Latar Belakang Gerakan Separatisme Suku Kurdi Di Negara Turki

B. Latar Belakang Gerakan Separatisme Suku Kurdi Di Negara Turki

Sejak Tahun 1984

Sejarah Suku Kurdi berasal dari rumpun bangsa Indo-Eropa yang

dikenal sebagai sulu yang mendiami daerah pegunungan Turki, Irak, Iran, dan Suriah sejak 8000 tahun yang lalu. Menurut Profesor Mehrdad R Izady, seorang pakar Kurdi di Universitas Harvard, sejarah suku Kurdi dibagi menjadi empat periode. Periode pertama (6000 SM sampai 5400 SM) disebut periode Halaf. Ini berdasarkan bukti-bukti arkeologi, seperti bentuk dan lukisan pada pot-pot kuno yang ditemukan di gunung Tell Halaf yang terletak di sebelah barat Qamishli (Suriah) (Chaidarabdullah, 2008).

Periode kedua (5300 SM 4300 SM) disebut peride al-Ubaid, nama

sebuah gunung di utara Irak Utara tempat ditemukannya banyak peninggalan

Mesopatamia dan meneruskan suku Chaldean atau Khaldi. Periode ketiga disebut zaman Hurri, dengan pusat kehidupan pindah

kekawasan pegunungan Zogros-Taurus-Pontun dengan beberapa kerajaan kecil,

dan Mittani (Sindi) datang dan menetap di Kurdistan. Tahun 1200 SM bangsa Arya (Indo-Eropa) melakukan invasi besar-besaran termasuk ke Kurdistan, sehingga pada tahun 727 SM kerajaan Hurri berakhir. Selanjutnya muncul kerajaan Medes dengan Ibu kota di Ecbatana (sekarang Hamadan Iran) yang bertahan hingga tahun 549 SM. Kaun Medes inilah yang diakui oleh orang-orang Kurdi sekarang ini sebagai nenek moyang mereka.

interaksi orang-orang Medes dengan orang-orang Yahudi, Nasrani dan Islam (Arab) serta asimilasi orang mereka dengan bangsa Turki. Terbukti dengan adanya nama-nama kabilah seperti Karachul, Oghaz, Devalu, Karaqich, Iva dan sebagainya.

M. Riza Sihbudi (1991), menjelaskan bahwa suku Kurdi sejak dulu

kala dikenal sebagai suku yang semi-nomaden. Mereka tersebar diberbagai wilayah (ada yang memperkirakan seluas 640.000 km persegi), dari barat laut Iran sampai timur laut Irak, Armenia, Turki, dan timur laut Suriah. Sebagian besar bangsa Kurdi adalah pemeluk Islam Sunni, mereka tinggal di daerah-daerah rural, dan umumnya melakukan usaha pertanian, atau menggembalakan domba. (hlm. 136).

Jumlah suku Kurdi secara keseluruhan diperkirakan sekitar lebih dari

20 juta orang Kurdi yang terpaksa tinggal di beberapa Negara berbeda. Di Turki terdapat sekitar 10 juta orang Kurdi, di Iran 6 juta orang Kurdi, di Irak tredapat lebih dari 5 juta orang Kurdi, dan di Suriah 1 juta lebih. Komunitas-komunitas yang lebih kecil ada yang tinggal di republik-republik bekas Uni Soviet dan Lebanon serta ada juga yang telah hijrah dan menetap di Eropa, Amerika dan Australia (Chaidarabdullah, 2008).

