Evy Novita Sari S901008007

(1)

commit to user

IDENTIFIKASI BAKTERI PENGHASIL FITASE BERDASARKAN GEN 16S rRNA DAN KARAKTERISASI FITASE

DARI KAWAH SIKIDANG DIENG

TESIS

Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan memcapai derajat Magister Program Studi Biosain

Oleh Evy Novita Sari

S 901008007

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2012


(2)

commit to user


(3)

commit to user


(4)

commit to user

iv

PERNYATAAN ORISINALITAS DAN PUBLIKASI TESIS

1. Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa Tesis yang berjudul “Identifikasi Bakteri Penghasil Fitase Berdasarkan Gen 16S rRNA dan Karakterisasi Fitase dari Kawah Sikidang Dieng” ini adalah karya saya sendiri dan tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik serta tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber kutipan dan daftar pustaka. Apabila ternyata di dalam naskah Tesis ini dapat dibuktikan terdapat unsur-unsur jiplakan, saya bersedia Tesis beserta gelar MAGISTER saya dibatalkan serta diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (UU No. 20 tahun 2003, pasal 25 ayat 2 dan pasal 70). 2. Tesis ini merupakan hak milik Prodi Biosain PPs UNS. Publikasi sebagian atau

keseluruhan isi Tesis pada jurnal atau forum ilmiah lain harus seijin Ketua Prodi Biosain PPs UNS dan minimal satu kali publikasi menyertakan tim pembimbing sebagai author. Apabila dalam waktu sekurang-kurangnya satu semester (6 bulan sejak pengesahan Tesis) saya tidak melakukan publikasi dari sebagian atau keseluruhan Tesis ini maka Prodi Biosain PPs UNS berhak mempublikasikannya pada jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh Prodi Biosain PPs UNS dan atau media ilmiah lain yang ditunjuk.. Apabila saya melakukan pelanggaran dari ketentuan publikasi ini, saya bersedia mendapatkan sanksi akademik yang berlaku.


(5)

commit to user

v

IDENTIFIKASI BAKTERI PENGHASIL FITASE BERDASARKAN GEN 16S rRNA DAN KARAKTERISASI FITASE

DARI KAWAH SIKIDANG DIENG

Evy Novita Sari, Sajidan, Sugiyarto

Program Pascasarjana Biosain Universitas Sebelas Maret Surakarta

Abstrak

Asam fitat merupakan bentuk utama penyimpanan fosfat di dalam bahan makanan yang tidak dapat dihidrolisis dalam saluran pencernaan hewan monogastrik, yang berasosiasi dengan protein dan garam mineral membentuk senyawa kompleks yang tidak larut sehingga menghambat penyerapan fosfat, protein dan mineral di dalam tubuh. Fitase atau mio inositol heksakisfosfat fosfohidrolase adalah enzim yang dapat menghidrolisis ikatan fosfoester pada asam fitat, menghasilkan inositol, fosfat anorganik, protein dan mineral, sehingga fosfat, protein dan mineral mudah diserap oleh usus, dapat meningkatkan kualitas nutrisi dan mengurangi polusi fosfat. Tujuan dari penelitian ini yaitu: 1). Menguji adanya bakteri dengan aktivitas fitase pada air dan lumpur kawah Sikidang Dieng. 2). Mengidentifikasi bakteri penghasil fitase tersebut berdasarkan morfologi dan gen 16S rRNA. 3). Mengkarakterisasi ekstrak kasar fitase yang diperoleh dari hasil isolat terpilih.

Bakteri diisolasi dari sampel air dan lumpur kawah Sikidang Dieng, kemudian diseleksi dalam media Luria bertani + fitat + bekatul. Aktivitas fitase diukur dengan spektrofotometer dengan kalibrasi KH2PO4. Tiga isolat bakteri

dengan aktivitas fitase terbesar diidentifikasi berdasarkan morfologi dan gen 16S rRNA, sedangkan fitase yang dihasilkannya dikarakterisasi lebih lanjut meliputi suhu optimum, pH optimum, stabilitas suhu dan pH, dan pengaruh ion logam terhadap aktivitas fitase.

Hasil penelitian diperoleh 3 isolat yang memiliki aktivitas fitase tertinggi yaitu Bacillus cereus EN 10, Bacillus cereus EN 16, dan Bacillus sp EN 6 dengan aktivitas fitase sebesar 0,32893 U/ml, 0,324953 U/ml, dan 0,32182 U/ml. Fitase dari ketiga bakteri tersebut memiliki suhu optimum 60ºC, 50ºC, dan 60º; dan memiliki pH optimum 4, 6, dan 6. Aktivitas fitase mengalami peningkatan karena penambahan ion Ca2+ dan Mg2+, dan mengalami penurunan karena penambahan ion Fe2+ dan Zn2+.


(6)

commit to user

vi

IDENTIFICATION OF BACTERIAL PHYTASE BASED ON 16S rRNA GENE AND CHARACTERIZATION OF THE PHYTASE

FROM SIKIDANG CRATER DIENG

Evy Novita Sari, Sajidan, Sugiyarto Bioscience Postgraduate Program Sebelas Maret University Surakarta

Abstract

Phytic acid is the major storage form of phosphate in the food that can not be hydrolyzed in the gastrointestinal tract, which are associated with protein and its salt makes an insoluble complex compounds that inhibit the absorption of protein and minerals in the body. Phytase or myo inositol hexakisphosphate phosphohydrolase is an enzyme which hydrolyze the bond of phosphoester on phytic acid, produces inositol, inorganic phosphate, protein and mineral so that inorganic phosphate, protein and mineral can easily absorbed by intestine, increase the nutritional quality and reduse phosphate pollution. The aims of this research were: 1). To test the existence of bacteria that have phytase activity in the water and mud of Sikidang crater Dieng. 2). To identify the bacterial phytase based on 16S rRNA gene. 3). To characterize the crude extract of phytase from selected isolate of bacteria.

The bacteria were isolated from the water and the mud sample of Sikidang Dieng crater, then screening in Luria bertani media + phytate + bran medium. Phytase activity was measured by using a spectrophotometer with KH2PO4

calibration. Three isolates which have the highest phytase activity were identified based on 16S rRNA gene, and the crude extract of phytase were characterized further, using the optimum temperature, optimum pH, temperature and pH stability, and the effect of metal ion to the phytase activity.

The results showed that three isolates which have the highest phytase activity were Bacillus cereus EN 10, Bacillus cereus EN 16, and Bacillus sp EN 6 with phytase activity 0,32893 U/ml, 0,324953 U/ml, and 0,32182 U/ml respectively. The optimum temperature of phytase from that bacteria were 60ºC, 50ºC, and 60º; while the optimum pH were 4, 6, and 6. The phytase activity increased due to the adding of Ca2+ and Mg2+ ions, and decreased because of adding Fe2+ and Zn2+ ions.


(7)

commit to user

vii

MOTTO

Pertolongan, kemudahan dari Allah bisa datang tanpa diduga, dengan cara yang tidak disangka pula. (EN)

Secuil pengetahuan itu mahal harganya, tidak hanya dibayar dengan materi ataupun pemikiran, tapi juga dengan pengorbanan waktu. (EN)


(8)

commit to user

viii

HALAMAN PERSEMBAHAN

Kupersembahkan karya ini untuk:

Ibu Suprihati, Bapak Darsono, Andy, beserta keluarga besar. Suamiku tercinta, Irka Ariaska.

Yang tersayang ”Cwety & Dedek”.

Ibu Suminah dan Bapak Sukamto, beserta keluarga besar. Almamater PPs UNS.


(9)

commit to user

ix

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang

berjudul: “Identifikasi Bakteri Penghasil Fitase Berdasarkan Gen 16S rRNA dan

Karakterisasi Fitase dari Kawah Sikidang Dieng”. Di dalam tulisan ini disajikan

bahasan mengenai bakteri penghasil fitase yang diidentifikasi secara morfologi dan molekuler, dan karakterisasi fitase yang meliputi: optimalisasi suhu, optimalisasi pH, stabilitas suhu dan pH, serta pengaruh ion logam terhadap aktivitas fitase.

Nilai penting dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi mengenai sumber enzim fitase yang berasal dari mikroorganisme kawah Sikidang Dieng. Penemuan bakteri penghasil fitase yang dari kawah Sikidang Dieng dapat menambah koleksi keanekaragaman bakteri penghasil fitase dari area yang berbeda. Karakterisasi fitase pada penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai referensi untuk mengembangkan enzim fitase agar dapat menghasilkan fitase yang optimal dan dapat diaplikasikan di bidang industri.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Atas kekurangan dan keterbatasan, penulis mengharapkan saran yang membangun agar tulisan ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan.

Surakarta, Desember 2012 Penulis


(10)

commit to user

x

UCAPAN TERIMA KASIH

Dalam proses penyusunan tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan dari berbagai pihak, sehingga kesulitan-kesulitan yang timbul dapat teratasi. Dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah memberi bimbingan dan bantuan kepada penulis sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S selaku rektor UNS Surakarta yang telah memberikan izin studi di UNS.

2. Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, M.S selaku Direktur Program Pascasarjana UNS Surakarta yang telah memberikan izin studi di program Biosain Pascasarjana UNS.

3. Prof. Dr. rer.nat. Sajidan, M.Si selaku dosen pembimbing I yang telah memberikan banyak bimbingan dan bantuan kepada penulis sampai tesis ini dapat terselesaikan dengan baik.

4. Prof. Dr. Sugiyarto, M.Si selaku Kaprodi Biosain sekaligus sebagai pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dalam penulisan tesis. 5. Dr. Ari Susilowati, M.Si selaku sekretaris Prodi Biosain sekaligus tim penguji

tesis yang juga telah memberikan bimbingan kepada penulis.

6. Prof. Drs. Suranto, M.Sc, Ph.D selaku tim penguji tesis yang juga telah memberikan bimbingan kepada penulis.

7. Semua dosen di Prodi Biosain yang telah memberikan banyak ilmu kepada penulis.


(11)

commit to user

xi

8. Ibu Suprihati, bapak Darsono, Rizky Andi Purnomo, dan keluarga besar yang telah menemani penulis sampling ke Dieng, memberikan banyak motivasi dan segala kemudahan bagi penulis selama menyelesaikan studi di Biosain. 9. Irka Ariaska, S.Pd, suami penulis yang telah memberikan banyak motivasi,

dukungan, selalu setia menemani dan mendampingi dengan sabar selama penulis menyelesaikan studi dan tesis ini.

10.Ibu Suminah, bapak Sukamto, mbak Inra nawang Esti, mas Apri Harlian Rudarto, dan dek Yuni, yang telah memberikan motivasi dan memfasilitasi penulis untuk menyelesaikan tesis.

11.Bapak Drs. Slamet Santosa, M.Si yang telah memberikan dukungan dan doa kepada penulis.

12.Teman-teman Biosain 2010: mb Dian Kurniawati, mb Dina Rakhmanita Hanum, mb Emet (Erma Musbita Tyastuti), mb Etis (Eti Setioningsih), mb Adis (Dwianna Oktasari), Hesti Nurlaeli, Qiqi (Nur Rifki Fahriyati), mz Anugrah Adi Santoso, pak Tedianto, pak Hariyadi Siswanto, pak Paryanto, dan mz Triyadi. Terima kasih atas kebersamaan selama kuliah S2 di Biosain yang sangat mengesankan.

13.Eti Setioningsih, S.Si, Dian Kurniawati, S.Si, Dina Rakhmanita Hanum, S.Si, Wahyu Susilowati, dan Sri Winarseh, sebagai teman sejati yang menemami lemburan di Laboratorium Biologi MIPA.

14.Iffah Nadya dan mas Rosyid yang telah membantu dalam administrasi di Biosain.

15.Rita Wulandari, M.Si yang telah memperkenalkan tentang fitase dan memberikan pengetahuannya tentang fitase.


(12)

commit to user

xii

16.Imah, Fian, Astuti, Nita, Ika, Roila, Novieta, dkk (tim khusus P.Bio angkatan 2009), terima kasih atas dukungannya.

17.Andri Surya Destantri, S.Pd, thanx for all.

