Mempelajari Karakteristik Kimia Dan Fisi

SKRIPSI MEMPELAJARI KARAKTERISTIK KIMIA DAN FISIK TEPUNG TAPIOKA DAN MOCAL (MODIFIED CASSAVA FLOUR) SEBAGAI PENYALUT KACANG PADA PRODUK KACANG SALUT

Oleh: ADIE MUHAMMAD RAHMAN F24103077 2007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Adie Muhammad Rahman. F24103077. Mempelajari Karakteristik Kimia Dan Fisik Tepung Tapioka Dan MOCAL (Modified Cassava Flour) Sebagai Penyalut Kacang Pada Produk Kacang Salut . Di bawah Bimbingan Ratih Dewanti-Hariyadi dan Feri Kusnandar. 2007.

Ringkasan

Tepung tapioka merupakan salah satu bahan baku dalam pembuatan penyalut pada produk kacang salut. Mutu kacang salut yang dihasilkan dapat dipengaruhi oleh sifat atau karakteritik tepung tapioka yang digunakan, namun belum ada penelitian yang memberikan informasi tentang sifat atau karakteristik tepung tapioka yang berkaitan dengan mutu kacang salut. Dalam penelitian ini, selain tepung tapioka juga digunakan MOCAL (Modified Cassava Flour). MOCAL merupakan produk turunan dari tepung singkong hasil pengembangan Laboratorium Kimia dan Biokimia Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember (LAB KBHP-UNEJ).

Penelitian bertujuan untuk mempelajari karakteristik kimia dan fisik beberapa sampel tepung tapioka dan MOCAL, kemudian mengkorelasikan karakteritik tersebut dengan tingkat pengembangan papatan dan kerenyahan penyalut pada produk kacang salut. Kemudian menentukan karakteristik yang paling relevan terhadap kerenyahan penyalut serta menentukan sampel yang memberikan kerenyahan tertinggi terhadap penyalut pada produk kacang salut.

Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan. Tahap pertama yaitu analisis sifat kimia dan fisik, yang meliputi analisis kadar air, kadar abu, kadar pati, kadar amilosa, nilai pH, bentuk dan ukuran pati, kehalusan, derajat putih, swelling power dan kelarutan, serta sifat amilografi, kemudian juga dilakukan analisis tingkat pengembangan papatan tepung tapioka (tapioka A, B, C, D, E, dan F) serta MOCAL. Tahap berikutnya yaitu aplikasi tepung tapioka dan MOCAL sebagai penyalut pada produk kacang salut. Selanjutnya dilakukan analisis tekstur (kerenyahan) pada semua produk kacang salut yang dihasilkan dari tiap sampel dan mengkorelasikan sifat kimia dan fisik dari sampel yang relevan terhadap kerenyahan penyalut pada kacang salut tersebut.

Hasil analisis menunjukkan karakteristik kimia dan fisik yang berbeda antar sampel tepung tapioka, begitu pula dengan MOCAL. Berdasarkan hasil analisis korelasi, karakteristik yang paling relevan terhadap tingkat pengembangan papatan dan kerenyahan penyalut pada kacang salut adalah rasio amilosa dan amilopektin. Sementara itu, karakteristik lainnya seperti kadar air, kadar abu, kadar pati, nilai pH, bentuk dan ukuran pati, kehalusan, derajat putih, swelling power dan kelarutan, serta sifat amilografi tidak terlalu berpengaruh terhadap tingkat pengembangan papatan dan kerenyahan penyalut pada produk kacang salut.

Korelasi negatif dan nyata terjadi antara tingkat pengembangan papatan maupun kerenyahan rasio amilosa dan amilopektin (P<0.05). Maka dapat disimpulkan bahwa semakin rendah rasio amilosa dan amilopektin, tingkat pengembangan papatan dan kerenyahan penyalut akan semakin besar. Tingkat pengembangan papatan dan kerenyahan tertinggi dimiliki oleh penyalut yang dihasilkan dari tapioka F, sedangkan yang terendah yaitu pada sample MOCAL. Oleh karena itu MOCAL tidak cocok untuk digunakan sebagai penyalut pada produk kacang salut.

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN MEMPELAJARI KARAKTERISTIK KIMIA DAN FISIK TEPUNG TAPIOKA DAN MOCAL (MODIFIED CASSAVA FLOUR) SEBAGAI PENYALUT KACANG PADA PRODUK KACANG SALUT SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh: ADIE MUHAMMAD RAHMAN F24103077

Dilahirkan pada tanggal 5 Desember 1985 di Jakarta Tanggal Lulus: 30 November 2007

Menyetujui, Bogor, Januari 2008

Dr.Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc Dr.Ir. Feri Kusnandar, Msc Rahadi Kusuma, STP Dosen Pembimbing I

Dosen Pembimbing II Pembimbing Lapang

Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.

Ketua Departemen ITP

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 5 Desember 1985 sebagai anak ke lima dari delapan bersaudara pasangan Salamah dan Sunaryo. Penulis mengawali masa pendidikannya pada tahun 1991 di Sekolah Dasar Negeri Karet 05 Pagi Jakarta hingga tahun 1997. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan menengah pertama di SLTP Negeri 58 Jakarta hingga tahun

2000, dan melanjutkan pendidikan menengah atas di SMU Negeri 3 Jakarta hingga tahun 2003. Pada tahun yang sama, penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI.

Selama masa kuliah, penulis aktif di berbagai kegiatan dan organisasi kemahasiswaan, diantaranya adalah menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan (HIMITEPA) serta kepanitiaan lainnya seperti Masa Perkenalan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan (BAUR 2004), Pelatihan Web dan Graphic Design HIMITEPA, dan MC dalam acara Focus Group Discussion ”Formalin: Kebutuhan Yang Tidak Dibutuhkan” HIMITEPA. Penulis juga pernah menjadi asisten Praktikum Kimia Dasar TPB-IPB pada tahun 2005 dan 2006.

Sebagai tugas akhir, penulis melakukan kegiatan penelitian di Perusahaan pengolahan kacang. Penulis mengambil penelitian dengan judul Mempelajari Karakteristik Kimia Dan Fisik Tepung Tapioka Dan MOCAL (Modified Cassava Flour ) Sebagai Penyalut Kacang Pada Produk Kacang Salut, di bawah bimbingan Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc dan Dr. Ir. Feri Kusnandar MSc.

KATA PENGANTAR

Alhamdulillaahirabbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul Mempelajari Karakteristik Kimia Dan Fisik Tepung Tapioka Dan Mocal (Modified Cassava Flour) Sebagai Penyalut Kacang Pada Produk

Kacang Salut , sebagai tugas akhir untuk mendapatkan gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Insitut Pertanian Bogor.

Selama melaksanakan penelitian dan penyelesaian skripsi ini penulis telah mendapatkan banyak bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada :

1. Ayah dan Mama tercinta, Kak’Wi, Ka’Na, Bang’De, Ima, Lely, Ita dan Ois, Abank, ka’Dety, serta Adinda, Nuha, Aulia, Ayu, Delila dan Zaky, yang senantiasa memberikan kasih sayang dan cinta kepada penulis untuk terus berjuang dan bersemangat!!!

2. Dr. Ir. Ratih Dewanti-hariyadi, Msc., selaku dosen pembimbing pertama yang banyak memberikan arahan dan bimbingannya kepada penulis.