Sebelum masuknya Islam, suku Kurdi menganut agama-agama Parsi

Kuno seperti Zoroaster, Mithraisme, Manischairisme, dan Mazdak. Beberapa kuil penyembahan api peninggalan zaman tersebut juga masih terdapat sampai sekarang, antara lain di Ganzak (Takab) dan Bijar. Mereka juga sempat dipengaruhi oleh ajaran Yahudi dan Nasrani, tetapi hampir semua agama-agama tersebut semuanya terkikis habis oleh datangnya Islam di abad ke-7 Masehi.

dan sebagian kecil menganut Islam Syiah, khususnya yang tinggal di Kirmansyah, Kangawar, Hamadan, Qurva dan Bijar di selatan dan Timur Kurdistan (bagian Iran), serta mereka yang tinggal di Malatya, Adiyaman, dan Maras di barat Kurdistan (bagian Turki). Bangsa kurdi terkenal berani, kuat dan gigih serta banyak berperan dalam menyebarkan dan membela Islam serta tidak sedikit

Kurdi seperti Shalahuddin al-Ayyubi, seorang panglima perang dan pahlawan Islam dalam Perang Salib yang berhasil merebut kembali Baitul Maqdis dari tangan orang-orang Kristen (Gagus, 2009).

Suku Kurdi merupakan suku nomaden yang mendiami sekitar

perbatasan Iran, Irak, Turki, Armenia hingga Suriah. Pada tahun 1988 mereka didesak oleh Pemerintah Irak ke perbatasn Turki dan disambut baik oleh pemerintah Turki. Lama-kelamaan, populasi Kurdi semakin meningkat dan menimbulkan masalah di Turki. Sebaliknya suku Kurdi merasa pemerintah Turki mengekang dan akhirnya sebagai protes dan bertujuan sebagai wadah untuk menampung aspirasi Suku Kurdi, kemudian membentuk Partai Pekerja Kurdi (Kompas, 25 Februari 2008).

Kurdi merupakan etnis yang relatif tua usianya, namun kesadaran

terhadap wilayah baru muncul belakangan, bahkan sangat terlambat. Entitas Kurdi setidakanya telah dimuali sejak dua ribu tahun sebelum masehi. Suku Kurdi mempunyai kesadaran etnis, tetapi tidak mempunyai kesadaran kewilayahannya, sebagai konsekuensi kultur tradisioanal nomaden, yang hidup berpindah-pindah dari Turki dan Iran ke lembah Mesopotamia sambil menggembala ternak dan bertani. Pasca Perang Dingin I, ketika Negara-negara mulai menetapkan garis perbatasan, barulah kesadaran wilayah kaum Kurdi muncul terutama karena terdesak dan terpaksa meninggalkan pola hidup tradisionalnya serta mulai menetap di berbagai pemukiman (Dark. Kinnane, 1964).

Suku Kurdi mencita-citakan Negara Kurdistan yang merdeka yang

sekuler dan demokratis. Suku Kurdi yang terbesar di Turki, Iran, Irak, dan Suriah sebagai minoritas etnis sering diabaikan oleh pemerintah masing-masing Negara tersebut, sehingga suku Kurdi ingin memisahkan diri dari Negara induk masing- masing dan bercita-cita mendirikan Negara Kurdistan.

Perjanjian Sevres (Treaty of Sevres) tahun 1920 di Perancis oleh pihak

Sekutu sebagai pihak yang menang dalam Perang Dunia I dengan Dinasti Ustmaniah Turki memberikan keuntungan bagi perjuangan Suku Kurdi. Dalam perjanjian tersebut ditetapkan pembentukan wilayah Kurdistan merdeka yang Sekutu sebagai pihak yang menang dalam Perang Dunia I dengan Dinasti Ustmaniah Turki memberikan keuntungan bagi perjuangan Suku Kurdi. Dalam perjanjian tersebut ditetapkan pembentukan wilayah Kurdistan merdeka yang

Wilayah Kurdistan dibeberapa Negara menjadi kendala utama

terwujudnya Negara Kurdistan merdeka. Jika dipaksakan sangatlah sulit karena suku Kurdi harus menghadapi empat Negara sekaligus yakni Turki, Iran, Irak dan Suriah. Berdasarkan kenyataan tersebut, suku Kurdi tetap mencita-citakan berdirinya sebuah Negara Kurdistan, untuk mendapatkan suatu wilayah yang otonom sehingga suku Kurdi dapat mengatur diri dan mempertahankan identitas serta system budaya mereka. Erik, J. Zurcher (2003), menjelaskan bahwa pada tahun 1925 Nasionalisme Kurdi merupakan pendatang yang relatif baru diantara ideologi-ideologi diwilayah Turki. Warga Kurdi yang selalu terbagi-bagin dalam suku-suku dan sejak penumpasan emirat-emirat Kurdi di masa Pemerintahan Sultan Mahmud II, mereka semakin terpecah-belah. Pada masa Sultan Abdul Hamid memanfaatkan perpecahan antar warga Kurdi itu dengan memanfaatkan ketrampilan perang mereka dalam Perang Dunia I (M. Riza Sihbudi, 1991).

