Biaya dan ketersediaan alat untuk tes alergi membuat sulit untuk menegakkan diagnosa pasti terutama pada daerah yang sulit mendapatkan alat tes alergi hanya
mengandalkan gejala klinik. Penelitian ini untuk mengetahui hubungan gejala klinik dengan tes cukit kulit pada penderita rinosinusitis kronik.
B. Rumusan Masalah
Adakah hubungan antara gejala klinik dengan tes cukit kulit pada penderita rinosinusitis kronik ?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara gejala klinik dengan hasil tes cukit kulit pada penderita rinosinusitis kronik.
D. Manfaat Penelitian
1. Dalam bidang akademik penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
tentang hubungan antara gejala klinik dengan hasil tes cukit kulit pada penderita rinosinusitis kronik.
2. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi informasi yang berguna bagi
klinisi dalam penanganan pasien yang menderita rinosinusitis kronik. perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
E. Orisinalitas Penelitian
Penelitian lain yang terkait dengan judul penelitian ini adalah :
Peneliti Tahun
Judul Variabel
Hasil
Sudha, 2010
Hayriye, 2012
Sanli, 2006
Relationship of total IgE, Spesific IgE, Skin test
Reactivity and eosinophils in indian patients with
allergy The relationship between
symptoms and the results of skin prick test in patients
with allergic rhinitis.
Comparison of nasal smear eosinophlia with skin prick
test positivity in patients with allergic rhinitis
Penderita alergi,total IgE,
Spesific IgE, tes cukit kulit
Tes Tusuk Kulit Symptom alergi
Eosinofil kerokan hidung
Hasil tes tusuk kulit
Adanya hubungan peningkatan kadar
total IgE, IgE spesifik dengan tes
cukit kulit Tidak didapatkan
hubungan bermakna antara
tes tusuk kulit positip dengan
symptom alergi. Adanya hubungan
antara hasil tes tusuk kulit dan
kerokan mukosa hidung dengan
gejala klinik. perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
A. Rinosinusitis Kronik 1. Definisi
European Position on Paper on Rinosinusitis and Nasal Polyps
EPOS tahun 2012, rinosinusitis adalah peradangan pada mukosa hidung dan sinus paranasal
dengan jangka waktu gejala lebih dari dua belas minggu yang ditandai dengan dua atau lebih dari gejala.
2. Gejala klinik
Gejala dapat berupa sumbatan hidung atau sekret nasal anterior atau
post nasal drip
dengan disertai nyeri atau nyeri tekan daerah wajah dan atau disertai berkurang atau hilangnya penghidu. Pemeriksaan nasoendoskopi ditemukan polip dan
atau terdapat sekret mukopurulen primer dari meatus media, dan atau edema atau obstruksi mukosa primer pada meatus media. Pemeriksaan
CT
-
scan
didapatkan perubahan mukosa pada kompleks osteomeatal dan atau sinus paranasal Lee, 2004 ;
Fokkens
et al
, 2012. Gejala klinik yang disebabkan oleh alergi yang khas ialah terdapatnya
serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini
merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri
self cleaning process
. Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari 5 kali setiap serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai bersin patologis
3 perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
Soepardi dan Iskandar, 2004. Gejala lain ialah keluar ingus rinore yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai
dengan banyak air mata keluar lakrimasi. Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga, faring atau laring. Tanda hidung termasuk lipatan hidung melintang
– garis hitam melintang pada tengah punggung hidung akibat sering menggosok hidung
ke atas menirukan pemberian hormat
allergic salute
, pucat dan edema. Gejala-gejala tersebut diakibatkan kinerja histamin dan berbagai mediator lain
dapat dijelaskan bahwa : Bersin-bersin dimana histamin merupakan mediator utama terjadinya
bersin. Bersin umumnya merupakan gejala RAFC, berlangsung selama 1-2 menit pasca terkena pacuan alergen dihubungkan dengan
degranulasi mastosit terlepasnya histamin, dan hanya kadang-kadang terjadi pada RAFL. Bersin disebabkan stimulasi reseptor H1 pada
ujung saraf vidianus C fiber nerve ending. Peptida endotelin-1 yang dioleskan pada mukosa hidung menyebabkan bersin.
