGORI FREKUENSI KEGAGALAN

1 Tidak pernah

2 < 2

3 2< f ≤ 4 4 >4

Tabel 4.4 Kategori pengaruh pada sistem dan level keselamatan

KATEGORI PENGARUH PADA SISTEM KATEGORI LEVEL KESELAMATAN

1 Tidak berpengaruh 1 Tidak berpengaruh 2 Bekerja dengan resiko rendah 2 Resiko rendah 3 Bekerja dengan resiko tinggi 3 Resiko tinggi

4.3 PROSEDUR PENGUJIAN GIS 150Kv GLUGUR MEDAN

Untuk melakukan pengujian terhadap GIS 150kV Glugur Medan, diperlukan prosedur dimana dalam prosedur ini ditetapkan peralatan, perlengkapan, material serta langkah – langkah pengujian yang akan dilakukan.

Berikut adalah prosedur untuk melakukan pengujian GIS 150kV Glugur Medan

4.3.1 PERALATAN KERJA PERLENGKAPAN K2 DAN MATERIAL

A. Peralatan kerja

1. RH System Model 973-SF6 Analyzer ( Purity dan Dew Point ). 2. Teims-Portable PM 2.0 ( Decomposition Product ).

3. AIA Merk TransiNor ( Partial Discharge ). 4. Flir Thermacam TM ( Pengukuran Suhu ). 5. Dilo Tipe 3-033-R002 ( Leakage Detector ). 6. Multimeter.


(43)

8. Neple.

9. Regulator gas SF6.

B. Perlengkapan K2 1. Helm.

2. Sepatu tahan bentur dan atau tahan minyak. 3. Masker gas SF6.

4. Sarung Tangan. 5. Exhaust Fan Portable.

6. Ijin kerja K2 (Working Permit).

C. Material 1. Gas SF6. 2. Majun Kaos.

4.3.2 LANGKAH-LANGKAH PELAKSANAAN

A. Pengujian Kualitas Gas SF6

1. Persiapan

a. Menyiapkan neple.

Fasilitas neple yang terdapat di kompartemen adalah sebagai berikut:

Gambar 4.1 Fasilitas Neple Pada Kompartemen


(44)

Jenis neple yang digunakan pada saat pengujian, antara lain:

Neple DN8 yang terdapat di peralatan uji RH System

Neple DN20 yang terdapat di peralatan uji RH System

Neple untuk kompartemen PMS dan PT Neple untuk kompartemen PMT

Gambar 4.2 Jenis-Jenis Neple Yang Digunakan b. Menyiapkan alat uji kualitas gas SF6.

c. Menyiapkan gas SF6 dalam tabung.

d. Menguji decomposition product gas SF6 dalam tabung dan memastikan hasil ujinya baik semuanya ( sebagai gas SF6 referensi).

2. Pelaksanaan Pengujian Kualitas Gas SF6

a. Rangkai alat uji RH System Model 973-SF6 Analyzer dengan

neple yang sesuai dengan kompartemen.

b. Lakukan pengujian purity dan dew point.

c. Catat dan atau simpan hasil uji.

d. Lepaskan alat uji RH System Model 973-SF6 Analyzer dari kompartemen.


(45)

e. Rangkai alat uji Teims-Portable PM 2.1 dengan neple yang sesuai dengan kompartemen.

f. Lakukan pengujian decomposition product.

g. Catat dan atau simpan hasil uji.

h. Lepaskan alat uji TEIMS-Portable PM 2.1. i. Lakukan pengujian pada kompartemen lainnya.

B. Pengukuran Partial Discharge

1. Persiapan

a. Menyiapkan alat ukur partial discharge.

b. Menyiapkan tangga di dekat kompartemen. 2. Pelaksanaan

a. Rangkai alat ukur dengan sensor.

b. Bersihkan permukaan kompartemen yang akan ditempelkan dengan sensor.

c. Lakukan pengukuran partial discharge.

d. Catat dan atau simpan hasil ukur.

e. Lakukan pengukuran pada kompartemen lainnya.

C. Pengukuran Suhu

1. Persiapan

a. Menyiapkan alat ukur suhu.


(46)

c. Tentukan titik tembak pengukuran ( sambungan, klem, kompartemen, dan pentanahan ).

2. Pelaksanaan

a. Lakukan pengukuran pada titik tembak yang telah ditentukan. b. Catat dan atau simpan hasil ukur.

c. Lakukan pengukuran pada titik tembak lainnya.

D. Pendeteksian Kebocoran Gas SF6

1. Persiapan

a. Menyiapkan alat ukur kebocoran gas SF6. b. Pastikan baterai alat ukur dalam kondisi siap.

c. Tentukan titik pengukuran ( sambungan, neple dan pipa-pipa ). 2. Pelaksanaan

a. Lakukan pengukuran pada titik pengukuran yang telah ditentukan. b. Catat titik pengukuran yang ada indikasi kebocoran.

c. Lakukan pengukuran pada titik pengukuran lainnya.

E. Finishing

a. Lakukan pengecekan dan pemeriksaan tekanan gas SF6 untuk semua kompartemen dan lakukan penambahan gas SF6 pada kompartemen yang tekanannya berkurang. Kemudian catat data penambahan dan tekanan gas SF6 untuk semua kompartemen.

b. Pastikan neple kompartemen tidak ada kebocoran dengan menggunakan alat ukur kebocoran gas SF6.


