SIFAT FISIK TEPUNG TAPIOKA

B. SIFAT FISIK TEPUNG TAPIOKA

1. Bentuk dan Ukuran Granula Pati

Berdasarkan hasil pengamatan dengan menggunakan mikroskop cahaya terpolarisasi, dapat dilihat bahwa bentuk granula dari semua sampel tepung tapioka dengan ukuran granula yang tidak jauh berbeda untuk tiap sampel (Tabel 13). Hasil pengamatan bentuk granula tepung tapioka dapat dilihat pada Gambar 10.

Menurut Moorthy (2004), granula tepung tapioka menunjukan variasi yang besar yaitu sekitar 5-40 µ m dengan bentuk bulat dan oval. Febriyanti (1990) mendapati ukuran granula pati dari beberapa varietas tepung singkong berada pada kisaran 3-25 µ m.

Rata-rata ukuran granula tepung tapioka dalam penelititan ini menunjukan nilai yang tidak berbeda dengan studi terdahulu, yaitu sekitar 3-40 µm. Sriroth et al., (1999) melaporkan bahwa ukuran granula pati dari singkong yaitu sekitar 8-22 µm, dengan rata-rata ukuran granula yaitu 15 µm (14 bulan masa panen) dan 12 µm (16 bulan masa panen). Perbedaan ukuran granula dapat dipengaruhi oleh kondisi dan waktu panen singkong.

Tabel 13. Ukuran granula sampel

No. Sampel Ukuran Granula (µm)

1. Tapioka A 3-40

2. Tapioka B 3-40

3. Tapioka C 3-30

4. Tapioka D 3-30

5. Tapioka E 3-30

6. Tapioka F 3-40

Gambar 10. Granula Pati Tepung Tapioka (A, B, C, D, E, dan F)

2. Kehalusan (lolos ayak)

Kehalusan tepung tapioka berbeda nyata pada taraf signifikansi

0.05 (P<0.05), baik pada penyaringan dengan menggunakan ayakan 0.05 (P<0.05), baik pada penyaringan dengan menggunakan ayakan

Kehalusan sampel pada ayakan no.50 tidak berbeda nyata pada semua sampel tepung tapioka (P>0.05). Kehalusan sampel pada ayakan no.100 tidak berbeda nyata antara tapioka B, C, D, E, dan F (P>0.05). Kehalusan sampel pada ayakan no.150 tidak berbeda nyata antara tapioka B, C, D, dan F (P>0.05).

Tabel 14. Hasil pengukuran kehalusan sampel

Kehalusan sample (%) No.

Sampel No. 140

No.50 (300 µ m) No.100 (150 µ m)

(106 µ m)

a a 1. Tapioka a A 98.90 91.81 87.72

2. Tapioka B 99.83 a 96.81 b 92.10 b

a b 3. Tapioka b C 99.65 98.23 93.83

a b 4. Tapioka b D 99.83 98.65 93.55

5. Tapioka E 99.78 a 98.95 b 96.98 c

a b 6. Tapioka b F 99.63 95.69 92.43 Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama

menunjukan nilai yang

tidak berbeda nyata (P>0.05)

Kehalusan tepung tapioka tidak dipersyaratkan dalam SNI, namun mengacu pada TIA (The Tapioca Institute of America), maka kualitas tepung tapioka yang digunakan dalam penelitian ini, berdasarkan kehalusannya, termasuk ke dalam kategori grade C karena kehalusan semua sampel tepung tapioka telah memenuhi standar lolos ayak pada ayakan no.60 yaitu 95%. Sementara itu, kehalusan semua sampel tepung tapioka yang diayak dengan ayakan no.80 dan no.140 tidak memenuhi standar yang ditetapkan oleh TIA karena tidak memenuhi standar lolos ayak pada ayakan no.80 dan no.140 yaitu sebesar 99%.

3. Derajat Putih

Derajat putih antara tapioka A dan D tidak berbeda nyata, begitu juga derajat putih antara tapioka B dan F tidak berbeda nyata, serta derajat putih antara tapioka C dan E tidak berbeda nyata (P>0.05).

