UPAYA PENINGKATAN PERTUMBUHAN TANAMAN JABON (Anthocephalus cadamba) DENGAN PEMBERIAN PUPUK KOMPOS KOTORAN SAPI PADA BEBERAPA KETINGGIAN TEMPAT

(1)

KEBERHASILAN HIDUP SETEK PUCUK JABON (Anthocephalus cadamba) DENGAN PEMBERIAN BEBERAPA KONSENTRASI

ROOTONE-F

Oleh

FERDIANSYAH PUTRA Skripsi

sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA KEHUTANAN

pada

Jurusan Kehutanan

Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG


(2)

ABSTRAK

KEBERHASILAN HIDUP SETEK PUCUK JABON (Anthocephalus cadamba) DENGAN PEMBERIAN BEBERAPA KONSENTRASI

ROOTONE-F Oleh

Ferdiansyah Putra

Jabon (Anthocephalus cadamba) adalah salah satu jenis pohon yang

memungkinkan dikembangkan pada hutan tanaman maupun hutan rakyat untuk memenuhi kebutuhan kayu di Indonesia. Akan tetapi, informasi silvikultur dalam pengembangannya masih terbatas khususnya di bidang penyedian bibit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persentase hidup, kemampuan bertunas, dan kemampuan berakar setek pucuk jabon akibat pemberian Rootone-F dengan berbagai konsentrasi.

Penelitian dilakukan dengan mengunakan Rancangan Acak Lengkap dengan empat perlakuan dan lima kali pengulangan. Perlakuan yang digunakan adalah perendaman pangkal setek pucuk dengan berbagai konsentrasi Rootone-F , yaitu 0 ppm, 100 ppm, 200 ppm, dan 300 ppm. Variabel yang diamati adalah persentase hidup, panjang tunas, diameter tunas, panjang akar setek, dan jumlah daun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian Rootone-F dengan konsentrasi 200 ppm menghasilkan tinggi tunas, panjang akar, dan jumlah daun setek pucuk yang paling baik dibandingkan dengan konsentrasi 0 ppm, 100 ppm, dan 300 ppm. Setek pucuk jabon yang diberi Rootone-F dengan konsentrasi 200 ppm memiliki persentase hidup 96% , panjang tunas 20,47 cm, panjang akar 19,60 cm, dan jumlah daun 6,18 helai.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa konsentrasi Rootone-F 200 ppm memberikan pengaruh terbaik, karena pada konsentrasi tersebut memberikan pengaruh yang berbeda nyata dibandingkan dengan konsentrasi lainnya.


(3)

(4)

(5)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... v

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 3

C. Manfaat Penelitian ... 3

D. Kerangka Pemikiran ... 3

E. Hipotesis ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

A. Deskripsi Jabon dan Kedudukan dalam Klasifikasi ... 6

B. Tempat Tumbuh dan Penyebaran Alamiah Tumbuh... 7

C. Keunggulan dan Kegunaan Jabon... 9

D. Pembiakan Pohon Secara Vegetatif dengan Setek... ... 12

E. Peranan Zat Pengatur Tumbuh. ... 13

III. METODE PENELITIAN ... 16

A. Waktu dan Tempat Penelitian. ... 16

B. Alat dan Bahan ... 16


(6)

1. Rancangan Penelitian... ... 16

2. Persiapan Penelitaian ... ... 18

a. Penyiapan Tempat Tumbuh ... ... 18

b. Menyiapkan Larutan Zat Pengatur Tumbuh ... ... 18

c. Pembuatan Media Penumbuh Setek ... ... 19

d. Pembuatan Sungkup ... ... 19

e. Pengambilan Bahan Setek Pucuk Jabon ... ... 20

3. Pelaksanaan Penelitian ... 20

a. Penyemaian Setek Pucuk Jabon ... 20

b. Pemeliharaan ... 21

c. Pengamatan ... 21

4. Analisis Data ... 23

a. Uji Homogenitas Varians... 24

b. Sidik Ragam ... 25

c. Uji BNJ ... 26

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 27

A. Hasil Penelitian. ... 27

1. Persentase Hidup ... 28

2. Panjang Tunas ... 28

3. Diameter Tunas ... 29

4. Panjang Akar ... 29

5. Jumlah Daun ... 29

B. Pembahasan. ... 29

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 34

A. Kesimpulan . ... 34

B. Saran . ... 34

DAFTAR PUSTAKA ... 35

LAMPIRAN ... 38 Tabel 4— Tabel 22 ... 38-44 Gambar 3— Gambar 8... 45-46


(7)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebutuhan kayu di Indonesia setiap tahun meningkat dan diperkirakan kebutuhan kayu nasional Indonesia mencapai lebih dari 60 juta m³. Lima puluh persen dari kebutuhan kayu tersebut digunakan sebagai bahan baku industri kayu lapis atau plywood. Pada tahun 70-an, 100% industri perkayuan mengandalkan hutan alam sebagai sumber pasokan bahan baku. Namun, akibat terjadinya kerusakan hutan alam dengan laju kerusakan mencapai 2,87 juta ha per tahun, membuat pasokan kayu berkurang drastis (Halawane dkk., 2011). Akhirnya industri perkayuan harus berpaling pada kayu hasil budidaya, baik dari hutan tanaman milik negara maupun hutan rakyat.

Hutan tanaman milik negara dan hutan rakyat merupakan hutan produksi yang sangat penting sebagai salah satu pemasok kayu bagi bahan baku industri dan rumah tangga. Jabon (Anthocephalus cadamba ) adalah salah satu jenis pohon yang dapat

dikembangkan pada hutan tanaman milik negara dan pada hutan rakyat karena memiliki pertumbuhan yang cepat dengan kualitas kayu yang bagus sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku kayu perkakas, kayu bakar, kayu lapis, papan partikel, dan kertas. Informasi silvikultur yang masih terbatas adalah salah satu


(8)

kendala dalam pengembangan jabon, khususnya informasi di bidang penyediaan bibit.

Ketersedian bibit jabon dapat diperoleh dengan cara perkembangbiakan secara generatif dan vegetatif. Kelemahan perkembangbiakan jabon secara generatif adalah viabilitas benihnya yang cenderung menurun yaitu benih yang disimpan kurang dari tiga bulan viabilitasnya menurun mencapi 60—70%. Sementara itu benih yang sudah disimpan lebih dari tiga bulan tergolong benih yang kurang baik untuk dibibitkan (Mulyana dkk.,2010). Oleh karena itu, salah satu alternatif untuk pengadaan bibit adalah perkembangbiakan secara vegetatif misalnya dengan setek.