(47)

c. Pastikan tidak ada peralatan yang tertinggal di kompartemen. d. Mengumpulkan data-data hasil uji dan ukur.

4.4 MONITORING DIAGNOSIS PADA GIS

Monitoring diagnosis yang dilakukan pada GIS 150kV Glugur medan adalah mengamati kondisi fisik dari GIS tersebut secara visual dan parameter – parameter terukur yang sudah diamati dan dicatat sebelumnya

Berdasarkan pengamatan kondisi fisik dari GIS secara visual, didapat data sebagai berikut :

1. Tidak diketemukan korosi maupun oksidasi pada kompartemen maupun sambungan-sambungannya.

2. Tidak diketemukan indikasi kebocoran gas SF6.

Sedangkan untuk data parameter yang terukur dapat dilihat pada tabel yang sudah dilampirkan sebelumnya yang akan digunakan untuk menentukan nilai batas dan data FMEA dari PLN digunakan untuk menentukan faktor pembobotan.

4.5 PENENTUAN NILAI BATAS DAN FAKTOR PEMBOBOTAN

Dari data – data parameter terukur yang sudah dikumpulkan, kita dapat menentukan nilai batas pada kondisi baik, sedang ataupun buruk. Nilai batas ini berdasarkan standar internasional yang sudah ditetapkan sebelumnya, yang juga digunakan oleh tim assessment PT.PLN P3B Jawa Bali untuk melakukan assessment terhadap GIS 150 kV Glugur Medan. Berikut merupakan nilai batas yang digunakan dalam assessment GIS 150 kV Glugur Medan :


(48)

a. Tekanan ( pressure ) :

Tidak eksak disebutkan karena dapat berbeda pada setiap kompartemen, hanya ditekankan laju penurunan tekanan ( leakage rate ) tidak melebihi 1% pertahun per instalasi GIS ( IEEE C37.122 ) dimana buku panduan GIS Sprecher Energie sebagai merek yang digunakan dapat dijadikan acuan untuk menentukan tekanan yang dianjurkan per kompartemen. b. Kemurnian (purity) :

>97 % ( IEC 60376 ) c. Titik embun ( dew point ) :

< -5 ̊ C ( standar CIGRE )

d. Produk hasil dekomposisi ( decomposition product ) : Nilai produk hasil dekomposisi < 2000 ppmv

( CIGRE 23.10 Task force 01 )

e. Suhu lingkungan ( ambient temperature ) :

antara 30 ̊ C sampai dengan 40 ̊ C ( IEEE C37.38 ) f. Aktivitas Partial Discharges :

dilihat berdasarkan hasil monitoring diagnosis

Kemudian dari data diatas akan diklasifikasikan menjadi tiga kondisi penilaian yaitu :

1. Kondisi 1 ( Merah ) atau buruk

2. Kondisi 6 ( kuning ) atau layak beroperasi dengan kondisi minimum


(49)

Berikut tabel 4.5 yang berisi nilai batas yang digunakan untuk setiap kompartemen yang sudah dijelaskan pada Bab sebelumnya beserta kondisi penilainanya nya :

Tabel 4.5 Nilai batas yang ditentukan untuk kompartemen GIS

Parameter dan satuan nya

Nilai batas

Kondisi 1 Kondisi 6 Kondisi 9 Tekanan ( bar ) Sesuai buku panduan, dengan penurunan < 1% per tahun Kemurnian ( % ) < 97 % 97 % >97 % Titik embun ( ° C ) >5 ° C - 5 ° C < -5 ° C

Produk hasil

dekomposisi ( ppmv )

>2000ppmv 1000 - 2000 ppmv < 1000 ppmv

Suhu lingkungan ( °C) > 40 ° C 30 – 40 ° C < 30 ° C Aktivitas partial

discharge

Intensitas tinggi Intensitas rendah Tidak terdapat partial discharge

Berikutnya akan ditentukan faktor pembobotan yang dibuat berdasarkan data FMEA sebelumnya dimana faktor pembobotan tersebut berdasarkan hubungan frekuensi terlibatnya parameter dengan kegagalan yang terjadi. Untuk itu dibuat perbandingan akumulasi frekuensi kegagalan dan parameter yang terlibat seperti pada tabel 4.6 berikut :

Tabel 4.6 Perbandingan akumulasi frekuensi kegagalan dan parameter yang terlibat

Parameter yang terlibat

Frekuensi kegagalan

Decomposition product, purity, partial discharge

1

pressure, purity 1

dew point, partial discharge

1 decomposition product,

partial discharge


(50)

pressure, purity, decomposition product

1 pressure, purity,

decomposition product

1 partial discharge,

decomposition product

1

Partial discharge 1

partial discharge, decomposition product

1

partial discharge, decomposition product

1

temperature, pressure 1

partial discharge 1

pressure 1

pressure, purity 1

pressure, partial discharge 1

pressure, partial discharge 1

pressure, partial discharge 1

Tabel 4.7 Hubungan Perbandingan akumulasi frekuensi kegagalan dan parameter yang terlibat

Dari akumulasi frekuensi kegagalan pada masing-masing parameter ini penulis mengasumsikannya menjadi 3 kelompok besar yaitu

Parameter Akumulasi frekuensi

kegagalan

Tekanan 9

Kemurnian 5

Titik embun 1

Produk hasil dekomposisi 7

Suhu lingkungan 1


(51)