Gatal-gatal pruritus merupakan kondisi yang mekanismenya tidak sepenuhnya diketahui dengan baik. Diduga berbagai mediator bekerja
pada serabut saraf halus C tak bermyelin unmyelinated dekat bagian basal, epidermis, atau mukosa, yang dapat menimbulkan rasa
gatal khusus, yang disalurkan secara lambat sepanjang neuronsensoris yang kecil didalam nervus spinalis ke thalamus dan korteks sensoris.
commit to user
Gatal-gatal berlangsung terutama sepanjang RAFC dan pada rinitis alergi secara khas menimbulkan gatal palatum. Gatal-gatal terjadi pada
saat histamin berikatan dengan reseptor-H1, pada ujung serabut saraf trigeminal dan dapat terjadi langsung pasca provokasi histamin.
Mungkin juga prostaglandin berperan namun hanya kecil saja disalurkan secara lambat.
Ingus rhinorrhea didefinisikan sebagai pengeluaran sekresi kelenjar membran mukosa hidung yang berlebihan, dimulai dalam tiga menit
pasca acuan allergen dan berakhir pada sekitar 20-30 menit kemudian. Beringus merupakan gejala dominan sepanjang RAFC tetapi juga
dapat sepanjang RAFL. Sekresi kelenjar tersebut merupakan akibat terangsangnya saraf parasimpatis dan mengalirnya cairan plasma dan
molekul-molekul protein besar melewati dinding kapiler pembuluh darah hidung. Histamin yang dilepas mastosit penyebab utama
beringus, yang diduga karena histamin meningkatkan permeabilitas vaskuler melalui reaksi langsung pada reseptor H1. Dalam berespon
terhadap pacuan alergen, beringus dapat terjadi pada hidung kontralateral. Hal ini disebabkan terjadinya reflex nasonasal dan
sepertinya diperantarai asetilkholin karena dapat dihambat oleh atropin pretreatment. Jadi, beringus hasil induksi alergen merupakan akibat
kombinasi proses penurunan permeabilitas vaskuler, hipersekresi perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
kelenjar mukosa hidung ipsilateral, dan akibat refleks kelenjar mukosa hidung kontralateral. Pacuan hidung dengan leukotriene dan bradikinin
juga menyebabkan beringus melalui mekanisme peningkatan permeabilitas vaskuler dan hipersekresi kelenjar. Mediator lain yang
juga berperan pada proses beringus ECP, PAF, LTC4, Substance P dan VIP.
Hidung Buntu nasal congestion pada rinitis alergi merupakan kemacetan aliran udara yang tidak menetap, tetapi terjadi temporer
akibat kongesti sementara yang bersifat vasodilatasi vaskuler. Mekanisme vasodilatasi ini diperantarai reseptor-H1, yang berakibat
pelebaran cavernous venous sinusoid dalam mukosa konka, sehingga terjadi peningkatan tahanan udara dalam hidung. Timbunan sekret
dalam hidung juga menambah sumbatan hidung. Peningkatan aktivitas parasimpatis juga menyebabkan vasodilatasi dengan akibat buntu
hidung, namun pengaruhnya kecil saja. Vasodilatasi vaskuler hidung lebih dipengaruhi oleh sejumlah mediator antara lain histamin,
bradikinin, PGD2 ,LTC4, LTD4, PAF. Buntu hidung akibat histamin sepanjang RAFC berlangsung singkat saja,tidak lebih dari 30 menit
setelah bersin-bersin. Sepanjang RAFL, peran histamin terhadap vasodilatasi vaskuler juga kecil saja, namun peran leukotrien LTC4,
LTD4 pada vasodilatasi adalah sepuluh kali lebih kuat dibanding perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
histamin. Provokasi hidung dengan LTD4 menyebabkan peningkatan tahanan udara hidung, tanpa rasa gatal, tanpa bersin-bersin dan tanpa
beringus. PGD2 dan bradikinin juga jauh lebih kuat dalam menimbulkan buntu hidung. Demikian juga
neuropeptida substance P
dan
calcitonin-gene related
dapat menimbulkan vasodilatasi dan karenanya turut dalam terjadinya buntu hidung.
3. Etiologi
Etiologi rinosinusitis kronik dapat dikelompokkan menjadi 2 tipe, yaitu; tipe infeksi dan non infeksi. Rinosinusitis infeksi biasanya didahului dengan infeksi
saluran nafas atas akut yang disebabkan virus. Virus yang sering menjadi penyebab adalah virus influenza,
corona virus
dan rinovirus. Infeksi virus sering diikuti infeksi bakteri, terutama bakteri
streptococcus pneumonia
dan
staphilococcus aureus
dan
haemophilus influenza
. Rinosinusitis kronik non infeksi bisa disebabkan alergi, faktor lingkungan misalnya polutan, rinitis vasomotor dan perubahan hormonal. Alergi
atau polutan lingkungan dapat memperburuk rinosinusitis virus atau bakteri demikian pula sebaliknya Lee, 2004.