Ada beberapa metode setek, salah satunya adalah setek pucuk. Keuntungan dari perkembangbiakan melalui setek pucuk adalah dapat dilakukan kapan saja sehingga tidak bergantung pada musim pohon jabon berbuah. Di samping itu, bahan setek dapat diambil dari anakan pohon-pohon yang unggul, sehingga akan diperoleh bibit hasil setek yang juga unggul (Mansur dan Tuheteru, 2010). Untuk mendukung keberhasilan hidup setek pucuk umumnya digunakan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT). Salah satu ZPT yang biasa digunakan yaitu Rootone-F.

Rootone-F adalah salah satu ZPT eksogen yang termasuk dalam kelompok auksin. Rootone-F dapat mempercepat dan memperbanyak keluarnya akar, sehingga penyerapan air dan hara oleh akar dapat berjalan dengan baik (Kusumo, 1994). Namun konsentrasi Rootone-F yang tepat untuk memperoleh keberhasilan hidup setek pucuk jabon belum diketahui, sehingga perlu dilakukan penelitian tentang


(9)

keberhasilan hidup setek pucuk jabon dengan pemberian beberapa konsentrasi Rootone-F.

B. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian:

1. Mengetahui persentase hidup setek pucuk jabon akibat pemberian Rootone-F dengan berbagai konsentrasi.

2. Mengetahui kemampuan pertumbuh pucuk, pertumbuhan akar, pertumbuhan diameter, dan pertumbuhan jumlah daun setek pucuk jabon dengan pemberian Rootone-F dengan berbagai konsentrasi.

C. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai berikut :

1. sebagai pedoman pemakaian Rootone-F untuk mempercepat pertumbuhan setek jabon,

2. untuk mengembangkan pembibitan Jabon dengan setek pucuk, 3. untuk menambah informasi silvikultur dalam pengembangan jabon.

.

D. Kerangka Pemikiran

Jabon merupakan salah satu jenis pohon lokal Indonesia yang berpotensi untuk

dikembangkan dalam pembangunan hutan tanaman, baik untuk hutan tanaman rakyat, hutan rakyat, reklamasi lahan bekas tambang, maupun untuk pohon peneduh.


(10)

lain: teknik budidayanya mudah, penyebaran alamiahnya luas, bernilai ekonomi tinggi, dan memiliki manfaat lainnya dari produk nirkayu, fungsi estitika, ekologis, maupun manfaat sosialnya (Mansur dan Tuheteru, 2010).

Perkembangbiakan tanaman secara vegetatif, khususnya dengan setek menjadi alternatif yang banyak dipilih orang karena caranya sederhana, tidak memerlukan teknik yang rumit sehingga dapat dilakukan oleh siapa saja. Wudianto (2002) mendefinisikan setek sebagai suatu perlakuan pemisahan, pemotongan beberapa bagian tanaman misalnya akar, batang, daun dan tunas dengan tujuan agar bagian-bagian itu membentuk akar. Dengan dasar itu maka muncul istilah setek akar, setek batang, setek daun, dan sebagainya. Tanaman yang dihasilkan dari setek biasanya mempunyai kesamaan sifat dalam hal umur, ukuran tinggi, ketahanan terhadap penyakit dan sifat-sifat lainnya. Selain itu, dengan cara menyetek dapat diperoleh tanaman yang sempurna yaitu tanaman yang mempunyai akar, batang, dan daun.

Keberhasilan hidup setek pucuk dapat didukung oleh beberapa faktor. salah satunya menggunakan ZPT. Rootone-F merupakan salah satu ZPT eksogen yang termasuk dalam kelompok auksin. Rootone – F mengandung bahan aktif antara lain sebagai berikut (Manurung, 1987).

a. 1 – Naphthaleneacematide (0,06%)

b. 2 – Methyl – 1 – Naphthaleneacetic Acid (0,033%) c. 3 – Methyl – 1 – Naphthaleneacematide (0,013%) d. Indole – 3 – Butiryc Acid (0,057%)


(11)

Penelitian Mardianto (2007) tentang lama perendaman dan konsentrasi larutan Rootone-F terhadap pertumbuhan setek pucuk gaharu menunjukkan bahwa terjadi interaksi antara lama perendaman dengan konsentrasi larutan Rootone-F pada pengamatan 14 hari, 28 hari, dan 35 hari setelah setek disemai. perlakuan lama perendaman 15 menit dengan konsentrasi larutan Rootone-F 200 ppm menghasilkan rerata tinggi tunas paling tinggi mencapai 4 cm dibandingkan dengan perlakuan 0 ppm, 400 ppm, dan 600 ppm. Sedangkan perlakuan 400 ppm dan 600 ppm pertumbuhan cendrung menurun dibandingkan 0 ppm.

Secara umum, pengaruh penggunaan Rootone-F untuk meningkatkan keberhasilan hidup setek pucuk jabon dengan berbagi kosentrasi belum diketahui secara pasti, sehingga perlu dilakukan penelitian tentang keberhasilan hidup setek pucuk jabon dengan pemberian beberapa konsentrasi Rootone-F.

E. Hipotesis

1. Konsentrasi Rootone-F 200 ppm mempunyai pengaruh terbaik terhadap persentase hidup setek pucuk jabon.

2. Pemberian Rootone – F dengan konsentrasi 200 ppm menghasilkan pertumbuh pucuk, pertumbuhan akar, pertumbuhan diameter, dan pertumbuhan jumlah daun yang terbaik pada setek pucuk jabon dibandingkan dengan konsentrasi 0 ppm, 100 ppm, dan 300 ppm.


(12)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Deskripsi Jabon dan Kedudukan dalam Klasifikasi

Berdasarkan klasifikasinya, jabon termasuk ke dalam famili Rubiaceae. Secara lengkap, susunan klasifikasi jabon adalah sebagai berikut (Mansur

dan Tuheteru, 2010).

Regnum : Plantae (tumbuhan)

Subregnum : Tracheobionta (tumbuhan berpembuluh) Superdivisi : Spermatophyta (tumbuhan berbiji) Divisi : Magnoliophyta (tumbuhan berbunga) Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua/dikotil) Sub-kelas : Asteridae

Ordo : Rubiales Famili : Rubiaceae Genus : Anthocephalus

Spesies : Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq.

Jabon merupakan salah satu jenis pohon asli Indonesia dan memiliki prospek cukup baik untuk dikembangkan karena jabon termasuk pohon cepat

tumbuh, dapat tumbuh di berbagai jenis tanah, tidak mudah terserang oleh hama dan penyakit secara serius (Mulyana dkk., 2010).


(13)

Tinggi pohon jabon dapat mencapai 45 m dengan panjang batang bebas cabang 30 m, diameter batang 160 cm, batangnya lurus dan silindris, bertajuk tinggi dengan cabang mendatar, pangkal batang berbanir sampai ketinggian 1,50 m. Kulit luar berwarna kelabu-coklat sampai coklat, sedikit beralur dangkal.