3. Dr. Ir. Feri Kusnandar, Msc., selaku dosen pembimbing kedua yang juga banyak memberikan arahan dan bimbingannya kepada penulis.

4. Ir. Betty Silalahi selaku general manager yang telah mengizinkan penulis untuk melaksanakan tugas akhir di Perusahan pengolahan kacang.

5. Mba Vivi dan Mas Rahadi selaku pembimbing lapang yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis. You are the best!

6. Wati, Maya, dan Reza, selaku teman seperjuangan penulis selama menyelesaikan tugas akhir. Thank you so much for all the moments that we share!!!

7. Rekan-rekan kerja di perusahaan, Mba Suzan, mba Tri, mba Ratih, Willy, Ranto, Mas’No, Haris, Nita, Christin, Deni, mba Sundari, Nizar, Putri, Nani, Lidya, Susi, Mba Titin, serta rekan-rekan lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Terima kasih atas bantuan, semangat, keceriaan, dan kehangatannya kepada penulis selama melakukan tugas akhir.

8. Sahabat-sahabat terbaik penulis, Mitoel, Chusni, Indah, Fitri, Tylo, Arie, Pa’de, Ujo, RT, Arga, Sarwo, Ados, Yoga, Lichan, dan Oneth. You guys are like a star..Not aways seen but always there..

9. Irmawati, terima kasih untuk semangatnya! Be strong and tough girl!!!

10. Teman-teman ITP 40, Jeng’ye, Lasty, Tatan, Ade, Aca, Widhi, Iin, Vina, Nooy, Nana, Ina, Dion, Agnes, Gadink, hendy, Aan, Dhea, Rahmat, dan yang lainnya, serta teman-teman ITP 41 yang telah banyak memberikan bantuan dan semangat kepada penulis.

11. Teknisi dan laboran, pak Iyas, bu Rub, pak Koko, teh Ida, mba Ari, pak Rojak, pak Wahid, serta pak Sobirin.

12. Semua pihak yang telah membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, pemulis mengharapkan kritik dan saran membangun untuk memperbaiki dan menyempurnakan penulisan skripsi ini selanjutnya.

Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat benrmanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan dan bagi pengembangan ilmu dan penerapan pembelajaran khususnya bagi Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2007

Penulis

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Tepung tapioka merupakan salah satu produk hasil olahan singkong yang banyak digunakan sebagai bahan baku utama maupun bahan penolong dalam beberapa produk pangan baik di rumah tangga maupun industri. Salah satu penggunaan tepung tapioka dalam industri pangan adalah sebagai penyalut pada produk kacang salut. Penyalut pada produk tersebut diharapkan memiliki tingkat pengembangan dan kerenyahan yang baik, namun dalam aplikasinya penggunaan jenis tepung tapioka yang berbeda akan menghasilkan mutu penyalut yang berbeda pula. Perbedaan mutu produk kacang salut yang dihasilkan dapat dipengaruhi oleh sifat atau karakteritik tepung tapioka yang digunakan, namun belum ada penelitian yang memberikan informasi tentang sifat atau karakteristik tepung tapioka yang diperlukan bagi suatu penyalut kacang.

Menurut Radley (1976), fungsionalitas pati pada produk pangan ataupun nonpangan tergantung dari sifat fisik pati. Sifat fisik pati tersebut dipengaruhi oleh dua komponen utama dalam pati yaitu amilosa dan amilopektin. Menurut Matz (1992), tingkat pengembangan dan tekstur dari makanan ringan (snack) dipengaruhi oleh rasio dari amilosa dan amilopektin. Menurut Balagopalan et al. (1988), tekstur pada produk berbahan dasar pati diperoleh dari hasil perubahan pati selama dan setelah pemasakan. Beberapa faktor yang mempengaruhi tekstur produk antara lain gelatinisasi, daya kembang, viskositas, dan retrogradasi. Faktor pH pada pati juga dapat mempengaruhi mutu produk berbahan dasar pati. Menurut Taggart (2004), asam dapat mengganggu ikatan hidrogen yang terdapat dalam pati, sehingga menyebabkan granula pati lebih mudah untuk mengembang.

Dalam penelitian ini, selain tepung tapioka juga digunakan MOCAL (Modified Cassava Flour). MOCAL merupakan produk turunan dari tepung singkong hasil pengembangan Laboratorium Kimia dan Biokimia Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember (LAB KBHP- UNEJ), yang memiliki potensi menjadi bahan baku utama dalam pembuatan Dalam penelitian ini, selain tepung tapioka juga digunakan MOCAL (Modified Cassava Flour). MOCAL merupakan produk turunan dari tepung singkong hasil pengembangan Laboratorium Kimia dan Biokimia Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember (LAB KBHP- UNEJ), yang memiliki potensi menjadi bahan baku utama dalam pembuatan

B. TUJUAN

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:

1. Mempelajari karakteristik kimia dan fisik beberapa sampel tepung tapioka dan MOCAL.

2. Mempelajari korelasi antara karakteristik kimia dan fisik sampel tersebut dengan tingkat pengembangan papatan dan kerenyahan penyalut pada produk kacang salut.

3. Menentukan karakteristik yang paling relevan terhadap kerenyahan penyalut pada produk kacang salut.

4. Mempelajari karakteristik sampel yang memberikan kerenyahan tertinggi terhadap penyalut pada produk kacang salut.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. TEPUNG TAPIOKA

Tepung tapioka merupakan pati yang diekstrak dari singkong. Dalam memperoleh pati dari singkong (tepung tapioka) harus dipertimbangkan usia atau kematangan dari tanaman singkong. Usia optimum yang telah ditemukan dari hasil percobaan terhadap salah satu varietas singkong yang berasal dari jawa yaitu San Pedro Preto adalah sekitar 18-20 bulan (Grace, 1977). Ketika umbi singkong dibiarkan di tanah, jumlah pati akan meningkat sampai pada titik tertentu, lalu umbi akan mejadi keras dan menyerupai kayu, sehingga umbi akan sulit untuk ditangani ataupun diolah. Komposisi kimia tepung tapioka dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi kimia tepung tapioka

Energi (kalori/100 gram)

Sumber: Grace (1977)

Dalam Standar Nasional Indonesia (SNI), nilai pH tepung tapioka tidak dipersyaratkan. Namun demikian, beberapa institusi mensyaratkan nilai pH untuk mengetahui mutu tepung tapioka berkaitan dengan proses pengolahan. Salah satu proses pengolahan tepung tapioka yang berkaitan dengan pH adalah pada proses pembentukan pasta. Menurut Winarno (2002), pembentukan gel optimum terjadi pada pH 4-7. Bila pH terlalu tinggi, pembentukan pasta makin cepat tercapai tetapi cepat turun lagi. Sebaliknya, bila pH terlalu rendah, pembentukan pasta menjadi lambat dan viskositasnya akan turun bila proses pemanasan dilanjutkan. The Tapioca Institute of America (TIA) menetapkan standar pH tepung tapioka sekitar 4.5-6.5 (Radley, 1976). Syarat mutu tepung tapioka sesuai SNI dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Syarat mutu tepung tapioka menurut SNI 01-3451-1994

Persyaratan No. Jenis uji Satuan Mutu I Mutu II Mutu III

1. Maks.15.

Kadar air

Maks.15.0 Maks.15.0

2. Maks.

Kadar abu

Maks. 0.60 Maks. 0.60

3. Serat dan benda

Maks.