Berbagai faktor lokal maupun sistemik dapat menyebabkan inflamasi atau kondisi yang mengarah pada obstruksi ostium sinus, faktor tersebut meliputi infeksi
saluran napas atas, alergi, paparan bahan iritan, kelainan anatomi serta defisiensi imun Lee, 2004.
commit to user
Faktor kelainan atau variasi anatomi pada daerah kompleks osteomeatal seperti sel Haller sel agger nasi yang menonjol ke arah insersi antero-superior dari
konka media, konka media yang paradoks, bulla ethmoidalis yang mengadakan kontak di bagian medial, deformitas prosesus unsinatus, pneumatisasi konka dan
septum deviasi dapat menyebabkan penyempitan ostiomeatal secara mekanik
Clement, 2006.
Rinosinusitis kronik sebagian besar 84 disebabkan alergi terutama rinitis alergi. Penyebab non alergi yang mempunyai peran penting pada rinosinusitis kronik
antara lain rinitis vasomotor,
drug induced rhinosinusitis, non alergy rhinitis with eosinophilia syndrome
NARES
structural rhinitis, neutrophilic rhinosinusitis
, dan polip hidung Lee, 2004. Etiologi dari rinosinusitis kronik tidak berdiri sendiri-
sendiri tapi alergi atau polutan lingkungan dapat memperburuk rinosinusitis Lee, 2004.
4. Patofisiologi
Patofisiologi rinosinusitis kronik terkait 3 faktor: patensi ostium, fungsi silia dan kualitas sekret. Rinosinusitis kronik dimulai dari blokade akibat udem gambar
2.1. Apabila terjadi udem, mukosa yang berhadapan akan sering bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan, Blokade daerah kompleks
ostiomeatal menyebabkan gangguan drainase dan ventilasi sinus-sinus anterior. Sumbatan yang berlangsung terus menerus mengakibatkan hipoksia, retensi sekret
serta perubahan pH sekret, hal ini merupakan media yang baik untuk tumbuh kuman patogen. Bakteri juga memproduksi toksin, toksin akan merusak silia. Hipertrofi
commit to user
mukosa akan memperberat blokade kompleks ostiomeatal. Siklus ini dapat dihentikan dengan membuka sumbatan yang terjadi pada kompleks ostiomeatal sehingga
drainase dan aerasi sinus akan menjadi baik Jackman dan Kennedy, 2006.
Gambar 2.1. Siklus Rinosinusitis Kronik Fernandez, 2000
Inflamasi memegang peranan penting dalam patogenesis rinosinusitis kronik Bhattacharya
et al
, 2001. Fase inisial yang paling penting untuk terjadinya rinosinusitis kronik adalah iritasi mukosa Bernstein, 2006. Gambaran skematik
gambar 2.2 menunjukkan perubahan potensial pada mukosa nasal yang terjadi setelah terpapar oleh virus,bakteri, alergen, polusi udara, superantigen maupun jamur.
Perubahan mukosaakan mengakibatkan peningkatan ICAM-1
intercellullar adhesion molecule
1 dan berbagai sitokin.Molekul HLA-DR
human leukocyte antigen
DR pada permukaan epitelial ikut meningkat. HLA-DR berperan pada respon imun
spesifik melalui sel TH1 dan TH2, sel TH1 dan TH2 melepaskan sitokin spesifik. perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
GM-CSF
granulocyte-macrophage-colony stimulating factor
, IL-8 dan TNF- α
tumor necrosing factoralpha
ikut dilepaskan yang kemudian memberikan peningkatan efek kepada sel makrofag, mastosit, eosinofil dan neutrofil. Interferon
gamma yang dilepaskan sel TH1 juga ikut meningkatkan produksi ICAM-1 pada permukaan sel epitel respiratorik Bernstein, 2006.
Gambar 2.2 Skema perubahan sel epitel respiratorik yang terjadi setelah terpapar benda asing, diikuti berbagai proses yang melibatkan sel limfosit TH1 dan TH2,
menghasilkan pelepasan sitokin dan mempengaruhi sel-sel fagosit Bernstein, 2006.