Di Turki sendiri, sejarah perjalanan bangsa Kurdi juga tidak terlalu

menyenangkan. Pendiri Turki modern, Mustafa Kemal Attaturk, telah menjadikan etnis-etnis tertentu di wilayah bekas Kekaisaran Ottoman itu menjadi tumbal bagi kemerdekaan Turki dari jajahan Inggris yang salah satunya adalah etnis Kurdi, dimana tenaga mereka digunakan dalam Perang Dunia I (PD I) dan setelah menang maka Kurdi akan diberi hadiah otonom tetapi setelah kemenangan diraih wilayah etnis Kurdi dipecah menjadi beberapa bagian yang diantaranya terbagi kedalam empat Negara yaitu Turki, Iran, Irak dan Suriah. Sikap Turki terhadap suku Kurdi dari sebelum dan sesudah PD I masih sama, yaitu hanya diberikan

Kemerdekaan Turki dari jajahan Inggris. Pacsa PD I janji Turki tersebut tidak pernah terealisasi hingga saat ini. Konferensi Lausane yang ditandatangani oleh Attaturk dan Menlu Inggris Lord Curzon pada 24 Juli 1923 menegaskan bahwa segala konstitusi Islami harus dihapuskan jikalau Turki ingin merdeka. Attaturk kemudian setuju untuk menganut republik sekuler, dan menghapus pemerintahan kekhilafahan sebelumnya (Mustofa A.Rahman, 2003).

Pemberontakan etnis Kurdi pertama kali muncul pada Februari 1925

dipimpin oleh Syeikh Said, namun pemberontakan ini tidak bertahan lama karena rezim Mustafa Kemal Attaturk pada saat itu cukup sigap dengan segera mengerahkan angkatan bersenjatanya untuk menumpas pemberontakan tersebut. Pada tahun 1929 pemberontakan kembali terjadi namun dengan tingkat kekerasan yang lebih kecil dibandingkan sebelumnya sehingga dengan mudah dapat segera ditangani oleh pemerintah Turki. Pasca pemberontakan kedua ini, sejumlah pimpinan Kurdi yang tertangkap diasingkan ke daerah-daerah pedalaman di wilayah timur. Pengawasan secara ketat segera dilakukan atas daerah tersebut, dan kawasan tersebut kemudian dinyatakan tertutup bagi pengunujng asing. Isolasi ini bertujuan untuk mencegah timbulnya kembali pemberontakan etnis Kurdi yang mengancam proyek modernisasi dan sekulerisasi Attaturk atas Turki (George, Lenezowski, 1992).

Pada masa yang sama, Turki mengadopsi sistem numerasi

internasional dan alfabet Latin. Berikutnya Turki mengadopsi kode komersial baru (1929), hak voting dan elektoral bagi perempuan dalam pemilu lokal (1930) dan kemudian dalam pemilu parlemen (1934), melarang pemakaian kostum- kostum keagamaan di luar tempat ibadah (1934), mengadopsi nama akhir (1935), dan masih banyak lagi. Akibatnya, segala bentuk pengungkapan diri bagi kaum Kurdi (juga kelompok-kelompok minoritas lain di Turki) yang menunjukkan identitas etnik yang unik direpresi secara semena-mena. Kurdi tidak punya hak berpolitik (untuk beberapa lama), tidak punya akses pendidikan, dan informasi. (Erik, J. Zurcher, 2003).