Derajat putih terbesar dimiliki oleh tapioka D dan terendah dimiliki oleh tapioka F.

Menurut Meyer (1960) dalam Mulyandari (1992), derajat putih sangat dipengaruhi oleh proses ekstraksi pati. Semakin murni proses ekstraksi pati, maka tepung yang dihasilkan akan semakin putih. Jika proses ekstraksi pati dilakukan dengan baik maka semakin banyak komponen pengotor yang hilang bersama air pada saat pencucian pati. Secara umum, nilai derajat putih keenam sampel tepung tapioka telah memenuhi SNI 01-3451-94 baik pada kategori mutu I yaitu minimal 94.5%, maupun mutu II yaitu minimal 92%, dan mutu III yaitu kurang dari 92%. Derajat putih tepung tapioka dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15. Derajat putih sampel

No. Sampel Derajat putih (%)

1. Tapioka A 99.91 a

2. Tapioka b B 95.62

3. Tapioka C 97.79 c

4. Tapioka a D 100.00

5. Tapioka E 97.90 c

6. Tapioka b F 95.22

Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukan bahwa nilainya tidak berbeda nyata (P>0.05)

4. Daya Kembang (Swelling power) dan Kelarutan

Secara umum, swelling power akan meningkat dengan bertambahnya suhu pengukuran. Namun, peningkatan swelling power berbeda untuk masing-masing sampel (Gambar 11)

Perbedaan nilai swelling power pada tepung tapioka dan MOCAL dapat terjadi karena adanya perbedaan kadar amilosa dan amilopektin. Charles et al. (2005) melaporkan bahwa pati yang memiliki kandungan amilosa yang berbeda akan memiliki sifat fungsional yang berbeda, antara lain swelling power dan kelarutan. Sasaki dan Matsuki (1998) dalam Li dan Yeh (2001) melaporkan bahwa proporsi yang tinggi pada rantai cabang amilopektin berkontribusi dalam peningkatan nilai swelling . Sasaki dan Matsuki (1998) dalam Li dan Yeh (2001) juga Perbedaan nilai swelling power pada tepung tapioka dan MOCAL dapat terjadi karena adanya perbedaan kadar amilosa dan amilopektin. Charles et al. (2005) melaporkan bahwa pati yang memiliki kandungan amilosa yang berbeda akan memiliki sifat fungsional yang berbeda, antara lain swelling power dan kelarutan. Sasaki dan Matsuki (1998) dalam Li dan Yeh (2001) melaporkan bahwa proporsi yang tinggi pada rantai cabang amilopektin berkontribusi dalam peningkatan nilai swelling . Sasaki dan Matsuki (1998) dalam Li dan Yeh (2001) juga

Tapioka A (g/g) 35.00 e r

Tapioka B 30.00 TapiokaC Pow 25.00 g

TapiokaD 20.00

llin e

Tapioka E w 15.00 S

Tapioka F 10.00

60 70 80 90 95 Suhu (oC)

Gambar 11. Pola swelling power sampel tepung tapioka

Dalam penelitian ini diperoleh korelasi yang positif antara kadar amilosa yang terdapat pada sampel dengan swelling power tetapi korelasinya sangat rendah dan tidak signifikan (Lampiran 7a). Hal ini sesuai dengan hasil studi yang dilaporkan oleh Charles et al. (2005), bahwa terdapat korelasi positif antara swelling power dengan kadar amilosa. Hal ini dapat dijelaskan dengan rendahnya kandungan lipida dalam tepung tapioka, sehingga kompleks antara amilosa dengan lipida tidak terlalu berpengaruh dalam menghambat swelling. Charles et al. (2005), juga melaporkan dalam studinya bahwa kadar lipida dalam lima jenis tepung tapioka yang berasal dari varietas singkong yang berbeda (Rayong 2, Rayong 5, KU50, Hanatee, dan YOO2) menunjukan nilai yang sama yaitu 0.1%.

Secara umum, kelarutan pati tepung tapioka meningkat seiring dengan peningkatan suhu pengukuran (Gambar 12). Menurut Pomeranz (1991), kelarutan pati akan meningkat dengan meningkatnya suhu, dan kecepatan peningkatan kelarutan adalah khas untuk tiap pati.