B. Patogenesis Alergi
Alergi merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I, alergen yang masuk kedalam tubuh menimbulkan respon imun dengan dibentuknya IgE. Berdasarkan waktu
berlangsungnya reaksi, reaksi alergi dibagi atas 2 fase, yaitu reaksi alergi fase cepat RAFC dan reaksi alergi fase lambat RAFL Bubnoff, Geiger dan Beiber, 2001.
commit to user
Dalam patogenesis alergi dibedakan ke dalam fase sensitisasi dan elisistasi yang dapat dibedakan atas tahap aktifasi dan tahap efektor Bubnoff, Geiger dan
Beiber, 2001. 1. Fase sensitisasi
Fase sensitisasi dimulai dengan adanya paparan alergen di mukosa hidung. Alergen tersebut ditangkap oleh makrofag atau monosit yang berperan sebagai
Antigen Presenting Cell
APC kemudian diproses. APC menjadi peptide pendek dan dipresentasikan melalui kelompok
major histocompatibility complex
MHC klas II. APC kemudian dipresentasikan pada sel Th0. Ikatan antara APC dan Th0 akan
memacu diffrensiasi Th0 menjadi Th1 dan Th2 dan melepaskan sitokin IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-10, IL-13,
granulocyte macrophage colony stimulating factor
GMCSF Baraniuk, 2001 ; Bubnoff, Geiger dan Beiber, 2001 Presentasi alergen oleh sel-sel APC kepada sel B dan pengaruh sitokin IL-4
serta IL-3 di permukaan sel limposit B, menyebabkan aktivasi sel limposit B untuk memproduksi IgE, kemudian IgE dilepaskan ke sirkulasi darah serta jaringan sekitar.
Sel basofil, sel mast dan sebagian IgE berikatan dengan reseptornya FcεRI dipermukaan. Pada keadaan ini seorang dikatakan sudah tersensitasi serta
memberikan hasil positif pada uji kulit Baraniuk, 2001 ; Bubnoff, Geiger dan Beiber, 2001 ; Abbas, 2005.
2. Fase elisitasi a. Tahap aktifasi
commit to user
Paparan ulang alergen yang serupa pada penderita yang sudah sensitif akan mengakibatkan terjadinya ikatan
bridging
antara dua molekul IgE pada permukaan sel mastbasofil dengan alergen tersebut. Interaksi antara IgE memicu aktifasi
guanosine triphospate
GTP
binding
G
protein
, kemudian mengaktifkan enzim
phospolipase
C yang akan mengkatalisis
phosphatidyl monositol bihosphat
PIP2 menjadi
inositol triphosphate
IP3 dan
diacyl glycerol
DAG pada membrane PIP2.
Inositol triphosphate
IP3 mengakibatkan terlepasnya ion calcium intra sel Ca++ dari reticulum endoplasma. Ion Ca++ dalam sitoplasma langsung mengaktifkan
beberapa enzim seperti
phospolipase-A
dan komplek Ca++- calmodulin sehingga mengaktifkan enzim
myosin light chain kinase
. Ca++ dan DAG bersama-sama dengan membran phospolipid mengaktifkan protein kinase C. Pada akhirnya, aktifitas
ini akan membentuk mediator lipid yang tergolong dalam
newly formed mediators
seperti prostaglandin D2 PGD2, leukotrien C4 LTC-4,
platelet activakting factors
PAF dan eksositosis granula sel mast yang berisi mediator kimia yang disebut sebagai
preformed
mediator seperti histamin,
tryptase
dan bradikinin. Mediator- mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan basofil akan berikatan dengan
reseptor di ujung saraf, endotel pembuluh darah dan kelenjar di mukosa hidung sehingga menimbulkan gejala rhinitis alergi fase cepat RAFC Baraniuk, 2001 ;
Abbas, 2005. b. Tahap efektor
Tahap ini terjadi antara 4-6 jam setelah paparan alergen dan menetap selama 24-48 jam. Gambaran khas RAFL adalah tertariknya berbagai macam sel inflamasi
commit to user
khususnya eosinofil ke lokasi reaksi alergi. Eosinofil dalam perjalanannya dari sirkulasi darah sampai ke jaringanlokasi alergi dipengaruhi faktor kemotaktik,
melalui beberapa tahap seperti migrasi perpindahan eosinofil dari tengah ke tepi dinding pembuluh darah dan mulai berikatan secara
reversibel
dengan endotel yang mengalami inflamasi
rolling
, diikuti perlekatan pada dinding pembuluh darah yang diperantarai oleh interaksi molekul adesi endotel seperti
intercellular adhesion molecule
–
1
ICAM-1 dan
vascular cell adhesion molecule-1
VCAM-1 yang bersifat spesifik terhadap perlekatan sel eosinofil karena sel eosinofil mengekpresikan
very late antigen-4
VLA-4 yang akan berikatan dengan VCAM-1. ICAM-1 juga diekspresikan oleh sel epitel mukosa hidung penderita rinitis alergi yang
mendapatkan paparan alergen spesifik terus menerus Baraniuk, 2001 ; Lambrecht, 2001.
C. Tes cukit kulit