A. Kelompok 1, untuk akumulasi frekuensi kegagalan ≥ 10 yaitu partial discharge.

B. Kelompok 2, untuk akumulasi frekuensi kegagalan 5 ≤ f <10 yaitu: pressure, purity dan decomposition product.

C. Kelompok 3, untuk akumulasi frekuensi kegagalan f <5 yaitu: dew point dan ambient temperature .

Maka untuk parameter yang berada di kelompok satu akan mendapatkan level pembobotan yang lebih tinggi dibandingkan kelompok yang lain. Untuk faktor pembobotan tiap kelompok,kita dapat mengalikannya dengan sebuah konstanta yang berbeda-beda untuk tiap kelompok. Kelompok 1 akan mendapatkan nilai konstanta yang paling tinggi dibandingkan kelompok yang lainnya.Berikut adalah faktor pembobotan menggunakan konstanta diajukan untuk tiap parameter seperti yang terlihat pada Tabel 4.8.

Tabel 4.8 Faktor pembobotan parameter

Kelompok Parameter

Faktor pembobotan dengan pengalian

konstanta

1 Partial disharge X 20

2

Kemurnian X 10

Produk hasil dekomposisi X 10

Tekanan X 10

3

Titik embun X 5


(52)

4.6 NILAI AKHIR KONDISI GIS 150kV GLUGUR MEDAN

Berdasarkan condition assessment dapat dihasilkan nilai akhir kondisi GIS seperti pada Tabel 4.9 berikut :

Tabel 4.9 Nilai akhir kondisi GIS 150 kV Glugur Medan

Jika semua kondisi parameter bernilai 1 atau buruk maka nilai akhir kondisi terburuk yang mungkin terjadi adalah 60. Namun jika kondisi semua parameter bernilai 6 atau sedang, maka yang didapatkan adalah 360. Nilai 360 ini menunjukkan persyaratan minimum parameter untuk dapat beroperasi dengan layak. Dan jika kondisi semua parameter berada pada kondisi 9 atau baik, maka total nilai kondisi terbaik yang didapatkan adalah 540. Berdasarkan pembagian itu, maka nilai akhir GIS Glugur berada pada level antara nilai 360 dan nilai 540 dimana GIS berada dalam keadaan sangat layak, hal ini juga didukung oleh kenyataan bahwa GIS Glugur sekalipun belum pernah mengalami breakdown dari awal beroperasi nya GIS tahun 1988 Berikut Gambar 4.1 merupakan ilustrasi perbandingan nilai kondisi akhir GIS Glugur:

Parameter Kondisi Faktor

pembobotan

Hasil setelah pembobotan

Tekanan 9 X 10 90

Kemurnian 9 X 10 90

Titik embun 9 X 5 45

Produk hasil dekomposisi

9 X 10 90

Suhu lingkungan 6 X 5 30

Aktivitas partial discharge

6 X 20 120


(53)

60 360 465 540

Kondisi buruk kondisi sangat layak


(54)

BAB V KESIMPULAN

Berdasarkan hasil condition assessment pada parameter isolasi gas SF6 dan aktivitas partial discharge disimpulkan bahwa GIS Glugur berada pada level kondisi yang sangat layak beroperasi. Hal ini dapat dilihat dari total skor pada penilaian kondisi akhir yang bernilai 480, hal ini dapat dilihat dari Gambar 4.1 dimana nilai ini jauh berada diatas nilai 360 yang merupakan kondisi menengah atau nilai minimum kondisi GIS untuk dinyatakan layak beroperasi dan didukung dengan fakta bahwa GIS Glugur belum pernah sekalipun mengalami breakdown dari awal GIS tersebut beroperasi tahun 1988.

SARAN

1. Agar ditentukan jadwal dilakukannya Condition Assessment gas sf6 berikutnya pada GIS 150kV Glugur Medan.

2. Agar dilakukan pemeriksaan Remaining Life Assessment ( sisa usia pakai peralatan ) pada GIS 150kV Glugur Medan.


(55)

DAFTAR PUSTAKA

1. CIGRE 309 Asset Management of Transmission System and Associated CIGRE Activities. December 2006

2. IEEE Guide For Gas-Insulated Substations ( IEEE Std C37.122.1-1993 ) 3. Siregar, Erlangga Mukti Parlindungan, 2008, Condition Assessment GIS

150 kV Salak Lama-Gunung Salak, ITB, Bandung. 4. CIGRE 309 Technical Brochure 150. 2006

5. CIGRE Technical Forces 15.11/33.03.02. Knowledge Rules for Partial Discharge Diagnosis in Service. 2003

6. IEC standard 60376 Specification of technical grade sulfur hexafluoride (SF6) for use in electrical equipment, 2005.

7. http://www.pln.co.id/p3bjawabali/?p=451 ( GI / GITET )

8. CIGRE 15/23-1 Diagnostic Methods for GIS Insulating System.1992 9. CIGRE 150. Report On The Second International Survey On High

Voltage Gas Insulated Substation Service Expected. February 2000

10.CIGRE 286, Instrumentation and Measurement for In Service Monitoring of High Voltage Insulation.December 2005.