Maks. 0.60 Maks. 0.60 asing

4. Derajat putih % Min. 94.5 Min. 92.0 <92 (BaSO4=100%)

Volume

5. Derajat asam

NaOH

Maks. 3 Maks. 3 Maks. 3

1N/100g

6. Cemaran logam - Timbal

Maks. 1.0 Maks. 1.0 Maks. 1.0 - Tembaga

mg/kg

Maks. 10.0 Maks. 10.0 - Seng

mg/kg

Maks.

10.0 Maks. 40.0 Maks. 40.0 - Raksa

mg/kg

Maks. 0.05 Maks. 0.05 - Arsen

mg/kg

Maks.

mg/kg

40.0 Maks. 0,5 Maks. 0,5

Maks.

0.05 Maks. 0,5

7. Cemaran mikroba

Koloni/g Maks. 1.0 Maks. 1.0 Maks. 1.0 x

6 6 - Angka 6 x 10 x 10 10 lempeng

- - total

Koloni/g

Koloni/g Maks. 1.0 Maks. 1.0 Maks. 1.0 x - E. coli

x 10 4 x 10 4 10 4 - Kapang

Kehalusan tepung juga penting untuk menentukan mutu tepung tapioka. Tepung tapioka yang baik adalah tepung yang tidak menggumpal dan memiliki kehalusan yang baik. Dalam SNI tidak dipersyaratkan mengenai kehalusan tepung tapioka. Salah satu institusi yang mensyaratkan kehalusan sebagai syarat mutu tepung tapioka adalah The Tapioca Institute of America (TIA), yang membagi tepung tapioka menjadi tiga kelas (grade) berdasarkan kehalusannya. Standar kehalusan tepung tapioka menurut TIA disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3. Standar kehalusan tepung tapioka

Grade % Lolos ayak

Sumber : Radley (1976)

Tepung tapioka dibuat dengan mengekstrak bagian umbi singkong. Proses ekstraksi umbi kayu relatif mudah, karena kandungan protein dan lemaknya yang rendah. Jika proses pembuatannya dilakukan dengan baik, pati yang dihasilkan akan berwarna putih bersih (Moorthy, 2004). Berdasarkan derajat keputihan, maka semakin putih tepung tapioka mutunya juga semakin baik. Hal ini terdapat di dalam SNI 01-3451-1994 yang membagi tepung tapioka menjadi tiga kelas berdasarkan derajat keputihan, seperti tercantum pada Tabel 2 di atas.

Pada pembuatan produk pangan juga demikian, tepung tapioka yang lebih putih biasanya lebih diharapkan sebagai bahan baku. Contohnya pada produk kacang salut, penyalut pada produk diharapkan dapat menghasilkan warna putih yang baik (tidak kusam), sehingga produk lebih dapat diterima oleh konsumen dari segi organoleptik.

Dalam hal teknologi, ada perbedaan proses pembuatan tepung tapioka antara industri besar dan industri rumah tangga. Pada industri besar, proses pembuatan tepung tapioka biasanya dilakukan dengan menggunakan alat-alat atau mesin-mesin yang canggih, sedangkan pada industri rumah tangga pembuatan tepung tapioka biasanya dilakukan secara tradisional dengan menggunakan alat-alat yang sederhana. Secara umum, diagram alir pembuatan tepung tapioka disajikan dalam Gambar 1.

Umbi singkong Pengupasan dan pencucian

Pemarutan Penyaringan Pengendapan

Ampas

Pencucian pati Pengeringan Pati singkong (tepung tapioka)

Gambar 1. Diagram alir pembuatan tepung tapioka (Holleman dan Aten,

B. TEPUNG SINGKONG

Ubi kayu atau singko ng merupakan sumber karbohidrat yang penting setelah padi, jagung, dan sagu. Singkong memiliki nama botani Manihot esculenta Crantz tapi lebih dikenal dengan nama Manihot utilissima. Singkong dapat dimanfaatkan secara langsung sebagai bahan pangan pokok ataupun diolah menjadi produk setengah jadi berupa pati singkong (tepung tapioka), gaplek, dan tepung singkong.

Menurut SNI 01-2997-1992, tepung singkong adalah tepung yang dibuat dari bagian umbi singkong yang dapat dimakan, melalui penepungan singkong iris, parut, ataupun bubur kering dengan mengindahkan ketentuan- ketentuan kebersihan. Syarat mutu tepung singkong sesuai SNI dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Syarat mutu tepung singkong menurut SNI 01-2997-1992

No. Jenis uji Satuan Persyaratan

1. Keadaan - Bau

Khas singkong - Rasa

Khas singkong - Warna

Putih

2. Benda asing

Tidak boleh ada

3. Derajat putih

Min. 85

4. Kadar abu

% b/b

Maks. 1.5

5. Kadar air

% b/b

Maks. 12

6. Derajat asam ml N NaOH/100g Maks. 3

7. Asam sianida

mg/kg

Maks. 40

8. Kehalusan % lolos (80 mesh) Min. 90

9. Kadar pati

% b/b

Min. 75

10. Bahan Tambahan

Sesuai SNI 01-

Pangan

0222-1995

11. Cemaran logam - Timbal

Maks. 1.0 - Tembaga

mg/kg

Maks. 10.0 - Seng

mg/kg

Maks. 40.0 - Raksa

mg/kg

Maks. 0.05 - Arsen

mg/kg

mg/kg

Maks. 0,5

12. Cemaran mikroba - Angka lempeng 6 Koloni/g Maks. 1.0 x 10

total - E. coli

<3 - Kapang 4 Koloni/g Maks. 1.0 x 10

APM/g

Tepung singkong telah banyak digunakan dalam pembuatan produk- produk pangan, antara lain seperti roti, biskuit, mie instan, dan lain-lain. Tepung singkong dapat dimodifikasi untuk memperoleh mutu produk yang lebih baik dan sesuai dengan keinginan. Modifikasi tepung singkong telah dilakukan oleh peneliti terdahulu seperti Muharram (1992), yang memodifikasi tepung singkong dengan pengukusan, penyangraian, dan penambahan GMS (Glyceril Mono Stearat).

Selain itu, modifikasi tepung singkong juga telah dilakukan oleh Laboratorium Kimia dan Biokimia Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember (LAB KBHP-UNEJ). Modifikasi tepung singkong tersebut dilakukan melalui proses fermentasi, sehingga dihasilkan produk baru yang merupakan turunan dari tepung singkong yang diberi nama MOCAL (Modified Cassava Flour).

C. MOCAL

MOCAL atau Modified Cassava Flour merupakan produk turunan dari tepung singkong yang menggunakan prinsip modifikasi sel singkong secara fermentasi (Subagio, 2006). Secara teknis, cara pengolahan MOCAL sangat sederhana, mirip dengan cara pengolahan tepung singkong biasa, namun disertai dengan proses fermentasi. Singkong dibuang kulitnya, dikerok lendirnya, dan dicuci sampai bersih. Kemudian dilakukan pengecilan ukuran singkong dilanjutkan dengan tahap fermentasi selama 12-72 jam. Setelah fermentasi, singkong tersebut dikeringkan kemudian ditepungkan sehingga dihasilkan produk MOCAL (Gambar 2).