Ibu Kota mendirikan Kurt Teavun ve Terakki Cemiyeti (Perhimpunan bagi Dukungan dan Kemajuan rakyat Kurdi), dimana Said Nursi, seorang reformis, religious, adalah salah satu anggotanya. Namun perhimpunan ini memiliki tujuan- tujuan sosial dan bukan politik, dan dia tetap terasing dari massa penduduk di Tenggara. Pada tahun 1912 sejumlah mahasiswa Kurdi di Istanbul membentuk Hevi (Harapan), sebuah perkumpulan dengan tendensi yang lebih nasionalis. Pada masa perang kemerdekaan terdapat sebuah gerakan perlawanan rakyat Kurdi yang menentang kaum nasionalis di Dersim (sekarang menjadi Tunceli), yang dipimpin oleh kepala suku yang menuntut otonomi, namun dapat ditumpas dengan mudah. Pada umumnya rakyat Kurdi mendukung perlawanan itu, meskipun ada upaya- upaya para agen Inggris untuk mempengaruhi mereka dan meskipun terdapat fakta bahwa mereka diberi otonomi dibawah Perjanjian Sevres. Terdapat para wakil Kurdi di Urzurum dan di Sivas serta bahkan di Komite Representatif kaum nasionalis (Erik, J. Zurcher, 2003: 219-220).

Batas-batas Negara baru Republik yang secara kebetulan berada

disebelah Tenggara melintas padang rumput milik suku-suku Kurdi, sekitar 20 persen penduduknya adalah asli orang Kurdi, namun mereka tidak disebut dalam perjanjian damai di Lausanne dan janji-janji otonomi yang dibuat oleh para pemimpin nasionalis, termasuk Mustafa Kemal Pasha sendiri, dimasa perjuangan kemerdekan ternyata dilupakan oleh pemerintah Turki. Hal ini sangat mengecewakan para nasionalis Kurdi. Pada tahun 1923, para mantan Perwira Milisia

Kurdi membentuk perhimpunan Azadi (Kebebasan), yang

menyelenggarakan Kongres pertamanya di tahun 1924. Didalam kongres tersebut, salah seorang yang penampilannya memikat perhatian adalah Sheikh Said dari Palu, sangat berpengaruh di kalangan suku-suku Zaza. Dia adalah seorang pemuka agama, memiliki pengaruh politik yang sangat besar di Kurdistan.

Hubungan antara rakyat Kurdi dan pemerintah Republik yang

didominasi oleh orang Turki memburuk pada tahun 1924. Penghapusan Kekhalifahan menghapuskan symbol religious penting yang menyatukan dua komunitas tersebut. Pada waktu yang sama republik nasionalis, dalam usahanya didominasi oleh orang Turki memburuk pada tahun 1924. Penghapusan Kekhalifahan menghapuskan symbol religious penting yang menyatukan dua komunitas tersebut. Pada waktu yang sama republik nasionalis, dalam usahanya

Tanda pertama perlawanan dari suku Kurdi terhadap kebijakan-

kebijakan tersebut adalah sebuah pemberontakan abortif yang dilancarkan oleh garnisium di Beytussebap di sebelah tenggara pada bulan Agustus 1924. Pemberontakan besar juga dirancang oleh Azadi dan Sheikh Said untuk dilancarkan bulan Mei 1925. Peristiwa ini ternyata meletus lebih cepat dari perkiraan dan para pemberontak Kurdi kini secara cepat dapat didesak kembali ke pegunungan. Penagkapan Sheikh Said pada tanggal 27 April betul-betul menandai berakhirnya pemberontakan tersebut. Sekalipun kelompok-kelompok kecil gerilyawan masih melanjutkan perang gerilya disepanjang musim panas.

