Pendekatan Asumsi BLUE Best Linier Unbiased Estimator

65

3.5. Pendekatan Asumsi BLUE Best Linier Unbiased Estimator

Persamaan regresi diatas harus bersifat BLUE Best Linier Unbiased Estimator, artinya pengambilan keputusan melalui uji f dan Uji t tidak boleh biasa. Untuk menghasilkan keputusan yang BLUE, maka yang harus dipenuhi oleh regresi linier berganda, yaitu : 1. Nilai tengah mean value dari komponen pengganggu Ui, yang ditimbulkan dari variabel eksplanatori harus sama dengan nol. 2. Variabel dari komponen pengganggu Ui harus konstan dan harus memenuhi syarat homokedasitas. 3. Tidak terjadi autokorelasi antar komponen pengganggu Ui. 4. Variabel eksplanatori harus non stokastik atau kalangan stokastik, harus menyebar bebas dari komponen pengganggunya. 5. Tidak terjadi multikolineariti antar variabel ekspanantori. 6. Komponen pengganggu Ui harus tersebar mengikuti sebaran normal dengan nilai tengah = 0 dengan varian sebesar σ 2 . Sifat – sifat dari BLUE adalah : a. Best : Pentingnya sifat ini bila diterapkan dalam uji siknifikan data terhadap α dan β. b. Linier : Sifat ini dibutuhkan untuk memudahkan dalam penafsiran. c. Unbiased : Nilai jumlah sampel sangat besar penaksir para parameter diperoleh dari sampel. d. Estimasi : e diharapkan sekecil mungkin. Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. 66 Yang diasumsikan tidak terjadi pengaruh antara variabel bebas atau regresi bersifat BLUE Best Linier Unbiased Estimator, artinya koefisien regresi pada persamaan tersebut betul – betul linier dan tidak biasa atau tidak terjadi penyimpangan -penyimpangan, seperti : 1. Multikolinierity Adalah adanya hubungan yang sempurna antara semua atau beberapa variabel eksplanotori dalam model regresi yang bisa diidentifikasikan secara statistic mengenai ada atau tidaknya gejala multikolinierity. Dapat dilakukan dengan menghitung Varlance Inflation Factor VIF VIF = 1\ 1 – R 2 Sudrajat, 1988 ; 210 VIF menyatakan tingkat pembengkalan varians apabila VIF lebih besar dari 10, maka terjadi multikolinier pada persamaan tersebut. 2. Autokorelasi Adalah kolerasi yang terjadi diantara anggota observasi yang terletak berderetan secara serius dalam bentuk waktu jika datanya time series atau korelasi antara tempat yang berderet atau berdekatan kalau datanya cross sectional atau bisa diartikan identifikasi terhadap regresi linier berganda. Untuk mengetahui ada atau tidaknya autokorelasi yang dapat dilihat dari besarnya nilai Durbin – Watson. Kriteria pengujian Durbin – Watson Gujarati, 1995 ; 215 Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. 67 Dimana e 1 adalah residul perbedaan variabel tak bebas yang sebenarnya dengan variabel tak bebas ditaksir dari setiap periode waktu, sedangkan e 1-1 residul dari waktu sebelumnya. 3. Heteroskedastisitas Varians yang tidak sama atau tidak homogeny atau tidak bisa diartikan identifikasi pada regresi linier berganda, nilai residual yang tidak boleh ada hubungan dengan variabel independent. Hal ini dapat diidentifikasikan melalui perhitungan kolerasi Rank spearmen’s antara residual dengan variabel independent. Keterangan : di : Perbedaan dalam rank antara residual dengan bebas ke 1 N : Banyaknya data Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 . Deskripsi Obyek Penelitian 4.1.1. Perkembangan Perbankan Syariah Di Indonesia Upaya intensif pendirian bank islam disebut oleh peraturan perundang-undangan Indonesia sebagai “Bank Syariah” di Indonesia dapat ditelusuri sejak tahun 1988, yaitu pada saat pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober Pakto yang mengatur deregulasi industri perbankan di Indonesia. Setelah adanya rekomendasi dari Lokakarya Ulama tentang Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua Bogor pada 19-12 Agustus 1990, yang kemudia diikuti dengan diundangkannya UU No. 7 1992 tentang perbankan di mana perbankan bagi-hasil mulai diakomodasi, maka berdirilah Bank Muamalat Indonesia BMI, yang merupakan bank umum islam pertama yang beroperasi di Indonesia. Perkembangan lembaga-lembaga keuangan Islam tersebut tergolong cepat, dan salah satu alasannya ialah karena adanya keyakinan kuat di kalangan masyarakat Muslim bahwa perbankan konvensional itu mengandung unsur riba yang dilarang oleh agama Islam. Dengan diundangkannya UU No. 10 1998 tentang perubahan UU No. 7 1992 tentang perbankan, maka secara tegas sistem Perbankan Syariah ditempatkan sebagai bagian dari Sistem Perbankan Nasional. UU tersebut 68 Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. telah diikuti dengan ketentuan pelaksanaan dalam beberapa Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia tanggal 12 Mei 1999, yaitu tentang Bank Umum, Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syarah, Bank Perkreditan Rakyat BPR, dan BPR Berdasarkan Prinsip Syariah. Kini jumlah bank umum Syariah di Indonesia telah bertambah dengan telah beroperasinya kantor cabang Syariah Bank IFI, Bank Syariah Mandiri, kantor-kantor cabang Syariah Bank BNI, kantor cabang Bank Jabar dan kantor cabang Bank Bukopin, disamping Bank Muamalat Indonesia dan 78 BPR Syariah yang telah ada. Untuk memfasilitasi perbankan Syariah ini dalam mengelola dananya, Bank Indonesia telah mengeluarkan beberapa ketentuan mengenai Pasar Uang Antar Bank Syariah, Instrumen Pasar Uang Syariah yang berupa Sertifikat Inventasi Mudharabah Antar-bank IMA dan Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia SWBI, ketentuan mengenai Giro Wajib Minimun bagi Bank Syariah dan Kliring antar Bank Syariah. Saat ini Bank Indonesia juga sedang mempersiapkan Pedoman Standar Akutansi Keuangan PSAK bagi Perbankan Syariah. Arifin, 2002 :

4.2. Deskripsi Hasil Penelitian