Subagio (2006) melaporkan bahwa mikroba yang tumbuh pada singkong akan menghasilkan enzim pektinolitik dan selulolitik yang dapat menghancurkan dinding sel singkong sedemikian rupa sehingga terjadi pembebasan granula pati. Proses pembebasan granula pati ini akan menyebabkan perubahan karakteristik dari tepung yang dihasilkan berupa naiknya viskositas, kemampuan gelasi, daya rehidrasi, dan kemudahan melarut. Selanjutnya granula pati tersebut akan mengalami hidrolisis menghasilkan monosakarida sebagai bahan baku untuk menghasilkan asam- asam organik. Senyawa asam ini akan bercampur dalam tepung, sehingga ketika tepung tersebut diolah akan menghasilkan aroma dan cita rasa yang khas yang dapat menutupi aroma dan cita rasa singkong yang cenderung tidak disukai konsumen. Spesifikasi MOCAL yang diproduksi oleh Koperasi Loh Jinawi Trenggalek disajikan dalam Tabel 5.

Singkong

Pengupasan Pencucia

n Pengecilan ukuran

Senyawa aktif A dan

Perendaman

Penggaraman

Larutan Garam

Pengeringan matahari

Penepungan Pengayakan

MOCAL

Gambar 2. Diagram alir pembuatan MOCAL

Tabel 5. Spesifikasi MOCAL yang diproduksi oleh Koperasi Loh Jinawi Trenggalek

No. Parameter Satuan Hasil

1. Keadaan - Warna

Putih - Aroma

Netral - Rasa

Netral

2. Kadar Air

Max. 13

3. Kadar protein

Max. 1,0

4. Kadar abu

Max. 0,2

5. Kadar pati

82 - 87

6. Kadar serat

1,9 - 3,4

7. Kadar lemak

0,4 - 0,8

8. Kadar HCN

mg/kg

tidak terdeteksi

88 – 91 Sumber: Subagio (2007)

9. Derajat keputihan

MOCAL merupakan produk hasil olahan dari singkong yang dapat dimakan (edible cassava). Oleh karena itu, syarat mutu MOCAL dapat mengacu kepada CODEX STAN 176-1989 (Rev.1–1995) tentang edible cassava flour (Tabel 6)

Tabel 6. Syarat mutu edible cassava four dalam CODEX STAN 176-1989 (Rev.1–1995)

No. Jenis Uji Satuan Persyaratan Mutu

1. Kadar air

Max. 13

2. Kadar abu

Max. 3

3. Kadar Serat Kasar

Max. 2

4. Kadar HCN

mg/kg

Max. 10

5. Residu pestisida

Sesuai dengan aturan yang berlaku

6. Logam berat

Tidak terdeteksi

7. Bahan Tambahan

Tidak terdeteksi

MOCAL mempunyai karakteristik yang khas, sangat berbeda dengan tepung singkong dan tepung tapioka. Dibandingkan dengan tepung tapioka, viskositas MOCAL lebih rendah. Hal ini disebabkan o l e h komponen pati t e p u n g tapioka mencakup hampir seluruh bahan kering, sedangkan pada MOCAL komponen selain pati masih dalam jumlah yang signifikan. Namun demikian, dengan fermentasi s e l a m a 72 jam akan didapatkan produk MOCAL yang mempunyai viskositas mendekati t ep u n g tapioka (data tidak ditunjukkan). Hal ini dapat dipahami bahwa semakin lama waktu fermentasi maka akan semakin banyak sel singkong yang pecah, sehingga pembebasan granula pati menjadi semakin meningkat (Subagio, 2007).

D. PATI

1. Granula Pati

Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan -glikosidik. Pati terdiri dari butiran-butiran kecil yang disebut granula. Winarno (2002), menyatakan bahwa granula pati mempunyai sifat merefleksikan cahaya terpolarisasi, sehingga di bawah mikroskop terlihat kristal hitam putih. Sifat inilah yang disebut birefringent. Pada saat granula mulai pecah, sifat birefringent ini akan menghilang.

Granula pati mempunyai bentuk dan ukuran yang berbeda-beda tergantung dari sumbernya. Menurut Moorthy (2004), ukuran granula tapioka menunjukan variasi yang besar yaitu sekitar 5-40 µm dengan bentuk bulat dan oval. Variasi tersebut dipengaruhi oleh varietas tanaman singkong dan periode pertumbuhan pada musim yang berbeda.

2. Amilosa dan Amilopektin

Granula pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi yang tidak terlarut disebut amilopektin (Winarno, 2002). Pola difraksi sinar-x granula pati adalah bukti bahwa terdapat daerah kristalinitas atau misela pada granula pati (Swinkels, 1985). Misela merupakan bagian molekul linier yang berikatan dengan rantai molekul terluar molekul cabang (Pomeranz, 1991). Ikatan ini terjadi apabila bagian-bagian linier molekul pati berada paralel satu sama lain, sehingga gaya ikatan hidrogen akan menarik rantai ini bersatu (Swinkels, 1985). Di antara misela terdapat daerah yang renggang atau amorf (Pomeranz, 1991). Daerah amorf ini kurang padat, sehingga mudah dimasuki air. Pada pati kentang dan tapioka, misela terbentuk oleh amilopektin, sedangkan daerah amorf dibentuk oleh amilosa.

Amilosa merupakan rantai lurus yang terdiri dari molekul-molekul glukosa yang berikatan -(1,4)-D-glukosa. Panjang polimer dipengaruhi oleh sumber pati dan akan mempengaruhi berat molekul amilosa. Pada umumnya amilosa dari umbi-umbian mempunyai berat molekul yang lebih besar dibandingkan dengan berat molekul amilosa serealia, dengan rantai polimer lebih panjang daripada rantai polimer amilosa serealia (Moorthy, 2004)

Menurut Taggart (2004), amilosa memilki kemampuan membentuk kristal karena struktur rantai polimernya yang sederhana. Strukturnya yang sederhana ini dapat membentuk interaksi molekular yang kuat. Interaksi ini terjadi pada gugus hidroksil molekul amilosa. Pembentukan ikatan hidrogen ini lebih mudah terjadi pada amilosa daripada amilopektin. Struktur amilosa dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Struktur amilosa (Chaplin, 2006)

Jumlah atau kadar amilosa pati pada singkong berada pada kisaran 20-27% mirip dengan pati tanaman lain. Pada dasarnya, struktur amilopektin sama seperti amilosa, yaitu terdiri dari rantai pendek -(1,4)- D-glukosa dalam jumlah yang besar. Perbedaannya ada pada tingkat percabangan yang tinggi dengan ikatan -(1,6)-D-glukosa dan bobot molekul yang besar. Amilopektin juga dapat membentuk kristal, tetapi tidak sereaktif amilosa. Hal ini terjadi karena adanya rantai percabangan yang menghalangi terbentuknya kristal (Taggart, 2004). Struktur amilopektin dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Struktur amilopektin (Chaplin, 2006)