Tapioka A )

TapiokaB n 25

TapiokaC ruta 20

TapiokaD Kela 15

Tapioka E 10

Tapioka F 5

60 70 80 90 95 Suhu (oC)

Gambar 12. Pola kelarutan tepung tapioka

Perbedaan kelarutan pati antar sampel dapat terjadi karena perbedaan kandungan amilosa dan amilopektin. Charles et al. (2005) melaporkan bahwa pati yang memiliki kandungan amilosa dan amilopektin yang berbeda, menunjukan nilai swelling power dan kelarutan pati yang berbeda pula. Menurut Fleche (1985), ketika molekul pati sudah benar-benar terhidrasi, molekul-molekul tersebut mulai menyebar ke media yang ada di luarnya. Molekul yang pertama keluar adalah molekul-molekul amilosa yang memiliki rantai pendek. Semakin tinggi suhu maka semakin banyak molekul pati yang akan keluar dari granula pati. Mulyandari (1992) melaporkan selama pemanasan akan terjadi pemecahan granula pati, sehingga pati dengan kadar amilosa lebih tinggi, granulanya akan lebih banyak mengeluarkan amilosa. Korelasi positif terjadi antara amilosa dengan kelarutan pati (Lampiran 10a)

5. Pola Gelatinisasi

Pola gelatinisasi tepung tapioka dan MOCAL dipelajari dengan mengukur sifat-sifat amilografi sampel dengan menggunakan alat Brabender viscoamylograph OHG Duisburg Type 800121 . Pengamatan dilakukan terhadap suhu gelatinisasi (SG), viskositas maksimum (VM), suhu saat viskositas maksimum (SVM), stabilitas pasta (breakdown), viskositas balik (setback), dan stabiltas pendinginan. Pola gelatinisasi yang berbeda antar masing-masing sampel dapat terjadi karena perbedaan kadar amilosa. Charles et al. (2005) melaporkan bahwa pati yang memiliki kandungan amilosa yang berbeda akan memiliki sifat fungsional yang berbeda, antara lain suhu gelatinisasi, dan viskositas. Oleh karena itu pada penelitian ini, pola gelatinisasi sampel tepung tapioka dikorelasikan dengan kadar amilosa yang dikandungnya. Hasil pengukuran sifat amilografi tepung tapioka disajikan pada Tabel 16, sedangkan pola gelatinisasi tepung tapioka dapat dilihat pada Gambar

a. Suhu gelatinisasi (SG)

Suhu gelatinisasi terendah dimiliki oleh tapioka D yaitu 62.25ºC, sedangkan suhu gelatinisasi yang tertinggi ada pada tapioka

B yaitu 67.50ºC. Suhu gelatinisasi yang lebih rendah pada tapioka D menunjukan bahwa hidrasi atau pengikatan air pada tapioka D lebih mudah terjadi, sehingga pada suhu yang lebih rendah, granula pati pada tapioka D sudah mulai tergelatinisasi. Menurut Swinkels (1985), suhu gelatinisasi tapioka berkisar antara 65-70°C. Sedangkan menurut Winarno (2002) dan Pomeranz (1991), suhu gelatinisasi tapioka berada pada kisaran 52-64°C.

Perbedaan suhu gelatinisasi antar sampel tepung tapioka dapat terjadi karena perbedaan kadar amilosa. Charles et al. (2005) melaporkan bahwa suhu gelatinisasi dipengaruhi oleh kadar amilosa.