18.Laboran di Lab Biologi FKIP, mbak Tri yang telah membantu menyediakan alat dan bahan selama melakukan penelitian di Lab Biologi FKIP.

19.Laboran di Lab Biologi MIPA yang telah membantu menyediakan alat, bahan, serta mengajari penggunaan alat di Lab Biologi MIPA.

20.Semua pihak yang turut membantu baik secara langsung maupun tidak langsung atas terlaksananya penelitian tesis dan penyusunan tesis.


(13)

commit to user

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………... i

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING……… ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI………. iii

PERNYATAAN ORISINALITAS DAN PUBLIKASI TESIS……….... iv

ABSTRAK….……….... v

ABSTRACT………... vi

MOTTO………...………... vii

HALAMAN PERSEMBAHAN……… viii

KATA PENGANTAR……… ix

UCAPAN TERIMA KASIH……….. x

DAFTAR ISI……….. xiii

DAFTAR GAMBAR………….……… xvi

DAFTAR LAMPIRAN……….. xviii

BAB I. PENDAHULUAN………...

A. Latar Belakang………

B. Rumusan Masalah………...

C. Tujuan Penelitian………....

D. Manfaat Penelitian………..

1 1 3 3 3

BAB II. LANDASAN TEORI……...…………...……….

A. Tinjauan Pustaka………

1. Asam fitat………..

4 4 4


(14)

commit to user

xiv

2. Fitase……….

3. Karakteristik fitase………

B. Kerangka Pemikiran………

6 14 16

BAB III. METODE PENELITIAN……….………..

A. Waktu dan Tempat Penelitian……….

1. Waktu………

2. Tempat………..

B. Alat dan Bahan………

1. Alat………

2. Bahan………

C. Jenis Penelitian………

D. Prosedur Penelitian……….

1. Pengayaan dan pemurnian mikroorganisme……….

2. Seleksi bakteri penghasil fitase……….

3. Penentuan aktivitas fitase………..

4. Karakterisasi ekstrak kasar fitase………..

5. Identifikasi isolat terpilih………..

a. Pewarnaan gram………..

b. Isolasi DNA bakteri……….

c. Amplifikasi DNA………

E. Analisis Data………...

17 17 17 17 19 19 19 19 20 20 20 21 22 23 23 23 25 25 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN…...………...

A. Bakteri dari kawah Sikidang Dieng……… 27 27


(15)

commit to user

xv

B. Bakteri penghasil fitase………...

C. Aktivitas Fitase………...

D. Karakterisasi Fitase……….

1. Pertumbuhan bakteri terhadap aktivitas fitase.………. 2. Optimalisasi suhu fitase………

3. Optimalisasi pH fitase………...

4. Stabilitas suhu dan pH fitase……….

5. Pengaruh ion logam terhadap aktivitas fitase………

E. Pengamatan Morfologi………

F. Analisis gen 16S rRNA………..

28 28 32 32 33 35 36 38 40 42

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN………

A. Kesimpulan……….

B. Saran………

53 53 54

DAFTAR PUSTAKA………. 55


(16)

commit to user

xvi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Struktur asam fitat A menurut Neuberg, dan B menurut Anderson, (Tran, 2010).

4 Gambar 2. Hidrolisis asam fitat oleh fitase menurut Yao et al., (2011) 7 Gambar 3. Hidrolisis asam fitat oleh fitase menurut Kusumadjaja et al.,

(2009)

7 Gambar 4. Struktur fitase HAP dari Klebsiella sp ASR1 (Bohm et al.,

2010).

9 Gambar 5. Struktur fitase BPP dari Bacillus subtilis (Zeng et al., 2011) 10 Gambar 6. Struktur fitase PAP dari kacang merah (Phaseolus vulgaris)

(Feder et al., 2012).

11 Gambar 7. Klasifikasi fitase berdasarkan analisis sekuens dan biokimia

fitase menurut Oh (2004).

12 Gambar 8. Klasifikasi fitase menurut Sajidan (2004) berdasarkan

kontruksi pohon filogenetik dari fitase HAP.

13

Gambar 9. Diagram kerangka pemikiran 16

Gambar 10. Peta lokasi kawah Sikidang Dieng 17

Gambar 11. Peta lokasi pengambilan sampel pada kawah Sikidang Dieng hasil foto satelit (X).

18 Gambar 12. Insert lokasi pengambilan sampel air dan lumpur kawah

Sikidang Dieng.

18 Gambar 13. Koloni bakteri yang tumbuh pada media LB padat. 27 Gambar 14. Perbandingan warna kuning pada reaksi pengujian fitase. a.

adalah larutan kontrol, sedangkan b, c, dan d adalah larutan uji.

29

Gambar 15. Diagram batang hasil uji aktivitas fitase dari 28 isolat bakteri.

30 Gambar 16. Diagram batang hasil uji aktivitas fitase dari isolat EN 10,

EN 16, dan EN 6.

31 Gambar 17. Kurva pertumbuhan bakteri terhadap aktivitas fitase dari

isolat EN 10, EN 16, dan EN 6.

32 Gambar 18. Kurva optimalisasi suhu dari isolat EN 6, EN 10, dan EN 16. 34 Gambar 19. Kurva optimaalisasi pH dari isolat EN 6, EN 10, dan EN 16. 35 Gambar 20. Kurva aktivitas fitase pada suhu dan pH optimum fitase dari

isolat EN 6, EN 10, dan EN 16 yang diinkubasi sampai dengan 6 jam.

37

Gambar 21. Kurva persentase aktivitas relatif Fitase pada suhu dan pH optimum fitase dari isolat EN 6, EN 10, dan EN 16 yang diinkubasi sampai dengan 6 jam.

38

Gambar 22. Histogram pengaruh beberapa ion logam terhadap aktivitas fitase dari isolat EN 6, EN 10, dan EN 16.


(17)

commit to user

xvii

Gambar 23. Struktur yang menunjukkan pengikatan ion logam dengan gugus fosfat pada molekul asam fitat menurut Tran (2010)

40 Gambar 24. Morfologi dari koloni isolat EN 10 (24.a), koloni isolat EN

16 (24.b) dan EN 6 (24.c).

41 Gambar 25. Gambar morfologi sel bakteri dengan perbesaran mikroskop

10x10. Morfologi sel bakteri dari isolat EN 10 (25.a), EN 16 (25.b) dan EN 6 (25.c).

41

Gambar 26. Gel elektroforesis gen 16S rRNA dari isolat EN 6, EN 10, dan EN 16 yang diamplifikasi dengan menggunakan primer 27f dan 765r.

44

Gambar 27. Perbandingan urutan basa DNA dari B.cereus EN 10, B. cereus EN 16, Bacillus sp. 6, B. aryabhattai RW SM C, B. cereus RW SM A, B.cereus (no. akses JQ993365.1), Bacillus sp. 1052 (no. akses JX566534.1), B. amiloliquefasciens AP-17 (no. akses JQ740157.1), dan B. subtilis strain CF92 (no. akses HQ127622.1).

48

Gambar 28. Pohon filogenetik berbasis gen 16S rRNA dari B. cereus EN 10, B. cereus EN 16, Bacillus sp. EN 6 dengan beberapa jenis Bacillus lain dan Pantoea agglomerans.


(18)

commit to user

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Kurva standar KH2PO4 61

Lampiran 2 Uji aktivitas fitase dari 28 isolat 62 Lampiran 3 Uji aktivitas fitase dari 3 isolat tertinggi 64 Lampiran 4 Data absorbansi pertumbuhan bakteri dari isolat EN 6, EN

10, dan EN 16.

65 Lampiran 5 Data absorbansi Optimalisasi suhu dari isolat EN 6, EN 10,

dan EN 16.

66 Lampiran 6 Data absorbansi Optimalisasi pH dari isolat EN 6, EN 10,

dan EN 16.

68 Lampiran 7 Data Stabilitas Fitase dari isolat EN 6, EN 10, dan EN 16. 70 Lampiran 8 Data absorbansi pengaruh ion logam dari isolat EN 6, EN

10, dan EN 16.

72 Lampiran 9 Gel elektroforesis hasil ekstraksi DNA 73 Lampiran 10 Hasil Sekuens dari isolat EN 6, EN 10, dan EN 16. 74 Lampiran 11 Sekuens dari gen bank NCBI yang di alingment 75

Lampiran 12 Foto dokumentasi alat 77


(19)

commit to user BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Asam fitat merupakan bentuk utama penyimpanan fosfat di dalam tanaman biji-bijian, sereal dan leguminose, yang digunakan dalam bahan makanan manusia maupun makanan ternak. Asam fitat tidak dapat dihidrolisis dalam saluran pencernaan hewan monogastrik, dan asam fitat tersebut akan berasosiasi dengan garamnya membentuk senyawa kompleks yang tidak larut sehingga menghambat penyerapan mineral di dalam tubuh. Kekurangan mineral di dalam tubuh dapat menyebabkan gangguan metabolisme yang dapat menyebabkan berbagai jenis penyakit.

Asam fitat yang tidak dapat dihidrolisis tersebut tidak dapat dicerna di dalam saluran pencernaan sehingga akan diekskresikan melalui kotoran. Kotoran yang mengandung gugus fosfat tersebut dapat mencemari tanah dan perairan di sekitarnya. Untuk menanggulangi masalah pencemaran tersebut, biasanya pada pakan ternak ditambah dengan enzim fitase.

Fitase atau myo inositol heksakisfosfat fosfohidrolase adalah enzim yang dapat menghidrolisis ikatan fosfoester pada asam fitat, menghasilkan fosfat anorganik dan ester fosfat. Fitase terdapat di dalam tumbuhan dan mikroorganisme. Fitase dari mikroorganisme yang telah diteliti oleh para ahli antara lain: fitase dari Aspergillus niger (Nagashima, 1999), Aspergillus ficuum


(20)

commit to user

(Irving et al., 1972) Bacillis subtilis (Kerouvo et al., 2000), Eschercia coli (Greiner et al., 1993), dan Klebsiella pneumonia (Sajidan et al., 2004).

Fitase banyak dimanfaatkan dalam industri pangan dan pakan ternak. Adanya fitase pada bahan pangan manusia akan memudahkan dalam pencernaan asam fitat, sedangkan fitase pada bahan pakan ternak akan meningkatkan kualitas nutrisi pakan ternak dan mengurangi polusi fosfat. Pemanfaatan fitase dalam industri tersebut membutuhkan suhu tinggi dalam pengolahannya, sehingga dibutuhkan enzim fitase yang dapat tahan terhadap suhu tinggi. Fitase yang dapat tahan terhadap suhu tinggi dapat diperoleh dari mikroorganisme yang dapat hidup di daerah dengan suhu tinggi pula. Mikroorganisme tersebut hidup pada suhu 45-80ºC (Vieille dan Zeikus, 2001). Mikroorganisme tahan panas dapat diperoleh pada sumber air panas atau kawah gunung berapi.

Kawah Sikidang Dieng merupakan salah satu sumber air panas dengan suhu antara 60-80ºC. Oleh karena itu, pada penelitian ini mengambil air kawah Sikidang Dieng untuk diidentifikasi bakteri yang dapat menghasilkan fitase, dan dikarakterisasi fitase yang dihasilkannya, dengan harapan diperoleh fitase yang memiliki stabilitas pada suhu tinggi sehingga enzim tersebut dapat dimanfaatkan lebih baik di bidang industri pangan dan pakan ternak.


(21)

commit to user

B. Rumusan Masalah

1. Apakah terdapat bakteri dengan aktivitas fitase pada air dan lumpur kawah Sikidang Dieng?

2. Bagaimana identitas bakteri penghasil fitase tersebut berdasarkan gen 16S rRNA?

3. Bagaimana karakteristik ekstrak kasar fitase yang diperoleh dari hasil isolat terpilih?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menguji adanya bakteri dengan aktivitas fitase pada air dan lumpur kawah Sikidang Dieng.

2. Mengidentifikasi bakteri penghasil fitase tersebut berdasarkan gen 16S rRNA. 3. Mengkarakterisasi ekstrak kasar fitase yang diperoleh dari hasil isolat terpilih.

D. Manfaat Penelitian

1. Menambah koleksi keanekaragaman bakteri dengan aktivitas fitase yang berasal dari area yang berbeda.

2. Memberi sumbangan bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pada umumnya dan bidang enzimologi pada khususnya.