11.CIGRE 381 GIS The State Of Art 2008

12.Sprecher Energie, Operation and Maintenance Instructions for Transmission & Distribution System Development, Glugur 150 kV GIS Substation. 1986

13.Modul Training pengujian GIS, PT. PLN P3B Jawa Bali, 2008 14.Laporan assessment GIS 150 kV GLUGUR 05 – 11 APRIL, 2010 15.IEC Standard 60270 High-voltage test techniques - Partial discharge

Measurements

16.Pharmatrisanti Anita Long Term Performance of Gas-Insulated Switchgear Operating under Tropical Conditions, Technische Universiteit Delft, 2012


(56)

LAMPIRAN

Max Min Average

R 0.44 0.23 0.29 Normal

S 0.43 0.23 0.49 Normal

T 0.46 0.23 0.29 Normal

R 0.74 0.40 0.52 Normal

S 0.85 0.26 0.34 Normal

T 0.56 0.30 0.38 Normal

R 1.67 0.23 0.40 Normal

S 0.50 0.24 0.32 Normal

T 0.42 0.22 0.28 Normal

R 0.68 0.34 0.46 Normal

S 0.48 0.27 0.34 Normal

T 0.58 0.33 0.43 Normal

R 0.53 0.27 0.34 Normal

S 0.46 0.23 0.30 Normal

T 0.49 0.23 0.40 Normal

R 0.48 0.22 0.29 Normal

S 0.57 0.32 0.40 Normal

PHASA

AI A-TRANSI NOR

KETERANGAN Amplitudo ( mV)

06. 07-04-2010 PMS Ground Pengapit

Bawah TRAFO 1

CT Bus

NO TANGGAL

PENGUJI AN BAY KOMPARTEMEN

01. 07-04-2010 PMT

07-04-2010 CT Trafo

02. 07-04-2010 PMS Bus 1

03. 07-04-2010

HASIL PENGUJIAN PENGUKURAN PARTIAL DISCHARGE GIS GLUGUR UPT MEDAN

04. 07-04-2010 PMS Bus 2

05.

T 0.71 0.25 0.33 Normal

R 1.67 0.22 0.29 Normal

S 0.45 0.21 0.28 Normal

T 0.47 0.23 0.30 Normal

R 0.49 0.22 0.29 Normal

S 1.67 0.22 0.28 Normal

T 0.44 0.22 0.28 Normal

R 0.53 0.24 0.30 Normal

S 0.52 0.23 0.30 Normal

T 0.48 0.23 0.30 Normal

R 1.67 0.25 0.33 Normal

S 0.44 0.21 0.28 Normal

T 0.51 0.25 0.32 Normal

R 1.01 0.26 0.33 Normal

S 1.67 0.25 0.33 Normal

T 0.67 0.30 0.40 Normal

R 1.67 0.28 0.41 Normal

S 0.74 0.30 0.41 Normal

T 1.67 0.30 0.42 Normal

R 1.67 0.32 0.44 Normal

S 0.90 0.31 0.42 Normal

T 0.64 0.32 0.42 Normal

R 0.51 0.26 0.53 Normal

S 1.67 0.31 0.43 Normal

T 0.73 0.31 0.42 Normal

R 1.67 0.29 0.44 Normal

08.

GI L 3

08-04-2010

08-04-2010 CT Bus

PMT

13.

11. 07-04-2010 Bus Bar 2

12. 08-04-2010

PMS Bus 1

14.

10. 07-04-2010 Bus Bar 1

07-04-2010 GI L 2

09. 07-04-2010


(57)

Max Min Average PHASA

AI A-TRANSI NOR

KETERANGAN Amplitudo ( mV)

NO TANGGAL

PENGUJI AN BAY KOMPARTEMEN

R 1.67 0.29 0.40 Normal

S 1.67 0.31 0.43 Normal

T 1.67 0.29 0.43 Normal

R 1.20 0.37 0.55 Normal

S 0.82 0.34 0.49 Normal

T 1.39 0.33 0.47 Normal

R 0.85 0.37 0.51 Normal

S 0.85 0.35 0.48 Normal

T 1.03 0.35 0.54 Normal

R 1.19 0.42 0.63 Normal

S 0.57 0.27 0.35 Normal

T 1.67 0.38 0.61 Normal

R 1.67 0.36 0.54 Normal

S 1.67 0.33 0.50 Normal

T 1.67 0.36 0.64 Normal

R 1.61 0.32 0.51 Normal

S 1.38 0.37 0.55 Normal

T 1.67 0.34 0.56 Normal

GI L 1

21. 08-04-2010 Bus Bar 1

08-04-2010 GI L 3

20.

19. 08-04-2010 GI L 2

18. 08-04-2010

22. 08-04-2010 Bus Bar 2


(58)

Max Min Average PHASA

AI A-TRANSI NOR

KETERANGAN Amplitudo ( mV)