Daunnya tunggal, panjang tangkai 1½ -- 4 cm, helaian daun berbentuk ellips atau lonjong, kadang hampir bundar. Bunganya cukup besar, semacam bunga bongkol, diameter 4 ½ -- 6 cm. Panjang Buah 6 mm diliputi daun kelopak, bagian

bawahnya agak lunak, berbiji banyak. Kayu jabon mempunyai berat jenis 0,42 (0,29--0,56), kelas kuat III—IV, dan kelas awet V (Mulyana dkk., 2010).

B. Tempat Tumbuh dan Penyebaran Alamiah

Jabon merupakan tanaman pionir yang dapat tumbuh baik pada tanah-tanah Aluvial yang lembab dan umumnya dijumpai di hutan sekunder di sepanjang bantaran sungai dan daerah transisi antara daerah berawa, daerah yang tergenang air secara permanen maupun secara periodik. Beberapa pohon jabon terkadang juga ditemukan di hutan primer. Pohon jabon tumbuh baik pada berbagai jenis tanah, terutama pada tanah-tanah yang subur dan beraerasi baik (Soerianegara dan Lemmens, 1994).

Kondisi lingkungan tempat tumbuh yang dibutuhkan oleh jabon adalah tanah lempung, Podsolik Cokelat, dan Aluvial lembab yang biasanya terpenuhi di daerah pinggir sungai, daerah peralihan antara tanah rawa, dan tanah kering yang kadang-kadang tergenangi air. Umumnya, jabon ditemukan di hutan sekunder dataran rendah dan dijumpai di dasar lembah, sepanjang sungai dan punggung-punggung bukit (Mansur dan Tuheteru, 2010).


(14)

Jabon juga dapat tumbuh dengan baik di tanah liat, tanah lempung Podsolik Coklat, tanah tuft halus atau tanah berbatu. Jabon termasuk tanaman yang toleran terhadap tanah asam, tetapi pertumbuhannya menjadi kurang optimal bila ditanam pada lahan yang berdrainase jelek. Kondisi iklim tempat tumbuh yang sesuai untuk jabon adalah tipe iklim basah sampai kering dengan tipe curah hujan A sampai D (Mansur dan Tuheteru, 2010).

Jabon juga dapat tumbuh secara alami di lahan-lahan bekas tambang di

Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, dan Nusa Tenggara Barat yang memang kondisinya ekstrim, yaitu di tanah dengan pH yang rendah (pH = 4) dan tidak subur, terendam air, serta kondisi lingkungan yang sangat terbuka dengan suhu yang relatif tinggi. Kelebihan jabon itulah yang membuat jabon potensial sebagai alternatif untuk dipilih selain pohon sengon dan akasia yang telah lebih dahulu menjadi jenis pohon utama tanaman untuk rehabilitasi lahan bekas tambang (Mansur dan Tuheteru, 2010).

Cahaya merupakan faktor yang sangat penting bagi pertumbuhan jabon. Pada habitat alaminya, suhu maksimum untuk pertumbuhan jabon berkisar 32–42 ˚C dan suhu minimum berkisar 3–15,5 ˚C. Jabon tidak toleran terhadap cuaca dingin, rata-rata curah hujan tahunan di habitat alaminya berkisar 1.500–5.000 mm. Jabon dapat pula tumbuh pada daerah kering dengan curah hujan tahunan sedikitnya 200 mm, misalnya di bagian tengah Sulawesi Selatan. Pohon jabon tumbuh baik pada ketinggian 300–800 m di atas permukaan laut. Di daerah khatulistiwa, jenis ini tumbuh pada ketinggian 0–1.000 m dpl (Martawijaya dkk., 2005).


(15)

Penyebaran alamiah Jabon terjadi di beberapa negara di antaranya di Australia, Cina, India, Indonesia, Malaysia, Papua Nugini, Filipina, Singapura, dan Vietnam. Jabon merupakan jenis pohon yang disukai tidak hanya di habitat alaminya, tetapi juga di luar habitat alaminya. Jabon juga telah berhasil diintroduksikan di Kosta Rika, Puerto Riko, Afrika Selatan, Suriname, Taiwan,Venezuela, dan negara-negara subtropis dan tropis lainnya (Krisnawati dkk., 2011).

Di Indonesia sendiri, jabon ternyata memiliki daerah penyebaran alami hampir di seluruh wilayah Indonesia, seperti Sumatera, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, dan Papua (Mansur dan Tuheteru, 2010).

C. Keunggulan dan Kegunaan Jabon

Jabon merupakan salah satu jenis tumbuhan lokal indonesia yang

pertumbuhannya sangat cepat (fast growing species) dan dapat tumbuh subur di hutan tropis. Saat ini, jabon menjadi andalan industri perkayuan karena jabon memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan tanaman kayu lainnya. Beberapa keunggulan jabon sebagai berikut (Mulyana dkk., 2010).

1. Jabon tergolong tanaman yang cepat tumbuh. Pertumbuhan diameter batang pertahun sekitar 5—10 cm dan pertumbuhan tinggi pohon sekitar 3—6 meter pertahun.

2. Pemanenan kayu jabon relatif singgkat. Pasalnya panen jabon dengan diameter batang 30—50 cm hanya membutuhkan waktu 5—6 tahun.


(16)

3. Hasil log kayu jabon yang dimasukkan kedalam mesin rotary menghasilkan veneer basah yang memiliki kualitas lebih baik dibandingkan dengan kayu sengon. Bahkan kedepannya, kayu jabon diproyeksikan untuk menggantikan kayu meranti sebagai bahan baku kayu lapis.

4. Kayu jabon sangat bagus digunakan sebagai bahan kontruksi, seperti bahan untuk membuat kusen rumah atau perlengkapan lainnya. Selain itu, kayu jabon dapat diukir untuk memperindah penampilannya. Pemanfaatan kayu jabon sebagai bahan baku ukiran sudah digunakan oleh beberapa perusahan mebel. 5. Limbah kayu jabon dapat digunakan sebagai bahan baku papan partikel atau

bubur kertas. Sementara itu, kayu jabon yang berkualitas paling rendah dapat dimanfaatkan untuk membuat balken, papan buah, peti, dan sumpit.

6. Tanaman jabon secara alami memiliki batang kayu yang lurus dan silindris. Cabangnya berukuran kecil dan mendatar. Jabon memiliki kemampuan

pemangkasan alami yang tinggi sehingga batangnya bisa tumbuh dengan bebas dan tinggi dibandingkan dengan tanaman lain seperti sengon.

7. Jabon termasuk tumbuhan pionir dan dapat tumbuh di lahan terbuka atau kritis, seperti tanah liat, tanah lempung podsolik coklat, dan tanah berbatu. Karena itu, jabon dapat digunakan untuk berbagai tujuan, diantaranya penghijauan, reklamasi lahan bekas tambang, dan pohon peneduh.

