JURNAL HUKUM JUSTITIA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ICHSAN GORONTALO
III. PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian dan pokok permasalahn yang telah di bahas oleh penulis diatas maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Pertanggungjawaban pidana dan sanksi pidana yang diatur dalam Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi lebih luas dari pada yang diatur oleh KUHP dan sanksi pidana yang diatur dalam Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi untuk pelaku pihak swasta maupun pengawai negeri sama yaitu pidana mati, pidana penjara, pidana denda dan pidana tambahan.
2. Pengaturan Hukum dalam Undang-undang tindak pidana korupsi yakni Terdapat 14 (empat belas) Pasal yang mengatur tindak pidana korupsi terhadap pihak swasta yang diatur Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi, yang terbagi atas tiga kelompok yaitu kelompok tindak pidana kerugian keuangan negara dan perekonomian negara, kelompok tindak pidana penyuapan serta kelompok tindak pidana perbuatan curang.
DAFTAR PUSTAKA
Andi Hamzah, Korupsi Di Indonesia Masalah Dan Pemecahannya , Gramedia, Jakarta, 1984. ________. Pengatur Hukum Acara Pidama Indonesia. Chalia Indonesia. Jakarta, 1990. ________. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional , Jakarta, Raja
Grafindo Persada, 2005. Adji Indriyanto, Korupsi dan Hukum Pidana, Kantor Pengacara dan Jakarta; Konsultasi Hukum Prof. Oemar Seno Adji, SH dan Rekan, 2001.
28 Fakultas Hukum - UNISAN
Pertanggungjawaban Pidana
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Jakarta ; Toko Gunung Agung Al. Wisnubroto. Pembaharuan Hukum Acara Pidana , Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005. Amir Ilyas, Asas -asas Hukum Pidana , Rangkang Education Yogyakarta dan PuKAP Indonesia, 2012. Andi Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I . Jakarta, Sinar Grafika, 1995. Coky T.N. Sinambela, Laurensius Rambe Manalu, Paingot Rambe Manalu, Hukum Acara Pidana Dari
Segi Pembelaan , CV. Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta, 2010. Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999) , Bandung, Mandar Maju, 2001. Leden Marpaung, 1992. Tindak Pidana Korupsi Masalah Dan Pemecahannya , Sinar Grafika, Jakarta. Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana . Jakarta: Rineka Cipta, 1993. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Rajawali, Jakarta, 1984. Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi (Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999) , Mandar Maju, Bandung, 2001. Moeljatno, 2002. Asas-Asas Hukum Pidana , Rineka Cipta, Jakarta, 2002. Lili Rasjidi, Hukum Sebagai Suatu Sistem , Mandar Maju, Bandung, 2003.
Ranuhandoko, Terminologi Hukum, Inggris-Indonesia , Sinar Grafika, Jakarta, 2003. Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Dua Pengertian Dasar Dalam
Hukum Pidana , Jakarta, Aksara Baru, 1983. Sapardjaja, Komariah Emong, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia , Alumni, Bandung, 2002.
Fakultas Hukum – UNISAN 29
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. III, No. 1 September 2015
30 Fakultas Hukum - UNISAN
Kebijakan Hukum Pidana
KEBIJAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA ANAK DALAM PROSES PENYIDIKAN DI POLRES MERAUKE
Erni Dwita Silambi Universitas Musamus Merauke [email protected]
Abstract
The results showed that the implementation of the completion of the investigation in criminal cases committed by children in Merauke Police in crime murder, fighting in public, assault, theft and sexual intercourse, most (80%) were completed through the criminal justice system. And in the case of a crime of theft, gambling and promiscuity, a fraction (20%) resolved outside the criminal justice pr ocess by using a diversion. Implementation of the investigation on the police of the rights of children as perpetrators of crime in Merauke district police made arrests at this stage, examination of the child, and detention, which is in the process of investigation, the investigation regarding the provision of legal protection for the rightsof children as perpetrators of crime are not yet fully running optimally, due to child as criminal child does not want to use his or her rights as a child in the protection of the law.
Keywords: Legal, policy, children as actors
I. PENDAHULUAN
Penegakan hukum sebagaimana yang disyaratkan oleh Undang-undang pada umumnya, dimana ada upaya paksa yang dilakukan oleh polisi untuk menegakkan hukum sesuai dengan hukum acara yang diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Dengan demikian apabila terjadi suatu perbuatan tindak pidana maka harus diproses sesuai hukum acara pidana, dalam hal ini perbuatan tersebut harus dipertanggungjawabkan di depan persidangan. Dalam praktik seringkali terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam proses penyidikan, peluang- peluang untuk melakukan penyimpangan untuk tujuan tertentu bukan mustahil sangat dimungkinkan terjadi dan Penyimpangan yang sering terjadi dalam proses penyidikan tindak pidana anak berupa penganiyaan, pemukulan dan perlakuan buruk lainnya serta penempatannya satu sel dalam tahanan dengan tersangka dewasa.hal ini jelas bertentangan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang harus memberikan jaminan perlindungan hak -hak anak secara lebih kuat ketika berhadapan dengan hukum dan harus menjalani proses peradilan. Bertitik tolak dari kompleksnya permasalahan berkaitan dengan perlindungan yang harus diberikan kepada seorang anak yang berkonflik dengan hukum tentu ada upaya dari berbagai pihak untuk menyelamatkan anak bangsa. Tingginya angka pelaku tindak pidana usia anak di kepolisian memperlihatkan bahwa polisi tidak memahami pentingnya menjauhkan anak dari proses hukum formal terlebih sangat penting menghindarkan anak dari penahanan sebelum pengadilan. Dalam tataran regulasi yang lebih
Fakultas Hukum – UNISAN 31
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. III, No. 1 September 2015
opersioanal bagi kepolisian, mekanisme ini sangat mungkin dilakukan sebagaimana ketentuan pada Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Pasal 7) dan pada Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian tepatnya bagian kewenangan polisi menghentikan penyidikan perkara (Purniati dkk, 2003). Polisi sebagai garda terdepan dalam penegakan hukum memiliki tanggung jawabyang cukup besar untuk mensinergikan tugas dan wewenang Polri sebagaimana yang diatur dalam UU No.2 Tahun 2002 tentang kepolisian Negara Republik Indonesia dalam menangani anak yang berkonflik dengan hukum, polisi senantiasa harus memperhatikan kondisi anak yang berbeda dengan orang dewasa. Sifat anak sebagai pribadi yang labil, masa depan anak sebagai aset bangsa dan kedudukan anak di masyarakat yang masih membutuhkan perlindungan dapat dijadikan dasar untuk mencari suatu solusi alternatif bagaimana menghindarkan anak dari suatu sistem peradilan pidana formal, penempatan anak dalam penjara, dan stigmatisasi terhadap kedudukan anak sebagai narapidana.
II. PEMBAHASAN
Sesuai dengan Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, menjelaskan bahwa ”penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang suatu tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya”. Proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik atau penyidik pembantupolri terhadap tersangka anak ada hal-hal yang menjadi kekhususan bagi anak yang tidak bisa dipandang sama terhadap pemeriksaan bagi orang dewasa. Dalam hal ini, perlindungan hukum yang diberikan oleh penyidik/penyidik pembantu anak dalam bentuk pemberian hak-hak yang telah ditentukan dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem peradilan Pidana Anak, Konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak, serta peraturan perundang-undangan lainnya yang mendukung adanya perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi tersangka dalam perkara pidana. Dalam pelaksanaan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik dapat dilihat bahwa dalam rangka melakukan suatu proses penyidikan ini, penyidik menggunakan fasilitas yang memadai untuk dilakukan penyidikan bagi tersangka anak pelaku tindak pidana. Dalam pelaksanaannya, pelaku dihadapkan pada suatu upaya perlindungan anak dan kesejahteraan anak dalam rangka mencari informasi yang sebaik-baiknya dengan mempertimbangkan faktor yuridis, psikologis dan kriminologis anak.
Berdasarkan pada wawancara diperoleh informasi bahwa penyidik/penyidik pembantu di Polres Merauke dalam menangani tindak pidana yang pelakunya anak, selalu berpedoman dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dan Undang-undang Pengadilan Anak, yang pada pelaksanaan proses penyidikan antara kasus-kasus anak dengan kasus orang dewasa harus dibedakan perlakuannya sebagi upaya melindungi hak-hak asasi tersangka anak tersebut. Hal tersebut sesuai dengan keterangan Kepala Polres Merauke, Sri (wawancara, Januari 2015) yang menerangkan sebagai berikut: “Pada prinsipnya penyidikan antara kasus anak-anak dengan kasus orang dewasa memiliki perbedaan. Hal ini ditempuh dalam rangka untuk memberikan perlindungan hak-hak asasi anak tersebut. Meskipun di Polres Merauke penyidik anak sangat terbatas namun saya telah memberikan arahan kepada Kanit PPA
32 Fakultas Hukum - UNISAN
Kebijakan Hukum Pidana
maupun anggota pemeriksa tentang tata cara penanganan kasus anak-anak. Proses penyidikan anak, kita tetap berpedoman kepada KUHAP dan Undang-undang Pengadilan Anak. Yang paling penting bahwa penyelesaian perkara anak merupakan pembinaan generasi muda. Pada umumnya dan terhadap anak yang berkonflik dengan hokum itu sendiri. Proses pemeriksaan terhadap tersangka anak merupakan bagian dari kegiatan penyidikan yang bertujuan untuk mendapatkan keterangan, kejelasan dan keidentikan tersangka dan barang buktinya. Juga dierlukan kemampuan khusus yang harus dimiliki oleh pemeriksa sehingga dalam pelaksanaannya perlakuan-perlakuan yang diberikan kepada anak harus dibedakan dengan tersangka dewasa. Dalam proses pemeriksaan wajib dilaksanakan dengan menjunjung tingggi hukum yang berlaku serta senantiasa memperhatikan hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam KUHAP. Meskipun penyidiknya adalah penyidik Polri, akan tetapi tidak semua penyidik Polri dapa melakukan penyidikan terhadap perkara pidana yang dilakukan oleh anak- anak. Dalam Undang-undang Pengadilan Anak dikenal adanya penyidik anak, sehingga penyidik inilah yang berwenang melakukan penyidikan. Adapun syarat khusus selaku penyidik/penyidik pembantu untuk dapat melaksanakan penyidikan terhadap anak diatur dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2012 sebagai berikut:
Penyidikan terhadap tersangka anak dilakukan oleh penyidik anak yang diangkat oleh Kapolri atau pejabat lian yang ditunjuk oleh Kapolri dengan surat keputusan tersendiri untuk kepentingan tersebut. Untuk dapat diangkat sebagai penyidik anak maka Undang-Undang Pengadilan Anak melalui Pasal 41 ayat (2) menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang anggota Polri yaitu telah berpengalaman sebagai penyidik tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa dan mempunyai minat, perhatian, dedikasi serta memahami masalah anak. Dalam hal tertentu belum ada penyidik anak di tempat tersebut, maka tugas penyidikan dapat dilakukan oleh penyidik umum bagi tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa atau penyidik lain yang ditetapkan berdasarkan undang-undang berlaku.
Berdasarkan data statistik kriminal Polres Merauke pada tahun 2014 terdapat 22 kasus sedangkan pada tahun 2015 terdapat 16 kasus yang disangka sebagai pelaku tindak pidana anak. 27 dari 38 anak ini menginap di hotel prodeo karena pada umumnya anak-anak ini tidak mendapat dukungan dari pengacara maupun pemerintah, dalam hal ini dinas sosial.Tindak pidana yang dilakukan oleh anak di Kabupaten Merauke bervariasi mulai dari tindak pidana pencurian, perjudian,pengeroyokan, penganiayaan dan beberapa kasus persetubuhan.Sesuai dengan semangat konvensi hak anak, The Beijing Rules, Peraturan Perserikatan Bangsa-bangsa bagi perlindungan anak yang kehilangan kebebasannya dan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pihak kepolisian sangat diharapkan lebih banyak melakukan atau menggunakan diskresi dari pada melanjutkan proses hukum terhadap anak.
Tingginya angka pelaku tindak pidana usia anak di kepolisian memperlihatkan bahwa polisi tidak memahami pentingnya menjauhkan anak dari proses hukum formal terlebih sangat penting menghindarkan anak dari penahanan sebelum pengadilan. Dalam tataran regulasi yang lebih opersioanal bagi kepolisian, mekanisme ini sangat mungkin dilakukan sebagaimana ketentuan pada Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Pasal 7) dan pada Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian tepatnya bagian kewenangan polisi menghentikan penyidikan
Fakultas Hukum – UNISAN 33
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. III, No. 1 September 2015
perkara (Purniati dkk, 2003). Pengalihan proses peradilan anak atau yang disebut dengan diversi (bentuk pelaksanaan diskresi didalam penyidikan) berguna untuk menghindari efek negatif dari proses- proses peradilan selanjutnya dalam administrasi peradilan anak, misalnya labelisasi akibat pernyataan bersalah maupun vonis hukuman (Marlina, 2008).
Dalam melaksanakan diversi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, sebenarnya polisi telah memiliki payung hukum baik berdasarkan peraturan perundang-undangan yang memberi wewenang untuk tindakan tersebut maupun pedoman pelaksana di Internal Kepolisian dengan keluarnya Telegram (TR) Kabareskrim Polri No.1124/XI/2006.6 tahun 2014 terdapat 22 kasus. Berdasarkan tabel tersebut di atas, dalam kurun waktu dua tahun mulai tahun 2014 sampai tahun 2015 ada dua jenis kejahatan yang terbanyak yang dilakukan oleh anak. Pertama, kejahatan pencurian biasa berjumlah sepuluh kasus. Dan Kedua, kejahatan persetubuhan berjumlah sembilan kasus. Berdasarkan data di lapangan menunjukkan 27 kasus dari 38 kasus pada tahun 2014 sampai tahun 2015. Pihak Penyidik Polres Merauke melakukan tindakan proses peradilan anak dengan melakukan penahanan, hanya sembilan kasus penyidik melakukan tindakan diluar proses peradilan anak dengan tidak melakukan penahanan karena diselesaikan secara kekeluargaan.Penyidik dalam menangani anak sebagai pelaku tindak pidana harus mengambil tindakan yang hati-hati, artinya bahwa jika kasus yang dilakukan oleh anak masih tergolong tindak ringan, tidak perlu dilakukan tindakan penahanan, sedanglan jika kasusnya tergolong tindak pidana berat maka bisa dilakukan penahanan. Menurut Penulis, adapun yang menjadi pertimbangan dari pihak penyidik untuk tidak menahan anak yang telah ditangkap karena anak tersebut masih sekolah atau tindak pidana yang dilakukan relatif ringan, dengan nilai kerugian yang tidak berat atau anak tersebut baru pertama kali melakukan tindak pidana dan masih sekolah, sehingga terhadap anak pelaku tindak pidana yang memenuhi unsur pertimbangan tersebut maka tindakan yang diambil adalah tindakan peringatan secara lisan, atau disuruh membuat pernyataan di depan polisi agar tidak mengulangi perbuatan tindak pidana lagi.
Pelaksanaan kebijakan Hukum terhadap Hak Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana dalam Proses Penyidikan di Polres Merauke Penangkapan Dari hasil penelitian terhadap penangkapan yang dilakukan penyidik/penyidik pembantu anak di Polres Merauke didapatkan suatu data bahwa dalam rangka penangkapan tersangka anak yang tidak tertangkap tangan maka penyidik/penyidik pembantu mempergunakan cara yakni (1) tidak menggunakan atribut kedinasan; (2) menyertakan surat perintah penangkapan untuk diketahui oleh orang tua atau wali; (3) diupayakan untuk melakukan suatu tindakan yang seolah-olah penyidik/penyidik pembantu melakukan suatu kunjungan atau silaturahmi ke keluarga tersangka;dan (4) membawa anak tersebut ke kepolisian dengan menempatkan anak pada posisi tidak diapit atau diatara petugas kepolisian Penangkapan adalah suatu tindakan Penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan lainnya. Hal ini mencerminkan suatu perlindungan hukum agar keputusan yang dihasilkan mempunyai dampak yang positif, baik bagi si anak maupun terhadap pihak yang dirugikan serta bagi masyarakat.
Berdasarkan Undang-U ndang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, “Pembimbing kemasyarakatan klien anak adalah petugas klien anak yang melakukan pendampingan anak yang berkonflik dengan hukum dalam setiap tahapan dari penyidikan, penuntutan, persidangan melalui
34 Fakultas Hukum - UNISAN
Kebijakan Hukum Pidana
Penelitian Masyarakat (Litmas) sebagai bahan pertimbangan bagi hakim dalam memutus perkara anak serta memberikan bimbingan dan membantu mengawasi anak yang dijatuhi pidana bersyarat, pidana pengawasan, pidana denda, diserahkan kepada negara untuk mengikuti latihan kerja juga anak yang
memperoleh pembebasan bersarat,cuti menjelang dan cuti bersarat”. Akan tetapi, dari hasil penelitian di lapangan, PenyidikPolres Merauke dalam melakukan penyidikan terhadap anak nakal juga selalu
meminta pertimbangan atau saran dari Pembimbing Kemasyarakatan. Hal ini menunjukkan penyidik selalu mempertimbangkan kepentingan terbaik untuk anak.
Menurut Evan selaku tersangka tindak pidana pencurian, menyatakan bahwa (wawancara, Juni 2015):“Pada saat dilakukan pemeriksaan saya didampingi oleh pihak pembimbing pemasyarakatan dan juga didampingi oleh Dinas Sosial walaupun akhirnya saya harus ditahan selama 14 hari. ”Penyidik
dalam menangani anak sebagai pelaku tindak pidana harus mengambil tindakan yang hati-hati, artinya bahwa jika kasus yang dilakukan oleh anak masih tergolong ringan, tidak perlu dilakukan tindakan penahanan. Menurut Penulis, adapun yang menjadi pertimbangan dari pihak penyidik untuk tidak menahan anak yang telah ditangkap karena anak tersebut masih sekolah atau tindak pidana yang dilakukan relatif ringan, dengan nilai kerugian yang tidak berat atau anak tersebut baru pertama kali melakukan tindak pidana dan masih sekolah, sehingga terhadap anak pelaku tindak pidana yang memenuhi unsur pertimbangan tersebut maka tindakan yang diambil adalah tindakan peringatan secara lisan, atau disuruh membuat pernyataan di depan polisi agar tidak mengulangi perbuatan tindak pidana lagi. Dalam konteks penahanan ini, untuk tersangka anak di Polres Merauke, tersangka ditempatkan di rumah tahanan tidak dipisahkan dengan para terpidana orang dewasa karena terbatasnya sel yang dimiliki. Namun lebih daripada itu, penahanan yang dilakukan tersebut tentunya dilakukan degan berbagai pertimbangan yakni (1) tersangka melakukan suatu jenis tindak pidana berat (2) tersangka 10 tidak menyandang status sebagai seorang pelajar dan (3) tersangka telah melakukan tindak pidana berulang kali.
Penyidikan yang dilakukan oleh penyidik di Polres Merauke terhadap anak nakal berlangsung dalam suasana kekeluargaan, dan untuk itu penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari Pembimbing Kemasyarakatan sesuai dengan peraturan yang berlaku yakni Diperiksa dalam suasana kekeluargaan, berarti pada waktu memeriksa tersangka anak, penyidik tidak memakai pakaian seragam/dinas, dan melakukan pendekatan secara efektif, aktif, dan simpatik. Suasana kekeluargaan itu juga berarti tidak ada pemaksaan, intimidasi atau sejenisnya selama dalam penyidikan. Salah satu jaminan terlaksananya suasana kekeluargaan ketika penyidikan dilakukan, adalah hadirnya Penasehat Hukum, disamping itu, karena yang disidik adalah anak, maka juga sebenarnya sangat penting kehadiran orang tua/wali/orang tua asuhnya, agar tidak timbul ketakutan atau trauma pada diri si anak. Apabila dipandang perlu, penyidik juga dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama, atau petugas kemasyarakatan lainnya. Sementara untuk kepentingan si anak sendiri, maka proses penyidikan wajib dirahasiakan, Tindakan yang dapat dilakukan penyidik oleh seorang penyidik adalah penangkapan, penahanan, mengadakan pemeriksaan ditempat kejadian, melaksanakan penggeledahan, pemeriksaan tersangka dan interogasi, membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP), penyitaan, penyimpanan perkara dan melimpahkan perkara.
Fakultas Hukum – UNISAN 35
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. III, No. 1 September 2015
Dari hasil penelitian terhadap penangkapan yang dilakukan penyidik/penyidik pembantu anak di Polres Merauke didapatkan suatu data bahwa dalam rangka penangkapan tersangka anak yang tidak tertangkap tangan maka penyidik/penyidik pembantu mempergunakan cara yakni: 1) Tidak menggunakan atribut kedinasan; 2) Menyertakan surat perintah penangkapan untuk diketahui oleh orang tua atau wali; 3) Diupayakan untuk melakukan suatu tindakan yang seolah-olah penyidik/penyidik pembantu melakukan suatu kunjungan atau silaturahmi ke keluarga tersangka; 4) Membawa anak tersebut ke kepolisian dengan menempatkan anak pada posisi tidak diapit atau diatara petugas kepolisian.
Menurut Anselmus selaku tersangka tindak pidana persetubuhan menyatakan bahwa (wawancara, Juni 2015): “Ketika dilakukan penangkapan pihak polisi tidak menggunakan borgol, pihak polisi memberi penjelasan kepada orang tua tersangka mengenai perbuatan yang dilakukan oleh tersangka. Pihak polisi pada saat menjemput di rumah dengan suasana kekeluargaan dengan tidak menggunakan mobil patroli.”Mengenai tindakan penangkapan tidak diatur secara rinci dalam Undang- undang pengadilan anak, sehingga berlaku ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Undang-Undang ini mengatur wewenang polisi dalam melakukan penyidikan dan penyelidikan yang selanjutnya diatur dalam petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) kepolisian. Aturan tersebut menjadi pedoman bagi setiap anggota kepolisian RI dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Upaya Penyidik Polres Merauke dalam memberikan perlindungan terhadap hak anak yang berhadapan dengan hukum, disamping juklak dan juknis yang dimiliki, ada beberapa cara penanganan terhadap anak, seperti a) Tindakan penangkapan diatur dalam Pasal 16 sampai Pasal 19 KUHAP. Berdasarkan Pasal 16 KUHAP dapat diketahui bahwa tujuan penangkapan tersangka ialah untuk kepentingan penyelidikan dan untuk kepentingan penyidikan. Perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup. Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas Kepolisian Negara RI, dengan memperlihatkan surat tugas dan memberikan kepada tersangka surat-surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka. Menyatakan alasan penangkapan, dan uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan, serta mengemukakan tempat tersangka diperiksa. Adapun waktu penangkapan yang dilakukan penyidik Polres Merauke paling lama satu hari. b) Khusus tindakan penangkapan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, penyidik Polres Merauke memperhatikan hak-hak anak dengan melakukan tindakan perlindungan terhadap anak, seperti : Perlakukan anak dengan asas praduga tak bersalah. 2) Perlakukan anak dengan arif, santun dan bijaksana, dan tidak seperti terhadap pelaku tindak pidana dewasa. 3) Saat melakukan penangkapan segera memberitahukan orang tua dan walinya. 4) Menunjukkan surat perintah penangkapan legal kepada anakyang diduga sebagai tersangka dengan ramah dan bertanggung jawab. cara yang ramah memberi rasa nyaman terhadap anak daripada rasa takut. 5) Menggunakan pakaian yang sederhana dan hindari penggunaan kendaraan yang bertanda/berciri khas polisi untuk menghindari tekanan mental anak akibat simbol- simbol polisiyang terkesan membahayakan dan mengancam diri anak. 6) Jika keadaan tidak memaksa dan membahayakan, polisi tidak perlu melakukan penangkapan dengan menggunakan borgol terhadap anak, karena perlakuan ini menyakitkan dan membuat trauma serta rasa malu dilihat masyarakat atau
36 Fakultas Hukum - UNISAN
Kebijakan Hukum Pidana
tetangganya. 7) Pemberitahuan penangkapan anak tersangka kepada petugas Bapas di wilayah setempat atau pekerja sosial oleh polisi. Pemberitahuan dilakukan dalam waktu secepatnya tidak lebih dari 24 jam.
Sedangkan untuk melakukan pemeriksaan tersangka anak maka yang perlu diperhatikan adalah ruangan unit Pelayan Perempuan dan Anak (PPA), pemeriksaan tersangka yang memungkinkan terselenggaranya proses pemerikasaan, dalam rangka mengungkap perkara yang sedang disidik. Pemeriksaan tersangka anak di wilayah Polres Merauke dilakukan di ruangan khusus yang berdasarkan dengan kacamata Penulis mengindikasikan bahwa ruangan tersebut cukup aman karena berada dalam ruangan yang dilengkapi dengan air conditioner yang diharapkan agar dalam pemeriksaan anak dapat dilakukan dalam suasana yang sejuk dan nyaman.
Dalam rangka untuk mencerminkan situasi kekeluargaan dalam melakukan pemeriksaan anak yang berkonflik dengan hukum, salah satu upaya yang dilakukan adalah menggunakan fasilitas yang dapat membuat anak tersebut tidak merasa takut. Menurut Margaretha Kaize selaku penyidik anak Polres Merauke bahwa:
“Unit Riksa disini memilik ruangan untuk anak yang cukup representatif. Hal ini dapat dilihat dari adanya upaya memahami anak tidak hanya sebagai pelaku tindak pidana namun juga sebagai sebagai korban dari rendahnya kontrol diri dan kontrol sosial yang dapat menyebabkan anak tersebut melakukan suatu tindak pidana. Selanjutnya, setiap pemeriksa Unit Reskrim dilengkapi sebuah komputer guna mendukung kegiatan pemeriksaan namun demikian, dalam pelaksanaannya terjadi beberapa kendala misalnya belum disediakannya anggaran untuk pemeriksaan anak sehingga kadang kalanya dalam pelaksanaan proses penyidikan tindak pidana anak, dalam rangka untuk menggali informasi dari anak, penyidik masih menggunakan uang pribadinya untuk kepentingan proses penyidikan ”.
Berdasarkan hasil penelitian, laporan maupun pengaduan masyarakat yang berkaitan dengan tindak pidana termasuk kasus pidana anak yang disampaikan oleh masyarakat kepada petugas kepolisian maka laporan maupun pengaduan tesebut akan dituangkan dalam bentuk format laporan kepolisian. Dimana laporan polisi ini merupakan salah satu dasar bagi penyidik untuk melakukan kegiatan penyelidikan dan penyidikan. Dalam menghadapi dan menanggulangi berbagai perilaku anak yang melakukan perbuatan menyimpang (bermasalah dengan hukum) hendaknya dipertimbangkan kedudukan anak dengan segala ciri dan sifatnya yang khas, sehingga dalam menjatuhkan tindakan penahanan terhadap anak diupayakan agar anak tidak dipisahkan dari orang tuanya. Namun, apabila pemisahan anak dari orang tuanya tidak dapat dihindarkan, maka pemisahan harus didasarkan atas pertimbangan demi pertumbuhan dan perkembangan anak secara sehat dan wajar.
Menjadi penyidik anak memang tidak cukup hanya kepangkatan yang memadai tetapi juga dibutuhkan pengalaman tugas dalam melaksanakan penyidikan. Disamping itu yang tidak kalah pentingnya adalah mengenai minat, perhatian, dedikasi dan pemahaman masalah anak, akan mendorong penyidik anak dalam menimba pengetahuan tentang masalah anak, sehingga dalam melaksanakan tugasnya penyidik akan memperhatiakan kepentingan anak. Sebelum melakukan pemeriksaan terhadap tersangka anak, maka terdapat beberapa persiapan yang dilaksanakan oleh pemeriksa agar dalam pelaksanaannya dapat berjalan dengan sebaik-baiknya sesuai aturan yang telah
Fakultas Hukum – UNISAN 37
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. III, No. 1 September 2015
ditentukan yang diatur dalam Undang-Undang Pengadilan Anak, yakni dalam proses pemeriksaan tindak pidana yang dilakukan anak sangat bersinggungan dengan masalah hak asasi manusia, yaitu adanya kerawanan-kerawanan berupa terjadinya pelanggaran terhadap hak asasi tersangka dalam proses pemeriksaan.
