Waktu yang Makruh untuk Shalat

7. Waktu yang Makruh untuk Shalat

Dimakruhkan shalat dalam waktu yang lima, yaitu: Dua waktu karena berdasarkan pelaksanaannya dan tiga waktu karena berdasarkan waktunya. Dua waktu pertama, yaitu shalat sesudah shalat shubuh sampai matahari terbit dan shalat sesudah shalat ashar sampai matahari terbenam, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a.:

“Orang-orang yang diridhai telah bersaksi di hadapanku dan Umar r.a. pun menyatakan ridha kepada mereka, sesungguhnya Rasulullah saw. telah melarang shalat sesudah shubuh sampai matahari terbit dan (beliau juga telah melarang shalat) sesudah ashar sampai matahari terbenam.”

Adapun tiga waktu yang dilarang untuk mengerjakan shalat karena berdasarkan waktunya, yaitu shaalat ketika matahari terbit sampai meninggi, ketika matahari pas berada di garis katulistiwa sampai tergelincir, dan ketika langit kekuning-kuningan sampai matahari terbenam.

Diriwayatkan oleh ‘Uqbah bin ‘Amir r.a.:

“Tiga waktu Rasulullah saw. telah melarang kita untuk mengerjakan shalat pada waktu itu atau untuk mengubug orang yang wafat di antara kita; ketika matahari tampak terbit sampai meninggi’ ketika pas tengah hari, dan ketika matahari menjelang terbenam.”

Akan tetapi dikecualikan dari ketentuan di atas bagi shalat qadha, baik qadha shalat fardhu maupun qadha shalat sunat, yakini untuk shalat qadha tidak dimakruhkan berdasarkan beberapa nash yang membolehkannya, antara lain:

Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah r.a.:

“Sesungguhnya Umar pada waktu Perang Khandaq datang setelah matahari terbenam dikarenakan dia terlena memaki kaum kuffar Quraisy. Maka dia berkata: Ya Rasulallah, hampir saja aku tidak shalat ashar sampai matahari pun hampir tenggelam. Kemudian Nabi saw. bersabda: Demi Allah, aku pun belum mengerjakannya. Oleh karena itu, maka beliau mengambil wudhu dan begitu pula kami pun berwudhu. Lalu beliau shalat ashar setelah matahari terbenam, kemudian sesudah itu dia shalat maghrib”.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi saw.:

“Barang siapa lupa mengerjakan shalat, maka hendaklah is shalat pada waktu mengingatnya.”

Diriwayatkan dari Ummu Salamah r.a.:

“Sesungguhnya Nabi saw. pernah shalat dua rakaat sesudah ashar, lalu setelah usai beliau bersabda: Wahai puteri Abu Umayah, engkau telah bertanya tentang dua rakaat sesudah ashar. Sesungguhnya orang-orang dari kaum Abdul Qais telah datang kepdaku menanyakan tentang Islam sebagai pesan yang dibawa dari mereka, sehingga mereka itu telah membuat aku sibuk sampai tidak mengerjakan shalat sunat dua rakaat sesudah dzuhur, maka inilah kedua rakaat sesudah ashar ini (sebagai qadhanya).”

Adapun shalat sunat tahiyatul masjid tetap dimakruhkan mengerjakannya pada waktu-waktu di atas, sama halnya dengan shalat-shalat sunat yang lain karena hadits rasulullah saw. yang berbunyi:

“Apabila salah seorang di antara kalian masuk ke masjid, maka hendaklah dia jangan duduk sampai ia ruku’ dua rakaat (terlebih dulu).”

Hadits ini bersifat umum untuk seluruh waktu keadaan serta bagi setiap masjid. Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh Uqbah: “Tiga waktu Rasulullah saw. telah melarang kita untuk mengerjakan shalat pada waktu itu…” maka sesungguhnya hadits tersebut bersifat khusus untuk waktu-waktu tertentu.

Begitu juga hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a.

“Sesungguhnya nabi telah melarang shalat sesudah ashar sampai matahari terbenam.”

Hadits ini bersifat khusus dalam keadaan tertentu, yakni sesudah shalat ashar bukan sebelumnya. Bilamana terjadi pertentangan antara yang bersifat khusus dengan yang bersifat umum, maka yang bersifat umum mengikuti yang bersifat khusus. Yaitu jika didapati nash yang bersifat khusus umum dan bersifat khusus berarti nash yang bersifat khusus berfungsi untuk membatasi keumuman nash yang bersifat umum. Tegasnya berfungsi untuk mengecualikan dari nash yang bersifat umum. Dengan demikian, maka anjuran untuk mengerjakan shalat tahiyyatul masjid di sembarang waktu dibatasi agar dikerjakan diluar waktu yang lima yang telah ditetapkan sebagai waktu yang terlarang untuk mengerjakan shalat. Sehingga oleh karenanya shalat tahiyyatul masjid pada waktu yang lima hukumnya makruh sama dengan shalat sunat yang lain. Sebab bentuk larangan dalam hadits tersebut dialamatkan pada seluruh shalat termasuk pada shalat tahiyyatul masjid. Lebih jelasnya lagi ternyata tidak didapatkan nash yang membolehkan shalat (sunat tahiyyatul masjid) pada waktu tersebut, lain halnya dengan shalat fardu dan qadha shalat sunat rawatib yang ternyata ditemukan hadits (nash) yang membolehkannya. Maka dengan demikian , dikukuhkanlah : Sesungguhnya shalat sunat tahiyyatul masjid hukumnya makruh bila dikerjakan pada waktu yang tidak diperbolehkan, yakni pada waktu yang lima tersebut. Begitu juga, ternyata bentuk larangan yang dikemukakan dalam hadits lain yang membicarakan tentang dua waktu yang bersifat umum untuk seluruh shalat, termasuk di dalamnya shalat sunat tahiyyatul masjid, shalat nawafil, dan yang lainnya. Adanya pengecualian yang membolehkan shalat tertentu dalam waktu-waktu tersebut dan dalam keadaan-keadaan di atas menghendaki adanya nash yang membolehkan untuk mengerjakannya. Dan ternyata tidak didapatkan nash yang membolehkan shalat pada ketiga waktu dan dua keadaan tersebut, melainkan hanya untuk fardu dan qadha shalat sunat rawatib saja. Maka dengan demikian, hanya dua jenis shalat itu sajalah yang dikecualikan sehingga tidak makruh bila dikerjakan pada kelima waktu tersebut. Sedangkan selain dari keduanya makruh bila dikerjakan pada kelima waktu di atas, termasuk shalat sunat tahiyyatul masjid.