3. Dengan mempelajari karakter ekstrak kasar fitase, diharapkan diperoleh sumber fitase baru yang dapat dimanfaatkan pada industri pangan dan industri pakan ternak.


(22)

commit to user BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Asam fitat

Asam fitat atau myo-inositol hexakisphosphate merupakan bentuk utama penyimpanan unsur fosfor yang terdapat pada tanaman biji-bijian, serealia, leguminose, dan oilseed (Kerovuo et al., 2000). Asam fitat secara struktural adalah suatu cincin myo-inositol yang mengikat penuh 6 fosfat disekeliling cincin (Cosgrove, 1980). Rantai C dikelilingi oleh 6 atom fosfat yang berikatan dengan oksigen dan hidrogen (Gambar 1).

Gambar 1. Struktur asam fitat A menurut Neuberg, dan B menurut Anderson, (Tran, 2010)

Wyss et al. (1999) mengungkapkan dua aspek yang sangat penting dari asam fitat dalam konteks nutrisi manusia dan nutrisi ternak yaitu: 1). Kelompok hewan monogastrik memiliki tingkat degradasi enzim fitase yang rendah pada saluran pencernaannya, dan asam fitat tidak dapat diserap sendiri oleh tubuhnya, sehingga dalam makanan ternak perlu ditambah dengan asupan fosfat anorganik agar dapat memenuhi kebutuhan fosfat; 2). Asam fitat merupakan faktor


(23)

commit to user

antinutrisi, bentuknya yang kompleks dengan protein dan berbagai macam ion logam, sehingga dapat menurunkan ketersediaan nutrisi makanan.

Lain halnya dengan Cosgrove dan Irving (1980) yang menyatakan peranan fitat pada biji-bijian sebagai berikut: 1) sebagai sumber fosfor; 2) untuk penyimpanan energi; 3) sebagai kompetitor adenosine trifosfat selama biosintesis phytin ketika metabolisme biji terhambat dan terjadi dormansi; 4) sebagai pengerah kation divalent yang diperlukan untuk mengontrol proses seluler dan dilepaskan selama perkecambahan pada tanaman penghasil fitase; 5) sebagai regulator ketersediaan fosfat anorganik pada biji.

Dilihat dari sudut pandang tanaman, fitat penting untuk pertumbuhan biji dan turut berperan dalam meningkatkan hasil panen. Namun jika dilihat dari sudut pandang hewan, fitat merupakan komponen anti nutrisi. (Thompson, 1993). Adanya asam fitat menyebabkan beberapa mineral dan protein menjadi tidak terlarut sehingga tidak dapat diserap oleh usus manusia dan hewan monogastrik (Liu et al., 2005).

Asam fitat yang dikenal sebagai faktor anti nutrisi dapat terhidrolisis oleh fitase sehingga dapat meningkatkan ketersediaan berbagai nutrisi. Hal ini mengarahkan pada pengurangan kinerja asam fitat ketika terdapat penambahan dikalsium fosfat pada pakan ternak, sehingga banyak fosfor yang dikeluarkan oleh hewan ternak yang menuju aliran air, yang dapat menciptakan masalah lingkungan yaitu eutrofikasi pada perairan (Maenz dan Classen, 1998).

Asam fitat juga memiliki banyak manfaat bagi kesehatan, Tran (2010) menyatakan bahwa asam fitat memiliki fungsi penting sebagai antioksidan,


(24)

commit to user

sehingga dapat menghambat terjadinya radikal bebas dan kanker. Dua puluh persen fosfor dari bentuk asam fitat telah digunakan sebagai antioksidan dan dapat menjadi agen protektif dalam makanan manusia (Lima-Filho et al., 2004). Namun, asam fitat atau garam fitat merupakan inhibitor bagi enzim-enzim pencernaan

seperti α-amilase, lipase, pepsin, tripsin, maupun kimotripsin. Pengaruh inhibisi asam fitat atau garam fitat semakin kuat, seiring dengan meningkatnya konsentrasi fitat maupun bertambahnya gugus fosfat yang terikat pada mio-inositol (Kusumadjaja, 2009).

2. Fitase

Fitase atau myo-inositol hexakisphosphate phosphohydrolase (EC.3. 1.3.8) pertama kali ditemukan oleh Suzuki (1907) dalam dalam penelitiannya tentang hidrolisis bekatul, Tran (2010). The Enzyme Nomenclature Committee of the International Union of Biochemistry menggolongkan dua tipe fitase yaitu: 3-phytase (EC 3.1.3.8) dan 6-3-phytase (EC 3.1.3.26). Klasifikasi ini berdasarkan pada gugus fosfat pertama yang berikatan dengan enzim. 3-phytase (EC 3.1.3.8) terdapat pada mikroorganisme, sedangkan 6-phytase (EC 3.1.3.26) terdapat pada tanaman (Kerovuo et al., 2000).

Fitase pada umumnya digunakan sebagai bahan tambahan pada makanan ternak untuk meningkatkan kualitas nutrisi bahan pangan dan produk pakan yang mengandung fosfat, dengan cara mereduksi asam fitat. Menurut Yao et al., (2011) asam fitat memiliki ikatan yang kompleks dengan pati, protein, dan mineral lain yang tidak mudah larut sehingga tidak dapat diserap oleh usus. Adanya


(25)

commit to user

penambahan fitase akan menghidrolisis asam fitat menjadi 1 molekul inositol, 6 molekul fosfat anorganik, ion Ca2+, Zn2+ dan protein (Gambar 2), sehingga fosfat dan mineral yang terikat dapat dilepaskan dan dimanfaatkan oleh tubuh. Lain halnya dengan Kusumadjaja et al., (2009) yang menyatakan bahwa hidrolisis asam fitat oleh fitase, dengan media perantara air akan menghasilkan mio inositol dan fosfat anorganik (Gambar 3).

Gambar 2. Hidrolisis asam fitat oleh fitase menurut Yao et al., (2011)

Gambar 3. Hidrolisis asam fitat oleh fitase menurut Kusumadjaja et al., (2009) Penambahan fitase pada bahan pakan ternak dapat mengurangi tingkat polusi fosfat, yang ditunjukkan dengan berkurangnya kandungan fosfat pada hasil ekskresi ternak sampai 50% (Konietzny dan Greiner, 2004). Meskipun ada beberapa laporan keberadaan fitase pada saluran pencernaan unggas dan hewan


(26)

commit to user

ternak, namun fosfor fitat jarang ada pada manusia dan hewan monogastrik karena enzim pada ususnya tertekan oleh tingginya tingkat asam fitat, kalsium, magnesium dan fosfat anorganik pada makanan. Penambahan dikalsium fosfat pada suplemen pakan kemungkinan akan meningkatkan aktivitas fitase (Davies et al., 1970).

Berdasarkan aktivitas sisi geometri dan mekanisme katalisis, fitase digolongkan menjadi 3 yaitu: histidin acid phosphatase (HAP), ß-propeller phytase (BPP) dan purple acid phosphatase (PAP). Sedangkan berdasarkan pH optimum katalisis, fitase dapat digolongkan menjadi fitase asam, netral, dan alkalin.

Histidine acid phytase (HAP) merupakan kelompok enzim yang paling banyak dipelajari. Anggotanya terdiri dari prokaryota (fitase appA dari Escherichia coli) dan eukaryota (phyA dan phyB dari Aspergillus sp., fitase HAP yang berasal dari yeast dan tanaman). Semua fitase HAP memiliki bentuk umum sisi aktif RHGXRXP pada ujung akhir-N dan bentuk HD pada ujung akhir-C pada sekuens DNAnya, sehingga dapat menimbulkan terjadinya dua tahap mekanisme pada hidrolisis phosphomonoester (Mullaney et al., 2003). PhyK yaitu fitase yang berasal dari bakteri Klebsiella sp. ASR1 juga merupakan subfamily dari fitase HAP yang memiliki sisi aktif RHGXRXP dan bentuk HD pada sekuensnya (Sajidan et al., 2004). Struktur fitase HAP dari Klebsiella sp ASR1 (Gambar 4) terdiri dari 4 molekul 3-fitase(A, A_1, B, B_1) yang masing-masing dapat berikatan dengan 10 molekul yaitu: 5 molekul Na+, 1 molekul Mg2+ dan 4 molekul Gliserol.


(27)

commit to user

a. b.

Gambar 4. Struktur fitase HAP dari Klebsiella sp ASR1 (Bohm et al., 2010). a. struktur 3 dimensi, b. struktur interaksi ikatan antar molekul. (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/Structure/mmdb/mmdbsrv.cgi?uid=81637)

BPP merupakan kelompok utama enzim fitase yang terdapat di alam, yang tersebar luas di daratan dan ekosistem perairan. Tipe BPP memiliki 6 bilah propeller dengan dua sisi aktif pengikat fosfat (sisi pembelahan dan sisi afinitas), dan 6 sisi aktif pengikatan ion kalsium (3 diantaranya adalah sisi aktif pengikatan yang memiliki afinitas tinggi terhadap stabilitas enzim, dan 3 lainnya yang memiliki afinitas rendah terhadap aktivitas enzim) (Kim et al., 2010). Salah satu contoh dari kelompok fitase BPP adalah fitase dari Bacillus subtilis, strukturnya dibuat oleh Zeng et al., (2011) (Gambar 5). Molekul fitase BPP dari Bacillus subtilis (A) berikatan dengan 2 jenis molekul yaitu: nomor 1 berikatan dengan 1 molekul D-myoinositol-hexasulphate dan nomor 2 berikatan dengan 11 ion kalsium.


(28)

commit to user

a. b.

Gambar 5. Struktur fitase BPP dari Bacillus subtilis (Zeng et al., 2011) a. struktur 3 dimensi, b. struktur interaksi ikatan antar molekul. (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/Structure/mmdb/mmdbsrv.cgi?uid=89811)

Fitase PAP pada umumnya berasal dari tanaman biji-bijian. Misalnya fitase dari kotiledon kedelai (Glycine max) yang sedang berkecambah (disebut dengan GmPhy) mempunyai bentuk sisi aktif PAP dengan dua inti Fe3+ dan Zn2+ pada sisi aktifnya. Fitase PAP yang berasal dari kedelai ini menunjukkan aktivitas signifikan terhadap asam fitat (Mullaney et al., 2003) Fitase dari Klebsiella terrigena and K. Aerogenes belum dikarakterisasikan, namun fitase dari Klebsiella tersebut dilaporkan menjadi monomer 3-fitase, yang memiliki dua bentuk rangkaian. Bentuk yang besar berukuran 700kDa dan yang kecil berukuran 10-13kDa, dengan rentang pH optimum 4,5-5,2, dan merupakan bentuk terkecil yang diketahui sebagai fraksi protein yang menunjukkan aktivitas fitase (Hegeman dan Grabau, 2001).

Fitase PAP selain dari kedelai juga berasal dari kacang merah (Phaseolus vulgaris). Struktur PAP yang diwakili oleh P haseolus vulgaris (Gambar 6)


(29)

commit to user

memiliki ikatan yang sangat kompleks, dapat dijelaskan sebagai berikut: A dan D adalah molekul PAP yang berikatan satu sama lain dan juga berikatan dengan 6 macam molekul yang lain yang berjumlah 33 ion/molekul. Nomor 1 adalah ikatan dengan 2 ion Zn2+, nomor 2 adalah ikatan dengan 2 ion Fe2+, nomor 3 adalah ikatan dengan 2 Gliserol, nomor 4 adalah ikatan dengan 2 OLV, nomor 5 adalah ikatan dengan 10 ion sulfat, dan nomor 6 adalah ikatan dengan 13 molekul N-acetil-D-Glucosamin, 1 ion asetat, dan 1 molekul 1,2-Ethanediol.

a. b.