Berdasarkan hasil penelitian yang Penulis peroleh dari Polres Merauke, bahwa dari keseluruhan kasus kejahatan khususnya yang dilakukan oleh anak yang masuk di Polres Merauke hampir kesemuanya diproses melalui peradilan pidana. Semua kasus anak yang tertangkap melakukan kejahatan, diproses berdasarkan undang-undang yang dilanggar. Hal ini ditegaskan oleh penyidik pembantu Polres Merauke, Maria Mahuse (wawancara, Januari 2012) yang menyatakan bahwa:
“Semua kasus tindak pidana diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang dilanggar, sekalipun itu anak. Karena menurutnya, pihak kepolisian selaku penyidik tidak
mempunyai kewenangan untuk melakukan kebijakan berupa penangg uhan perkara.” Menghukum mereka sesuai dengan perbuatannya, dianggap adil karena anak tersebut telah
melanggar peraturan perundang-undangan dan norma yang berlaku di masyarakat. Dari uraian mengenai pertanggungjawaban pidana yang dikemukakan oleh Kasat Reserse tersebut maka timbul pertanyaan Penulis, apakah kebijakan dari penyidik polisi terhadap anak yang melakukan tindak pidana hanya dipertanggungjawabkan dengan hukum pidana saja dan apabila ia patut dipertanggungjawabkan maka sanksi apa yang sepatutnya dikenakan kepada anak tersebut. Mengingat bahwa tujuan peradilan anak menekankan pada tujuan kesejahteraan anak.
Menurut Melania salah satu penyidik pembantu di Polres Merauke, (wawancara, Juli 2015), bahwa: “Hukuman pidana akan lebih menjamin anak dapat memperoleh manfaat pelajaran dari apa yang ia lakukan. Pihak Kepolisian lebih menekankan pada efek jera dari perbuatan yang telah dilakukan oleh anak tersebut agar tingkat kejahatan dapat lebih diminimalisirkan. Pihak kepolisian hanya menerapkan jalur penal (pidana), dengan melakukan penahanan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum tersebut. Karena menurut mereka akan lebih aman bagi masyarakat dan tersangka anak tersebut jika dilakukan penahanan.”
Akan tetapi, dari data yang diperoleh ada lima kasus yang ditangani oleh Penyidik Polres Merauke dengan melakukan penerapan konsep diversi atau bentuk peradilan formal dengan melakukan penyelesaian perdamaian secara kekeluargaan. Yang menjadi kendala adalah dari pihak korban biasa tidak ingin melakukan perdamaian mereka ingin kasusnya diteruskan sehingga pihak penyidik menerapkan kasus anak yang berkonflik dengan hukum ke jalur proses peradilan pidana.
Berdasarkan hal tersebut di atas bahwa konsep diversi dengan menggunakan kebijakan hukum pidana harus merupakan suatu usaha atau langkah yang dibuat secara sadar. Ini berarti pula bahwa memilih dan menetapkan hukum pidana sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan harus benar- benar sudah memperhitungkan semua faktor-faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya hukum pidana itu dalam kenyataan khususnya terhadap masa depan anak-anak. Apabila aparat penegak hukum khususnya Polres Merauke mendasarkan hukum pidana pada konsepsi perlindungan masyarakat maka sedapat mungkin mereka dalam mengambil kebijakan terlebih dahulu
38 Fakultas Hukum - UNISAN
Kebijakan Hukum Pidana
mempertimbangkan sebab-sebab kejahatan dan efektivitas dari sanksi yang dikenakan terhadap pelaku tindak pidana khususnya anak yang berkonflik dengan hukum.
Menurut Margaretha Kaize selaku penyidik anak Polres Merauke (wawancara, Juli 2015) bahwa: “Menggunakan proses peradilan pidana secara sembarangan atau menyamaratakan terhadap semua kasus akan menyebabkan sarana pidana itu menjadi suatu pengancaman utama dalam sistem peradilan. Terhadap kasus anak yang berhadapan dengan hukum, penanggulangan atau penyembuhan lewat hukum pidana selama ini hanya merupakan penyembuhan atau pengobatan simptomatik bukan pengobatan kausatif ”.
Proses peradilan pidana yang diterapkan oleh aparat penegak hukum khususnya Polres Merauke terhadap anak yang berkonflik dengan hukum kurang mampu menangani masalah yang menjadi dasar timbulnya tindak pidana tersebut, justru menghapus faktor-faktor kondusif bagi anak yang berkonflik dengan hukum. Akan lebih baik jika perdamaian secara kekeluargaan yang diterapkan oleh aparat penegak hukum terhadap anak yang berkonflik dengan hukum di integrasikan dengan kebijakan diskresi atau diversi untuk lebih mengharmonisasikan sistem peradilan pidana anak.
Ketidakpuasaan terhadap sistem peradilan pidana khususnya terhadap tindak pidana anak yang pula menekankan perlindungan dan rehabilitasi terhadap pelaku anak melahirkan suatu cara baru yaitu diversi atau menempatkan anak diluar proses peradilan pidana. Anak yang melakukan pelanggaran atau tindak pidana sangat besar dipengaruhi oleh faktor diluar anak tersebut seperti pergaulan, pendidikan, teman bermain dan sebagainya. Untuk melakukan perlindungan terhadap anak dari pengaruh formal sistem peradilan pidana, maka timbul pemikiran manusia atau para ahli hukum dan kemanusian untuk membuat aturan formal tindakan mengeluarkan ( remove ) seorang anak yan melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindak pidana dari proses peradilan pidana dengan memberikan alternatif lain yang dianggap lebih baik untuk anak. Berdasarkan pikiran tersebut maka lahirlah konsep diversion yang dalam istilah bahasa Indonesia disebut diversi atau pengalihan.
Sebelum berbicara tentang diversi ada baiknya akan dijelakan mengenai diskresi sebagai pengantar ke konsep diversi. Diskresi adalah wewenang dari aparat penegak hukum yang menangani kasus tindak pidana untuk mengambil tindakan meneruskan perkara atau mengehentikan perkara, mengambil tindakan tertentu sesuai dengan kebijakan yang dimiliknya.Aparat penegak hukum dalam melaksanakan diskresi masih menjadi bagian kontroversial karena pengambilan kebijakan penghukuman mengikuti sifat kebijakan pribadi seseorang. Dalam hal ini mengizinkan suatu pembedaan tindakan terhadap kasus pidana oleh pelakunya, sehingga dapat menimbulkan permsalahan dalam hal keadiian terhadap masyarakat. Dalam melakukan penyidikan anak di wilayah Polres Merauke dilaksanakan oleh polisi wanita (Polwan), dan dalam beberapa hal, jika perlu dengan bantuan polisi pria. Penyidik anak Polres Merauke, juga harus mempunyai pengetahuan seperti menyintai anak dan berdedikasi, dapat menyelami jiwa anak dan mengerti kemauan anak
Penahanan anak ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan anak, yang tempatnya terpisah dari narapidana anak. Hal ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan psikologis, untuk mengihindari akibat negatif sebab anak yang ditahan belum tentu terbukti melakukan kenakalan, bergaul dengan narapidana anak, dikhawatirkan dapat menularkan pengalaman-pengalamannya kepada anak yang
Fakultas Hukum – UNISAN 39
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. III, No. 1 September 2015
berstatus tahanan, dan mempengaruhi perkembangan mentalnya. Dalam praktik, diketahui bahwa tahanan anak digabung dengan orang dewasa. Hal ini sangat berbahaya dan tidak mencerminkan perlindungan anak. Narapidana anak dan tahanan anak, terpengaruh dengan sikap dan tindakan tahanan dewasa. Anak bisa saja mengetahui pengalaman-pengalaman melakukan kejahatan yang belum pernah didengar dan dilakukannya, atau bahkan anak dapat menjadi korban pelecehan seksual selama berada dalam tahanan tersebut.
Menurut Penulis, penanganan anak yang melanggar hukum, khususnya dalam proses penahanan, hendaknya dibedakan dengan penanganan terhadap orang yang telah berusia dewasa. Adanya perlakuan khusus terhadap anak-anak yang melanggar hukum, sebagai konsekwensi dimilikinya karakteristik khusus pada diri anak, pada dasarnya merupakan salah satu wujud dari perlindungan anak. penahanan dilakukan setelah dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan kepentingan anak dan/atau kepentingan masyarakat. Berdasarkan pada ketentuan tersebut, maka dalam melakukan tindakan penahanan penyidik harus terlebih dahulu mempertimbangkan dengan matang semua akibat yang akan dialami oleh si anak dari tindakan penahanan dari segi kepentingan anak serta mempertimbangkan adanya unsur kepentingan masyarakat untuk memperoleh keadaan yang aman dan tenteram.
Dalam menghadapi dan menanggulangi berbagai perilaku anak yang melakukan perbuatan menyimpang (bermasalah dengan hukum) hendaknya dipertimbangkan kedudukan anak dengan segala ciri dan sifatnya yang khas, sehingga dalam menjatuhkan tindakan penahanan terhadap anak diupayakan agar anak tidak dipisahkan dari orang tuanya. Namun, apabila pemisahan anak dari orang tuanya tidak dapat dihindarkan, maka pemisahan harus didasarkan atas pertimbangan demi pertumbuhan dan perkembangan anak secara sehat dan wajar.
III. PENUTUP
Pelaksanaan penyidikandalam penyelesaian perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak di Polres Merauke dalam hal tindak pidana pembunuhan, perkelahian didepan umum, penganiayaan, pencurian danPersetubuhan, sebagian besar (86%) diselesaikan melalui jalur sistem peradilan pidana. Dan dalam hal tindak pidana pencurian, perjudian dan persetubuhan, sebagian kecil (14%) diselesaikan diluar proses peradilan pidana dengan menggunakan diversion. Pelaksanaan penyidikan terhadap perlindungan hak anak sebagai pelaku tindak pidana di Polres Merauke dilakukan pada tahap penagkapan, pemeriksaan anak, dan penahanan, yaitu dalam proses penyidikan, penyidikan mengenai pemberian perlindungan hokum terhadap hak anak sebagai pelaku tindak pidana masih belum sepenuhnya berjalan secara optimal, dikarenakan anak sebagai pelaku tindak pidana anak tidak ingin menggunakan hak-haknya sebagai anak dalam perlindungan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Adami Chazawi. Hukum Pidana Bagian I. Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2008. Andi Hamzah, Hukum acara pidana Indonesia , Jakarta,Sinar Grafika, 2010.
40 Fakultas Hukum - UNISAN
Kebijakan Hukum Pidana
Barda Nawawie Arief, Beberapa Aspek Hak Asasi Manusia Ditinjau dari Sudut Hukum Pidana, Makalah Seminar Nasional Hak Asasi Manusia diselenggarakan oleh FH. Universitas Diponegoro, 1993.
Irma Setyowati, Aspek Hukum Perlindungan Ana k, Jakarta, Bumi Askara, 1990. Marlina, Penerapan Konsep Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana dalam Sistem Peradilan
Pidana Anak , Jurnal Equality, 2008.
Fakultas Hukum – UNISAN 41
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. III, No. 1 September 2015
42 Fakultas Hukum - UNISAN
Bantuan Hukum
IMPLEMENTASI BANTUAN HUKUM TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI KOTA MAKASSAR
Haritsa Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo [email protected]
Abstract
Special characteristics of children, namely unstable, easily to be influenced and tend to copy the surrounding environment, need to be considered when dealing with children having various crime problem. This research aimed (1) to investigate the implementation of the legal assistance given to children as criminals in the criminal judiciary system in Makassar 2013 – 2014; (2) to determine the obstacles faced in the implementation of the legal assistance given to children as criminals in the criminal judiciary system in Makassar during the period of 2013 – 2014. The research was conducted in Makassar Polrestabes, Makassar State Attorney, Makassar First Instance Court, Makassar Legal Assistance Office, Makassar Children Protection Agency, and Makassar Class 1 Penitentiary. Then the data were analyzed using the technique of descriptive-qualitative analysis. The research results revealed that (1) the implementation of the legal assistance given to children as the perpetrators of criminal actions in the judicial system in Makassar city, in the stages of either investigation, prosecution, or examination in the court had not yet run optimally; (2) the constraints faced in the implementation of the legal assistance to the children as the perpetratos of criminal actions in the criminal judicial by the system in Makassar city were the inadequate information about the legal assistance, the pressures during the examination by the investigators and the prosecutors, and the denials by the suspects.
Keywords: Implementation of legal aid, criminal offense, criminal justice.
I. PENDAHULUAN
Secara substansial undang-undang tersebut mengatur hak-hak anak yang berupa hak hidup, hak atas nama, hak pendidikan, hak kesehatan dasar, hak untuk beribadah menurut agamanya, hak berekspresi, berpikir, bermain, berkreasi, beristrahat, bergaul dan hak jaminan sosial. Terkait dengan hak seorang anak yang berhadapan dengan hukum diatur didalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dimana UU No. 3 Tahun 1997 (sebagaimana telah diubah dengan UU No. 11 Tahun 2012) ini merupakan perwujudan atau penampungan dari kaidah hukum Konvensi Hak Anak mengenai peradilan khusus untuk anak-anak yang berhadapan atau bermasalah dengan hukum ( children in conflict with law ) (Joni & Zulchaina, 1999).
Khusus mengenai hak anak untuk memperoleh bantuan hukum, terdapat dalam Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (sebagaimana telah diubah dengan
Fakultas Hukum – UNISAN 43
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. III, No. 1 September 2015
UU No. 35 Tahun 2014) yang menyebutkan bahwa “apabila seorang anak dirampas kebebasanya berhak untuk memperoleh bantuan hukum atau bantuan lain secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku”. Selain itu, dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak (sebagaimana telah diubah dengan UU No. 11 Tahun 2012) disebutkan bahwa “setiap anak sejak saat ditangkap atau ditahan berhak mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau
lebih penasehat hukum selama dalam waktu dan setiap tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan dalam undang- undang ini”. Ketentuan pasal tersebut menisyratkan hak anak untuk untuk mendapat bantuan hukum dalam menjalani setiap tingkatan proses beracara diperadilan (Wagiati, 2006).
Dalam menghadapi dan menanggulangi berbagai perbuatan dan tingkah laku anak nakal, perlu dipertimbangkan kedudukan anak dengan segala ciri dan sifatnya yang khas, yaitu bersifat labil, mudah terpengaruh, cenderung bersikap meniru terhadap lingkungan sekitar (Wahyono, 2011). Walaupun anak telah dapat menentukan sendiri langkah perbuatannya berdasarkan pikiran, perasaan dan kehendaknya, tetapi keadaan sekitarnya dapat mempengaruhi perilakunya. Oleh karena itu, dalam mengahadapi masalah anak nakal orang tua dan masyarakat sekelilingnya seharusnya lebih bertanggung jawab terhadap pembinaan, pendidikan dan pengembangan perilaku anak tersebut.
Menurut data yang diperoleh dari hasil sebuah penelitian di Kota Makassar jumlah anak yang bersentuhan dengan permasalahan hukum, khususnya sebagai tersangka tindak pidana dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Pada Tahun 2009 total jumlah kasus yang diproses sebanyak 23 kasus dan melibatkan 28 orang anak, Tahun 2010 jumlah kasus yang diproses sebanyak 26 kasus dengan melibatkan 31 orang anak, dan pada Tahun 2011 total jumlah kasus sebanyak 34 dan melibatkan 41 orang anak (Jabbar, 2012).
Sedangkan pada data lain yang penulis peroleh dari sebuah hasil penelitian di Polrestabes Makassar pada Tahun 2010, menyebutkan bahwa dari total 15 jumlah anak sebagai sampel yang diproses sebagai pelaku tindak pidana pada tahap penyidikan, hanya 4 orang yang mendapat pendampingan dari penasihat hukum.
Melihat uraian diatas maka tujuan penelitian ini adalah untuk Mengetahui implementasi Bantuan Hukum terhadap Anak sebagai pelaku Tindak Pidana dalam Sistem Peradilan Pidana di Kota Makassar.
II. METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Sumber Data Dalam penelitian ini penulis menggunakan dua jenis data, yaitu: data primer dan data sekunder. Data Primer; yaitu sejumlah data yang berupa keterangan atau fakta yang secara langsung diperoleh penulis dalam mengadakan penelitian di lapangan. Data Sekunder; yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung, yaitu bahan dokumentasi atau bahan yang tertulis berupa peraturan perundang- undangan, buku-buku, laporan-laporan, dan sebagainya yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.
44 Fakultas Hukum - UNISAN
Bantuan Hukum
B. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data ini dilakukan dengan tiga macam metode, yaitu metode interview, observasi, dan dokumenter. Berdasarkan tiga metode tersebut diharapkan dapat merekam data sesuai dengan tujuan penelitian. Adapun interview ini dimaksudkan untuk pengumpulan data berbentuk wawancara berupa tanya jawab secara lisan antara peneliti ( interview ) dengan beberapa nara sumber (informan) yang dikerjakan secara sistematik berdasarkan pada tujuan penelitian. Observasi adalah pengumpulan data yang dilakukan secara sistematis dan sengaja melalui pengamatan terhadap gejala objek yang diteliti. Berdasarkan hal tersebut, maka penulis akan melaksanakan observasi dengan maksud agar dapat mendekati dan mengetahui permasalahan yang sebenarnya kepada objek atau sasaran. Metode dokumenter adalah suatu metode penelitian yang menggunakan dokumen sebagai sumber datanya, dalam metode ini sumber informasinya berupa bahan –bahan tertulis atau tercatat. Dengan demikian peneliti langsung mengambil data yang ada sesuai dengan kebutuhan dalam penelitian. Sedangkan pengertian dokumen itu sendiri adalah laporan tertulis dari suatu peristiwa yang isinya terdiri atas penjelasan dan pemikiran atas peristiwa dan atau ditulis dengan sengaja untuk menyimpan atau meneruskan keterangan mengenai suatu peristiwa.
C. Populasi dan Sampel Populasi dalam rencana penelitian ini adalah (1). Seluruh Polisi di Polrestabes Makassar yang terlibat dalam peyelidikan tindak pidana anak. (2) Seluruh Jaksa di Kejaksaan Negeri Makassar yang terlibat dalam penuntutan anak. (3) Seluruh Hakim dalam Pengadilan Negeri Makassar yang terlibat dalam sidang anak. (4) Seluruh advokat di kantor advokat atau di Lembaga Bantuan Hukum. (5) Seluruh tersangka, terdakwa dan Napi Anak di Polrestabes dan Pengadilan Negeri Makassar. (6) Seluruh pihak-pihak yang berkompeten dalam Rumah Tahanan Negara.
Sampel dalam penelitian ini terdiri dari: (1) Penyidik Anak pada unit PPA di Polrestabes Makassar sekurang-kurangnya lima (2) orang anggota penyidik. (2). Jaksa di Kejaksaan Negeri Makassar yang bertindak sebagai penuntut umum pada sidang anak, sekurang-kurangnya tiga (2) orang. (3) Hakim di Pengadilan Negeri Makassar yang menangani perkara anak, sekurang-kurangnya tiga (4) orang. (5) Aparat atau pihak-pihak yang berkompeten dalam Lapas baik Kepala Lapas maupun yang yang bertindak sebagai Pembimbing Kemasyarakatan. (6) Advokat atau yang bertindak sebagai penasihat hukum kepada anak sebagai tersangka, sekurang-kurangnya tiga (3) Advokat. (7) Pihak- pihak yang konsen dalam perlindungan anak, sekurang-kurangnya tiga (2) Orang. (8) Beberapa Anak, baik dalam kapasistasnya sebagai tersangka maupun terdakwa. Adapun target, peneliti berusaha menemukan masing-masing sepuluh (10) sampel atau sekurang-kurangnya lima (5) Anak.
D. Teknik Analisis Data Metode analisis data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dan deskriptif. Data yang berhasil diperoleh dalam penelitian, baik berupa data primer maupun data sekunder diolah dan disusun secara sistematis serta dianalisis dengan menggunakan teknik analisis kualitatif dan selanjutnya disajikan secara deskriptif.
Fakultas Hukum – UNISAN 45
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. III, No. 1 September 2015
III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bantuan hukum menurut KUHAP dibedakan berdasarkan tiga tahap proses pemeriksaan yaitu: (1) Bantuan hukum pada tahap penyidikan. (2) Bantuan hukum pada tahap penuntutan. (3) Bantuan hukum pada proses pemeriksaan perkara (sidang) di pengadilan.
Keadaan jumlah anak yang berkonflik dengan hukum, yaitu anak yang diduga melakukan tindak pidana berdasarkan hasil penelusuran buku pencatatan laporan yang masuk oleh penyidik di Polrestabes Makassar, khususnya laporan Unit PPA Polrestabes Makassar, terdapat 451 Kasus Anak sejak Tahun 2103 sampai dengan Bulan Maret Tahun 2014.
Upaya memberikan perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, seorang anak yang terlibat dalam pidana anak akan menjalani proses pemeriksaan awal dikepolisian oleh penyidik, kemudian diteruskan ke Jaksa Penuntut Umum dan selanjutnya pemeriksaan persidangan oleh Hakim dari Pengadilan. Polisi, Jaksa, Hakim yang menangani pidana anak tersebut adalah Polisi, Jaksa, dan Hakim anak. Hakim anak yang bertugas dipengadilan tingkat pertama, tingkat banding dan kasasi, adalah hakim yang telah mendapat surat keputusan dari ketua Mahkamah Agung sebagai hakim anak, diisyaratkan mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak yang meliputi pembinaan, pertumbuhan, anak dan tata nilai dalam masyarakat.
Dari total 20 jumlah anak sebagai sampel yang diproses sebagai pelaku tindak pidana pada tahap penyidikan, hanya 2 orang yang mendapat pendampingan dari penasihat hukum, dengan latar belakang, alasan dan motivasi yang berbeda antara keduanya, yaitu dalam penyidikan menggunakan penasihat hukum karena orang tua melapor ke LBH dan meminta bantuan pengacara, sedangkan pada sampel yang lain menggunakan penasihat hukum karena memilki keluarga yang berfrofesi sebagai Advokat. Terhadap ke-18 anak yang tidak mendapat penasihat hukum, dalam wawancara tersebut juga terungkap alasan dan motivasi yang beragam antara satu sampel dengan sampel lainnya.
Terdapat lima (5) alasan dan motifasi yang menonjol, dan diantara kelima alasan terdapat satu (1) alasan yang dominan yaitu sengaja tidak menggunakan penasihat hukum dengan pertimbangan bahwa proses peradilan nantinya yang dijalani oleh para tersangka akan menjadi rumit dan berbelit- belit, ditamb ahkan lagi bahwa menurut “AG, AD dan RD saat penulis menanyakan bahwa apakah yang bersangkutan mendapat penjelasan mengenai hak-haknya pada saat sebelum dimulainya penyidikan, menurut mereka penyidik tidak menjelaskan apa-apa, penyidik hanya sekedar menanyakan apakah tersangka memiliki pengacara, bahkan menurut pengakuan ke-10 sampel penyidikan justru menyarankan untuk tidak menggunakan penasihat hukum, dikarenakan menurutnya sambil meniru perkataan penyidik “repot ki kalo pake Pengacara itu, apa lagi lama ki nanti di tahan, lama ki juga disidang”.
Bantuan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku tindak Pidana Pada Tahap Penuntutan Menurut proses peradilan pidana, tahapan setelah penyidikan yaitu tahapan penuntutan. Penuntutan adalah tindakan Penuntut Umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh Hakim di sidang pengadilan.
Data pada Lembaga Bantuan Hukum Makassar yang merupakan salah satu lembaga yang menyediakan bantuan hukum gratis bagi tersangka yang tidak mampu mengalami penurunan jumlah.
46 Fakultas Hukum - UNISAN
Bantuan Hukum
Dibanding dalam tahapan penyidikan maupun pemeriksaan didepan persidangan, dalam tabel tersebut menunjukkan bahwa setiap tahunnya persentase jumlah tersangka yang mendapatkan pendampingan oleh penasihat hukum di tingkat penuntuttan terbilang sangat kecil.
Pada penelitian ini terlihat bahwa Implementasi Bantuan Hukum terhadap Anak sebagai pelaku tindak pidana dalam Sistem Peradilan Pidana di Kota Makassar terdiri atas tiga tahapan, yaitu implementasi pada tahap penyidikan, tahap penuntutan, dan tahap pemeriksaan di depan persidangan, namun dalam semua tahapan tersebut belum berjalan maksimal sesuai dengan ketentuan yang berlaku, hal ini dapat dilihat dari minimnya jumlah Anak yang mendapat pendampingan oleh Penasihat Hukum, sementara itu setelah berlakunya UU No 11 Tahun 2012 tentang SPPA masih ditemukan pendampingan yang terkesan bersifat formalitas belaka, terutama dalam tahap penyidikan dan penuntutan.
Pola pemberian bantuan hukum merupakan suatu hak seseorang sebagai pelaku tindak pidana baik sebagai tersangka, maupun terdakwa, dalam hal sebagai tersangka sebelum penyidik mulai melakukan pemeriksaan terhadap seorang tersangka maka wajib diberitahukan hak-haknya, bahwa yang bersangkutan berhak mendapat bantuan hukum dan didampingi oleh penasehat hukum dalam pemeriksaannya (Marlina, 2009). Yang dimaksud dengan mendapat bantuan hukum adalah sebelum tersangka diperiksa penyidik, tersangka dapat terlebih dahulu berkonsultasi dengan penasehat hukumnya.
Batuan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku tindak Pidana Pada Tahap Penyidikan Dari rumusan Pasal 114 KUHAP sangat jelas mengatur bahwa penyidik berkewajiban sebelum pemeriksaan dimulai, wajib memberitahukan bahwa tersangka berhak mendapat bantuan hukum dari penasehat hukum atau advokat, dan memberitahukan bahwa perkara yang dihadapinya mengharuskan dirinya dalam pemeriksaan didampingi penasehat hukum atau advokat. Khusus mengenai hak anak untuk memperoleh bantuan hukum, terdapat dalam Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (sebagaimana telah diubah dengan UU No. 35 Tahun 2014) yang menyebutkan bahwa apabila seorang anak dirampas kebebasanya berhak untuk memperoleh bantuan hukum atau bantuan lain secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku”. Selain itu, dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (sebagaimana telah diubah dengan UU No. 11 Tahun 2012) disebutkan bahwa “setiap anak sejak saat ditangkap atau ditahan berhak mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih penasehat hukum selama dalam waktu dan setiap tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini.
Secara konsepsional, inti dari penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantahkan serta sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.
Soerjono Soekanto dalam bukunya yang berjudul “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum” mengemukakan ada 5 faktor yang mempengaruhi penegakan hukum yaitu: (1) Faktor hukumnya sendiri, yang di dalam tulisan ini akan dibatasi pada undang-undang saja. (2) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. (3) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. (4) Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana
Fakultas Hukum – UNISAN 47
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. III, No. 1 September 2015
hukum tersebut berlaku atau diterapkan. (5) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Kelima faktor tersebut saling berkaitan erat antara satu dan lainya, oleh karena itu disamping merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolok ukur daripada efektivitas penegakan hukum. Efektivitas dari sebuah peraturan perundang-undangan bergantung pada beberapa faktor, antara lain: (1) Pengetahuan tentang substansi (isi) perundang-undangan, (2) Cara-cara untuk memperoleh pengetahuan tersebut. (3) Institusi yang terkait dengan ruang lingkup perundang- undangan di dalam masyarakatnya. (4) Bagaimana proses lahirnya suatu perundang-undangan, yang tidak boleh dilahirkan secara tergesa-gesa untuk kepentingan. (5) Instan (sesaat), yang diistilahkan oleh Gunnar Myrdall sebagai sweep legislation (undang-undang sapu), yang memiliki kualitas buruk dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya (Ali , 2012).