Pada tahun 1926, pemberontakan Kurdi kembali meletus di Lereng

Gunung Ararat, yang memakan waktu empat tahun dan dapat dipandang sebagai kelanjutan langsung dari pemberontakan Sheikh Said, namun pemberontakan ini tidak begitu meluas. Pasca pemberontakan itu pemerintah melalui para pejabat militer dan pengadilan-pengadilan kemerdekaan memperlakukan orang-orang Kurdi secara sangat kejam. Banyak dari para pemimpin mereka yang dihukum mati dan sejumlah besar orang Kurdi, yang berjumlah lebih dari 20.000 orang, dideportasi dari tenggara dan dipaksa untuk tinggal dibagian barat egara Turki. Sejak saat itu, eksistensi identitas Kurdi yang tersendiri secara resmi ditolak. Undang-undang Pemeliharaan Ketertiban bukan hanya digunakan untuk menumpas rakyat Kurdi. Delapan dari beberapa surat kabar dan terbitan berkala yang trepenting (konservatif, liberal, bahkan Marxis) di Istanbul ditutup, sebagaimana halnya surat kabar di profinsi, dengan demikian hanya tersisa organisasi milik pemerintah Turki saja yaitu Hakimiyet-I Milliye (Kedutaan Nasional) di Ankara dan Cumhuriyet di Istanbul sebagai satu-satunya surat kabar nasional.

Mustafa Kemal Attaturk, penggunaan bahasa Kurdi dilarang di depan publik. Pemerintah Turki melarang penyampaian pendidikan dan penyebaran informasi baik dalam bentuk media cetak maupun media elektronik dalam bahasa Kurdi. Tujuan pelarangan bahasa Kurdi ini adalah untuk menasionalisasikan suku Kurdi menjadi warga Negara atau bangsa Turki tanpa ada unsur-unsur etnis yang melekat pada setiap suku di Turki.

Pelarangan memakai bahasa Kurdi ini sejak dideklarasikannya

Republik Turki pada tahun 1924 istilah kewarganegaran harus disesuaikan dengan istilah ke-Turki-an, etnis Kurdi dan etnis lainnya yang dapat dikatakan sebagai warga Negara Turki apabila mereka menggalkan identitas keetnisannya. Penekanan dan pengekangan terhadap identitas Kurdi inilah yang mengakibatkan munculnya konflik antara pemerintah dan etnis Kurdi. Dalam konteks ini PKK (Kurdistan Worker Party) untuk memperjuangkan apa yang menjadi hak-hak etnis Kurdi, dibawah pimpinan Abdullah Ocalan memotori aksi separatisme di wilayah Turki Tenggara. Pada awalnya organisasi ini berjalan secara rahasia, namun kemudian tumbuh dan berkembang pesat dan berhasil menarik perhatian di kancan internasional dan akhirnya menjadi sebuah identitas baru bagi etnis Kurdi (Ully Nuzulian, 2009).

Masalah politik yang semakin banyak mendominasi agenda Turki

selama bertahun-tahun adalah masalah megenai hak-hak warga Kurdi. Setelah kudeta bulan September 1980, penindasan atas ekspresi identitas Kurdi diintensifkan. Bahkan pemakaian bahasa Kurdi dalam percakapan pribadi secara resmi dilarang. Rakyat secara konstan dituduh melakukan propaganda separatisme oleh Ibrahim Tatlises seorang penyanyi pop yang hendak menyanyikan lagu rakyat dengan bahasa ibunya, yaitu bahasa Kurdi. Meskipun langkah-langkah keras terus dilakukan oleh rezim militer Turki, kepemimpinan gerakan Kurdi yang paling radikal, Partiya Karkeren Kurdistan ( Partai Pekerja Kurdi, yang lebih dikenal dengan PKK), yang didirikan pada bulan November 1978 oleh Abdullah Ocalan tetap mampu mengahadapi Negara. PKK juga bukan merupakan organisasi politik Kurdi yang pertama muncul pada tahun 1970-an. Samapi tahun selama bertahun-tahun adalah masalah megenai hak-hak warga Kurdi. Setelah kudeta bulan September 1980, penindasan atas ekspresi identitas Kurdi diintensifkan. Bahkan pemakaian bahasa Kurdi dalam percakapan pribadi secara resmi dilarang. Rakyat secara konstan dituduh melakukan propaganda separatisme oleh Ibrahim Tatlises seorang penyanyi pop yang hendak menyanyikan lagu rakyat dengan bahasa ibunya, yaitu bahasa Kurdi. Meskipun langkah-langkah keras terus dilakukan oleh rezim militer Turki, kepemimpinan gerakan Kurdi yang paling radikal, Partiya Karkeren Kurdistan ( Partai Pekerja Kurdi, yang lebih dikenal dengan PKK), yang didirikan pada bulan November 1978 oleh Abdullah Ocalan tetap mampu mengahadapi Negara. PKK juga bukan merupakan organisasi politik Kurdi yang pertama muncul pada tahun 1970-an. Samapi tahun

menyebabkan pemerintah dan pasukan militer Turki frustasi. Intimidasi menjadi motif utama dari aktivitas PKK tersebut (Erik, J. Zurcher, 2003).