8. Jabon relatif lebih tahan serangan hama dan penyakit dibandinggkan dengan pohon sengon.

Jabon merupakan jenis pohon lokal yang dapat direkomendasikan untuk

dikembangkan dalam pembangunan hutan tanaman karena pemanfaatan kayunya sudah dikenal luas oleh masyarakat. Kayu jabon banyak digunakan untuk korek


(17)

api, kayu lapis, peti pembungkus, cetakan beton, mainan anak-anak, pulp dan kertas, kelom dan konstruksi yang ringan. Kayu jabon mudah digunakan untuk venir tanpa perlakuan pendahuluan dengan sudut kupas 92º untuk tebal 1,5 mm. Perekatan venir kayu jabon dengan urea-formaldehida menghasilkan kayu lapis yang memenuhi persyaratan standar Indonesia, Jepang, dan Jerman (Martawijaya dkk., 2005).

Kayu jabon dapat digunakan sebagai lapisan permukaan maupun lapisan inti kayu lapis dan sesuai untuk membuat papan partikel, papan bersemen, dan papan kertas. Kegunaan kayu jabon yang terpenting ialah untuk membuat kertas

bermutu rendah hingga sedang. Jabon juga berfungsi sebagai pohon peneduh yang digunakan untuk reboisasi dan rehabilitasi lahan (Soerianegara dan Lemmens, 1994).

Di India, organ-organ pohon jabon misalnya bunga, buah, daun, kulit, kayu, dan akarnya ternyata sudah dimanfaatkan secara komersial. Bunga jabon dapat digunakan sebagai sumber bahan parfum khas India yang disebut ‗attar‘. Selain itu, pohon jabon menjadi salah satu jenis yang bunganya dikembangkan untuk mendukung usaha lebah madu. Getah kuning dari kulit akar dapat digunakan sebagai bahan celupan pewarna kuning yang dapat dimanfaatkan dalam usaha kerajinan tangan. Kulit kayu yang telah kering dapat dimanfaatkan untuk mengobati demam dan sebagai obat kuat. Di India, campuran kulit kayu jabon dengan kulit kayu mangga (Mangiferaindica) dan kulit kayu meranti (Shorea robusta) dimanfaatkan untuk mengobati penyakit kolera dan stroke, sedangkan


(18)

seduhan kulit batangnya dipercaya dapat menyembuhkan penyakit disentri (Mansur dan Tuheteru 2010).

D. Pembiakan Pohon Secara Vegetatif dengan Setek

Setek adalah salah satu teknik pembiakan pohon tanaman secara vegetatif, dan menjadi alternatif yang banyak dipilih. Karena caranya sederhana, tidak memerlukan teknik yang rumit sehingga dapat dilakukan oleh semua orang. Tanaman yang dihasilkan dari setek biasanya mempunyai kesamaan sifat dalam umur, ukuran tinggi, ketahanan terhadap penyakit dan sifat-sifat lainnya. Selain itu kita juga memperoleh tanaman yang sempurna yaitu tanaman yang mempunyai akar, batang, dan daun (Wudianto, 2002).

Wudianto (2002) mendefinisikan setek sebagai suatu perlakuan pemisahan, pemotongan beberapa bagian tanaman misalnya akar, batang, daun dan tunas dengan tujuan agar bagian-bagian itu membentuk akar. Atas dasar definisi tersebut, muncullah istilah setek akar, setek batang, setek daun, dan setek pucuk.

Setek pucuk adalah sebuah metode yang penting dalam pembiakan hutan tanaman, karena setek pucuk adalah usaha perbanyakan tumbuhan secara vegetatif yang sederhana, dan dapat digunakan untuk memproduksi bibit secara masal (Kantarli dkk., 1993).

Stek pucuk adalah usaha perbanyakan tumbuhan secara vegetatif dengan cara menyemaikan pucuk pohon sehingga menjadi bibit yang siap tanam. Pada dasarnya teknik setek pucuk dikembangkan dari teknik setek batang yang telah diaplikasikan secara luas pada tanaman hutan seperti pada famili


(19)

Dipterocarpaceae,Morus alba, Peronema canescens dan Pterocarpus indicus (Subiakto dan Sakai, 2007).

E. Peranan Zat Pengatur Tumbuh

Menurut Heddy (1991) Hormon berasal dari bahasa Yunani yaitu Hormoein yang berarti menggiatkan, atau suatu substansi yang disintesis pada suatu organ yang pada gilirannya merangsang terjadinya respons pada organ yang lain. Hormon dibedakan menjadi hormon endogen dan eksogen. Hormon endogen adalah hormon yang dihasilkan tanaman itu sendiri atau sering disebut dengan

fitohomon, sedangkan hormon eksogen adalah hormon yang diberikan dari luar tanaman hormon eksogen ini lebih dikenal sebagai ZPT (Hartman dan Kester 1983).

Hormon tanaman (fitohormon) adalah ―regulator‖ yang dihasilkan oleh tanaman sendiri dan pada konsentrasi tertentu mengatur proses fisiologis tanaman.

Hormon biasanya mengalir di dalam tanaman dari tempat dihasilkannya ke tempat keaktifannya (Kusumo, 1994). Hormon tumbuhan terdiri dari tiga group

senyawa, yaitu : auksin, giberilin dan sitokonin (Heddy, 1991). Hormon auksin adalah salah satu hormon tanaman yang tidak lepas dari proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Istilah auksin sendiri berasal dari bahasa Yunani auxein yang artinya meningkatkan, auksin pertama kali ditemukan oleh Frits Went pada tahun 1926 yang kini diketahui sebagai Asam Indole Asetat (IAA)(Salibury dan Ross, 1995).


(20)

Auksin pertama kali diisolasi pada tahun 1928 dari biji-bijian dan tepung sari bunga yang tidak aktif, dari hasil isolasi didapatkan rumus kimia auksin (IAA = Asam Indolasetat) atau C10H9O2N. Setelah ditemukan rumus kimia auksin, maka terbuka jalan untuk menciptakan jenis auksin sintetis seperti Hidrazil atau 2, 4 - D (asam -Nattalenasetat), Bonvel Da2, 4 Diklorofenolsiasetat), NAA (asam (asam 3, 6 - Dikloro - O - anisat/dikambo), Amiben atau Kloramben (Asam 3 - amino 2, 5 – diklorobenzoat) dan Pikloram/Tordon (asam 4 – amino – 3, 5, 6 – trikloro – pikonat) (Abidin, 1983). Menurut Hartman dan Kester (1983) hormon auksin berperan dalam merangsang pembentukan akar pada setek. Auksin ini ditranslokasi dari tunas ke bagian pangkal setek membentuk kompleks rhizokalin selanjutnya mendorong perkembangan akar.

ZPT adalah senyawa organik bukan nutrisi yang dalam konsentrasi tertentu dapat mendorong, menghambat atau secara kualitatif mengubah pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Pengaturan pertumbuhan ini dilakukan dengan cara pembentukan hormon-hormon yang sama, mempengaruhi sintesis hormon, perusakan translokasi atau dengan cara perubahan tempat pembentukan hormon (Wattimena, 1992).