Gangguan terhadap penegakan hukum mungkin terjadi, apabila terjadi ketidakserasian antara “tritunggal” yaitu nilai, kaidah dan pola perilaku. Gangguan tersebut terjadi apabila terjadi
ketidakserasian antara nilai-nilai yang berpasangan, yang menjelma di dalam kaidah-kaidah yang tumpang tindih antara satu kaidak terhadap kaidah yang lain, dan pola perilaku tidak terarah yang mengganggu kedamaian pergaulan.
Sedangkan dalam teori kesadaran hukum ( Legal awareness ) Menurut RM. Sudikno Mertokusumo, kesadaran hukum menunjuk pada kategori hidup kejiwaan pada individu, sekaligus juga menunjuk pada kesamaan pandangan dalam lingkungan masyarakat tertentu tentang apa hukum itu, tentang apa yang seyogyanya dilakukan atau perbuat dalam menegakkan hukum atau apa yang sebaiknya dilakukan untuk terhindar dari perbuatan melawan hukum (Ali , 2002).
Teori Hukum ( Legal Theory) dan Teori Peradilan ( JudicialPrudence ) Termasuk Interpretasi Undang-undang ( Legisprudence ), membagi kesadaran hukum menjadi dua macam yakni kesadaran hukum positif, identik dengan “ketaatan hukum” dan kesadaran hukum negatif, identik dengan “ketidaktaatan”.
Mengenai kesadaran hukum, Ewick dan Silbey berpendapat bahwa: “kesadaran hukum, adalah istilah yang digunakan para ilmuwan untuk merujuk pada cara-cara orang memahami lembaga- lembaga hukum dan hukum, yaitu pemahaman yang memberi makna pada pengalaman orang-orang
dan tindakan”. Kesadaran hukum merupakan suatu proses psikis yang terdapat dalam diri manusia, yang mungkin timbul dan mungkin tidak timbul. Akan tetapi, tentang asas kesadaran hukum, ada pada setiap manusia, oleh karena setiap manusia mempunyai rasa keadilan. Begitu pentingnya kesadaran hukum di dalam memperbaiki sistem hukum, maka tak heran dari tokoh-tokoh mazhab sejarah seperti Krabbe dan Kranenburg bersikukuh mengatakan bahwa kesadaran hukum merupakan satu-satunya sumber hukum.
Paul Scholten sebagai eksponen teori tentang kesadaran hukum atau yang dalam Bahasa Belanda disebut Rechtsgefuhl atau Rechtsbewustzijn secara tegas menyatakan bahwa kesadaran hukum adalah dasar sahnya hukum positif (hukum tertulis) karena tidak ada hukum yang mengikat warga- warga masyarakat kecuali atas dasar kesadaran hukum, karenanya kesadaran hukum adalah sumber dari semua hukum. Selengkapnya Paul Scholten mengatakan: “Pandangan Scholten di atas pada intinya menjelaskan kepada kita bahwa istilah kesadaran hukum, tidak dipandangnya sebagai penilaian
48 Fakultas Hukum - UNISAN
Bantuan Hukum
hukum mengenai suatu kejadian konkrit, melainkan suatu kesadaran yang hidup pada manusia mengenai apa yang hukum, atau apa yang seharusnya hukum. Kesadaran hukum masuk kategori tertentu dari kehidupan kejiwaan, yang menyebabkan kita dengan evidensi melepaskan diri dari lembaga-lembaga hukum positif, dalam membedakan antara hukum dan bukan hukum, seperti kita membedakan antara benar dan tidak benar, b aik dan buruk, cantik dan jelek”.
IV. PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa Implementasi Bantuan Hukum terhadap Anak sebagai pelaku tindak pidana dalam Sistem Peradilan Pidana di Kota Makassar terdiri atas tiga tahapan, yaitu implementasi pada tahap penyidikan, tahap penuntutan, dan tahap pemeriksaan di depan persidangan, namun dalam semua tahapan tersebut belum berjalan maksimal sesuai dengan ketentuan yang berlaku, hal ini dapat dilihat dari minimnya jumlah Anak yang mendapat pendampingan oleh Penasihat Hukum, sementara itu setelah berlakunya UU No
11 Tahun 2012 tentang SPPA masih ditemukan pendampingan yang terkesan bersifat formalitas belaka, terutama dalam tahap penyidikan dan penuntutan. Diharapkan bagi pemerintah melalui institusi terkait, baik Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan untuk dapat berperan lebih maksimal dalam mensosialisasikan program bantuan hukum kepada masyarakat, sehingga lebih banyak tersangka ataupun terdakwa pada khususnya yang mengetahui mekanisme, manfaat dan tujuan dari program bantuan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Achmad. Menguak tabir hukum sebuah kajian filosofis dan sosiologis, Cetakan Kedua, PT.Toko Gunung Agung tbk, Jakarta, 2002. Ali Achmad. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence) , Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2012.
Joni M. & Zulchaina. Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam Persepektif Konvensi Hak Anak, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999. Jabbar Asdar. Perlindungan Hukum terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Dalam Proses Penyelesaian Perkara Pidana. (Tesis) Makassar: Universitas Hasanuddin, 2012. Marlina. Peradilan Pidana Anak di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice , PT Refika Aditama, Bandung, 2009. Wagiati Soetadjo. Hukum Pidana Anak , Refika Aditama, Bandung, 2006. Wahyono Agung. Tinjauan tentang Peradilan Anak di Indonesia . Sinar Grafika, Jakarta, 2011.
Fakultas Hukum – UNISAN 49
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. III, No. 1 September 2015
50 Fakultas Hukum - UNISAN
Mediasi
PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA MELALUI JALUR MEDIASI
Nurmin K. Martam Fakultas Hukum Universitas Gorontalo
Abstract
The process of settlement of civil disputes by way of mediation conducted by the District Court Limboto, in this case there are two steps done in resolving civil disputes, namely: (a) pre-mediation stage, and (b) Phase mediation. The legal consequences of mediation for both parties in the resolution of civil disputes by way of mediation conducted by the District Court Limboto is by doing a peace accord equal legal force with the decision of civil cases are decided upon before the judges in the trial. The legal consequences of mediation for both parties here are: In Kracht Van gewijsde (has permanent legal force), a new lawsuit may not be filed again, can be executed, no other legal remedy.
Keywords: The process of settlement, civil disputes, mediation.
I. PENDAHULUAN
Mediasi sebagai salah satu penyelesain alternatif sengketa yang belum lama ini diketahui dan dikenal oleh masyarakat pada umumnya dan juga belum dikenal dalam suatu wacana hukum di Indonesia. Tidak semua Pengadilan yang menerapkan atau menggunakan medasi.Inti dari mediasi adalah mediasi sudah menjadi budaya masyarakat Indonesia. Mediasi harus banyak memerlukan adaptasi soialisasi baik bagi masyarakat Indonesia, birokasi pemerintah, maupun para penegak hukum. Untuk dapat memenuhi kebutuhan atau kepentingan secara wajar, manusia membutuhkan interaksi dengan pihak lain (person atau badan hukum). Karena kepentingan dan kebutuhan atau kepentingan manusia itu demikian banyaknya, maka sangat terbuka kepentingan antara orang satu dengan orang yang lainnya. Benturan kepentingan ini menimbulkan sengketa, yang dinamakan sengketa perdata. Sengketa perdata adalah perkara perdata dimana paling sedikit ada dua pihak, yaitu pengugat dan tergugat. Jika di dalam masyrakat terjadi sengketa yang tidak dapat diselesaikan dengan jalan muswarah, maka pihak yang dirugikan haknya dapat mengajukan gugatan. Pihak ini disebut penggugat. Gugatan diajukan ke pengadilan yang berwenang memberikan sengketa tersebut (Sudikno Mertokusumo, 2002:84).
Akhir-akhir ini banyak masyarakat yang terlibat di dalam sengketa perdata memilih jalan mediasi, baik yang diupayakan oleh hakim, pengacara maupun kehendak dari para pihak yang berperkara itu sendiri. Hal ini merupakan suatu gejala positif yang patut kita perhatikan secara seksama (Victor M Situmorang, 1992:1). Menyelesaikan mediasi dalam sengketa perdata atau sengketa gugatan cara-cara yang digunakan ádalah para pihak membuat, menentukan secara sendiri secara ikhlas dan
Fakultas Hukum – UNISAN 51
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. III, No. 1 September 2015
sadar isi perjanjian perdamaian. Dalam rangka mewujudkan proses sederhana, cepat dan murah. Pasal 130 HIR yang mengatur upaya perdamaian masih dapat diintensifkan. Caranya, mengintegrasikan proses mediasi ke dalam prosedur perkara. Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di pengadilan, mewajibkan terlebih dahulu ditempuh upaya perdamaian dengan bantuan mediator. Paling lama sehari setelah sidang pertama para pihak harus memilih mediator yang dimiliki oleh Pengadilan dan yang tidak tercantum dalam daftar Pengadilan.
Apabila tidak tercapai kesepakatan mengenai mediator tersebut maka wajib menunjuk mediator dari daftar yang disediakan oleh Pengadilan saja. Apabila hal tersebut tidak juga berhasil, dalam jangka satu hari kerja berdasarkan penetapan, Ketua majelis berwenang menunjuk seorang mediator. Hakim atau Majelis Hakim Makna mediasi atau dading dalam Keputusan Mahkamah Agung Rl dianta ranya menghasil kan suatu keputusan mengenai pember dayaan pengadilan tingkat pertama da lam menerapkan upaya perdamaian. Salah satu upaya damai tersebut adalah dalam bentuk mediasi. Melalui mediasi diharapkan diperoleh hasil yang sating menguntungkan (win win solution), men jadi tugas Hakim dalam setiap meme rik sa perkara untuk sungguh-sungguh me ngupayakan perdamaian.Tulisan ini mem beri gambaran upaya damaian dalam ben tuk mediasi, sebagai proses dan tahapan yang harus dilakukan Sengketa bisnis pada dewasa ini umumnya diselesaikan melalui arbitrase, justru oleh karena para pihak insaf, bahwa penyelesaian seng keta mereka melalui arbitrase adalah yang paling efektif dan efisien, cepat dan aman, serta rahasia terjaga. Lembaga Dading atau lebih dikenal dengan sebu tan Perdamaian, baik yang dilakukan dalam perkara perdata oleh dan dihada pan Hakim/ ajelis Hakim yang meme riksa perkara itu, maupun yang terjadi sebelum atau setelah perkara diajukan kepada Pengadilan Negeri diluar sidang,
Hakim yang memeriksa perkara tersebut pada umumnya juga kurang berusaha untuk memperdamaikan kedua belah pihak yang bersengketa, yang hampir selalu, diwa kili oleh penga cara mereka. Para pihak biasanya tidak menghadap sendiri dipersidangan. Para pengacara pada umumnya ingin agar perkara dite ruskan sampai banding kasasi dan penin jauan kembali, justru oleh karena hal itu menguntung kan mereka. Dalam hal perkara selesai dengan perdamaian sesu ai pasal 130 H.I.R., masalahnya tinggal pelaksanaan dari perda maian itu saja, justru, oleh karena putusan perdamaian langsung berkekuatan hukum tetap. Terhadap putusan perdamaian tidak ter buka upaya hukum biasa lagi. Upaya hukum luar biasa, yaitu peninjauan kem bali masih terbuka, namun alasannya pasti sulit dicari. Khusus mengenai perda maian diluar sidang, jadi yang terjadi sebelum perkara diajukan kepada Penga dilan Negeri, oleh karena yang berseng keta adalah para usahawan, dalam praktek jarang terjadi. Pihak yang nakal pada umum nya berharap, bahwa perkara akan berlarut-larut,memakanwaktu yang lama, sehingga ia tidak usah memenuhi kewaji bannya dengan cepat Akankah lembaga A.D.R. (Alternative Dispute Resolution) dalam Undang -undang No. 30 Tahun 1999, disebut Alternatif Penyelesaian Sengketa, membawa angin segar bagi dunia bisnis, baik nasional, maupun internasio nal.
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyele saian Sengketa, nampak tidak adil. Lem baga Arbitrase dalam Undang-undang ini, dibahas secara lengkap dan sempur na dalam 80 pasal, sedangkan Alternatif Penyelesaian Sengketa hanya disebut dalam pasal saja, yaitu dalam Pasal 1 butir 10 dan dalam Pasal 6, yang terdiri atas 9 ayat. Pasal 1 butir 10 menyatakan, bahwa Alternatif Penyelesaian Sengketa ada lah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui
52 Fakultas Hukum - UNISAN
Mediasi
prosedur yang disepakati para pihak, yakni penye lesaian diluar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli. Jadi, menurut keten tuan tersebut diatas ini Mediasi adalah salah satu prosedur penyelesaian seng keta atau beda pendapat diluar pengadi lan. Penjelasan lebih lanjut tidak diberi kan, karena dianggap sebagai "cukup jelas.
Mungkin adalah lebih baik untuk mela kukan hal itu dan selanjutnya mengatur A.D.R. dalam Undang-undang yang lain secara lengkap dan tuntas. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, lalu bisa disebut sebagai Undang-Undang No. 30 Tahun1999 tentangArbitrase.hal tersebut diatas ini kami serahkan kepada Pemerintah untuk menyelesai kannya. Di atas telah dikemukakan, bah wa pasal 6 mengatur Alternatif Penyelesaian Sengketa. Ayat 3 dari pasal tersebut mengatur bahwa : Dalam hal sengketa sebagai mana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui ban tuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator. Ayat 4 menyatakan : Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dengan bantuan se orang atau lebih penasehat ahli, maupun melalui seo rang mediator tidak berhasil mencapai kata sepakat atau mediator tadi tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak,maka para pihak dapat meng hu bungi sebuah lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang mediator.
Proses mediasi dalam Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 2008 harus selesai dalam jangka waktu paling lama 40 hari kerja sejak pemilihan atau penetapan penunjukan mediator. Seandainya mediator berasal dari luar lingkungan pengadilan jangka waktu tersebut diperpanjang menjadi 30 hari. Apabila mediasi berhasil, kesepakatan lengkap dengan klausula pencabutan perkara atau pernyataan perkara telah selesai disampaikan dalam sidang. Majelis Hakim kemudian akan mengkukuhkan kesepakatan itu sebagai akta perdamaian. Tetapi apabila gagal adalah tugas mediator untuk melaporkannya secara tertulis kepada Majelis Hakim. Konsekuensi kegagalan tersebut memaksa Majelis Hakim melanjutkan proses perkara (Krisna Harahap, 2008:62). Dengan adanya ketentuan dalam Pasal 130 ayat (1) HIR atau Pasal 154 ayat (1) RBg tersebut, maka jelas hakim mempunyai peranan yang aktif untuk mengusahakan penyelesaian secara damai untuk perkara perdata yang diperiksanya. Dalam kaitannya ini hakim haruslah dapat memberikan suatu pengertian bahwa penyelesaian perkara dengan cara perdamaian merupakan suatu cara penyelesaian yang lebih baik dan bijaksana daripada diselesaikan dengan cara putusan pengadilan, baik dipandang dari segi hukum masyrakat maupun dipandang dari segi waktu, biaya dan tenaga yang digunakan (H. Ridwan Syahrani, 2000:66).
Untuk memperjelas agar permasalahan yang ada nantinya dapat dibahas lebih terarah dan sesuai dengan sasaran, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah proses penyelesaian sengketa perdata dengan cara mediasi oleh Pengadilan Negeri Limboto? dan apa akibat hukum mediasi bagi kedua belah pihak tersebut?
II. PEMBAHASAN
A. Penyelesaian Sengketa Perdata Melalui Mediasi Oleh Pengadilan Negeri Limboto Mediasi merupakan salah satu dari bagian penyelesaian sengketa. proses penyelesaian sengketa adalah:
Fakultas Hukum – UNISAN 53
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. III, No. 1 September 2015
a. Litigasi, dimana perselisihan diselesaikan melalui pengadilan.
b. Arbitrase, suatu sistem di mana prosedur dan arbiter dipilih oleh para pihak untuk membuat keputusan yang mengikat.
c. Konsiliasi, proses yang sama dengan mediasi, namun diatur oleh undang-undang.
d. Konseling, di mana ada proses therapeutic yang memberikan nasihat membantu penanganan masalah psikologikal.
e. Negosiasi, adanya unsur diskusi, edukasi, pendekatan persuasive, serta tawar menawar dengan fasilitas pihak ketiga dalam menyelesaikan suatu masalah.
f. Fasilitasi, suatu proses yang dipergunakan dalam perselisihan yang melibatkan berbagai pihak.
g. Case appraisal/neutral evaluation, suatu proses di mana pihak ketiga yang mempunyai kualifikasi memberikan pandangan berdasarkan fakta dan kenyataan yang ada.
h. Mini Tria, proses penyelesaian perselisihan dengan pertukaran informasi yang kemudian dicari jalan keluar melalui hadirnya senior eksekutif dari masing-masing organisasi.
i. Provati Judging, suatu proses yang hampir sama dengan arbitrase, di mana seorang eks hakim bertindak untuk memberikan keputusan dan para pihak sepakat untuk mentaati keputusan tersebut.
Menurut Bapak Rustam Parluhutan (Hakim Pengadilan Negeri Limboto) menerangkan tentang mediasi, antara lain:
a. Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.
b. Mediasi adalah proses negosiasi pemecahan masalah dimana pihak luar yang tidak memihak (impartial) dan netral bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk membantu mereka memperolah kesepakatan perjanjian dengan memuaskan. Berbeda dengan hakim atau arbiter, mediator tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan sengketa antara para pihak. Namun, dalam hal ini para pihak menguasakan kepada mediator untuk membantu mereka menyelesaikan persoalan-persoalan diantara mereka. Asumsinya bahwa pihak ketiga akan mampu mengubah kekuatan dan dinamika sosial hubungan konflik dengan cara mempengaruhi kepercayaan dan tingkah laku pribadi para pihak dengan memberikan pengetahuan dan informasi atau dengan menggunakan proses negosiasi yang lebih efektif dan dengan demikian membantu para peserta untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang disengketakan.
c. Mediasi adalah suatu prosedur penengahan dimana seseorang bertindak sebagai kendaraan untuk berkomunikasi antar para pihak, sehingga pandangan mereka yang berbeda atas sengketa tersebut dapat dipahami dan mungkin didamaikan, tetapi tanggung jawab utama tercapainya suatu perdamaian tetap berada di tangan para pihak sendiri.
Mediasi adalah sebuah proses penyelesaian sengketa berdasarkan perundingan. Penyelesaian sengketa perdata dengan cara dengan Mediasi pada intinya adalah agar para pihak yang bersengketa bisa diselesaikan dengan cara mediasi, mediasi dalam hal ini sama dengan artinya dengan perdamaian.
54 Fakultas Hukum - UNISAN
Mediasi
Dengan adanya mediasi, maka dalam menyelesaikan sengketa diharapkan cepat selesai dan terlaksana dengan baik. Tidak semua mediasi dapat berjalan dengan lancar dan sesuai dengan keinginan yang diharapkan. Namun dalam perdamaian, mediasi dilakukan dengan cara mengadakan berbagai pertemuan-pertemuan yang dihadiri oleh kedua belah pihak. Dalam perdamaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang nantinya bisa mencapai kesepakatan hasil kesepakatan ini disebut sebagai kesepakatan perdamaian, sedangkan apabila perdamaian dilakukan dengan cara dan proses mediasi akan diperoleh hasil dari kesepakatan, yaitu keepakatan mediasi.
Mediasi setelah melalui tahap-tahap, proses dan cara-cara maka dibuatlah suatu kesepakatan mediasi, dalam hal ini mediator yang membuat suatu kesepakatan mediasi tersebut. Mediator bertanya apakah hasil keepakatan ini dibuat secara langsung atau dibuat sebagai produk hukum. Mediator menjelaskan tentang akibat-akibat hukum dari suatu mediasi. Mediator disini menjelaskan bahwa akibat hukum dari mediasi.yang nantinya para pihak bisa memilih mana yang terbaik dan yang tidak baik. Tujuan dari mediasi adalah agar dapat menyelesaikan sengketa perdata yang diselesaikan dengan cara mediasi atau damai. Apabila kesepakatan tersebut diselesaikan dengan cara mediasi oleh para pihak, kesepakatan tersebut dapat segera dilakasanakan, tetapi mediator disini mempunyai tugas dan kewenangan agar kesepaktan tersebut sah di hadapan hukum maka mediator membuatkan akata yaitu akta perdamaian yang nantinya ditanda tangani oleh kedua para pihak. Kekuatan dari akta perdamaian mempunyai kekuatan hukum tetap. Mediator dalam membuat suatu pertimbangan lebih aktif dalam mendorong agar para pihak menjadikan kesepkatan perdamaian tersebut menjadi suatu produk hukum yang dalam hal ini terkait dengan akibat hukum bagi kedua belah pihak. Hasil dari kesepakatan mediasi dari kedua belah pihak menjadikan suatu akta perdamaian.
Tujuan mediasi adalah untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa guna mengakhiri sengketa. Menurut Bapak Rustam Parluhutan (Hakim Pengadilan Negeri Limboto) menjelaskan bahwa terdapat dua bentuk mediasi, bila ditinjau dari waktu pelaksanaanya. Pertama, yang dilakukan di luar sistem peradilan dan kedua yang dilakukan dalam sistem peradilan atau “ court annexed mediation atau lebih dikenal court annexed dispute resolution”.
(wawancara, 21 Januari 2015)
A.1. Proses Mediasi
A.1.1. Tahap pramediasi Pasal 7 Perma No. 01 Tahun 2008 menentukan bahwa: “Pada hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak, hakim mewaji bkan para pihak untuk menempuh mediasi.” Hakim wajib menunda proses persidangan perkara itu untuk memberikan kesempatan kepada para pihak menempuh proses mediasi. Di samping itu, hakim wajib memberikan penjelasan kepada para pihak tentang prosedur dan biaya mediasi. Ketidakhadiran pihak turut tergugat tidak menghalangi
pelaksanaan mediasi. Kuasa hukum para pihak berkewajiban mendorong para pihak sendiri berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi. Pasal 8 ayat (1) sampai dengan ayat (2) Perma No. 01 Tahun 2008 diatur mengenai hak para pihak untuk memilih mediator yang telah ditentukan. Jika dalam sebuah proses mediasi terdapat lebih dari satu orang mediator, pembagian tugas mediator ditentukan dan disepakati oleh para mediator sendiri.
Fakultas Hukum – UNISAN 55
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. III, No. 1 September 2015
Daftar mediator diatur dalam Pasal 9 ayat (1) sampai dengan ayat (7), yang menyatakan bahwa untuk memudahkan para pihak memilih mediator, Ketua Pengadilan menyediakan daftar mediator yang memuat sekurang-kurangnya 5 (lima) nama mediator dan disertai dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman mediator dan pengalaman mediator. Ketua Pengadilan menempatkan nama-nama hakim yang telah memiliki sertifikat dalam daftar mediator. Jika dalam wilayah pengadilan yang bersangkutan tidak ada mediator yang bersertifikat, semua hakim pada pengadilan yang bersangkutan dapat ditempatkan dalam daftar mediator. Mediator bukan hakim yang bersertifikat dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan agar namanya ditempatkan dalam daftar mediator pada pengadilan yang bersangkutan, setelah memeriksa dan memastikan keabsahan sertifikat, Ketua Pengadilan menempatkan nama pemohon dalam daftar mediator. Kemudian Ketua Pengadilan setiap tahun mengevalusi dan memperbarui daftar mediator serta berwenang mengeluarkan nama mediator dari daftar mediator berdasarkan alasan-alasan objektif, antara lain, karena mutasi tugas, berhalangan tetap, ketidakaktifan setelah penugasan dan pelanggaran atas pedoman perilaku.
Honorarium mediator (biaya mediator) telah disebutkan pada Pasal 10 Perma ini, yaitu untuk penggunaan jasa mediator hakim tidak dipungut biaya. Untuk jasa mediator bukan hakim ditanggung bersama oleh para pihak atau berdasarkan kesepakatan para pihak. Batas waktu pemilihan mediator telah jelas pengaturannya di dalam Pasal 11, yakni setelah para pihak hadir pada hari sidang pertama, hakim mewajibkan para pihak pada hari itu juga atau paling lama 2 (dua) hari kerja berikutnya untuk berunding guna memilih mediator termasuk biaya yang mungkin timbul akibat pilihan penggunaan mediator bukan hakim. Para pihak segera menyampaikan mediator pilihan mereka kepada ketua majelis, setelah itu ketua majelis hakim segera memberitahu mediator terpilih untuk melaksanakan tugas. Jika setelah jangka waktu maksimal atau 2 (dua) hari kerja berikutnya setelah sidang pertama terpenuhi, para pihak tidak dapat bersepakat memilih mediator yang dikehendaki, maka para pihak wajib menyampaikan kegagalan mereka memilih mediator kepada ketua majelis hakim. Setelah menerima pemberitahuan para pihak tentang kegagalan memilih mediator, ketua majelis hakim segera menunjuk hakim bukan pemeriksa pokok perkara yang bersertifikat pada pengadilan yang sama untuk menjalankan fungsi mediator, jika pada pengadilan yang sama tidak terdapat hakim bukan pemeriksa perkara yang bersertifikat, maka Hakim Pemeriksa Pokok Perkara dengan atau tanpa sertifikat yang ditunjuk oleh Ketua Majelis Hakim wajib menjalankan fungsi mediator.
A.1.2. Tahap mediasi Diatur dalam Pasal 13 sampai dengan Pasal 19 Perma Nomor 1 Tahun 2008. Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para pihak menunjuk mediator yang disepakati, masing-masing pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada satu sama lain dan kepada mediator. Apabila dalam jangka waktu lima hari tersebut para pihak gagal memilih mediator, maka masing-masing pihak menyerahkan resume perkara kepada hakim mediator yang ditunjuk. Proses mediasi berlangsung paling lama 40 (empat puluh) hari kerja sejak mediator ditunjuk oleh ketua majelis hakim. Masih dapat diperpanjang paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak berakhirnya masa 40 (empat puluh) hari. Mediasi dapat dilakukan secara jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi atas kesepakatan para pihak.
56 Fakultas Hukum - UNISAN
Mediasi
Mediator mempunyai kewajiban untuk menyatakan bahwa mediasi telah gagal jika salah satu pihak atau para pihak atau kuasa hukumnya telah dua kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi sesuai jadwal pertemuan mediasi yang telah disepakati atau telah dua kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi tanpa alasan setelah dipanggil secara patut. Jika setelah proses mediasi berjalan, mediator memahami bahwa dalam sengketa yang sedang dimediasi melibatkan aset atau harta kekayaan atau kepentingan yang nyata-nyata berkaitan dengan pihak lain yang tidak disebutkan dalam surat gugatan sehingga pihak lain yang berkepentingan tidak dapat menjadi salah satu pihak dalam proses mediasi, mediator dapat menyampaikan kepada para pihak dan hakim pemeriksa bahwa perkara yang bersangkutan tidak layak dimediasi dengan alasan para pihak tidak lengkap.
Atas persetujuan para pihak atau kuasa hukum, mediator dapat mengundang seorang atau lebih ahli dalam bidang tertentu untuk memberikan penjelasan atau pertimbangan yang dapat membantu menyelesaikan perbedaan pendapat diantara para pihak. Namun, terlebih dahulu tercapai kesepakatan tentang kekuatan mengikat atau tidak mengikat dari penjelasan dan atau penilaian seorang ahli tersebut, kemudian biaya untuk kepentingan ahli ditanggung oleh para pihak berdasarkan kesepakatan.
Jika setelah batas waktu maksimal 40 (empat puluh) hari para pihak tidak mampu menghasilkan kesepakatan atau karena sebab-sebab telah terpenuhinya tugas-tugas mediator yang diatur dalam pasal 15 tersebut, maka mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa proses mediasi telah gagal dan memberitahukan kegagalan kepada hakim. Setelah menerima pemberitahuan itu, hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai ketentuan hukum acara yang berlaku. Pada tiap tahapan pemeriksaan perkara, hakim pemeriksa perkara tetap berwenang untuk mendorong atau mengusahakan perdamaian hingga sebelum pengucapan putusan dan berlangsung paling lama 14 (empat belas) hari kerja, sejak hari para pihak menyampaikan keinginan berdamai kepada pihak hakim pemeriksa perkara yang bersangkutan.
