Syarat Sah Shalat

2. Syarat Sah Shalat

Ketika hendak shalat, maka yang bersangkutan harus suci dari hadats dan najis. Suci dari hadats adalah merupakan syarat sahnya shalat.

Sabda Rasulullah saw. :

“Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci”

Uraian tentang maksud hadits ini telah kita ketahui dalam uraian tentang Thaharah. Sedang yang dimaksud dengan suci dari najis, yaitu badan yang suci termasuk pakaian yang dikenakan dan tempat yang dipergunakan. Badan yang suci juga adalah merupakan syarat sah shalat.

Sabda Rasulullah saw. :

“Bersucilah kalian dari air kencing, karena daripadanya siksa kubur pada umumnya terjadi”

Adapun perihal pakaian yang dikenakan harus suci dari najis sebagai syarat sah shalat, ini adalah berdasarkan firman Allah SWT. :

“…dan pakaianmu bersihkanlah” (QS. 74:4)

Dalam hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin Samrah r.a., dia berkata:

“Aku mendengar seorang laki-laki bertanya kepada Nabi saw. apakah aku boleh shalat dengan pakaian yang aku kenakan saat aku mendatangi (menggauli) isteriku? Beliau menjawab: Ya, kecuali bila kau dapatkan seseuatu (najis) padanya, maka cucilah.”

Sedang tentang keharusan tempat yang ditempati untuk shalat suci dari najis sebagai syarat sah shalat,ini adalah berdasarkan hadits yang menggambarkan seorang Arab dari dusun yang kencing di salah satu sudut masjid (Nabawi) dan sebagaimana dikemukakan dalam hadits Nabi s.a.w:

“ Siramkanlah oleh kalian padanya seember air “.

Ketika hendak shalat , maka yang bersangkutan selanjutnya harus menutup aurat. Dalam hadits yang diriwayatkan dari Aisyah r.a. dikemukakan,bahwasanya Nabi s.a.w. bersabda:

“ Allah tidak menerima shalat seorang perempuan yang telah haid kecuali dengan memakai yang menutupi kepala dan lehernya ( khimar )”.

Bilamana seseorang yang sedang shalat auratnya terbuka sedang ia kuasa untuk menutupinya kembali, maka shalatnya tidak sah (batal). Menutup aurat adalah salah satu syarat sah shalat bagi laki- laki dan perempuan. Hanya saja antara aurat keduanya berbeda, yakni: Bahwasanya aurat laki-laki adalah bagian antara pusar dengan lutut, sedangkan pusar dan lutut sendiri bukan aurat, seperti diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al Khudri r.a. , sesungguhnya Nabi s.a.w. telah bersabda:

“ Aurat laki-laki adalah bagian antara pusar dan lututnya”.

Dalam hadits yang diriwayatkan dari Muhammad bin Jahasy, dia berkata:

“ Rasulullah s.a.w. pernah lewat di depan Mu’ammar sedang kedua pahanya terbuka . Maka bersabdalah beliau: Ya Mu’ammar, tutuplah kedua pahamu karena kedua paha itu adalah aurat”.

Sedang aurat perempuan merdeka adalah seluruh tubuhnya kecuali muka dan kedua telapak tangan.

Firman Allah Ta’ala:

“. . . , dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya. Kecuali yang (biasa) tampak daripadannya” ( Q.S. 24:31 ).

Ibnu Abbas berkata: Yakni kecuali muka dan kedua telapak tangannya. Ibnu Umar telah meriwayatkan , sesungguhnya Nabi s.a.w. bersabda:

“ Perempuan merdeka tidak wajib menutup mukanya dan tidak wajib pula harus mengenakan sarung tangan “.

Keharusan menutup aurat ini adalah dengan pakaian yang tidak transparan atau sejenisnya, sebab pakaian atau kain yang transparan atau yang ketat masih menggambarkan warna kulit dan bentuk tubuh sehingga dianggap tidak memenuhi kriteria menutup aurat.

Ketika hendak shalat, maka yang bersangkutan harus menghadap ke kiblat.

Firman Allah Ta’ala :

“ Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kalian berada, palingkanlah muka kalian ke arahnya” ( Q.S. 2: 144 ).

Inipun merupakan bagian dari syarat sah shalat. Atas dasar itu, maka ketika seseorang berada di depan Baitullah, ia wajib menghadap langsung ke sana. Usamah bin Zaid r.a. meriwayatkan:

“ Sesungguhnya Nabi s.a.w telah masuk ke dalam Ka’bah (Baitullah) namun ia tidak shalat, kemudian beliau keluar dari ruku’ dua kali seraya menghadap ke Ka’bah lalu bersabda: Ini adalah kiblat”.

Akan tetapi bila seseorang masuk ke dalam Ka’bah dan shalat di dalamnya, maka hal itu diperbolehkan karena dia dianggap telah menghadap ke salah satu bagian daripadanya. Jika seseorang tidak berada di depan Ka’bah, maka hendaklah diperhatikan: Bila ia mengetahui arah kiblat , maka menghadaplah ke arahnya. Bila seseorang yang terpercaya memberitahukan arah kiblat, maka hendaklah diterima, tidak usah berijtihad, sama halnya dengan seorang hakim hendaknya ia menerima nash dari orang tsiqqah ( terpercaya ) sehingga ia tidak usah berijtihad. Bila ternyata mayoritas kaum muslimin di suatu daerah menentukan arah kiblat ke suatu arah, maka shalatlah ke arah itu dan ia tidak perlu berijtihad, karena arah yang ditunjukkan oleh mereka sama kedudukannya dengan berita yang harus diterima. Bila seseorang berada di luar Mekkah dan ia sebagai orang yang menguasai cara-cara menentukan arah kiblat, maka ia wajib berijtihad untuk menentukan arah kiblat. Dalam situasi seperti ini keharusan menghadap ke kiblat adalah mengenai arahnya, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

“ Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kalian berada, palingkanlah muka kalian ke arahnya” ( Q.S. 2: 144 ).

Sabda Rasulullah s.a.w. :

“ Kiblat itu adalah tempat di antara timur dan barat”.

Bila seseorang berada di Mekkah, namun antara dirinya dengan Ka’bah terhalang, maka ia sama dengan orang yang tidak langsung berada di depan Ka’bah. Sedangkan bila antara dirinya dengan Ka’bah tanpa penghalang,maka ia sama dengan orang yang berada langsung di depan Ka’bah , yakni dia harus shalat langsung menghadap Ka’bah itu.

Bila seseorang bukan sebagai orang yang menguasai cara-cara menentukan arah kiblat, maka ia harus mengikuti pendapat orang yang mengetahui arah kiblat, tidak perlu berijtihad, sebab ia sama dengan orang awwam tentang hukum syara’.

Disunatkan bagi orang yang shalat mengembangkan tikar ( sajadah ) pada tempat yang dipergunakan untuk shalat sebagai pembatas.

Sabda Rasulullah s.a.w :

“ Apabila seseorang di antara kalian shalat, hendaklah ia membuat pembatas tempat yang di pakai untuk shalat ( sutrah ) agar syaitan tidak dapat memutuskan shalatnya “.

Sahl bin Sa’id As Sa’idi meriwayatkan :

“ Diantara tempat yang dipergunakan Rasulullah s.a.w. untuk shalat ( mushala ) dengan dinding terdapat tempat lewat orang yang berjalan”.

Terkadang Rasulullah s.a.w. mengambil tempat untuk shalat di masjidnya dengan membuat lingkaran.