September 1980, Ocalan yang tinggal di Damaskus dan dengan

bantuan dari pemerintah Syria mendirikan kamp-kamp pelatihan di lembah

Di bulan Juli 1981 kongres pertama PKK diselenggarakan di tapal batas Syria dan Lebanon. Sejak 1982 perang Irak-Iran memberikan peluang bagi organisasi- organisasi Kurdi di Irak Utara, Partai Demokrat Kudistan (PDK) pimpinan Mahmud Barzani dan Persatuan Patriorik Kurdistan (PPK) pimpinan Jalal Talabani mengijinkan para pengikut Ocalan untuk beroperasi dari bagian tapal batas Irak-Turki yang dikuasai oleh PDK. Hal ini memberikan PKK dua rute Infiltrasi ke Turki yaitu secara langsung dari Syria dan melalui Kurdistan wilayah Irak (Erik, J. Zurcher, 2003).

PKK juga bukan merupakan organisasi politik Kurdi yang pertama

muncul pada tahun 1970-an. Sampai tahun 1980 organisasi-organisasi lainnya bahkan lebih penting dan secara ideologis lebih canggih. Namun PKK satu- satunya partai yang secara sadar ditujukan kepada kaum miskin dan warga desa yang tidak berpendidikan dan para pemuda di kota yang merasa telah lepas dari masyarakat mereka melalui program sederhana dan penekanan yang kuat pada aksi bersenjata. Para gerilyawan PKK menjelaskan bahwa aksi menahan serangan dari penjaga desa (village guard) ciptaan pemerintah Turki. Ribuan penduduk

2003). Tahun 1984, PKK mengubah dirinya menjadi sebuah organisasi

paramiliter, yang berbasis diwilayah Iran, Irak, dan Syria. Pada tahun yang sama, serangan konvensional pertama segera dilancarkan terhadap target-target milik pemerintah di Provinsi Anatolia, wilayah tenggara Turki. Jika sebelumnya serangan-serangan terhadap kepentingan pemerintah pusat dilakukan secara sporadik dan tak terorganisir dengan baik, maka pada periode ini perlawanan bersenjata PKK dilangsungkan secara pasif, kontinyu, dan terorganisir. Pada periode ini, PKK juga melancarkan serangan-serangan terhadap target-target pemerintah Ankara yang berada di Negara-negara Timur Tengah dan Eropa (http://www.globalsecurity.org).

Permasalahan politik yang semakin banyak mendominasi agenda Turki

adalah masalah megenai hak-hak warga Kurdi. Setelah kudeta bulan September 1980, penindasan atas ekspresi identitas Kurdi diintensifkan. Rakyat Kurdi secara konstan dituduh melakukan propaganda separatisme yang mengancam stabilitas dan keamanan negara bentukan Ataturk yang baru ini. Meskipun langkah-langkah keras terus dilakukan oleh rezim militer Turki, kepemimpinan gerakan Kurdi yang paling radikal, Partiya Karkeran Kurdistan ( Partai Pekerja Kurdi, yang lebih dikenal dengan PKK), yang didirikan pada bulan November 1978 oleh Abdullah Ocalan tetap mampu mengahadapi Negara. PKK merupakan wadah bagi etnis Kurdi untuk menyalurkan aspirasi serta sebagai perantara perjuangan mereka dalam mewujudkan suatu wilayah Kurdistan yang otonom. Selain itu etnis Kurdi juga menuntut hak-hak budaya mereka dikembalikan.