Gambar 6. Struktur fitase PAP dari kacang merah (Phaseolus vulgaris) (Feder et al., 2012)

a. struktur 3 dimensi, b. struktur interaksi ikatan antar molekul. (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/Structure/mmdb/mmdbsrv.cgi?uid=103041)

Fitase (EC 3.1.3.8; myo-inositol hexakisphosphate phosphohydrolase) merupakan kelompok enzim phosphatase yang mampu menghidrolisis asam fitat menjadi monophosphate anorganik, myo-inositol phosphate rendah (lower myo-inositol phosphate), dan myo-inositol bebas (Kerovuo et al., 2000; Quan et al., 2002). Enzim ini dapat dihasilkan oleh mikroorganisme (bakteri, jamur, yeast), jaringan hewan dan tanaman. Konietzny and Greiner (2004) menyatakan bahwa


(30)

commit to user

bakteri yang dapat menghasilkan enzim fitase yang dapat mendegradasi fitat ekstraseluler, berasal dari genus Bacillus dan Enterobacter.

Oh et al. (2004) membuat klasifikasi fitase berdasarkan analisis sekuens dan biokimia fitase (Gambar 7). Fitase dikelompokkan menjadi dua kelas yaitu fitase alkalin dan fitase histidin, yang kemudian masih dapat dikelompokkan lagi menjadi 4 kelompok yaitu: PhyA, PhyB, PhyC dan PhyD. Kelompok fitase alkalin atau PhyD merupakan kelompok fitase yang dihasilkan oleh bakteri dari genus Bacillus yang memiliki pH optimum antara 7 - 8. Sedangkan kelompok fitase histidin yang dapat menghasilkan fitase yang berasal dari bakteri yaitu bakteri E. coli dari kelompok PhyC yang memiliki pH optimum antar 5,5 - 6.

Gambar 7. Klasifikasi fitase berdasarkan analisis sekuens dan biokimia fitase menurut Oh et al. (2004).


(31)

commit to user

Sajidan et al. (2004) juga membuat klasifikasi fitase berdasarkan konstruksi pohon filogenetik dari fitase HAP (Gambar 8). phyK_AS adalah 3-fitase dari Klebsiella sp. ASR1, phyP_MOK1 adalah putative fitase dari Pseudomonas syringae, phyP_B728a adalah putative fitase dari Pseudomonas syringae B728A, phyX_Xa adalah putative fitase dari Xanthomonas axonopodis, phyX_Xc adalah putative fitase dari Xanthomonas campestris, phyC_Cc adalah putative fitase dari Caulobacter crescentus, appA_Yp adalah KIM asam fosfatase dari Yersinia pestis, appA_Eco adalah fitase dari Escherichia coli, agp_Eco adalah glukosa-1-fosfatase dari E. Coli, aphK adalah asam fosfatase dari Klebsiella sp. ASR1, phoK adalah alkalin fosfatase dari Klebsiella sp. ASR1. Yang termasuk anggota dari fitase HAP phyK adalah phyP_B728a, phyK_AS dan phyP_MOK1.

Gambar 8. Klasifikasi gen fitase menurut Sajidan et al. (2004) berdasarkan kontruksi pohon filogenetik dari fitase HAP.


(32)

commit to user

3. Karakteristik Fitase

Bakteri tahan panas merupakan kelompok bakteri yang mampu tumbuh pada suhu 45°C sampai 65°C (Brock, 1986). Suhu di atas 60°C di alam bagi mikroorganisme terdapat pada daerah-daerah tertentu seperti daerah geotermal dan kompos. Menurut Brock dan Madigan (1991) mikroba tahan panas memiliki bebrapa keistimewaan diantaranya enzim dan protein yang dihasilkan bersifat termostabil dan mampu berfungsi optimal pada suhu tinggi.

Kemampuan bakteri tahan panas untuk bertahan hidup di lingkungan panas disebabkan bakteri tersebut mempunyai membran sel yang kaya akan asam lemak jenuh dan membran ribosom yang juga tahan panas. Menurut Brock dan Madigan (1991) organisme tahan panas merupakan organisme prokariot, karena

organisme eukariot tidak dapat bertahan hidup pada suhu tinggi.

Enzim fitase tahan panas yang memiliki efisiensi tinggi dalam katalitik, memiliki prospek ekonomi yang besar karena suplement pada pakan ternak yang mengandung fitase dapat meningkatkan ketersediaan fosfor dalam pakan tersebut. Misalnya fitase yang berasal dari Aspergillus niger yang memiliki suhu optimum 60°C, dan fitase yang berasal dari Thermomyces lanuginosus yang memiliki suhu optimum 69°C (Maheshwari et al., 2000).

Berat molekul fitase bakteri pada umumnya lebih kecil daripada berat molekul fungi. Berat molekul bakteri berkisar antara 35-50kDa, sedangkan berat molekul fitase fungi berkisar antara 65-70kDa. pH optimum fitase bervariasi antara 2,2-8, fitase fungi memiliki pH optimum antara 4,5-5,6, Bacillus memiliki pH optimum 6,5-7,5, sedangkan pH optimum fitase pada tanaman antara 4-5,6.


(33)

commit to user

Temperatur optimum fitase bervariasi antara 45-77ºC (Kerouvo et al., 2000). Sementara itu, Pasamontes et al., (1997) menyatakan bahwa enzim fitase dapat menunjukkan aktivitasnya pada rentang pH 2,5-8, dengan pH optimum pada pH 4 dan 6-6,5.

Mikroba penghasil fitase dapat bekerja pada rentang suhu yang lebar yaitu 35-63ºC atau 95-114 ºF (Wodzinski dan Ullah, 1996). Sedangkan Vieille dan Zeikus (2001) menyatakan bahwa organisme tahan panas dapat tumbuh dengan optimal pada suhu 50-80ºC, tetapi enzim yang dihasilkan dari organisme tersebut biasanya memiliki aktivitas optimum pada suhu 60-80ºC, sedangkan stabilitas termal dan kestabilan aktivitas enzimnya pada suhu 70 ºC.

Fitase yang berasal dari Aspergillus fumigatus diketahui memiliki aktivitas enzim yang tinggi, mencapai 90% pada suhu 100ºC selama 20 menit (Rodriguez et al., 2000) atau 90ºC selama 120 menit (Pasamontes et al., 1997). Fitase dari tiga bakteri yaitu: E. Coli, Pantoea agglomerans, Klebsiella pneunomia secara berurutan memiliki pH optimum 4, 4,5 dan 5; dan suhu optimum 50-55oC, 60-70oC dan 45-50oC (Sajidan, 2004).


(34)

commit to user

b. Kerangka Pemikiran

Asam fitat  senyawa kompleks tidak larut  menghambat penyerapan fosfat, mineral dan protein  fosfat dikeluarkan melalui kotoran  mencemari tanah & perairan.

Gambar 9. Diagram kerangka pemikiran.

Sumber fitase baru

Suhu optimum pH optimum

Stabilitas suhu & pH Pengaruh ion logam Pewarnaan gram

Gen 16S rRNA

Karakterisasi fitase Identifikasi bakteri

Bakteri penghasil fitase

Mikroorganisme kawah Sikidang Dieng Industri fitase  suhu tinggi  fitase termostabil

Pakan ternak + fitase  fosfat anorganik + protein + mineral diserap tubuh  meningkatkan kualitas nutrisi & mengurangi polusi fosfat


(35)

commit to user BAB III

METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

1. Waktu

Penelitian laboratorium dilaksanakan mulai bulan Oktober 2011 sampai April 2012.

2. Tempat

Sampel lumpur dan air diambil dari kawah Sikidang Dieng. Kawah Sikidang Dieng terletak di dataran tinggi di kabupaten Banjarnegara (Gambar 10). Suhu udara di sekitar lokasi sampling sekitar 11-18ºC, dengan tingkat keasaman lumpur dan kawah yang sangat rendah yaitu pada pH 2. Sampel air kawah yang diambil berasal dari kawah sedang dengan kedalaman 20-30 cm, dengan suhu kawah antara 60-68ºC, sedangkan sampel lumpur yang diambil adalah lumpur disekitar semburan kawah yang masih satu lokasi dengan pengambilan sampel air, dengan jarak 0,5-1 m dari lokasi pengambilan sampel air (Gambar 11 & 12).

Gambar 10. Peta lokasi kawah Sikidang Dieng


(36)

commit to user

Gambar 11. Peta lokasi pengambilan sampel pada kawah Sikidang Dieng hasil foto satelit (X).

(http://maps.google.com/maps?f=q&source=s_q&hl=en&geocode=&authuser=0 &q=sikidang+dieng,+wonosobo&aq=&vps=1&sll=7.2208,108.825073&sspn=2.5 77462,5.410767&vpsrc=6&ie=UTF8&hq=sikidang&hnear=Dieng,+Kejajar,+Wo nosobo,+Central+Java,+Indonesia)

Gambar 12. Insert lokasi pengambilan sampel air dan lumpur kawah Sikidang Dieng. Tanda X merupakan lokasi pengambilan sampel.

Isolasi, kultur bakteri, dan karakterisasi dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi FKIP Biologi, Laboratorium Biologi FMIPA, dan UPT Laboratorium Pusat MIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta. Sedangkan sequencing DNA dilaksanakan di Laboratorium 1st Base Singapura.


(37)

commit to user

B. Alat dan Bahan

1. Alat

Alat-alat yang digunakan terdiri dari: tabung reaksi, rak tabung reaksi, cawan petri, gelas beker, gelas benda, jarum ose, pipet mikro (20l, 200l, 1000l), tip (20l, 200l, 1000l), ependorf (100l, 1,5ml), bunsen, autoklaf, neraca, sentrifuge, vortex, sarung tangan, masker, inkubator, lemari es, Laminar Air Flow Cabinet, Waterbath, Digital Mikroskop, PCR, Spektofotometer UV-VIS, Elektroforesis DNA horizontal, Gel Doc, dan DNA sequencer.

2. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan antara lain: tripton 1%, NaCl 1%, yeast extract 0,5%, bacto agar 2%, glukosa 2,5%, Na-fitat 0,4%, bekatul 2,5%, aquades, kristal violet, iodium, safranin, CaCl2, NH4NO3, KCl, MgSO4.7H2O, FeSO4.7H2O,

MnSO4.H2O, KH2PO4, Ammonium molibdat, Ammonium metavanadat, HNO3,

Natrium asetat, HCl, NaOH, alkohol 70%, isopropanol, agarosa, DNA kit (Promega), buffer TBE, EDTA, lisozym, etidium bromida, loading dye, master mix PCR (Gotaq green), ddH2O, marka DNA 1kb, primer forward 27f

(5’GAGAGTTTGATCCTGGCTCAG3’), dan primer reverse 765r

(5’CTGTTTGCTCCCCACGCTTTC 3’).

C. Jenis Penelitian

Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif eksploratif. Sampel air dan lumpur diambil dari kawah Sikidang Dieng pada bulan Oktober 2011, kemudian sampel dianalisis di Laboratorium.


(38)

commit to user

D. Prosedur Penelitian

1. Pengayaan dan pemurnian mikroorganisme

Satu ml air sampel ditambahkan dengan 9 ml larutan fisiologis, dan dilakukan pengenceran sampai diperoleh larutan dengan pengenceran 10-8. Untuk sampel tanah, 1gr sampel tanah dilarutkan dalam 10 ml aquades ditambah larutan fisiologis 1%, kemudian dilakukan pengenceran sampai diperoleh larutan dengan pengenceran 10-8. Masing-masing seri pengenceran diambil 10 l dan diinokulasikan pada media Luria Bertani (LB) padat yang terdiri dari: 1% tripton, 0,5% yeast, 1% NaCl, dan 2% bacto agar, yang diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37ºC. Koloni tunggal yang tumbuh pada media LB selanjutnya dimurnikan dengan cara melakukan subkultur beberapa kali.

2. Seleksi bakteri penghasil fitase

Koloni tunggal yang diperoleh kemudian diinokulasikan pada media seleksi padat yang terdiri dari 2,5% bekatul, 0,5% yeast, 1% NaCl, 0,25% glukosa, dan 2% bacto agar. Bakteri diinkubasi pada suhu 37ºC selama 24 jam. Bakteri yang dapat tumbuh pada media tersebut berarti memiliki kemampuan aktivitas fitase karena bakteri tersebut mampu menghidrolisis fitat pada bekatul. Penggunaan bekatul sebagai bahan dalam media seleksi mengacu pada penelitian Rosmimik et al., (1998), bahwa Bacillus coagulans EI.4.4 yang menghasilkan fitase mampu menghidrolisis fitat pada bekatul. Bakteri kemudian di subkulturkan lagi pada media LB padat tanpa bekatul, lalu dipindahkan ke media LB cair.