Rootone-F adalah salah satu ZPT eksogen kelompok auksin. Rootone-F sangat aktif mempercepat dan memperbanyak keluarnya akar sehingga penyerapan air dan hara oleh akar tanaman akan banyak. Penggunaan Rootone-F dengan konsentrasi yang tepat, secara ekonomis dapat menghemat tenaga, waktu, dan biaya (Kusumo, 1994).


(21)

Cara pemberian ZPT pada setek pucuk dapat dilakukan dengan perendaman, pencelupan, dan pemolesan pada bagian pangkal bahan setek. Untuk metode perendaman, konsentrasi zat pengatur tumbuh bervariasi antara 20 ppm dan 200 ppm bergantung kepada kemampuan jenis tanaman untuk berakar (Hartman dan Kester, 1983).

Menurut Wattimena (1987) bahwa keberhasilan pemberian zat pengatur tumbuh ditentukan oleh konsentrasi zat pengatur tumbuh. Pemberian pada

konsentrasi yang berlebihan menyebabkan terganggunya fungsi-fungsi sel akibat terjadinya ketidak seimbangan hormon tumbuh di dalam tanaman, sehingga pertumbuhan tanaman menjadi terhambat. Sebaliknya pada konsentrasi yang terlalu rendah kemungkinan pengaruh pemberian ZPT menjadi tidak tampak, oleh karena itu pemberian ZPT pada tanaman haruslah tepat konsentrasinya.


(22)

III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada April sampai dengan Juni 2012 di Perum Polda 2 Gang Mawar no 7 Kelurahan Pinang Jaya, Kecamatan Kemiling, Kota Bandar Lampung, Lampung.

B. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan adalah polibag ukuran 10 cm x 15 cm, ember, golok, pisau, kotak plastik, sprayer, cangkul, label, alat tulis, plastik sungkup, paranet 70%, kasau untuk rangka sugkup, kaliper, penggaris, alat pengukur kelembapan, gelas ukur, kalkulator, dan lembar pengamatan.

Bahan yang digunakan untuk penelitian adalah pucuk jabon, media penumbuh setek berupa campuran pasir sungai dan arang sekam padi dengan perbandingan 3 : 1, air, dan Rootone-F.

C. Prosedur Penelitian

1. Rancangan Penelitian

Penelitian dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Model matematika RAL secara umum adalah sebagai berikut (Hanafiah, 2004).


(23)

Yij = μ+τi+ εij Keterangan:

Yij = nilai pengamatan pada perlakuan ke-i ulangan ke-j μ = nilai rerata harapan

τi = pengaruh faktor perlakuan ke-i

εij = pengaruh galat akibat perlakuan ke-i ulangan ke-j i = 1, 2, 3, ..., k

j = 1, 2, 3, ..., n

Pada penelitian ini mengaplikasikan empat perlakuan yaitu perendaman dengan Rootone–F berkonsentrasi 0 ppm, 100 ppm, 200 ppm, dan 300 ppm. Masing-masing perlakuan diulang lima kali. Setiap unit percobaan terdiri dari lima setek pucuk jabon, sehingga setek pucuk jabonyang diperlukan sebanyak 100 setek pucuk.

Adapun tata letak setiap unit percobaan dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Tata letak unit percobaan pada rancangan acak lengkap. T 3.4

T 4.5

T 1.4 T 2.4

T 4.1

T 2.5 T 1.5 T 4.3 T 4.2 T 1.1 T 3.1 T 1.3 T 1.1 T 2.1 T 4.4 T 3.2 T 3.3 T 3.5 T 2.2 T 2.3


(24)

Keterangan :

T1.1= setek jabon tanpa pemberian Rootone–Fpada perlakuan 1 ulangan 1 T2.1= setek jabon mengunakan Rootone–F berkonsentrasi100 ppm pada

perlakuan 2 ulangan 1

T3.1= setek jabonmengunakan Rootone–F berkonsentrasi 200 ppm pada perlakuan 3 ulangan 1

T4.1 = setek jabon mengunakanrootone-f berkonsentrasi 300 ppm Rootone-F pada perlakuan 4 ulangan 1.

2. Persiapan Penelitian

a. Penyiapan Tempat Tumbuh

Rumah tumbuh terbuat dari bambu dengan ukuran 3 m x 2 m x 2 m, kemudian ditutupi dengan paranet dengan intensitas cahaya 70% yang berarti bahwa cahaya yang terhalangi sebesar 70%.

b. Menyiapkan Larutan Zat Pengatur Tumbuh

Konsentrasi Rootone-F yang diaplikasikan meliputi 0 ppm (kontrol), 100 ppm, 200 ppm, dan 300 ppm. Penyiapan larutan Rootone-F dilakukan dengan cara : 1. Konsentrasi 0 ppm tanpa Rootone-F

2. Konsentrasi 100 ppm, adalah campuran 100 mg Rootone-F dengan 1 liter air 3. Konsentrasi 200 ppm, adalah campuran 200 mg Rootone-F dengan 1 liter air. 4. Konsentrasi 300 ppm, adalah campuran 300 mg Rootone-F dengan 1 liter air.


(25)

c. Pembuatan Media Penumbuh Setek

Media penumbuh setek yang digunakan untuk menyemai setek pucuk jabon adalah campuran pasir sungai dan arang sekam padi dengan perbandingan 3:1. Media penumbuh setek dibesihkan dari kotoran dan gulma serta digemburkan, kemudian diberi fungisida dithane sebanyak satu sendok teh dan pestisida furadan sebanyak satu sendok makan secara merata. Media penumbuh setek ditutup terpal dan dibiarkan selama 1 minggu.

Setelah 1 minggu media tersebut dimasukkan ke dalam polibag berukuran 10 cm x 15 cm dengan menggunakan tangan. Pengisian media penumbuh setek

diupayakan tidak terlalu padat dan tidak terlalu renggang, sehingga kantong polibag dapat berdiri tegak. Kemudian polibag diberi label dan disusun sesuai dengan tata letak percobaan pada Gambar 1.

d. Pembuatan Sungkup

Sungkup berupa kerangka kasau yang ditutup plastik transparan, gunanya untuk menutup setek pucuk yang baru disemai, agar kelembapan udara tetap tinggi. Bentuk sungkup berupa balok dengan ukuran 1,5 m x 1,5m x 1 m yang dapat dilihat pada Gambar 2.


(26)

e. Pengambilan Bahan Setek Pucuk Jabon

Bahan setek pucuk diambil di Way Kandis. Pucuk jabon yang diambil berjumlah 100 pucuk. Pengambilan pucuk jabon dilakukan dengan 3 tahapan yaitu.

1. Cabang atau ranting yang secara fisiologis muda, memiliki batang yang lurus dipangkas kemudian diambil pucuknya dengan jumlah ruas sebanyak dua atau lebih.