Tabel 16. Sifat amilografi sampel

Sampel Suhu

Suhu

Viskositas Viskositas Viskositas Viskositas Viskositas Breakdown Setback Stabilitas

gelatinisasi Viskositas Maksimum

(BU) fase

Tapioka A 65.25 75.75 1620 640 465 710 820 15 245 110 Tapioka B 67.50 76.50 1520 630 455 580 680 1065 125 100 Tapioka C 63.75 74.25 1430 530 340 420 490 1090 80

70 Tapioka D 62.25 72.90 1700 700 495 720 810 1205 225 90 Tapioka E 64.50 74.25 1720 650 500 750 900 1220 250 150

Tapioka F 63.75 73.50 950

Tapioka A

Tapioka B

(BU

Tapioka C

as

Tapioka D Tapioka E

Viskosit

Tapioka F

Suhu (oC)

Gambar 13. Grafik pola gelatinisasi tepung tapioka

Struktur amilosa yang sederhana ini dapat membentuk interaksi molekular yang kuat dengan air, sehingga pembentukan ikatan hidrogen ini lebih mudah terjadi pada amilosa (Taggart, 2004). Namun, berdasarkan uji korelasi diperoleh korelasi yang lemah antara suhu gelatinisasi dengan kadar amilosa (r=0.558).

b. Viskositas maksimum (VM) dan suhu pencapaiannya (SVM)

Viskositas maksimum yang dapat dicapai oleh pati disebut juga viskositas puncak. Sedangkan suhu viskositas maksimum (SVM) adalah suhu saat pati mencapai viskositas maksimum. Viskositas maksimum (VM) terbesar dimiliki oleh tapioka E yaitu 1720 BU (Tabel 16), yang berarti kemampuan granula patinya dalam menghidrasi air lebih besar dibandingkan sampel lainnya. Pemecahan granula pati pada E juga lebih cepat dibandingkan sampel lainnya. Hal ini dapat dilihat dari kisaran suhu sampel mulai tergelatinisasi (SG) sampai mencapai viskositas maksimum (SVM) yaitu 64.5- 74.25°C. Sementara itu, viskositas maksimum (VM) terendah pada tapioka F yaitu 950 BU

Perbedaan viskositas maksimum antar sampel tepung tapioka dapat terjadi karena perbedaan kadar amilosa. Charles et al. (2005) melaporkan bahwa semakin tinggi kadar amilosa maka viskositas maksimum pati akan semakin tinggi. Pada penelitian ini diperoleh adanya korelasi antara kadar amilosa dan viskositas maksimum (r=0.541), tetapi tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (P>0.05). Hasil analisis korelasi menunjukan bahwa korelasi antara viskositas maksimum dengan swelling power sangat rendah. Hal ini ditandai dengan kecilnya nilai koefisien korelasi antar keduanya yaitu 0.032. Hal ini dapat terjadi karena suhu viskositas maksimum yang dicapai oleh sampel masih berada di kisaran 70°C, sedangkan pengukuran swelling power mencapai suhu 95°C dan pengukurannya tidak kontinu.

Semakin tinggi viskositas maksimum, berarti kemampuan pati dalam menyerap air semakin besar dan daya thickening-nya (kelengketan) semakin besar. Sehingga hal ini memungkinkan penggunaan tepung dalam jumlah yang lebih sedikit untuk mencapai viskositas tertentu, dan akhirnya dapat mengurangi biaya produksi.

c. Stabilitas pasta panas (breakdown)

Stabilitas pasta panas diukur berdasarkan perubahan viskositas dari viskositas maksimum (VM) sampai viskositas selama pemanasan pada suhu konstan (95°C). Stabilitas pasta panas juga dikenal sebagai breakdown . Stabilitas pasta panas bernilai positif jika terjadi peningkatan viskositas dan bernilai negatif jika terjadi penurunan viskositas. Pada Gambar 12, viskositas tiap sampel selama penahanan terus mengalami penurunan. Hal ini berarti stabilitas pasta panas untuk semua sampel bernilai negatif.

Berdasarkan hasil pengukuran (Tabel 16), dapat dilihat bahwa pasta panas tapioka F cenderung lebih stabil dibandingkan sampel lainnya karena memiliki kemampuan yang lebih baik dalam mempertahankan viskositasnya selama pemanasan. Hal ini ditunjukan dengan rendahnya nilai breakdown sampel tersebut yaitu 390 BU. Stabilitas pasta panas terendah pada sampel E yaitu dengan nilai breakdown sebesar 1220 BU. Nilai breakdown yang besar selama pemasakan menunjukan bahwa granula pati yang telah membengkak secara keseluruhan memiliki sifat yang rapuh. Selain itu, pengadukan yang kontinu juga menyebabkan granula pati yang rapuh akan pecah sehingga viskositas turun secara tajam (Pomeranz, 1991).