(39)

commit to user

3. Penentuan aktivitas fitase

Satu ml kultur hasil seleksi pada LB cair kemudian disentrifus dengan kecepatan 4000 rpm selama 5 menit. Supernatan yang diperoleh kemudian ditentukan aktivitas fitasenya. Penentuan aktivitas fitase dilakukan dengan metode Sajidan (2002), yaitu dengan 150l filtrat enzim + 750l substrat (0,4% Na-fitat dalam 0,82% larutan Na-asetat pada pH 5) yang diinkubasi pada suhu 37ºC selama 1 jam. Kemudian reaksi dihentikan dengan penambahan 2400l larutan stop yang terdiri dari larutan Amonium molibdat (2,352 g Ammonium molibdat + 2 ml HNO3 + 100 ml aquades), HNO3, aquades, dan 10% Amonium metavanadat

dengan perbandingan 1,5 : 1 : 2 : 1,5. Absorbansi diukur dengan menggunakan spektrofotometer UV-VIS pada panjang gelombang 415 nm.

Dari data absorbansi tersebut kemudian dihitung besarnya aktivitas relatif, yaitu: ��= OD X−OD kontrol

OD�−�� �� x 100%

dimana: ODx = absorbansi sampel uji ODα = absorbansi tertinggi

Penentuan uji aktivitas fitase dilakukan dengan mengukur kadar fosfat yang dihasilkan selama terjadi reaksi enzimatis yaitu ekstrak kasar fitase yang diinkubasikan selama 1 jam pada substrat yang mengandung natrium fitat dan natrium asetat. Reaksi enzimatis kemudian dihentikan dengan menambahakan larutan Stop asam vanadomolibdofosforik, kemudian diukur nilai absorbansinya dan dikalibrasikan dengan larutan standar sehingga menghasilkan nilai aktivitas fitase dalam satuan U/ml, yang berarti jumlah μmol PO4-3yang dilepas per menit


(40)

commit to user

memasukkan data nilai absorbansi terkoreksi (Lampiran 2-8) ke dalam persamaan linear hasil dari kurva standar KH2PO4 (Lampiran 1).

Tiga isolat bakteri yang memiliki aktivitas fitase tertinggi kemudian enzimnya dikarakterisasi lebih lanjut yang meliputi optimalisasi suhu fitase, optimalisasi pH fitase, stabilitas suhu dan pH fitase, dan pengaruh ion logam terhadap aktivitas fitase.

4. Karakterisasi ekstrak kasar fitase

Karakterisasi ekstrak kasar fitase meliputi penentuan suhu optimum fitase, pH optimum fitase, stabilitas suhu dan pH fitase, dan pengaruh ion logam terhadap aktivitas fitase. Penentuan suhu optimum fitase dilakukan dengan cara menentukan aktivitas enzim pada rentang suhu 30-90 ºC, sedangkan penentuan pH optimum fitase dilakukan dengan cara menentukan aktivitas enzim pada rentang pH 3-9.

Penentuan stabilitas suhu fitase dilakukan dengan cara memanaskan enzim pada suhu optimumnya pada selang waktu tertentu dan ditentukan aktivitasnya sampai enzim tidak memperlihatkan aktivitas secara signifikan. Penentuan stabilitas pH fitase dilakukan dengan cara melarutkan enzim dalam larutan buffer dengan berbagai pH 3-9. Masing-masing reaksi diinkubasi pada suhu optimum selama 1 jam. Kemudian dilakukan penentuan aktivitas enzim pada pH optimum dan suhu optimum.

Penentuan pengaruuh ion logam terhadap aktivitas fitase dilakukan pada kondisi pH dan suhu optimum fitase. Ion logam yang digunakan berasal dari


(41)

commit to user

garam ZnCl2, FeCl2, MgCl2 dan CaCl2, masing-masing dengan konsentrasi 10-3M.

150l enzim + 750l substrat + 30l efektor logam diinkubasi pada suhu dan pH optimum fitase selama 1 jam, kemudian ditentukan aktivitasnya.

5. Identifikasi isolat terpilih

Setelah diperoleh koloni tunggal, isolat bakteri yang memiliki aktivitas fitase tertinggi selanjutnya diidentifikasi berdasarkan karakter morfologi dan analisis gen 16S rRNA.

a. Pewarnaan gram

Gelas benda ditetesi dengan aquades, kemudian mengambil biakan bakteri dengan jarum ose dan meletakkan diatas aquades, lalu difiksaasi diatas nyala api bunsen. Setelah mengering kemudian ditetesi dengan 1 tetes kristal violet dan dibiarkan selama 1 menit dan dibilas dengan aquades. Ditetesi dengan 1 tetes iodin dan dibiarkan selama 30 detik kemudian dibilas dengan alkohol. Ditetesi dengan 1 tetes safranin dan dibiarkan selama 30 detik kemudian dibilas dengan aquades. Bakteri diamati di bawah mikroskop. Warna ungu pada sel menunjukkan bakteri gram positif, sedangkan warna merah menunjukkan bakteri gram negatif.

b. Isolasi DNA bakteri

Isolat bakteri yang memiliki aktivitas fitase tertinggi ditumbuhkan dalam medium LB cair, kemudian DNA diekstrak dengan menggunakan kit ekstraksi DNA dari Promega.


(42)

commit to user

Tahapan ekstraksi DNA dimulai dari mensentrifuge 1ml kultur cair dengan kecepatan 13.000 rpm selama 2 menit, kemudian supernatant dipindahkan. Pelet ditambahkan dengan 480l larutan EDTA dan 120l larutan lisis, kemudian dikocok. Menambahkan 60l Lisozym lalu diinkubasikan pada suhu 37ºC selama 1 jam. Larutan disentrifuge dengan kecepatan 13.000 rpm selama 2 menit, kemudian supernatant dibuang. Pellet ditambahkan dengan 600l larutan lisis nukleus kemudian diinkubasikan pada suhu 80ºC selama 5 menit, kemudian pindahkan ke suhu ruang. Menambahkan 3l RNAase pada larutan, lalu dikocok dan diinkubasi pada suhu 37ºC selama 1 jam. Menambahkan 200l larutan presipitasi protein, divorteks selama 20 detik dengan kecepatan tinggi, kemudian diinkubasikan pada es selama 5 menit. Larutan disentrifuge dengan kecepatan 13.000 rpm selama 3 menit, supernatan dipindahkan ke tube baru yang telah berisi dengan 600l isopropanol, kocok sampai terlihat masa strand DNA. Sentrifuge dengan kecepatan 13.000 rpm selama 2 menit. Buang supernatant, lalu keringkan. Menambahakan 600l etanol 70%, kemudian dikocok dan disentrifuge dengan kecepatan 13.000 rpm selama 2 menit. Kering anginkan tube selama 15-60 menit, kemudian tambahkan 100l DNA rehydration. Inkubasikan pada suhu 65ºC selama 1 jam, kocok secara berkala, dan yang terakhir simpan DNA pada suhu 4ºC. Kualitas DNA diketahui melalui spektofotometer, dan kemurnian DNA dicek melalui elektroforesis pada agarose gel 1%.


(43)

commit to user

c. Amplifikasi DNA

Amplifikasi DNA dengan menggunakan PCR universal primer, dengan primer forward 27f (5’ GAGAGTTTGATCCTGGCTCAG 3’), dan primer reverse 765r (5’ CTGTTTGCTCCCCACGCTTTC 3’) (Sajidan, 2004). Reaksi PCR terdiri dari 12,5 l master mix PCR (Gotaq green), 2l DNA, 0,5l primer f, 0,5 l primer r, dan 9,5 l ddH2O, sehingga total

volumenya adalah 25 l. Siklus PCR meliputi 3 tahap yaitu: denaturasi, anneling, dan extention, dilakukan sebanyak 30 siklus. Denaturasi awal pada suhu 94ºC selama 2 menit, dilanjut dengan 30 siklus dengan denaturasi pada suhu 94ºC selama 1 menit, anneling pada suhu 58ºC selama 45 detik, extention pada suhu 72ºC selama 90 detik, kemudian extra extention pada suhu 72ºC selama 5 menit, yang terakhir disimpan pada suhu 4ºC. Pita DNA hasil PCR diamati dengan agarose gel 1%, diletakkan pada marka 1kb, kemudian dilakukan sequencing di Laboratorium 1st Base Singapura.

E. Analisis Data

Data yang diperoleh dari uji aktivitas fitase adalah jumlah kandungan fosfat anorganik yang dihasilkan ketika terjadi rekasi enzimatis antara ekstrak kasar fitase dengan substrat yang mengandung asam fitat. Satu unit aktivitas enzim fitase didefinisikan sebagai jumlah enzim yang mengkatalisis reaksi yang menghasilkan 1 mol fosfat organik per menit pada kondisi optimum. Penentuan konsentrasi fosfat anorganik dilakukan dengan menggunakan ammonium molibdat-vanadat, kemudian diukur absorbansinya dengan menggunakan


(44)

commit to user

spektrofotometer UV-VIS. Untuk pembuatan kurva kalibrasi digunakan larutan KH2PO4 dengan konsentrasi 100–1000 ppm. Tiga isolat bakteri yang memiliki

aktivitas fitase terbesar kemudian diidentifikasi dan dikarakterisasi enzimnya lebih lanjut.

Data karakterisasi enzim meliputi: suhu optimum fitase, pH optimum fitase, stabilitas suhu dan pH fitase, dan pengaruh ion logam terhadap aktivitas fitase dianalisis secara deskriptif kualitatif. Data yang diperoleh pada identifikasi morfologi isolat terpilih berupa bentuk dan warna koloni, bentuk sel serta pewarnaan gram juga dianalisis secara deskriptif kualitatif.

Tiga isolat bakteri dengan aktivitas fitase tertinggi dianalisis berdasarkan gen penyandi 16S rRNA. Hasil sekuensing diperoleh susunan basa nukleotida yang diolah dengan program Bio Edit dan Peak Trace untuk mendapatkan sekuens alignment yang baik. Kemiripan sekuens DNA sampel dengan sekuens yang ada di gen bank dicari dengan menggunakan program BLASTn NCBI (www.ncbi.nlm.nih.gov/blast/Blast.cgi), penjajaran urutan basa nukleotida dari beberapa sekuen menggunakan multiple sequen alignment dari program ClustalW (www.genome.jp/tools/clustalw/) dan konstruksi pohon filogenetik dibuat dengan menggunakan program ClustalW yang sama.


(45)

commit to user BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Bakteri dari kawah Sikidang Dieng

Isolasi dari sampel air diperoleh 104 koloni bakteri, sedangkan isolasi dari sampel lumpur diperoleh 30 koloni bakteri. Isolat bakteri yang berasal dari sampel lumpur memiliki morfologi yang setipe dengan isolat bakteri yang berasal dari sampel air, hanya saja jumlah isolat bakteri yang diperoleh dari hasil isolasi lebih banyak yang berasal dari sampel air. Ketersediaan oksigen di dalam air lebih besar daripada di dalam lumpur, sehingga bakteri lebih cepat berkembangbiak di dalam air. Oleh karenanya isolat bakteri lebih banyak ditemukan dalam sampel air kawah daripada dalam sampel lumpur kawah.

Dilihat secara morfologi, ada tipe koloni bakteri yang memiliki permukaan mengkilat dan tampak licin, permukaan tidak mengkilat, tepi rata halus, tepi bergelombang, tepi bergerigi, koloni tebal, dan koloni tipis (Gambar 13). Dari 134 isolat bakteri tersebut kemudian dikelompokkan sementara berdasarkan bentuk morfologi yang nampak, kemudian diambil beberapa isolat yang mewakili untuk dilakukan seleksi fitase.