2. Pucuk yang telah dipilih tersebut dipotong dengan mengunakan pisau yang tajam dengan irisan miring. Panjang setek cukup 15 cm dipotong tepat di bawah buku-buku batang dengan diameter batang kira-kira 0,5 cm. Bahan setek yang telah diambil kemudian dibuang daunnya untuk mengurangi penguapan.

3. Bahan setek pucuk yang telah diambil tersebut dimasukkan ke dalam wadah kotak plastik kemudian ditutup dengan tujuan untuk menjaga kelembapan bahan setek pucuk supaya dapat bertahan selama proses pengambilan bahan setek berlangsung.

3. Pelaksanaan Penelitian

a. Penyemaian Setek Pucuk Jabon

Penyemaian setek pucuk jabon dilakukan dengan cara sebagai berikut.

1. Setek pucuk jabon disemai pada media penumbuh akar dalam polibag yang sebelumnya pangkal setek direndam ke dalam larutan Rootone-F sesuai dengan konsentrasi yang telah ditetapkan sebagai perlakuan selama 15 menit.


(27)

2. Media penumbuh akar di sekeliling setek ditekan supaya padat sehingga pada saat penyiraman media tersebut tidak hancur. Batang setek harus berdiri tegak sehingga pertumbuhan vertikal ke atas dan akar dapat tumbuh dengan baik. 3. Setek pucuk jabon yang telah disemai ke dalam polibag kemudian disusun

dalam bedeng sesuai dengan tata letak perlakuan pada rancangan acak lengkap dapat dilihat pada Gambar 1.

4. Polibag yang telah disusun tersebut selanjutnya ditutup dengan sungkup plastik transparan yang telah disiapkan sebelumnya. Sungkup plastik diperlukan untuk menjaga kelembaban lingkungan.

b. Pemeliharaan

Pemeliharaan meliputi kegiatan penyiraman dan penyiangan. Penyiraman dilakukan bila media penumbuh akar terlihat kering atau tidak lembab. Kelembapan diukur dengan hygrometer. Penyiraman dilakukan dengan cara menyemprotkan air dengan sprayer.

Penyiangan dilakukan secara rutin 3 hari sekali yaitu, menghilangkan gulma (tumbuhan pengganggu) yang tumbuh bersama setek pucuk jabon pada media penumbuh setek dengan cara mekanik.

c. Pengamatan

Variabel yang diamati meliputi persentase hidup setek pucuk jabon, pertumbuhan tunas, pertumbuhan diameter, panjang akar setek, dan jumlah daun.


(28)

1. Persentase hidup setek jabon dihitung pada akhir penelitian dengan menghitung jumlah setek yang hidup terhadap jumlah seluruh setek.

Persentase hidup = 100%

setek seluruh

hidup setek

x

2. Pertumbuhan panjang tunas adalah selisih panjang tunas pada akhir penelitian dan awal penelitian. Panjang tunas diukur mulai dari pangkal tunas, hingga titik tumbuh di ujung sumbu batang. Pengukuran panjang tunas menggunakan penggaris. Pengukuran panjang tunas dilakukan awal dan akhir penelitian. 3. Pertumbuhan diameter setek adalah selisih diameter pada akhir penelitian dan

awal penelitian. Pengukuran diameter menggunakan kaliper yang dilakukan pada awal dan akhir penelitian. Diameter diukur kurang lebih 1 cm di bawah buku-buku tunas yang ditandai garis merah pada Gambar 3.


(29)

4. Panjang akar setek diukur mulai pangkal akar hingga unjung akar menggunakan penggaris. Pengukuran panjang akar dilakukan pada akhir pengamatan.

5. Jumlah daun dihitung pada akhir penelitian. Daun yang dihitung adalah daun yang telah mekar.

4. Analisis Data

Data yang didapat dari hasil pengamatan dicatat dalam bentuk tabel seperti Tabel 1. Homogenitas variansnya diuji dengan uji Bartlett, bila data yang diuji telah homogen data kemudian diolah dengan analisis sidik ragam. Untuk mengetahui perbedaan pengaruh antara perlakuan dilakukan uji Beda Nyata Jujur (BNJ). Semua uji tersebut dilakukan pada taraf nyata 5% (Hanafiah, 2004).

Tabel 1. Bentuk tabulasi hasil pengamatan setiap variabel pertumbuhan setek pucuk jabon

Keterangan :

Y11 =variabel pertumbuhan pada perlakuan ke 1 ulangan ke 1

Y12 =variabel pertumbuhan pada perlakuan ke 1 ulangan ke 2

Ulangan Perlakuan Total Rata-rata

1 2 3 4

1 Y11 Y21 Y31 Y41 Y.1 .

1

2 Y12 Y22 Y32 Y42 Y.2 .2

3 Y13 Y23 Y33 Y43 Y.3 .3

4 Y14 Y24 Y34 Y44 Y.4 .4

5 Y15 Y25 Y35 Y45 Y.5 .5

Total Y1. Y2. Y3. Y4. Y..


(30)

Y21 = variabel pertumbuhan pada perlakuan ke 2 ulangan ke 1

Y.1 = variabel pertumbuhan pada total nilai perlakuan ulangan ke 1

Y1. = variabel pertumbuhan pada total nilai ulangan perlakuan ke 1

Y.. = variabel pertumbuhan pada total nilai pengamatan Y . 1 = Rata-rata nilai perlakuan ulangan ke 1

Y1. = Rata-rata nilai ulangan perlakuan ke 1

Y.. = rata-rata nilai pengamatan

a. Uji Homogenitas Varians

Metode uji yang umum digunakan untuk menguji homogenitas varians dikenal sebagai uji Bartlett dengan rumus sebagai berikut.

Si2P1 =

Si2 gabungan =

X2hitung = In 10 {( ∑(n-1) log Si2gabungan) –( ∑ (n-1) log S2total) }

K = 1 +

X2terkoreksi =

Jika X2hitung < X2(α; (r-1)), maka varian homogen sehingga dapat dilanjutkan dengan

uji sidik ragam. Jika X2hitung > X2(α; (r-1)), maka varians tidak homogen, harus

dilakuakan transformasi data. Transformasi data yang digunakan, misalnya dengan , , atau log (Y+1) (Hanafiah, 2004).


(31)

b. Analisis Ragam

Analisis ragam dimaksudkan untuk menguji hipotesis tentang pengaruh faktor perlakuan terhadap setiap variabel yang diamati. Rumus-rumus yang digunakan untuk sidik ragam disajikan sebagai berikut.