3. Daya Kembang Pati (swelling power) dan Kelarutan

Daya kembang pati atau swelling power didefinisikan sebagai pertambahan volume dan berat maksimum yang dialami pati dalam air (Balagopalan et al., 1988). Swelling power dan kelarutan terjadi karena adanya ikatan non-kovalen antara molekul-molekul pati. Bila pati dimasukkan ke dalam air dingin, granula pati akan menyerap air dan membengkak. Namun demikian, jumlah air yang terserap dan pembengkakannya terbatas hanya mencapai 30% (Winarno, 2002). Ketika granula pati dipanaskan dalam air, granula pati mulai mengembang (swelling). Swelling terjadi pada daerah amorf granula pati. Ikatan hidrogen yang lemah antar molekul pati pada daerah amorf akan terputus saat pemanasan, sehingga terjadi hidrasi air oleh granula pati. Granula pati akan terus mengembang, sehingga viskositas meningkat hingga volume hidrasi maksimum yang dapat dicapai oleh granula pati (Swinkels, 1985). Faktor-faktor seperti rasio amilosa-amilopektin, distribusi berat molekul dan panjang rantai, serta derajat percabangan dan konformasinya menentukan swelling power dan kelarutan (Moorthy, 2004). Swelling merupakan sifat yang dipengaruhi oleh amilopektin (Li dan Yeh, 2001). Proporsi yang tinggi pada rantai cabang amilopektin memiliki kontribusi dalam peningkatan nilai swelling. Selain itu, terdapat korelasi yang negatif antara swelling power dengan kadar amilosa, swelling power menurun seiring dengan peningkatan kadar amilosa (Sasaki dan Matsuki, 1998 dalam Li dan Yeh, 2001). Amilosa dapat membentuk kompleks dengan lipida pada pati sehingga dapat menghambat swelling (Charles et al., 2005).

Swinkels (1985) menyatakan bahwa nilai swelling power dapat diukur pada kisaran suhu terbentuknya pasta pati, yaitu sekitar 50-95°C dengan interval 5°C. Menurut Pomeranz (1991), swelling power dapat diukur pada interval suhu 5°C pada kisaran suhu gelatinisasi sampai 100°C. Sementara itu, Li dan Yeh (2001) mengukur swelling power dan kelarutan pati dengan interval 10°C yaitu pada suhu 55°C, 65°C, 75°C, 85°C, dan 95°C. Pengukuran swelling power dapat dilakukan dengan Swinkels (1985) menyatakan bahwa nilai swelling power dapat diukur pada kisaran suhu terbentuknya pasta pati, yaitu sekitar 50-95°C dengan interval 5°C. Menurut Pomeranz (1991), swelling power dapat diukur pada interval suhu 5°C pada kisaran suhu gelatinisasi sampai 100°C. Sementara itu, Li dan Yeh (2001) mengukur swelling power dan kelarutan pati dengan interval 10°C yaitu pada suhu 55°C, 65°C, 75°C, 85°C, dan 95°C. Pengukuran swelling power dapat dilakukan dengan

Ketika pati dipanaskan dalam air, sebagian molekul amilosa akan keluar dari granula pati dan larut dalam air. Persentase pati yang larut dalam air ini dapat diukur dengan mengeringkan supernatan yang dihasilkan saat pengukuran swelling power. Menurut Fleche (1985), ketika molekul pati sudah benar-benar terhidrasi, molekul-molekulnya mulai menyebar ke media yang ada di luarnya dan yang pertama keluar adalah molekul-molekul amilosa yang memiliki rantai pendek. Semakin tinggi suhu maka semakin banyak molekul pati yang akan keluar dari granula pati. Selama pemanasan akan terjadi pemecahan granula pati, sehingga pati dengan kadar amilosa lebih tinggi, granulanya akan lebih banyak mengeluarkan amilosa.

Menurut Pomeranz (1991), kelarutan pati semakin tinggi dengan meningkatnya suhu, serta kecepatan peningkatan kelarutan adalah khas untuk tiap pati. Pola kelarutan pati dapat diketahui dengan cara mengukur berat supernatan yang telah dikeringkan dari hasil pengukuran swelling power . Solubilitas atau kelarutan pati tapioka lebih besar dibandingkan pati dari umbi-umbi yang lain.

4. Gelatinisasi Pati

Pomeranz (1991) menyatakan bahwa gelatinisasi merupakan proses pembengkakan granula pati ketika dipanaskan dalam media air. Granula pati tidak larut dalam air dingin, tetapi granula pati dapat mengembang dalam air panas. Naiknya suhu pemanasan akan meningkatkan pembengkakan granula pati. Pembengkakan granula pati menyebabkan terjadinya penekanan antara granula pati dengan lainnya. Mula-mula pembengkakan granula pati bersifat reversible (dapat kembali ke bentuk awal), tetapi ketika suhu tertentu sudah terlewati, pembengkakan granula Pomeranz (1991) menyatakan bahwa gelatinisasi merupakan proses pembengkakan granula pati ketika dipanaskan dalam media air. Granula pati tidak larut dalam air dingin, tetapi granula pati dapat mengembang dalam air panas. Naiknya suhu pemanasan akan meningkatkan pembengkakan granula pati. Pembengkakan granula pati menyebabkan terjadinya penekanan antara granula pati dengan lainnya. Mula-mula pembengkakan granula pati bersifat reversible (dapat kembali ke bentuk awal), tetapi ketika suhu tertentu sudah terlewati, pembengkakan granula

Moorthy (2004) menyatakan bahwa gelatinisasi merupakan fenomena kompleks yang bergantung dari ukuran granula, persentase amilosa, bobot molekul, dan derajat kristalisasi dari molekul pati di dalam granula. Pada umumnya granula yang kecil membentuk gel lebih lambat sehingga mempunyai suhu gelatinisasi yang lebih tinggi daripada granula yang besar. Makin besar bobot molekul dan derajat kristalisasi dari granula pati, pembentukkan gel semakin lambat. Menurut Pomeranz (1991), tidak semua granula pati tergelatinisasi pada titik yang sama, tetapi terjadi pada suatu kisaran suhu tertentu. Menurut Olkku dan Rha (1978) dalam Pomeranz (1991), proses gelatinisasi melibatkan peristiwa- peristiwa sebagai berikut: (1) hidrasi dan swelling (pengembangan) granula; (2) hilangnya sifat birefringent; (3) peningkatan kejernihan; (4) peningkatan konsistensi dan pencapaian viskositas puncak; (5) pemutusan molekul-molekul linier dan penyebarannya dari granula yang telah pecah.

Suhu gelatinisasi tergantung pada konsentrasi dan pH larutan pati. Makin kental larutan, suhu gelatinisasi makin sulit tercapai. Bila pH terlalu tinggi, pembentukan gel semakin cepat tercapai tetapi cepat turun lagi. Pembentukan gel optimum pada pH 4-7. Selain itu, penambahan gula juga berpengaruh terhadap kekentalan gel yang terbentuk. Gula akan menurunkan kekentalan, hal ini disebabkan karena gula dapat mengikat air, sehingga pembengkakan butir-butir pati menjadi lebih lambat, akibatnya suhu gelatinisasi akan lebih tinggi. Adanya gula akan menyebabkan gel lebih tahan terhadap kerusakan mekanik (Winarno, 2002).

Pati singkong atau tapioka memiliki suhu gelatinisasi yang sangat rendah, lebih rendah dari pati umbi-umbian yang lain maupun pati sereal.