Stabilitas pasta panas pada tepung tapioka juga dapat dipengaruhi oleh pH. Menurut Winarno (2002), bila pH terlalu tinggi, pembentukan pasta makin cepat tercapai tetapi cepat turun lagi, sedangkan bila pH terlalu rendah, pembentukan pasta menjadi lambat dan viskositasnya akan turun bila proses pemanasan dilanjutkan. Berdasarkan uji korelasi terdapat korelasi yang kuat antara stabilitas Stabilitas pasta panas pada tepung tapioka juga dapat dipengaruhi oleh pH. Menurut Winarno (2002), bila pH terlalu tinggi, pembentukan pasta makin cepat tercapai tetapi cepat turun lagi, sedangkan bila pH terlalu rendah, pembentukan pasta menjadi lambat dan viskositasnya akan turun bila proses pemanasan dilanjutkan. Berdasarkan uji korelasi terdapat korelasi yang kuat antara stabilitas

d. Viskositas balik (setback)

Viskositas balik (setback) merupakan selisih antara viskositas pada akhir pemasakan pada suhu konstan (95°C) dengan viskositas pada akhir pendinginan (50°C). Nilai setback ini menunjukan kecenderungan pati dalam beretrogradasi.

Semakin tinggi viskositas setback berarti semakin tinggi pula kemampuan pati dalam beretrogradasi (Li dan Yeh, 2001). Berdasarkan hasil pengukuran (Tabel 16) diperoleh bahwa tapioka E memiliki kecenderungan yang besar untuk beretrogradasi, hal ini ditunjukan dengan tingginya nilai viskositas setback tapioka E yaitu 250 BU. Hal ini menunjukan bahwa molekul-molekul amilosa dalam tapioka E memiliki kecenderungan yang besar untuk kembali berikatan satu sama lain saat proses pendinginan (cooling). Berbeda dengan tapioka E, kemampuan tapioka F dalam beretrogradasi paling kecil dibandingkan dengan sampel lainnya. Hal ini dapat dilihat dari nilai viskositas setback tapioka F yang sangat kecil yaitu 40 BU.

Perbedaan nilai setback antar sampel tepung tapioka juga dapat terjadi karena perbedaan kadar amilosa, seperti yang telah dilaporkan oleh Charles et al. (2005) bahwa semakin tinggi kadar amilosa pati maka viskositas setback akan semakin tinggi. Berdasarkan uji korelasi, terdapat korelasi yang kuat antara kadar amilosa dengan viskositas setback (r=0.633), tetapi tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (P>0.05).

e. Stabilitas pasta selama fase pendinginan

Stabilitas pasta dingin diperoleh dari selisih viskositas selama pendinginan pada suhu konstan (50°C). Stabilitas pasta dingin digunakan untuk mengetahui kestabilan pasta pati terhadap proses pengadukan selama pendinginan setelah pemasakan. Viskositas yang tinggi menunjukan stabilitas pasta dingin yang lebih rendah, karena perubahan viskositasnya selama pendinginan konstan sangat besar. Tapioka F memiliki nilai stabilitas pasta dingin paling tinggi yaitu 50 BU dan 40 BU. Hal ini menunjukan kemampuan ikatan antara molekul tapioka F terhadap air cenderung tinggi selama pendinginan dan tidak terlalu terpengaruh oleh proses pengadukan, sehingga stabilitasnya selama fase pendinginan pada suhu konstan (50°C) lebih stabil. Nilai stabilitas pasta dingin yang terendah dimiliki oleh tapioka

E yaitu 150 BU. Hal ini menunjukan bahwa stabilitas pasta dingin pada tapioka E cenderung kurang stabil akibat pengadukan, sehingga peningkatan viskositasnya selama pendinginan pada suhu konstan (50°C) cukup tinggi.

Berdasarkan uji korelasi, terdapat korelasi antara kadar amilosa dengan stabilitas pasta pada fase pendinginan (r=0.542), tetapi korelasi antara keduanya tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi

0.05 (P>0.05).