Apabila para pihak gagal mencapai kesepakatan, pernyataan dan pengakuan para pihak dalam proses mediasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses persidangan perkara yang bersangkutan atau perkara lain dan catatan mediator juga wajib dimusnahkan. Mediator tidak diperbolehkan untuk diminta menjadi saksi dalam proses persidangan perkara yang bersangkutan. Demikian pula mediator tidak dapat dikenai pertanggung jawaban pidana maupun perdata atas isi kesepakatan perdamaian hasil proses mediasi.
A.2. Keuntungan Mediasi Penyelesaian sengketa perdata melalui mediasi mempunyai keuntungan penyelesaian sebagai berikut :
a. Mediasi diharapkan dapat menyelesaikan sengketa dengan cepat dan relatif murah dibandingkan membawa perselisihan tersebut ke pengadilan atau arbitrase.
b. Mediasi akan memfokuskan para pihak pada kepentingan mereka secara nyata dan pada kebutuhan emosi atau psikologis mereka, jadi bukan hanya pada hak-hak hukumnya.
c. Mediasi memberi kesempatan para pihak untuk berpartisipasi secara langsung dan secara informal dalam menyelesaikan perselisihan mereka.
d. Mediasi memberi para pihak kemampuan untuk melakukan kontrol terhadap proses dan hasilnya.
Fakultas Hukum – UNISAN 57
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. III, No. 1 September 2015
e. Mediasi dapat mengubah hasil, yang dalam litigasi dan arbitrase sulit diprediksi, dengan suatu kepastian melalui konsensus.
f. Mediasi memberikan hasil yang tahan uji dan akan mampu menciptakan saling pengertian yang lebih baik di antara para pihak yang bersengketa karena mereka sendiri yang memutuskannya.
g. Mediasi mampu menghilangkan konflik atau permusuhan yang hampir selalu mengiri setiap putusan yang bersifat memaksa yang dijatuhkan oleh hakim di pengadilan atau arbiter pada arbitrase.
A.3. Penunjukan Mediator Pemilihan atau penunjukan mediator dilakukan oleh para pihak yang bersengketa atau melalui kuasa hukumnya dari daftar mediator yang telah terdaftar di pengadilan atau mediator di luar pengadilan. Apabila tidak terjadi kesepakatan tentang penggunaan mediator di dalam atau di luar daftar pengadilan, maka keetua majelis hakim berwenang menunjuk mediator dari daftar mediator dari daftar mediator tingkat pengadilan pertama dengan suatu penetapan. Menurut pasal 8 ayat (1) Perma No. 01 Tahun 2008 memberikan kriteria bahwa para pihak berhak memilih mediator di antara pilihan-pilihan berikut:
a. Hakim bukan pemeriksa perkara pada pengadilan yang bersangkutan;
b. Advokat atau akademisi hukum;
c. Profesi bukan hukum yang dianggap para pihak menguasai atau berpengalaman dalam pokok sengketa;
d. Hakim majelis pemeriksa perkara;
e. Gabungan antara mediator yang disebut dalam butir a dan d, atau gabungan butir b dan d, atau gabungan butir c dan d.
Pada hakikatnya mediator harus mampu berorientasi pada keseragaman tindakan dan pola pikir dari masing-masing pihak yang bersengketa, sehingga diharapkan dapat menciptakan pengembangan lebih luas dalam penyikapan sengketa yang diajukan secara formil. Jadi mediator seharusnya tetap bersikap netral, selalu membina hubungan baik, berbicara dengan bahasa para pihak, mendengarkan secara aktif, menekankan pada keuntungan potensial, meminimalkan perbedaan-perbedaan, dan menitikberatkan persamaan. Peranan penting yang harus dilakukan mediator antara lain adalah sebagai berikut :
a. melakukan diagnosis konflik;
b. mengidentifikasi masalah serta kepentingan-kepentingan kritis para pihak;
c. menyusun agenda;
d. memperlancar dan mengendalikan komunikasi;
e. mengajar para pihak dalam proses dan keterampilan tawar-menawar; dan
f. membantu para pihak mengumpulkan informasi penting, dan menciptakan pilihan-pilihan untuk memudahkan penyelesaian problem.
58 Fakultas Hukum - UNISAN
Mediasi
Sebagai pihak netral yang melayani kedua belah pihak, mediator berperan melakukan interaksi dengan para pihak, baik secara bersama atau secara individu, dan membawa mereka pada tiga tahap sebagai berikut :
a. memfokuskan pada upaya membuka komunikasi di antara para pihak;
b. memanfaatkan komunikasi tersebut untuk menjembatani atau menciptakan saling pengertian di antara para pihak (berdasarkan persepsi mereka atas perselisihan tersebut dan kekuatan serta kelemahan masing-masing); dan
c. memfokuskan pada munculnya penyelesaian sengketa. Pada hakekatnya mediator harus senantiasa bersifat netral, dalam artian bahwa disamping tidak
memperlihatkan keberpihakan juga diartikan sebagai penengah yang tidak memiliki kepentingan terhadap hasil akhir atau kesepakatan yang diharapkan dihasilkan melalui proses mediasi. Proses menentukan mediator berlangsung saat para pihak hadir pada sidang pertama, hakim mewajibkan para pihak pada saat itu juga atau paling lama 2 (dua) hari kerja berikutnya untuk berunding guna memilih mediator termasuk biaya yang mungkin timbul akibat pilihan penggunaan mediator bukan hakim. Apabila setelah jangka waktu maksimal para pihak tidak dapat bersepakat memilih mediator yang dikehendaki maka para pihak wajib menyampaikan kegagalan mereka memilih mediator kepada ketua majelis hakim. Selanjutnya hakim segera menunjuk hakim bukan pemeriksa pokok perkara yang bersertifikat pada pengadilan yang sama untuk menjalankan fungsi mediator. Untuk pengadilan sama yang tidak mempunyai hakim bukan pemeriksa perkara yang bersertifikat, maka Hakim Pemeriksa Pokok Perkara dengan atau tanpa sertifikat yang ditunjuk oleh Ketua Majelis Hakim wajib menjalankan fungsi mediator.
A.4. Daya Mengikat Kesepakatan Mediasi Konsekuensi logis dari penerapan mediasi dalam proses penyelesaian sengketa di pengadilan yakni kesepakatan itu telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) sekaligus penyelesaian itu harus selesai dalam tingkat peradilan pertama atau dengan kata lain tidak dapat diajukan banding. Oleh sebab itu pelaksanaannya tidak dapat terlepas dari Pasal 130 HIR/154 RBg terutama ayat 2 dengan penyebutannya sebagai berikut:
“Jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu bersidang, diperbuat sebuah surat (akta) tentang itu, dalam mana kedua belah pihak dihukum akan menepati perjanjian yang diperbuat itu, surat mana akan berkekuatan dan akan dijalankan sebagai
putusan yang biasa.” Dalam tingkatan ini juga dikuatkan dengan pernyataan Pasal 130 HIR/154 RBg ayat 3 yang
berbunyi: “Keputusan yang sedemikian tidak diizinkan banding.” Dasar hukum di atas menegaskan kesepakatan yang dicapai oleh para pihak mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan hasil putusan dalam proses pengadilan. Jadi para pihak diwajibkan untuk menepati hasil kesepakatan serta tidak dapat diajukan banding atas hasil kesepakatan mediasi tersebut. Para pihak dengan bantuan mediator bersertifikat yang berhasil menyelesaikan sengketa di luar pengadilan dengan kesepakatan perdamaian dapat mengajukan perdamaian tersebut ke pengadilan yang berwenang untuk memperoleh
Fakultas Hukum – UNISAN 59
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. III, No. 1 September 2015
akta perdamaian. Dengan cara mengajukan gugatan yang dilampiri dengan kesepakatan perdamaian dan dokumen-dokumen yang membuktikan ada hubungan hukum para pihak dengan objek sengketa.
Syarat-syarat yang harus terpenuhi untuk menguatkan kesepakatan perdamaian dalam bentuk akta perdamaian, sebagai berikut:
a. sesuai kehendak para pihak;
b. tidak bertentangan dengan hukum;
c. tidak merugikan pihak ketiga;
d. dapat dieksekusi;
e. dengan itikad baik. Dalam hal perkara yang telah berhasil mendapatkan kesepakatan perdamaian ini tidak
dibenarkan untuk mengajukan gugatan pada kasus yang sama karena pasti dinyatakan ne bis in idem. Mediasi yang demikian hanya mengikat kedua belah pihak dan karena itu apabila salah satu pihak tidak mentaatinya, persoalan tetap harus diajukan ke depan persidangan pengadilan (litigasi).
Ada dua pilihan ketika mediasi mengalami kegagalan, dalam kaitannya dengan kelanjutan proses tersebut, yakni:
1. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, jika upaya mediasi tidak dapat dicapai, para pihak berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat mengajukan upaya penyelesaian melalui lembaga arbitrase atau arbitrase ad hoc .
2. Berdasarkan Perma Nomor 01 Tahun 2008, jika dalam waktu yang telah ditetapkan, mediasi tidak menghasilkan kesepakatan, mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa proses mediasi telah gagal dan memberitahukan kegagalan tersebut kepada hakim di Pengadilan Negeri yang sedang menangani perkara tersebut, selanjutnya akan melalui persidangan di pengadilan.
A.5. Tempat dan Biaya Mediasi Pelaksanaan mediasi di salah satu ruang pengadilan tingkat pertama atau tempat lain yang disepakati oleh para pihak. Pada dasarnya tidak ada pembebanan biaya apapun dari pengadilan untuk proses mediasi. Apabila mediasi dilaksanakan di ruang pengadilan tingkat pertama tidak dikenakan biaya, sebaliknya jika mediasi dilakukan di tempat lain, maka pembiayaan dibebankan kepada para pihak berdasarkan kesepakatan. Pemanggilan para pihak untuk menghadiri proses mediasi lebih dahulu dibebankan kepada pihak penggugat melalui uang panjar biaya perkara. Pada saat mencapai kesepakatan, maka biaya pemanggilan para pihak ditanggung bersama atau sesuai kesepakatan para pihak itu sendiri, namun jika mediasi gagal, pembebanan biaya pemanggilan diberikan kepada pihak yang oleh hakim dihukum membayar biaya perkara.
Penggunaan jasa mediator dari kalangan hakim tidak ada pemungutan biaya. Akan tetapi penggunaan mediator yang bukan berasal dari hakim pembayaran biaya ditanggung bersama oleh para pihak atau berdasarkan kesepakatan para pihak. Pembiayaan untuk kepentingan seorang ahli atau lebih dalam proses mediasi ditanggung oleh para pihak berdasarkan kesepakatan.
60 Fakultas Hukum - UNISAN
Mediasi
A.6. Upaya Perdamaian Perdamaian yang demikian ini dilaksanakan pada saat mediasi mengalami kegagalan. Pada tiap tahapan pemeriksaan pengadilan, dari pemeriksaan awal sampai sebelum putusan, dibuka seluas- luasnya untuk usaha perdamaian. Pada pasal 21 Perma No. 01 Tahun 2008 disebutkan:
“Para pihak, atas dasar kesepakatan mereka, dapat menempuh upaya perdamaian terhadap perkara yang sedang dalam proses banding, kasasi, atau peninjauan kembali atau terhadap perkara yang diperiksa pada tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali sepanjang perkara
itu belum diputus.” Hakim pemeriksa perkara tetap berwenang untuk mengusahakan agar tetap tercipta perdamaian
yang dimaksud. Penyampaian keinginan para pihak untuk berdamai harus disampaikan kepada hakim pemeriksa perkara dan berlangsung paling lama 14 (empat belas) hari kerja, sejak hari penyampaian tersebut. Upaya perdamaian dapat diajukan para pihak secara tertulis kepada Ketua Pengadilan Tingkat Pertama terhadap perkara yang sedang diproses atau diperiksa pada tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali sepanjang perkara itu belum diputus. Hakim pemeriksa pada tingkatan itu wajib menunda pemeriksaan perkara yang bersangkutan selama 14 (empat belas) hari kerja sejak menerima pemberitahuan tentang kehendak para pihak menempuh perdamaian. Mengenai tempat pelaksanaannya dilaksanakan pada pengadilan di tingkat pertama atau tempat lain atas persetujuan para pihak.
B. Akibat Hukum Mediasi bagi Kedua Pihak yang Berperkara Akibat hukum adalah akibat suatu tindakan yang dilakukan untuk memperoleh suatu akibat yang dikehendaki oleh pelaku dan yang diatur oleh hukum. Tindakan yang dilakukannya merupakan tindakan hukum yakni tindakan yang dilakukan guna memperoleh sesuatu akibat yang dikehendaki hukum. Lebih jelas lagi bahwa akibat hukum adalah segala akibat yang terjadi dari segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum terhadap obyek hukum atau akibat-akibat lain yang disebabkan karena kejadian-kejadian tertentu oleh hukum yang bersangkutan telah ditentukan atau dianggap sebagai akibat hukum.
Akibat hukum merupakan sumber lahirnya hak dan kewajiban bagi subyek-subyek hukum yang bersangkutan. Misalnya, mengadakan perjanjian jual-beli maka telah lahir suatu akibat hukum dari perjanjian jual beli tersebut yakni ada subyek hukum yang mempunyai hak untuk mendapatkan barang dan mempunyai kewajiban untuk membayar barang tersebut. Dan begitu sebaliknya subyek hukum yang lain mempunyai hak untuk mendapatkan uang tetapi di samping itu dia mempunyai kewajiban untuk menyerahkan barang. Jelaslah bahwa perbuatan yang dilakukan subyek hukum terhadap obyek hukum menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum itu dapat berujud :
a. Lahirnya, berubahnya atau lenyapnya suatu keadaan hukum.
b. Lahirnya, berubahnya atau lenyapnya suatu hubungan hukum, antara dua atau lebih subyek hukum, di mana hak dan kewajiban pihak yang satu berhadapan dengan hak dan kewajiban pihak yang lain.
c. Lahirnya sanksi apabila dilakukan tindakan yang melawan hukum.
Fakultas Hukum – UNISAN 61
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. III, No. 1 September 2015
d. Akibat hukum yang timbul karena adanya kejadian-kejadian darurat oleh hukum yang bersangkutan telah diakui atau dianggap sebagai akibat hukum, meskipun dalam keadaan yang wajar tindakan-tindakan tersebut mungkin terlarang menurut hukum.
Di Dalam kenyataannya, bahwa perbuatan hukum itu merupakan perbuatan yang akibat diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja (bersegi satu) maupun yang dilakukan dua pihak (bersegi dua). Apabila akibat hukumnya ( rechtsgevolg ) timbul karena satu pihak saja, misalnya membuat surat wasiat diatur dalam Pasal 875 KUH Perdata, maka perbuatan itu adalah perbuatan hukum satu pihak. Kemudian apabila akibat hukumnya timbul karena perbuatan dua pihak, seperti jual beli, tukar menukar maka perbuatan itu adalah perbuatan hukum dua pihak.
Berdasarkan hasil wawancara 21 Januri 2015 dengan Bapak Rustam Parluhutan (Hakim Pengadilan Negeri Limboto) menjelaskan dalam hal ini hal-hal yang menjadi akibat hukum bagi kedua belah pihak adalah sebagai berikut misalnya saja Perkara Perdata Nomor : 01/PDT.G/2014/PN.LBT sebagai berikut :
a) In Kracht Van Gewijsde (mempunyai kekuatan hukum tetap) Akta perdamaian yang mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu sama dengan putusan hakim. Bagi para pihak diharuskan menyerahkan sesuatu atau diharuskan untuk membayar suatu jumlah tertentu, apabila tidak mau dengan sukarela memenuhi kewajiban hukumnya maka eksekusi dilakukan menurut cara yang biasa. Biasanya hal ini ditunjukan dengan kata-kata demi “Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. adanya kekuatan hukum tersebut apabila para pihak tidak mau melaksanakan apa yang di perintahkan dalam suatu akta perdamaian tersebut maka para pihak tersebut langsung mendapatkan sanksi berupa eksekusi secara paksa (putusan dengan cara paksa). Hal ini berarti apabila hasil dari suatu mediasi tidak di buatkan suatu akta perdamaian maka salah satu pihak tersebut jelas tidak mau melaksanakannya dengan cara sukarela. Oleh sebab itu mediator Pengadilan Negeri Limboto mengupayakan dan mendorong agar para pihak yang bersengketa yang akhirnya sepakat untuk berdamai, maka hasil perdamaian tersebut dicatat dalam akta perdamaian dan kemudian dilakukan suatu tindakan mediasi yang dilakukan oleh majelis hakim yang memeriksa parkara tersebut.
b) Tidak Dapat Diajukan Gugatan Baru Lagi Apabila dalam hal ini akta perdamaian sudah dibuat, maka para pihak tidak mungkin atau tidak dapat mengajukan gugatan baru lagi atas suatu perkara yang sama dalam suatu pengadilan. Hal ini sama sekali tidak bertentangan dengan hukum acara perdata apabila hal itu tetap dilakukan. Dalam hal ini berarti dalam Pengadilan Negeri Limboto apabila para pihak ingin mengajukan gugatan baru maka dalam hal ini tidak diperkenankan lagi untuk mengajukan gugatan baru lagi, sehingga gugatan tersebut tidak bisa diterima dalam suatu Pengadilan yang mana dalam hal ini adalah Pengadilan Negeri Limboto.
c) Tidak Ada Upaya Hukum Lain Apabila suatu perkara sudah masuk dalam Pengadilan Negeri dan sudah dilakukan mediasi, maka perkara tersebut tidak bisa dilakukan upaya hukum atau tidak boleh mengajukan
62 Fakultas Hukum - UNISAN
Mediasi
permohonan banding, kasasi maupun peninjauan kembali. Hal ini berati dalam pokok perkara Nomor : 01/PDT.G/2014/PN.LBT para pihak yang telah dibuat akta perdamaian tidak diperkenankan atau tidak dapat melakukan upaya hukum lagi baik upaya hukum biasa atau upaya hukum luar biasa. sehingga para pihak sudah jelas kalau gugatan tersebut tidak ada upaya hukum lain.
d) Dapat di Eksekusi Suatu putusan dapat di eksekusi apabila para pihak disini tidak dapat melakukan sesuatu, terutama dalam hal ini adalah pihak yang kalah dalam melakukan suatu perundingan, pihak yang kalah tersebut dihukum untuk membayar sejumlah uang kepada pihak yang menang. Dalam pokok Perkara Nomor : 01/PDT.G/2014/PN.LBT yang menyatakan bahwa pihak tergugat yang dalam hal ini terbelit hutang yang sangat banyak dari penggugat. Apabila tergugat tidak ingin gugatan ini nantinya sampai berlarut-larut maka tergugat harus segera membayar uang sebagaimana yang telah dijelaskan diatas. Dalam hal dapat di eksekusi diatur dalam pasal 196 HIR dan 225 HIR dan sama sekali tidak bertentangan dengan hukum Acara Perdata.
Hal inilah yang menjadi akibat hukum mediasi bagi kedua belah pihak. Sesuai dengan Akta Perdamaian pokok Perkara Nomor : 01/PDT.G/2014/PN.LBT yang menyebutkan bahwa kedua belah pihak telah sepakat untuk berdamai dan para pihak telah sepakat untuk mengakhiri sengketa tersebutsesuai dengan akta perdamaian yang disepakti bersama tersebut dan kedua belah pihak sepakat dalam membagi dua biaya perkara tersebut atau biaya biaya perkara tersebut merupakan tanggungjawab kedua belah pihak tersebut. Dan Perkara dengan Nomor :01/PDT.G/2014/PN.LBT dianggap sudah selesai dengan cara damai.
III. PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian dan pokok permasalahn yang telah di bahas oleh penulis diatas maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Proses penyelesaian sengketa perdata dengan cara mediasi yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri Limboto, dalam hal ini ada dua tahap yang dilakukan dalam menyelesaikan sengketa perdata yaitu : (a) Tahap pra mediasi, tahap-tahap yang ditempuh adalah sebagai berikut : Memeriksa kasus perdata yang masuk dalam Pengadilan Negeri Limboto, Ketua Pengadilan Negeri Limboto menunjuk Majelis Hakim, Hakim anggota dan Panitera dalam menangani dan menyelesaikan kasus perkara perdata, Ketua Pengadilan Negeri Limboto menetapkan hari sidang pertama dan harus dihadiri oleh para pihak, Majelis hakim menunjuk mediator berdasarkan kesepaktan kedua belah pihak, untuk membantu proses mediasi dalam Pengdilan Negeri Limboto;, (b) Tahap mediasi dalam tahap ini dijelaskan bahwa dalam tahap mediasi langkah-langkah yang biasanya ditempuh oleh seorang mediator adalah sebagai berikut : Meminta agar para pihak menghadap mediator,
Fakultas Hukum – UNISAN 63
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. III, No. 1 September 2015
Menentukan jadwal pertemuan, Melakukan kaukus, Mempertemukan kedua belah pihak, Melaporkan hasil mediasi.
2. Akibat hukum mediasi bagi kedua belah pihak dalam penyelesaian sengketa perdata dengan cara mediasi yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri Limboto yaitu dengan cara melakukan suatu kesepakatan perdamaian yang kekuatan hukumnya sama dengan putusan perkara perdata yang diputus Majelis Hakim di dihadapan sidang. Akibat hukum mediasi bagi kedua belah pihak disini adalah : In Kracht Van Gewijsde (mempunyai kekuatan hukum tetap) , tidak dapat diajukan gugatan baru lagi, dapat dieksekusi, tidak ada upaya hukum lain.
DAFTAR PUSTAKA
Gunawan Widjaja. Alternatif Penyelesaian Sengketa . Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
H.B. Sutopo. Pengantar Penelitian Kualitatif. Surakarta : UNS Press, 2002. http://www. Fransiscamudji.wimadiun.com. http://www. gollassirait.blogspot.com. http://www. dalyeni.multiply.com Krisna Harahap. Hukum Acara Perdata. Bandung : PT Grafiti Budi Utami, 2008. Mohammad Jamin. Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa . Jakarta : Rineke Cipta, 1995. Muchammad Zainudin. Tesis: Hukum dalam Mediasi . Surabaya : Universitas Airlangga, 2008. Riduan Syahrani. Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata . Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2002. Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2006. Sudikno Mertokusumo. Hukum Acara P erdata Yogyakarta : Liberty, 2002. Susanti. Naskah Akademis Mediasi . Jakarta : Mahkmah Agung RI, 2007. Sutrisno Hadi. Pedoman Tehnik Wawancara . Jakarta : Elips, 2001. Suyud Margono. ADR (Alternative Dispute Resoluttion) & Arbitrase Bogor : Ghalia Indonesia. Tresna. Komentar HIR . Jakarta : PT Pradanya Paramita, 2005. Victor Situmorang. Perdamaian dan Perwasitan Jakarta : Rineka Cipta, 1992. Soedharyo Somin, KUHPER (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) : Sinar Grafika, 1995. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
64 Fakultas Hukum - UNISAN
Kedudukan Wasiat
KEDUDUKAN WASIAT BERDASARKAN KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN KUH PERDATA
Arpin Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo
Abstract
Probate is a sacred institution, for the willed act is regulated by the Qur'an, in the sense of giving a chance to the grantor's will a way to improve the implementation of the law of inheritance in the framework of certain limits, and to open the possibility for family members who are excluded from the right of inheritance, for a share of the estate. And to say the award to someone who is not a member of his family who have been credited to him or has said his loyalty to the grantor's will at the last time of his life.
Keywords: Probate, grantor, sacred institution.
I. PENDAHULUAN
Sejarah Negara Indonesia sejak dahulu tidak sedikit memberikan pengaruhnya terhadap hukum yang berlaku di Negara ini. Sebagai suatu Negara hukum, Indonesia tidaklah menganggap hukum sekedar sebagai suatu peraturan belaka, tetapi menjungjungnya, bahkan memandang segala sesuatu itu dengan dihubungkan pada sesuai tidaknya dengan hukum. Sejak dicanangkannya pembangunan hukum dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), pembangunan hukum di indonesia menuntut adanya perubahan sikap mental sedemikian rupa dan menghendaki agar hukum tidak hanya sebagai sarana pengadilan sosial, untuk memperlancar interaksi sosial, untuk mendatangkan keseimbangan, perdamaian dan pengayoman dalam masyarakat tapi juga berfungsi sebagai sarana pembaharuan dan perubahan masyarakat. Hukum tidak lagi berkembang hanya mengikuti masyarakat melainkan juga hukum harus dapat memberikan arah kepada masyarakat sesuai dengan tahap-tahap pembangunan nasional yang dilancarkan.
Dalam Garis-garis Besar Haluan Negara Tap. MPR RI. No. IV/MPR/1999 Bab. IV arah kebijakan angka 1 dan 2, ditegaskan bahwa:
1. Mengembangkan budaya hukum disemua lapisan masyarakat untuk tercipta kesadaran dan kepatuhan hukum dalam kerangka supremasi hukum, tegaknya negara hukum.
2. Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu denagn mengakui dan menghormati dan menghargai hukum agama dan hukum adat serta mempengaruhi perundang-undangan kolonial dan hukum nasional yang diskriminasi, termasuk ketidakadilan gender dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi.
Fakultas Hukum – UNISAN 65
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. III, No. 1 September 2015
Masyarakat indonesia memiliki aneka ragam suku bangsa, adat-istiadat dan agama, serta kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang merupakan potensi terhadap adanyakeaneka ragaman hukum. Oleh karena itu, indonesia memiliki sistem hukum yang bersifat majemuk yang didalamnya berlaku berbagai sistem hukum mempunyai corak dan susunan sendiri, yaitu sistem hukum adat, sistem hukum islam, sistem hukum barat (perdata). Tiap-tiap hukum adalah sesuatu yang berkenaan dengan manusia, yaitu manusia dalam hubungan dengan manusia lainnya, jadi manusia dalam suatu pergaulan hidup. Adanya pergaulan hidup tergantung kepada adanya manusia yang hidup bersama dan dengan adanya pergaulan hidup itu terdapatlah hukum. Menjadi dasar pikiran dalam ilmu pengetahuan hukum perdata barat bahwa setiap manusia itu merupakan orang pembawa hak, sebagai pembawa hak padanya dapat diberikan hak (dapat menerima warisan, menerima hibah mutlak dan sebagainya) dan dapat dilimpahkan kewajiban.
Seorang manusia selaku anggota masyarakat selama masih hidup, mempunyai tempat dalam masyarakat dengan disertai berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban terhadap orang-orang anggota lain dari masyarakat itu terhadap barang-barang yang berada dalam masyarakat itu. Jadi apabila seseorang pada suatu saat karena usianya yang sudah uzur, atau karena mengalami kejadian sesuatu, misalnya terjadi kecelakaan, terserang penyakit dan lain-lain, seorang itu meninggal dunia, maka apakah yang terjadi dengan perhubungan-hubungan hukum tadi, yang mungkin sekali sangat erat sifatnya pada waktu manusia itu masih hidup. Namun demikian walaupun seseorang yang meninggal dunia tadi sudah dimakamkan, perhubungan-perhubungan hukum itu tidaklah lenyap begitu saja melainkan beralih kepada orang lain yang ditinggalkan. Sekarang dapat dikatakan, dibutuhkan suatu peraturan yang mengatur perhubungan hukum, berhubungan dengan meninggalnya seseorang yaitu mengenai kekayaan seseorang itu.
Seorang pemilik kekayaan sering mempunyai keinginan, supaya harta kekayaan dikemudian hari, setelah wafat, akan diperlakukan menurut ketentuan yang telah ditentukan sebelumnya. Lebih- lebih keinginan ini akan terasa, apabila ketentuan tersebut dilaksanakan, sama sekali cocok dengan keinginannya. Dan lagi kemauan terakhir dari siwafat ini adalah pantas dihormati. Juga dengan adanya kemauan terakhir ini, menghindarkan percekcokan antara para ahli waris dalam hal membagi harta warisan, terutama apabila pembagian harta warisan ini dibagi secara praktis dan tidak sesuai dengan rasa keadilan.
Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata (hukum keluarga). Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia sebab setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian. Akibat hukum yang selanjutnya timbul dengan terjadinya peristiwa hukum kematian seseorang diantaranya ialah masalah bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai akibat meninggalnya seseorang, tentu masalah ini diatur dalam hukum waris pada umumnya dan hukum kewarisan Islam pada khususnya.
Dengan bertitik tolak dari apa yang telah dikemukakan diatas, jika dihubungkan dengan wasiat yang merupakan penetapan kemauan terakhir pemberi wasiat kepada pihak lain ketika masih hidup dan mempunyai kekuatan hukum untuk dilaksanakan pada waktu pemberi wasiat meninggal dunia. Perbuatan menetapkan kemauan terakhir ini di Indonesia biasanya dinamakan Hibah wasiat yang diambil dari bahasa arab dalam hukum agama Islam.
66 Fakultas Hukum - UNISAN
Kedudukan Wasiat
Sebagaimana Firman Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 180 :
Terjemahannya: Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang bertaqwa.
Surah Al-Baqarah ayat 181 :
Terjemahannya: Maka barang siapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya, Allah maha mendengar lagi maha mengetahui.
Dalam bahasa belanda orang menamakan Testament (lihat Pasal 875 BW) apabila testament itu menentukan pemberian barang tertentu, maka dipakai nama "legaat" sedang nama "erfstelling" dipakai untuk pemberian seluruh harta warisan atau bagian tertentu dari harta warisan itu kepada orang tertentu. Hukum waris Testament timbul atas dasar prinsip bahwa setiap orang berhak atau bebas berbuat apa saja terhadap harta bendanya. Demikian juga orang tersebut bebas untuk mewasiatkan hartanya kepada siapa saja yang diingini walaupun demikian masih juga ada batas-batas yang diizinkan oleh undang-undang. Dasar hukum dari waris Testament adalah Pasal 874 BW yang menyatakan bahwa, "Segala harta peninggalan seseorang yang meninggal dunia adalah kepunyaan sekalian ahli waris menurut ketentuan undang-undang, sekedar terhadap itu dengan surat wasiat tidak telah diambil suatu ketetapan yang sah".
Adapun dalam Kompilasi Hukum Islam terdapat dalam Pasal 194 yang menyatakan bahwa:
1. Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga.
2. Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat.
3. Pemilikan terhadap harta benda seperti dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini baru dapat dilaksanakan setelah pewasiat meninggal dunia.
Fakultas Hukum – UNISAN 67
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. III, No. 1 September 2015
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka rumusan masalah yang akan dijawab dalam tulisan ini adalah Apa pentingnya wasiat berdasarkan Kompilasi Hukum Islam dan KUH Perdata? dan sejauhmana kedudukan wasiat berdasarkan Kompilasi Hukum Islam dan KUH Perdata?
II. PEMBAHASAN
A. Pentingnya Surat Wasiat
A.1. Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam Dari beberapa ketentuan Hukum Islam yang mengatur tentang wasiat, menunjukkan bahwa wasiat sangat penting artinya, sebab menyangkut soal status Hukum atau keabsahan dari pada pelaksanaan wasiat sesuai dengan ketentuan Hukum Islam, bahkan jika ditelusuri secara mendalam tentang ayat-ayat yang telah dikemukakan sebelumnya terdapat kata hendaklah yang menunjukkan suatu perintah yang berbentuk wajib untuk dilaksanakan, maksudnya agar supaya para ahli waris atau para keluarga dan kerabat yang ditinggalkan merasa berkecukupan sehingga tidak akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Dengan begitu pentingnya masalah wasiat ini sehingga kedudukannya dalam hukum kewarisan Islam sangat penting, karena mengingat bahwa masalah wasiat juga merupakan masalah kewarisan yang harus ditunaikan, dan masalah hukumnya adalah wajib dilaksanakan bagi seorang yang meninggalkan harta yang wajar untuk diwasiatkan, baik yang ditujukan kepada istri, ibu bapak, anak cucu, atau yang diistilahkan dengan keluarga dan kerabat terdekat maupun kerabat yang jauh, yang oleh karena sesuatu hal sehingga mereka terhalang untuk menerima warisan.
Karena pentingnya mengenai wasiat ini, sehingga Ibnu Hazm yang dikutip oleh TM. Hasbi Ash-Shiddiqy (1973:293) mengemukakan bahwa jika tidak diadakan wasiat oleh seorang yang meninggal dunia untuk kerabat dan keluarga baik kerabat yang dekat maupun yang jauh yang tidak memperoleh pusaka, maka hakim haruslah bertindak sebagai muwarristsnya untuk memberikan sebahagian harta kepada kerabat-kerabatnya sebagai suatu wasiat yang wajib untuk mereka.
Dalam syariat Islam, wasiat didahulukan dari pada pembagian harta warisan kepada ahli waris terhadap hak-hak yang harus didahulukan dari harta peninggalan, walaupun pada dasarnya sebahagian para fuqaha mengatakan bahwa hukum wasiat itu hukumnya hanya sunnat, sehingga dengan alasan inilah barang atau harta benda yang diwasiatkan terlebih dahulu harus bersih dari utang pemberi wasiat. Namun pada sisi lain, para ulama dan fuqaha yang menetapkan wajibnya wasiat ini, dengan berdasarkan pada penafsiran dalam hukum kewarisan Islam. Salah satu yang dapat disimak adalah yang dikemukakan oleh Abu Muslim Al-Asfahani yang dikutip oleh Assad Yunus (1992:180) yang mengkompromikan antara ayat wasiat dan ayat mewarisi.
Apabila dipahami secara seksama mengenai ayat wasiat dan ayat mewarisi tersebut, maka ayat- ayat tentang wasiat itu ditujukan kepada keluarga yang tersisih dari harta warisan, karena mungkin terhalang oleh ahli waris yang lebih dekat, sedangkan ayat mewarisi ditujukan kepada keluarga yang sudah ditentukan bagiannya dalam Al- Qur’an dan Hadits atau yang telah memperoleh bagian tertentu.
Dengan merujuk pada uraian tersebut diatas, maka dapat dipahami bahwa secara umum ayat- ayat mengenai wasiat ditujukan kepada kedua orang tua (ibu bapak) dan kerabat yang berhak
68 Fakultas Hukum - UNISAN
Kedudukan Wasiat
mewarisi, akan tetapi mahfum ayat tersebut bersifat khusus kepada mereka yang tidak berhak menerima harta warisan.
Selanjutnya A. Assad Yunus (1992:181) menguraikan wajibnya wasiat ini yang dikemukakan bahwa seorang ahli waris yang terhalang dari kewarisan baik halangan itu karena mamnu’ atau halangan karena mahjub atau karena kriteria lain seperti karena termasuk golongan ahli waris dzawil
arham, ini berarti bukan lagi ahli waris, oleh karena itu wajib atasnya berwasiat. Disamping itu, oleh Sayyid Sabiq (1996:224) mengemukakan rincian tentang kedudukan wasiat dengan menyamakan sebagai suatu perjanjian yang diperbolehkan, dan pada suatu waktu boleh saja yang memberikan wasiat menarik kembali atau mengubah wasiat yang pernah diucapkan dan atau mengalihkannya kepada orang lain, dan penarikan itu harus kembali dinyatakan dengan ucapan setelah wasiat itu memenuhi syarat dan rukunnya.
Para ahli hukum Islam telah sepakat bahwa wasiat yang diperbolehkan dan wajib untuk dilaksanakan adalah yang memenuhi ketentuan dan ketetapan syariat, yang paling banyak 1/3 dari harta peninggalan dan harta tersebut dihitung setelah pembayaran hutang-hutang dan biaya-biaya lainnya yang dikeluarkan untuk sipewaris atau yang meninggal.
Sayuti Thalib menguraikan (1987:110) bahwa jika sekiranya ada wasiat dari sipewaris melebihi dari 1/3 harta peninggalan, maka penyelesaiannya harus menempuh dua cara yaitu:
1. Dikurangi sampai batas sepertiga harta peninggalan.
2. Diminta kesediaan semua ahli waris yang ada pada saat itu berhak menerima warisan, apakah mereka mengikhlaskan, merelakan kelebihan wasiat atas sepertiga dari harta peninggalan tersebut. Kalau mereka mengikhlaskannya, maka halal dan ibadah hukumnya pemberian wasiat yang lebih dari sepertiga harta peninggalan tersebut.
Memperhatikan penjelasan tersebut diatas, maka ada dua cara penyelesaian wasiatyang melebihi dari 1/3 harta peninggalan yaitu, mengurangi wasiat itu sampai batas maksimum 1/3 dari harta peninggalan, sedangkan cara kedua adalah mengkompromikan dengan sesama ahli waris sehingga mencapai kesepakatan, hal ini dimaksudkan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan terjadi diantara ahli waris dan penerima wasiat. Oleh karena itu wasiat sah hukumnya sepanjang memenuhi rukun-rukun atau syarat-syarat yang ditetapkan yaitu terjadi ijab dan qabul diantara kedua pihak, dimana pernyataan wasiat dapat dilakukan dengan ucapan (lisan) isyarat dan perbuatan, dan diisyaratkan orang yang mempunyai kesanggupan untuk melepaskan hak miliknya kepada orang lain, termasuk didalamnya akil baligh, berakal, bebas menentukan kehendaknya dan tidak berada dalam perwalian. Dengan demikian melakukan wasiat sebahagian dari harta peninggalan merupakan salah satu cara untuk mendekatkan diri kepada Allah dan dilakukan oleh manusia semasa hidupnya agar amalnya bertambah, karena isi wasiat terdapat kebaikan dan pertolongan kepada mereka yang memerlukan.
Secara jelas bahwa tujuan dilaksanakannya suatu wasiat dapat memberikan kesempatan kepada keluarga yang tidak memiliki hak terhadap harta warisan, sehingga dengan adanya wasiat itu dapat memperoleh harta warisan, juga dapat dikatakan bahwa wasiat itu merupakan salah satu perbuatan yang terpuji sebagai rasa ketakwaan seseorang kepada Allah dan sekaligus menegakkan tuntutan hukum dengan tegaknya keadilan sosial. Perlu pula ditegaskan bahwa ketetapan dan ketentuan hukum
Fakultas Hukum – UNISAN 69
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. III, No. 1 September 2015
wajibnya wasiat ini, ditujukan kepada orang yang mempunyai harta yang cukup untuk diwasiatkan setelah memperhitungkan suatu saat nanti harta peninggalannya akan disia-siakan oleh ahli warisnya, dan juga untuk menghindari terjadinya penumpukan harta. Dari uraian diatas, maka penulis tegaskan bahwa wasiat adalah sebagai salah satu bentuk pengalihan hak yang diajarkan dalam syariat Islam, maka sangat penting untuk dilaksanakan secara tertib dan adil, dengan memenuhi ketentuan-ketentuan serta syarat- syarat yang digariskan baik dalam Alqur’an maupun hadits.
A.2. Berdasarkan KUH Perdata Pada umumnya seorang pemilik harta kekayaan sering mempunyai keinginan agar supaya harta kekayaanya dikemudian hari, setelah wafat akan diperlakukan menurut cara tertentu, lebih-lebih keinginan ini akan terasa, apabila pengaturan harta kekayaan sesuai dengan apa yang dinginkan oleh sipewaris. Tetapi ada kemungkinan kemauan terakhir ini tidak berjalan sesuai dengan keinginan sipewaris. Oleh karena itu, untuk menghindari hal itu biasanya pewaris menetapkan kemauan terakhirnya melalui surat wasiat atau testament dalam KUHPerdata.
Soerjono Soekanto dan Soeman Taneko (1983:297) mengemukakan secara jelas mengenai tujuan wasiat sebagai berikut:
1. Untuk mewajibkan ahli waris untuk membagi-bagikan sebagian dari harta warisan dengan cara yang layak menurut anggapan pewaris.
2. Untuk mencegah terjadinya perselisihan.
3. Dengan hibah wasiat, pewaris menyatakan secara mengikat sifat-sifat dari barang-barang harta yang ditinggalkan seperti barang-barang pusaka, barang-barang yang dipegang dengan hak gadai, barang yang disewa dan sebagainya.
Dari hal diatas dapat kita tarik sebuah kesimpulan bahwa tujuan pewarisan secara wasiat mengandung beberapa aspek, yaitu adanya ikatan berupa kewajiban dari sipewaris dengan yang mewarisi untuk membagi-bagikan harta warisan dengan cara yang layak. Artinya membagikan harta warisan berdasarkan pada ketentuan yang berlaku, sekaligus aspek ini mengandung nilai keadilan. Juga dapat dilihat pada aspek lain adalah salah satu upaya untuk menghindari terjadinya perselisihan, sehingga hukum untuk membagi-bagikan harta warisan itu adalah sangat penting. Disamping aspek diatas juga dinyatakan bahwa pewaris menyatakan secara tegas dan jelas tentang sifat-sifat atau status barang yang ditinggalkan, apakah barang tersebut merupakan milik penuh (pusaka) atau dipegang karena hak pakai atau gadai.
Tujuan wasiat menurut Soerojo Winjodipoero (1982:174) yaitu : ”Wasiat itu maksudnya ialah terutama untuk kewajiban para ahli warisnya membagi-bagi harta
peninggalannya dengan cara yang layak menurut anggapannya, keributan dan cekcok dalam membagi harta peninggalannya dikemudian hari diantara para ahli waris ”.
Berdasarkan pendapat diatas, dapatlah diketahui bahwa tujuan utama seseorang untuk mewasiatkan sebagian harta bendanya yaitu untuk terjadinya perselisihan diantara para ahli warisnya dikemudian hari.
70 Fakultas Hukum - UNISAN
Kedudukan Wasiat
Selanjutnya Muammal Hamidi (1976:178) mengatakan sebagai berikut: ”Tujuan seseorang untuk mewasiatkan sebagian harta bendanya yaitu untuk mencegah
terjadinya masalah antara anak-anaknya setelah pemilik harta meninggal dunia, juga merupakan kewajiban dalam islam, jika yang bersangkutan berkelebihan, tetapi yang diutamakan terlebih dahulu adalah anak-anak pewaris, keluarga dekat, barulah berwasiat kepada orang lain yang tidak ada hubungan kekeluargaan ”.
Dari kedua pendapat tersebut diatas, dapatlah diketahui bahwa tujuan seseorang mewasiatkan sebagian harta kekayaannya kepada seseorang yang dikehendaki ialah disamping sebagai kewajiban juga untuk menghindari terjadi pertengkaran diantara para ahli waris dikemudian hari, terutama ketika orang tua telah meninggal dunia biasa terjadi perselisihan antara para ahli waris karena persoalan harta benda, oleh karena itu pemberi wasiat semasa hidupnya berupaya untuk mencegah hal itu melalui wasiat.
Dari hal diatas penulis menarik sebuah kesimpulan bahwa pentingnya surat wasiat dalam KUH Perdata tidak lain adalah menghindari adanya perselisihan diantara ahli waris dalam menentukan pembagian harta warisan. Namun wasiat tersebut haruslah dalam keadaan tertulis seperti apa yang ditentukan oleh KUH Perdata Pasal 931 menyatakan bahwa: suatu wasiat hanya boleh dinyatakan baik dengan akta tertulis sendiri atau olografis, dengan akta umum, dan akta rahasia atau tertutup. Hal ini menurut penulis memberikan suatu pengertian bahwa wasiat haruslah secara tertulis baik itu dibuat oleh sipewaris sewaktu akan meninggal dunia maupun dibuat oleh seorang notaris yang disaksikan oleh saksi-saksi. Dengan demikian maka surat wasiat dalam keadaan tertulis akan memberikan jaminan kekuatan hukum yang kuat.
Dari kedua pembahasan diatas penulis menyimpulkan bahwa pentingnya surat wasiat dalam Hukum Islam/Kompilasi hukum Islam adalah selain merupakan suatu kewajiban juga untuk mendapatkan kejelasan yang pasti mengenai status wasiat yang diberikan. Sedangkan dalam KUH Perdata tidak lain adalah untuk menghindari terjadinya perselisihan serta untuk mendapatkan/memperoleh kekuatan hukum yang kuat yang jika sewaktu-waktu terjadi sengketa mengenai wasiat tersebut.
B. Kedudukan Surat Wasiat
B.1. Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam Mengenai kekuatan hukum mengikat undang-undang yang telah di- judicial review oleh Mahkamah Konstitusi, digambarkan dalam pasal 47 dan pasal 57 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi yaitu Sebagaimana penulis jelaskan pada pembahasan sebelumya bahwa Hukum islam tidak menetapkan bentuk yang tertentu untuk mengadakan wasiat. Wasiat dari orang Islam tidak perlu berupa tulisan, dan wasiat dengan lisan juga sudah sah. Tetapi pada umumnya karena sebab-sebab yang jelas sekali, maka wasiat itu dibuat secara tertulis. Karena wasiat dengan lisan ini mengakibatkan orang yang menerima wasiat harus mengatakan dan membuktikan dengan ketelitian yang sungguh. Bilamana wasiat itu dibuat secara tertulis maka akta itu tak perlu ditandatangani dan jika ditandatangani tak perlu memakai saksi.
Fakultas Hukum – UNISAN 71
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. III, No. 1 September 2015
Tiap-tiap orang Islam yang waras dan sehat pikirannya mempunyai hak membuat surat wasiat. Dan yang pasti pewasiat itu harus orang yang telah akil baligh. Menurut hukum Islam, dewasa dicapai pada waktu baligh dan dengan pengertian yang umum ialah yang telah cukup berusia 15 tahun. Oleh karena itu sesuai dengan rumusan masalah yang penulis angkat maka pembahasan dikhususkan mengenai surat wasiat tertulis. Surat wasiat merupakan suatu jalan bagi para pemilik harta kekayaan untuk semasa hidupnya menyatakan keinginannya yang terakhir tentang harta peninggalannya kepada ahli waris, yang baru akan berlaku setelah ia meninggal dunia. Keinginan terakhir ini lazimnya diucapkan pada waktu sipeninggal warisan sudah sakit keras serta tidak dapat sembuh lagi, bahkan kadang-kadang dilakukan setelah ia menghembuskan nafasnya yang terakhir. Setiap surat wasiat haruslah berdasarkan empat ketentuan yang disebut "Arkan" bahwa disitu harus ada:
1. Pihak yang berwasiat
2. Pihak yang menerima wasiat
3. Harta yang diwasiatkan
4. Bunyi wasiat Wasiat merupakan suatu lembaga suci, karena perbuatan yang mewasiatkan itu diatur oleh Al-
Qur'an. Dalam arti memberikan kesempatan kepada pewasiat suatu jalan untuk memperbaiki pelaksanaan hukum warisan dalam rangka batas-batas tertentu, dan untuk membukakan kemungkinan bagi anggota keluarga yang dikecualikan dari hak warisan, untuk mendapat bagian dari harta warisan itu. Dan untuk mengatakan penghargaan kepada seseorang yang bukan anggota keluarganya yang telah pernah berjasa kepadanya atau telah mengatakan kesetiaannya kepada pewasiat pada waktu terakhir dari hayatnya.
Namun menurut penulis tidak semua surat wasiat yang dibuat dapat dilaksanakan, ada kalanya surat wasiat itu tidak dapat dilaksanakan karena bertentangan dengan ketentuan yang terdapat dalam hukum Islam dalam hal ini wasiat. Misalnya:
1. Didalam ajaran agama Islam seorang Islam tidak dapat memberikan lebih dari sepertiga jumlah hartanya melalui surat wasiat, wasiat tidak boleh diberikan kepada ahli waris sendiri, (menurut Ahlu sunnah). Bila ternyata surat wasiat itu menentukan lebih sepertiga dari jumlah bersih harta peninggalan maka surat wasiat itu tidak berlaku jika tidak disetujui oleh para ahli waris, dan harta yang diwasiatkan itu harus ada pada waktu sipewasiat itu meninggal dunia.
2. Surat wasiat yang didapat dibawah pengaruh yang tidak baik, karena kekerasan atau penipuan, tidak dapat dilaksanakan. Orang yang menerima wasiat harus mempunyai syarat sebagai berikut:
a. Beragama islam.
b. Dewasa.
c. Sehat pikirannya.
d. Dapat dipercaya
e. Cakap untuk menjalankan wasiat itu.
72 Fakultas Hukum - UNISAN
Kedudukan Wasiat
Dan juga wasiat itu sewaktu-waktu dapat dicabut kembali oleh sipemberi wasiat baik yang secara nyata dan langsung maupun tidak langsung. Bila mana orang membuat wasiat dengan wasiat yang lain memberikan harta itu juga kepada orang lain, maka berarti wasiat itu dicabut kembali. Tapi jika dalam satu wasiat itu harta yang sama diberikan pada dua orang maka berarti harta tersebut dibagi antara dua orang tersebut dengan sama rata. Dan wasiat mulai berlaku pada saat meninggalnya sipewaris. Bilamana ada wasiat yang tak jelas maksudnya maka para ahli waris dapat diminta bantuan untuk memberikan penjelasan.
Mengenai wasiat ini perlu dibedakan dengan "pemberian-pemberian" yang dilakukan waktu sisakit menjelang mati. Dalam hukum Islam "pemberian" yang demikian diatur oleh peraturan- peraturan yang disimpulkan dari campuran dua cabang hukum, yaitu Hukum pemberian dan hukum wasiat.
Untuk menentukan sisakit akan mati maka harus ada pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
1. Penyakit itu harus menyebabkan meninggalnya orang itu.
2. Penyakit itu harus menimbulkan kekhawatiran akan meninggal dalam pikirannya.
3. Harus ada tanda-tanda luar yang menunjukkan berat/parahnya penyakit itu. Pemberian yang dilakukan waktu sisakit akan mati hanya berlaku jika sipemberi itu mati.
Bilamana sipemberi sembuh kembali sesudah melakukan pemberian itu, satu-satunya soal yang timbul adalah apakah pemberian itu telah dilakukan dengan sah atau tidak. Pemberian yang dilakukan waktu sisakit akan mati tunduk pada syarat-syarat dan formaliteit-formaliteit yang harus dipenuhi oleh suatu pemberian "Intervivos" (pemberian seluruh harta kekayaan). Tapi bila mana pemberian itu dimaksudkan dilakukan dan pemilikan tersebut tak diserahkan sebagimana telah ditetapkan oleh hukum, maka pemberian itu gagal.
Pemberian yang dilakukan selama sisakit akan mati tunduk pada semua pembatasan- pembatasan yang diutarakan dalam hukum wasiat. Oleh sebab itu tidak boleh lebih dari sepertiga, dan pemberian demikian tidak boleh diberikan kepada ahli waris, kecuali jika ahli waris yang lain menyetujuinya. Sedangkan menurut Al-Qur'an, wasiat dapat diberikan baik pada ahli waris ataupun bukan ahli waris. Hal ini dapat dilihat dalam Surah Al-Baqarah ayat 180 yang berbunyi: jika seseorang dekat pada mautnya dengan meninggalkan harta maka diwajibkan baginya menentukan wasiat bagi orang tuanya dan keluarga dekatnya secara yang sepatut-patutnya. Demikian pula dalam Surah Al- Baqarah ayat 240 yang berbunyi: seseorang dekat pada mautnya dengan meninggalkan istri seorang atau lebih, berwasiatlah bagi istri-istri itu guna memelihara hidupnya selama setahun dan istri-istri itu berhak menetap tinggal selama itu ditempat kediaman suaminya itu. Dalam Kompilasi Hukum Islam sebagai pedoman pelaksanaan hukum kewarisan Islam pada pengadilan agama, dikenal washiyat wajibah yang pelaksaannya telah dijelaskan dalam Pasal 209 ayat 1 dan 2.
Sejalan dengan apa yang diatur dalam kompilasi hukum Islam Pasal 209 ayat 1 dan 2, Sayuti Thalib (1987:107) menyatakan bahwa wasiat ini salah satu tujuannya adalah untuk menyeimbangkan perolehan anak laki-laki dan anak perempuan. Maka kewajiban melakukan (menunaikan) washiyat adalah sesuai dengan Nas Al-Qur'an sebagaimana yang telah dikemukakan terlebih dahulu yang ditujukan atau diperuntukkan pada keluarga terdekat yakni kepada para cucu yang tidak mendapatkan
Fakultas Hukum – UNISAN 73
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. III, No. 1 September 2015
prioritas dengan jalan mewaris kepada kakeknya atau neneknya, disebabkan karena mereka dihalangi oleh ahli waris yang lebih dekat dari padanya. Oleh karena washiyat wajibah yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Mesir No. 71 Th. 1365/1946 M, memuat peraturan-peraturan mengenai hal tersebut sekaligus bertujuan untuk mengatasinya, yaitu member kabaikan kepada cucu-cucunya tersebut, sepanjang tidak memudaratkan para ahli waris lainnya.
Hal ini dimaksudkan agar supaya cucu yang tersingkir dari kewarisan itu dapat juga merasakan nikmat dari harta peninggalan dari kakek atau neneknya, sebagai penjelmaan dari salah satu syarat taqwa dan sekaligus memenuhi tuntutan rasa keadilan hukum.
Wirjono Prodjodikoro (1983:102) menjelaskan bahwa: ”Bagi orang-orang Indonesia yang takluk pada hukum adat harus diingat, semula bahwa bagian
sangat terbesar dari mereka adalah beragama Islam, maka bagi golongan terbesar ini tidak dapat diabaikan pengaruh dari peraturan warisan yang terdapat dalam hukum agama islam ”.
Penjelasan tersebut sejalan dengan teori Receptio in Complexu yang dikemukakan oleh Van Den Berg, tentang berlakunya hukum Islam diindonesia yakni hukum bagi orang Indonesia asli mengikut kepada agama yang dianutnya. Disisi lain terasa amat perlunya untuk dilakukan penerapan batas washiyat wajibah, guna menghilangkan kesan bahwa hukum Islam itu kurang adil dan tidak manusiawi, karena ia tidak mengenal adanya penggantian tempat mewaris (plasstvervulling), sebaimana halnya yang terdapat dalam system hukum perdata barat. Pada hal hukum Islam itu telah diakui dan diyakini bahwa ia maha sempurna, memiliki sifat elastis yang dapat berlaku disemua tempat dan sepanjang masa serta dapat disandari oleh semua kaedah yang ada. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum wasiat. Ada yang mewajibkan dengan dasar ayat 180 surah Al-Baqarah, terutama pada perkataan "kutiba" (diwajibkan) dan ada pula yang tidak mewajibkan dengan alas an bahwa ayat tersebut telah mansukh hukumnya oleh hadist Rasulullah SAW yang artinya "Tidak boleh berwasiat kepada ahli waris".(H.R. Ahmad, Abu Daud dan Tarmidzy).
Menurut Ibnu Hazm (A. Assaad Yunus 1987:134) menyatakan bahwa ayat tersebut menunjukkan tentang wajibnya wasiat kepada kedua orang tua dan kepada kerabat yang karena salah satu sebab sehingga mereka tidak memperoleh bagian warisan. Ayat 180 Surah Al-Baqarah tidak ada nas yang menghapus hukumnya. Adapun Hadits Rasulullah SAW dapat dikompromikan dengan memahami ayat tersebut secara umum yakni kepada kedua ibu bapak dan kerabat yang berhak mewarisi maupun tidak berhak. Tetapi mahfum ayat tersebut bersifat khusus kepada mereka yang tidak berhak menerima harta warisan saja. Abu Muslim Al-Asfahani (Assaad Yunus 1987:134) menganggap bahwa ayat wasiat tersebut sama sekali tidak mansukh, dan mengkompromikan antara ayat wasiat dan ayat mewaris. Ayat-ayat wasiat ditujukan kepada keluarga yang tersisih dari harta warisan, karena mungkin terhalang oleh ahli waris yang lebih dekat. Sedangkan ayat mewaris ditujukan kepada keluarga dekat yang telah memperoleh bahagian tertentu. Pada hakekatnya wasiat itu haram hukumnya jika menimbulkan kemudharatan kepada ahli waris yakni berwasiat melebihi dari sepertiga. Termasuk wasiat yang haram adalah yang ditujukan kepada perbuatan maksiat misalnya berwasiat untuk mendirikan tempat pelacuran, perjudian, mendirikan pabrik minuman keras dan sebagainya.