Menurut Pomeranz (1991), suhu gelatinisasi tapioka berkisar antara 52- 64°C.

5. Retrogradasi Pati

Retrogradasi adalah proses kristalisasi kembali pati yang telah mengalami gelatinisasi. Beberapa molekul pati, khususnya amilosa yang dapat terdispersi dalam air panas, meningkatkan granula-granula yang membengkak dan masuk ke dalam cairan yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu, pasta pati yang telah mengalami gelatinisasi terdiri dari granula-granula yang membengkak yang tersuspensi ke dalam air panas dan molekul-molekul amilosa yang terdispersi ke dalam air. Molekul- molekul amilosa tersebut akan terus terdispersi, asalkan pati tersebut dalam kondisi panas. Dalam kondisi panas, pasta masih memiliki kemampuan mengalir yang fleksibel dan tidak kaku. Bila pasta pati tersebut kemudian mendingin, energi kinetik tidak lagi cukup tinggi untuk melawan kecenderungan molekul-molekul amilosa untuk bersatu kembali. Molekul-molekul amilosa berikatan kembali satu sama lain serta berikatan dengan cabang amilopektin pada pinggir-pinggir luar granula, dengan demikian mereka menggambungkan butir-butir pati yang bengkak tersebut menjadi semcam jaring-jaring membentuk mikrokristal dan mengendap (Winarno, 2002).

Menurut Fleche (1985), ketika molekul pati sudah benar-benar terhidrasi, molekul-molekulnya mulai menyebar ke media yang ada di luarnya dan yang pertama keluar adalah molekul-molekul amilosa yang memiliki rantai pendek. Keluarnya molekul-molekul amilosa ini menyebabkan terjadinya presipitasi (jika konsentrasi pati rendah) atau membentuk gel (jika konsentrasi pati tinggi).

Menurut Swinkels (1985), retrogradasi pasta pati atau larutan pati memiliki beberapa efek sebagai berikut: (1) peningkatan viskositas; (2) terbentuknya kekeruhan; (3) terbentuknya lapisan tidak larut dalam pasta panas; (4) terjadi presipitasi pada partikel pati yang tidak larut; (5) terbentuknya gel; dan (6) terjadinya sineresis pada pasta pati. Retrogradasi Menurut Swinkels (1985), retrogradasi pasta pati atau larutan pati memiliki beberapa efek sebagai berikut: (1) peningkatan viskositas; (2) terbentuknya kekeruhan; (3) terbentuknya lapisan tidak larut dalam pasta panas; (4) terjadi presipitasi pada partikel pati yang tidak larut; (5) terbentuknya gel; dan (6) terjadinya sineresis pada pasta pati. Retrogradasi

E. KACANG SALUT

Kacang salut adalah kacang yang disalut dengan tepung dan bumbu- bumbu kemudian digoreng hingga matang. Dalam pembuatan kacang salut, tepung yang digunakan biasanya adalah tepung tapioka ataupun tepung- tepungan lain seperti tepung terigu maupun tepung telur yang dapt memberikan tekstur sesuai dengan keinginan.

Tepung yang digunakan diharapkan akan menghasilkan penyalut yang mengembang dan memiliki kerenyahan yang baik. Oleh karena itu, untuk memperkirakan pengembangan tepung biasanya dilakukan analisis tingkat pengembangan tepung dengan membuat produk berupa papatan. Papatan merupakan adonan tepung tanpa kacang yang dibentuk bulat-bulat kecil, baik dalam keadaan sebelum digoreng maupun setelah digoreng.

Salah satu kriteria mutu terpenting dari kacang salut adalah kerenyahan. Kerenyahan kacang salut dapat dianalisis dengan menggunakan alat texture analyzer. Gaya (force) yang dinilai untuk kerenyahan adalah pada puncak pertama di mana sampel mulai berubah bentuk (deformasi). Menurut Anonim (2005), untuk mengukur kerenyahan (fracturability) tidak hanya dilihat dari gaya (force) untuk mendeformasi sampel tetapi juga dilihat jarak saat gaya mulai menekan sampel (distance). Anonim (2005) menambahkan, jika hasil pengukuran sampel memiliki gaya (force) yang sama dengan jarak (distance) yang berbeda-beda, maka sampel yang paling renyah adalah sampel dengan jarak (distance) yang terdekat. Sebaliknya, jika hasil pengukuran sampel memiliki jarak (distance) yang sama, dengan gaya (force) yang berbeda-beda, maka sampel yang paling renyah adalah sampel dengan gaya (force) terendah. Pada Gambar 4 dapat dilihat contoh grafik hasil pengukuran tekstur dengan Stable Micro System TAXT2 Texture Analyzer.

Gambar 4. Grafik hubungan antara gaya (force) dan jarak

(distance)

Anonim (2005) menambahkan, untuk membandingkan kerenyahan antara dua sampel yang memiliki gaya (force) dan jarak (distance) yang berbeda, dapat digunakan uji organoleptik untuk mengetahui sampel yang memiliki kerenyahan lebih tinggi.

F. ANALISIS KORELASI

Analisis korelasi mencoba mengukur kekuatan hubungan antara dua peubah (X dan Y) melalui sebuah bilangan yang disebut koefisien korelasi (r). Jadi, r mengukur sejauh mana titik-titik menggerombol di sekitar sebuah garis lurus. Bila titik-titk bergerombol mengikuti sebuah garis lurus dengan kemiringan positif, maka ada korelasi positif yang tinggi antara kedua peubah. Akan tetapi, bila titik-titik bergerombol mengikuti sebuah garis lurus dengan kemiringan negatif, maka antara kedua peubah tersebut terdapt korelasi negatif. Hubungan linier sempurna antara kedua peubah terdapat bila nilai r =

1 atau r = -1. Koefisien korelasi antara dua peubah adalah suatu ukuran hubungan linier antara kedua peubah tersebut. (Walpole, 1995). Menururt Nugroho (2005), korelasi dapat dilakukan untuk dua variabel yang berkaitan. Fungsi analisis korelasi yaitu untuk mengukur hubungan antar variabel dan meramalkan variabel tak bebas dari pengetahuan kita tentang 1 atau r = -1. Koefisien korelasi antara dua peubah adalah suatu ukuran hubungan linier antara kedua peubah tersebut. (Walpole, 1995). Menururt Nugroho (2005), korelasi dapat dilakukan untuk dua variabel yang berkaitan. Fungsi analisis korelasi yaitu untuk mengukur hubungan antar variabel dan meramalkan variabel tak bebas dari pengetahuan kita tentang