NO TANGGAL

PENGUJI AN BAY KOMPARTEMEN

R 0.45 0.23 0.29 Normal

S 1.03 0.24 0.30 Normal

T 1.04 0.24 0.30 Normal

R 0.42 0.21 0.27 Normal

S 0.51 0.22 0.28 Normal

T 0.44 0.21 0.27 Normal

R 0.40 0.21 0.27 Normal

S 0.41 0.22 0.28 Normal

T 1.67 0.20 0.29 Normal

R 1.44 0.21 0.28 Normal

S 1.67 0.21 0.27 Normal

T 0.44 0.20 0.27 Normal

R 0.50 0.25 0.31 Normal

S 0.50 0.23 0.30 Normal

T 0.47 0.24 0.30 Normal

R 0.53 0.25 0.32 Normal

S 0.51 0.25 0.32 Normal

T 0.53 0.24 0.31 Normal

R 0.47 0.23 0.30 Normal

S 1.59 0.29 0.37 Normal

T 1.67 0.23 0.32 Normal

R 1.04 0.24 0.33 Normal

S 1.67 0.23 0.30 Normal

T 1.67 0.31 0.44 Normal

30. 06-04-2010 GI L 2

27. 06-04-2010 PMS Line

06-04-2010

CT Line

29. 06-04-2010 GI L 1

PMS Bus 2 PMS Bus 1

25. 06-04-2010 CT Bus

PAYA GELI 1

PMT 24. 06-04-2010 28. 06-04-2010 26. 23. 06-04-2010

R 0.45 0.22 0.29 Normal

S 0.61 0.23 0.29 Normal

T 0.80 0.22 0.31 Normal

R 0.45 0.22 0.29 Normal

S 0.62 0.24 0.30 Normal

T 0.58 0.23 0.31 Normal

R 0.67 0.28 0.39 Normal

S 1.06 0.30 0.42 Normal

T 0.66 0.31 0.42 Normal

R 1.67 0.31 0.44 Normal

S 0.73 0.32 0.43 Normal

T 0.66 0.33 0.44 Normal

R 0.68 0.32 0.43 Normal

S 0.66 0.30 0.42 Normal

T 0.85 0.33 0.46 Normal

R 0.74 0.29 0.39 Normal

S 1.06 0.29 0.38 Normal

T 1.67 0.30 0.43 Normal

R 1.32 0.36 0.48 Normal

S 1.67 0.38 0.50 Normal

T 0.79 0.32 0.43 Normal

R 0.71 0.33 0.43 Normal

S 0.75 0.31 0.44 Normal

T 0.69 0.30 0.42 Normal

R 0.82 0.34 0.47 Normal

S 1.61 0.34 0.47 Normal

36. 08-04-2010 PMS Bus 2

37. 08-04-2010

38.

PMS Line

08-04-2010 CT Line

39. 08-04-2010 GI L 1

34. 08-04-2010 PMS Bus 1

35. 08-04-2010 CT Bus

33.

31. 06-04-2010 Bus Bar 1

32. 06-04-2010 Bus Bar 2

08-04-2010

PAYA GELI 2


(59)

Max Min Average PHASA

AI A-TRANSI NOR

KETERANGAN Amplitudo ( mV)

NO TANGGAL

PENGUJI AN BAY KOMPARTEMEN

S 1.30 0.32 0.43 Normal

T 1.32 0.31 0.44 Normal

R 0.71 0.30 0.41 Normal

S 0.70 0.30 0.40 Normal

T 0.63 0.30 0.41 Normal

Bus Bar 1

42. 08-04-2010 Bus Bar 2


(60)

Max Min Average PHASA

AI A-TRANSI NOR

KETERANGAN Amplitudo ( mV)

NO TANGGAL

PENGUJI AN BAY KOMPARTEMEN

R 0.51 0.23 0.30 Normal

S 0.49 0.23 0.30 Normal

T 0.45 0.23 0.30 Normal

R 1.62 0.22 0.30 Normal

S 1.67 0.22 0.31 Normal

T 0.44 0.22 0.28 Normal

R 0.39 0.19 0.24 Normal

S 0.65 0.24 0.31 Normal

T 0.65 0.24 0.32 Normal

R 0.47 0.24 0.30 Normal

S 1.56 0.22 0.28 Normal

T 1.67 0.22 0.31 Normal

R 0.49 0.24 0.31 Normal

S 0.64 0.24 0.31 Normal

T 0.52 0.24 0.31 Normal

R 0.84 0.22 0.29 Normal

S 0.72 0.22 0.29 Normal

T 0.58 0.21 0.28 Normal

R 1.67 0.22 0.30 Normal

S 0.44 0.22 0.28 Normal

T 0.84 0.21 0.28 Normal

R 1.67 0.22 0.28 Normal

S 0.58 0.22 0.32 Normal

T 1.67 0.22 0.30 Normal

48. 07-04-2010 PMS Ground Pengapit

1

07-04-2010 PMS Ground Pengapit

2

50. 07-04-2010 PT Bus Bar 1

BUS KOPEL

PMS Bus 1

45. 07-04-2010 CT Bus 1

07-04-2010 CT BUS 2

47.

49.

PMT

44. 07-04-2010

46. 07-04-2010 PMS Bus 2

43. 07-04-2010

R 0.43 0.21 0.28 Normal

S 0.45 0.23 0.30 Normal

T 0.60 0.23 0.30 Normal

R 0.91 0.23 0.30 Normal

S 0.41 0.22 0.28 Normal

T 1.67 0.22 0.30 Normal

R 1.67 0.24 0.31 Normal

S 1.67 0.23 0.30 Normal

T 0.51 0.23 0.30 Normal

53. 07-04-2010

51. 07-04-2010 PT Bus Bar 2

Bus Bar 2 Bus Bar 1


(61)

Max Min Average PHASA

AI A-TRANSI NOR

KETERANGAN Amplitudo ( mV)

NO TANGGAL

PENGUJI AN BAY KOMPARTEMEN

54. 06-04-2010 0.43 0.21 0.28

55 06-04-2010 0.45 0.22 0.28

56 06-04-2010 0.45 0.22 0.28

57 06-04-2010 0.46 0.22 0.28

58 07-04-2010 0.43 0.23 0.28

59 07-04-2010 0.50 0.21 0.28

60 07-04-2010 0.43 0.21 0.27

61 08-04-2010 0.43 0.21 0.27

62 08-04-2010 0.42 0.21 0.27

63 08-04-2010 0.49 0.21 0.27

Catatan :