(46)

commit to user

B. Bakteri penghasil fitase

Media seleksi fitase menggunakan media LB padat dengan tambahan bekatul sebagai pengganti tripton. Penambahan bekatul digunakan untuk memacu pertumbuhan bakteri penghasil fitase. Bakteri yang dapat tumbuh pada media skrening ini kemungkinan besar adalah bakteri yang dapat menghasilkan enzim fitase karena bakteri tersebut mampu menghidrolisis fitat yang terkandung dalam bekatul. Penggunaan bekatul sebagai bahan dalam media skrening mengacu pada penelitian Rosmimik et al., (1998), bahwa Bacillus coagulans EI.4.4 mampu menghasilkan fitase yang mampu menghidrolisis fitat pada bekatul. Aplikasi fitase dalam mereduksi asam fitat akan meningkatkan nilai nutrisi dari bahan pangan dan produk pakan yang mengandung fitat.

Pada tahap seleksi fitase diperoleh 28 isolat bakteri yang mampu menghasilkan fitase, yang kemudian dilakukan uji aktivitas fitasenya. Dua puluh delapan isolat bakteri tersebut terdiri dari 16 isolat bakteri yang berasal dari sampel air kawah dan 12 isolat bakteri yang berasal dari sampel lumpur kawah. Bentuk morfologi koloni bakteri dari sampel lumpur hampir sama dengan koloni bakteri dari sampel air.

C. Aktivitas fitase

Terdapat perbedaan warna kuning pada reaksi pengujian aktivitas enzim antara larutan kontrol dan larutan uji (Gambar 14). Larutan kontrol merupakan larutan ekstrak kasar fitase tanpa pemberian substrat lalu ditambahkan dengan larutan Stop. Sedangkan larutan ujinya adalah larutan ekstrak kasar fitase dengan substrat yang telah diinkubasi selama 1 jam kemudian ditambahkan dengan


(47)

commit to user

larutan Stop. Larutan kontrol berwarna kuning terang, sedangkan larutan uji berwarna kuning pekat. Warna kuning pekat terjadi karena adanya reaksi vanadomolibdofosforik yang terbentuk dari ikatan fosfat dengan vanadat-molibdat. Senyawa fosfat anorganik yang terdapat di dalam larutan uji dalam keadaan asam akan bereaksi dengan reagen ammonium molibdat membentuk kompleks asam molibdofosforik, kemudian direaksikan dengan reagen ammonium vanadat akan terbentuk kompleks asam vanadomolibdofosforik yang berwarna kuning.

Gambar 14. Perbandingan warna kuning pada reaksi pengujian fitase. a. adalah larutan kontrol, sedangkan b, c, dan d adalah larutan uji.

Jumlah isolat bakteri yang di uji aktivitas enzimnya ada 28 isolat yang terdiri dari 16 isolat yang berasal dari sampel air kawah (isolat EN 1 sampai EN 16) dan 12 isolat yang berasal dari sampel lumpur kawah (isolat EN 17 sampai EN 28). Hasil keseluruhan uji aktivitas fitase dari 28 isolat bakteri menunjukkan kisaran aktivitas fitase antara 0,30088 U/ml sampai dengan 0,3250933 U/ml (Gambar 15, Lampiran 2). Aktivitas fitase dari isolat sampel air sedikit lebih tinggi daripada isolat sampel lumpur. Aktivitas fitase dari isolat sampel air berkisar antara 0,302 U/ml sampai dengan 0,3250933 U/ml, sedangkan aktivitas


(48)

commit to user

fitase dari isolat sampel lumpur berkisar antara 0,30088 U/ml sampai dengan 0,3232533 U/ml. Dua puluh delapan isolat tersebut kemudian diambil 5 besar isolat yang memiliki aktivitas tertinggi untuk di uji ulang sehingga diperoleh 3 isolat bakteri yang memiliki aktivitas fitase yang terbesar.

Gambar 15. Diagram batang hasil uji aktivitas fitase dari 28 isolat bakteri. 0.3154033 0.3072167 0.3033233 0.302 0.3080867 0.32388 0.32035 0.30757 0.3215033 0.3250933 0.3233133 0.3208833 0.3221633 0.3162867 0.3221033 0.32423 0.3152833 0.3232533 0.3160267 0.3087667 0.31279 0.30088 0.3109 0.3059633 0.30555 0.31726 0.31473 0.3068767

0.285 0.29 0.295 0.3 0.305 0.31 0.315 0.32 0.325 0.33

EN 1 EN 2 EN 3 EN 4 EN 5 EN 6 EN 7 EN 8 EN 9 EN 10 EN 11 EN 12 EN 13 EN 14 EN 15 EN 16 EN 17 EN 18 EN 19 EN 20 EN 21 EN 22 EN 23 EN 24 EN 25 EN 26 EN 27 EN 28 Is o la t


(49)

commit to user

Uji aktivitas fitase akhirnya diperoleh 3 isolat bakteri yang dapat menghasilkan enzim fitase tertinggi yaitu fitase dari isolat EN 10, EN 16, dan EN 6. Aktivitas fitase dari isolat EN 10 sebesar 0,32893 U/ml, aktivitas fitase dari isolat EN 16 sebesar 0,324953 U/ml, dan aktivitas fitase dari isolat EN 6 sebesar 0,32182 U/ml (Gambar 16, Lampiran 3). Satu U = 1 μmol fosfat anorganik yang dibebaskan pada kondisi optimum selama 1 menit.

Gambar 16. Diagram batang hasil uji aktivitas fitase dari isolat EN 10, EN 16, dan EN 6.

Aktivitas fitase dari ketiga isolat ini masih lebih tinggi daripada fitase Bacillus cereus RW Sm A 0,1071 U/ml, fitase B. aryabhattai RW Sm C 0,102 U/ml, fitase B. cereus RW Sl 5 0,0874 U/ml (Wulandari, 2011), fitase Bacillus sp AP-17 0,0296 U/ml (Kusumadjaja, 2009), fitase B. subtilis 0,044 U/ml (Shimizu, 1992), fitase B. subtilis HG 0,283 U/ml (Yuanita et al., 2010), dan fitase Bacillus sp. KHU-10 0,2 U/ml (Choi et al., 2001), namun lebih rendah daripada fitase B. cereus ASUIA260 1,160 U/ml (Shobirin et al., 2009). Artinya bahwa isolat EN 10, EN 16 dan EN 6 memiliki kemampuan menghasilkan enzim fitase yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber penghasil enzim fitase yang baru.

0.32893 0.324953333

0.32182

0.318 0.32 0.322 0.324 0.326 0.328 0.33 EN 10

EN 16 EN 6

Is

o

la

t


(50)

commit to user

D. Karakterisasi Fitase

1. Pertumbuhan bakteri terhadap aktivitas fitase

Kurva pertumbuhan bakteri terhadap aktivitas fitase diperlukan untuk mengetahui tingkat pertumbuhan optimum dari isolat bakteri agar dapat menghasilkan fitase dengan aktivitas yang optimal. Dengan kata lain, menentukan lama waktu inkubasi isolat bakteri EN 10, EN 16, dan EN 6 agar dapat menghasilkan enzim fitase dalam jumlah yang terbesar. Waktu inkubasi ini yang nantinya akan digunakan sebagai patokan untuk menginkubasi isolat bakteri yang akan dikarakterisasi lebih lanjut, agar isolat bakteri tersebut menghasilkan aktivitas enzim yang optimal. Pengaruh pertumbuhan bakteri terhadap aktivitas fitase dilakukan dengan cara menguji aktivitas fitase dari ketiga isolat bakteri tiap 2 jam dimulai dari inkubasi bakteri pada jam ke-6. Hasil pengujian menunjukkan bahwa ketiga isolat bakteri tersebut mencapai titik puncak aktivitas fitase pada waktu inkubasi 20 jam (Gambar 17, Lampiran 4).

Gambar 17. Kurva pertumbuhan bakteri terhadap aktivitas fitase dari isolat EN 10, EN 16, dan EN 6.

0.25 0.26 0.27 0.28 0.29 0.3 0.31 0.32 0.33 0.34 0.35

6 8 10 12 14 16 18 20 22 24

A kt iv it a s Fi ta se ( U /m l)

Waktu inkubasi bakteri (jam)

EN 10 EN 16 EN 6


(51)

commit to user

Pertumbuhan bakteri membentuk suatu kurva sigmoid. Pada fase pertama pertumbuhan berjalan lambat, kemudian terjadi pertumbuhan secara eksponensial hingga pada saat tertentu terjadi pertumbuhan stasioner dan kemudian mengalami penurunan pertumbuhan. Pada penelitian ini, pertumbuhan bakteri mencapai puncak tertinggi menghasilkan fitase pada waktu inkubasi 20 jam, dan pada jam inkubasi selebihnya akan mengalami penurunan aktivitas fitase. Setelah mengetahui titik puncak pertumbuhan bakteri dalam menghasilkan fitase yang optimal, selanjutnya pada pengujian karakteristik fitase dari 3 isolat tertinggi mengambil biakan bakteri yang telah diinkubasi selama 20 jam agar menghasilkan pengujian yang optimal pula.

2. Optimalisasi suhu fitase

Optimalisasi suhu fitase ditentukan dengan cara menginkubasi substrat-enzim pada rentang suhu 37ºC, 40ºC, 50ºC, 60ºC, 70ºC, 80ºC, dan 90ºC. Fitase yang dihasilkan dari isolat EN 10 dan EN 6 memiliki aktivitas terbesar pada suhu 60ºC, sedangkan fitase yang dihasilkan oleh isolat EN 16 memiliki aktivitas terbesar pada suhu 50ºC. Inkubasi substrat-enzim yang melebihi suhu 60ºC akan menyebabkan terjadinya penurunan aktivitas enzim dari ketiga isolat. Suhu optimum untuk enzim fitase hasil dari isolat EN 10 dan EN 6 adalah 60ºC, sedangkan suhu optimum untuk enzim fitase hasil dari isolat EN 16 adalah 50ºC (Gambar 18, Lampiran 5).


(52)

commit to user

Gambar 18. Kurva optimalisasi suhu fitase dari isolat EN 10, EN 16, dan EN 6.

Suhu optimum dari ketiga fitase ini lebih rendah bila dibandingkan dengan fitase Bacillus sp. strain DS11 yang memiliki suhu optimum 70ºC (Kim et al., 1998), dan fitase Bacillus sp AP-17 yang memiliki suhu optimum 75ºC (Kusumadjaja, 2009); sama dengan fitase Bacillus sp KHU-10 dan fitase B. subtilis CH92 yang memiliki suhu optimum 60ºC (Choi et al., 2001; Hong et al., 2011); namun lebih tinggi bila dibandingkan dengan fitase B. cereus RW Sm A yang memiliki suhu optimum 40ºC (Wulandari, 2010), dan fitase B. subtilis HG yang memiliki suhu optimum 41ºC (Yuanita et al., 2010).

Inkubasi yang melebihi suhu optimum dari tiap enzim tersebut akan mengakibatkan terjadinya penurunan aktivitas enzim. Hal ini terjadi karena penigkatan suhu di atas suhu optimum akan menyebabkan terjadinya perubahan konformasi enzim yang mengarah pada perubahan destruktif yang menyebabkan putusnya ikatan yang mempertahankan struktur sekunder dan tersier sehingga

0.26 0.27 0.28 0.29 0.3 0.31 0.32

37 40 50 60 70 80 90

A kt iv it a s Fi ta se ( U /m l) Suhu (ºC) EN 10 EN 16 EN 6


(53)

commit to user

terjadi kerusakan pada molekul enzim, sehingga enzim mengalami denaturasi dan kehilangan aktivitas katalitiknya sehingga aktivitas enzim fitase turun.

3. Optimalisasi pH fitase

Optimalisasi pH fitase ditentukan dengan cara memanaskan enzim pada beberapa substrat yang memiliki pH dengan rentang 3-9. Fitase hasil dari isolat EN 10 menghasilkan aktivitas yang optimal pada pH 4, sedangkan fitase hasil dari isolat EN 16 dan EN 6 menghasilkan aktivitas yang optimal pada pH 6 (Gambar 19, Lampiran 6).

Gambar 19. Kurva optimaalisasi pH fitase dari isolat EN 10, EN 16, dan EN 6.