Faktor Koreksi = FK =

Jumlah Kuadrat Total = JKT = FK Jumlah Kuadrat perlakuan = JKP = FK JK Galat = JK total – JK perlakuan

Kuadrat Tengah perlakuan = KTperlakuan =

Kuadrat Tengah galat = KTgalat=

Derajat bebas perlakuan (Dbperlakuan) = t – 1

Derajat bebas galat (Dbgalat) = ( ) – (t - 1)

F =

Jika Fhitung> Ftabel, maka perlakuan yang diberikan berpengaruh nyata terhadap

pertumbuhan setek pucuk jabon. Kemudian untuk menyelidiki

perlakuan-perlakuan apa saja yang berbeda nyata, dilakukan pembanding nilai rata-rata tiap perlakuan dengan uji BNJ. Jika F hitung ≤ F tabel, maka tidak ada pengaruh nyata dari keragaman perlakuan yang diberikan.


(32)

c. Uji BNJ

Uji Beda Nyata Jujur dilakukan untuk menunjukkan perbedaan pengaruh antarperlakuan terhadap setiap variabel yang diamati. Uji ini dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut.

BNJ = Qα(p:dbgalat)×

Keterangan : KTG =kuadrat tengah galat

P = jumlah perlakuan


(33)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut. 1. Pemberian Rootone-F dengan berbagai konsentrasi tidak berpengaruh nyata

terhadap persentase hidup setek pucuk jabon. Rata-rata keseluruhan persentase hidup setek pucuk jabon yang dihasilkan adalah 87%.

2. Rootone-F berkonsentrasi 200 ppm memberikan laju pertumbuhan terbaik terhadap pertumbuhan tinggi, pertumbuhan akar, dan pertumbuhan jumlah daun setek pucuk jabon.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh maka saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut.

1. Konsentrasi Rootone-F yang dianjurkan untuk perendaman setek pucuk jabon adalah 200 ppm karena konsentrasi ini dapat mempercepat perpanjangan tunas, perpanjangan akar, memperbanyak jumlah daun.

2. Pada penelitian selanjutnya dapat dilakukan penambahan faktor perlakuan selain konsentrasi, seperti lama perendaman, sehingga diharapkan dapat memberikan pengaruh yang nyata terhadap persentase pertumbuhan setek pucuk jabon.


(34)

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z. 1983. Dasar-dasar Pengetahuan Tentang Zat Pengatur Tumbuh. Buku. Angkasa. Bandung. 85 p.

Aryulina, D., C. Muslim., S. Manaf., dan E.W. Winarni. 2006. Biologi 1 SMA dan MA Untuk Kelas X. Buku. Erlangga. Jakarta. 352 p.

Catala, C., J.K.C. Rose., dan A.B.Bennett. 2000. Auxin-regulated genes encoding cell wall-modifying proteins are expressed during early tomato fruit growth-plant. Artikel. Plant Physiology.California.122 (2): 527 534 p. Fahn, A. 1992. Anatomi Tumbuhan. Buku. Gadjah Mada Univesity Press.

Yogyakarta. 943 p.

Gardner, P. dan Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Buku. Universitas Indonesia. Jakarta. 428 p.

Halawane, J. E., N. Hanif., dan J. Kinho. 2011. Prospek Pengembangan Jabon Merah (Anthocephalus macrophyllus) Solusi Kebutuhan Kayu Masa Depan. Buku. Balai Penelitian Kehutanan Manado. Manado. 63 p. Hanafiah, K. A. 2004. Rancangan Percobaan Teori dan Aplikasi. Buku. PT Raja

Grafindo Persada. Jakarta. 259 p.

Hartmann, H. E. dan D. E. Kester. 1983. Plant Propagation Principle and Practise. Buku. Engelwoods Clifs. New Jersy. 912 p.

Heddy. 1991. Hormon Tumbuh. Buku. CV Rajawali. Jakarta. 97 p.

Kantarli, M. 1993. Vegetatif Propagation of Dipterocarps by Cuttings in ASEAN Countries.Paper.ASEAN-Canada Forest Tree Seed Centre Project. Thailand. 5 p.

Krisnawati, H., M. Kallio., dan M. Kanninen. 2011. Anthocephalus cadamba Miq. Ekologi, Silvikultur, dan Produktivitas. Buku. CIFOR. Bogor.11 p.


(35)

Mansur, I. dan F.D. Tuheteru. 2010. Kayu Jabon. Buku. Penebar Swadaya. Jakarta. 123 p.

Manurung, S.O. 1987. Status dan Potensi Zat Pengatur Tumbuh serta

Prospek Penggunaan Rootone-F dalam Perbanyakan Tanaman. Buku. Departemen Kehutanan. Jakarta. 61 p.

Mardianto, E. P. 2007. Studi lama perendaman dan konsentrasi larutan Rootone-F terhadap pertumbuhan stek pucuk gaharu (Gyrinops versteegi). Skripsi. Universitas Muhamadiah Malang. Malang. 67 p.

Martawijaya, A., Kartasujana., K. Kadir., dan S. A. Prawira. 2005. Atlas Kayu Indonesia. Jilid II.Buku.Badan Litbang Kehutanan Departemen Kehutanan. Bogor. 167 p.

Mulyana, D., C. Asmarahman., dan I. Fahmi. 2010. Bertanam Jabon. Buku. Agromedia Pustaka. Jakarta. 142 p.

Nadiroh. 2003. Pertumbuhan setek pucuk senteng (Azadirachta excelca) pada berbagai dosis Rootone-F dan media. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 70 p.

Omon, R.M., A.P. Mas’ud., dan Harbagung. 1989. Pengaruh media padat dan Rootone-F terhadap pertumbuhan akar stek batang (Shorea palyandra). Buletin Kehutanan. Balai Penelitian Kehutanan Pematang Siantar. 5(3): 105-202 p.

Puttileihalat, M. 2001. Pengaruh Rootone-F dan ukuran diameter stek terhadap pertumbuhan tunas dari stek pulai gading (Alstonia scholaris). Skripsi. Universitas Pattimura. Maluku. 60 p.

Salibury,F.B. dan C.W.Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 3. Buku. ITB. Bandung. 343 p.

Soerianegara, I. dan R. H. M. J. Lemmens. 1994. Plant Resources of South East Asia No. 5 (1). Timber trees: Major Commercial Timber. Buku. Prosea Foundation. Bogor. 610 p.

Subiakto, A. dan C. Sakai. 2007. Pedoman Pembuatan Stek Jenis-jenis Dipterokarpa dengan KOFFCO System. Buku. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. 57 p.

Wattimena, G. A. 1987. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Buku. IPB. Bogor. 254 p.

Wirawan, G. N. 1988. Mari Menanam Panili (Vanilla planifolia Andrews). Buku. Simplex. Jakarta. 71 p.


(36)

Wudianto. 2002. Membuat Stek, Cangkok, dan Okulasi. Buku. Penebar Swadaya. Jakarta. 172 p.


(1)

b. Analisis Ragam

Analisis ragam dimaksudkan untuk menguji hipotesis tentang pengaruh faktor perlakuan terhadap setiap variabel yang diamati. Rumus-rumus yang digunakan untuk sidik ragam disajikan sebagai berikut.