1. Bambang I swahyudi

2. Siswo HADI SUROSO

Beground Noise

Dilakukan sebelum pengujian

Pelaksana : ASESSMENT GI S Mengetahui : UTRAGI MEDAN


(62)

(63)

(64)

(65)

(66)

(67)

R S T R S T

( a ) ( b ) ( c1) ( c2) ( c3 ) ( d ) ( e1) ( e2) ( e3 ) e= ( a² / b² ) x( c- d)

01. 06-04-2010 PMS Line 196 110 32.7 32.5 32.4 32 2.2 1.6 1.3 Normal

02. 06-04-2010 CT Line 196 110 32.4 32.5 32.4 32 1.3 1.6 1.3 Normal

03. 06-04-2010 PMT 196 110 33.6 33.5 33.2 32 5.1 4.8 3.8 Normal

04. 06-04-2010 CT Bus 196 110 33.6 33.7 33.6 32 5.1 5.4 5.1 Normal

05. 06-04-2010 PMS Bus 1 196 110 35.6 35.8 36.8 34 5.1 5.7 8.9 Normal

06. 06-04-2010 PMS Bus 2 196 110 35.4 35.8 36.7 34 4.4 5.7 8.6 Normal

07. 06-04-2010 Bus Bar 1 196 110 36.0 36.4 36.5 34 6.3 7.6 7.9 Normal

08. 06-04-2010 Bus Bar 2 196 110 35.9 36.2 36.3 34 6.0 7.0 7.3 Normal

09. 06-04-2010 GI L 1 196 110 32.4 32.7 32.1 32 1.3 2.2 0.3 Normal

10. 06-04-2010 GI L 2 196 110 33.1 33.2 33.5 32 3.5 3.8 4.8 Normal

R S T R S T

( a ) ( b ) ( c1) ( c2) ( c3 ) ( d ) ( e1) ( e2) ( e3 ) e= ( a² / b² ) x( c- d)

01. 08-04-2010 PMS Line 196 110 32.6 32.5 32.3 32 1.9 1.6 1.0 Normal

02. 08-04-2010 CT Line 196 110 32.4 33.3 32.5 32 1.3 4.1 1.6 Normal

03. 08-04-2010 PMT 196 110 33.0 33.5 33.3 32 3.2 4.8 4.1 Normal

04. 08-04-2010 CT Bus 196 110 32.3 32.1 32.9 32 1.0 0.3 2.9 Normal

05. 08-04-2010 PMS Bus 1 196 110 33.5 33.5 33.5 32 4.8 4.8 4.8 Normal

06. 08-04-2010 PMS Bus 2 196 110 33.4 33.0 33.3 32 4.4 3.2 4.1 Normal

07. 08-04-2010 Bus Bar 1 196 110 33.7 33.5 33.4 32 5.4 4.8 4.4 Normal

08. 08-04-2010 Bus Bar 2 196 110 33.5 33.7 33.4 32 4.8 5.4 4.4 Normal

09. 08-04-2010 GI L 1 196 110 32.3 32.3 32.4 32 1.0 1.0 1.3 Normal

10. 08-04-2010 GI L 2 196 110 32.5 32.7 32.4 32 1.6 2.2 1.3 Normal

SELI SI H SUHU

KETERANGAN ARUS

OPERASI

Paya Geli 2

KOMPARTEMEN

ARUS MAKSI MUM YANG DI CAPAI

HASI L PEMERI KSAAN

KETERANGAN ARUS OPERASI SUHU KOMPARTEMEN BAY ARUS MAKSI MUM YANG DI CAPAI

HASI L PEMERI KSAAN

SUHU RUANG SUHU RUANG KOMPARTEMEN ARUS MAKSI MUM

HASI L PEMERI KSAAN

SUHU

ARUS SUHU KOMPARTEMEN

SELI SI H SUHU SUHU KOMPARTEMEN

NO TANGGAL

PENGUKURAN BAY

Paya Geli 1

NO TANGGAL

PENGUKURAN

KOMPARTEMEN

SELI SI H SUHU

KETERANGAN


(68)

03. 06-04-2010 CT Bus 1280 995 36.0 35.5 36.1 33 3.2 4.8 4.1 Normal

04. 06-04-2010 PMS Bus 1 1280 995 36.2 36.0 35.8 33 1.0 0.3 2.9 Normal

05. 06-04-2010 PMS Bus 2 1280 995 36.6 36.6 38.0 33 4.8 4.8 4.8 Normal

06. 06-04-2010 Bus Bar 1 1280 995 36.5 37.0 37.5 33 4.4 3.2 4.1 Normal

07. 06-04-2010 Bus Bar 2 1280 995 37.4 38.0 37.1 33 5.4 4.8 4.4 Normal

08. 06-04-2010 GI L 1 1280 995 37.4 37.0 37.1 33 4.8 5.4 4.4 Normal

09. 06-04-2009 GI L 2 1280 995 37.2 37.3 37.5 33 4.8 5.4 4.4 Normal

R S T R S T

( a ) ( b ) ( c1) ( c2) ( c3 ) ( d ) ( e1) ( e2) ( e3 ) e= ( a² / b² ) x( c- d)