Hasil ini berbeda dengan yang dinyatakan oleh Keruovo (2000) bahwa pH optimum untuk bakteri penghasil fitase, khususnya yang berasal dari kelompok Bacillus mamiliki pH optimum antara 6,5 sampai 7,5. Fitase B. subtilis HG memiliki pH optimum antara 6,5–7 (Yuanita et al., 2010), fitase Bacillus sp KHU-10 memiliki pH optimum antara 6-8 (Choi et al., 2001), sedangkan fitase B. amyloliquefaciens DS11 memiliki pH optimum antara 7-8 (Kim et al., 1998). pH

0.2589 0.2591 0.2593 0.2595 0.2597 0.2599 0.2601 0.2603 0.2605

3 4 5 6 7 8 9

A kt iv it a s Fi ta se ( U /m l) pH EN 10 EN 16 EN 6


(54)

commit to user

sangat berpengaruh terhadap aktivitas enzim karena perubahan pH dapat menyebabkan perubahan muatan pada residu asam amino, terutama yang menyusun pusat aktif enzim, sehingga akan berpengaruh pula terhadap konformasi enzim, daya katalitik, dan efisiensi pengikatan substrat-enzim (Nelson dan Cox, 2000).

Pada pH di bawah dan di atas kondisi optimum memiliki aktivitas yang rendah disebabkan karena bagian sisi aktif yang mengandung gugus fungsi dan konformasi atau struktur tiga dimensi enzim berada dalam kondisi kurang mantap sehingga aktivitas katalitiknya rendah. Hal ini disebabkan karena adanya penggantian gugus pada residu asam amino sehingga menyebabkan aktivitas enzim turun. Perubahan pH menyebabkan ionisasi pada struktur primer dan struktur sekunder protein, juga menyebabkan perubahan interaksi antara satu asam amino dengan asam amino lainnya yang bertanggung jawab dalam pembentukkan struktur tiga dimensi enzim (Marlinda, 2001). Trudy dan James (1999) menyatakan bahwa sisi aktif dan struktur tiga dimensi enzim menentukan aktivitas katalitik enzim. Denaturasi protein akan menyebabkan hilangnya aktivitas enzim.

4. Stabilitas suhu dan pH fitase

Fitase dari ketiga isolat bakteri diinkubasikan pada suhu dan pH optimum dari masing-masing fitase, kemudian dipanaskan selama rentang waktu tertentu untuk mengetahui stabilitas enzim ketika dipanaskan. Pada awal inkubasi, aktivitas enzim akan meningkat sampai pada suatu titik puncak aktivitasnya


(55)

commit to user

kemudian akan mengalami penurunan aktivitas seiring dengan lamanya waktu pemanasan enzim (Gambar 20, Lampiran 7).

Gambar 20. Kurva aktivitas fitase pada suhu dan pH optimum fitase dari isolat EN 10, EN 16, dan EN 6 yang diinkubasi sampai dengan 6 jam.

Setelah mencapai aktivitas optimum, fitase dari ketiga isolat akan mengalami penurunan aktivitas. Fitase hasil dari isolat EN 10 mengalami penurunan aktivitas menjadi 88,98% setelah dipanaskan selama 1 jam dan aktivitasnya menjadi 36,83% setelah dipanaskan selama 5 jam. Fitase hasil dari isolat EN 16 mengalami penurunan aktivitas menjadi 83,08% setelah dipanaskan selama 1 jam dan aktivitasnya menjadi 29,11% setelah dipanaskan selama 5 jam. Fitase hasil dari isolat EN 6 mengalami penurunan aktivitas menjadi 89,84% setelah dipanaskan selama 1 jam dan aktivitasnya menjadi 27,80% setelah dipanaskan selama 5 jam (Gambar 21, Lampiran 7).

0.256 0.2565 0.257 0.2575 0.258 0.2585 0.259 0.2595 0.26

0.25 0.5 1 2 3 4 5 6

A kt iv it a s Fi ta se ( U /m l) Waktu (jam) EN 10 EN 16 EN 6


(56)

commit to user

Gambar 21. Kurva persentase aktivitas relatif fitase pada suhu dan pH optimum fitase dari isolat EN 10, EN 16, dan EN 6 yang diinkubasi sampai dengan 6 jam.

Fitase Bacillus sp KHU-10 memiliki stabilitas enzim pada suhu 60°C, dan mengalami penurunan aktivitas fitase sebesar 95% setelah diinkubasi selama 10 menit (Choi et al., 2001). Sedangkan aktivitas fitase dari B. subtilis CF 92 mengalami penurunan hingga tersisa 40% setelah diinkubasi pada suhu 80°C selama 30 menit (Hong et al., 2011).

5. Pengaruh ion logam terhadap aktivitas fitase

Fitase hasil dari isolat EN 10, EN 16, dan EN 6 mengalami peningkatan aktivitas karena adanya penambahan ion Ca2+. Ion Mg2+ juga dapat meningkatkan aktivitas fitase, namun peningkatanya lebih sedikit bila dibandingkan dengan ion Ca2+. Penambahan ion Zn2+ dapat menurunkan aktivitas fitase dari ketiga isolat, namun penambahan ion Fe2+ hanya dapat menurunkan aktivitas fitase pada isolat EN 6 dan EN 16 (Gambar 22, Lampiran 8).

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110

0.25 0.5 1 2 3 4 5 6

Ak ti v it a s Fi ta se ( % ) Waktu (jam) EN 10 EN 16 EN 6


(57)

commit to user

Gambar 22. Histogram pengaruh beberapa ion logam terhadap aktivitas fitase dari isolat EN 10, EN 16, dan EN 6.

Penambahan ion Mn2+ dan Ca2+ dapat meningkatkan aktivitas fitase, sedangkan penambahan ion Fe2+ atau Fe3+ tidak dapat meningkatkan aktivitas fitase (Syahbirin, 2000). Kation lain yang diketahui mengaktifkan enzim ialah Na+, K+, Rb+, Cs+, Mg2+, Zn2+, Cr2+, Cu2+, Fe2+, Co2+, Ni2+, dan Al2+. Ion tersebut dapat mengaktitkan enzim karena beberapa perubahan mekanis, antara lain: adanya bagian yang utuh pada sisi aktif, bentuk ikatan rantai antara enzim dan substrat, perubahan konstanta keseimbangan pada reaksi, perubahan muatan permukaan pada protein enzim, digantinya hambatan pada reaksi yang hilang, digantinya ion-ion logam yang tidak efektif dari sisi aktif atau substrat, dan keseimbangan konformasi dan kurang aktif diganti menjadi lebih aktif (Richardson dalam Thontowi, 2001). Namun tidak selalu ion-ion tersebut memberikan pengaruh peningkatan terhadap aktivitas enzim, karena ada beberapa ion tersebut dapat memberikan pengaruh penurunan terhadap organisme tertentu. Misalnya fitase

0.2565 0.257 0.2575 0.258 0.2585 0.259

Kontrol Ca Mg Fe Zn

A kt iv it a s Fi ta se ( U /m l) EN 10 EN 16 EN 6


(58)

commit to user

yang berasal dari Enterobacter sp 4, dihambat oleh adanya ion Zn2+, Ba2+, Cu2+ dan Al3+(Yoon et al., 1996). Sedangkan fitase yang berasal dari E. nidulans dan Aspergillus terrus dihambat oleh ion Cu2+ (Wyss et al., 1999). Letak pengikatan ion logam pada asam fitat digambarkan oleh Tran (2010) bahwa ion logam dapat berinteraksi dengan –OH- dari gugus fosfat yang sama atau berlainan dalam molekul asam fitat. Mereka juga dapat berinteraksi dengan –OH- pada gugus fosfat molekul asam fitat yang lainnya (Gambar 23).

Gambar 23. Struktur yang menunjukkan pengikatan ion logam dengan gugus fosfat pada molekul asam fitat menurut Tran (2010).

E. Pengamatan Morfologi

Morfologi dari koloni bakteri isolat EN 10 yaitu: berwarna putih susu, tebal, dengan permukaan yang tidak mengkilat, tepi koloni bulat halus. Koloni bakteri isolat EN 16 juga berwarna putih susu, tebal, dengan permukaan yang tidak mengkilat, tepi koloni bulat halus. Koloni bakteri isolat EN 6 berwarna putih


(59)

commit to user

susu, tipis, dengan permukaan yang agak mengkilat, dan tepi koloni bulat halus (Gambar 24).

Gambar 24. Morfologi dari koloni isolat EN 10 (24.a), koloni isolat EN 16 (24.b) dan koloni isolat EN 6 (24.c).

Pengamatan morfologi dari sel bakteri penghasil fitase menunjukkan bahwa semua isolat sel bakteri berbentuk basil/batang. Berdasarkan pewarnaan sederhana, bakteri tersebut termasuk bakteri gram positif, yang ditunjukkan dengan warna ungu, dan memiliki banyak spora berbentuk bulat berwarna putih. Ukuran panjang bakteri antara 2-5m (Gambar 25).

Gambar 25. Morfologi sel bakteri dengan perbesaran mikroskop 10x10. Morfologi sel bakteri dari isolat EN 10 (25.a), EN 16 (25.b) dan EN 6 (25.c).

Perbedaan respon terhadap mekanisme pewarnaan gram pada bakteri adalah didasarkan pada struktur dan komposisi dinding sel bakteri. Bakteri gram positif mengandung protein dan gram negatif mengandung lemak dalam persentase lebih tinggi dan dinding selnya tipis. Pemberian alkohol pada pewarnaan bakteri menyebabkan terekstraksinya lipid sehingga memperbesar


(60)

commit to user

permeabilitas dinding sel. Pewarnaan safranin masuk ke dalam sel dan menyebabkan sel menjadi berwarna merah pada bakteri gram negatif sedangkan pada bakteri gram positif dinding selnya terdehidrasi dengan perlakuan alkohol, pori-pori mengkerut, daya rembes dinding sel dan membran menurun sehingga pewarna safranin tidak dapat masuk sehingga sel berwarna ungu.

F. Analisis gen 16S rRNA

Analisis tahap akhir dari identifikasi bakteri penghasil fitase ini yaitu dengan melakukan analisis gen 16S rRNA. Gen 16S rRNA merupakan gen penyandi ribosom yang ada dalam RNA. 16S rRNA merupakan salah satu penyusun subunit ribosom 30S, yang penting untuk translasi, dan terdiri dari 1542 pasangan basa. Urutan gen 16S rRNA telah banyak digunakan sebagai alat untuk mengidentifikasi bakteri yang tidak diketahui genus atau tingkat speies.

Jika derajat kesamaan urutan basa gen penyandi 16S rRNA < 97% dapat dianggap sebagai spesies baru. Analisis gen penyandi 16S rRNA praktis untuk definisi spesies, karena molekul ini bersifat ubikuitus, sehingga dapat dirancang suatu primer yang universal untuk seluruh kelompok. Data urutan basa gen penyandi 16S rRNA memungkinkan digunakan untuk mengkonstruksi pohon filogenetik yang dapat menunjukkan nenek moyang dan hubungan kekerabatan organisme, tetapi organisme yang sekerabat atau identik berdasarkan parameter ini belum tentu memiliki kesamaan secara fisiologi. Hal ini disebabkan gen penyandi 16S rRNA bukan merupakan suatu gen yang fungsional untuk kelangsungan hidup dan adaptasi pada lingkungan tertentu.


(61)

commit to user

Pada tahap ini mula-mula dilakukan ekstraksi DNA bakteri dan amplifikasi DNA dengan menggunakan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction). DNA hasil dari PCR kemudian di sekuensing untuk mendapatkan susunan basa DNA bakteri tersebut, yang nantinya akan dibuat konstruksi pohon filogenetik untuk mengetahui hubungan kekerabatan antara gen bakteri yang ditemukan dengan gen bakteri yang terdapat pada gen bank.

Elektroforesis merupakan suatu teknik teknik yang umum digunakan untuk analisis DNA dan protein, yaitu dengan cara memisahkan senyawa yang bermuatan dengan meletakkannya pada suatu medan listrik. Separasi material elektroforsis didasarkan pada perbedaan dalam muatan molekul, ukuran molekul, atau kombinasi antara keduanya karena elektroforesis merupakan pergerakan dari molekul bermuatan listrik pada medan arus listrik maka molekul bermuatan negatif akan bergerak ke elektroda bermuatan positif. DNA yang bermuatan negatif akan bergerak ke arah kutub positif melalui molekul-molekul agarosa.