III. METODOLOGI

A. BAHAN DAN ALAT

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah enam jenis tepung tapioka dengan kode tapioka A, tapioka B, tapioka C, tapioka D, tapioka E, dan tapioka F, yang diperoleh dari dua jenis pemasok (industri rumah tangga dan industri besar) serta MOCAL (Modified Cassava Fluor) yang diperoleh dari Koperasi Loh Jinawi Trenggalek. Bahan-bahan kimia

yang digunakan adalah alkohol 95%, HCl 3%, H 2 SO 4 25%, KI 20%, larutan Luff-Schoorl, NaOH 3%, indikator fenolftalen, indikator amilum 0.5%, Na 2 S 2 O 3 0.1N, amilosa kentang, NaOH 1N, asam asetat 1N, KOH 0.2N, larutan Iod 0.01N, serta akuades. Alat-alat yang digunakan antara lain cawan alumunium, oven, neraca analitik, desikator, ruang asap, pendingin tegak, erlenmeyer asah, buret, cawan porselen, tanur, Spectronic Instrumen 20D+ Spektrofotometer, waterbath, labu takar, kertas saring, Mettler Toledo MP220 pH-meter, kaca preparat dan gelas penutup, Olympus BH-2 Polarized Light Microscope, Kett Electric Laboratory C-100-3 Whitenessmet er, Stable Micro System TAXT2 Texture Analyzer , Brabender viscoamylograph OHG Duisburg Type 800121 , sentrifusa, Digital sieve shaker, serta alat-alat gelas lainnya.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan. Tahap pertama yaitu analisis sifat kimia dan fisik serta tingkat pengembangan tepung tapioka dan MOCAL. Tahap berikutnya yaitu aplikasi tepung tapioka dan MOCAL sebagai penyalut pada produk kacang salut. Selanjutnya dilakukan analisis tekstur (kerenyahan) pada semua produk kacang salut yang dihasilkan dari tiap sampel. Diagram alir tahapan penelitian ini disajikan dalam Gambar 6.

Sampel tepung tapioka atau MOCAL

Analisis sifat kimia dan fisik Analisis tingkat pengembangan papatan

Aplikasi tepung sebagai penyalut kacang (kacang salut)

Analisis tekstur dan uji organoleptik

Analisis korelasi Gambar 6. Diagram alir tahapan penelitian

1. Analisis Kimia dan Fisik Tepung Tapioka dan MOCAL

Pada tahap ini dilakukan beberapa analisis sifat kimia dan fisik dari tepung tapioka dan MOCAL. Sifat kimia dan fisik yang diuji meliputi kadar air, kadar abu, kadar pati, kadar amilosa, nilai pH, bentuk dan ukuran pati, kehalusan, derajat putih, swelling power dan kelarutan pati, serta pola amilografi. Semua analisis dilakukan sebanyak dua kali pengukuran (dulplo), kecuali pada analisis kelarutan pati dan sifat amilografi hanya dilakukan sekali pengukuran (simplo). Pembahasan sifat fisik dan kimia antara tepung tapioka dan MOCAL dibedakan karena kedua produk tersebut berbeda.

2. Analisis Tingkat Pengembangan Papatan

Tingkat pengembangan papatan dipelajari dengan mengukur volume papatan saat sebelum digoreng maupun setelah digoreng. Terlebih dahulu dibuat larutan bumbu, yang kemudian diuleni bersama sampel sampai kalis sehingga terbentuk adonan tepung. Diagram alir pembuatan Tingkat pengembangan papatan dipelajari dengan mengukur volume papatan saat sebelum digoreng maupun setelah digoreng. Terlebih dahulu dibuat larutan bumbu, yang kemudian diuleni bersama sampel sampai kalis sehingga terbentuk adonan tepung. Diagram alir pembuatan

Premix tepung dan bumbu

Air

Dicampur Dipanaskan

Larutan bumbu

Gambar 7. Diagram alir pembuatan larutan bumbu

Sampel tepung Larutan bumbu

tapioka atau MOCAL

Dicampur

Diuleni sampai kalis

Adonan

Ditimbang 0.5 gram

Dibentuk bulat dan diukur diameternya (D1)

Digoreng

Papatan

Diukur diameternya (D2)

Gambar 8. Diagram alir pembuatan papatan

Pembuatan papatan dilakukan sebanyak 30 kali agar data yang diperoleh lebih beragam dan dapat mewakili sampel. Diameter papatan diukur menggunakan jangka sorong, baik pada saat sebelum digoreng (D1) maupun sesudah digoreng (D2). Volume papatan dihitung dengan asumsi bahwa papatan berbentuk lingkaran sempurna. Tingkat pengembangan sampel diukur dengan cara sebagai berikut:

Tingkat pengembangan (%) = V2 x 100%

V1

Keterangan :

3 V1 = Volume papatan sebelum digoreng (mm )

3 V2 = Volume papatan setelah digoreng (mm )

3. Analisis Kerenyahan Produk Kacang Salut

Larutan bumbu yang telah dicampur dengan tepung tapioka atau MOCAL dimasukkan ke dalam coating pan bersama kacang, kemudian kacang yang telah disalut oleh campuran larutan bumbu dan tepung tersebut digoreng. Diagram pembuatan kacang salut dapat dilihat pada Gambar 9.

Kacang Larutan bumbu

dicampur tepung Coating tapioka atau

pan MOCAL

Dicampur Kacang yang

telah disalut

Digoreng

Kacang Salut Gambar 9. Diagram alir pembuatan kacang salut

Analisis kerenyahan secara objektif terhadap kacang salut dilakukan dengan menggunakan alat Stable Micro System TAXT2 Texture Analyzer. Analisis kerenyahan secara subjektif dilakukan dengan uji organoleptik menggunakan uji rating.

C. METODE ANALISIS

1. Kadar Air (AOAC, 1995)

Cawan alumunium dikeringkan dalam oven pada suhu 105 o C selama 15 menit, lalu didinginkan di dalam desikator selama 10 menit.

Cawan ditimbang menggunakan neraca analitik (A). Sampel sebanyak 5 gram (W) dimasukkan ke dalam cawan, kemudian cawan serta sampel ditimbang dengan neraca analitik. Cawan berisi sampel dikeringkan dalam

oven pada suhu 105 o

C selama 6 jam. Selanjutnya cawan berisi sampel didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang (Y). Setelah itu, cawan berisi sampel dikeringkan kembali dalam oven selama 15-30 menit, lalu ditimbang kembali. Pengeringan diulangi hingga diperoleh bobot konstan (selisih bobot ≤ 0.0003 gram). Kadar air diukur dengan cara sebagai

berikut:

Kadar air = W – (Y – A ) x 100%

Keterangan : W = bobot sampel awal (g) Y = bobot sampel dan cawan setelah dikeringkan (g)

A = bobot cawan kosong (g)

2. Kadar Abu (AOAC, 1995)

Cawan pengabuan dibakar dalam tanur (550 0 C) selama 15 menit, kemudian didinginkan dalam desikator, dan ditimbang (A). Sampel sebanyak 2-3 gram (W) ditimbang dalam cawan tersebut, kemudian cawan yang berisi sampel dibakar sampai didapatkan abu berwarna abu-abu atau

sampai bobotnya konstan. Pengabuan dilakukan pada suhu 550 0

C selama

6 jam. Cawan yang berisi sampel didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang dengan neraca analitik (X). Kadar abu diukur dengan cara sebagai berikut:

Kadar abu (%) = (X - A) x 100%

Keterangan : W = bobot sampel awal (g)

X = bobot sampel dan cawan setelah dikeringkan (g)

A = bobot cawan kosong (g)

3. Kadar Pati (SNI 01-2892-1992)

• Pembuatan Larutan Luff Schrool Sebanyak 71.9 g Na 2 CO 3 anhidrat dilarutkan dalam 300 mL akuades yang dipanaskan. Setelah larut,kemudian ditambahkan 25 g

asam sitrat yang telah dilarutkan dengan 25 mL akuades sedikit demi sedikit. Kemudian di tambahkan 8 g CuSO 4. 5H 2 O dalam 100 mL akuades sedikit demi sedikit. Setelah semua bercampur, kemudian penangas diturunkan suhunya dan dibiarkan selama 30 menit, setelah itu larutan ditera sampai 500 mL dan dibiarkan selama satu malam didalam tempat gelap.