01. 08-04-2010 CT Trafo 1435 1410 34.4 34.8 35.0 33 1.5 1.9 2.1 Normal

02. 08-04-2010 PMT 1435 1410 35.2 34.9 35.7 33 2.3 2.0 2.8 Normal

03. 08-04-2010 CT Bus 1435 1410 35.3 35.2 36.7 33 2.4 2.3 3.8 Normal

04. 08-04-2010 PMS Bus 1 1435 1410 35.4 35.6 35.7 33 2.5 2.7 2.8 Normal

05. 08-04-2010 PMS Bus 2 1435 1410 35.1 35.9 36.0 33 2.2 3.0 3.1 Normal

06. 08-04-2010 Bus Bar 1 1435 1410 35.5 36.0 36.5 33 2.6 3.1 3.6 Normal

07. 08-04-2010 Bus Bar 2 1435 1410 37.7 35.8 36.7 33 4.9 2.9 3.8 Normal

08. 08-04-2010 GI L 1 1435 1410 36.9 37.0 36.3 33 4.0 4.1 3.4 Normal

09. 08-04-2009 GI L 2 1435 1410 37.2 37.6 37.3 33 4.4 4.8 4.5 Normal

R S T R S T

( a ) ( b ) ( c1) ( c2) ( c3 ) ( d ) ( e1) ( e2) ( e3 ) e= ( a² / b² ) x( c- d)

01. 09-04-2010 PMT - - 34.9 35.1 35.0 33 - - - Normal

02. 09-04-2010 CT Bus 2 - - 35.2 35.2 35.2 33 - - - Normal

03. 09-04-2010 PMS Bus 2 - - 35.3 35.4 35.9 33 - - - Normal

04. 09-04-2010 Bus Bar 2 - - 34.9 35.5 35.9 33 - - - Normal

05. 09-04-2010 Bus Bar 1 - - 35.2 35.5 36.0 33 - - - Normal

06. 09-04-2010 PMS Bus 1 - - 35.5 35.3 35.9 33 - - - Normal

07. 09-04-2009 CT Bus 1 - - 35.2 35.2 35.2 33 - - - Normal

TANGGAL

PENGUKURAN BAY

SELI SI H SUHU SUHU RUANG KETERANGAN Trafo 1 NO KETERANGAN ARUS OPERASI

SUHU KOMPARTEMEN SUHU

RUANG SUHU KOMPARTEMEN Trafo 2 KOMPARTEMEN ARUS MAKSI MUM YANG DI CAPAI

HASI L PEMERI KSAAN ARUS

OPERASI

Kopel

ARUS MAKSI MUM YANG DI CAPAI

HASI L PEMERI KSAAN

SELI SI H SUHU

NO TANGGAL


(1)

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


(2)

(3)

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


(4)

(5)

R S T R S T

( a ) ( b ) ( c1) ( c2) ( c3 ) ( d ) ( e1) ( e2) ( e3 ) e= ( a² / b² ) x( c- d)

01. 06-04-2010 PMS Line 196 110 32.7 32.5 32.4 32 2.2 1.6 1.3 Normal

02. 06-04-2010 CT Line 196 110 32.4 32.5 32.4 32 1.3 1.6 1.3 Normal

03. 06-04-2010 PMT 196 110 33.6 33.5 33.2 32 5.1 4.8 3.8 Normal

04. 06-04-2010 CT Bus 196 110 33.6 33.7 33.6 32 5.1 5.4 5.1 Normal

05. 06-04-2010 PMS Bus 1 196 110 35.6 35.8 36.8 34 5.1 5.7 8.9 Normal

06. 06-04-2010 PMS Bus 2 196 110 35.4 35.8 36.7 34 4.4 5.7 8.6 Normal

07. 06-04-2010 Bus Bar 1 196 110 36.0 36.4 36.5 34 6.3 7.6 7.9 Normal

08. 06-04-2010 Bus Bar 2 196 110 35.9 36.2 36.3 34 6.0 7.0 7.3 Normal

09. 06-04-2010 GI L 1 196 110 32.4 32.7 32.1 32 1.3 2.2 0.3 Normal

10. 06-04-2010 GI L 2 196 110 33.1 33.2 33.5 32 3.5 3.8 4.8 Normal

R S T R S T

( a ) ( b ) ( c1) ( c2) ( c3 ) ( d ) ( e1) ( e2) ( e3 ) e= ( a² / b² ) x( c- d)

01. 08-04-2010 PMS Line 196 110 32.6 32.5 32.3 32 1.9 1.6 1.0 Normal

02. 08-04-2010 CT Line 196 110 32.4 33.3 32.5 32 1.3 4.1 1.6 Normal

03. 08-04-2010 PMT 196 110 33.0 33.5 33.3 32 3.2 4.8 4.1 Normal

04. 08-04-2010 CT Bus 196 110 32.3 32.1 32.9 32 1.0 0.3 2.9 Normal

05. 08-04-2010 PMS Bus 1 196 110 33.5 33.5 33.5 32 4.8 4.8 4.8 Normal

06. 08-04-2010 PMS Bus 2 196 110 33.4 33.0 33.3 32 4.4 3.2 4.1 Normal

07. 08-04-2010 Bus Bar 1 196 110 33.7 33.5 33.4 32 5.4 4.8 4.4 Normal

08. 08-04-2010 Bus Bar 2 196 110 33.5 33.7 33.4 32 4.8 5.4 4.4 Normal

09. 08-04-2010 GI L 1 196 110 32.3 32.3 32.4 32 1.0 1.0 1.3 Normal

10. 08-04-2010 GI L 2 196 110 32.5 32.7 32.4 32 1.6 2.2 1.3 Normal

R S T R S T

( a ) ( b ) ( c1) ( c2) ( c3 ) ( d ) ( e1) ( e2) ( e3 ) e= ( a² / b² ) x( c- d)