Demikian juga wasiat itu mubah bagi orang-orang yang cukup hartanya untuk ahli warisnya dan cukup pula untuk diwasiatkan kepada orang lain. Setelah memperhatikan dari pendapat-pendapat
74 Fakultas Hukum - UNISAN
Kedudukan Wasiat
ulama tersebut diatas, dan mengingat pula bahwa masalah wasiat juga masalah warisan, maka penulis menyimpulkan bahwa wasiat itu hukumnya adalah wajib bagi orang yang meninggalkan harta yang pantas untuk diwasiatkan, yang ditujukan kepada ibu bapak dan kerabat terdekat yang oleh karena sesuatu hal sehingga mereka tersingkir atau terhalang dari kewarisan. Seorang ahli waris yang terhalang dari kewarisan baik halangan itu karena Mamnu' atau halangan karena mahjub atau karena criteria lain seperti karena termasuk golongan ahli waris dzawil-arham, ini berarti bukan lagi ahli waris, oleh karenanya wajib atasnya wasiat.
B.2. Berdasarkan KUH Perdata Dalam KUH Perdata Wasiat diartikan sebagai suatu pernyataan dari seseorang tentang apa yang dikehendakinya setelah ia meninggal dunia, dimana isinya tidak boleh bertentangan dengan undang-undang (Pasal 875 KUH Perdata), maksudnya adalah seorang pewasiat menginginkan wasiat yang diberikan akan diperlakukan seperti apa yang ditentukan sebelumnya semua itu bertujuan agar dikemudian hari kelak tidak terjadi perselisihan/permasalahan diantara para ahli waris.
Dalam KUH Perdata yang dinamakan wasiat atau testament itu adalah Akta yang memuat pernyataan-pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia, dan yang olehnya dapat dicabut kembali (Pasal 875 KUH Perdata), dari hal diatas penulis memahami bahwa surat wasiat dalam KUH Perdata haruslah dalam bentuk tertulis, dalam arti tidak mengenal adanya wasiat dengan lisan atau hanya dengan ucapan sudah sah, sehingga kita kenal bahwa wasiat dalam KUH Perdata mengenal tiga macam jenis surat wasiat seperti apa yang telah dikemukakan sebelumnya yang diantaranya:
1. Surat wasiat/testament tertulis sendiri ( olografis )
2. Surat wasiat/testament tak rahasia ( openbaar )
3. Surat wasiat/testament rahasia ( geheim ) Dari ketiga surat wasiat/testament tersebut dibutuhkan campur tangan seorang notaris. Tiap-
tiap jenis surat wasiat tersebut diatas memiliki kekuatan hukum yang berbeda, sebab persyaratan pembuatan wasiat tersebut berbeda pula, akan tetapi dalam semua jenis wasiat tadi diatur dan dilindungi dalam undang-undang. Namun untuk membuat testament/surat wasiat diperlukan syarat- syarat sebagai berikut:
1. Sudah berumur 18 tahun
2. Sudah dewasa, artinya sudah kawin, meskipun belum berusia 18 tahun
3. Berpikir sehat. Begitu pula halnya dengan para saksi ditentukan syarat-syarat menjadi seorang saksi dalam
pembuatan surat wasiat atau penyerahan suatu testament kepada seorang notaris adalah:
1. Sudah dewasa
2. Penduduk indonesia
3. Paham/mengerti bahasa yang dipergunakan dalam testament tersebut.
Fakultas Hukum – UNISAN 75
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. III, No. 1 September 2015
Sebagai surat resmi wasiat/testament tidak dapat diisi disetiap kehendak pemberi wasiat tanpa memperhatikan ketentuan hukum tertulis. Maksudnya dalam membuat surat wasiat terdapat beberapa hal yang tidak dapat dimuat didalamnya, ketentuan-ketentuan tersebut mengikat secara hukum yang meliputi masalah fidei commis, wasiat antara suami istri, wasiat dari orang yang belum dewasa, wasiat dari orang –orang yang memiliki profesi khusus, wasiat untuk anak diluar kawin, wasiat untuk orang yang melakukan kejahatan dan wasiat yang menyangkut janda/duda.
Selain tiga testament tersebut diatas, undang-undang juga mengenal ”codicil” yaitu akta dibawah tangan (bukan akta notaris) dimana orang yang meninggalkan warisan itu menetapkan hal-hal yang tidak termasuk pemberian atau pembagian warisan sendiri, misalnya membuat pesanan-pesanan tentang penguburan mayat. Dari hal diatas penulis memahami bahwa tidak ada alasan bagi seseorang yang mewasiatkan harta bendanya untuk tidak membuat surat wasiat secara tertulis, namun adakalanya ada seseorang yang ingin membuat surat wasiat terkendala oleh sesuatu hal misalnya sakit dan tidak mampu berbicara maka seseorang bisa mewakilinya membuat surat wasiat dan surat wasiat tersebut dibacakan oleh seorang notaris dihadapan pewaris, kalau sipewaris mendengar pembacaan ini kemudian menganggukkan kepalanya maka hal ini tidak kurang terangnya dari pada dengan cara lisan.
Jadi pada dasarnya surat wasiat KUHPerdata yang dibuat secara tertulis untuk menghindari adanya percekcokan diantara ahli waris dan juga sebagai bukti otentik dipengadilan apabila suatu saat terjadi perselisihan/sengketa. Maka kedudukan surat wasiat itu sangat penting. Wasiat bukanlah sesuatu yang bersifat abadi, maksudnya wasiat dapat dicabut atau bahkan gugur dengan sendirinya. Apabila sebuah wasiat dicabut kembali oleh pewasiat maka pencabutan wasiat tersebut harus dilakukan secara resmi melalui akta notaris khusus. Disisi lain sebuah wasiat dapat gugur apabila didalamnya memuat ketetapan yang tergantung kepada suatu peristiwa yang tidak jelas atau tidak tentu. Undang-undang mengatur secara rinci mengenai gugurnya suatu wasiat, sebagaimana telah disinggung dari awal.
III. PENUTUP
Ketika kita membahas mengenai dua sistem hukum maka yang kita dapatkan adanya perbedaan dan persamaan mengapa semua ini terjadi karena kedua sistem hukum ini yakni Hukum Islam dan Hukum perdata barat mempunyai landasan atau asas yang berbeda yang melandasi lahirnya dua sistem hukum ini, oleh karena itu maka penulis menarik sebuah kesimpulan:
1. Ketika kita membaca dan menelaah beberapa ketentuan Hukum Islam yang mengatur tentang wasiat, menunjukkan bahwa wasiat sangat penting artinya, sebab menyangkut soal status Hukum atau keabsahan dari pada pelaksanaan wasiat sesuai dengan ketentuan Hukum Islam, bahkan jika ditelusuri secara mendalam tentang ayat-ayat yang telah dikemukakan sebelumnya terdapat kata hendaklah yang menunjukkan suatu perintah yang berbentuk wajib untuk laksanakan. Disamping itu pula tujuan dilaksanakannya suatu wasiat dapat memberikan kesempatan kepada keluarga yang tidak memiliki hak terhadap harta warisan, sehingga dengan adanya wasiat itu dapat memperoleh harta warisan, juga dapat dikatakan bahwa wasiat itu merupakan salah satu perbuatan yang terpuji sebagai cermin
76 Fakultas Hukum - UNISAN
Kedudukan Wasiat
rasa ketakwaan seseorang kepada Allah dan sekaligus memenuhi tuntutan hukum dengan tegaknya keadilan sosial. Sedangkan pentingnya surat wasiat dalam KUHPerdata tidak lain adalah menghindari adanya perselisihan diantara ahli waris dalam menentukan pembagian harta warisan dikemudian hari, dan juga surat wasiat dapat dijadikan sebagai alat bukti otentik apabila sewaktu-waktu terjadi sengketa. Oleh karena itu wasiat dalam KUHPerdata selalu dalam keadaan tertulis.
2. Wasiat merupakan suatu lembaga suci, karena perbuatan yang mewasiatkan itu diatur oleh Al-Qur'an, dalam arti memberikan kesempatan kepada pewasiat suatu jalan untuk memperbaiki pelaksanaan hukum warisan dalam rangka batas-batas tertentu, dan untuk membukakan kemungkinan bagi anggota keluarga yang dikecualikan dari hak warisan, untuk mendapat bagian dari harta warisan itu. Dan untuk mengatakan penghargaan kepada seseorang yang bukan anggota keluarganya yang telah pernah berjasa kepadanya atau telah mengatakan kesetiaannya kepada pewasiat pada waktu terakhir dari hayatnya. Tiap-tiap orang Islam yang waras dan sehat pikirannya mempunyai hak membuat surat wasiat, namun tidak semua surat wasiat yang dibuat dapat dilaksanakan, ada kalanya surat wasiat itu tidak dapat dilaksanakan karena bertentangan dengan ketentuan yang terdapat dalam hukum Islam dalam hal ini masalah wasiat dan juga wasiat itu haram hukumnya jika menimbulkan kemudharatan kepada ahli waris yakni berwasiat melebihi dari sepertiga. Termasuk wasiat yang haram adalah yang ditujukan kepada perbuatan maksiat misalnya berwasiat untuk mendirikan tempat pelacuran, perjudian, mendirikan pabrik minuman keras dan sebagainya. Demikian juga wasiat itu mubah bagi orang-orang yang cukup hartanya untuk ahli warisnya dan cukup pula untuk diwasiatkan kepada orang lain. Sedangkan dalam KUHPerdata Wasiat diartikan sebagai suatu pernyataan dari seseorang tentang apa yang dikehendakinya setelah ia meninggal dunia, dimana isinya tidak boleh bertentangan dengan undang-undang (Pasal 875 KUHPerdata) maksudnya bahwa orang yang berwasiat menginginkan harta kelak setelah ia meninggal dunia diperlakukan menurut ketentuan yang telah ditentukan sebelumnya dan semaksimal mungkin menghindari perselisihan. Secara otentik undang-undang mengatur tentang wasiat yang dirinci dalam tiga jenis yaitu: wasiat olografis, wasiat tidak rahasia, dan wasiat rahasia (tertutup). Tiap-tiap jenis wasiat tersebut memiliki kekuatan hukum yang berbeda. Wasiat bukanlah merupakan sesuatu yang bersifat abadi, maksudnya wasiat dapat dicabut dan atau gugur dengan sendirinya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur'an dan Terjemahan , CV. Jaya sakti, Surabaya Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata . Intermasa, Jakarta, 1978. Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Warisan Di Indonesia . Bale, Bandung, 1983. Subekti, Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata . Paradnya Paramitha, Jakarta, 2004. Afandi, Ali, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian . Bina Aksara, Jakarta, 1986. Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perdata Indonesia . Citra Aditya, Bakti, Bandung, 1990. Undang-Undang Kompilasi Hukum Islam . Fokusmedia, Bandung.
Fakultas Hukum – UNISAN 77
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. III, No. 1 September 2015
Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Bilateral . Intermasa, Jakarta, 1991. Salim, Oemar, Dasar-Dasar Hukum Waris . Bina Aksara, Jakarta, 1987. Amanat, Anisitus, Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-Pasal Hukum PerdataBW . Graha Grafindo
Persada, Jakarta, 2003. Tamakiran S, Asas-Asas Hukum Waris Menurut 3 Sistem Hukum . Pionir Jaya, Bandung, 2002. Perangin, Effendi, Hukum Waris . Graha Grafindo Persada, Jakarta, 1999. A.Pitlo, MR, Hukum Waris Menurut KUHPerdata Belanda . Intermasa, Jakarta, 1986. Mughniyah, Muhammad Jawad, Hukum Waris Menurut Burgelijk Wetboek . Usaha Nasional, Surabaya,
1988. Abdurrahman. H. Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia , Akademika Pressindo, Jakarta, 1992. Ahmad Hanafi. Pengantar Dan Sejarah Hukum Islam . Bulan Bintang, Jakarta, 1970. Assad Yunus. Intisari Hukum Waris Indonesia . Mandar Maju, Bandung, 1991. Mohammad Daud Ali. Asas-Asas Hukum Islam . Rajawali Pres, Jakarta, 1990. Mustafa Diibul Bhigha. Fiqh Menurut Mazhab Syafi’i. Balai Pustaka, Jakarta, 1986. Sayuti Thalib. Hukum Kewarisan Islam Indonesia . Bina, Jakarta, 1984. Soepomo. Bab-bab Tentang Hukum Adat . Pradnya paramita, Jakarta, 1977. Soekanto Soerjono. Intisari Hukum Keluarga . Alumni, Bandung, 1980. Anda Sasmita Somar. Pokok-Pokok Hukum Waris Islam , Tinta Mas, Jakarta, 1984. Wignjodipoero Surojo. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Gunung Agung, Jakarta, 1992. Haar Ter. Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat . Paradnya Paramita, Jakarta, 1979. Abdul Kadir Muhammad. Hukum perdata indonesia , Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992. Abdul Manan, M. Fauzan . Pokok-Pokok Hukum Perdata, Wewenang Peradilan Agama, PT. Raja
Grafindo persada, Jakarta, 2002. Ali Hasan. M. Hukum Warisan Dalam Islam , Bulan Bintang, Jakarta, 1983. Muchlis Maruzi. Pokok-Pokok Ilmu Waris , Mujahidin, Semarang, 1981. Muhammad Arief. Hukum Waris Dalam Islam , Bina Ilmu, Surabaya, 1986. Ridhwan Rendra, M. Hukum Waris Diindonesia Menurut BW Dan Kompilasi Hukum Islam, Haji
Masugeny, Jakarta, 1993.
78 Fakultas Hukum - UNISAN
World Health Organization
PERANAN WORLD HEALTH ORGANIZATION DI NEGARA MAJU DAN NEGARA BERKEMBANG
Nilawati Adam [email protected]
Abstract
The role of the World Health Organization is needed by every country in the world. Especially when health issues pushed, the emergence of new diseases, as well as the lack of ability of the state in promoting healthy lifestyles, make the World Health Organization to
be important, because basically this organization was given the mandate to improve the lives of human health.
Keywords: The role, WHO, human health.
I. PENDAHULUAN World Health Organization (WHO) adalah merupakan salah satu organisasi yang berada di
bawah nauangan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), organisasi ini merupakan organisasi kesehatan dunia, sehingga WHO diberi mandat oleh PBB untuk memastikan bahwa setiap orang memiliki akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkulitas, tanpa boleh membeda-bedakan status dan keadaan empiris suatu negara (http://www.who.int/about/brochure_en.pdf), sehingga WHO ini perlu bekerjasama dengan pemerintah di suatu negara agar diberikan akses untuk melaksanakan madatnya di negara yang bersangkutan.
Mandat ini kemudian sulit untuk diwujudkan, karena dibeberapa negara terdapat rumah sakit dan klinik tidak cukup untuk menampung jumlah pasien yang miskin, ditambah lagi terbatasnya persediaan peralatan kedokteran dan obat-obatan, serta kekurangan para pekerja kesehatan yang berkompeten
dan kronis (http://www.landasanteori.com/2015/10/pengertian-who-sejarah-fungsi-dan.html). Untuk itu, secara kasat mata atau melihat informasi-informasi yang diberitakan di media massa sangatlah wajar jika efektifitas atau dampak yang ditimbulkan masuknya WHO ke negara maju maupun di negara yang berkembang sangat berbeda, ini dapat dipahami kemudian karena fasilitas yang menunjang standar kehidupan sehat warga negara sangatlah berbeda pula.
Pada beberapa daerah di belahan dunia, sebagian besar para pekerja kesehatan mengalami kematian yang diakibatkan oleh terjangkitnya mereka oleh penyakit yang sedang diderita oleh pasien yang ditanganinya, yang sedang diusahkannya untuk dicegah dan ditanggulangi penyebarannya. Dengan adanya keadaan ini WHO bekerjasama dengan negara-negara di dunia untuk membantu dan merencanakan serta mendidik dan melatih keterampilan personil medis agar dapat melakukan pekerjaannya dengan baik dan sesuai harapan (http://www.landasanteori.com/2015/10/pengertian-who- sejarah-fungsi-dan.html), hal ini tidak mudah memang untuk diwujudkan, utamanya di negara-negara
Fakultas Hukum – UNISAN 79
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. III, No. 1 September 2015
berkembang sehingga kerjasama pemerintah di setiap negara berkembang (tanpa menafikkan negara maju) sangat dibutuhkan, karena selain memang kondisi empiris atau kemampuan suatu negara yang berbeda-beda untuk memenuhi fasilitas yang menjadi faktor pendorong utama bagi kesehatan warga negara, juga political will pemerintah untuk memperbaiki/mempertahankan kualitas hidup warga negaranya sangat diperlukan.
WHO merupakan badan khusus dari PBB, berdiri pada tahun 1948 dan bermarkas besar di Geneva (Switzerland), serta
WHO tahun 1948. (http://www.who.or.id/ind/php/index.php). WHO mengizinkan semua negara berdaulat untuk menjadi anggota penuh dari organisasi ini, sekalipun negara tersebut bukan anggota dari PBB. Selain itu WHO juga memperbolehkan wilayah yang tidak memiliki pemerintahan sendiri untuk menjadi anggota rekanan. Saat ini ada 193 negara anggota WHO (http://www.landasanteori.com/2015/10/pengertian- who-sejarah-fungsi-dan.html). Melihat hal tersebut, maka sesungguhnya WHO ini sama dengan organisasi internasional lainnya yang mendapatkan mandat khsusus dari PBB, dimana keanggotaan (dari organisasinya) terbuka untuk semua negara, bahkan bagi negara yang bukan merupakan anggota PBB, misalnya saja Somalia, Republik Nagorno-Karabakh, Transnistria, Abkhazia, dan masih banyak negara lainnya. Keterbukaan bagi keanggotaan WHO ini tentunya mendapat respon positif bagi negara-negara (baik anggota PBB maupun non-anggota PBB) oleh karena kebutuhan suatu negara terhadap peran dari WHO ini cukup tinggi, apalagi kita ketahui bersama bahwa isu kesehatan merupakan isu sentral di negara-negara berkembang dan negara tertinggal, selain itu pula hak untuk mendapat kesehatan adalah salah satu hak asasi manusia yang merupakan bagian dari hak-hak ekonomi, sosial, dan busaya yang paling tidak harus dipenuhi oleh suatu negara kepada semua warga negaranya.
berdiri berdasarkan Konstitusi
Secara struktural, WHO berada di bawah Economic and Social Council (Dewan Ekonomi dan Sosial) PBB. Dewan Ekonomi dan Sosial PBB merupakan 1 (satu) dari 6 (enam) organ utama dari PBB (selain Dewan Keamanan, Majelis Umum, Dewan Perwalian, Mahkamah Internasional, dan Kesekretariatan) yang memiliki perhatian kepada masalah perdagangan, transportasi, industri, pertumbuhan ekonomi, masalah sosial, termasuk masalah anak-anak, hak wanita dan kesetaraan gender, perumahan, diskriminasi hak, narkotika, dan pemuda. Dewan Ekonomi dan Sosial PBB juga mengurusi masalah peningkatan pendidikan dan kesehatan. Ada 54 (lima puluh empat) negara anggota Dewan Ekonomi dan Sosial PBB. Dimana semua negara tersebut dipilih oleh Majelis Umum PBB setiap 3 (tiga) tahun sekali (http://www.un/ecosoc/index.htm/), karena Dewan Ekonomi dan Sosial PBB memiliki perhatian yang tertuju pada beragam aspek, maka dibutuhkan banyak badan khusus yang membantu untuk mencapai apa yang menjadi tanggung jawab dari organ PBB ini. Ada 16 (enam belas) badan khusus yang dibentuk yang masing-masing memiliki bentuk organisasi, sumber dana, dan anggota yang terpisah satu sama lain. Badan khusus ini selain WHO sendiri, juga adalah WMO ( World Meteorogical Organization ), FAO ( Food and Agriculture Organization ), IMO ( International Maritime Organization ), IFAD ( International Found for Agriculture Development ), UNIDO ( United Nation Industrial Development Organization ), ITU ( International Telecommunication Union ), UPU ( Univesal Posting Union ), IBRD ( International Bank for Reconstuction and Development ), IMF ( International Monetery Fund ), WIPO ( World International Property Organization ), ICAO ( International Civil
80 Fakultas Hukum - UNISAN
World Health Organization
Aviation Organization ), IDA ( International Development Asosiation ), UNESCO ( United Nation Eductional Scientific Organization ), IFC ( International Finance Corporation ), ILO ( International Labor Organization ), (United Nations, 1993:14). Badan-badan khusus ini kemudian bekerja sesuai dengan mandatnya masing-masing sesuai dengan apa yang dimandatkan oleh PBB sendiri, sehingga kesemua dari organisasi-organisasi tersebut yang telah penulis sebutkan di atas dapat digolongkan menjadi sebuah GO ( Governmental Organization ), dimana PBB menjadi struktur utamanya.
WHO juga merupakan organisasi internasional yang memiliki keanggotaan global dengan maksud dan tujuan yang bersifat spesifik (Birkah Latif dan Kadarudin, 2013:46) Penyelenggaraan WHO dilakukan oleh World Health Assembly /WHA (Majelis Kesehatan Dunia). WHA terdiri dari perwakilan dari seluruh negara anggota. WHA ini bersidang setiap 1 (satu) tahun sekali. Sedangkan tanggung jawab pelaksanaannya dilakukan oleh suatu badan eksekutif yang dipilih oleh WHA. Delegasi dari masing-masing negara anggota berkedudukan sebagai wakil dari badan utama pengambil kebijakan WHO, yaitu WHA. Biasanya sidang WHA dilakukan pada bulan Mei setiap tahunnya. WHA memilih 34 orang sebagai badan anggota. Adapun kontribusi dana lainnya sebesar 70 % (persen) berasal dari negara pendonor, badan antar pemerintah, dan rekanan WHO, dan sumber- sumber lainnya yang bersifat tidak mengikat (http://www.landasanteori.com/2015/10/pengertian-who-sejarah-fungsi- dan.html). Sebagai salah satu organisasi yang dikategorikan sebagai GO, WHO ini kemudian memiliki kewajiban-kewajiban besar dibidang kesehatan bagi negara anggotanya, dimana warga negara dari setiap negara anggota berhak menikmati setiap mandat WHO utamanya yang berkaitan dengan kualitas hidup sehat. Maka lagi-lagi peran aktif dari negara anggota yang bekerjasama dengan WHO serta political will pemerintah negara setempat sangat diperlukan agar WHO mendapatkan akses sebesar- besarnya untuk menjangkau wilayah negara tempat dimana WHO dapat menjalankan mandatnya secara maksimal.
Di dalam kegiatan sebagai organisasi kesehatan dunia, WHO mengakui bahwa hak setiap orang untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai atas kesehatan fisik dan mental dengan mengupayakan pengurangan tingkat kelahiran, dan kematian anak serta perkembangan anak yang sehat, melalui perbaikan semua aspek kesehatan lingkungan dan industri dengan melakukan pencegahan, pengobatan, dan pengendalian segala penyakit menular, penyakit lain yang berhubungan dengan pekerjaan serta menciptakan kondisi yang akan menjamin semua pelayanan dan perhatian medis dalam hal sakitnya seseorang, terang saja hal yang demikian harus dapat dimaksimalkan agar dapat terwujud, ini dikarenakan hak untuk mendapatkan kesehatan yang layak merupakan salah satu dari sejumlah hak yang harus dinikmati oleh warga negara sehingga negara menjadi wajib kemudian untuk memenuhinya. Namun setiap perjalanan sebuah organisasi, atau dalam melaksanakan mandatnya ada saja terdapat hal-hal yang dianggap kurang sehingga dinilai sebagai kegagalan WHO dalam menjalankan mndatnya di suatu negara, utamanya dinegara-negara berkembang yang notabene akses dan fasilitas yang dimiliki oleh negara sangat terbatas, bahkan yang lebih menyulitkan lagi apabila suatu negara tersebut memiliki jumlah pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan tersebut, maka yang menjadi rumusan masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah Bagaimanakah fungsi WHO sesuai yang dimandatkan oleh PBB? dan bagaimana efektifitas pelaksanaan mandat WHO di negara-negara maju dan negara berkembang?
Fakultas Hukum – UNISAN 81
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. III, No. 1 September 2015
II. PEMBAHASAN
A. Fungsi WHO Sesuai Mandat PBB WHO memberikan rekomendasi tindakan yang bersifat non teknis apabila terjadi sesuatu hal
yang berpotensi membawa akibat besar secara global dari segi kesehatan. Hal ini termasuk di dalamnya bantuan dalam memberikan pelatihan personil medis dan berbagi pengetahuan tentang penyakit seperti influenza , malaria, smallpox virus, poliomyelitis , tuberculousis , penyakit akibat hubungan seksual, Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). Perhatian lain yang diberikan WHO termasuk juga masalah kesehatan ibu dan anak, gizi, rencana pertumbuhan penduduk, lingkungan kesehatan, penyakit kronis, dan konsumsi rokok atau cerutu dan segala hal yang berhubungan dengan masalah kesehatan. Sedangkan untuk pelayanan teknis yang diberikan WHO meliputi (http://www.landasanteori.com/2015/10/pengertian- who-sejarah-fungsi-dan.html):
- Pemberian standar untuk masalah biologis dan obat-obatan; - Memberikan dan mengumpulkan informasi tentang wabah penyakit, dan - Penelitian internasional khusus atas penyakit yang disebabkan oleh kuman, virus dan
parasit, serta penerbitan dan mempublikasikan pekerjaan ilmiah dan teknis. Adanya penyakit dalam tubuh dapat menyebabkan perubahan pemenuhan kebutuhan, baik
secara fisiologis maupun psikologis, karena beberapa fungsi organ tubuh memerlukan pemenuhan kebutuhan lebih besar dari biasanya (A. Azis Alimul H, 2009:5). Penyelenggaraan pembangunan kesehatan diwujudkan melalui pemberian pelayanan kesehatan yang didukung oleh sumber daya kesehatan, baik tenaga kesehatan maupun tenaga non-kesehatan (Nilawati Adam, 2015:208). Sebanyak dua milyar orang-orang di seluruh bumi menghadapi ancaman kesehatan tiap hari. Di lebih dari 45 (empat puluh lima) negara-negara saat ini mengalami keadaan darurat sebagai dampak bencana alami, krisis
Kesehatan dan Farmasi (http://www.who.or.id/ind/ourworks.asp?id=ow5). Tindakan Kesehatan pada kelompok yang krisis ini dilakukan melalui hubungan kerjasama medis antara negara- negara anggota dan mitra lain untuk memperkecil tingkat kematian yang ditimbulkan. Apalagi terhadap keadaan krisis yang mengalami publikasi besar- besaran seperti Tsunami dan konflik yang berkelanjutan di Jalur Gaza, Palestina WHO berusaha untuk membantu pemerintah dan masyarakat di berbagai negara untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi seluruh keadaan krisis yang mungkin terjadi. Hal ini dilakukan dengan memastikan tindakan yang tepat dan efektif, serta memastikan bahwa sistem kesehatan lokal dapat berfungsi dengan baik untuk mengatasi efek dari keadaan yang dapat membahayakan keadaan kesehatan masyarakat
bersenjata. Teknologi
(http://www.landasanteori.com/2015/10/pengertian-who-sejarah-fungsi-dan.html). Berdasarkan laporan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa WHO memiliki mandat yang cukup besar, walaupun dalam kenyataannya pada setiap implementasi terdapat beberapa kekuranga, selain itu pula isu kesehatan merupakan salah satu isu sensitif dan penyebarannya sangat intens di media massa, sehingga memang perlu kehatia-hatian dan kerja maksimal bagi staf-staf WHO dalam menjalankan tugasnya diberbagai negara, karena perlakuan yang sama pasti dituntut oleh semua negara tanpa melihat bagaimana kesanggupan negara untuk bekerjasama sehingga memberikan akses penuh bagi
82 Fakultas Hukum - UNISAN
World Health Organization
kerja-kerja WHO dan kesanggupan suatu negara untuk memenuhi seluruh fasilitas kesehatan yang diberikan kepada semua warganya tanpa terkecuali, belum lagi masalah rasio jumlah penduduk dan rumah sakit yang tidak seimbang serta kurangnya akses bagi masyarakat miskin untuk berobat di rumah sakit menjadi factor penghambat tersendiri bagi WHO dalam menjalankan mandatnya di negara-negara yang memiliki kondisi sebagaimana yang telah dijelaskan tersebut.