Hasil elektroforesis gel dari ekstraksi DNA ketiga isolat hanya terlihat smear DNAnya saja. Smear DNA yang paling tebal adalah DNA bakteri EN 6, sedangkan DNA bakteri EN 16 dan EN 10 tampak tipis sekali (Lampiran 9). Ketiga DNA tersebut kemudian di amplifikasi agar pita DNA tampak lebih jelas. Amplifikasi DNA dilakukan dengan teknik PCR, yaitu suatu teknik untuk memperbanyak suatu sekuens tertentu dari DNA, dengan cara reaksi polymerase berulang untuk memperbanyak sekuens target.


(62)

commit to user

Pita DNA hasil amplifikasi PCR berdasarkan gen pengkode 16S rRNA tampak lebih jelas, yaitu satu pita tunggal DNA yang berukuran sekitar 700bp (Gambar 26). Produk PCR tersebut kemudian disekuensing untuk mendapatkan susunan basa DNAnya. Susunan basa DNA yang telah diolah dengan menggunakan program Bio edit dan Peak Trace, menghasilkan sekuens dengan panjang sekitar 700bp. Sekuens yang dihasilkan oleh 3 isolat yaitu: isolat EN 10 menghasilkan 731bp, isolat EN 16 menghasilkan 717bp, dan isolat EN 6 menghasilkan 709bp (Lampiran 10).

Gambar 26. Gel elektroforesis gen 16S rRNA dari isolat EN 6, EN 10, dan EN 16 yang diamplifikasi dengan menggunakan primer 27f dan 765r.


(1)

commit to user DAFTAR PUSTAKA

Brock, TD. 1986. Thermophiles: General, Molecular and Applied Microbiology.

John Wiley and Sons, New York.

Bohm, K, Herter T, Mueller JJ, Borriss R, Heinemann U. 2010. Crystal structure of Klebsiella sp. ASR1 phytase suggests substrate binding to a preformed active site that meets the requirements of a plant rhizosphere enzyme. Febs J. (277) :.1284

Cheryan, M. 1980. Phytic acid interactions in food system. CRC Critical reviews

in Food Science and Nutrition 13: 297-335.

Choi, Y.M, Hyung J.S, Jin M.K. 2001. Purification and Properties of Extracellular

Phytase from Bacillus sp. KHU-10. Journal of Protein Chemistry 20 (4):

287-292.

Cosgrove, D.J. 1980. Inositol Phosphate: Their Chemistry, Biochemistry and Physiology. Elsevier Scientific Publishing Company. Amsterdam.

Davies, M.I, Ritcey, G.M, Motzok I. 1970. Intestinal and alkaline phosphatase of chicks: Influence of dietary calcium, inorganic and phytate phosphorus and vitamin D3. Poult Sci 49: 1280-1286.

Feder, D., Hussein W.M., Clayton D.J., Kan M.W., Schenk G., Mcgeary R.P., Guddat L.W. 2012. Crystal Structure of RED Kidney Bean Purple Acid Phosphatase in Complex With Maybridge Fragment Cc24201. Identification of purple acid phosphatase inhibitors by fragment-based

screening: promising new leads for osteoporosis therapeutics.

Chem.Biol.Drug.

Graf, E., K.L. Empson, and J.W. Eaton. 1987. Phytic Acid; A natural Antioxidant.


(2)

commit to user

Graf, E, Mahoney J.R, Bryant R.G, Eaton J.W. 1984. Iron-catalyzed hydroxyl radical formation. Stringent requirement for free iron coordination site. Journal of Biological Chemistry 259: 3620-3624.

Graf, E, Eaton J.W. 1993. Suppression of colonic cancer by dietary phytic acid.

Nutr Cancer 19: 11-19.

Ha, N.C, Oh B.C, Shin S, Kim H.J, Oh T.K. 2000. Crystal structures of a novel,

thermostable phytase in partially and fully calcium-loaded states. Nat

Struct Biol 7: 147-153.

Hegeman, C.E, Grabau E.A. 2001. A novel phytase with sequence similarity to purple acid phosphatases is expressed in cotyledons of germinating soybean seedlings. Plant Physiol: 1598-1608.

Hong, S.W, In H.C, Kun S.C. 2011. Purification and Biochemical Characterization of Thermostable Phytase from Newly Isolated Bacillus subtilis CF92. J. Korean Soc. Appl. Biol. Chem. 54 (1): 89-94.

Irving, G.C.J and D.J. Cosgrove. 1972. Inositol Phosphate Phosphatases of Microbiological Origin: the Inositol Pentaphosphate Products of Aspergillus ficuum Phytases. J.Bacteriol 112 (1) : 434-438.

Kerovuo, J. 2000. A novel phytase from Bacillus: Characterization and production of the enzyme, Ph.D dissertation, Univ. Helsinki, Finland

Kim, O.H, Kim Y.O, Shim J.H, Jung Y.S, Jung W.J, Choi W.C, Lee H, Lee S.J,

Auh J.H and Kim K.K. 2010. β-Propeller phytase hydrolyzes insoluble

Ca2+-phytate salts and completely abrogates the ability of phytate to

chelate metal ions. J.Biochemistry 49: 10216–10217.

Kusumadjaja, A.P. 2009. Skrening dan Karakterisasi Enzim Fitase Termofilik Hasil Isolasi dari Bakteri Kawah Ijen Banyuwangi. Laporan Hibah Penelitian Program Doktor Universitas Airlangga. (Unpublished).


(3)

commit to user

Kusumadjaja, A. P, Tutuk B, Ni Nyoman T. P, dan Sajidan. 2009. Screening Mikroorganisme Termofilik Penghasil Enzim Fitase yang Tumbuh Di Kawah Ijen Banyuwangi. Indo. J. Chem. 9 (3): 500-504.

Lima-Filho, G.L., U.C. Aroujo, G.M.T. Lima, L.C.M. Aleixo, S.R.F. Moreno, S.D. Santos-Filho, R.S. Freitas, M.V. Castro-Faria, and M. Bernardo-Filho. 2004. A new in vitro enzymatic methode to evaluate the protective effect of phytic acid againts copper ions. Pakistan J. Nutr. 3: 118-121

Liu, J., D.R. Ledoux and T.L. Veum. 1997. In vitro procedure for predicting the enzymatic dephosphorylation of phytate in corn-soybean meal diets for growing swine. J. Agric. Food Chem. 45: 2612-2617

Madigan, M.T. and B.L. Marrs. 1997. Extremophiles. Sci. American. April 82-87. Maenz, D.D, Classen H.L. 1998. Phytase activity in the small intestinal brush

border membrane of the chicken. Poult Sci 77: 557-563.

Maga, J.A. 1982. Phytate : Its Chemistry, Occuraence, Food Interactions,

Nutritional Significance, and Method of Analysis. J. Agric. and Food

Chem. 30 (1) : 1-8.

Maheshwari, R., G. Bharadwaj, and M.K. Bhat. 2000. Thermophilic Fungi: Their Physiology and Enzymes. Microbio and Molecular Bio 64 (3): 461-488. Marlinda, Y. 2001. Isolation and Purification of Raw Starch Degrading Enzyme

from Acremonium endophytic Fungus and Its Aplication for Glucosa Production. Dissertation of Doctoral at University Putra Malaysia. Malaysia.

Mullaney, E.J. and A.H.J. Ullah. 2003. The term phytase comprises several different classes of enzymes. Biochem Biophys Res Comm 312: 179-184. Nagashima, T., T. Tange, and H. Anazawa. 1999. Dephosphorylation of Phytate

by Using the Aspergillus niger Phytase with a High Affinity for Phytate.


(4)

commit to user

Nelson, D.L. and M.M. Cox. 2000. Lehninger Prinsiples of Biochemistry. 3rd

edition. Wort Pub: New York.

Oh, B.C, Choi W.C, Park S, Kim Y.O, Oh T.K. 2004. Biochemical properties and

substrate specificities of alkaline and histidine acid phytase. Appl

Microbiol Biotechnol 63: 362-372.

Pasamontes, L., M. Haiker, M. Wyss, M. Tessier, and A.P.G.M. van Loon. 1997. Gene Cloning, Purification, and Characterization of a Heat-Stable Phytase

from the Fungus Aspergillus fumigatus. Appl Environ Microbiol 63 (5):

1696-1700.

Richardson, T, Hyslop G. 1985. Enzyme. Di dalam: Fenema OR. (ed) Food Chemistry. New York: Marcel Dekker Inc. hlm 235-249.

Rodriguez, E., E. J. Mullaney, and X. G. Lei. 2000. Expression of the Aspergillus

fumigatus phytase gene in Pichia pastoris and characterization of the

recombinant enzyme. Biochem. Biophys. Res. Commun. 268:373–378.

Rosmimik, Widowati S. Andriani U, Indarwati S. Damardjati US. 1998. Skrining

bakteri penghasil fitase dan pengujian aktivitasnya pada media PSM dan bekatul. Prosiding Temu Ilmiah Bioleknologi Pertanian. Bogor, 26 Mar 1998. hlm 43-48.

Sajidan, A. farouk, R. Greiner, P. Jungblut, E.C. Muller, R. Borriss. 2004. Molecular and physiological characterization of a 3-phytase from soil bacterium Klebsiella sp ASR1. Appl Microbiol Biotechnol. 65 (1):110-118.

Shimizu, M. 1992. Purification and characterization of phytase from Bacillus


(5)

commit to user

Syahbirin G, Syatria A. Ambarsani L, Widowati S. 2000. Optimasi dan karakterisasi enzim fitase dan Bacillus coagulans. Di dalam: Mikrobiologi, Enzim, dan Bioleknologi dalam Perspekuf Ekonomi dan Industri. Prosiding Seminar Naslonal Industri dan Bioteknologi. Jakarta, 15-16 Feb 2000. hlm 361-369.

Tran, T.T. 2010. Thermostable phytase from a Bacillus sp. Heterologous

production, mutation, characterization and assay development. Doctoral Thesis. Department of Biotechnology Lund University.

Quan, C.S., L.H. Zhang, Y.J. Wang and Y. Ohta. 2001. Production of phytase in a low phosphate medium by a novel yeast Candida krusei. J. Biosci. Bioeng.

92 : 154-160.

Quan, C.S., S.D. Fan, L.H. Zhang, Y.J. Wang and Y. Ohta. 2002. Purification and

properties of a phytase from Candida krusei WZ-001. J. Biosci. Bioeng.

94 :419-425

Vieille, C., and G.J. Zeikus. 2001. Hyperthermophilic Enzymes: Sources, Uses, and Molecular Mechanisms for Thermostability. Microbio and Molecular Bio 64 (1): 1- 43.

Wodzinski, R. J., and A. H. J. Ullah. 1996. Phytase. Adv. Appl. Microbiol.

42:263–302.

Wulandari, R. 2011. Analisis Gen 16S rRNA pada Bakteri Penghasil Enzim Fitase. Tesis. Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Wyss, M., Brugger, R, Kronenberger, A, Remy, R, Fimbel, R. 1999. Biochemical characterization of fungal phytases (myo-inositol hexakisphosphate phosphohydrolases): catalytic properties. Appl Environ Microbiol 65: 367-373.


(6)

commit to user

Wyss, M., L. Pasamontes, A. Friedlein, R., Remy, M. Tessier, A. Kronenberger, A. Middendorf, M. Lehmann, L. Schnoebelen, U. Thlisberger, E. Kusznir, G. Wahl, F. Muller, H.W. Lahm, K. Vogel, and A.P.G.M. van Loon. 1999.

Biophysical Characterization of Fungal Phytases (myo-Inositol

Hexakisphosphate Phosphohydrolases): Molecular Size, Glycosylation

Pattern, and Engineering of Proteolytic Resistance. Appl Environ

Microbiol 65 (2): 359–366.

Yuanita, L., Aline P., Suzana S., Sri H., Farid A.A., dan Arif B. 2010. Isolasi, Pemurnian dan Karakterisasi Fitase Bacillus subtilis dari Holiwood Gresik. Berk. Penel. Hayati 15:113-119.