Faktor Koreksi = FK =

Jumlah Kuadrat Total = JKT = FK Jumlah Kuadrat perlakuan = JKP = FK JK Galat = JK total – JK perlakuan

Kuadrat Tengah perlakuan = KTperlakuan =

Kuadrat Tengah galat = KTgalat=

Derajat bebas perlakuan (Dbperlakuan) = t – 1

Derajat bebas galat (Dbgalat) = ( ) – (t - 1) F =

Jika Fhitung> Ftabel, maka perlakuan yang diberikan berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan setek pucuk jabon. Kemudian untuk menyelidiki

perlakuan-perlakuan apa saja yang berbeda nyata, dilakukan pembanding nilai rata-rata tiap perlakuan dengan uji BNJ. Jika F hitung ≤ F tabel, maka tidak ada pengaruh nyata dari keragaman perlakuan yang diberikan.


(2)

c. Uji BNJ

Uji Beda Nyata Jujur dilakukan untuk menunjukkan perbedaan pengaruh antarperlakuan terhadap setiap variabel yang diamati. Uji ini dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut.

BNJ = Qα(p:dbgalat)×

Keterangan : KTG =kuadrat tengah galat

P = jumlah perlakuan


(3)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut. 1. Pemberian Rootone-F dengan berbagai konsentrasi tidak berpengaruh nyata

terhadap persentase hidup setek pucuk jabon. Rata-rata keseluruhan persentase hidup setek pucuk jabon yang dihasilkan adalah 87%.

2. Rootone-F berkonsentrasi 200 ppm memberikan laju pertumbuhan terbaik terhadap pertumbuhan tinggi, pertumbuhan akar, dan pertumbuhan jumlah daun setek pucuk jabon.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh maka saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut.

1. Konsentrasi Rootone-F yang dianjurkan untuk perendaman setek pucuk jabon adalah 200 ppm karena konsentrasi ini dapat mempercepat perpanjangan tunas, perpanjangan akar, memperbanyak jumlah daun.

2. Pada penelitian selanjutnya dapat dilakukan penambahan faktor perlakuan selain konsentrasi, seperti lama perendaman, sehingga diharapkan dapat memberikan pengaruh yang nyata terhadap persentase pertumbuhan setek pucuk jabon.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z. 1983. Dasar-dasar Pengetahuan Tentang Zat Pengatur Tumbuh. Buku. Angkasa. Bandung. 85 p.

Aryulina, D., C. Muslim., S. Manaf., dan E.W. Winarni. 2006. Biologi 1 SMA dan MA Untuk Kelas X. Buku. Erlangga. Jakarta. 352 p.

Catala, C., J.K.C. Rose., dan A.B.Bennett. 2000. Auxin-regulated genes encoding cell wall-modifying proteins are expressed during early tomato fruit growth-plant. Artikel. Plant Physiology.California.122 (2): 527 534 p. Fahn, A. 1992. Anatomi Tumbuhan. Buku. Gadjah Mada Univesity Press.

Yogyakarta. 943 p.

Gardner, P. dan Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Buku. Universitas Indonesia. Jakarta. 428 p.

Halawane, J. E., N. Hanif., dan J. Kinho. 2011. Prospek Pengembangan Jabon Merah (Anthocephalus macrophyllus) Solusi Kebutuhan Kayu Masa Depan. Buku. Balai Penelitian Kehutanan Manado. Manado. 63 p. Hanafiah, K. A. 2004. Rancangan Percobaan Teori dan Aplikasi. Buku. PT Raja

Grafindo Persada. Jakarta. 259 p.

Hartmann, H. E. dan D. E. Kester. 1983. Plant Propagation Principle and

Practise. Buku. Engelwoods Clifs. New Jersy. 912 p. Heddy. 1991. Hormon Tumbuh. Buku. CV Rajawali. Jakarta. 97 p.

Kantarli, M. 1993. Vegetatif Propagation of Dipterocarps by Cuttings in ASEAN Countries.Paper.ASEAN-Canada Forest Tree Seed Centre Project. Thailand. 5 p.

Krisnawati, H., M. Kallio., dan M. Kanninen. 2011. Anthocephalus cadamba Miq. Ekologi, Silvikultur, dan Produktivitas. Buku. CIFOR. Bogor.11 p.


(5)

Mansur, I. dan F.D. Tuheteru. 2010. Kayu Jabon. Buku. Penebar Swadaya. Jakarta. 123 p.

Manurung, S.O. 1987. Status dan Potensi Zat Pengatur Tumbuh serta

Prospek Penggunaan Rootone-F dalam Perbanyakan Tanaman. Buku. Departemen Kehutanan. Jakarta. 61 p.

Mardianto, E. P. 2007. Studi lama perendaman dan konsentrasi larutan Rootone-F terhadap pertumbuhan stek pucuk gaharu (Gyrinops versteegi). Skripsi. Universitas Muhamadiah Malang. Malang. 67 p.

Martawijaya, A., Kartasujana., K. Kadir., dan S. A. Prawira. 2005. Atlas Kayu Indonesia. Jilid II.Buku.Badan Litbang Kehutanan Departemen Kehutanan. Bogor. 167 p.

Mulyana, D., C. Asmarahman., dan I. Fahmi. 2010. Bertanam Jabon. Buku. Agromedia Pustaka. Jakarta. 142 p.

Nadiroh. 2003. Pertumbuhan setek pucuk senteng (Azadirachta excelca) pada berbagai dosis Rootone-F dan media. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 70 p.

Omon, R.M., A.P. Mas’ud., dan Harbagung. 1989. Pengaruh media padat dan Rootone-F terhadap pertumbuhan akar stek batang (Shorea palyandra). Buletin Kehutanan. Balai Penelitian Kehutanan Pematang Siantar. 5(3): 105-202 p.

Puttileihalat, M. 2001. Pengaruh Rootone-F dan ukuran diameter stek terhadap pertumbuhan tunas dari stek pulai gading (Alstonia scholaris). Skripsi. Universitas Pattimura. Maluku. 60 p.

Salibury,F.B. dan C.W.Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 3. Buku. ITB. Bandung. 343 p.

Soerianegara, I. dan R. H. M. J. Lemmens. 1994. Plant Resources of South East Asia No. 5 (1). Timber trees: Major Commercial Timber. Buku. Prosea Foundation. Bogor. 610 p.

Subiakto, A. dan C. Sakai. 2007. Pedoman Pembuatan Stek Jenis-jenis Dipterokarpa dengan KOFFCO System. Buku. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. 57 p.

Wattimena, G. A. 1987. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Buku. IPB. Bogor. 254 p.

Wirawan, G. N. 1988. Mari Menanam Panili (Vanilla planifolia Andrews). Buku. Simplex. Jakarta. 71 p.


(6)

Wudianto. 2002. Membuat Stek, Cangkok, dan Okulasi. Buku. Penebar Swadaya. Jakarta. 172 p.