01. 06-04-2010 CT Trafo 1280 995 35.7 35.7 35.4 33 1.9 1.6 1.0 Normal

02. 06-04-2010 PMT 1280 995 35.7 36.0 35.4 33 1.3 4.1 1.6 Normal

SELI SI H SUHU

KETERANGAN ARUS

OPERASI

Paya Geli 2

KOMPARTEMEN

ARUS MAKSI MUM YANG DI CAPAI

HASI L PEMERI KSAAN

KETERANGAN ARUS OPERASI SUHU KOMPARTEMEN BAY ARUS MAKSI MUM YANG DI CAPAI

HASI L PEMERI KSAAN

SUHU RUANG SUHU RUANG KOMPARTEMEN ARUS MAKSI MUM YANG DI CAPAI

HASI L PEMERI KSAAN

SUHU RUANG ARUS

OPERASI

SUHU KOMPARTEMEN

SELI SI H SUHU SUHU KOMPARTEMEN

NO TANGGAL

PENGUKURAN BAY

Paya Geli 1

NO TANGGAL PENGUKURAN

KOMPARTEMEN

SELI SI H SUHU

KETERANGAN NO TANGGAL

PENGUKURAN BAY

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


(6)

03. 06-04-2010 CT Bus 1280 995 36.0 35.5 36.1 33 3.2 4.8 4.1 Normal

04. 06-04-2010 PMS Bus 1 1280 995 36.2 36.0 35.8 33 1.0 0.3 2.9 Normal

05. 06-04-2010 PMS Bus 2 1280 995 36.6 36.6 38.0 33 4.8 4.8 4.8 Normal

06. 06-04-2010 Bus Bar 1 1280 995 36.5 37.0 37.5 33 4.4 3.2 4.1 Normal

07. 06-04-2010 Bus Bar 2 1280 995 37.4 38.0 37.1 33 5.4 4.8 4.4 Normal

08. 06-04-2010 GI L 1 1280 995 37.4 37.0 37.1 33 4.8 5.4 4.4 Normal

09. 06-04-2009 GI L 2 1280 995 37.2 37.3 37.5 33 4.8 5.4 4.4 Normal

R S T R S T

( a ) ( b ) ( c1) ( c2) ( c3 ) ( d ) ( e1) ( e2) ( e3 ) e= ( a² / b² ) x( c- d)

01. 08-04-2010 CT Trafo 1435 1410 34.4 34.8 35.0 33 1.5 1.9 2.1 Normal

02. 08-04-2010 PMT 1435 1410 35.2 34.9 35.7 33 2.3 2.0 2.8 Normal

03. 08-04-2010 CT Bus 1435 1410 35.3 35.2 36.7 33 2.4 2.3 3.8 Normal

04. 08-04-2010 PMS Bus 1 1435 1410 35.4 35.6 35.7 33 2.5 2.7 2.8 Normal

05. 08-04-2010 PMS Bus 2 1435 1410 35.1 35.9 36.0 33 2.2 3.0 3.1 Normal

06. 08-04-2010 Bus Bar 1 1435 1410 35.5 36.0 36.5 33 2.6 3.1 3.6 Normal

07. 08-04-2010 Bus Bar 2 1435 1410 37.7 35.8 36.7 33 4.9 2.9 3.8 Normal

08. 08-04-2010 GI L 1 1435 1410 36.9 37.0 36.3 33 4.0 4.1 3.4 Normal

09. 08-04-2009 GI L 2 1435 1410 37.2 37.6 37.3 33 4.4 4.8 4.5 Normal

R S T R S T

( a ) ( b ) ( c1) ( c2) ( c3 ) ( d ) ( e1) ( e2) ( e3 ) e= ( a² / b² ) x( c- d)

01. 09-04-2010 PMT - - 34.9 35.1 35.0 33 - - - Normal

02. 09-04-2010 CT Bus 2 - - 35.2 35.2 35.2 33 - - - Normal

03. 09-04-2010 PMS Bus 2 - - 35.3 35.4 35.9 33 - - - Normal

04. 09-04-2010 Bus Bar 2 - - 34.9 35.5 35.9 33 - - - Normal

05. 09-04-2010 Bus Bar 1 - - 35.2 35.5 36.0 33 - - - Normal

06. 09-04-2010 PMS Bus 1 - - 35.5 35.3 35.9 33 - - - Normal

07. 09-04-2009 CT Bus 1 - - 35.2 35.2 35.2 33 - - - Normal

TANGGAL

PENGUKURAN BAY

SELI SI H SUHU SUHU RUANG KETERANGAN Trafo 1 NO KETERANGAN ARUS OPERASI

SUHU KOMPARTEMEN SUHU RUANG SUHU KOMPARTEMEN Trafo 2 KOMPARTEMEN ARUS MAKSI MUM YANG DI CAPAI

HASI L PEMERI KSAAN ARUS

OPERASI

Kopel

ARUS MAKSI MUM YANG DI CAPAI

HASI L PEMERI KSAAN

SELI SI H SUHU NO TANGGAL