19
khusus, yang terutama dalam berbagai sekte dari agama Hindu mendapat perhatian yang sangat besar.
Terutama kaum Yogin merupakan ahli dalam teknik-teknik memusatkan pikiran, dengan berbagai macam sikap duduk, cara
menguasai nafas dan sebagainya, Semuanya dengan maksud untuk membuat rohani suci dengan cara pemusatan pikiran tadi
Koentjaraningrat, 1977 : 251-157.
6. Komponen-Komponen Upacara Tradisional
Dalam masyarakat Jawa upacara tradisional biasanya melibatkan tokoh agama setempat sehingga upacara tradisional dapat diartikan sebagai
upacara keagamaan. Ada empat komponen yang ada dalam upacara keagamaan menurut Koenjaraningrat 1992: 141-142 yaitu :
a. Tempat Upacara
Sesuatu yang keramat biasanya berada di tempat yang khusus dan tidak boleh didatangi orang yang tidak berkepentingan tidak boleh
sembarang tempat upacara. Mereka harus hati-hati dan memperhatikan berbagai macam larangan dan pantangan. Tempat upacara dapat terletak
di suatu tempat pusat kota. Tempat yang dipakai untuk melakukan upacara-upacara mengenai desa dan dianggap sebagai pusat dari seluruh
kota. b.
Saat-saat Upacara Saat-saat upacara biasanya dirasa sebagai saat yang genting dan
penuh dengan bahaya gaib, karena berhubungan langsung dengan dunia
20
gaib. Jadi dapat berakibat kemasukan roh. Dalam kehidupan manusia juga terdapat saat-saat genting misalnya waktu hamil, waktu kelahiran,
waktu bayi dipotong rambutnya, waktu bayi pertama menginjak tanah, waktu anak ditusuk telinganya, waktu haid, waktu sunat, waktu
pubertas, waktu perkawina dan waktu kematian. Roh orang yang sudah meninggal itu dipandang sebagai pelindung
yang kuat. Artinya, pelindung dapat memberikan pertolongan dan bantuan kepada orang-orang yang masih hidup. Roh orang yang sudah
meninggal tersebut dapat dibangunkan dan didatangkan oleh seorang syaman. Cara mendatangkan roh tersebut dilakukan dengan diiringi
nyanyian, pujian, sajian-sajian dan doa. Kehadiran roh yang sudah meninggal tersebut diharapkan dapat memberikan pertolongan dan
bantuan atau berkah terhadap mereka yang masih hidup Sri Mulyono, 1979 : 53.
Ada pula waktu-waktu genting yang timbul karena bahaya misalnya wabah penyakit menular, bencana alam, atau waktu-waktu ada
peperangan. Segala bahaya itu sering dianggap oleh orang berpangkal pada suatu peristiwa dalam dunia gaib sehingga manusia mencoba
menolak segala macam bahaya tersebut dengan bermacam-macam upacara yang bermaksud mencari hubungan dengan dunia gaib. Saat-
saat upacara juga disertai dengan ritual pemanggilan roh dan di tempat yang dianggap angker. Agar dapat menarik roh-roh yang berdiam di
tempat-tempat angker maka pada waktu tertentu dipasang sesaji berupa
21
tumpeng, kemenyan, bunga mawar, pisang dan lain-lain. Sesaji diselenggarakan untuk mendukung kepercayaan terhadap adanya
kekuatan makhluk halus yang “mbahureksa” diam di tempat tersebut seperti lelembut, demit dan jin agar tidak mengganggu keselamatan,
ketentraman dan kebahagiaan keluarga yang bersangkutan, serta untuk memohon berkah dan memohon perlindungan dari yang “mbahureksa”
agar terhindar dan terjauhkan dari gangguan makhluk halus lainnya yang diutus oleh seseorang untuk mengganggu keluarga Clifford
Geertz, 1981 : 28. c.
Benda-benda Upacara Benda-benda upacara merupakan alat yang dipakai dalam
menjalankan upacara keagamaan. Alat-alat itu bisa berupa alat-alat seperti wadah atau tempat sajian, sendok, pisau dan lainnya. Bendera
dan senjata juga sering digunakan untuk sajian. Alat-alat upacara yang lazim digunakan adalah patung-patung yang berfungsi sebagai lambang
dewa atau roh nenek moyang yang menjadi tempat upacara. Benda upacara bisa juga dari tumbuhan atau hasil panen. Misalnya pisang,
daun pisang, buah-buahan, ada juga dari hewan, yang sering digunakan untuk upacara yaitu ayam atau bisa disebut ingkung.
Ingkung ini berupa ayam kampung yang dimasak utuh dan diberi bumbu opor, kelapa dan daun salam. Ingkung ini melambangkan bayi
yang belum dilahirkan dengan demikian belum mempunyai kesalahan apa-apa atau masih suci, atau dimaknai sikap pasrah dan menyerah atas
22
kekuasaan Tuhan. Orang Jawa mengartikan kata “ingkung” dengan pengertian dibanda atau dibelenggu.
Ubarampe ingkung dimaksudkan untuk menyucikan orang yang
punya hajat maupun tamu yang hadir pada upacara selametan tersebut. d.
Peserta Upacara Pemimpin upacara dalam berbagai religi dan suatu bangsa di
dunia biasanya dapat dibagi dalam tiga golongan yaitu pendeta, dukun, dan syaman. Pendeta adalah orang yang karena sesuatu pendidikan
yang lama menjadi ahli dalam hal melakukan pekerjaan sebagai pemuka upacara keagamaan. Syaman adalah sebuah istilah yang juga
sering dipakai untuk menamakan dukun, tetapi istilah tersebut dipakai untuk golongan dukun yang memimpin upacara khusus Purwadi,
2005: 47. Dalam masyarakat Jawa peserta upacara tradisi biasanya warga sekitar yang dipimpin oleh kepala desa setempat dan dibantu
oleh doa modin atau pemuka agama setempat.
7. Sistem Upacara Agama Jawa