Menurut Deklarasi WHO bahwa untuk mencapai sasaran dari pencapaian tingkat kesehatan tertinggi yang mungkin dicapai, WHO memiliki fungsi sebagai berikut (Article 2 Constitution of the World Health Organization, Basic Documents, Forty-fifth edition Supplement, October 2006) :
1. To act as the directing and co-ordinating authority on international health work (bertindak, mengarahkan dan mengkoordinir kewenangan otoritas dalam upaya kesehatan internasional);
2. To establish and maintain effective collaboration with the United Nations, specialized agencies, governmental health administrations, professional groups and such other organizations as may be deemed appropriate (menetapkan dan memelihara kerja sama dengan PBB, badan-badan khusus, administrasi kesehatan pemerintah, menggolongkan profesional dan organisasi lain yang dianggap sesuai);
3. To assist Governments, upon request, in strengthening health services (membantu Pemerintah dalam meningkatkan pelayanan kesehatan);
4. To furnish appropriate technical assistance and, in emergencies, necessary aid upon the request or acceptance of Governments (melengkapi bantuan teknis sesuai dalam keadaan darurat yang diperlukan untuk memenuhi permintaan bantuan dari pemerintah negara yang membutuhkan);
5. To provide or assist in providing, upon the request of the United Nations, health services and facilities to special groups, such as the peoples of trust territories (menyediakan dan membantu dalam penyediakan barang dan jasa berdasar pada permintaan PBB, fasilitas dan jasa kesehatan kepada kelompok khusus, seperti orang-orang di wilayah perwalian);
6. To establish and maintain such administrative and technical services as may be required, including epidemiological and statistical services (menetapkan dan memelihara pelayanan teknis dan administratif sebagaimana dibutuhkan, termasuk epidemiological/wabah dan jasa statistik untuk merangsang dan membantu pekerjaan untuk membasmi wabah, endemik dan penyakit lain);
7. To stimulate and advance work to eradicate epidemic, endemic and other diseases (bekerjasama dengan badan-badan khusus lain jika perlu, untuk mencegahan terjadinya kerugian yang nyata terkait dengan kesehatan masyarakat dunia);
8. To promote, in co-operation with other specialized agencies where necessary, the prevention of accidental injuries (mempromosikan kerjasama dengan para peneliti dan kelompok profesional lainnya yang berperan untuk kemajuan kesehatan);
9. To promote, in co-operation with other specialized agencies where necessary, the improvement of nutrition, housing, sanitation, recreation, economic or working conditions and other aspects of environmental hygiene (mempromosikan kerjasama dengan badan-
Fakultas Hukum – UNISAN 83
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. III, No. 1 September 2015
badan khusus lain jika perlu, untuk meningkatan tingkat gizi, perumahan, sanitasi/kesehatan, rekreasi, ekonomi);
10. To promote co-operation among scientific and professional groups which contribute to the advancement of health (meningkatkan tingkat kesehatan dan kesejahteraan anak untuk mengembangan kemampuan untuk hidup harmonis dalam mengubah lingkungan menuju standar kesehatan tertentu secara menyeluruh);
11. To propose conventions, agreements and regulations, and make recommendations with respect to international health matters and to perform such duties as may be assigned thereby to the Organization and are consistent with its objective (mengusulkan konvensi, peraturan, dan membuat rekomendasi tentang kesehatan internasional dan untuk melaksanakan kewajiban yang ditugaskan oleh Organisasi dan secara konsisten serta tepat sasaran);
12. To promote maternal and child health and welfare and to foster the ability to live harmoniously in a changing total environment (mempromosikan peningkatkan kesehatan dan kesejahteraan ibu dan anak serta menumbuhkan kemampuan untuk hidup harmonis dalam perubahan lingkungan secara keseluruhan);
13. To foster activities in the field of mental health, especially those affecting the harmony of human relations (membantu perkembangan kesehatan mental, terutama yang mempengaruhi keselarasan hubungan antar manusia);
14. To promote and conduct research in the field of health (mempromosikan dan melakukan riset dalam bidang kesehatan);
15. To promote improved standards of teaching and training in the health, medical and related professions (mempromosikan standar pelatihan dan pengajaran dalam kesehatan, medis, dan hubungan profesi);
16. To study and report on, in co-operation with other specialized agencies where necessary, administrative and social techniques affecting public health and medical care from preventive and curative points of view, including hospital services and social security (menyampaikan laporan hasil kerjasama dengan badan khusus lain yang diperlukan, terkait dengan masalah administratif dan sosial yang mempengaruhi kesehatan publik dan perawatan medis dari pencegahan masalah kesehatan yang sedang berkembang, termasuk masalah pelayanan rumah sakit dan pengamanan sosial);
17. To provide information, counsel and assistance in the field of health (menyediakan informasi dan bantuan dalam bidang kesehatan);
18. To assist in developing an informed public opinion among all peoples on matters of health (untuk membantu mengembangkan opini publik informasi antara semua bangsa pada masalah-masalah kesehatan);
19. To establish and revise as necessary international nomenclatures of diseases, of causes of death and of public health practices (meneliti dan meninjau kembali masalah penyebab kematian dan perihal kesehatan masyarakat);
20. To standardize diagnostic procedures as necessary (menstandarisasi prosedur diagnostik);
84 Fakultas Hukum - UNISAN
World Health Organization
21. To develop, establish and promote international standards with respect to food, biological, pharmaceutical and similar products (mengembangkan dan menetapkan standar internasional pada makanan, biologi, produk farmasi);
22. Generally to take all necessary action to attain the objective of the Organization (mengambil semua tindakan yang perlu untuk mencapai sasaran).
Dari 22 (dua puluh dua) mandat yang dimiliki oleh WHO, mandat-mandat inilah kemudian yang dijalankan disemua negara yang bekrjasama dengan WHO (tanpa melihat apakah negara tersebut terkualifikasi sebagai negara maju atau negara berkembang). Namun yang perlu ditekankan disini bahwa WHO ini merupakan salah satu organisasi di bawah Dewan Ekonomi dan Sosial PBB sebagai organ utamanya, sehingga fungsi koordinasi dan supervisi sangatlah dibutuhkan. Sebagai gambaran bahwa Dewan Ekonomi dan Sosial PBB mempunyai anggota 54 (lima puluh empat) negara. Dewan ini bersidang sekurang-kurangnya tiga kali setahun di New York atau di tempat lain yang ditentukan. Tugas Dewan Ekonomi dan Sosial PBB adalah sebagai berikut:
1. Membahas, mengkaji, dan menyusun rekomendasi kepada Majelis Umum yang berkaitan
dengan pembangunan ekonomi, masalah lingkungan, dan hak-hak asasi manusia.
2. Mengkoordinir pekerjaan Komisi-Komisi dan Badan-badan Khusus PBB seperti WHO, ILO, FAO, dan UNICEF.
3. Melaksanakan kegiatan ekonomi dan sosial di bawah wewenang PBB.
4. Memajukan rasa hormat-menghormati terhadap hak-hak manusia dan kemerdekan asasi, dan lain-lain.
Oleh karena itu, walaupun WHO memiliki mandat-mandat yang telah diatur dalam Article 2 Constitution of the World Health Organization , jelas bahwa WHO tetap harus berkoordinasi dengan Dewan Ekonomi dan Sosial PBB, karena pada poin 2 di atas diatur bahwa Dewan Ekonomi dan Sosial PBB bertugas mengkoordinir pekerjaan Komisi-Komisi dan Badan-badan Khusus PBB yang salah satunya adalah WHO.
B. Efektifitas Pelaksanaan Mandat WHO di Negara-Negara Maju dan Negara Berkembang Terdapat beberapa perbedaan antara negara-negara dalam melaksanakan hubungan internasionalnya, sehingga dalam pandangan beberapa pakar, negara-negara tersebut kemudian di klasifikasikan menjadi 3 (tiga) negara, yakni negara maju, negara berkembang, dan negara tertinggal. Namun dalam bahasan ini penulis hanya membahas 2 negara yang penulis sebut terlebih dahulu di awal, sehingga kaitan dengan efektifitas pelaksanaan mandat WHO hanya penulis fokuskan di negara- negara maju dan negara berkembang saja.
Biasanya negara yang memiliki Pendapatan Nasional Bruto (PNB) perkapita tinggi dianggap sebagai negara maju. Negara maju umumnya digambarkan memiliki angka pertumbuhan penduduk sekitar 0,4% pertahun. Tingkat kematian bayi sangat rendah yaitu 8/1000 kelahiran hidup, ini disebabkan oleh kemajuan dalam bidang kedokteran. Angka usia harapan hidup mencapai 79 tahun dengan angka ketergantngan anak hanya 20%. Sebagian besar penduduk (98%) dapat membaca dan melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Satu faktor yang menyebabkan majunya pembangunan sosial di
Fakultas Hukum – UNISAN 85
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. III, No. 1 September 2015
negara maju adalah jaminan sosial yang melindungi dari resiko kehilangan pendapatan seperti: kecelakaan kerja, cacat, sakit, hamil, pengangguran, dan masa tua. Bahkan 46% dari PNB digunakan untuk membiayai berbagai pelayanan sosial dan kesehatan. Model pengembangan wilayah di negara maju melalui bentuk kota, yaitu pola metropolis, menyebar, metropolis galaktika, memusat, metropolis bintang
(http://www.artikelsiana.com/2015/11/negara-maju-negara- berkembang.html). Berdasarkan hal tersebut, maka di negara-negara maju umumnya WHO tidak memiliki kendala untuk menjalankan mandatnya, utamanya mandat untuk :
dan metropolis
cincin
- Bertindak, mengarahkan dan mengkoordinir kewenangan otoritas dalam upaya kesehatan internasional; - Menetapkan dan memelihara pelayanan teknis dan administratif sebagaimana dibutuhkan, termasuk epidemiological/wabah dan jasa statistik untuk merangsang dan membantu pekerjaan untuk membasmi wabah, endemik dan penyakit lain;
- Mempromosikan kerjasama dengan para peneliti dan kelompok profesional lainnya yang berperan untuk kemajuan kesehatan; - Mempromosikan kerjasama dengan badan-badan khusus lain jika perlu, untuk meningkatan tingkat gizi, perumahan, sanitasi/kesehatan, rekreasi, ekonomi; - Meningkatkan tingkat kesehatan dan kesejahteraan anak untuk mengembangan kemampuan untuk hidup harmonis dalam mengubah lingkungan menuju standar kesehatan tertentu secara menyeluruh;
- Mempromosikan peningkatkan kesehatan dan kesejahteraan ibu dan anak serta menumbuhkan kemampuan untuk hidup harmonis dalam perubahan lingkungan secara keseluruhan; dan
- Mempromosikan standar pelatihan dan pengajaran dalam kesehatan, medis, dan hubungan profesi.
Hal ini tidak lain dikarenakan terbukanya ruang akses yang sebesar-besarnya bagi WHO yang diberikan oleh pemerintah setempat, serta political will yang kuat dari pemerintah sendiri terhadap komitmennya untuk memperbaiki kesehatan warganya, dan hal tersebut juga ditunjang dengan perekonomian yang sudah cukup stabil. Persebaran negara maju di dunia sebagai berikut :
1. Benua Eropa
2. Benua Amerika (Kanada dan Amerika Serikat)
3. Benua Australia
4. Benua Asia (Jepang dan Singapura) Sedangkan mengenai karakteristik atau ciri-ciri negara maju adalah sebagai berikut :
- Standar kehidupan yang tinggi; - Angka kelahiran dan kematian yang rendah; - Angka usia harapan hidup tinggi; - Persebaran penduduk terpusat di kota, yang berkaitan dengan industri; - Angka buta huruf yang sangat rendah; dan - Kegiatan ekonomi yang bertumpuh pada bidang industri dan jasa.
86 Fakultas Hukum - UNISAN
World Health Organization
Berikut daftar negara-negara maju sebagaimana disebutkan dalam tabel 1 di bawah ini : Tabel 1
Daftar Negara Maju (http://www.artikelsiana.com/2015/11/negara-maju-negara-berkembang.html)
No.
Nama Negara
8. Republik Ceko
18. Britania Raya (Inggris)
26. San Marino
32. Amerika Serikat
Fakultas Hukum – UNISAN 87
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. III, No. 1 September 2015
36. Korea Selatan
40. Selandia Baru
Oceania
Catatan : Berdasarkan laporan terkini, tidak ada satupun
negara maju di benua Afrika. Dahulu negara Libya merupakan negara maju namun setelah ada gejolak politik disana maka negara Libya tidak dimasukan lagi dalam daftar negara maju.
Disisi lain, negara berkembang adalah suatu negara yang pendapatan rata-ratanya rendah, infastruktur relatif berkembang, dan indeks perkembangan manusia berada di bawah standar normal global. Kelompok negara ini memiliki pembangunan sosial terbelakang yang tampak pada rendahnya kualitas sumber daya manusia, seperti rendahnya usia harapan hidup (51 tahun), tingginya kematian bayi dan anak (177/1000). Di samping itu juga di tandai dengan jumlah penduduk yang besar dan tingginya angka pertumbuhan penduduk yang disebabkan oleh kurang sadarnya penduduk untuk melaksanakan program Keluarga Berencana (KB) dan tingginya angka migrasi internal. Rata-rata pendapatan Nasional Bruto (PNB) di negara berkembang hanya USS$ 950, dengan laju pertumbuhan ekonomi yang sangat rendah (3%) dengan angka inflasi tinggi yang mencapai 37%. Sarana komunikasi dan transportasi sangat terbatas, serta daya saing di pasar internasional sangat terbatas. Tabungan sektor swasta dan pemerintah sangat rendah, sementara utang luar negeri. Roda sektor swasta dan pemerintah sangat bergantung pada gabungan antara pinjaman luar negeri, bantuan negara donor dan investasi swasta dari luar negeri. Tingkat pengangguran di negara berkembang sangat tinggi, walaupun secara resmi tercatat 20%, namun kenyataannya bisa lebih tinggi dari angkat itu. Angka pengangguran terutama di alami oleh para wanita, laki-alki usia lebih dari 45 tahun, penyandang catat, dan penduduk yang buta huruf. Pengeluaran negara untuk sektor sosial sangat terbatas. Sebagian besar negara bahkan tidak menyediakan asuransi dan jaminan sosial untuk pengangguran, sakit, mati, hamil dan cacat (http://www.artikelsiana.com/2015/11/negara-maju-negara-berkembang.html).
Berdasarkan hal tersebut, maka di negara-negara berkembang umumnya WHO memiliki beberapa kendala untuk menjalankan mandatnya, utamanya mandat untuk :
- Menetapkan dan memelihara kerja sama dengan PBB, badan-badan khusus, administrasi kesehatan pemerintah, menggolongkan profesional dan organisasi lain yang dianggap sesuai; - Membantu Pemerintah dalam meningkatkan pelayanan kesehatan; - Melengkapi bantuan teknis sesuai dalam keadaan darurat yang diperlukan untuk memenuhi
permintaan bantuan dari pemerintah negara yang membutuhkan;
88 Fakultas Hukum - UNISAN
World Health Organization
- Menyediakan dan membantu dalam penyediakan barang dan jasa berdasar pada permintaan PBB, fasilitas dan jasa kesehatan kepada kelompok khusus, seperti orang-orang di wilayah perwalian;
- Meningkatkan tingkat kesehatan dan kesejahteraan anak untuk mengembangan kemampuan untuk hidup harmonis dalam mengubah lingkungan menuju standar kesehatan tertentu secara menyeluruh; dan
- Mempromosikan peningkatkan kesehatan dan kesejahteraan ibu dan anak serta menumbuhkan kemampuan untuk hidup harmonis dalam perubahan lingkungan secara keseluruhan.
Hal ini tidak lain dikarenakan sulitnya ruang akses bagi WHO yang diberikan oleh pemerintah setempat, serta political will yang masih fluktuatif dari pemerintah sendiri terhadap komitmennya untuk memperbaiki kesehatan warganya, dan hal tersebut juga tidak ditunjang dengan perekonomian yang sudah stabil. Negara-negara berkembang yang tersebar di wilayah dunia adalah sebagai berikut :
1. Benua Afrika
2. Benua Asia (kecuali jepang dan singapura)
3. Benua Amerika bagian tengah dan Amerika Selatan Sedangkan karakteristik negara berkembang atau ciri-ciri negara berkembang adalah sebagai
berikut : - Standar kehidupan yang sangat rendah; - Tingkat pendapatan yang rendah; - Produktivitas yang masih rendah; - Angka beban ketergantungan tinggi; - Angka pertumbuhan penduduk tinggi; - Besarnya angka pengangguran; - Ketergantungan pada sektor pertanian dan ekspor produk primer; - Tingkat sempurnanya pasar dan ketersediaan informasi; - Ketergantungan dan kerapuhan dalam segala aspek hubungan internasional; - Kurangnya permodalan dalam pelaksanaan pembangunan; dan - Ketidakseimbangan lapangan kerja dengan tengara kerja sehingga angka pengangguran terus
meningkat, banyak penerapan teknologi yang tidak sesuai dengan kondisi setempat, dan adanya blokade perdagangan.
Berikut daftar negara-negara berkembang sebagaimana disebutkan dalam tabel 2 di bawah ini :
Tabel 2 Daftar Negara Berkembang (http://www.artikelsiana.com/2015/11/negara-maju-negara-berkembang.html)
No.
Nama Negara
Fakultas Hukum – UNISAN 89
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. III, No. 1 September 2015
2. Azerbaijan
Eropa
3. Bosnia Herzegovina
26. Sudan Selatan
31. Burkina Faso
34. Cape Verde
Afrika
35. Republik Afrika Tengah
38. Republik Demokratik Kongo Afrika
39. Republik Kongo
Afrika
40. Ivory Coast
Afrika
90 Fakultas Hukum - UNISAN
World Health Organization
41. Guinea Khatulistiwa
61. Sao Tome and Principe
64. Sierra Leone
Afrika
65. Afrika Selatan
72. Antigua and Barbuda
Fakultas Hukum – UNISAN 91
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. III, No. 1 September 2015
80. Kolombia
Amerika
81. Kosta Rika
83. Republik Dominika
85. El Salvador
97. St. Kitts and Nevis
Amerika
98. St. Lucia
Amerika
99. St. Vincent and the Grenadines Amerika 100. Suriname
Amerika 101. Trinidad and Tobago
Amerika 102. Uruguay
Amerika 103. Venezuela
Amerika 104. Armenia
Asia 105. Kazakstan
Asia 106. Kirgistan
Asia 107. Mongolia
Asia 108. Tajikistan
Asia 109. Turkmenistan
Asia 110. Uzbekistan
Asia 111. Afghanistan
Asia 112. Bangladesh
Asia 113. Bhutan
Asia 114. Brunei Darussalam
Asia 115. Kamboja
Asia 116. Cina
Asia 117. Fiji
Asia 118. India
Asia
92 Fakultas Hukum - UNISAN
World Health Organization
121. Korea Utara
129. Papua Nugini
133. Sri Lanka
135. Timor Leste
148. Arab Saudi
151. Uni Emirat Arab
154. Kepulauan Marshall
Australia
155. Federasi Mikronesia
Fakultas Hukum – UNISAN 93
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. III, No. 1 September 2015
Berdasarkan 40 (empat puluh) jumlah negara maju dan 159 (seratus lima puluh sembilan) berkembang (baik yang telah menjadi anggota maupun belum menjadi anggota PBB), tidak semuanya dapat terjangkau oleh WHO oleh karena itu dibutuhkan kerjasama, dimana pemerintah harus aktif dalam mengkoordinasikan kebutuhan kesehatan negaranya kepada WHO, selain itu juga mandat yang selama ini dijalankan oleh WHO diutamakan pada promosi penguatan kesehatan, dan to assist Governments, upon request, in strengthening health services (membantu Pemerintah dalam meningkatkan pelayanan kesehatan).
III. PENUTUP
Sebagai penutup dalam tulisan, penulis hendak menekankan pada pentingnya political will terhadap perbaikan kesehatan warga negaranya yang harus dimiliki oleh pemerintah, sehingga salah satu hak asasi warga negaranya yakni hak untuk mendapatkan akses dan fasilitas kesehatan yang layak dapat dipenuhi, dilindungi, dan dihormati oleh negara. Selain itu pula, peran WHO sangat dibutuhkan bagi negara-negara berkembang, banyaknya wabah penyakit menular, virus baru yang bermunculan, serta perubahan iklim membawa dampak buruk bagi kesehatan manusia sehingga peran dari WHO utamanya promosi kesehatan dan publikasi laporan hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh WHO sangat penting di mata negara-negara maju dan utamanya bagi negara-negara berkembang.
DAFTAR PUSTAKA
A. Azis Alimul H., Kebutuhan Dasar Manusia, Aplikasi Konsep dan Proses Keperawatan, Buku 1, Jakarta: Salemba Medika, 2009.
Birkah Latif dan Kadarudin, Pengantar Hukum Internasional, Makassar: Pustaka Pena Press, 2013. http://www.who.or.id/ind/php/index.php http://www.who.int/about/brochure_en.pdf http://www.who.or.id/ind/ourworks.asp?id=ow5 http://www.un/ecosoc/index.htm/ http://www.artikelsiana.com/2015/11/negara-maju-negara-berkembang.html http://www.landasanteori.com/2015/10/pengertian-who-sejarah-fungsi-dan.html Nilawati Adam, Korelasi Hukum Antara Tujuan Pengaturan Dengan Asas Praktek Dalam Undang-
Undang Keperawatan, Jurnal Hukum Justitia Volume II Nomor 2 Edisi Maret 2015. United Nations, What’ The United Nations?, New York: UN Reproduction Section, 1993.
94 Fakultas Hukum - UNISAN
Implikasi Putusan MK
IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 003/PUU-IV/2006 TENTANG SIFAT MELAWAN HUKUM MATERIL DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Apriyanto Nusa Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo [email protected]
Abstract
In the study aims to determine the legal implications of the Constitutional Court Decision No. 003 /PUU-IV/ 2006 of the existence of the nature of law in the fight against corruption; as well as to determine the binding force of Constitutional Court Decision No. 003 / PUU-
IV / 2006 about the nature of the material to the court of law against corruption. The method used is a normative study with primary legal materials and secondary law. Deductively analyzed to provide prescriptions in terms of following up Constitutional Court Decision No. 003 / PUU-IV / 2006 dated 25 July 2006 relating to premises theory / doctrine unlawful nature of the corruption. The results showed that the sense of nature against the law in Combating Corruption explanation set forth in Article 2 paragraph (1) of Law No. 31 of 1999 as amended by Act No. 20 of 2001, are limited to the nature against the law in formal sense. Thus the binding force of Constitutional Court Decision No. 003 / PUU-IV / 2006 about the nature of the material to the court of law against corruption prevailing since read in plenary session open to the public (Erga Omnes Principle), as stipulated in Article 47 of Law No. 24 of 2003 on the Constitutional Court.
Keywords: Unlawful nature, The Constitutional Court Decision, Binding Strength
I. PENDAHULUAN
Sifat melawan hukum dalam hukum pidana merupakan pembahasan yang urgen dan sangat mendasar. Urgensi pembahasan “sifat melawan hukum” dalam hukum pidana bertolak dari kenyataan,
bahwa dalam hukum pidana yang menjadi perhatian adalah perbuatan-perbuatan yang bersifat melawan hukum saja. Perbuatan-perbuatan inilah yang dilarang dan diancam dengan pidana, yang dalam konteks hukum pidana disebut sebagai perbuatan pidana atau tindak pidana. Sehingga secara sederhana dapat disimpulkan bahwa, semua tindak pidana merupakan tindakan melawan hukum. Dengan dasar pemikiran yang demikian, maka dilarangnya suatu perbuatan itulah baik oleh hukum tertulis (undang-undang) maupun oleh hukum tidak tertulis, menjadi dasar untuk menentukan apakah perbuatan itu dikatakan bersifat melawan hukum atau tidak.
Sudarto mengemukakan bahwa “dapat dikatakan suatu perbuatan bersifat melawan hukum apabila suatu perbuatan tersebut telah mencocoki (memenuhi) pelarangan undang-undang. Dalam pemahaman yang demikian, letak melawan hukumnya suatu perbuatan telah terlihat dari sifat melarangnya perbuatan tersebut terhadap undang-undang. Pemahaman ini bertolak dari asumsi dasar,
Fakultas Hukum – UNISAN 95
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. III, No. 1 September 2015
bahwa hukum adalah undang-undang. Namun, dalam prespektif lainnya ada yang memberikan alasan bahwa, tindak pidana itu tidak hanya mempersoalkan tindakan-tindakan yang terlarang saja dalam undang-undang, tetapi juga mempersoalkan, dapat tidaknya pelaku dicela karena melakukan suatu tindakan yang tercela.
Dilarangnya perbuatan pidana oleh hukum tertulis atau tidak tertulis pada dasarnya telah lama dianut dalam praktek peradilan di Indonesia, Khususnya mengenai perbuatan melawan hukum formiil (formeel wederechtelijk) dan perbuatan melawan hukum materiil (materiele wederrechtelijk) . Bahkan sifat melawan hukum itu sendiri merupakan salah satu unsur terpenting dalam rumusan tindak pidana di dalam KUHP maupun diluar KUHP.
Untuk sifat melawan hukum diluar KUHP (lex specialis), khususnya dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, awalnya masih mengadopsi ajaran sifat melawan hukum, baik formil maupun materiil. sebagaimana yang diatur dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yang menegaskan bahwa :
“yang dimaksud dengan secara melawan hukum” dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. Namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana”.
Penjelasan dari Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengakui keberadaan kedua ajaran sifat melawan hukum diatas, khususnya ajaran/teori sifat melawan hukum materiil mengalami perubahan pasca putusan Mahkamah Konstitusi pada bulan Juli 2006 yang mengabulkan permohonan uji materi (judicial review) atas permohonan Dawud Djatmiko bersama tim kuasa hukumnya Abdul Razak Djaelani.
Dalam amar (dictum) Putusan No. 003/PUU-IV/2006, Majelis hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa :
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
2. Menyatakan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150) sepanjang frasa yang berbunyi, “Yang dimaksud dengan ‘secara melawan hukum’ dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil
maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
96 Fakultas Hukum - UNISAN
Implikasi Putusan MK
3. Menyatakan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150) sepanjang frasa yang berbunyi, “Yang dimaksud dengan ‘secara melawan hukum’ dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana”, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
5. Menolak permohonan Pemohon selebihnya. Merujuk pada amar putusan di atas, maka sifat melawan hukum yang dianut dalam Pasal 2 ayat
(1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 hanyalah sifat melawan hukum formil. Dengan demikian putusan Mahkamah Konstitusi telah menegaskan bahwa untuk menentukan dan mengukur perbuatan seseorang masuk dalam kategori perbuatan tindak pidana korupsi atau bukan, hanya merujuk kepada ketentuan norma di dalam undang-undang (hukum tertulis), selanjutnya disebut sifat melawan hukum formil.
Dalam mengiringi penerapan Putusan Mahkamah Konstitusi yang memiliki sifat mengikat, tak jarang berakhir tidak implementatif. Bahwa Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi yang menghilangkan ajaran sifat melawan hukum materiil dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Terdapat putusan Mahkamah Agung dalam perkara terdakwa H. Fahrani Suhaimi pada tahun 2006 juga, dengan Nomor Putusan Mahkamah Agung RI No. 2064 K/ Pid/ 2006, masih mengakui ajaran sifat melawan hukum materiil dalam tindak pidana korupsi dan menyimpangi dari Putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006 yang sebelumnya telah menyatakan bahwa sifat melawan hukum materiil sebagaimana yang diatur dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan UUD RI 1945 dan tidak memiliki kekuatan mengikat.