• Analisis sampel Sebanyak 1 gram sampel tepung dilarutkan dalam 40 mL HCl

3%, dan di refluks selama 3 jam dengan suhu sekitar 200-250°C. kemudian sampel didinginkan dan kemudian dinetralkan dengan menambahkan beberapa tetes NaOH 3% dengan bantuan indikator PP sampai berwarna merah muda dan diasamkan sedikit dengan menggunakan HCl 3% sampai pH nya sedikit asam yaitu sekitar 6, kemudian ditera dalam labu takar 100 mL dengan menggunakan akuades, kemudian disaring. Sebanyak 5 mL filtrat dipipet ke dalam erlenmeyer asah dan ditambahkan 25 mL larutan Luff Schrool dan 20 mL akuades dan direfluks kembali selama 10 menit (dihitung pada 3%, dan di refluks selama 3 jam dengan suhu sekitar 200-250°C. kemudian sampel didinginkan dan kemudian dinetralkan dengan menambahkan beberapa tetes NaOH 3% dengan bantuan indikator PP sampai berwarna merah muda dan diasamkan sedikit dengan menggunakan HCl 3% sampai pH nya sedikit asam yaitu sekitar 6, kemudian ditera dalam labu takar 100 mL dengan menggunakan akuades, kemudian disaring. Sebanyak 5 mL filtrat dipipet ke dalam erlenmeyer asah dan ditambahkan 25 mL larutan Luff Schrool dan 20 mL akuades dan direfluks kembali selama 10 menit (dihitung pada

segera dititrasi dengan Na 2 S 2 O 3 0.1 N yang telah distandarisasi. Penambahan indikator kanji 0.5% dilakukan pada saat titrasi berlangsung, titrasi dihentikan pada saat larutan berubah warna dari ungu menjadi putih keruh.

Penentuan blanko dilakukan dengan mencampurkan 25 mL larutan Luff Schrool dan 25 mL akuades (tanpa sampel). Kemudian direfluks selama 10 menit (dihitung pada saat mulai mendidih ), lalu didinginkan dalam boks es selama beberapa menit. Kemudian

ditambahkan 25 mL H 2 SO 4 25% dan 10 mL larutan KI 20%, dan segera dititrasi dengan larutan Na 2 S 2 O 3 0.1N yang telah distandarisasi. Penambahan indikator kanji 0.5% di lakukan pada saat titrasi berlangsung, titrasi dilakukan pada saat larutan berubah warna dari ungu menjadi putih keruh. Kadar pati diukur dengan cara sebagai berikut:

Kadar Pati = G x Fp x 0.9 x 100% W

Keterangan :

G = mg glukosa dari tabel (Vol Na 2 S 2 O 3 Blanko - Vol Na 2 S 2 O 3 contoh) Fp = faktor pengenceran W = bobot contoh (mg)

4. Kadar Amilosa (Apriyantono et al., 1998) dan Amilopektin

• Pembuatan kurva standar Sebanyak 40 mg amilosa kentang dilarutkan dalam 10 ml NaOH alkoholik (1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N). Lalu campuran ini

dipanaskan dalam air mendidih selama kurang lebih 10 menit sampai semua bahan terlarut, lalu didinginkan. Kemudian campuran tadi (larutan amilosa) dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml dan dipanaskan dalam air mendidih selama kurang lebih 10 menit sampai semua bahan terlarut, lalu didinginkan. Kemudian campuran tadi (larutan amilosa) dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml dan

• Analisis sampel Sebanyak 100 mg sampel ditimbang dan dimasukkan dalam labu

ukur 100 ml, kemudian 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N ditambahkan ke dalam sampel. Larutan dipanaskan dalam water bath (air mendidih) selama 10 menit (sampai pati tergelatinisasi. Setelah itu, labu ukur yang berisi sampel didinginkan selama 1 jam dan ditambahkan akuades sampai tanda tera, kemudian dikocok.

Sebanyak 5 ml larutan sampel dipipet dan dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml yang telah diisi 40 ml akuades. Sebanyak 1 ml asam asetet 1 N dan 2 ml larutan, kemudian ditambahkan air sampai tanda tera. Larutan sampel dikocok dan dibiarkan selama 20 menit. Larutan sampel diambil untuk dianalisa dengan Spectronic Instrumen 20D+ Spektrofotometer . Selain itu, dibuat juga larutan blanko dengan cara mencampurkan semua bahan kecuali sampel. Kadar amilosa diukur dengan cara sebagai berikut:

Kadar amilosa (%) = A x Fp x V x 100% W

Keterangan:

A = konsentrasi amilosa dari kurva standar (mg/ml) Fp = faktor pengenceran

V = volume awal (ml) W = bobot awal (mg)

Kadar amilopektin diperoleh dari selisih antara kadar pati dengan kadar amilosa sampel.

5. Nilai pH

Nilai pH diukur dengan menggunakan Mettler Toledo MP220 pH- meter . Sebelum digunakan, pH meter dikalibrasi dengan menggunakan buffer pH 4 dan 7. Setelah dikalibrasi baru dilakukan pengukuran sampel dengan membuat suspensi sampel sebesar 10%.

6. Bentuk dan Ukuran Pati

Bentuk dan ukuran pati diamati dengan menggunakan Olympus BH-2 Polarized Light Microscope . Sejumlah sampel ditambahkan dengan aquades kemudian diteteskan dalam gelas objek dan ditutup dengan kaca penutup. Sampel diamati dibawah lensa mikroskop kemudian difoto dengan menggunakan kamera Olympus C-33AD-4 yang telah terpasang pada mikroskop.

7. Kehalusan

Kehalusan diukur dengan menggunakan alat Digital Sieve Shaker. Alat ini bekerja dengan menggunakan beberapa susunan ayakan atau saringan, serta menggunakan getaran berupa gelombang dengan satuan amplitude. Ayakan yang digunakan berjumlah tiga buah yang disusun dari ukuran lubang terkecil sampai terbesar, lalu dipaling bawah diberi wadah untuk menampung sisa sampel. Setting pengayakan yang digunakan adalah dengan getaran sebesar 60 amplitudo dan selama 15 Kehalusan diukur dengan menggunakan alat Digital Sieve Shaker. Alat ini bekerja dengan menggunakan beberapa susunan ayakan atau saringan, serta menggunakan getaran berupa gelombang dengan satuan amplitude. Ayakan yang digunakan berjumlah tiga buah yang disusun dari ukuran lubang terkecil sampai terbesar, lalu dipaling bawah diberi wadah untuk menampung sisa sampel. Setting pengayakan yang digunakan adalah dengan getaran sebesar 60 amplitudo dan selama 15

America) karena adanya keterbatasan alat. Namun, karena nilai kehalusan mengacu pada TIA, maka perbedaan nomor ayakan ini diasumsikan sama dengan nomor ayakan yang ditetapkan oleh TIA.