“Bukannya di sekolah ini dilarang membawa alat komunikasi ya, Bu? Jaman saya dulu kan gitu.
                                                                                C D
G: “Oh ya sangat penting, matematika tanpa ada pembentukan karakter, biasanya kan anak-anak IPA, eh kok anak IPA, anak-anak yang oh ya yang biasa ke jurusan IPA ya
yang  matematikanya  banyak  itu,  bisa  dilihat  kan  anak-anaknya  gak  neko-neko. Misalnya tadinya mau anak yang bersangkutan mau ke arah yang tidak baik, gitu ya,
saya lihat kok ternyata  gak jadi nakal  gitu lo. Mereka sudah mulai ikut konsentrasi, ikut  memperhatikan  pelajaran,  ketika  sama  sesama teman  pun  mereka  lalu  merasa
malu kalau hanya dia sendiri kok kurang bisa atau kurang pintar, ada kecenderungan malu gitu lo.”
P: “Jadi pengetahuan eksakta itu mempengaruhi mereka?” G:  “Iya,  karena  pikiran  mereka  menjadi  logis.  Mereka  menjadi  tidak  bertele-tele,
istilahnya ya berpikirnya menjadi logis.”
P:  “Ketika pembelajaran  di  kelas,  Ibu  disini  sebagai  pembimbing,  bagaimana  Ibu menempatkan diri dalam membantu mereka mengembangkan karakter mereka selama
pembelajarn matematika?”
G:  “Eemm  untuk  anak-anak  yang  sudah bisa,  eem  istilahnya  mengerti  pelajaran matematika, misalnya  anak-anak  pinter  justru  tidak  saya  suruh  maju,  biasanya  kan
kalau kita lihat banyak kejadian di kelas yang ditunjuk cuma itu-itu saja, saya justru menghindari itu. Saya dulu pernah pertama kali masuk kesini diberi tahu sama guru
yang saya gantikan itu anak-anak mana saja yang pintar, istilahnya kalau yang pinter yang mau disuruh maju gitu lo, kalau saya justru saya balik. Anak-anak yang pintar
justru  saya suruh  mengajari  anak-anak  yang  tidak  pintar,  jadi  semuanya  berpeluang untuk pandai. Tidak ada istilah anak bodoh, saya selalu menekankan tidak ada anak
bodoh  yang  ada  adalah  anak  kurang  berminat  atau  kurang  motivasinya  gitu  saja. Justru  anak-anak  itu  saya  berdayakan agar  bisa  aktif,  kerap  kali  saya  tunjuk  maju.
Apalagi  anak-anak  yang  istilahnya  benar-benar  kearah  mau  nakal,  mesti  saya prioritaskan  untuk  aktif.  Dengan  begitu  otomatis  mereka  terus  malu  kan, meskipun
ketika  maju  saya  tidak  menghakimi,  hanya  mendampingi  sejauh  mana  dia  bisa menulis  di  depan,  bilang  ke  mereka  untuk  pede  saja  di  depan,  sebisanya  saja  nanti
kalau ada kesulitan baru saya ajari. Kendati begitu, semua anak berkesempatan untuk maju.  Jadi  setiap  pelajaran  di  kelas  selalu  mesti  ada  giliran  maju. Nah  malah  yang
pintar-pintar itu nanti-nanti kalau misalnya tidak ada  yang bisa sama sekali baru dia maju.”
P: “Ibu sebagai pembimbing, bukan sebagai hakim, begitu ya?” G:  “Oh  iya  jangan  sampai  begitu.  Terus  saya  juga  ngajari  anak  tidak  pernah
menerangkan  dari  awal  sampai  ke  akhir, paling  tidak  saya  hanya  mengarahkan misalnya  separuh  atau sepertiga  saja  saya  jelaskan  dan  selalu  melibatkan  pendapat
anak.  Dari  situ,  kalu  kira-kira  anak  sudah  paham  maksudnya  ya  sudah  saya selesaikan.  Tapi  tidak  pernah  dari  awal  sampai  akhir  hanya  saya  yang  menuliskan
                                            
                