Adapun pertimbangan hukum ( ratio decidendi) yang digunakan hakim Mahkamah Agung (MA) dalam Putusan No. 2064 K/ Pid/ 2006 dengan terdakwa H. Fahrani Suhaimi, yang menyimpang dari Putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006, adalah sebagai berikut :
“........., Mahkamah Agung tetap memberi makna ”perbuatan melawan hukum” yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, baik dalam arti formil maupun dalam arti materil, walaupun oleh putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 25 Juli 2006, No.003/PUU-IV/2006 penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang- Undang No.20 tahun 2001 jo Undang-Undang No.31 Tahun 1999 telah dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang
Fakultas Hukum – UNISAN 97
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. III, No. 1 September 2015
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan telah pula dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, mengingat alasan-alasan sebagai berikut :
1. Bahwa dengan dinyatakannya penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 jo Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan telah dinyatakan pula tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka yang dimaksud dengan unsur ”melawan hukum” dalam Pasal 2 ayat (1) undang-undang tersebut menjadi tidak jelas rumusannya, oleh karen itu berdasarkan doctrine ”Sens - Clair” (la doctrine du senclair) hakim harus melakukan penemuan hukum dengan memperhatikan :
a. bahwa Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 yang menentukan ”Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat”, karena menurut pasal 16 ayat (1) Undang-Undang No. 4 tahun 2004, ”Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan
mengadilinya”;
b. bahwa Hakim dalam mencari makna ”melawan hukum” seharusnya mencari dan menemukan kehendak public yang bersifat unsur pada saat ketentuan tersebut diberlakukan pada kasusu konkrit (bandingkan M. Yahya Harahap, 120);
c. bahwa Hamaker dalam keterangannya Het recht en de maatschappij dan juga Recht, Wet en Rechter antara lain berpendapat bahwa hakim seyogianya mendasarkan putusannya sesuai dengan kesadaran hukum dan penerapan hukum yang sedang hidup didalam masyarakat ketika putusan dijatuhkan, dan bagi I.H. Hymans (dalam keterangannya Het recht der werkelijkheid ), hanya putusan hukum yang sesuai dengan kesadaran hukum dan kebutuhan hukum warga
masyarakatnya yang merupakan ”hukum dan makna sebenarnya” ( Het recht der werkelijkheid) (Achmad Ali, 2002:140);
d. bahwa ”apabila kita memperhatikan undang-undang, ternyata bagi kita, bahwa undang-undang tidak saja menunjukan banyak kekurangan, tapi seringkali juga tidak jelas. Walaupun demikian hakim harus melakukan peradilan. Teranglah, bahwa dalam hal demikian, undang-undang memberi kuasa kapada hakim untuk menetapkan sendiri maknanya ketentuan undang-undang itu atau artinya suatu kata yang tidak jelas dalam suatu ketentuan undang- undang. Dan hakim boleh menafsir suatu ketentuan undang-undang secara gramatikal atau histories baik ”recht maupun wetshistoris ” (Lie Oen Hok, 1959:11.)
2. bahwa memperhatikan butir 1 tersebut, maka Mahkamah Agung dalam memberi makna unsur ”secara melawan hukum” dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 akan memperhatikan doktrin dan Yurisprudensi Mahkamh Agung yang berpendapat bahwa unsur ”secara melawan hukum” dengan tindak pidana korupsi adalah mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun materil dan mengenai perbuatan melawan hukum dalam arti materil yang meliputi fungsi positif dan negatifnya, yang pengertiannya Mahkamah Agung berpedoman pada :
98 Fakultas Hukum - UNISAN
Implikasi Putusan MK
a. bahwa ”Tujuan diperluasnya unsur ”perbuatan melawan hukum”, yang tidak lagi dalam pengertian formil, namun meliputi perbuatan melawan hukum secara materil, adalah untuk mempermudah pembuktiannya dipersidangan, sehingga suatu perbuatan yang pandang oleh masyarakat sebagai melawan hukum seara materil atau tercela perbuatan nya, dapatlah pelaku dihukum melakukan tindak pidana korupsi, meskipun perbuatannya itu tidak melawan hukum secara formil (Indriyanto Seno Adji, 14);
b. bahwa pengertian melawan hukum menurut Pasal 1 ayat (1) sub a Undang-Undang No. 3 Tahun 1971, tidak hanya melanggar peraturan yang ada sanksinyamelainkan mencakup pula perbuatan yang bertentangan dengan keharusan atau kepatutan dalam pergaulan mesyarakatatau dipandang tercela oleh masyarakat;
c. bahwa dari butir 2 Surat Menteri Kehakiman RI. Tanggal 11 Juli 1970 sebagai pengantar diajukannya RUU No. 3 Tahun 1971 dapat disimpulkan pengertian perbuatan melawan hukum secara materil adalah dititik beratkan pada pengertian yang diperoleh dari hukum tidak tertulis, hal ini disirat dari surat tersebut yang pada p okoknya berbunyi ”maka untuk mencakup perbuatan-perbuatan yang sesungguhnya bersifat koruptif akan tetapi sukar dipidana, karena tidak didahului suatu kejahatan atau pelanggaran-pelanggaran dalam RUU ini dikemukakan sarana ”melawan hukum dalam rumusan tindak pidana korupsi, yang pengertiannya juga meliputi perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma yang lazim atau bertentngan dengan keharusan dalam pergaulan hidup untuk bertindak cermat terhadap orang lain, barang maupun haknya;
d. bahwa sejalan dengan politik hukum untuk memberantas korupsi dalam Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 28 Desember 1983 No.275 K/Pid/1983, untuk peretama kalinya dinyatakan secara tegas bahwa korupsi secara materil melawan hukum, karena perbuatan tersebut adalah “perbuatan yang tidak patut, tercela dan menusuk perasaan hati masyarakat banyak, dengan memakai tolak ukur asas-asas hukum yang bersifat umum menurut kepatutan dalam masyarakat ”;
3. Bahwa Yurisprudensi dan doktrin merupakan sumber hukum formil selain Undang-Undang dan kebiasaan serta trakat yang tepat digunakan oleh Mahkamah Agung dalam kasus konkrit yang dihadapinya, Yurisprudensi tentang makna perbuatan melawan hukum dalam arti formil dan dalam arti materil harus tetap dijadikan pedoman untuk terbinanya konsisten penerapannya dalam perkara-perkara tindak pidan korupsi, karena sudah sesuai dengan kesadaran hukum dan perasaan hukum yang sedang hidup dalam masyarakat, kebutuhan hukum warga masyarakat, nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat;
Maka berdasarkan putusan MA di atas ternyata Putusan MK yang mencabut penjelasan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tentang arti sifat melawan hukum materil berfungsi positif dalam fungsi justitis Pengadilan Tipikor tidak tunduk pada makna ketentuan UU Pembernatasan Tindak Pidana korupsi yang telah diputuskan oleh Mahkama Konstitusi. Oleh karena itu perlu dilakukan penelahaan terhadap implikasi dan kekuatan mengikat Putusan MK
a quo terhadap
Fakultas Hukum – UNISAN 99
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. III, No. 1 September 2015
keberlakuannya yang berlaku umum bagi semua pihak yang ditur dalam UU tersebut, termasuk dalam hal ini hakim yang mengadili kasus korupsi di pengadilan tindak pidana korupsi.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dalam pendahuluan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam tulisan ini adalah sejauhmanakah implikasi hukum Putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006 Terhadap eksistensi sifat melawan hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi? dan bagaimana kekuatan mengikat Putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006 tentang sifat melawan hukum materiil bagi pengadilan tindak pidana korupsi?
II. METODE PENELITIAN
Tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah yuridis Normatif. Penelitian ini lebih menitik beratkan pada pengkajian implikasi putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU- IV/2006 tentang ajaran sifat melawan hukum dalam tindak pidana korupsi. Bahan hukum yang teridiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder selanjutnya dengan menggunakan cara berfikir deduktif yaitu suatu cara mengambil kesimpulan yang berangkat dari pembahasan yang bersifat umum menuju pembahasan yang bersifat khusus. Setelah itu, peneliti ditarik preskripsi atau hal yang sebenarnya harus dilakukan oleh Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dalam hal menindak lanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 juli 2006 yang berkaitan denga teori/ajaran sifat melawan hukum dalam tindak pidana korupsi.
III. PEMBAHASAN
A. Implikasi Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Eksistensi Sifat Melawan Hukum dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Lahirnya ketentuan yang mengatur tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang kemudian diubah berdasarkan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001, khusus mengenai sifat melawan hukum baik formil maupun materiel masih diakui, sehingga kedua sifat melawan hukum tersebut memiliki kekuatan yuridis dan mengikat. Hal ini sebagaimana yang dimuat dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) yang menegaskan bahwa :
“yang dimaksud dengan secara melawan hukum dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiel, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam
masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana...”. Dalam perkembangannya terjadi perubahan rumusan terhadap sifat melawan hukum dalam
tindak pidana korupsi. Dimana dalam hasil uji materiil penjelasan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, hakim konstitusi menyatakan bahwa, sepanjang yang mengenai pengertian perbuatan melawan hukum dalam arti materiil, adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga menjadi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
100 Fakultas Hukum - UNISAN
Implikasi Putusan MK
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006 yang menghilangkan eksistensi sifat melawan hukum materiil dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, berimplikasi secara hukum terhadap beberapa hal sebagai berikut :
A.1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagaimana yang diuraikan diatas, bahwa Pengakuan secara hukum tentang sifat melawan hukum formil maupun materiel, telah ditegaskan dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Norma ini yang menjadi landasan hukum keberadaan ajaran sifat melawan hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Adapun makna ajaran sifat melawan hukum formil dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah perbuatan yang diancam pidana dan dirumuskan sebagai suatu delik (tindak pidana) dalam undang-undang. Pandangan formil ini timbul karena didasari asumsi bahwa hukum adalah undang-undang. Sementara, makna melawan hukum materiel dapat diartikan, yaitu bukan hanya melawan peraturan perundang-undang saja, tetapi juga perbuatan yang melanggar hukum diluar peraturan perundang-undangan. Khusus untuk sifat melawan hukum materiel ini, dibagi lagi dalam fungsi yang negatif dan fungsi yang positif.
Ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negarif memberikan pandangan, bahwa hal-hal atau nilai-nilai yang berada diluar undang-undang (nilai-nilai kesusilaan, agama dan keyakinan di masyarakat), diakui kemungkinanya sebagai hal yang dapat menghapus atau me-negatif- kan sifat melawan hukumnya perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang. Menurut Tjandra Sridjaja Pradjonggo bahwa, sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negative bermakna sebagai alasan pembenar artinya sifat melawan hukum dari perbuatan tersebut menjadi hapus, sehingga perbuatan terdakwa menjadi perbuatan yang patut dan benar. Namun sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif tetap harus dibuktikan untuk mencapai keadilan dari suatu putusan hakim.
Sementara, ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif memberikan pandangan, bahwa suatu perbuatan tetap dianggap sebagai suatu delik atau tindak pidana, sekalipun perbuatan tersebut tidak secara eksplisit dirumuskan dan diancam dengan pidana dalam undang- undang, apabila perbuatan tersebut bertentangan dengan hukum atau ukuran-ukuran lain yang berada diluar undang-undang, seperti misalnya nilai kesusilaan, nilai agama, dan sebagainya. Dengan pemahaman yang demikian, maka ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif mengakui hal yang berada di luar undang-undang, yaitu nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat (hukum yang tidak tertulis) sebagai sumber hukum yang positif.
Dalam penerapan hukum khusus mengenai sifat melawan hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia dengan Putusan Nomor : 003/PUU-IV/2006 tertanggal 25 Juli 2006 telah menghilangkan ajaran sifat melawan hukum materiil, dimana dalam amar putusannya menyatakan bahwa :
Fakultas Hukum – UNISAN 101
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. III, No. 1 September 2015
Mengadili :
- Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian; - Menyatakan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150) sepanjang frasa yang berbunyi, “Yang dimaksud dengan ‘secara melawan hukum’ dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Menyatakan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150) sepanjang frasa yang berbunyi, “Yang dimaksud dengan ‘secara melawan hukum’ dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana”, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
- Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya; - Menolak permohonan Pemohon selebihnya.
Untuk sampai pada amar/diktum putusan sebagaimana dimaksud diatas, Mahkamah Konstitusi telah memberikan pertimbangan-pertimbangan hukum sebagai ratio decidendi sebuh putusan, yaitu yang berbunyi sebagai berikut :
“Menimbang bahwa selanjutnya yang perlu mendapat perhatian dan dipertimbangkan secara mendalam adalah kalimat pertama Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK, yang juga dimohonkan pengujian oleh Pemohon sebagaimana tertulis dalam petitum permohonannya meskipun Pemohon tidak memfokuskan argumentasinya secara khusus terhadap bagian tersebut. Pasal 2 ayat (1) tersebut
memperluas kategori unsur “melawan hukum”, dalam hukum pidana, tidak lagi hanya sebagai formele wederrechtelijkheid melainkan juga dalam arti materiele wederrechtelijkheid. Penjelasan Pasal 2 ayat
(1) kalimat bagian pertama tersebut berbunyi, “Yang dimaksud dengan ‘secara melawan hukum’ dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang- undangan, namun apabila
102 Fakultas Hukum - UNISAN
Implikasi Putusan MK
perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.”
Menimbang bahwa dengan bunyi penjelasan yang demikian, maka meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan secara formil, yaitu dalam pengertian yang bersifat onwetmatig , namun apabila menurut ukuran yang dianut dalam masyarakat, yaitu norma- norma sosial yang memandang satu perbuatan sebagai perbuatan tercela menurut norma sosial tersebut, di mana perbuatan tersebut dipandang telah melanggar kepatutan, kehati-hatian dan keharusan yang dianut dalam hubungan orang-perorang dalam masyarakat maka dipandang bahwa perbuatan tersebut telah memenuhi unsur melawan hukum (wederrechtelijk). Ukuran yang dipergunakan dalam hal ini adalah hukum atau peraturan tidak tertulis. Rasa keadilan (rechtsgevoel), norma kesusilaan atau etik, dan norma-norma moral yang berlaku di masyarakat telah cukup untuk menjadi kriteria satu perbuatan tersebut merupakan tindakan yang melawan hukum, meskipun hanya dilihat secara materiil. Penjelasan dari pembuat undang-undang ini sesungguhnya bukan hanya menjelaskan Pasal 2 ayat (1) tentang unsur melawan hukum, melainkan telah melahirkan norma baru, yang memuat digunakannya ukuran-ukuran yang tidak tertulis dalam undang-undang secara formal untuk menentukan perbuatan yang dapat dipidana. Penjelasan yang demikian telah menyebabkan kriteria perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUHPerdata) yang dikenal dalam hukum perdata yang dikembangkan sebagai jurisprudensi mengenai perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad), seolah-olah telah diterima menjadi satu ukuran melawan hukum dalam hukum pidana (wederrechtelijkheid). Oleh karena itu, apa yang patut dan yang memenuhi syarat moralitas dan rasa keadilan yang diakui dalam masyarakat, yang berbeda-beda dari satu daerah ke daerah lain, akan mengakibatkan bahwa apa yang di satu daerah merupakan perbuatan yang melawan hukum, di daerah lain boleh jadi bukan merupakan perbuatan yang melawan hukum;
Menimbang bahwa berkaitan dengan pertimbangan di atas, Mahkamah dalam Putusan Nomor 005/PUU-III/2005 telah pula menguraikan bahwa sesuai dengan kebiasaan yang berlaku dalam praktik pembentukan perundang-undangan yang baik, yang juga diakui mengikat secara hukum, penjelasan berfungsi untuk menjelaskan substansi norma yang terdapat dalam pasal dan tidak menambahkan norma baru, apalagi memuat substansi yang sama sekali bertentangan dengan norma yang dijelaskan.
Menimbang bahwa dengan demikian Mahkamah menilai memang terdapat persoalan konstitusionalitas dalam kalimat pertama Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK sehingga Mahkamah perlu mempertimbangkan lebih lanjut hal-hal sebagai berikut:
1. Pasal 28D ayat (1) mengakui dan melindungi hak konstitusional warga negara untuk memperoleh jaminan dan perlindungan hukum yang pasti, dengan mana dalam bidang hukum pidana diterjemahkan sebagai asas legalitas yang dimuat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, bahwa asas tersebut merupakan satu tuntutan akan kepastian hukum di mana orang hanya dapat dituntut dan diadili atas dasar suatu peraturan perundang-undangan yang tertulis (lex scripta) yang telah lebih dahulu ada;
2. Hal demikian menuntut bahwa suatu tindak pidana memiliki unsur melawan hukum, yang harus secara tertulis lebih dahulu telah berlaku, yang merumuskan perbuatan apa atau
Fakultas Hukum – UNISAN 103
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. III, No. 1 September 2015
akibat apa dari perbuatan manusia secara jelas dan ketat yang dilarang sehingga karenanya dapat dituntut dan dipidana, sesuai dengan prinsip nullum crimen sine lege stricta ;
3. Konsep melawan hukum yang secara formil tertulis ( formele wederrechtelijk ), yang mewajibkan pembuat undang-undang untuk merumuskan secermat dan serinci mungkin (Jan Remmelink, 2003:358) merupakan syarat untuk menjamin kepastian hukum (lex certa) atau yang dikenal juga dengan istilah Bestimmheitsgebot ;
Menimbang bahwa berdasarkan uraian di atas, konsep melawan hukum materiil (materiele wederrechtelijk), yang merujuk pada hukum tidak tertulis dalam ukuran kepatutan, kehati-hatian dan kecermatan yang hidup dalam masyarakat, sebagai satu norma keadilan, adalah merupakan ukuran yang tidak pasti, dan berbeda-beda dari satu lingkungan masyarakat tertentu ke lingkungan masyarakat lainnya, sehingga apa yang melawan hukum di satu tempat mungkin di tempat lain diterima dan diakui sebagai sesuatu yang sah dan tidak melawan hukum, menurut ukuran yang dikenal dalam kehidupan masyarakat setempat, sebagaimana yang disampaikan Ahli Andi Hamzah dalam persidangan;
Menimbang bahwa oleh karenanya Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK kalimat pertama tersebut, merupakan hal yang tidak sesuai dengan perlindungan dan jaminan kepastian hukum yang adil yang dimuat dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK sepanjang mengenai frasa “Yang dimaksud dengan ‘secara melawan hukum’ dalam pasal ini mencakup perbuatan-perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana”, harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945;”
Dengan demikian, berdasarkan dasar pertimbangan ( ratio decidendi ) dan amar putusan diatas, sejak dijatuhkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 tersebut, maka pengertian sifat melawan hukum dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diatur dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut, hanya perbuatan melawan hukum dalam pengertian formil saja.
Namun, yang harus menjadi catatan bahwa, pengakuan terhadap sifat melawan hukum materiil masih diakui dalam tindak pidana umum lainnya, karena yang dihilangkan oleh Mahkamah Konstitusi berdasarkan amar putusan diatas hanyalah sifat melawan hukum materii yang diatur dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
A.2. Yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) Sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 yang menghilangkan eksistensi sifat melawan hukum materiil sebagaimana yang diatur dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dalam yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) dikenal beberapa putusan yang masih menganut ajaran/sifat
104 Fakultas Hukum - UNISAN
Implikasi Putusan MK
melawan hukum materiil dalam tindak pidana korupsi. Misalnya Putusan Mahkamah Agung (MA) Tanggal 8 Januari 1966 No. 42/K/Kr/1965 dalam perkara Machroes Effendi, dan Putusan Mahkamah Agung (MA) tanggal 6 Desember 1976 No. 81K/Kr/1973 dalam perkara Moch. Otjo Danaatmadja.
Karena Berdasarkan amar (dictum) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 003/PUU-IV/2006 yang menyatakan bahwa sifat melawan hukum materiil yang diatur dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, maka Yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) seperti dalam Putusan No. 42/K/Kr/1965 dan Putusan No. 81K/Kr/1973 diatas, tidak bisa lagi dijadikan sebagai sumber hukum Formal oleh hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam menerapkan ajaran sifat melawan hukum materiil.
B. Kekuatan Mengikat Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Sifat Melawan Hukum Materiil Bagi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Mengenai kekuatan hukum mengikat undang-undang yang telah di- judicial review oleh Mahkamah Konstitusi, digambarkan dalam pasal 47 dan pasal 57 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi yaitu :
Pasal 47
Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam siding pleno terbuka untuk umum.
Pasal 57
1. Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa materi, muatan ayat, pasal dan bagian undang-undang dasar 1945, materi muatan ayat, pasal dan atau bagian undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat.
2. Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan pembentukan Undang- undang yang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945, undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Maksud dari Pasal 47 dan 57 dari UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi ini adalah bahwa putusan MK mempunyai kekuatan hukum mengikat pada saat selesai diucapkan, serta apabila MK dalam amar putusannya menyatakan bahwa UU tersebut bertentangan dengan UUD NRI 1945 baik itu dari segi proses pembentukannya maupun materi atau muatan ayat atau pasal dalam UU tersebut, maka secara otomatis Undang-Undang, pasal atau ayat tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat lagi.
Karena Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka putusan MK yang mengabulkan suatu permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, baik mengabulkan sebagian maupun seluruhnya, dengan sendirinya telah mengubah ketentuan suatu undang-undang dengan menyatakannya bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Fakultas Hukum – UNISAN 105
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. III, No. 1 September 2015
Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan suatu norma bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, mulai berlaku sejak saat setelah dibacakan dalam sidang pleno pembacaan putusan yang terbuka untuk umum. Bagi putusan yang mengabulkan permohonan, hal ini berarti sejak setelah pembacaan putusan tersebut, ketentuan undang-undang yang dibatalkan tidak berlaku lagi sehingga setiap penyelenggara Negara dan warga Negara tidak dapat lagi menjadikan sebagai dasar hukum kebijakan atau tindakan.
Berbicara mengenai eksistensi atau kekuatan bertahannya suatu putusan MK dikaitkan kedudukannya dalam Peraturan Perundang-Undangan dapat kita lihat sebenarnya bagaimana kedudukan Putusan MK dalam sistem Peratutan perundang-Undangan. Peraturan perundang-undangan adalah semua hukum dalam arti luas yang dibentuk dengan cara tertentu, oleh pejabat yang berwenang dan dituangkan dalam bentuk tertulis. Dalam artinya yang luas itu sebenarnya hukum dapat diartikan juga sebagai putusan hakim, terutama yang sudah berkekuatan hukum tetap. Hukum dalam arti luas mencakup semua peraturan yang dibuat oleh lembaga-lembaga tertentu sesuai dengan tingkat dan lingkup kewenangannya yang biasanya disebut peraturan perundang-undangan.
Jadi, status Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dianggap sederajat dengan Undang-Undang, karena Putusan MK melahirkan produk perundang-undangan yang nantinya akan berlaku setelah dibacakan putusan tersebut. Putusan MK yang menyatakan suatu pasal bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat wajib dimuat dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan, dengan demikian, maka Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut kembali menempel kepada induk Undang-Undang yang diujikan tersebut.
Putusan MK berisi pernyataan apa yang menjadi hukumnya dan sekaligus dapat meniadakan keadaan hukum dan menciptakan suatu keadaan hukum baru. Dalam perkara pengujian Undang- Undang atau Judicial Review , putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan bersifat declaratoir karena menyatakan apa yang menjadi hukum dari suatu norma undang-undang, yaitu bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan Pada saat yang bersamaan, putusan tersebut meniadakan keadaan hukum berdasarkan norma yang dibatalkan dan menciptakan keadaan hukum baru.
Khusus untuk sifat melawan hukum dalam tindak pidana korupsi, Pasca pengujian atau Judicial Review Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang tindak pidana korupsi, Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya No. 003/PUU-IV/2006 telah meniadakan keadaan hukum dengan menghilangkan frasa sifat melawan hukum materiil, dan pada saat yang bersamaan menciptakan keadaan hukum baru yaitu hanya mengakui sifat melawan hukum formil.
Karena Putusan Mahkamah Konstitusi mengikat dan sederajat dengan Undang-undang, maka hakim dalam tingkatan Judex Factie dan Mahkamah Agung harus tunduk dan mengikuti Putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006 yang telah menghilangkan sifat melawan hukum materiil, dan tidak lagi menjadikan sifat melawan hukum materiil sebagai pertimbangan hukum dalam memutuskan perkara tindak pidana korupsi.
Terlepas dari beberapa kekurangan yang terdapat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006, sebagaimana dalam anotasi peneliti sebelumnya. Maka kita tetap harus menghargai, mematuhi serta menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah hukum,
106 Fakultas Hukum - UNISAN
Implikasi Putusan MK
karena dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut melekat sebuah asas hukum Erga Omnes Principle (Putusan Mahkamah Konstitusi berlaku secara umum).
Selain itu juga, ketika Mahkamah Agung terus menyimpangi Putusan Mahkamah Mahkamah Konstitusi yang sebelumnya telah menghilangkan sifat melawan hukum materiil, maka pada hakikatnya Mahkamah Agung tidak hanya melabrak asas Erga Omnes Principle diatas , tetapi juga melabrak asas Legalitas dalam hukum pidana. Karena sala satu pertimbangan hukum yang digunakan Mahkamah Konstitusi, ketika menghilangkan sifat melawan hukum materiil dalam undang-undang tindak pidana korupsi, adalah karena hal tersebut (sifat melawan hukum materiil) bertentangan dengan pasal 28D ayat (1) yang mengakui dan melindungi hak konstitusional warga negara untuk memperoleh jaminan dan perlindungan hukum yang pasti, dengan mana dalam hukum pidana diterjemahkan sebagai asas legalitas yang dimuat dalam pasal 1 ayat (1) KUHP.
IV. PENUTUP
Implikasi hukum putusan mahkamah konstitusi No. 003/PUU-IV/2006 terhadap eksistensi sifat melawan hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi: Pertama , Pengertian sifat melawan hukum dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diatur dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut, hanya terbatas pada sifat melawan hukum dalam pengertian formil. Kedua , yurisprudensi Mahkamah Agung yang mengakui sifat melawan hukum materiil, diantaranya : Putusan Mahkamah Agung (MA) Tanggal 8 Januari 1966 No. 42/K/Kr/1965 dalam perkara Machroes Effendi dan Putusan Mahkamah Agung (MA) tanggal 6 Desember 1976 No. 81K/Kr/1973 dalam perkara Moch. Otjo Danaatmadja, tidak dapat lagi dijadikan sebagai sumber hukum Formal oleh hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam menerapkan ajaran sifat melawan hukum materiil.
Putusan Mahkamah Konstitusi memiliki kekuatan mengikat semenjak dibacakan dalam sidang pleno terbuka untuk umum, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 47 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Selain itu, dalam setiap putusan Mahkamah Konstitusi melekat asas Erga Omnes Principle (dimana putusan Mahkamah Konstitusi berlaku secara umum). Itu artinya, Putusan Mahkamah Agung No. 2064 K/ Pid/2006 semestinya mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006 yang telah menghilangkan sifat melawan hukum materiil dalam UU Tindak Pidana Korupsi. Ketundukan Mahkamah Agung terhadap Putusan Mahkamah Konsitusi, khususnya mengenai pasal atau ayat dalam undang-undang yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, harus dikuatkan berdasarkan pengaturan dalam undang-undang.
DAFTAR PUSTAKA
Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Alumni, Bandung, 2008. Bambang Purnomo (II), Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994. E.Y. Kanter & Sianturi, Asas-asas hukum pidana di Indonesia dan penerapannya. Storia Grafika,
Jakarta, 2002.
Fakultas Hukum – UNISAN 107
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. III, No. 1 September 2015
J. Satrio, Gugat Perdata Atas Dasar Penghinaan Sebagai Tindakan Melawan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005. Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia (Normative, Teoritis, Praktik dan Masalahnya), Alumni, Bandung, 2007. Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana , Bina Aksara, Jakarta, 2007. Sudarto, Hukum pidana Jilid 1, A-B, Fakultas Hukum Indonesia Diponegoro, semarang, 2007. Tjandra Sridjaja Pradjonggo, Sifat melawan hukum dalam tindak pidana korupsi, Indonesia Lawyers
Club, Jakarta, 2010. Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Prespektif Pembaharuan, UMM Press, Malang, 2009.
108 Fakultas Hukum - UNISAN
Persyaratan Penulisan